Bagian ini berbicara mengenai tabut perjanjian Tuhan, dan melalui kehidupan Daud kita perlu melihat bagaimana datang menghampiri Tuhan. Tabut Perjanjian adalah simbol kehadiran atau penyertaan Allah, yang seringkali kita sebagai orang Kristen memintanya dalam doa, tapi mungkin tidak sungguh-sungguh mengerti artinya mengalami kehadiran Allah.
Dalam 2 Sam 6 Daud baru saja dinobatkan jadi raja atas seluruh Israel, dia baru saja memindahkan ibu kota ke Yerusalem, dan dia baru saja berhasil mempertahankan Yerusalem dari serangan Filistin. Selanjutnya Daud berusaha mengembalikan tabut perjanjian –yang adalah lambang kehadiran Allah– ke Yerusalem. Waktu itu tabut perjanjian sudah 20 tahun tidak berada di tempat semestinya karena 20 tahun lalu dirampas bangsa Filistin (1 Sam 4), dan meski orang Filistin telah mengembalikannya, tabut itu berada di Kiryat-Yearim yang merupakan pinggiran dari teritori Israel. Maka Daud ingin mengambalikan tabut ini ke Yerusalem, kota Daud, pusat pemerintahan. Kita bisa melihat tindakan Daud ini sebagai upaya menjadikan Tuhan Allah sentral dalam negara Israel; tapi lebih dari motivasi berskala nasional itu, Daud juga punya motivasi dalam skala personal.
Daud seorang yang menulis banyak Mazmur; dalam Mazmur 27: “Satu hal yang kuminta kepada TUHAN, itulah yang kuingini: diam di rumah TUHAN seumur hidupku, menyaksikan kemurahan TUHAN dan menikmati bait-Nya”. Dalam mazmur-mazmur yang ditulisnya, kita menemukan satu pola, bagian-bagian yang menunjukkan Daud ingin dekat dengan Tuhan biasanya muncul di bagian akhir atau resolusi dari problem-problem yang ada di bagian depan (dikejar Absalom, waktu Daud berdosa, berperang, dsb.). Maka di sini kita melihat, waktu Daud curhat kepada Tuhan soal problem ini problem itu, solusinya bukanlah minta problem itu ditiadakan tapi mengenai kehadiran Allah dalam hidupnya; sedangkan kita, waktu menghadapi radikalisme kita minta radikalisme dihilangkan, waktu menghadapi terorisme minta terorisme dihilangkan. Bagi Daud, yang paling penting dalam imannya bukanlah hal teologi ataupun etika melainkan kehadiran Allah dalam hidupnya, dan Daud menjadikan ini solusi dari semua problem. Ini hal yang kita perlu lihat juga sebagai alasan Daud ingin memindahkan tabut perjanjian ke Yerusalem. Mungkin karena Daud seorang pemimpin, dia sadar besarnya tekanan dan ancaman yang selalu mengintai dirinya sehingga dia menyadari tanpa kehadiran Allah, dia tidak bisa survive. Kalau dilihat kronologi hidupnya, hampir selalu Daud berada di bawah suatu ancaman, maka dia perlu satu sumber sukacita yang tidak naik-turun sesuai situasi, dia perlu sumber sukacita yang justru makin intens ketika situasi semakin bahaya. Itulah orang yang memiliki kehadiran Allah dalam hidupnya.
Waktu kita menikah dengan seseorang, diri kita semuanya terbuka di hadapan pasangan kita, sehingga pendapat dia atas diri kita punya kuasa yang sangat besar dibanding semua pendapat orang lain. Saudara mungkin mengatakan kotbah saya bagus, tapi Saudara tidak melihat diri saya seutuhnya, Saudara cuma mendengar saya di atas mimbar maka tidak heran Saudara bisa kagum. Tapi kalau Saudara benar-benar mengenal hidup saya hari demi hari, sebagaimana istri saya mengenal saya, maka akan lain sekali. Waktu orang yang tidak mengenal kita memuji atau mengkritik, kita tidak terlalu peduli dan tidak terlalu terpengaruh, tapi kalau pasangan kita yang melakukannya, itu bisa membuat kita tertusuk sampai ke dalam. Sebaliknya, pujian pasangan kita –yang tahu borok-boroknya kita– membuat kita bangga luar biasa karena inilah pujian yang asli. Oleh karena itu, keunikan gambaran ‘pernikahan kita dengan Allah’ adalah bahwa pendapat Allah terhadap kita –Dia mengasihi kita, Dia mencintai kita sebagaimana Dia mencintai Anak-Nya– harusnya menjadi sesuatu yang paling riil dalam hidup kita, sehingga tidak ada satu hal lain pun yang bisa mempengaruhi hal ini. Hal ini tidak akan naik-turun sesuai situasi, tidak akan hilang dengan hilangnya kesuksesan, kesehatan, atau sukacita dari tempat lain, malahan justru dengan kehilangan-kehilangan itu Saudara makin bisa merasakannya lebih intens lagi. Itulah kehadiran Tuhan. Dan tidak heran Daud mengingini hal ini. Ketika kita punya kehidupan yang seperti ini, maka Saudara akan jadi orang yang tidak takut apa-apa dalam hidup, Saudara mampu menerobos semua hal tidak tergantung situasi naik atau turun. Masalahnya, kehadiran Tuhan bukan cuma itu.
Dalam bagian Alkitab ini, kita melihat kehadiran Tuhan melalui tabut perjanjian juga menghasilkan problem, problem yang amat sangat besar. Dan ini juga kita lihat ketika menelusuri cerita tentang tabut perjanjian yang dirampas. Dalam 1 Samuel, tabut ini bisa dirampas karena dipergunakan secara salah oleh Hofni dan Pinehas, anak-anak Imam Eli yang korup dan kerjanya meniduri perempuan-perempuan yang datang melayani. Ketika orang Filistin menyerang, mereka membawa tabut perjanjian ke medan perang supaya bisa menang atas Filistin. Singkat cerita orang Israel kalah, tabut perjanjian dirampas, dan sangat logis bahwa orang Filistin menganggap Allah Yahweh ini ternyata ‘gak jago-jago banget. Kemudian tabut itu ditaruh di kuil mereka, kuil Dagon. Esok harinya Dagon sudah jatuh telungkup, mereka menegakkannya kembali, tapi keesokan harinya lagi Dagon sudah jatuh telungkup lagi dan kali ini tangan serta kakinya patah. Mereka lalu memutuskan menaruh tabut itu di kota lain (Asdod), tapi kemudian yang terjadi adalah wabah di kota tersebut, borok-borok dan benjol-benjol (tumor). Dipindahkan ke kota yang lain lagi, tapi kembali kota itu kena wabah borok dan tumor. Selanjutnya ketika mau dipindahkan ke kota lain lagi, kota tersebut menolak. Akhirnya mereka putuskan untuk mengembalikan ke Israel. Mereka mengatakan: ‘kita mau pastikan apakah ini benar-benar tangan Yahweh atau bukan, caranya kita pakai lembu yang baru selesai menyusui, kalau lembu ini jalan terus ke arah Israel, berarti ini benar tangan Allah Yahweh ‘ (lembu yang baru selesai menyusui cenderung selalu putar balik kembali ke anak-anaknya). Dan kereta itu ditarik terus oleh lembu-lembu sampai ke daerah Israel. Kereta lembu itu pertama-tama muncul ke daerah Bet-Semes, waktu orang-orang di situ melongok melihat ke tabut, langsung pada hari itu 70 orang mati. Akhirnya tabut tersebut ditaruh di Kiryat-Yearim yang adalah daerah pinggiran, dan tidak seorang pun yang mau dekat-dekat dengan kehadiran Allah seperti ini; Saudara tentu bisa mengerti alasannya.
Dua puluh tahun kemudian datanglah Daud, ia mengambil tabut perjanjian tersebut bersama dengan 30.000 orang pilihan, caranya dengan ditaruh di atas kereta lembu. Kereta lembu pada zaman itu tidak ada kusirnya, maka ada 2 orang bersaudara –Uza dan Ahyo– yang menggiring. Ahyo berjalan di depan kereta, dan Uza berjalan di samping. Lalu Uza melihat lembu-lembu tergelincir, tabut perjanjian oleng, maka Uza menadahkan tangannya menyentuh tabut tersebut, dan dia langsung mati dibunuh Tuhan di tempat itu juga. Saudara bisa bayangkan, mungkin setelah itu semua bubar pulang ke rumah masing-masing dengan hati yang syok. Pertanyaannya: mengapa hal ini terjadi?
Para komentator Alkitab sudah menggumulkan hal ini beratus-ratus tahun. Biasanya hal pertama yang mereka sampaikan untuk menjawab ini adalah bahwa di kitab Keluaran, Imamat, Bilangan sudah ada banyak sekali peraturan mengenai pemindahan tabut perjanjian. Antara lain: tabut itu hanya boleh dipindahkan oleh suku Lewi (suku yang dihususkan untuk urusan keimaman), tabut itu harus diusung dengan galah yang dimasukkan ke cincin emas di keempat sudut tabut sehingga bisa diangkat tanpa orang menyentuhnya, tabut juga harus diselubungi kain biru karena tabut bukan untuk jadi tontonan. Dari peraturan-peraturan tersebut, tidak satu pun yang diindahkan Daud; Uza dan Ahyo bukan kaum Lewi, mereka tidak mengusungnya tapi menaruh di atas gerobak lembu, tidak disebutkan mereka menudungi tabut dengan kain, dan terakhir mereka menyentuhnya. Jadi, waktu kita melihat Alkitab, kita seringkali mendapatkan jawabannya: inilah sebabnya Uza mati, karena dia tidak mengikuti peraturan Tuhan sebagaimana mestinya.
Waktu mendengar hal ini, biasanya ada 2 reaksi. Reaksi pertama: ‘inilah sebabnya saya tidak mau percaya Alkitab, mana bisa percaya Allah yang seperti ini, Allah macam apa yang main sembarangan begini, strict amat sih, ini ‘kan cuma refleks natural lihat barang jatuh langsung dipegang pakai tangan masakan langsung digampar sampai mati karena ‘gak ikut peraturan??’ Reaksi yang kedua sebaliknya: ‘O, begitu, wajarlah kalau begitu dia mati, ‘gak heran, ternyata ada aturan yang dia langgar; oke-lah saya mengerti’. Di balik reaksi kedua ini mungkin adalah kita, yang mengatakan dalam kepala kita, ya inilah Tuhan, makanya kita hidup sebagai orang Kristen harus taat peraturan, kalau ‘gak taat nanti kamu digampar sama Tuhan; jadi orang Kristen itu harus hidup yang benar, taat semua yang Tuhan ngomong, lihat itu contohnya Uza.
Dua reaksi ini sama-sama salah, sama-sama tidak mewakili keluasan dan kelimpahan Alkitab, karena kalau kita membaca bagian ini lebih seksama, penyebab kematian Uza bukan terutama pelanggaran peraturan. Tentu saja mereka –dan Uza– melanggar peraturan, tapi paling banter itu cuma gejala dari satu penyakit yang lebih dalam. Penyakit yang lebih dalam inilah yang masalah. Mengapa kita bisa menyimpulkan seperti ini? Saudara ingat, peraturannya bukan cuma satu tapi banyak, dan mereka sudah melanggar sejak menaruh tabut perjanjian itu di atas gerobak lembu. Seandainya sedikit saja melanggar peraturan lalu langsung Tuhan hukum, pertanyaannya mengapa cuma Uza yang mati? Berhubung mereka tidak menggunakan galah untuk mengusung tabut itu, kita bisa cukup yakin mereka memindahkan tabut dari rumah Aminadab ke kereta lembu dengan disentuh juga; maka bukankah harusnya semua yang mati, ketika mereka baru mau mulai memindahkan, bahkan termasuk juga Daud?? Dari hal-hal ini, nampaknya bukan melanggar peraturan yang jadi penyebab matinya Uza. Lagipula, kita tahu satu hal, pemberian peraturan dalam Alkitab konsepnya tidak pernah bahwa peraturan-peraturan itu untuk kita jalankan supaya kita bisa mendapatkan sesuatu, dan kalau gagal kamu mati. Itu bukan tujuan utama peraturan diberikan di seluruh Alkitab. Calvin mengatakan “the third use of the law” bahwa hukum Taurat, peraturan, dan segala hukum yang Tuhan berikan, bukan cuma untuk meyakinkan orang akan dosa-dosa mereka, bukan cuma untuk menahan kejahatan manusia, tapi juga untuk mendidik manusia; dan dia mengatakan mungkin ini justru use yang paling penting dari hukum Tuhan.
Dari bagian ini, Allah sedang mendidik kita sesuatu, yang kita bisa lihat konteksnya waktu membandingkan dengan agama-agama lain di sekitar. Kalau Saudara pernah melihat cara mereka memperlakukan artefak-artefak religiusnya, itu sangat bertolak belakang dengan peraturan Tuhan terhadap tabut perjanjian. Secara umum, waktu artefak religius sedang dibawa, sebisa mungkin semua orang menyentuhnya bahkan kalau bisa mencium, sebisa mungkin semua orang melihat jangan ditutupi, sebisa mungkin orang lempar uang ke situ, sebisa mungkin orang dekat-dekat dan berdoa di dekatnya. Intinya, dalam relik agama-agama lain selalu konsepnya adalah bahwa kuasa sang ilahi ini akan mengalir kalau kamu lebih mendekat. Dari sini kita melihat, waktu diberikan peraturan-peraturan mengenai tabut perjanjian tujuan Tuhan adalah memberitahukan kepada Israel bahwa ‘Saya Allah yang berbeda, Saya tidak bisa disembah dengan cara kamu menyembah ilah-ilah yang lain, cara kamu untuk mendekat kepada-Ku bertolak belakang dengan agama-agama lain’.
Saudara dapat melihat hal ini lebih jelas dalam peraturan yang lain lagi, seperti peraturan untuk mendekat kepada tabut perjanjian. Ketika tabut perjanjian berada di Kemah Suci yaitu di Ruang Mahasuci, hanya satu orang imam yang boleh masuk dan cuma satu tahun sekali, itu pun imam besar pada tahun itu sehingga belum tentu tahun depannya dia boleh masuk lagi. Dan jalan untuk masuk kepada tabut perjanjian hanya satu, satu arah, arahnya dari orang-orang banyak lalu ke tabut perjanjian; tapi di tengah-tengahnya selalu ada mezbah persembahan korban. Waktu si imam besar masuk, dia bukan masuk untuk melihat-lihat tabut perjanjian melainkan untuk memercikkan darah korban tadi ke atas tabut perjanjian. Apa yang sedang dikomunikasikan di sini? Yaitu: kalau di agama lain Saudara bisa mendekat kepada sang ilahi lewat agamamu, lewat devosi dan perbuatan baikmu, Allah Alkitab mengatakan ‘tidak bisa, ada jurang yang tidak terseberangi antara manusia dan Allah, dan bukan cuma kamu tidak bisa menjembatani itu dengan keagamaan ataupun moralitasmu, tapi Aku pun tidak akan simply menjembatani itu dengan begitu saja, harus ada pengorbanan di tengah, harus ada pendamaian, harus ada penderitaan dan darah yang tercurah’. Uza melanggar peraturan, itu jelas; tapi yang menjadi fatal bukan soal pelanggaran peraturan-nya, melainkan hal yang menyebabkan Uza melanggar peraturan tersebut: Uza menolak esensi iman Alkitab ini.
Berita Injil bukan cuma berita positf, ada berita negatifnya, yaitu: ‘tidak seorang pun benar, seorang pun tidak’. Kamu tidak bisa mendekati Allah dengan perbuatan baikmu, sama sekali tidak bisa. Ada satu jurang yang hanya bisa dijembatani oleh sesuatu yang bukan kamu. Uza tidak ada hal ini. Konsep keagamaan Uza adalah konsep keagamaan agama-agama dunia, dia merasa ada kemungkinan untuk medekat berdasar atas dirinya, dia tidak sadar jurang ini hanya bisa dijembatani oleh sesuaitu yang radikal yang bukan dia. Bagaimana kita yakin dalam hati Uza ada semacam pikiran ini? Karena kita melihat instingnya. Hal ini bukan cuma suatu konsep tapi suatu kebiasaan berpikir yang sudah mendarah-daging sehingga itu muncul dalam insting Uza. Mengapa Uza sampai mengarahkan tangannya untuk menahan tabut perjanjian tidak jatuh? John Piper mengatakan: “karena Uza percaya, tangannya lebih layak bagi tabut perjanjian daripada tanah lumpur di bawah”. Uza percaya tanah akan lebih mengotori tabut perjanjian dibandingkan tangannya. John Piper mengajak kita memikirkannya secara teologis, tanah lumpur dibandingkan kita, bagus mana? Tanah itu sesuatu yang menakjubkan, biji-bijian dimasukkan di dalam tanah bisa menjadi pohon; tapi kalau dimasukkan ke badan kita, apa yang muncul?? Pada dasarnya, tanah hari ini berfungsi sesuai dengan yang Tuhan ciptakan. Tentu memang tanah telah terkutuk dan kini muncul semak belukar, tapi itu bukan salahnya, di sini tanah juga berfungsi sesuai dengan yang Tuhan kutuk. Taat mutlak. Di sisi lain, apakah kita hari ini berfungsi sesuai yang Tuhan ciptakan? Apakah kita mengasihi Allah dengan segenap kekuatan, jiwa, pikiran? Apakah kita mengasihi sesama sebagaimana mengasihi diri kita sendiri? Bukan cuma itu, lihat ke bawah, mengapa alam –tanah– bisa terkutuk? Itu gara-gara kita. Ketika Uza menahan dengan tangannya, ini menunjukkan Uza tidak mengerti hal ini, jurang yang tidak terseberangi ini. Inilah sikap hati yang fatal yang mematikan di hadapan Tuhan, dan di sini benar-benar mematikan secara harafiah.
Mungkin Saudara bertanya ‘tapi mengapa cuma Uza, bukankah yang lain bisa juga seperti itu?’ Kembali lagi, masalahnya bukan pelanggaran peraturan tapi sikap hatinya; dan kalau di dalam hati, siapa bisa mengatakan lebih tahu daripada Tuhan, yang di hadapan-Nya semua rahasia hati kita terbuka lebar. Maka dalam hal ini kita tidak bisa menuduh Tuhan melakukan penghakiman yang salah, kita tidak tahu persisnya motivasi yang lain, ini misteri buat kita. Tapi yang Saudara harus lihat, mungkin alasannya hanya Uza yang mati dan hanya pada momen tersebut, bukanlah karena Uza satu-satunya yang paling berdosa tapi karena ini adalah cara Tuhan membangunkan Daud dan bangsa Israel, dan juga kita, melalui kejadian ini: ‘Kamu jangan salah, pendekatan seperti ini fatal, kamu tidak bisa mendekati Saya dengan pendekatan seperti ini’. Mungkin itu sebabnya Tuhan hanya mematikan Uza dan tidak mematikan yang lain. Ini mungkin bukan the problem of the strictness of God melainkan the problem of the grace of God, problem yang seringkali kita tidak mengerti dan salah lihat. Orang suka bertanya: “Katanya waktu Adam dan Hawa berdosa makan buah, hari itu juga akan mati, koq mereka ‘gak mati?” Bagi kita seringkali problemnya adalah strictness of God, ‘Tuhan koq seperti tidak jelas peraturannya, makan buah tapi ternyata ‘gak mati’; tapi sebenarnya itu adalah problem of the grace of God, ‘mengapa tidak semua mati, mengapa Kejadian 3 tidak berhenti di situ dan selesai??’ Nicholas Wolterstorff mengatakan itu karena seringkali Allah memilih untuk menderita waktu Dia menghadapi kita, Dia memilih untuk menangis dan bukan melampiaskan kepada kita. Waktu masalahnya bukan peraturan tapi sikap hati, justru pertanyaan bukan ‘mengapa Uza yang dibunuh’ melainkan ‘mengapa cuma Uza yang dibunuh’. Mengapa kita hari ini tidak mati di hadapan Tuhan waktu kita datang ke hadirat Tuhan tiap Minggu, dan kita tidak pernah punya sense ini?! Mengapa kita boleh menerima Perjamuan Kudus terus menerus di hadirat Tuhan, dan kita tidak mati?? Itu the problem of the grace of God. Karena seringkali Tuhan memilih untuk mederita, demi kita, bukan cuma di atas kayu salib tapi sehari-hari juga demikian.
Kembali ke bagian ini, pendekatan seperti Uza datang kepada Tuhan adalah pendekatan yang fatal, dan lewat kejadian ini, Tuhan ingin mendidik kita tentang hal itu. Mengapa fatal? Karena ujung dari pendekatan “saya bisa mendekat kepada Tuhan atas dasar diri saya” adalah penyelubungan dari suatu dosa mengerikan yang mengatakan “saya bisa mengontrol Tuhan”. Memang tidak ada orang yang mengatakan seperti itu secara terus terang, tapi bukankah itu yang ada di baliknya?
Ada 2 tipe orang, tipe pertama orang yang religius, punya standar moral tinggi, strict sekali dan dia memang bisa menghidupi standar tersebut. Ini bukanlah kekristenan karena orang seperti ini ujungnya cuma 2: kalau kehidupannya berjalan baik, dia akan jadi bangga, sombong, dingin terhadap orang lain yang tidak bisa seperti dia, dan mengatakan ‘inilah KARENA SAYA berhasil melakukan yang Tuhan suruh’; di sisi lain kalau kehidupannya banyak kesulitan dan penderitaan, dia akan marah, kecewa, bingung, ‘saya sudah jadi orang Kristen lama, setiap Minggu kebaktian, memberikan perpuluhan teratur, mengapa Tuhan berikan hidup saya seperti ini’. Atas dasar apa kita bisa menuntut Tuhan, karena saya sudah begini, begini, begini, maka Tuhan harusnya begitu, begitu, begitu? Itu sebenarnya berarti di baliknya adalah “saya bisa mengontrol Tuhan”. Tapi sebaliknya mungkin kita mengatakan ‘saya tidak seperti itu, saya tahu saya gagal, masih banyak dosa, hancur-hancuran, selalu merasa guilty feeling di hadapan Tuhan, merasa diri tidak ada artinya, dsb.’ Tipe kedua ini sebenarnya tidak berbeda dari yang pertama. Secara fenomena sangat berbeda tapi secara dasar sama juga, orang tipe ini sebenarnya mengatakan ‘saya tidak punya kehidupan yang baik KARENA SAYA’. Mengapa saya merasa bersalah? Karena saya. Mengapa saya selalu gagal, sial dalam hidup saya, Tuhan tidak memberkati saya? Ya, karena saya kurang ini kurang itu. Berarti sebenarnya asumsi di baliknya sama, ‘saya tidak melakukan ini, ini, dan ini, makanya saya tidak mendapat itu, itu, itu’. Ujungnya adalah: saya jembatannya, saya kuncinya. ‘Saya yang bisa mendekat kepada Tuhan cuma memang saya gagal makanya saya tidak bisa mendekat kepada Dia’, lalu yang satunya lagi mengatakan ‘saya bisa mendekat kepada Tuhan, saya mendapatkan hidup bagus karena saya mendekat kepada Tuhan’ atau ‘hidup saya koq tidak bagus ya, padahal saya sudah mendekat kepada Tuhan’. Saudara bisa melihat kesamaannya?
Dan Tuhan mengatakan: ‘Bangun! Sama sekali tidak seperti ini gambarannya. Kamu tidak bisa menjadi jembatannya, harus ada sesuatu di antara kamu dengan Tuhan yang bukan kamu’. Ini hal yang perlu kita mengerti waktu melihat Injil. Kalau kita sungguh melihat kehadiran Allah, kehadiran Allah itu bisa punya dampak yang begitu besar dalam hidup kita yang terjadi tidak pernah tanpa fase ini. Waktu Saudara merenungkan bagian ini dan reaksi Saudara ‘jadi bagaimana?? ini salah itu juga salah; sombong sudah pasti salah, tapi rendah hati yang palsu salah juga karena ujungnya juga diri yang menganggap diri harusnya bisa, jadi bagaimana caranya??’ Itulah caranya. Caranya mulai dari situ; itu langkah yang pertama. Inilah yang Daud alami juga. Inilah pertanyaan yang keluar dari mulutnya. Di ayat 9 persis setelah kematian Uza, Daud akhirnya menyadari ‘jurang’ ini, Alkitab mengatakan: Pada waktu itu Daud menjadi takut kepada TUHAN, lalu katanya: "Bagaimana tabut TUHAN itu dapat sampai kepadaku?" (ayat 9). Terjemahan di sini agak ambigu, yang sebenarnya kalimat itu sedang mengatakan ‘kalau begini, lalu bagaimana caranya supaya aku bisa mendapatkannya??’, ini kalimat keputus-asaan. Dan inilah pengalaman kehadiran Tuhan.
Pengalaman kehadiran Tuhan tidak pernah tanpa ini. Ada 2 langkah yang besar, langkah yang pertama Saudara desperate, Saudara menyadari tidak ada caranya untuk Saudara bisa menjembatani gap tersebut, baik dengan perasaan ‘bisa melakukan’ ataupun ‘tidak bisa melakukan’; dua-duanya tidak bisa, jadi harus bagaimana? Tidak ada jalan lain. Daud akhirnya sadar bahwa tidak ada cara yang biasa untuk tabut bisa datang kepadanya. Sebelumnya dia terlalu percaya diri akan kemampuannya untuk connect dengan Allah, sekarang dia mulai sadar itu tidak ada dasarnya sama sekali. Dan justru inilah yang membawa dia lebih dekat kepada Allah. Inilah paradoks Injil; kalimat bahasa Inggris-nya mengatakan: “You don’t need anything for the gospel, you only need nothing, but most people don’t have that”.
Tabut perjanjian ini mewakili Gospel (Injil). Jangan lupa Injil memiliki premis yang sangat negatif, Roma 3 mengatakan “Tidak ada seorang pun yang benar, seorang pun tidak”. Pada dasarnya Paulus mengatakan ‘gak masalah kamu orang yang percaya Alkitab, kamu orang yang bermoral, atau kamu orang kafir yang hidup kacau balau, kamu sama-sama perlu anugerah Tuhan’. Ini jelas ketika Saudara melihat perjalanan tabut perjanjian tadi, tabut ini menghajar orang-orang Filistin –orang kafir–, tapi juga menghajar orang Israel, umat Allah yang terpilih, orang-orang yang percaya Alkitab, yang bermoral, yang menjaga darahnya tidak kawin campur, dsb. Inilah inti dari Injil, dan kalau kita tidak pernah mengalaminya dalam hidup, itu menjadi pertanyaan. Nietzsche pun peka akan hal ini. Dalam bukunya “Genealogy of Morals”, Nietzsche membahas mengenai moralitas manusia dan dia mendapat satu kesimpulan yang sebenarnya sesuai dengan Alkitab (tentu saja Nietzsche banyak yang ngawur), bahwa ada 2 tipe orang di dunia, yang satu bermoral, yang satu lagi tidak (immoral); dan keduanya tidak berbeda karena yang membuat orang bermoral itu ingin bermoral seringkali karena alasan-alasan yang immoral. Misalnya, mengapa orang ingin jadi orang baik? Untuk mendapatkan kuasa atas orang lain, bisa memanipulasi orang lain, bahkan memanipulasi Allah sehingga saya berhak mengatakan ‘Tuhan, saya sudah melakukan ini maka Engkau harus bayar saya sekian, Engkau berutang kepadaku’. Tentu tidak ada yang bilang hal itu terang-terangan tapi pada dasarnya itulah yang kita lakukan waktu kita berpikir tujuan hidup kita mengejar moralitas.
Alkitab tidak membagi dunia jadi orang-orang moral dan orang-orang immoral, karena Alkitab sadar orang-orang yang immoral memang sedang melawan Allah, sedang mau menjadi tuan atas hidupnya sendiri, yaitu dengan cara melanggar peraturan. Tapi orang-orang yang moral seringkali juga melakukan hal yang sama. Mereka juga sedang berusaha menjadi tuan atas hidupnya, tapi caranya bukan dengan melanggar peraturan melainkan justru dengan menaati peraturan. Kita seperti itu. Contoh, seorang istri konseling karena menurut dia suaminya tidak mau belajar Alkitab, tidak mau mendasarkan keluarga di atas Firman Tuhan, meski dia sudah berulangkali berusaha kasih suaminya buku-buku yang baik, rekaman khotbah, dsb. Suaminya malah mengatakan dirinya tidak menghormati suami. Lalu kami bertanya, “Sebenarnya kira-kira mengapa suami ibu menolak belajar teologi atau Alkitab, apa yang dia katakan?” Ternyata suaminya itu mengatakan alasannya adalah dia menginginkan keluarga yang harmonis, tenang, nyaman, tidak ada cekcok gara-gara pembicaraan teologi, dsb. Selanjutnya kami menanyakan kepada ibu ini apa alasan dia ingin membangun keluarganya di atas Firman Tuhan, mengejar banyak khotbah, belajar banyak buku. Ujungnya, ibu ini mengaku alasannya karena ingin keluarga yang harmonis, yang tanpa cekcok. Apa bedanya, Saudara? Akhirnya ibu ini baru bisa mengampuni suaminya dan mulai ada keharmonisan setelah dia sadar dirinya tidak berbeda. Inilah yang seringkali tidak kita sadari, kita tidak mau melihat diri kita tidak berbeda di hadapan orang lain.
Waktu kita tanya kepada diri, mengapa kita mengejar hal-hal yang baik dalam hidup, mengapa kita mau menjadi orang-orang yang moral, mengapa kita melakukan ini dan itu, dan mengapa kita mengejar Tuhan, seringkali ujungnya adalah untuk hal-hal yang bukan Tuhan. Seringkali kita mengejar Tuhan ujungnya untuk apa yang Tuhan bisa bawa bagi hidup saya, dan buktinya begitu mulai ada kesulitan, kesusahan, akhirnya ‘kalau begini buat apa ya, diterusin??’ Jadi siapa yang jadi Tuhan di sini? Inilah ketika kita menginginkan kehadiran yang bukan Tuhan tapi hal-hal lain yang bukan Tuhan, dan kita tidak sadar. Di dalam Alkitab, inilah tes-nya, inilah yang diberitakan dalam cerita tabut perjanjian tadi, tidak ada perbedaan antara orang-orang yang bermoral dengan yang immoral, dua-duanya perlu anugerah dari Allah, dua-duanya ada jurang yang tidak terseberangi antara mereka dengan Allah dan perlu ada sesuatu yang menjembatani yang bukan mereka. Bagi kita orang Kristen, pernahkah Saudara mengalami kehadiran Tuhan yang seperti ini, yang membuat Saudara berteriak seperti Daud “kalau kayak gini, gimana caranya??” Berapa sering Saudara berteriak? Karena kita ini manusia yang sangat gampang lupa. Itu sebabnya tiap Minggu kita perlu diingatkan akan hal ini. Itu sebabnya dalam Perjanjian Lama hal ini muncul lagi dan lagi, bahkan di seluruh Alkitab, bukan cuma di Roma pasal 3.
Hal yang kedua, yang harus dipegang bersamaan dengan yang pertama, bahwa lewat tabut perjanjian Tuhan juga ingin Daud belajar mengenai anugerah. Kita melihat hal ini terjadi ketika Daud meninggalkan tabut itu setelah kematian Uza di rumah Obed-Edom, orang Gat. Gat itu kota Filistin, dan orang ini bernama Obed-Edom artinya keturunan Esau, ini berarti Obed-Edom adalah seorang asing, orang kafir, yang tinggal di Israel. Dan tabut perjanjian Tuhan ini dititipkan kepada dia. Ini sebuah tabut perjanjian yang luar biasa berbahaya, memakan korban ke mana pun tabut itu pergi, baik di Filistin maupun di Israel, tidak memandang kawan maupun lawan; dan tabut ini ditaruh di rumah seorang asing keturunan kafir dan pengkhianat bangsa pula karena dia orang Filistin yang menyeberang ke Israel! Mungkin orang-orang waktu itu berpikir ‘mampus ini si Obed; di Filistin tabut mengakibatkan tumor, di Bet-Semes 70 orang mati, barusan Uza mati digampar’. Tapi apa yang terjadi? Di ayat 12 dikatakan: "TUHAN memberkati seisi rumah Obed-Edom dan segala yang ada padanya oleh karena tabut Allah itu." Bagaimana bisa? Jawabannya sederhana: bukan karena Obed-Edom punya sesuatu tapi karena Obed-Edom tidak punya apa-apa. Itu paradoks Injil.
Adakah persyaratan dari Injil? Ada. Yaitu bahwa Saudara harus sadar itu tidak bersyarat. Pendeta Ivan pernah cerita, seorang anak yang mengatakan bahwa dia ingin percaya Yesus, dia kagum dengan ajaran-Nya, dia sudah membaca kitab Injil dan tahu kalau mau mengikut Yesus, dia perlu menerima-Nya sebagai Tuhan dan Juruselamat. Pendeta Ivan lalu mengajak anak itu berdoa minta Tuhan Yesus masuk ke dalam hatinya. Tapi anak ini katakan, “Tunggu Pak, saya belum siap, tidak bisa secepat itu, itu terlalu gampang masakan minta Tuhan masuk dalam hati lalu selamat dan selesai urusan??”. Lalu Pendeta Ivan dengan bijaksana mengatakan: “Terlalu gampang, ya? Benar, terlalu gampang, buktinya kamu tidak mau”, dan dia melanjutkan: “Bukan terlalu gampang tapi tidak mungkin kalau bukan karena anugerah Allah”.
Kesulitan kita menerima Injil bukanlah kesulitan menerima tapi kesulitan tidak mau menerima Injil sebagai anugerah. Itu kesulitannya. Manusia ingin ada andilnya, ingin ada sesuatu yang dia lakukan sebagai bagian dia, karena manusia ingin sesuatu yang bisa dipegang, sesuatu yang dia bisa mengatakan ‘karena aku sudah ada ini, maka Tuhan akan melakukan itu bagiku’, sesuatu yang dia bisa mengontrol Tuhan. Itulah semua di baliknya. Dan inilah sebabnya Injil di satu sisi sepertinya gampang banget, tapi di sisi lain Saudara tahu itu tidak mungkin. Tidak mungkin kecuali Roh Kudus yang berkarya. Adakah pegangannya? Ada. Pegangannya bukan di Saudara, pegangannya ada di Allah. Kitab Ibrani mengatakan di belakang tirai yang kedua ada tempat mahakudus, di situ tempat tabut perjanjian, lalu Kristus masuk sebagai Imam ke tempat tabut perjanjian, Dia masuk satu kali untuk selama-lamanya bukan dengan membawa darah domba jantan atau lembu tapi dengan membawa darah-Nya sendiri. Ketika Saudara bisa menerima ini, barulah Saudara jadi orang Kristen. Dan ini bukan karena Saudara bisa, tapi karena Tuhan berkarya dalam hati Saudara.
Daud mengerti hal ini pada akhirnya, ada sisi jurang dan ada sisi anugerah, dan dia memegangnya bersamaan. Kita melihat ini di ayat 13, waktu dia kembali mengambil tabut perjanjian dari rumah Obed-Edom, dia sekarang menggunakan pengangkut-pengangkut tabut Tuhan tidak seperti sebelumnya. Dan bukan saja Daud melihat sisi jurang yang harus dibereskan dengan diwakili oleh pengangkutan itu tapi dia juga mengerti sisi anugerah, di ayat berikutnya dikatakan setelah 6 langkah Daud memberikan persembahan korban. Ini bukan persembahan korban dalam arti mengatakan ‘ini Tuhan, silakan, aku sudah berikan ini jadi Engkau sekarang harus memberkati’, tapi ini adalah respon, ini mengantisipasi karya Kristus yang sudah terlebih dahulu melakukannya buat kita. Kita tahu Daud memberikan persembahan sebagai respon dari anugerah, karena ada sukacita yang menyertainya, Daud menari. Terjemahan Alkitab bahasa Indonesia dalam kedua prosesi ini, yang gagal dan yang berhasil, dua-duanya dikatakan ‘Daud menari’. Ini terjemahan yang salah karena kata dalam bahasa Ibraninya berbeda; yang di ayat 5 Daud itu ‘sachaq’ (berpesta, merayakan) bersama-sama dengan bangsa Israel, tapi di ayat 14 memakai kata ‘karar’ yang artinya ‘to whirl’ (berputar) maka diterjemahkan ‘menari’. Dalam prosesi yang pertama tentu saja Daud ikut serta tapi di situ tidak bicara bahwa dia menari, sedangkan dalam prosesi yang kedua ada perubahan, Daud sekarang menari, ada sukacita.
Kalau Saudara mau tahu, apakah Saudara orang Kristen atau hanya orang moralis yang datang ke gereja, inilah bedanya: adakah sukacita ini dalam hidup Saudara, bukan cuma pengalaman sadar bahwa diri tidak ada apa-apanya? Kita tahu sukacita Daud ini sukacita yang sejati, karena Daud dianggap rendah oleh Mikhal –istrinya sendiri– karena dia menari, raja harusnya tidak seperti itu, harus jaga image, harus kelihatan tinggi di atas sana; dan seperti kita sudah bicarakan di awal bahwa pendapat dari istri itu sangat menusuk. Tapi kita tahu sukacita Daud ini sukacita yang genuine, karena Daud tidak peduli. Daud tidak tertusuk oleh kritikan ini karena dia punya satu pengalaman kehadiran Tuhan yang lebih riil, yang tidak tergantung naik-turun situasi, yang tidak tergantung pendapat orang lain. Dia bukan seorang moralis yang mengatakan ‘Tuhan berutang kepadaku’, dia seorang Kristen yang berteriak ‘aku yang berutang kepada-Nya karena apa yang sudah Dia lakukan bagiku!’.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading