1 Korintus 11:23-26 “Sebab apa yang telah kuteruskan kepadamu, telah aku terima dari Tuhan, yaitu bahwa Tuhan Yesus, pada malam waktu Ia diserahkan, mengambil roti dan sesudah itu Ia mengucap syukur atasnya; Ia memecah-mecahkannya dan berkata: “Inilah tubuh-Ku, yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku!” Demikian juga Ia mengambil cawan, sesudah makan, lalu berkata: “Cawan ini adalah perjanjian baru yang dimeteraikan oleh darah-Ku; perbuatlah ini, setiap kali kamu meminumnya, menjadi peringatan akan Aku!” Sebab setiap kali kamu makan roti ini dan minum cawan ini, kamu memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang.”
Ayat 33-34 “Karena itu, saudara-saudaraku, jika kamu berkumpul untuk makan, nantikanlah olehmu seorang akan yang lain.Kalau ada orang yang lapar, baiklah ia makan dahulu di rumahnya, supaya jangan kamu berkumpul untuk dihukum. Hal-hal yang lain akan kuatur, kalau aku datang.”
Kita sudah pernah membahas topik Perjamuan Kudus dari perspektif biblis, dari perspektif historis, dari perpsektif teologi reformatoris, dsb., namun kita akan coba untuk tidak sekedar mengulang-ulang yang sudah pernah kita bahas itu, karena kita harus terus bertumbuh. Hari ini saya akan membahasnya berdasarkan ayat-ayat tersebut di atas.
Di dalam ayat 23 ini, poin pertama yang tidak boleh terlewatkan adalah bahwa dalam Perjamuan Kudus, kita diundang oleh Tuhan; Yesus adalah Sang Penjamu-nya, dan bukan itu saja. Yesus adalah Tuan Rumah Gereja, Pemilik Gereja, Kepala Gereja. Ini bagian yang mungkin terdengar klise, tetapi penting.
Dalam kehidupan berjemaat, kalau kita bertumbuh, kita ada semacam ‘rasa memiliki’ (sense of belonging); ini tidak salah, tapi jangan sampai sense of belonging ini menggantikan posisi Kristus. Pendeta Stephen Tong pernah mengatakan, Gereja itu semua orang terlibat di dalamnya, berbagian di dalamnya, berpartisipasi di dalamnya, tetapi tidak boleh dimiliki oleh siapa pun. Maksudnya bukan supaya kita tidak ada sense of belonging, tapi karena yang menjadi pemilik Gereja adalah Tuhan. Dan di dalam liturgi Perjamuan Kudus, kita belajar bahwa menjadi manusia adalah diundang. Saudara bukan pengundangnya, melainkan orang-orang yang diundang; Saudara bukan tuan rumahnya, melainkan tamu yang diundang oleh Tuhan, tapi kemudian juga dijadikan tuan rumah bersama dengan Tuhan. Kita musti memosisikan diri dengan benar di dalam kehidupan bergereja; kalau kita salah, berarti kita gagal menghayati liturgi Perjamuan Kudus. Perjamuan Kudus dilayani oleh pendeta, tapi Tuan Rumah yang sebenarnya tidaklah kelihatan, yaitu Kristus, yang menjamu kita bukan dengan makanan dan minuman yang fana, melainkan dengan tubuh dan darah-Nya sendiri.
Ada keindahan, ada kebahagiaan, kalau Saudara tidak menempatkan diri jadi pemilik Gereja. Pendeta Jethro berkhotbah tentang keindahan orang yang tidak menempatkan dirinya di pusat, karena orang yang menempatkan diri di pusat akan celaka, sebab itu bukan posisinya manusia, tapi posisinya Tuhan. Sama dengan itu, kita juga bisa mengatakan bahwa Tuan Rumah yang sejati adalah Kristus; tidak ada satu orang pun yang boleh menggantikan posisi ini, karena jika demikian, berarti mengkhianati liturgi Perjamuan Kudus.
Masih di dalam ayat yang sama, Paulus mengatakan “yang telah aku terima dari Tuhan”, berarti ini satu tradisi yang dia sendiri menerimanya dari Tuhan; selanjutnya dikatakan: “Tuhan Yesus, pada malam waktu Ia diserahkan, mengambil roti”. Liturgi sakramen, khususnya Perjamuan Kudus, seharusnya membawa kita kepada suatu liturgi kehidupan, yang membuat kita ketika berurusan dengan dunia sekuler atau hal-hal yang kelihatan, bisa mengaitkannya dengan Tuhan. Ini bukanlah sesuatu hal yang kelihatan, yang berdiri sendiri, yang terpisah, yang tidak ada kaitannya dengan Tuhan. Dan di dalam Perjamuan Kudus, Saudara bisa menghayati hal ini dengan baik sekali; roti dan anggur, sesuatu yang biasa hadir dalam kehidupan domestik kita sehari-hari –atau dalam konteks Indonesia, misalnya nasi–merupakan makanan biasa, bukan makanan khusus, tapi keindahannya adalah bahwa hal yang biasa ini bisa diangkat menjadi simbol, yang membawa kita kepada penghayatan tubuh dan darah Kristus. Demikian juga kehidupan Saudara dan saya adalah sesuatu yang biasa, tapi bisa diangkat sedemikian rupa oleh Tuhan untuk bisa menjadi anak-anak Allah, padahal kita bukan orang-orang yang lebih daripada yang lain –seperti juga roti itu bukan makanan yang lebih dari yang lain.
Roti itu roti yang biasa, tapi dikuduskan; dan waktu dikuduskan, diangkat untuk satu tujuan yang suci. Bagaimana dengan liturgi kehidupan kita di dalam kehidupan sehari-hari? Waktu Saudara berurusan dengan buku, dengan uang, apakah arti semua itu? Bahkan waktu Saudara berurusan dengan sesama saudara seiman, apakah saudara melihat mereka sebagai manusia yang diciptakan menurut gambar rupa Allah –ada kaitannya dengan Tuhan– yang adalah pembawa gambar rupa Allah? Atau Saudara melihatnya hanya sebagai manusia, tidak ada kaitannya dengan gambar rupa Allah, dsb.? Jika demikian, kita gagal berpikir sakramental, gagal menghayati liturgi Perjamuan Kudus.
Roti yang kita akan makan, cawan yang akan kita minum, Yesus mengatakannya “tubuh-Ku dan darah-Ku”; di sini kita diajak untuk mengerti artinya, bahwa bukan hanya roti dan anggur, tapi juga tubuh kita, bahkan yang ada di sekitar kita, bisa di-konsekrasi oleh Tuhan untuk mencapai tujuan yang mulia itu. Kalau kita mengerti hal ini dalam kehidupan ketika berurusan dengan apapun di dunia ini, maka Saudara mengerti apa artinya liturgi Perjamuan Kudus.
Di dalam sejarah teologi, khususnya teologi Barat/Latin, terjadi perdebatan mengenai perkataan “inilah tubuh-Ku”; bahkan orang Reformed juga ikut dalam perdebatan ini. Teologi Barat yang mempunyai kebiasaan berpikir secara scholastic, berusaha mengerti secara substansial, dsb., namun kita boleh belajar keindahan dari teologi Timur, yang dalam hal ini tidak jatuh ke dalam spekulasi-spekulasi seperti itu. Daripada berdebat mengenai seperti apa natur kehadiran Kristus, lebih baik kita fokus pada yang ditunjuk dalam Perjamuan Kudus, yaitu union with Christ, seperti yang dikatakan Calvin. Persekutuan dengan Kristus (union with Christ) adalah buah yang khusus dari Perjamuan Kudus (the special fruit of The Lord Supper).Sayangnya, meski Calvin sudah mengajarkan demikian, banyak orang Reformed lebih tertarik dengan perdebatan-perdebatan polemik tadi –yang tentu saja masih ada tempatnya– yang jadi tidak proporsional lagi pembicaraannya; kita tidak lebih banyak membicarakan persekutuan dengan Kristus, tapi lebih tertarik membicarakan bahwa Reformed itu kontra transubstansiasi, tapi juga bukan konsubstansiasi, dst., lalu soal bagaimana betul-betul bisa membedakan pandangan Calvinian dari pandangan Zwinglian, dsb. Kita lupa bahwa inti dari Perjamuan Kudus sebetulnya adalah persekutuan dengan Kristus –dan bukan pemahaman non transubstansiasi yang utama. Calvin sebetulnya mengajarkan bahwa Perjamuan Kudus yang utama adalah persekutuan dengan Kristus (union with Christ).
Seorang teolog Ortodoks, Alexander Schmemann, menulis tentang Perjamuan Kudus yang saya kutip di sini: “The Purpose of the Eucharist lies not in the change of the bread and wine, but in the partaking of Christ, who has become our food, our life, the manifestation of the Church as the body of Christ. This is why the gifts themselves never became in the Orthodox East an object of special reverence, contemplation, and adoration, and likewise an object of special theological ‘problematics’: how, when, in what manner their change is accomplished.” Tujuan dari Perjamuan Kudus (Ekaristi) tidak terletak pada perubahan roti dan anggur, melainkan di dalam bagaimana orang percaya berbagian/ bersekutu (koinonia) dengan Kristus.
Dari kutipan tadi, kita bisa belajar bahwa di dalam liturgi Perjamuan Kudus pun, kita tidak perlu sibuk menjelaskan apa yang bukan pandangan kita, bahwa bukan yang ini dan bukan yang itu, sementara kita tidak menggunakan waktu yang cukup untuk menjelaskan tentang persekutuan dengan Kristus. Kita masuk ke dalam theological ‘problematics’ —meminjam istilahnya Schmemann— sibuk membicarakan natur kehadiran Kristus, mengenai bagaimana perubahan natur roti dan anggurnya. Schmemann mengingatkan, Gereja Timur tidak terlalu ada problem ini, apalagi sampai menjadikan roti dan anggur itu objek pemujaan khusus jadi semacam berhala, dsb.;, karena mereka jelas bahwa fokusnya bukan di sana, fokusnya adalah union with Christ. Sebetulnya Calvin juga mengajarkan ini, tapi kita orang Reformed sepertinya lebih tertarik dengan perdebatan-perdebatan polemik itu –non transubstansiasi, non konsubstansiasi, non Zwinglian, dsb.– yang bukan tidak ada tempatnya, tapi apa konsep utamanya? Apa artinya union with Christ ini, bagaimana saya menghayatinya? Apa artinya saya makan tubuh Kristus, saya minum darah Kristus, apa kaitannya dengan Perjanjian Baru yang dibuka di sini? Seharusnya kita menghayati hal-hal ini.
Dalam ayat 24 dan 25 dikatakan bahwa makan roti dan minum cawan adalah perbuatan yang menjadi peringatan akan Kristus. Kalau kita mengerti theology of remembrance atau commemoration dalam pandangan yang tinggi (high view) dan bukan pandangan rendah (low view), berarti kita bukan sekedar mengingat secara nostalgia, melainkan mengingat sebagaimana yang kita dapati dalam cerita Israel. Waktu orang Israel mengingat pembebasan dari Mesir, itu adalah suatu reenactment, bahwa Tuhan sungguh-sungguh menghadirkan itu sekali lagi. Jadi ini konsep high view dalam commemoration, bukan sekedar mengingat dalam arti mengenang masa lampau.
Lévi-Strauss, dalam tulisannya membicarakan tentang pembagian masyarakat yang dalam kategorinya ada yang dinamakan ‘cold society’. Ide ini mempengaruhi seorang ahli Mesir Kuno, Jan Assmann, yang kemudian mempengaruhi lagi Michael Welker dalam pembahasannya tentang Perjamuan Kudus, yang bagi saya suatu insight segar. Jan Assmann menimba dari pemikiran Lévi-Strauss, soal cultural memory, yaitu peringatan yang bukan sekedar fenomena kemampuan otak untuk mengingat baik secara individual maupun komunal, tapi lebih dari itu adalah suatu kekuatan penciptaan dunia bersama (ini bukan istilah teologis, tapi istilah Egyptologist). Jadi bukan hanya berkaitan dengan masa lampau yang sudah lewat, tapi juga dengan masa kini, dan pengharapan masa depan, yang akan sangat ditentulan oleh cultural memory ini. Assmann menjelaskan, dalam memory ini ada 2 macam, cold memory dan hot memory. Cold memory sifatnya membuat stabil, sedangkan hot memory sifatnya dinamis, menggerakkan ke depan, ada kekuatan. Cold memory adalah suatu ingatan yang membuat sebuah komunitas –bahkan bangsa– jadi jelas identitasnya dibangun berdasarkan cerita apa. Contohnya, cerita panggilan Abraham, yang sebenarnya cerita panggilan Israel, bisa dikatakan adalah cold memory-nya Israel; Israel mendapatkan cerita identitasnya di dalam cerita panggilan Abraham, dan cerita ini sudah establish. Ini dibedakan dengan cerita Menara Babel misalnya, “Menara Babel itu bukan memorinya Israel tapi justru warning bagi Israel; cerita terjadinya (genesis) bangsa kita bukanlah cerita menara Babel –mungkin itu ceritanya Babilonia– cerita kita adalah di dalam cerita panggilannya Abraham”. Ini adalah cold memory untuk Israel.
Assmann kemudian mengatakan bagian yang mulai nyerempet-nyerempet teologi. Assmann mengatakan, kanon Alkitab kita sebetulnya bisa dikatakan sekaligus adalah cold and hot memory. Kanon Alkitab kita bisa berfungsi menjadi suatu cerita yang membuat stabil identitas bersama (common identity) kita sebagai orang percaya/ orang Kristen –ini berarti cold memory— namun karena Alkitab bisa terus digali, di-interpretasi, dan ada penyelidikan yang terus berkembang dalam hal ini, maka kanon Alkitab kita sekaligus juga bisa menjadi hot memory, menggerakkan ke depan. Hal yang sama, kanon Alkitab yang satu itu, dari Kejadian sampai Wahyu, bisa sekaligus menjadi cold maupun hot memory.
Welker menambahkan satu hal lagi, bahwa Perjamuan Kudus sama seperti kanon Alkitab, juga adalah cold and hot memory. Ini karena dalam Perjamuan Kudus kita melihat ke belakang –yang bukan sekedar ingatan kosong– dan di dalam liturgi Perjamuan Kudus ini kita juga mendapatkan common identity kita, yang harusnya seperti Yesus yang hospitable itu, seperti Yesus yang berkorban bagi sesama-Nya. Itulah identitas kita. Identitas kita dibangun berdasarkan cerita pengampunan (forgiveness) misalnya, dan bukan cerita penghakiman (judgmentalism). Ini adalah cold memory; kita jadi diingatkan, ada reenactment di situ. Kita jadi tahu, cerita kita sebetulnya dibangun atas cerita Perjamuan Kudus ini, yaitu cerita pengorbanan Yesus Kristus yang mati di atas kayu salib dan bangkit pada hari yang ketiga; tetapi Perjamuan Kudus juga ada satu kekuatan dinamis yang menggerakkan kita ke depan. Ini bukan liturgi untuk meneguhkan identitas saja; kita percaya identitas yang benar akan menggerakkan orang untuk berbuat sesuatu, berepons, ada gerakan ke depan. Dalam hal ini Perjamuan Kudus sekaligus juga hot memory.
Berharap Perjamuan Kudus kita juga ada aspek cold memory, yang meneguhkan identitas Kekristenan kita, tapi juga menggerakkan ke depan. Seharusnya ada transformasi ketika kita ikut Perjamuan Kudus; ada bedanya antara kita ikut Perjamuan Kudus atau tidak ikut Perjamuan Kudus. Cerita klasik, orang baru saja ikut Perjamuan Kudus di gereja, tapi begitu sampai di parkiran, langsung saling teriak, rebutan untuk keluar lebih dulu, dsb.; kalau seperti ini, liturgi Perjamuan Kudus tidak ada hot memory-nya, mungkin bagi dia cuma sekedar cold memory yang bahkan very cold, yang tidak menggerakkan ke depan, buktinya setelah Perjamuan Kudus tidak ada bekas-bekasnya, tidak ada tandanya bahwa orang ini baru saja mengikuti Perjamuan Kudus. Liturgi tersebut sama sekali tidak hadir. Baru saja keluar di tempat parkiran, sudah tidak berbekas. Tidak ada hot memory, tidak ada sesuatu yang menggerakkan ke depan, tidak ada dinamikanya. Perjamuan Kudus menjadi ritual kosong akhirnya. “Menjadi peringatan akan Aku” –memang peringatan itu ke belakang, commemoration, tapi jangan lupa memory ini ada cold memory, ada hot memory. Cold memory meneguhkan identitas komunitas; hot memory menggerakkan kita ke depan.
Saya berharap, Saudara punya pengalaman dalam kehidupan doa yang sehat yaitu ketika Saudara sudah berdoa dan bergumul dengan Tuhan, Saudara langsung jelas harus mengerjakan apa. Orang Kristen seharusnya punya pengalaman seperti ini. Yesus setelah selesai berdoa, sesuatu yang sangat penting terjadi; ini berarti doa Yesus kemudian menggerakkan sesuatu. Seringkali ketika akan ada suatu event yang besar, itu menggerakkan kita untuk berdoa; doa kita didikte oleh suatu event yang menurut kita penting, entah itu Bible Camp National, atau KPIN, atau Natal, atau KKR, dsb. Ini terbalik dari Yesus; Yesus, doa-Nyalah yang mendikte event yang penting. Memang betul tidak semua orang visioner, tapi setidaknya di dalam porsi Saudara dan saya, harap ada pengalaman kita berdoa, bergumul, kemudian Tuhan menggerakkan kita, dan kita jelas harus mengerjakan apa. Ini hot memory namanya. Demikian juga setelah Perjamuan Kudus, Saudara tahu harus apa. Sebagaimana orang-orang yang dicatat dalam Alkitab, setelah mendengar Firman Tuhan, mereka tahu harus mengerjakan apa. Ini berarti ada hot memory, bukan cuma jadi suatu ritual sentimental yang mengendap lalu hilang begitu saja, bahkan tidak sanggup bertahan sampai di tempat parkir.
Selanjutnya, di ayat 26 dikatakan: “… setiap kali kamu makan roti ini dan minum cawan ini, kamu memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang”. Saya mengutip James Smith waktu dia membicarakan liturgi Perjamuan Kudus (sebetulnya seluruh seri Liturgi ini didorong dari pemikirannya James Smith), yaitu “a kind of sanctified let down”; istilah ‘let down’ artinya dikecewakan, tapi di sini adalah kekecewaan yang dikuduskan. Maksudnya apa?
Perjamuan Kudus ini sangat ada kaitannya dengan merayakan Yesus yang sudah bangkit, yang menang, dan Dia berjanji akan datang kembali; kita memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang, jadi Ia akan datang kembali. Tetapi, sudah sejak tahun lalu kita Perjamuan Kudus, Tuhan belum datang. Sebelas bulan lalu, belum datang juga. Sepuluh bulan lalu, juga masih belum datang. Terus-menerus sampai hari ini kita memberitakan yang sama, bahwa Tuhan kita akan datang, tapi Dia mungkin besok juga belum datang, mungkin masih ada kesempatan waktu satu bulan lagi kita Perjamuan Kudus lagi. Inilah yang dimaksud James Smith, ‘sanctified let down’. Saudara mengulangi satu cerita lagi dan lagi tapi seakan tidak ada kenyataannya, jadi seperti ‘lu ngomong tok, katanya Tuhan akan datang, akan datang, tapi Dia tidak pernah datang, dan kita ulang-ulang terus, tiap bulan kita Perjamuan Kudus terus dan Tuhan mana, tidak datang-datang’. Namun ini let down yang di-sanctified; dan kita akan bahas dalam bagian ‘anti-Liturgi’ nanti. Dan jangan lupa, ini Perjamuan Kudus yang ada dimensi eskatologis, itu sebabnya dikatakan di sini “sampai Ia datang”. Kita memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang.
Kita ini hidup di masa antara; antara kedatangan Yesus yang pertama (inkarnasi-Nya) dengan kedatangan-Nya kembali. Di sinilah kita berada. Oleh sebab itu, dalam Perjamuan Kudus kita merayakan satu pesta di tengah-tengah ketegangan antara Yesus yang sudah datang dan yang belum datang. Ada pemberitaan eskatologis, ada pengharapan yang diberitakan. Ini bukan euforia Gereja yang semuanya sudah komplit di sini dan sekarang dan tidak menantikan apa-apa lagi, misalnya seperti yang dihayati jemaat Korintus namun mereka tidak percaya kebangkitan. Kita juga realistis terhadap keterkepingan/ketidaksempurnaan yang ada di dalam Gereja, karena di dalam Perjamuan Kudus ada aspek eskatologis. Kita mengaku di dalam Perjamuan Kudus bahwa Gereja memang tidak sempurna, dan kesempurnaan itu nanti, yang akan datang; bahwa orang Kristen banyak yang luput dari kesempurnaan, termasuk Saudara dan saya.
Dalam hal ini James Smith mengutip Mazmur 78, bahwa ini adalah meja yang disediakan Tuhan di padang gurun; dikatakan dalam Mazmur 23, “Engkau menyediakan hidangan bagiku di hadapan lawan-lawanku”. Musuh-musuh belum ditumpas, serigala-serigala masih ada, tapi Tuhan sudah menyediakan hidangan. Selanjutnya James Smith mengatakan, “and so there is a certain sense in which we eat it on the run” –bahwa kita memakannya sambil jalan. Saya pernah ada pengalaman dalam perjalanan di Paris, karena waktu begitu mepet, kami sambil jalan mau naik metro, sambil makan baguette, karena tidak ada waktu untuk makan –inilah namanya eating on the run, makan-nya buru-buru. Israel punya liturgi seperti ini. Biasanya kita sediakan waktu untuk makan (apalagi di Perancis, orang makan bisa sampai 3 jam), kita tidak biasa eating on the run, kita maunya settle down, ‘ngapain sih buru-buru, tenang dong, kita banyak waktu’. Tapi James Smith mengatakan, Perjamuan Kudus adalah eating on the run, karena kita di padang gurun, di hadapan lawan-lawan kita.
Dikatakan selanjutnya: “not because of the frenetic pace of consumption and distraction that so often finds us in the drive-thru and eating fast food in the car”. James Smith bukan mau mengajarkan liturgi drive-thru, bukan juga karena kita hidup dalam kebudayaan yang selalu buru-buru, lalu Perjamuan Kudus pun kita juga jadi diburu-buru sampai tidak ada kontemplasinya. Bukan itu maksudnya; istilah ‘on the run’ ini dikaitkan dengan yang disebut ‘sanctified let down’ tadi, bahwa Perjamuan Kudus ini adalah suatu pesta yang disediakan oleh Tuhan, tapi kita masih bergerak, masih mengembara. Jangan menghayatinya berdasarkan pengertian drive-thru liturgy, jangan menghayatinya berdasarkan kebudayaan fast food; bukan itu maksudnya, melainkan seperti dikatakan selanjutnya: “but rather because the Lord’s Supper is an anticipatory meal that we eat while we sojourn” –kita memakannya sementara kita mengembara–“in the earthly city, looking forward to the merit supper of the Lamb (Revelation 19)”. Jadi perhatikan, ada aspek eskatologis, ‘on the run’, ziarah, inilah liturgi Perjamuan Kudus, cicipan yang mengarahkan kita untuk menantikan dalam kepenuhannya.
Ada satu hal yang mungkin kebetulan, tapi ini poin yang indah, yaitu berbeda dengan zamannya Paulus yang memang benar-benar makan lalu ada yang potluck, dsb., dalam Perjamuan Kudus dunia modern sekarang ini, kita bukan makan makanan besar, roti yang kita makan cuma kecil sekali, anggur yang kita minum cuma beberapa tetes, kita tidak kenyang, kita ingin lebih banyak sebetulnya; dan di sinilah keindahannya karena ini memang cuma cicipan, cuma ‘on the run’. Kepenuhannya adalah nanti, ketika kita berjumpa dengan Sang Anak Domba Allah, kita semeja, dan kita menikmati di dalam segala kepenuhannya. Di sana tidak ada lagi keterkepingan Gereja, ketidaksempurnaan Gereja, perpecahan Gereja, dsb., semua itu sudah berhenti, dan kita akan menikmatinya dengan segala kepenuhannya.
Meski ada aspek ‘ke-belum-an’ (not yet) ini, tentu kita jangan lupa menghayati aspek ‘ke-sudah-an’ (already) juga, karena tanpa aspek ini kita akan jadi orang-orang yang discourage. Tuhan betul-betul memberi kita makanan dan minuman –itu sudah– meskipun cuma cicipan. Tuhan sudah menghadirkan karya-Nya; karya keselamatan itu sudah nyata, Kerajaan Allah sudah datang. Ini seharusnya membuat Gereja mendapatkan penghiburan dan dorongan. Bukan cuma itu, kita juga musti bersyukur karena cicipan kehadiran Kerajaan Allah itu sudah dihadirkan di tengah-tengah kita dengan begitu nyata. Tanpa bagian ini, kita jadi orang yang cuma melihat ke-belum-an, dan akhirnya panik sendiri, lalu kehidupan bergereja kita digerakkan oleh kepanikan, keluh kesah, bahkan jadi sarkastik, tidak ada cinta, karena tidak ada lagi kemampuan untuk bersyukur –tidak ada aspek ‘already’.
Liturgi Perjamuan Kudus tentu saja juga bicara tentang pengampunan dosa yang dikerjakan Kristus bagi Saudara dan saya. Kita diampuni, kita diundang untuk masuk ke dalam liturgi kehidupan ‘diampuni dan mengampuni’.
Mungkin kita lebih sering membahas soal mengampuni daripada diampuni, tapi sebetulnya ‘diampuni’ juga penting. Apa artinya diampuni? Diampuni berarti saya tidak boleh sombong; kalau Tuhan sudah mengampuni saya, berarti saya sudah diampuni, saya tidak perlu lagi mengejar penerimaannya manusia, cinta kasihnya manusia, perhatiannya manusia. Saudara jadi bebas, tidak ada yang Saudara kejar untuk diri sendiri lagi karena Kristus sudah menyelesaikan itu semua. Sudah beres. Baru setelah ini, kita akan bebas untuk mengampuni, mengasihi, melayani, memperhatikan. Tetapi kalau kita masih tidak bebas dari pengejaran kasih, penerimaan, perhatian, pengampunan; kalau kita tidak bisa mengampuni diri sendiri, kita tidak beres dengan problem of guilt, kita marah sekali kalau ada kritikan orang karena kita merasa orang lain tidak menerima saya, tidak cinta kepada saya, artinya kita belum beres dalam liturgi pengampunan. Bukankah Saudara sudah diampuni oleh Tuhan? Kalau kita sudah diampuni oleh Tuhan, waktu orang mengritik, ya, kita instrospeksi barangkali itu juga adalah kritikan dari Tuhan; dan jika demikian, berarti Tuhan menyatakan cinta kasih-Nya kepada kita dengan memberikan teguran tersebut, karena bukankah Alkitab mengatakan “barangsiapa Kukasihi, ia Kutegur dan Kuhajar”.
Orang yang meletakkan diri di dalam pengampunan Tuhan, dia betul-betul bebas kehidupannya, tidak menantikan apa-apa lagi dari sesamanya. Bukan berarti dia sombong, tidak merasa perlu menerima pelayanan orang lain, melainkan dalam pengertian dia bisa bebas untuk mencintai, bebas untuk melayani. Dia tidak memusingkan lagi apakah dirinya diterima atau tidak diterima, atau dikesamingkan, atau di-diskriminasi, dsb.; semua itu non isu. Yesus sudah menyelesaikan itu. Hidup di dalam kuasa pengampunan berarti membiarkan diri kita diampuni oleh Tuhan, dan juga masuk ke dalam cerita kehidupan yang bisa mengampuni orang yang bersalah kepada kita, seperti Doa Bapa kami yang kita naikkan setiap Minggu. Perjamuan Kudus bicara tentang cerita pengampunan.
Ayat 33 dan 34, Paulus mengatakan supaya jemaat Korintus belajar untuk menantikan seorang dengan yang lain. Jemaat Korintus itu beragam, ada orang merdeka tapi ada juga budak, ada yang punya banyak uang tapi ada juga yang pas-pasan. Waktu ada perjamuan kasih, dari antara mereka ada yang bawa makanan; dan tentu saja yang membawa makanan adalah mereka yang ada uang, sedangkan budak-budak bukan saja tidak bisa bawa makanan tapi juga datangnya belakangan –karena mereka budak. Orang-orang yang cukup uang, mereka membawa makanan (biasanya ikan, untuk dimakan bersama dengan roti), lalu mereka makan; mereka tidak menantikan seorang akan yang lain. Liturgi ini jadi tidak cocok dengan liturgi Perjamuan Kudus; dalam Perjamuan Kudus, kita menanti seorang akan yang lain, kita bukan makan sendiri, kita menunggu sampai persekutuan ini jadi persekutuan yang utuh, komplit. Di sinilah terjadi relativisasi perbedaan kaya-miskin, orang merdeka-budak, melalui sharing.
David Garland, seorang komentator, mengatakan: “Paul expects the Corinthian to receive one another, which at a feast include sharing food with others; only by sharing, their resources will be alleviate the acute embarrassment of the have not”. Terjemahan bebasnya: Paulus mengharapkan jemaat Korintus menantikan/menerima/menyambut satu dengan yang lain di dalam pesta, yang di dalamnya ada berbagi makanan satu dengan yang lain; dan melalui berbagi makanan inilah, mereka akan meniadakan rasa malu akibat perbedaan yang sangat jelas antara yang kaya dan yang miskin, yang ada uang dan yang tidak ada uang, yang orang merdeka dan yang budak, dan semua batasan-batasan lain yang seringkali menjadikan manusia malu, atau sombong. Semua tembok-tembok pemisah ini dibongkar melalui Perjamuan Kudus, melalui saling menanti dan berbagi makanan.
Hari ini adalah Minggu Pertama Trinitas, tema hari ini menurut Kalender Gereja sebetulnya tentang “brotherly love”/“love of neighbor”; dan bacaan Injil hari ini dari Lukas 16, “Orang Kaya dan Lazarus” —nyambung dengan perenungan hari ini. Orang kaya itu tidak tahu berbagi dengan Lazarus; sedangkan dalam Liturgi Perjamuan Kudus, kita bersaksi akan sharing of life, saling menanti. Dalam hal ini, semua orang adalah sama, kita tidak bicara perbedaan, kita tidak diundang untuk terlalu sadar akan siapa dia dan siapa saya. Rasa sadar diri yang seperti ini harus berhenti di dalam Perjamuan Kudus. Tidak ada orang di dalam Perjamuan Kudus yang lihat-lihat orang lain, ‘ini jasnya keliatannya mahal, ya, juga dasinya’ dst.; yang seperti itu tidak relevan dan tidak penting sama sekali dalam Perjamuan Kudus. Dan liturgi ini harusnya hadir juga di dalam kehidupan keseharian kita.
Terakhir, mengenai anti-liturginya. Anti-liturgi yang pertama: Gereja yang mengambil alih posisi Kristus sebagai Tuan Rumah, Gereja yang menentukan bahwa di luar Gereja tersebut tidak ada persekutuan dengan Kristus. Ini adalah Gereja yang mengambil posisinya Kristus. Sang Tuan Rumah itu adalah Kristus, bukan Gereja. Gereja adalah yang diundang oleh Kristus; jangan menyamakan posisi Gereja dengan posisi Kristus.
Ini bukan hanya benar dalam hal gereja-gereja yang eksklusif saja, tapi juga dalam hal ”body languange”-nya Gereja. Body languange atau gestur Gereja Saudara dan saya, yang dibaca orang itu seperti apa? Kita berperan sebagai tuan rumahkah, yang gestur tubuh kita menyatakan “silakan datang ke rumah saya, sayalah yang memiliki tempat ini”? Atau gestur tubuh kita menyatakan “silakan datang, masuk ke tempat saya, saya sendiri juga diundang, saya bukan pemiliknya, dan pemiliknya adalah Kristus” –gestur yang sama sekali berbeda dari yang pertama tadi. Gestur Gereja yang pertama tadi, pemimpin-pemimpinnya bossy, menempatkan diri sebagai pemilik, dan orang harus permisi kalau masuk ke sana, permisi dengan orang-orang elit yang ada di atas –dan lebih baik kita cocok dengan orang-orang tersebut karena jika tidak, kita bisa ketendang dari Gereja–karena dialah pemiliknya Gereja. Yang seperti ini anti-liturgi, mengkhianati liturgi Perjamuan Kudus, karena Gereja dimiliki oleh Kristus, yang mempunyai mempelai wanita adalah Sang Mempelai Laki-laki, Kristuslah Sang Tuan Rumah. Bukan cuma itu, bahkan rumah Saudara pun bukan milik Saudara; Saudara hanya dipercayakan saja tinggal di sana. Uang Saudara, waktu Saudara, keluarga Saudara, semua itu bukan Saudara pemiliknya. Inilah baru namanya kompatibel dengan liturgi Perjamuan Kudus. Kita bukan tuan rumah, kita bukan pemilik; ini kalimat negatif, tapi implikasinya banyak sekali. Pemiliknya adalah Kristus, dan hanya Kristus. Apa artinya ini untuk liturgi kehidupan kita?
Anti-liturgi yang kedua, yaitu liturgi naturalisme, bahwa segala sesuatu di dalam kehidupan ini –roti, anggur, uang, meja, komputer, gadget, rumah, dan semuanya– tidak perlu dikuduskan, tidak perlu di-elevate ke atas, biarlah sebagaimana adanya. Biarlah roti tetap roti, anggur tetap anggur, tidak usah dikait-kaitkan dengan Kerajaan Allah –tidak ada konsekrasi. Liturgi naturalisme akhirnya menyuburkan sekularisme, karena tidak ada kaitannya dengan Kerajaan Allah.
Anti-liturgi yang lain: liturgi merayakan pedebatan skolastik tentang Perjamuan Kudus, sedemikian rupa sehingga Perjamuan Kudus kita isinya “Saudara-saudara! harus tahu ya, ini bukan transubstansiasi, ini bukan konsubstansiasi, dan bukan substansiasi-substansiasi yang lain tetapi … “, lalu waktunya sudah tinggal 1 menit, sementara penjelasan transubstansiasi-nya 14 menit. Apa sebetulnya konsep positifnya Perjamuan Kudus ini, apa artinya persekutuan dengan Kristus, apa artinya cerita pengampunan? Tapi kita justru masuk ke penyelidikan skolastik yang kayaknya asyik sekali, karena seakan mengkonfirmasikan identitas kita, bahwa kita ini Reformed, dan bukan yang lain. Sayang sekali, ini artinya cuma ada cold memory, cold yang betul-betul cold; bahkan bukan cold memory dalam pengertian positif seperti yang dibicarakan Levi Strauss atau Assmann, tapi cold memory yang membawa kepada cold orthodoxy, defective orthodoxy. Tidak ada yang menggerakkan ke depan, yang ada adalah “saya bukan kamu, kamu bukan saya; dan semakin jelas, semakin baik” –krisis identitas yang tidak selesai-selesai, kapan selesainya??
Oke-lah orang krisis identitas waktu remaja, ini bisa dimengerti; tapi masakan orang krisis identitas terus-menerus sepanjang hidup?? Lucu sekali. Kalau Gereja krisis identitas terus-menerus, ada yang tidak beres di dalam Gereja ini. Identitas kita sudah selesai, Tuhan yang memberikan identitas kepada kita, bukan kita yang mengukuhkannya setiap Minggu “kita berbeda, lho; kita bukan ini, dan bukan itu”. Ini pemberitaan apa?? Ini anti-liturgi. Lihatlah perkataan Yesus, apakah Dia menjelaskan ‘bukan ini dan bukan itu’, mengatakan “hai murid-murid-Ku, engkau harus tahu bahwa ini bukan ini dan bukan itu, dan bukan ini, dan juga bukan itu”?? Tidak. Yesus membawa kita kepada diri-Nya sendiri, maka Perjamuan Kudus harusnya membawa kita kepada Kristus, bukan kepada yang bukan ini dan bukan itu.
Anti-liturgi berikutnya: mere nostalgic remembrance, cold memory without hot memory; atau hot memory yang terus lihat ke depan tapi tidak ada tradisi yang mendukung, dan kita tidak jelas sama sekali apa identitas yang diberikan Tuhan, bahwa cerita Gereja kita seharusnya dibangun dari cerita panggilannya Abraham dan bukan cerita Menara Babel misalnya. Identitas tidak jelas, tapi kita terus bergerak ke depan; identitas yang kabur, padahal Tuhan sudah memberikan identitas. Lebih parah lagi kalau kita lebih mirip cerita Menara Babel daripada cerita panggilannya Abraham, tapi kita bergerak terus ke depan. Ini hot memory, tapi tidak ada cold memory-nya, tidak ada stabilizer-nya, bubar. Atau sebaliknya, model nostalgic remembrance, kenang-kenangan ke belakang ‘enak ya, zaman dulu, the golden age of Christianity, zaman reformasi’, tapi kemudian tidak bergerak ke depan, tidak ada hot memory. Inilah liturgi tandingan, yang menarik kita ke belakang sampai kita tidak bisa move on, atau menarik kita ke depan tapi kita sendiri kabur identitasnya.
Anti-liturgi berikutnya –meminjam istilahnya James Smith– dunia kita ini menghadirkan let-down yang betul-betul mengecewakan. Sementara James Smith bicara tentang sanctified let-down, diberikan cicipn-cicipan supaya Saudara semakin mengharapkan kepenuhannya kelak; worldly let-down seakan menjanjikan semuanya di dalam segala kepenuhannya di sini dan sekarang, tapi setelah orang menikmatinya, yang ada adalah addiction, tidak ada satisfaction, tidak ada true enjoyment. Saudara perhatikan, orang yang terjerat dengan pornografi/ dosa seks, yang terjerat oleh keserakahan akan uang, mereka dijanjikan kenikmatan di sini dan sekarang di dalam segala kepenuhannya, lalu akhirnya betul-betul let-down, kecewa. Itu bukan memberikan cicipan, karena itu adalah keserakahan, dan itu sesuatu yang kosong. Liturgi yang disediakan dunia menjanjikan semuanya secara serentak, instan, dengan segera, lalu akhirnya kosong.
Hal yang lain lagi, tadi kita mengatakan adanya aspek ‘already’, jadi liturgi tandingannya adalah waktu tidak berhasil menghayati aspek ‘already’ ini, orang akan masuk ke dalam sinisme. Nyinyir terhadap Gereja, nyinyir terhadap Kekristenan, sarkastik terhadap orang-orang yang datang ke gereja, sarkastik terhadap orang Kristen, karena dia tidak melihat Tuhan yang sudah hadir. Liturgi tandingan ini mengatakan “tidak ada Kerajaan Allah yang hadir di Gereja, itu bohong; mereka itu cuma orang-orang rusak semua, orang-orang munafik, mereka mengecewakan” –merayakan kepahitan, kekecewaan. Bukankah di dalam Perjamuan Kudus kita bicara pengampunan, tetapi kalau kita tidak sanggup mengampuni, maka seperti itulah akibatnya, kekecewaan demi kekecewaan dan tidak bisa keluar dari dalamnya, sinis, sarkastik, contra-forgiveness. Liturgi dunia mengajarkan bahwa Saudara harus membeli kasih, membeli penerimaan, dan harus struggling untuk membeli itu.
Kita pernah membahas satu bagian dari cerita Lea dan Rahel. Ada satu hari yang sebetulnya giliran Rahel tidur dengan Yakub, tapi hari itu Lea membelinya dari Rahel dengan buah dudaim, yang dipercaya bisa menyuburkan, karena Rahel memang susah punya anak. Betapa mengenaskan, seorang istri mau menikmati keintiman dengan suaminya, dia harus membelinya. Liturgi dunia kita mengajarkan seperti ini, bahwa penerimaan itu harus dibeli, ‘memangnya kamu siapa, tunjukkan dulu hasil karyamu, nanti kita akan menghormati kamu’. Tetapi Perjamuan Kudus tidak seperti itu; pengampunan ini free, cuma-cuma. Cinta kasih Tuhan meskipun bukan murahan, tapi cuma-cuma diberikan kepada Saudara dan saya; harganya mahal sekali, dibayar oleh darah Kristus, tapi Saudara tidak perlu beli. Inilah liturgi yang sungguh membebaskan, kontra liturgi dunia.
Selanjutnya, liturgi cancel culture; Saudara tidak bisa mengampuni, tidak suka sama orang, lalu akhirnya Saudara pencet tombol “non existence”, langsung menghapus dia, ‘bukan saja tidak mau berurusan lagi dengan dia, menurut saya dia bahkan tidak ada’. Menganggap orang yang kita tidak sukai itu tidak ada, ini liturgi yang kontra dengan liturgi Perjamuan Kudus.
Terakhir, liturgi makan sendiri-sendiri, kerja sendiri-sendiri, senang sendiri-sendiri, susah sendiri-sendiri –semuanya sendiri-sendiri. Liturgi individualisme, ini kontra dengan liturgi Perjamuan Kudus. Perjamuan Kudus bicara tentang fellowship, communion, participation, koinonia, togetherness –tentang bersama. Waktu Saudara mengikuti Perjamuan Kudus, Saudara bukan sendiri; dan bukan saja tentang makan, tapi hal-hal yang lain dalam kehidupan ini kita tidak sendiri, kita ini anggota tubuh Kristus. Ketika yang satu menderita, yang lain ikut menderita. Waktu yang satu dihormati, yang lain juga bersukacita. Di dalam sukacita ada resonans, di dalam dukacita juga ada resonans; itu namanya kita bukan sendiri-sendiri, sedangkan liturgi dunia kita mengajarkan semuanya sendiri-sendiri, at your own risk tapi juga at your own happiness. Tapi Gereja bukan itu, Perjamuan Kudus tidak mengajarkan itu. Perjamuan Kudus menghadirkan suatu liturgi yang indah yang amat sangat layak Saudara dan saya hidupi dalam keseharian kita.
Kiranya Tuhan menolong kita menghayati ini dengan benar. Dan, harap gaung dari Perjamuan Kudus ini bukan berhenti waktu Saudara meninggalkan gereja, lalu waktu Saudara menginjakkan kaki ke lapangan parkir berarti sudah selesai Perjamuan Kudusnya, tidak ada lagi tanda-tandanya, tidak ada lagi bekas-bekasnya. Kita minta kepada Tuhan supaya kita bisa menghidupi liturgi ini juga di dalam kehidupan kita. Kiranya tuhan memberkati Saudara sekalian.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah(MS)