Ada yang menarik kalau Saudara membandingkan perenungan Natal dengan perenungan Paskah serta Jumat Agung, atau menyanyikan lagu-lagu Natal dibandingkan dengan menyanyikan lagu-lagu penderitaan Kristus. Lagu-lagu penderitaan Kristus biasanya kita nyanyikan sepanjang tahun di bulan apa pun, sementara lagu-lagu Natal seperti dicadangkan cuma untuk masa Advent dan bulan Desember, atau paling terakhir bulan Januari, lalu setelah itu seakan-akan tabu merenungkan tentang Natal. Memang kita percaya, bagaimanapun Jumat Agung lebih klimaks daripada Natal, meski dunia seperti melihat sebaliknya; bagi dunia, Natal lebih universal daripada Jumat Agung karena mereka lebih sulit mengerti Jumat Agung, sedangkan Natal sepertinya semua orang merayakan. Poin yang saya mau katakan, sebetulnya sebagaimana Jumat Agung dan penderitaan Kristus, kita juga boleh merenungkan Natal sepanjang tahun. Harapannya, perenungan tersebut bukan hanya dialokasikan di bulan Desember saja, lalu setelah masuk Januari, Februari, Maret, April, dan seterusnya, kita mulai lupa dengan makna Natal, kemudian di akhir tahun kita merenungkan lagi makna Natal, dst., dst. Saya pikir, itu bukan spirit yang betul.
Beberapa tahun lalu tema hari ulang tahun gereja kita “Semper Reformanda”, lalu sejak itu kita terus pakai tema dalam bahasa Latin. Tapi bukan istilahnya yang penting, juga bukan untuk keren-kerenan memakai istilah Latin, melainkan makna apa yang kita bisa belajar di balik istilah itu.
Waktu kita membahas tema “Condescendentia Dei” ini, ada 2 bagian Alkitab yang penting, satu di Perjanjian Baru dan satu lagi di Perjanjian Lama. Dalam Perjanjian Baru yaitu Filipi 2, bicara tentang condescension of God, sementara yang dalam Perjanjian Lama mungkin yang paling terkenal adalah Mazmur 113, yang akan kita renungkan.
Istilah ‘condescension’ dalam bahasa Inggris dekat dengan istilah ‘condescending’. Kalau Saudara memahami bahasa Inggris, istilah ‘condescending’ ini sebetulnya negatif; ‘condescending look’ pengertiannya seperti kalau saya dari atas melihat ke Saudara yang dibawah secara memandang rendah (look down) –saya di atas, saya sekolah Teologi, saya pendeta, sedangkan Saudara orang biasa.
Di dalam dunia ini banyak condescending-condescending yang tidak masuk akal. Orang merendahkan orang lain, dengan melihat ke bawah (condescending look), tapi sebetulnya tidak ada dasarnya, sombong ya sombong sendiri, bangga ya bangga sendiri, menghina orang lain. Atau waktu dia menolong orang lain, dia seperti turun ke bawah dengan kesadaran yang sangat kuat bahwa dia sedang merendah, dan orang lain pun musti tahu bahwa dia sedang merendah. Dulu pernah ada satu acara TV memperlihatkan alm. Putri Diana jalan-jalan pakai helm pelindung lalu seperti ikut dalam menjinakkan bom dsb. [dalam rangka pembersihan ranjau darat di Angola]. Untuk apa ya, dia melakukan hal itu; memang dia boleh saja mendukung, tapi untuk apa jalan-jalan seperti itu, harusnya orang lain yang mengerjakan. Kita selalu seperti ada kekaguman ketika orang-orang yang ada di atas, di takhta, di tempat elit, yang seperti mau turun ke bawah, ‘wah, ternyata dia mau mengerjakan hal-hal seperti ini’. Bahkan mungkin kita sendiri juga begitu, kita kadang-kadang pergi ke tempat yang seperti di bawah, misalnya ke luar pulau dsb., lalu merasa seperti kita ini turun sekali. Pernah seorang rekan dalam KKR regional –yang saya percaya dia bicara bukan dengan maksud meninggikan diri — dia bilang, “Kami ini dari Jakarta”; lalu orang yang diajak bicara sepertinya merasa sedikit terhina dan dia bilang: “O, kemarin ada yang datang dari Los Angeles”, seakan-akan orang itu mau bilang ‘lu cuma dari Jakarta doang’ –ditangkap secara salah. Rumit sekali dalam dunia ini; orang tidak bermaksud condescending pun, ditangkap secara salah, yang tidak merendahkan, dianggap merendahkan –sementara ada juga yang ternyata memang merendahkan. Lalu bagaimana kita merenungkan waktu Tuhan sendiri condescend? Apa artinya? Tuhan condescend/ turun ke bawah, atau dalam bahasa Alkitab Mazmur 113, adalah bahwa TUHAN, Allah kita, Dia itu diam di tempat yang tinggi, namun Dia merendahkan diri untuk melihat ke langit dan ke bumi (ayat 5-6, kata sambung ‘yang’ saya ganti ‘namun’).
Pernah dalam satu kebaktian di Hamburg, mereka menerjemahkan ayat ini dalam bahasa Indonesia yang berbeda dengan Alkitab yang biasa kita pakai, mungkin dari Alkitab terjemahan baru; dan dalam terjemahan baru itu memakai istilah ‘Dia membungkuk’; “TUHAN yang ada di tempat yang tinggi, Dia membungkuk …”. Ini terjemahan yang bagus sekali, karena Tuhan tidak seharusnya membungkuk. Beberapa waktu lalu ada cerita tentang salah satu pangeran yang kena tegur, karena waktu dia bicara dengan anaknya, dia membungkuk, dan itu dilakukan di depan umum. Ternyata sikap membungkuk seperti itu tidak diijinkan dalam etika kerajaan. Seorang pangeran waktu bicara dengan anaknya, tidak seharusnya membungkuk atau seperti berlutut. Itu tidak pantas sama sekali, itu bukan sikap seorang pangeran. Menurut etika kerajaan yang ada di dalam dunia ini, seorang pangeran tidak seharusnya membungkuk waktu bicara, bahkan dengan anaknya sendiri. Mungkin harusnya dia bicara secara condescending atau look down dari atas ke bawah. Intinya, waktu pangeran merendahkan diri, itu tidak cocok dengan sikap orang kerajaan. Tapi waktu kita membaca dalam Alkitab, justru itulah yang dilakukan Tuhan terhadap kita. Tuhan melakukan condescension itu, supaya kita boleh dijumpai oleh Tuhan.
Kalau kita membaca cerita Natal, di situ Tuhan menjadi bayi. Itu adalah tindakan Tuhan turun ke bawah. Dia betul-betul turun ke tempat yang bawah, Dia lahir di tempat yang sangat bawah, dan Dia juga berjumpa dengan orang-orang yang ada di bawah. Tetapi orang-orang yang tetap mau berada di atas, mereka itu tidak berjumpa dengan Tuhan, karena mereka terlalu tinggi. Mereka terlalu tinggi untuk posisinya Tuhan yang ada di bawah. Herodes? Tuhan tidak ada di sana. Pilatus? Tuhan tidak ada di sana. Pemimpin-pemimpin agama, orang-orang Farisi, Mahkamah Agama serta orang-orang keren di dalam dunia keagamaan orang Yahudi? Tuhan juga tidak ada di sana –karena Tuhan terlalu rendah turunnya. Mereka ada di atas, Tuhan ada di bawah. Padahal Tuhan ada di tempat yang tinggi –di tempat yang mahatinggi— sebagaimana dikatakan malaikat “Gloria in excelsis Deo”, tapi Dia turun ke bawah untuk memberikan damai kepada umat manusia, damai yang bisa dikatakan diterima oleh orang-orang yang ada di bawah.
Saya kuatir dengan kehidupan kita yang terus-menerus bergerak mau ke atas. Di tempat atas sepertinya pemandangan lebih bagus; orang yang di atas melihatnya ke bawah, seperti mendapat overview. Sekarang ini ada drone sehingga orang bisa melihat dari atas, satu pemandangan yang sangat menyenangkan. Orang senang sekali mendapatkan condescending look yang dari atas itu. Waktu di atas, dia pikir bisa melihat semuanya ke bawah, dan dia menikmati pandangan seperti itu. Tapi yang celaka, di tempat itu mungkin Tuhan tidak ada.
Orang terus-menerus naik ke atas, mencapai dan mencapai kedudukan yang di atas itu, tapi ternyata di sana tidak ada Tuhan. Ini kalau dalam bahasa Jawa namanya ‘sisipan’, maksudnya yang satu pergi ke kanan, yang lain ke kiri, jadi tidak ketemu. Tuhan turun ke bawah, tapi manusia naik ke atas, akhirnya tidak ketemu Tuhan. Di atas ada apa? Ada condescending look, ada penglihatan ke bawah, tapi itu tempat yang tidak ada Tuhan. Tempat yang ada Tuhan adalah tempatnya para gembala, tempatnya Maria, tempatnya orang-orang mandul yang tidak bisa punya anak –Sara, Hana, mamanya Simson, dan banyak sekali orang-orang dalam Perjanjian Lama—ibu-ibu yang mandul yang tidak ada pertolongan, para janda, dst. Itulah orang-orang yang dihampiri Tuhan ketika kita membaca dalam cerita Natal, bukan orang-orang yang besar, bukan orang-orang yang berada di tempat atas. Pertanyaannya, kita sendiri menempatkan diri di mana? Saudara dan saya ini berada di mana? Kalau kita tertarik sekali dan berusaha untuk menduduki tempat yang di atas, sebetulnya kita adalah orang-orang yang tidak mengerti makna Natal.
Dan sekali lagi, saya kuatir dengan perenungan yang cuma bulan Desember. ‘Ya, kita diingatkan Tuhan turun ke tempat yang rendah, yang rendah’, lalu orang di bulan Desember banyak melakukan aktifitas-aktifitas yang di tempat rendah, untuk kemudian bulan Januari, Februari, Maret, dst., ke atas lagi, kemudian bulan November mulai masa Advent kembali turun dan turun lagi, nanti bulan Januari, Februari, naik lagi. Ini Kekristenan apaan? Kekristenan yang main-main. Kekristenan yang munafik. Kekristenan yang pura-pura. Kekristenan yang cuma satu tahun sekali penghayatannya. Kekristenan yang sebetulnya tidak mengenal Tuhan, karena ini Kekristenan yang cuma dihidupi satu bulan, atau bahkan mungkin satu minggu saja.
Di tempat yang rendah ada perspektif yang indah, yang tidak ada kalau kita cuma melihat dari atas. Saya bukan mengatakan Tuhan perlu pengayaan perspektif ini, karena Dia adalah Tuhan, Dia mahatahu, Dia bisa melihat dari segala sudut penjuru tanpa harus turun, tapi perkataan ini lebih ditujukan untuk kita manusia. Tadi saya bilang tentang drone; drone membuat orang bisa ambil foto dari atas. Namun bagaimanapun keindahan pemandangan dari atas, melihat manusia yang paling menarik adalah ketika kita jadi satu eye level dengan dia. Pangeran yang kena tegur etika kerajaan tadi, dia sebetulnya melakukan hal yang benar, karena dia mau melihat anaknya dari same eye level, yang adalah pandangan paling bagus. Kita bukan melihat orang dari belakangnya. Kita bukan melihat orang dari atasnya. Melihat orang dari atas, kelihatan semua sama, semua bundar dan warnanya hitam karena kita orang Asia –kecuali yang pakai cat. Tidak ada pemandangan yang lain kecuali itu saja. Semuanya sama. Tidak ada yang terlalu menarik. Tapi waktu kita bisa menjumpai manusia, melihat mukanya face to face, bercakap-cakap, melihat ekspresinya dan kita berekspresi balik, itulah yang disebut relasi. Dan Tuhan kita melakukan itu. Waktu Dia turun ke bawah, Dia membawa serta spirit ini, spirit Natal, supaya kita tidak usah berlelah-lelah untuk naik ke atas, supaya kita tidak usah capek berkompetisi, supaya kita tidak usah dengan seluruh daya juang berusaha merangkak ke atas. Semua itu tidak perlu. Kabar baiknya, adalah bahwa Saudara dan saya boleh tetap di tempat yang bawah, tidak usah naik-naik ke atas.
Zakheus susah-payah naik ke atas mau melihat Yesus, karena sepanjang hidupnya dia selalu dipandang rendah oleh orang lain. Pertama, karena dia dianggap sampah masyarakat, antek-antek Romawi, koruptor, tukang pajak yang tidak jujur, cuma mau uang kita, tidak cinta dengan bangsa kita, kaki tangan Romawi. Selain itu, dia juga pendek secara harfiah, sehingga setiap kali orang berjuma dengan dia, melihatnya ke bawah. Zakheus itu sulit pergumulannya. Dan dia tahu kekayaannya tidak bisa menolong dirinya; itu sebabnya dalam cerita tersebut Saudara tidak membaca Zakheus menyuap orang supaya mengangkat dia dengan tandu atau membentangkan karpet merah supaya dia bisa jalan dsb. Zakheus tahu, uangnya tidak bisa menolong dirinya, uangnya tidak bisa menyelamatkan dirinya, juruselamatnya bukan uang. Dia tahu persis, uang bukan jawabannya. Tapi, meski sadar uang bukan juruselamat, dia masih berusaha naik ke atas; dia naik pohon untuk bisa melihat Yesus. Dia biasanya di-look down, tapi sekarang dengan naik pohon, paling tidak dia bisa berada di tempat yang tinggi, tidak sembarangan di-look down, bahkan mungkin dirinya sekarang yang bisa dapat condescending look –atau setidaknya dirinya lebih dipandang oleh Yesus karena berada di tempat yang agak tinggi itu.
Sebagian dari kita mungkin menyanyikan lagu Sekolah Minggu yang teksnya mengatakan: “Zakheus, turunlah, Saya mau makan di rumahmu.” Yesus bilang, ‘turun saja, turun dari situ, tidak perlu naik-naik ke sana seakan-akan Tuhan tidak bisa melihat kamu, seakan-akan Tuhan tidak bisa tahu keadaanmu sampai kamu harus loncat-loncat ke atas; tidak perlu, turun saja, Saya akan makan bersama dengan kamu, bukan karena kamu di tempat tinggi, bukan karena kamu tempatnya keren di atas, kamu tetap pendek, terima saja keadaanmu yang memang pendek, yang ditolak masyarakat, yang dibenci masyarakat, tapi Aku mengasihi engkau karena Aku datang untuk menyelamatkan orang yang berdosa’. Zakheus menerima undangan ini. Bukan Zakheus yang mengudang Yesus tapi Yesus yang mengundang Zakheus. Yesus yang sama, mengundang kita yang ada di tempat bawah, kalau Saudara dan saya memang ada di bawah. Tapi kalau kita di atas, yah, memang kayaknya Yesus bukan datang untuk kita. Yesus tidak ada di tempat yang terlalu tinggi, terlalu keren; Yesus tidak ada di sana.
Penantian dari Yohanes Pembaptis yang menyuruh murid-muridnya bertanya kepada Yesus: “Engkaukah mesias itu, yang harus kami nantikan?”, di situ Yesus menjawab: “Orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta dtahirkan …”. Setelah akhir dari pembicaraan itu, Yesus mengatakan tentang Yohanes Pembaptis, Dia bilang: “Kamu cari apa di padang gurun? Cari orang yang pakaiannya halus? Cari kemewahan? Cari uang? Itu Herodes; pergi saja ke istananya. Kalau cari kemewahan, tidak ada di Yohanes; Yohanes bukan menjanjikan uang/kemewahan, bukan menjanjikan bahwa uang adalah juruselamat. Kalau mau cari barang yang fine, pergi saja kepada Herodes, istananya mewah, mungkin juga instragamable” –yang terakhir ini bukan Yesus yang katakan, cuma kontekstualisasi modern. Lalu Yesus bilang: “Kalau cari nabi, itu betul; bahkan Yohanes lebih besar daripada nabi”. Yang boleh diharapkan dari seorang nabi, dia menyampaikan isi hati Tuhan. Yesus mengonfirmasikan posisi Yohanes dalam Kerajaan Allah, bahwa dia itu nabi, dan bahkan lebih daripada nabi, karena dia mempersiapkan jalan kedatangan Mesias, Kristus.
Apa yang dinantikan orang pada masa Natal? Ada perdebatan di Jerman soal kapan ‘Christmas market’ boleh dimulai, yang biasanya dikaitkan dengan minggu-minggu Advent. Mereka memperdebatkan mengapa ‘Christmas market’ mulainya makin lama makin awal, belum juga minggu Advent tapi sudah dimulai. Lalu ada negara bagian yang mati-matian mempertahankan supaya mulainya tidak boleh lebih awal, ada juga negara bagian yang mulai lebih dulu, dsb. Dan ada juga orang-orang Kristen yang memberikan tanggapan ‘ini tidak cocok dengan makna Natal, cuma mau jualan doang’, lalu ada yang mengatakan, ‘justru itu, karena mereka maunya jualan doang, ngapain sih kita ngurusin orang jualan??’ Memang mereka tidak peduli dengan makna Natal; yang mereka pedulikan adalah yang disebut ‘Christmas moods’ (suasana natal). Saya bukan mau mengajarkan bahwa kita musti merayakan Natal TANPA segala bentuk suasana Natal sama sekali; kalau seperti itu, jadi tidak boleh ada pohon Natal, tidak boleh nyanyi-nyanyi lagu Natal, tidak boleh ada acara ‘candle light’, dsb., lalu kebaktiannya harus segaring-garingnya. Merayakan Natal without any Christmas moods sama sekali, sepertinya memang tidak mungkin, dan bukan itu poinnya. Tapi kalau kita merayakan Natal lalu mengharapkan yang terutama adalah suasana Natalnya, lebih dari menghayati makna Natal sebenarnya, maka campuran-campuran itu kemudian masuk, baik itu Christmas market, atau mungkin reuni keluarga makan kalkun, pertemuan ini dan itu, diskon ini dan itu, dan semua urusan-urusan semacamnya. Semuanya itu sangat mengalihkan orang dari merenungkan makna Natal yang sebenarnya, apa yang dilakukan Yesus waktu Natal, apa sebetulnya yang terjadi di dalam Natal.
Jadi, meskipun kita merayakan Natal bukan tanpa Christmas moods, kita jangan kehilangan inti berita Natal sebenarnya ada di mana, lalu Tuhan mau kita hidup seperti apa. Mazmur 113 yang kita baca ini adalah seri mazmur hallel yang pertama; dan pada waktu Yesus melakukan Perjamuan Terakhir, Mazmur ini mungkin mazmur pertama yang Dia nyanyikan sebelum Dia naik ke atas kayu salib. Yang mau saya katakan, Mazmur ini bukan hanya berkait dengan Natal, tapi juga dengan kematian Kristus. Memang kita tidak bisa membicarakan Natal tanpa kematian, kita juga tidak bisa membicarakan kematian tanpa kelahiran; dua-duanya meskipun berbeda, kita tidak bisa pisahkan.
Apa yang kita pelajari dari mazmur 113? Di situ ada ajakan untuk memuji Tuhan; dan yang memuji Tuhan disebut hamba-hamba Tuhan. Ini bukan hamba-hamba Tuhan dalam pengertian para pedeta seperti saya, Pak Jethro, Pak Heru, dsb.; semua orang yang mau melayani Tuhan, beribadah kepada Tuhan, adalah hamba-hamba Tuhan. Dalam hal ini bahasa Indonesia istilahnya tidak langsung, yang dipakai adalah istilah ‘ibadah’. Istilah ‘ibadah’ ini, akar katanya sama dengan ‘abdi’, tapi kita tidak mengatakan ‘abadah’ melainkan ‘ibadah’, maksudnya mengabdi, melayani, to serve. Dalam bahasa Inggris, istilah ‘ibadah’ adalah ‘service’, yaitu kebaktian, pengabdian, yang kaitannya dengan serving God. Di dalam ibadah, kita melayani Tuhan. Kalau Saudara datang ke gereja dengan mentalitas terus mau dilayani tapi tidak pernah tertarik melayani Tuhan, Saudara belum mengerti artinya ibadah Kristen. Saya bukan mengatakan tidak ada fase seperti ini dalam kehidupan kita –memang pasti ada fase pertumbuhan seperti ini—tapi kalau kita tidak bertumbuh, terus berada dalam keadaan yang mau dilayani, berarti kita belum mengerti Kekristenan. Yesus datang bukan untuk dilayani melainkan melayani; dan waktu Dia memanggil murid-murid-Nya, Dia mau supaya Saudara dan saya juga belajar untuk melayani.
Waktu beribadah kepada Tuhan, kita bukan mau dilayani melainkan kita melayani, maka di sini dikatakan: “Pujilah, hai hamba-hamba Tuhan –hai abdi-abdi Tuhan, hai pelayan-pelayan Tuhan”. Poinnya, kita tidak bisa mengenal Tuhan terlepas dari perspektif ibadah. Kita tidak bisa mengenal Tuhan tanpa sikap beribadah. Theology of praise mutlak harus ada untuk mengenal Allah.
Ada beberapa teolog yang mencoba mengembangkan teologi sistematika dari perspektif teologi liturgis, salah satunya Geoffrey Wainwright. Dia membicarakan pengenalan akan Allah dari perspektif doksologi, dari perspektif ibadah, dari perspektif liturgis, dsb. Saya pikir, itu sangat penting; karena kalau kita mengenal Allah tanpa sikap ibadah, tanpa teologi pujian, kita akan gagal mengenal Tuhan, akhirnya bukan mengenal Tuhan melainkan masuk ke dalam konsep-konsep imajinasi sendiri tentang Tuhan yang sebetulnya bukan Tuhan. Orang-orang seperti ini akan gampang kecewa dalam perjalanannya mengikut Tuhan. Entah kecewa terhadap Gereja, kecewa terhadap hamba Tuhan, kecewa terhadap orang Kristen, lalu tinggal satu langkah lagi jadi kecewa terhadap Tuhan. Tuhan yang kepadanya dia kecewa, itu tuhan yang palsu, bukan Tuhan yang asli. Jadi dia kecewa dengan buatan pikirannya sendiri. Betapa kasihan, karena dia tidak mengenal Tuhan yang benar.
Mazmur 113 ini diawali dengan ajakan untuk memuji Tuhan. Waktu kita memuji Tuhan, beribadah kepada Tuhan, maka kita mengenal Tuhan, melihat kemasyhuran Tuhan, kebesaran-Nya, keterpujian-Nya, kemahatinggian-Nya yang mengatasi segala bangsa, kemuliaan-Nya yang mengatasi langit. Kalau kita membaca bagian ini lalu dikaitkan dengan pandangan-pandangan bangsa-bangsa di sekitar Israel pada masa itu, di sini ada nuansa polemik. Mengapa? Karena bangsa-bangsa lain juga mengklaim bahwa allah yang mereka sembah juga adalah allah yang tidak tertandingi, allah yang melampaui semua yang lain, allah yang unik; tapi orang Israel kemudian mengatakan “Dia tinggi mengatasi segala bangsa, kemuliaan-Nya mengatasi langit” –bukan hanya segala bangsa tapi juga langit. Dalam konsep agama-agama saat itu, allahnya adalah allah teritorial, sehingga kekuatan allah tersebut adalah di tengah bangsa tersebut, sangat berhubungan dengan tanah tempatnya berada, atau mungkin sedikit lebih besar tergantung seberapa besar daerah jajahannya. Itu sebabnya orang Babilonia, karena tanahnya besar maka mereka percaya allah mereka berkuasa sampai ke seluruh tanah tersebut. Sedangkan Israel percaya bahwa Allah adalah Allah yang menciptakan langit dan bumi. Seluruh isinya adalah milik Allahnya Israel, bukan cuma bumi, tapi juga langit, maka di Mazmur ini kita membaca: “TUHAN tinggi mengatasi segala bangsa”. Bangsa apapun, dewa mereka, kepercayaan mereka, ideologi mereka, jalan hidup mereka, tuhan mereka, allah mereka, semuanya itu di-atas-i oleh ketinggian Tuhannya Israel. Kemuliaan-Nya mengatasi segala langit.
“Siapa seperti TUHAN, Allah kita, yang diam di tempat yang tinggi?” (ayat 5). Kita senang merayakan superioritas seperti ini; tapi supaya Kekristenan jangan disalah mengerti sebagai bentuk triumphalisme, bagian ini langsung disusul ayat berikutnya: “yang merendahkan diri untuk melihat ke langit dan ke bumi” (ayat 6). Orang lebih suka ayat yang ke-5, lalu kita bilang “Tuhan kita ada di tempat yang tinggi, maka kita orang-orang percaya juga ada di tempat yang tinggi karena kita created after the image of God!” Tapi jangan lupa, bagaimana dengan ayat 6 yang mengatakan Dia merendahkan diri untuk melihat ke langit dan ke bumi? O, kalau bagian itu, Dia sendiri saja yang turun ke bawah, saya nonton saja, sedangkan kalau Dia di tempat yang tinggi, saya mau menyertai; Yesus naik ke atas kayu salib, Dia sendiri saja, saya tidak usah pikul salib, tapi waktu Dia di atas kayu salib memberikan kepada saya kehidupan, kebahagiaan, berkat, sukses, itu saya mau –ini bukan Kekristenan. Ini Kekristenan palsu. Itu sama dengan di bagian ini, kalau kita cuma tertarik hal-hal yang di atas, yang elit, karena Tuhan kita katanya ada dan diam di tempat yang mahatinggi, tapi kita tidak tertarik dengan pembicaraan ayat yang ke-6 bahwa Dia merendahkan diri untuk melihat ke langit dan ke bumi.
Dalam terjemahan Luther, dia memakai istilah “auf das Niedrige sieht im Himmel und auf Erden”. Dia melihat kepada orang-orang yang rendah, kepada Maria, gembala, Zakheus. Bagaimana dengan kita? Pertama, kita ini ada di dalam kelompok orang yang rendah tersebut atau bukan? Kalau pinjam istilahnya Luther, “Dia melihat orang-orang bawah”; Saudara dan saya ini orang-orang bawah atau bukan? Kalau kita tidak mau terima bahwa kita ini orang-orang bawah, ya, sepertinya Tuhan tidak melihat kita –menurut ayat ini– karena Tuhan tidak melihat Herodes, Pilatus, dan orang-orang seperti itu; Tuhan melihat yang di bawah. Kita ini di bawah atau di atas? Yang di atas, tidak dilihat oleh Tuhan sebenarnya. Tapi dunia itu menarik, dunia menjanjikan injil yang di atas. Orang berlomba-lomba untuk berada di atas, padahal itu bagian yang tidak ada Tuhan! Tuhan tidak ada di sana.
Kedua, setelah kita menempatkan diri sebagai orang-orang yang ada di bawah, yang dilihat oleh Tuhan, kalau kita betul-betul orang Kristen, yang mengikut Kristus, Tuhan juga mau kita melihat ke bawah, bukan melihat ke atas. Melihat ke bawah bukan dalam pengertian condescending atau look down, tapi dalam pengertian condescendentia Dei seperti Tuhan. Tuhan itu waktu melihat ke bawah bukan menghina. Waktu Dia menjadi manusia, Dia bukan look down (memandang rendah); dalam hal ini terjemahan dalam Alkitab bahasa Indonesia ‘Dia merendahkan diri untuk melihat ke langit dan ke bumi’. Kalimat ini sepintas seperti aneh, koq, merendahkan diri untuk melihat ke langit, tapi memang itu kalimat yang betul; waktu Tuhan melihat langit, itu adalah perendahan diri, karena Tuhan ada di atasnya langit. Tuhan itu tempatnya di tempat yang mahatinggi, maka waktu ayat ini bilang ‘Tuhan melihat ke langit’, sebetulnya itu sudah melihat ke bawah, karena Tuhan ada di atasnya langit, langit terlalu rendah di hadapan Tuhan. Apalagi waktu Tuhan melihat ke bumi. Dan Dia melihatnya bukan seperti saya melihat kepada Saudara yang duduk di bawah, tapi Dia betul-betul turun jadi the same eye level dengan manusia. Dia menjadi bayi. Dia bahkan turun lebih rendah daripada Adam.
Kalau Saudara membaca kitab Kejadian, waktu Adam diciptakan, menurut pembacaan yang sederhana kita pasti akan tafsir Adam itu sudah dewasa, bukan baru 3 bulan, bukan bayi. Yesus, waktu turun menjadi manusia, Dia bahkan lebih rendah daripada Adam, Dia turun sebagai bayi –berarti lebih bawah lagi daripada Adam. Waktu Adam diciptakan, Tuhan sudah mengatur semuanya seperti seorang ibu yang menantikan kelahiran bayinya; ranjang bayi sudah ada, pakaian bayi sudah ada, botol susu sudah ada, semuanya sudah komplit tersedia, semua sudah beres, menunjukkan betapa Tuhan mencintai manusia. Tapi waktu Yesus turun, tidak ada satu pun yang tersedia, tempat untuk tidur pun tidak ada. Waktu Yesus turun ke dunia mengunjungi Saudara dan saya, tidak ada yang siap sama sekali, tidak ada yang tertarik untuk menyambut Dia, tidak ada yang tertarik untuk mengingat Dia. Dan itu yang dilakukan Tuhan kepada kita, Dia turun ke tempat yang paling rendah. Itulah artinya ‘Dia melihat ke bumi’. Dia turun sebagai bayi, menjadi sama dengan kita, bahkan lebih rendah daripada kita.
Namun ayatnya tidak berhenti di sini; kalau cuma turun ke tempat yang rendah lalu merayakan kerendahan, itu namanya perayaan orang-orang rendah, tidak ada yang mulia dengan kerendahan itu sendiri. Di sini fokusnya ada pada Kristus yang mengajak kita untuk melihat dari perspektif ini: bahwa Dia turun ke tempat yang rendah, untuk ‘menegakkan orang yang hina dari dalam debu, mengangkat orang yang miskin dari lumpur, untuk mendudukkan dia bersama para bangsawan, bersama-sama dengan para bangsawan bangsanya’ (ayat 7-8). Kekristenan bukanlah cuma satu gerakan Tuhan turun di tempat yang rendah, menjumpai orang rendah, lalu kita bersama-sama Tuhan yang turun ke tempat rendah itu selama-lamanya di tempat rendah. Yang seperti itu bukan Kekristenan. Kekristenan bukan simpati atau solidaritas kepada orang-orang yang rendah, orang-orang miskin, lalu terus berada dalam keadaan seperti itu di sana, tidak naik-naik. Yang susah, susah terus; yang pergumulan, pergumulan terus tidak selesai-selesai; yang ada kesulitan, terus kesulitan; yang tidak bisa melayani Tuhan dan tidak bisa mengasihi Tuhan, tetap tidak bisa mengasihi Tuhan selama-lamanya. Itu bukan Kekristenan. Kalau Tuhan turun ke dalam kehidupan kita, Dia pasti akan mengangkat kita.
Tuhan mengangkat Maria, Dia mengangkat Sara, Dia mengangkat Hana –perempuan-perempuan mandul. Kita sulit mengerti pergumulannya perempuan mandul pada zaman dulu. Orang yang mandul pada zaman itu, sudah tidak ada harapan, dianggap kena kutuk. Dalam cerita Hana, yang sangat banyak dikaitkan dengan Maria, Hana yang tidak bisa punya anak itu hatinya sakit sekali. Dia datang beribadah, bergumul, minta didoakan dan Imam Eli memberkati dia, menyuruhnya pergi dengan damai sejahtera Tuhan; dia bergumul dalam kesulitannya karena tidak bisa mendapatkan anak dan terus-menerus dihina. Sulit sekali kehidupan seperti itu. Tapi Tuhan justru memanggil orang-orang yang tidak ada potensi seperti ini.
Tuhan mengerjakan pekerjaan-Nya melalui orang-orang yang tidak punya potensi. Sara bukan orang yang fruitful, Hana juga bukan orang yang subur rahimnya. Mereka orang yang tidak bisa punya anak. Tapi Saudara lihat dalam Perjanjian Lama, seringkali pekerjaan Tuhan hadir justru melalui ketidakmungkinan seperti ini. Dari Sara dan Abraham, yang lahir adalah Ishak; dari Hana, yang lahir adalah Samuel. Dan di dalam cerita Maria, yang lahir adalah Yesus Kristus. Memang tidak dicatat Maria mandul, tapi ketidakmungkinannya sama, karena bagaimana mungkin seorang perempuan muda yang belum menikah bisa punya anak?? Namun Tuhan menghadirkan pekerjaan-Nya dari keadaan yang seperti ini, maksudnya mau mengatakan bahwa Dia tidak bergantung kepada hubungan manusia. Dia tidak bergantung kepada perencanaan Saudara dan saya. Dia tidak bergantung kepada usaha kita, kalkulasi kita cukup atau tidak cukup. Dia tidak bergantung kepada potensi kita, ini orang yang berbakat atau tidak berbakat, ini gereja yang ada uang atau tidak ada uang, ini orang yang bisa kasih perpuluhan atau tidak bisa kasih persembahan, dsb. Tuhan tidak bergantung kepada itu semua. Kalau Tuhan bergantung pada semua itu, ya, tidak ada cerita Sara, cerita Abraham, cerita Simson, cerita Samuel; semuanya jadi omong kosong. Tetapi Natal merayakan satu kebaharuan, ada harapan (hope) yang diberikan oleh Tuhan, justru dari ketidakmungkinan itu.
Yang disebut ‘hope’ itu apa? Yaitu kita justru berharap ketika menurut perhitungan manusia tidak ada dasar lagi untuk berharap. Dalam bahasa Inggris, Abraham dikatakan ‘hope against hope’, dia berharap melawan pengharapan, maksudnya melawan pengharapan dunia. Kita seringkali tertukar waktu bicara tentang hope; kita bilang ‘pengharapan’ padahal bukan pengharapan Kristen, mungkin cuma optimisme manusia. Kita hitung-hitung, kayaknya saya lumayan ada potensi bakat, ada uang, lalu bilang ‘saya percaya …’ . Tapi itu bukan percaya Kristen. Orang dunia juga bisa percaya kayak begitu. Waktu Abraham percaya, meskipun tidak ada dasar lagi untuk percaya, sudah tidak mungkin namun masih percaya, barulah itu namanya ‘percaya Kristen’. Ketika masih dikelilingi berbagai macam resources, berbagai macam pendukung hidup, lalu Saudara percaya, itu mungkin percaya Kristen tapi mungkin juga bukan; mungkin hanya optimisme atau keyakinan diri, bukan percaya. Sedangkan Maria waktu mengandung, itu betul-betul dari ketidakmungkinan; dia bukan berhubungan dengan Yusuf lalu mengandung bayi Yesus. Tuhan tidak pakai cara itu. Kalau Tuhan bisa memberikan anak kepada yang mandul, maka kepada yang tidak menikah atau belum menikah, Tuhan juga bisa memberikannya. Dengan demikian, waktu kita membaca Mazmur 113, perenungan Tuhan yang turun ini bukanlah tanpa sejarah keselamatan. Ketika Tuhan turun menghadirkan peristiwa Natal kelahiran Yesus, ini bukan sesuatu yang tidak ada pendahulunya sama sekali; sebetulnya prinsip ini sudah dilakukan sejak lama, yaitu ada kelahiran, kelahiran, kelahiran, … dan kelahiran Yesus, yang tentu saja klimaksnya. Tuhan sudah pernah bekerja melalui perempuan-perempuan mandul itu, mereka diubahkan menjadi ibu anak-anak yang penuh sukacita. Dari satu keadaan yang tidak ada pengharapan, Tuhan memberikan kegenapan janji-Nya.
Saudara bisa bayangkan, Tuhan waktu itu sudah tidak bicara 400 tahun. Umur manusia anggaplah 80 tahun, maka 400 tahun berarti 5 kali umurnya orang, dan selama itu Tuhan tidak bicara apa-apa; jadi siapa yang masih bisa ingat apa yang dikatakan oleh Abraham, Yesaya, Mikha? Itu seperti omong kosong; kita sudah tunggu-tunggu, tetap tidak ada; sudah keturunan ke-4 bahkan ke-16, tetap tidak datang juga. Ini seperti zaman sekarang kita mengatakan Yesus akan datang kembali, lalu orang bilang, ‘Mana ‘gak datang-datang?? Sudah 2000 tahun tetap tidak datang-datang, jangan-jangan itu mitos kekristenan, you wish, lu ngarep Yesus datang, padahal itu semuanya mitos’.
Banyak orang kehilangan pengharapan, kehilangan iman. Secara manusia, sangat wajar kalau orang Israel give up pengharapan itu. Tetapi Natal memberikan kepada kita pengharapan, justru dari ketidakmungkinan itu, seperti perempuan mandul yang sudah tua, yang tidak mungkin lagi bisa melahirkan. Ini karena ada janji Tuhan. Bukan karena ada potensi gereja, bukan karena ada talenta manusia, bukan karena ada uang yang cukup, tapi karena ada janji Tuhan. Maka ketika kita mengingat janji ini, kita bisa punya pengharapan. Tapi celaka kalau kita tidak tahu lagi apa janji Tuhan, kalau kita mulai sinis terhadap janji Tuhan, kalau kita mulai bergantung pada kalkulasi-kalkulasi diri kita sendiri. Celakalah orang-orang seperti itu. Orang-orang itu tidak pernah mengerti makna Natal. Orang-orang itu cuma merayakan Natal secara Christmas moods saja, seperti very high spirituality di bulan Desember, lalu mulai Januari, Februari, Maret, dan seterusnya bagaimanapun akan kempes, dan mereka tidak tertarik lagi membicarakan itu, karena itu tidak mungkin bertahan. Mengukur kekuatannya manusia, tidak mungkin bisa lasting. Bintang-bintang film dulu gagah, cantik, dsb., tapi setelah beberapa tahun bisa tidak karuan wajahnya. Memang yang penting bukan tampak yang kelihatan, melainkan apakah kita senantiasa membawa makna Natal itu di dalam kehidupan kita? Apakah kita mengerti Yesus turun untuk orang-orang yang ada di bawah, dan apakah kita ada di bawah? Lalu setelah bilang ‘ya, saya ada di bawah’, apakah kita juga membawa spirit itu ke dalam dunia kita?
Terakhir, waktu kita bilang diri kita ada ‘di bawah’ atau ‘di atas’, pengertiannya bisa macam-macam. Bisa di bawah atau di atas secara ekonomi, secara status sosial, atau mungkin secara potensi, talenta, kecerdasan, bahkan juga secara kesehatan. Tapi satu hal yang Saudara jangan lupa, ‘di bawah dan di atas’, itu juga bisa secara spiritual. Secara spiritual, moral, teologis, ada yang ‘di bawah’ ada yang ‘di atas’. Yang di atas, dilewati oleh Tuhan. Yang di atas, tidak dihampiri oleh Tuhan. Orang-orang Farisi secara spiritual di atas, dan Tuhan tidak datang untuk mereka. Tuhan sebetulnya juga datang untuk mereka kalau mereka mau turun ke bawah, tapi mereka tidak mau; mereka merasa diri righteous, punya Taurat, orang-orang pilihan yang sejati, orang-orang yang saleh. Akhirnya Tuhan tidak datang untuk mereka. Tapi berbahagialah kita, kalau kita bisa memelihara kerendahan hati yang hanya bisa diberikan oleh Tuhan, memahami makna Natal, bukan cuma di bulan Desember tapi sepanjang umur hidup kita. Tuhan memberkati kita semua.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading