Kita melanjutkan pembahasan kehidupan Daud, tapi hari ini tidak melanjutkan ke pasal tertentu dan melihat detailnya melainkan melihat sedikit ke belakang, kepada beberapa pasal sekaligus, menemukan struktur yang ada pada pasal-pasal tersebut serta implikasinya bagi kita hari ini. Kita sudah pernah membahas pasal 17 mengenai Daud dan Goliat, lalu pasal 21 ke belakang menceritakan tahun-tahun pelarian Daud yang dikejar-kejar Saul. Di antara pasal 17 dan 21 adalah pasal 18-20; dan kita akan berdiri sedikit di belakang, melihat secara keseluruhan pasal 18-20 ini.
Ini adalah bagian setelah Daud mengalahkan Goliat, sebelum dia melarikan diri; dan tiga pasal ini merupakan bagian yang di dalamnya Saul 6 kali berusaha membunuh Daud. Secara sepintas kita mungkin berpikir masa-masa dalam hidup Daud yang paling berbahaya, paling mengancam nyawanya, adalah pasal-pasal yang lebih ke belakang ketika Daud dalam pelarian dikejar-kejar Saul, dsb.; tetapi tidak. Kita bisa argue bahwa masa-masa yang paling berbahaya itu justru di pasal 18-20 ini, ketika dia belum kabur dan masih berada di Israel. Mengapa? Yang pertama, sudah pasti karena dia masih di istananya Saul, sehingga Saul akan sangat mudah untuk membunuhnya. Yang kedua, kalau Saudara perhatikan pasal 18-20, ternyata Saul itu tidak bisa diprediksi, adakalanya sakaw, adakalanya waras. Misalnya di pasal 19:4-7 ketika Yonatan mengatakan yang baik tentang Daud kepada Saul (ayat 4-5), di ayat 6-7 dikatakan: Saul mendengarkan perkataan Yonatan [mendengarkan berarti taat] dan Saul bersumpah: "Demi TUHAN yang hidup, ia tidak akan dibunuh." Lalu Yonatan memanggil Daud dan Yonatan memberitahukan kepadanya segala perkataan itu. Yonatan membawa Daud kepada Saul dan ia bekerja padanya seperti dahulu. Jadi keadaannya turun naik; Saul menombak Daud, lalu Daud kembali lagi bekerja kepadanya, lalu di pasal 20 bukan cuma Daud tapi Yonatan yang ditombak. Selanjutnya ditutup dengan cerita yang sangat terkenal, mengenai Yonatan yang memanah dan menyuruh bujangnya mencari anak panah tersebut sebagai kode bagi Daud; kalau lebih jauh berarti tidak aman, kalau lebih dekat berarti aman, dan seterusnya.
Jadi pasal 18-20 ini bagian yang mengerikan bagi Daud justru karena Saul itu tidak dapat diprediksi. Ini lebih mengerikan dibandingkan waktu Daud pelarian karena dalam pelarian, Saul tidak di sana, dan juga sudah jelas Saul mau membunuh dia. Sedangkan di bagian ini, Daud masih di istana, artinya masih dalam jangkauan Saul. Lagi pula, tidak jelas kapan Saul mengamuk dan kapan warasnya, sampai-sampai Daud mengatakan kepada Yonatan: “Demi Tuhan yang hidup dan demi hidupmu, hanya satu langkah jaraknya antara aku dan maut” (20:3). Para komentator mengatakan, perkataan ‘satu langkah’ ini mengacu pada kejadian ketika Daud ditombak kemudian dia mengelak satu langkah, jadi benar-benar secara literal hanya satu langkah jaraknya dengan maut. Jadi pasal 18-20 inilah hidup Daud paling terancam.
Sekarang saya mau mengajak Saudara melihat srukturnya, melihat cara penulis Alkitab menuliskan pasal-pasal yang paling mengancam ini; dimulai dengan apa dan diakhiri dengan apa.
Pasal 18 bagian awal dimulai dengan perjanjian antara Yonatan dengan Daud. Ayat 3-4: Yonatan mengikat perjanjian dengan Daud, karena ia mengasihi dia seperti dirinya sendiri. Yonatan menanggalkan jubah yang dipakainya, dan memberikannya kepada Daud, juga baju perangnya, sampai pedangnya, panahnya dan ikat pinggangnya. Bagian ini sudah pernah kita bahas. Kita lompat ke pasal 20 akhir, persis sebelum pasal 21 ketika Daud kabur. Ayat 40-42: Sesudah itu Yonatan memberikan senjatanya kepada budak yang menyertai dia, dan berkata kepadanya: "Pergilah, bawalah ke kota." Maka pulanglah budak itu, lalu tampillah Daud dari sebelah bukit batu; ia sujud dengan mukanya ke tanah dan menyembah tiga kali. Mereka bercium-ciuman dan bertangis-tangisan. Akhirnya Daud dapat menahan diri. Kemudian berkatalah Yonatan kepada Daud: "Pergilah dengan selamat; bukankah kita berdua telah bersumpah demi nama TUHAN, demikian: TUHAN akan ada di antara aku dan engkau serta di antara keturunanku dan keturunanmu sampai selamanya."
Saudara lihat, pasal 18-20 yang isinya kejahatan Saul kepada Daud dan rencana Saul membunuh Daud sampai 6 kali, itu dibungkus –dimulai dan diakhiri—dengan persahabatan antara Daud dan Yonatan. Kisah yang sebenarnya paling mengerikan ini, dimulai dengan pembuatan perjanjian (covenant making) antara Daud dan Yonatan, serta diakhiri dengan pembaruan perjanjian (covenant renewal) antara Daud dan Yonatan. Melihat struktur seperti ini, kita mengetahui satu hal; Eugene Peterson mengatakan: “Justru di dalam periode yang paling berbahaya dalam hidup Daud, persahabatan Daud dan Yonatan membingkainya di depan dan di belakang.” Ini satu hal yang jelas-jelas disengaja, dan secara literal boleh dikatakan penulis Alkitab mau mengatakan, bahwa persahabatan Daud dan Yonatan itu mengurung kisah kejahatan Saul. Persahabatan Daud dan Yonatan membatasi, menahan, melimit kejahatan Saul. Menahan sehingga kejahatan Saul tidak sampai menenggelamkan Daud. Menahan sehingga Daud bagaimanapun juga masih bisa survive dari hal ini.
Kita tahu secara isi cerita, Daud tidak bisa survive kalau tidak ada Yonatan. Tapi penulis Alkitab bukan cuma mau memberitahukan hal ini melalui isi ceritanya, tapi juga lewat bingkai yang dipakainya untuk menuliskan isi cerita tersebut. Apa implikasinya buat kita? Implikasi yang bisa kita tarik dari struktur ini, bahwa hidup kita pasti ada kesulitan, tragedi, masalah, badai, yang akan menenggelamkan Saudara dan saya jikalau kita tidak punya persahabatan yang dalam seperti ini. Itu salah satu pesan yang mau diberikan di sini, dan tentu saja bukan hanya dari pasal ini. Betapa Alkitab memandang tinggi persahabatan. Di dalam bagian ini kita melihat bahwa persahabatan bukan semacam bonus dalam kehidupan yang boleh ada boleh tidak; persahabatan itu masalah hidup dan mati.
Kitab Kejadian juga mengatakan hal yang sama. Dalam Kejadian ada hal yang berulang-kali dikatakan, yaitu Tuhan menciptakan sesuatu lalu Dia mengatakan ‘ini baik’, ‘ini baik’, ‘ini baik’, ‘ini baik’, ‘ini baik’, ‘ini amat baik’; lalu di pasal 2:18 Tuhan tiba-tiba mengatakan ‘ini tidak baik’. Ini cukup mengejutkan, bahwa ‘tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja’. Dilihat sebagai kalimatnya sendiri, ini sudah cukup mengejutkan karena kalimat yang terakhir malah mengatakan ‘tidak baik’ setelah baik, baik, baik, baik, baik, amat baik. Yang lebih mengejutkan lagi kalau kita mengingat di mana Adam berada, dia di Taman Eden, tempat yang tidak ada kesakitan, tidak ada kematian, tidak ada dosa. Memang kita tidak bisa mengatakan di Taman Eden itu Adam sudah mempunyai hubungan yang sempurna dengan Tuhan, tapi paling tidak Adam punya hubungan yang murni dengan Tuhan, yang masih pure, belum tercemar oleh dosa. Dan dalam situasi seperti inilah Allah mengatakan ‘ini tidak cukup baik’. Jonathan Edwards menafsirkan bagian ini, seakan-akan Tuhan sedang mengatakan: “Adam, tahukah bahwa tidak cukup kamu punya relasi murni dengan Aku; itu memang baik dan amat sangat penting tapi tidak cukup. Kamu juga harus punya relasi dengan sesamamu manusia, barulah itu baik, barulah kamu bisa disebut sebagai manusia”.
Ini satu hal yang mungkin waktu mendengarnya kita merasa aneh, seakan kalimatnya agak sesat. Kita mungkin berpikir, bukankah goal dari hidup Kristen adalah kita puas hanya di dalam Tuhan, tidak perlu yang lain, yang lain itu cuma tambahan/ bonus yang boleh ada boleh tidak ada?? Kalau kita kembali ke Kitab Kejadian, bisa jadi pemikiran seperti itu bukan pemikiran yang benar-benar biblikal. Tentu saja di satu sisi kita meng-amin-i perkataan Agustinus, “Di dalam hati manusia ada sebuah lubang yang begitu dalam (‘God-shaped hole’), yang tidak bisa diisi oleh apapun kecuali Allah, dan kita tidak bisa beristirahat sampai lubang itu diisi Allah”. Kita tidak menyangkal bagian itu, tapi di sini Allah sendiri seakan mengatakan, “Ya, Agustinus, itu benar, tapi jangan lupa lubang di hati manusia bukan cuma ‘God-shaped hole’, tapi ada juga lubang ‘man-shaped hole’. Kamu bukan cuma perlu relasi dengan-Ku, kamu juga memerlukan relasi degan sesamamu manusia”.
Mungkin kita agak sulit menerima, karena seolah merendahkan kemutlakan diri Allah dalam hidup kita. Tapi kita tidak perlu melihatnya seperti itu. Kita justru bisa melihatnya terbalik, bahwa pengertian seperti ini justru meninggikan Allah kita, karena itu berarti Allah kita bukan seperti pacar posesif yang menuntut pasangannya hanya boleh menikmati hubungan dengan dirinya. Allah yang menciptakan kita, punya ruang di dalam hati-Nya, hati-Nya luas, sehingga ciptaan-Nya diberi ruang untuk bisa mempunyai relasi dengan sesamanya. Sedikit lebih ekstrim, kita bisa mengatakan bahwa Allah kita adalah Allah yang sengaja menciptakan di dalam kita suatu kebutuhan untuk berelasi bukan hanya dengan Dia. Hal ini bukan merendahkan Dia tapi justru lebih meninggikan Dia, karena jika Saudara punya Allah yang seperti ini, itu justru membuat Saudara ingin berpaut kepada-Nya lebih erat. Di pasal 18 yang lalu kita membahas soal iri-hatinya Saul, tapi Allah adalah Pribadi yang tidak ada iri hati sama sekali. Dia menciptakan kita dengan ruang untuk kita berelasi dengan orang lain yang bukan diri-Nya.
Mengapa Dia harus menciptakan kita seperti ini? Bukankah jadinya seakan kita diciptakan dengan kekurangan, dengan lubang-lubang di hati kita seperti Swiss cheese yang penuh dengan lubang-lubang? Jawabannya sederhana: karena kita diciptakan di dalam gambar dan rupa Allah. Dan di sini kita langsung mengingat satu hal, Allah yang menaruh gambar dan rupa-Nya pada kita, adalah Allah Tritunggal. Jika Allah kita adalah Allah Tritunggal, itu berarti Allah Alkitab adalah Allah yang esensinya (sifat paling mendasarnya) sebuah persahabatan. Di mana dalam agama lain, Saudara pernah mendengar konsep Allah yang seperti ini, yang esensinya adalah persahabatan? Orang mengatakan, esensi dewanya tentu saja kebesarannya, kuasanya, sepak-terjangnya. Tapi Allah Alkitab lain. Allah Alkitab tentu saja berkuasa, tentu saja sepak-terjang-Nya jelas, namun itu semua justru sekunder. Esensi paling utama Allah ini justru adalah persahabatan, relasi di antara ketiga Pribadi itu. Maka tidak salah kalau dalam Surat Yohanes dikatakan bahwa Allah kita adalah kasih, dan bukannya Allah adalah kuasa atau power, dsb. Oleh sebab itu dikatakan bahwa manusia perlu keberadaan sesamanya. Ini sama sekali bukan kesalahan desain; ini adalah hal yang membuat manusia justru mulia karena dengan demikian ia merefleksikan Allahnya.
Dari sini kita bisa menarik 2 hal; pertama: penghiburan, kedua: teguran. Penghiburannya adalah kalau kita hari ini merasa selalu membutuhkan orang lain, galau jika sendirian, seperti sangat bergantung dengan keberadaan orang lain dalam hidup, dsb., itu bukanlah pertanda ketidak-sempurnaan –meski tentu saja bisa salah kalau berlebihan. Itu justru pertanda kemuliaan kita sebagai manusia, karena kalau Saudara tidak merasa butuh orang lain berarti Saudara tidak seperti Allah. Di sisi lain, tegurannya adalah kita bisa langsung refleksi pada diri masing-masing; seberapa pentingnya relasi persahabatan di dalam hidup kita hari ini? Apakah kita seperti Alkitab yang melihat persahabatan (relasi antar manusia) sebagai masalah hidup mati, masalah esensi dasar manusia? Inilah yang mau kita bicarakan. Kalau kita jujur, mungkin kita mengatakan ‘ya, memang saya tidak seperti Alkitab’. Tapi kita perlu mengeksplorasi lebih lanjut mengapa kita tidak seperti itu, seberapa jauh diri kita dari yang dikatakan Alkitab.
Salah satu hal yang menjadi halangan untuk mengakui bahwa kita termasuk orang yang tidak melihat relasi sedemikian pentingnya seperti Alkitab, adalah karena kita ini orang Timur. Sebagai orang Timur, kita merasa diri cukup komunal, tidak individualis seperti orang Barat –kalau membandingkan diri dengan orang Barat, ya, sudah pasti kita lebih komunal, jadi pasti dong kita lebih menjunjung tinggi persahabatan dibandingkan orang-orang itu. Tapi mungkin tidak begitu. Kalau kita melihat orang Barat yang cenderung individualis, memang kita jadi menganggap mereka tidak terlalu mementingkan persahabatan, dsb. Bukan cuma itu, kalau kita melihat film-film dan tabloid-tabloid mereka, relasi apa yang paling diagungkan di dunia Barat? Kalau sebuah tabloid memberitakan ‘selebriti A dan selebriti B tertangkap basah, dan mereka ternyata berteman’, siapa yang mau membeli tabloid seperti itu? Tidak seru sama sekali. Yang kita mau tahu kalau selebriti A dan selebriti B tidur bersama, dan kita tidak peduli soal temannya dsb.; relasi persahabatan itu relasi yang biasa saja bagi kita, tapi kalau relasi romatik barulah menarik untuk dibicarakan. Saudara juga akan menemukan hal yang sama dalam film-filmnya; arts culture dalam dunia Barat itu didominasi dengan relasi romantik.
Satu contoh, trilogi “Lord of The Rings”. Tahukah Saudara bedanya trilogi tersebut antara film dan novelnya? Bedanya adalah dalam cerita “Lord of The Rings” relasi yang diutamakan sebenarnya persahabatan, oleh sebab itu judul trilogi yang pertama “The Fellowship of The Ring”; sedangkan dalam filmnya ada relasi cinta/ romantik antara Aragorn dengan Arwen, yang dalam 3 novel utamanya tidak ada, hanya ada di bagian apendiks (bagian-bagian lepasan yang ditulis Tolkien setelah triloginya selesai untuk lebih mengeksplorasi kehidupan tokoh-tokohnya). Jadi, karena novel ini dijadikan film Hollywood, maka cerita yang tadinya cuma catatan kaki tersebut dimasukkan ke dalam cerita utamanya. Alasannya sederhana, kalau tidak ada cerita romantik dalam sebuah film, pendapatan pastinya berkurang.
Jadi Saudara lihat bahwa di dunia Barat relasi yang paling diutamakan adalah relasi romantik, relasi erotik, relasi seksual. Jarang –tapi bukan tidak ada– film-film yang inti ceritanya mengenai relasi persahabatan. Musik Barat yang mengisahkan mengenai persahabatan juga hampir tidak ada, umumnya didominasi dengan relasi romantik/ erotik. Dunia Barat nampaknya sangat individualis, dan relasi yang mereka agungkan bukanlah relasi persahabatan.
Tapi dunia Timur pun tidak mengedepankan relasi persahabatan. Yang dikedepankan dunia Timur memang bukan relasi romantik/ erotik, tapi juga bukan relasi persahabatan, melainkan relasi familial (relasi keluarga). Amsal 18:24 “ada sahabat yang lebih karib daripada seorang saudara”, atau terjemahan lain “ada sahabat yang berpaut lebih erat daripada seorang saudara”. Perbandingan antara sahabat dan saudara di Alkitab ini menarik karena Alkitab berbicara kepada budaya Timur, dan di dalam budaya Timur relasi yang paling agung adalah relasi kekeluargaan/ relasi saudara. Di dalam dunia Timur kalau kita berbicara di depan umum, kita mengatakan “Saudara-saudara”. Juga kita sering mendengar kalau kita mau berelasi di publik, nilai yang harus kita junjung adalah nilai kekeluargaan. Hubungan kekeluargaan di dalam dunia Timur dijadikan paradigma yang menjadi dasar dari semua relasi yang lain. Dan Alkitab seperti menantang hal ini, mengatakan ada jenis persahabatan yang lebih tinggi kualitasnya dibandingkan relasi persaudaraan.
Alkitab seperti berdiri di tengah, tidak di Barat tidak di Timur; tidak terjebak dalam individualis Barat, atau tribalisme Timur. Dan di sini kita melihat, bahwa kultur kita yang komunal tidak berarti secara otomatis mementingkan persahabatan.
Mungkin Saudara berargumentasi, bukankah Adam dan Hawa itu relasinya pernikahan, relasi romantik, berarti yang benar Barat dong; atau bisa juga kalau dari sisi Timur, Adam dan Hawa itu menikah menjadi keluarga, berarti yang benar Timur dong. Tidak begitu. Kita tahu, pernikahan di Barat maupun Timur sama-sama banyak yang runtuh, mengapa? Karena masing-masing jatuh ke dalam kecenderungannya. Di Barat terlalu menekankan aspek erotik/ romantik/ seksual. Hari ini di Barat, kalau mau berelasi dengan seseorang, yang paling penting adalah sexual compatibility, seakan kalau hal ini beres semuanya akan beres. Sedangkan kalau melihat kehidupan suami istri di dunia Timur, orang tidak tertarik membicarakan kehidupan seks mereka tapi soal apakah mereka memiliki anak, bagaimana anak-anaknya, dsb. (aspek kekeluargaan/ familial). Yang satu terlalu fokus pada seks, yang lain terlalu fokus pada keluarga; oleh sebab itu dua-duanya gampang hancur. Tetapi, yang membuat satu pernikahan bisa bertahan di dalam kesulitan, justru adalah aspek persahabatannya. Itu sebabnya dunia Barat maupun Timur kesulitan di dalam pernikahannya, karena tidak kembali ke Alkitab. Relasi persahabatan amat sangat dijunjung tinggi di dalam Akitab.
Waktu saya dan istri konseling pranikah, salah satu pertanyaan yang diajukan Pendeta Agus kepada kami masing-masing adalah: “kamu, best friend-nya siapa?” Kami agak bingung, tapi kemudian menjawab secara hampir bersamaan “ya, dia” sambil menunjuk satu sama lain. Pendeta Agus waktu itu lalu mengatakan, “Bagus, kalau begini, banyak problem hilang.”
Kalau Saudara melihat, bukan cuma kultur tapi ideologi berbagai belahan dunia –liberalisme, komunisme, dsb.—mana ada satu pun dari mereka yang mengedepankan relasi persahabatan? Lalu kalau Saudara melihat 4 kata Gerika tentang kasih –agape, philia, eros, storge—yang mana yang sepertinya paling rendah? Kasih persahabatan. Dalam kesibukan kita sehari-hari, mengurus pekerjaan, keluarga, dan yang lainnya, relasi apa yang selalu jadi korban? Sudah pasti persahabatan. Baik orang Barat ataupun orang Timur, dan hampir semua ideologi di seluruh dunia, tidak ada satu pun yang menjunjung tinggi persahabatan sebagaimana Alkitab melihat relasi ini. Saudara tidak akan kebayang mengatakan kepada atasan bahwa tidak bisa kerja karena ada KTB bersama sahabat-sahabat. Saya pun tidak mungkin mengatakan itu. Kami ada KTB bertiga, dan itupun mencari waktu sulit setengah mati, karena memang itu prioritas yang terakhir, kalau tidak ada hal-hal lain barulah bisa KTB. Ini membongkar bahwa memang dalam hidup kita hari ini, kita sangat jauh dari Alkitab.
Dari pasal 18-20 ini, kita bisa melihat apa artinya persahabatan menurut Alkitab. Salah satu esensi dari persahabatan Daud dan Yonatan adalah sebuah covenant. Kita sudah melihat tadi, bahwa yang menahan kejahatan Saul, bukan cuma kisah persahabatan tapi kisah mereka membuat perjanjian dan memperbarui perjanjian (covenant making dan covenant renewal).
Apa itu relasi covenantal? Relasi yang didasari perjanjian itu maksudnya seperti apa? Paling gampang kita melihatnya kalau melakukan perbandingan dengan relasi yang lain. Kebalikan dari relasi covenantal adalah relasi konsumeristik (relasi antara konsumer dan produsen, antara pengguna dan penyedia). Dalam relasi konsumeristik, si konsumer bisa mempunyai relasi dengan si produsen, tapi relasi ini hanya sejauh si produsen bisa mengisi kebutuhan saya dengan harga yang terjangkau. Oleh sebab itu kalau saya menemukan toko lain yang menyediakan barang yang sama, dengan harga yang lebih murah, saya sama sekali tidak ada kewajiban mempertahankan relasi tadi. Itulah relasi konsumeristik, relasi model bisnis yang tergantung pasar, tidak ada kepastian, dan selalu berubah-ubah mengikuti situasi atau bahkan semata karena kita ingin berubah. Sedangkan covenantal relationship kebalikannya. Relasi covenantal bukan relasi yang adalah sebuah sarana untuk mencapai tujuan, melainkan tujuan itu sendiri. Itu sebabnya stabil dan konstan, tidak terpengaruh situasi. Orang tidak keluar dari relasi ini hanya karena kebutuhannya terpenuhi atau tidak terpenuhi.
Kita bukan mau mengatakan bahwa dalam hidup kita tidak boleh ada relasi marketplace; memang ada tempatnya untuk itu. Sejak ada yang namanya pasar, pastinya ada relasi bisnis. Tapi kalau Saudara membandingkan zaman dulu dengan sekarang, ada satu hal yang menarik. Di zaman dulu, orang-orang menghidupi relasi marketplace dan relasi covenantal bersamaan. Ada relasi-relasi yang marketplace, dan ada relasi-relasi yang covenantal. Relasi bisnis dilimitasi hanya di dalam area pasar, dan semua relasi di luar relasi bisnis, bentuknya covenantal, baik itu relasi keluarga, tetangga, kenegaraan, dan seterusnya. Saudara tidak akan keluar dari relasi tersebut hanya karena kebutuhan tidak dipenuhi. Tapi kita pada zaman ini –setidaknya 50 tahun terakhir, terutama di kota, dan juga lebih parah lagi setelah masuk era smartphone dan sosmed—model relasi konsumeristik ini melampaui batasan pasar dan mulai menjadi model dasar semua relasi dalam hidup kita. Sekarang ini relasi keluarga, relasi pernikahan, relasi orangtua dan anak, relasi perkawanan, relasi kenegaraan, bahkan juga relasi religius, relasi di dalam Gereja, relasi antar gereja, relasi hamba Tuhan dengan jemaat dan sebaliknya, hampir semuanya memakai model relasi bisnis. Tanda yang paling gampang adalah di dalam semua relasi dalam hidup kita hari ini, sadar atau tidak sadar, kita membuat analisa manfaat versus biaya (cost benefit analysis). Kita mengatakan, ‘kalau kebutuhan saya dipenuhi dalam relasi ini, saya mau bertahan; tapi kalau mulai tidak dipenuhi atau bahkan merugikan, maka saya keluar’. Inilah yang mendefinisikan semua relasi kita hari ini. Inilah seorang pengguna, seorang konsumer; dan seorang konsumer bukanlah seorang sahabat.
Kita bisa melihat di dalam Yonatan, detik ketika Yonatan membuat kovenan dengan Daud, detik itu juga kebutuhan dirinya langsung minus, langsung rugi, langsung defisit. Di pasal 18 awal, karena Yonatan mau membuat kovenan dengan Daud, mau bersahabat dengan Daud atas dasar yang covenantal, maka langsung dia harus merelakan statusnya sebagai putra mahkota. Itu sudah kita bahas. Dan karena persahabatannya dengan Daud itu, di pasal 18-20 kita melihat Yonatan kehilangan kepercayaan dari ayahnya. Dia juga ditombak seperti Daud, oleh Saul (pasal 20). Dan lebih ke belakang lagi kita akan tahu bahwa relasi ini berakhir dengan kematian Yonatan di Gunung Gilboa. Tapi inilah seorang sahabat, bukan seorang pengguna. Yonatan tidak mengatakan ‘wah, rugi kovenan dengan kamu, saya sudah lelah jadi saya cari tempat lain, deh’. Inilah tanda yang pertama persahabatan yang kita lihat di dalam Alkitab; persahabatan yang hidup mati ini adalah persahabatan yang covenantal.
Yang kedua, kita melihat di bagian ini bahwa persahabatan di dalam Alkitab ditandai dengan transparansi, maksudnya keterbukaan yang radikal. Misalnya dalam pasal 18:1 Ketika Daud habis berbicara dengan Saul, berpadulah jiwa Yonatan dengan jiwa Daud; terjemahan bahasa Inggrisnya ‘they became one in spirit’. Kemudian kita lompat ke bingkai yang di belakang, pasal 20:41 Maka pulanglah budak itu, lalu tampillah Daud dari sebelah bukit batu; ia sujud dengan mukanya ke tanah dan menyembah tiga kali. Mereka bercium-ciuman dan bertangis-tangisan. Akhirnya Daud dapat menahan diri. Terjemahan lainnya berbunyi: mereka bercium-ciuman dan bertangis-tangisan, dan Daud menangis lebih lama.
Coba Saudara lihat bagian ini, dua orang pria bercium-ciuman dan bertangis-tangisan. Banyak dari kita mungkin sulit melihat bagian ini, seakan mereka itu gay. Kalau kita baca Alkitab keseluruhan, cerita mengenai pria-pria berpelukan, bercum-ciuman, bertangis-tangisan, sebenarnya lumayan banyak. Salah satunya dalam Kisah Para Rasul pasal 20 ketika Paulus berpisah dengan penatua jemaat Efesus, ayat 37 menuliskan: Maka menangislah mereka semua tersedu-sedu dan sambil memeluk Paulus, mereka berulang-ulang mencium dia. Kita mungkin harus mengakui satu hal bahwa yang kita lihat sebagai homoseksual, adakalanya itu di mata kita bukan di mata Alkitab; karena hari ini, salah satu dampak terbesar homoseksualitas di masyarakat bukanlah cuma bahwa homoseksualitas membuka ruang untuk relasi yang tidak sehat, tapi juga menutup ruang bagi relasi yang sebenarnya sehat, yaitu relasi persahabatan antara dua lelaki yang begitu intim, begitu terbuka, sampai bisa bercium-ciuman dan bertangis-tangisan seperti ini. Tentu ada soal perbedaan kultur juga, tapi tetap saja kalau hari ini kita melihat 2 laki-laki berdekat-dekatan, langsung dibaca sebagai homoseksual. Ini problematika zaman sekarang, dan jangan kita tembakkan problematika ini ke Alkitab.
Waktu di Melbourne, di fakultas musik banyak sekali laki-lakinya yang gay, sampai-sampai bagi saya waktu itu lebih aman pergi berdua dengan teman universitas yang perempuan daripada laki-laki. Tapi yang terjadi antara Daud dan Yonatan bukan seperti ini, melainkan suatu keterbukaan yang sangat tinggi sampai dikatakan jiwa mereka berpadu. Mereka ini bukan cowoq-cowoq kemayu melainkan dua pendekar bertubuh kekar yang lumayan rutin membunuh orang, tapi di bagian ini mereka tidak masalah untuk membiarkan pihak yang lain melihat perasaannya yang terdalam sampai pada level seperti ini.
Eugene Peterson memberikan satu insight mengenai persahabatan, bahwa persahabatan itu ada karakter sakramental-nya, yang kita seringkali tidak meihat dan tidak menyadarinya. Apa maksudnya karakter sakramental? Ketika kita mengikuti suatu sakramen –Baptisan Kudus, Perjamuan Kudus—kita mengambil hal yang biasa tetapi kita menggunakannya secara tidak biasa. Baptisan memakai air, dan tidak ada yang lebih biasa lagi daripada air. Demikian juga roti dalam Perjamuan Kudus sangat biasa, anggurnya pun biasa sekali, dan di dalam hal yang biasa-biasa ini, digunakan secara tidak biasa. Hal-hal yang biasa ini dipisahkan, dikhususkan, dikuduskan, diperlakukan secara luar biasa. Inilah karakter sakramental. Eugene Peterson mengatakan persahabatan mempunyai karakter sakramental seperti ini karena persahabatan bukan mengenai hal-ha yang tidak biasa, yang extraordinary; persahabatan justru mengambil hal-hal yang biasa, dan mengubahnya menjadi sesuatu yang kudus.
Ini berarti apa? Transparansi. Dalam persahabatan, kita tidak main make-up, kita tidak boleh main make-up. Itu berarti dalam persahabatan kita memberikan akses kepada hal-hal yang biasa, yang common, yang tidak ada pernak-perniknya. Tapi ada banyak sahabat yang ternyata pengguna; tahu dari mana? Sahabat bukan seorang yang dengannya Saudara mengalami have fun; sahabat justru orang yang dengannya Saudara do nothing together. Sahabat bukanlah orang yang harus ada film bagus baru dia mau diajak nonton bareng; sahabat adalah orang yang mau menemani Saudara nonton film yang Saudara suka, yang menurut dia jelek. Sahabat bukanlah orang yang harus kita ajak makan di tempat-tempat yang mewah dan enak, tapi orang yang dengannya kita bisa berbagi bekal buatan mama kita di sekolah.
Sahabat itu masuk sampai ke dalam, mengambil hal-hal yang biasa-biasa tapi malah justru diubah jadi hal yang luar biasa. Itulah ke-luarbiasa-an sahabat. Dan ini sebabnya persahabatan sangat penting, karena dalam relasi-relasi yang lain Saudara sulit memiliki hal seperti ini. Oleh sebab itu orang yang punya banyak teman, supel dan dikelilingi banyak orang, tidak tentu punya sahabat. Seringkali orang seperti ini memang menarik, populer, yang membuat orang senang dengan dia karena mendapatkan sesuatu dari dia. Tapi itu bukan sahabat; itu bukan relasi covenantal melainkan relasi user/ relasi konsumeristik. Sahabat itu masuk sampai ke dalam hal yang biasa, sehingga saya tidak perlu me-make up diri saya, saya bisa mengeluarkan perasaan saya apa adanya. Itulah yang dikerjakan Daud dan Yonatan.
Transparansi tentu bukan cuma berarti seorang sahabat boleh meng-akses yang biasa-biasa, tapi transparansi juga berarti seorang sahabat kita berikan akses untuk menyerang kita. Itulah relasi persahabatan yang sehat. Kalau kita mau bongkar kedok kultur Timur yang katanya komunal, kita dapat melihatnya paling jelas dalam hal ini.
Saya sering mendengar orang mengatakan begini: kalau di Indonesia, kita harusnya membangun dulu relasi yang bagus; kalau relasi ini sudah solid, kokoh, maka konflik apapun yang datang pasti bisa kita tangani. Jadi membangun relasi dulu, maka konflik bisa ditangani. Tentu saja kalimat ini ada benarnya, bahwa relasi yang baik akan sangat membantu dalam mengarungi konflik; dan ini ada tempatnya dalam kehidupan kita. Contohnya waktu saya mengajar di Sekolah Kristen Calvin, Pak Ivan [koordinator Sekolah Kristen Calvin] berpesan kepada para guru untuk secara bergilir meng-konseling anak-anak tanpa menunggu mereka ada masalah atau tidak. Dia mengatakan seperti ini: kalau anak ini ada masalah kemudian baru kita konseling, maka kita hanya akan mengenal dia di dalam bingkai permasalahan tersebut, dan akhirnya kita selalu melihatnya sebagai anak bermasalah; tapi kalau kita sudah kenal sebelumnya –sudah pernah konselig meski tidak ada masalah—maka ketika satu hari dia ada masalah, kita bisa punya bingkai yang lebih luas, tidak terjebak di dalam masalah yang sedang dihadapi. Jadi ini memang satu model yang cukup oke, bahwa kita mendirikan relasi yang baik dulu, kalau ini sudah kokoh maka konfik apapun bisa kita hadapi. Masalahnya, seringkali dalam budaya kita hal ini menjadi satu-satunya cara berelasi. Kita tidak sadar bahwa ada satu cara yang lain –atau kita mungkin sadar tapi tidak mau menghidupi– bahwa relasi juga bisa kuat melalui konflik. Lewat konflik justru relasi dibangun.
Tentunya Saudara setuju bahwa relasi yang tanpa konfik, bukanlah relasi. Kalau relasi Saudara tidak ada konfliknya, atau semua konflik sebisa mungkin dihindari, itu bukanlah relasi yang covenantal, karena relasi ini sebisa mungkin adem ayem dan nyaman, memenuhi kebutuhan saya merasa aman dan nyaman; lalu kalau mulai berbahaya atau agak menyerang, bubar saja. Itu sama sekali bukan relasi covenantal tapi relasi bisnis; cekcok bubar, jadi sebisa mungkin jangan sampai cekcok. Kita harus mengakui, relasi pasar seperti ini sudah menjadi model semua jenis relasi dalam hidup kita. Dan ini sesuatu yang tidak benar.
Coba kita melihat kembali relasi-relasi yang paling baik, yang benar-benar kokoh, dalam hidup kita. Mengapa kokoh? Karena adem ayem tidak pernah konflik atau justru karena ditempa berkali-kali lewat konflik? Besi menajamkan besi. Kalau relasi kita terbatas hanya pada model yang pertama, berarti reasi itu bukan relasi yang covenantal. Dalam relasi yang covenantal, yang bukan untuk memenuhi kebutuhan diri kita, konflik justru akan memperkuat dan bukannya memperlemah. Masalahnya, kita seringkali tidak mau, karena kita punya relasi yang tidak covenantal. Kita ingin merasa nyaman.
Seorang teolog di Gereja Anglikan Inggris ditanya, apa yang diperlukan Gereja pada zaman ini? Dia menjawab: “Gereja pada zaman ini perlu belajar berdebat”. Dia ini orang Barat, di negara Barat, orang Anglikan, yang pastinya jauh lebih jago debat daripada kita; dan dia mengatakan untuk belajar berdebat. Ini masuk akal ketika Saudara mendengar kalimat selanjutnya, dia mengatakan: “Karena yang hari ini seringkali diadakan di Gereja bukanlah debat, melainkan lomba teriak; yang paling keras teriaknya dia yang menang.” Dia membedakan antara lomba teriak dengan debat. Debat itu positif. Di dalam debat, Saudara menyediakan diri untuk diserang; sedangkan lomba teriak itu perang, lu teriak lebih kencang, gua akan teriak lebih kencang lagi supaya gua ‘gak dengar kalimat lu, gua ‘gak menyediakan diri untuk mendengar dan untuk diserang, gua hanya mau menyerang.
Berdebat berarti ada bagian yang kita menyerang, dan ada bagian yang kita mengangkat tangan mengakui salah. Tapi kita seringkali tidak mau berdebat karena kita tidak mau diserang, tidak mau memberikan diri kita untuk merasa tidak nyaman. Jurus yang paling terkenal dari orang Timur –khususnya di Gereja—yaitu waktu ada masalah dengan seseorang, kita panggil pihak ketiga yang lebih senior supaya waktu orang itu bicara, dia mati kutu tidak bisa melawan, lagipula dia tidak tahu kalau kita yang mengatakan. Memang caranya lembut sekali, tapi intinya tidak memberi diri untuk diserang, tidak beda dengan lomba teriak. Yang seperti ini adalah perang. Kalau Saudara perang, waktu menembak dengan senapan sebisa mungkin badan jangan keluar; dan paling bagus tidak menembak sendiri tapi minta artileri atau rudal menghajar, lalu kita aman. Kalau Saudara pikir memakai pihak ketiga, seorang yang dihormati, supaya orang yang ditegur itu tidak tersinggung, itu salah besar. Itu cara yang sama sekali tidak biblikal. Itu bukan sedang melembut tapi justru sangat menyakitkan karena Saudara tidak mendapat kesempatan menjelaskan kejadiannya menurut versi Saudara. D. A. Carson mengatakan, kita manusia harus mengakui satu hal bahwa kita tidak bisa kalah debat dengan diri kita sendiri; maksudnya misalkan kita debat dengan seseorang lalu kita kalah; kemudian setelah pulang, kita pikir lagi harusnya tadi mengatakan begini dan begitu pasti menang, tapi ya, sudahlah, pokoknya dalam pikiran kita, kita sudah menang. Itulah kita yang tidak bisa kalah debat dengan diri sendiri, tapi seandainya kita kemukakan argumentasi kepada orang lain, orang lain bisa langsung jawab balik “tidak begitu, lu salahnya di sini”. Inilah sebabnya kita perlu KTB, perlu persekutuan yang dalam. Jadi satu hal yang bisa membongkar kita, yaitu: kita menyediakan diri untuk diserang atau tidak.
Yang terakhir, di pasal 18 awal kita sudah membicarakan Yonatan memberikan kepada Daud jubahnya, pedangnya, dsb. Tapi Yonatan bukan cuma punya relasi covenantal dengan Daud, yang begitu berkomitmen lalu dirinya langsung defisit, kalah, diserang, dsb., Yonatan juga punya hubungan covenantal dengan ayahnya, Saul yang sinting itu. Kalau Saudara perhatikan pasal 20, pada awalnya Yonatan tidak yakin Saul mau mebunuh Daud. Dia mencari tahu hal ini, dan ketika dia mengkonfrontasi ayahnya, Saul langsung ngamuk sampai menombak dengan tujuan membunuh Yonatan. Selanjutnya di pasal 20:34 dikatakan Yonatan bangkit dengan kemarahan yang bernyala-nyala. Dia juga marah dan tidak senang dengan hal ini, ayat 34b dikatakan: ‘Pada hari yang kedua bulan baru itu ia tidak makan apa-apa, sebab ia bersusah hati karena Daud’ (ayat 34b). Kemudian Yonatan pergi kepada Daud dan selanjutnya ada kisah soal dia memanah sebagai kode kepada Daud. Dia memberi tahu kepada Daud, menyuruh Daud pergi, dan dia tidak ikut pergi. Yonatan tetap tinggal pada Saul. Koq bisa?
Coba Saudara pikirkan alternatifnya. Alternatif pertama: ‘gua berteman sama Daud malah ditombak sama bapak gua; ya sudahlah bertemu Daud, bunuh saja Daud, gua jadi raja dan Saul pasti senang sama gua lagi’. Yonatan tidak melakukan itu. Alternatif kedua: ‘papa ini sinting, gua mau ditombak; ya sudah Daud lu stay sama gua, kita bunuh papa gua, lu jadi raja, gua jadi perdana menteri, selesai urusan’. Yonatan tidak melakukan itu juga. Yang Yonatan lakukan adalah mengatakan kepada Daud: ‘Daud, pergilah, saya stay di sini’. Dan dia stay karena dia loyal; dia loyal kepada sahabatnya dan dia loyal kepada ayahnya yang gila itu. Dan loyalitasnya ini bukan cuma mebuat Yonatan harus merelakan takhtanya kepda Daud, tapi loyalitas kepada ayahnya membuat dia harus memberikan dirinya mati konyol di Gunung Gilboa ketika dalam pertempuran terakhirnya Saul membuat siasat ngawur sehingga Saul, Yonatan, dan kedua saudaranya mati di sana.
Saudara lihat yang terjadi di sini; inilah relasi covenantal. Bagaimana bisa jadi seperti ini? Tidak akan bisa kecuali kita melihat Kristus. Yesus datang ke dunia bukan cuma untuk menjadi Gembala, bukan cuma untuk menjadi raja, bukan cuma untuk menjadi Juruselamat, tapi juga menjadi Sahabat Sejati. Yoh 15:15 “Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, tapi Aku menyebut kamu sahabat”.
Kita sudah membicarakan Kristus itu The Greater Jonathan karena Dialah yang telah memberikan jubah-Nya, pedang-Nya. Tapi di bagian ini kita melihat bahwa Kristus benar-benar The Greater/ The Ultimate/ The True Jonathan, karena Dia adalah Orang yang loyal kepada sahabat-sahabat-Nya dan juga loyal kepada Bapa-Nya di surga. Kepada keadilan Allah Bapa –harus ada yang mati– Dia loyal, dan kepada sahabat-sahabat-Nya Dia mati bagi mereka. Dua bagian Taurat –kasihilah Tuhan Allahmu, kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri—sungguh dipenuhi dalam diri Kristus, karena lewat diri Kristus kita melihat loyalitas-Nya kepada Allah Bapa menjadikan diri-Nya harus mati bagi sahabat-sahabat-Nya.
Apakah Saudara melihat, betapa Allah telah terlebih dahulu mengasihi dengan kasih yang covenantal, bahwa Saudara dicintai bukan karena perbuatanmu tapi karena anugerah, bahwa Allah mau berelasi dengan diri Saudara bukan karena Dia bisa aman dan kita memenuhi kebutuhan-Nya untuk merasa nyaman? Karena hanya sejauh Saudara bisa melihat komitmen Allah dalam relasi-Nya bagimu, sejauh itulah kita bisa berkomitmen dalam relasi dengan orang lain. Sejauh Saudara bisa melihat transparansi Allah dalam relasi-Nya denganmu, sejauh itulah juga kita bisa berkomitmen dalam transparansi dengan orang lain, tidak merasa perlu make-up, tidak merasa perlu bersembunyi, tidak merasa perlu membuat orang lain merasa diri kita hebat. Karena kita tahu Kristus sudah mencintai kita begitu rupa, tidak bisa ditambah lagi, maka tidak perlu tambah. Tranparansi Allah, komitmen Allah, itu menjadi dasar untuk kita transparan dan komitmen di hadapan orang lain. Inilah kekuatan Injil. Ini sebabnya Injil bukan cuma jalan kepada keselamatan tapi kepada kehidupan, kepada Kerajaan Allah. Persahabatan Allah menguatkan kita untuk menjadi sahabat sejati. Dan ketika Saudara menjadi sahabat-sahabat sejati, melangkah ke dunia dengan kuasa Injil ini, dengan itulah akan mulai mengubah orang-orang lain menjadi sahabat-sahabat yang sejati. Itu panggilan kita.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading