Kita sudah pernah bahas bagian ini dari perikop dalam Injil Lukas; ini bukan perikop yang khusus Johannine material seperti “Perkawinan di Kana” yang tidak ada paralelnya di Injil mana pun. Tapi waktu kita mengulangi bagian ini, sudah pasti ada alasan yang cukup kuat.
Sebagai perbandingan sinopsis dari keempat Injil, yang paling pendek mencatat peristiwa ini adalah Injil Lukas yaitu hanya 2 ayat, Matius juga 2 ayat tapi ayat ke-12 cukup panjang, Markus 3 ayat dan ayat ke-15 cukup panjang, dan yang paling panjang adalah Yohanes. Ada banyak bagian yang tidak ada di dalam catatan Matius, Markus, atau Lukas, sehingga bagian-bagian tersebut tetap bisa dikatakan special material dari Yohanes, meski secara keseluruhan cerita “Yesus menyucikan Bait Allah” ini bukan satu-satunya dicatat oleh Yohanes.
Tidak kalah menarik, Yohanes satu-satunya yang mencatat peristiwa ini di pasal ke-2, sedangkan semua Injil sinoptik lainnya tidak satu pun yang mencatat di pasal-pasal awal. Lukas meletakkan di pasal 19 waktu Yesus ke Yerusalem kemudian disalib di sana. Matius meletakkan di pasal 21. Markus, yang pasal-pasalnya tidak terlalu panjang dibandingkan Matius, meletakkannya di pasal 11 yang relatif akhir. Kita tidak tertarik untuk menjelaskan chronological harmonization karena keempat Injil ini kepentingannya bukan kronologi, tapi flow yang mau dituju setiap penulisnya. Kita percaya flow itu sendiri merupakan suatu message, bukan hanya kata-katanya yang adalah message. Yohanes menaruh cerita Yesus pergi ke Yerusalem yang di dalamnya ada cerita penyucian Bait Allah ini, tepat sesudah peristiwa perkawinan di Kana; sementara di Injil-injil lain itu masuk di bagian yang cukup akhir. Di sini kita melihat sebetulnya ada kaitan tema. Dalam cerita perkawinan di Kana, Yesus mengubah air jadi anggur; air yang adalah the old covenant purification, kemudian anggur adalah realita darah Yesus, the new covenant purification yang membasuh/ membersihkan. Yesus meng-inisiasi datangnya Kerajaan Allah dan Yesus tidak membuang tanda dari the old covenant yaitu air yang menunjuk kepada realita pembasuhan. Maka dalam hal ini penyucian Bait Allah tidak lain tidak bukan adalah melanjutkan cerita penyucian dengan air dan anggur, suatu pembasuhan/ pembersihan; yang dibersihkan adalah Bait Allah.
Kita tinggal dalam dunia yang berdosa. Kita bisa membayangkan tempat-tempat yang berdosa, kotor, dsb. Tapi kalau melihat dari perspektif Kerajaan Allah, waktu Tuhan melakukan penyucian, yang pertama kali Tuhan selesaikan urusannya adalah Gereja. Bukan tempat pelacuran, bukan dunia politik yang sangat kotor, bukan persoalan keluarga yang memang bisa rumit sekali dan harus dibersihkan oleh Tuhan, bukan persoalan-persoalan dalam perusahaan, dsb., tapi yang pertama dibersihkan adalah Gereja. Maka waktu Yohanes mengangkat bagian ini, sebenarnya sedang menyambung yang dikatakan dalam peristiwa mujizat air jadi anggur yang bukan cuma masalah orang kekurangan satu elemen di dalam pesta, tapi Yesus sedang meng-inisiasi datangnya Kerajaan Allah, yang dimulai dengan penyucian, pembersihan. Saudara juga bisa membaca di dalam sejarah, Gereja yang diberkati Tuhan adalah Gereja yang terus menerus melakukan introspeksi, self-critical terhadap dirinya sendiri, seperti Yesus ketika datang langsung kritis terhadap Bait Allah.
Lukas paling less-critical terhadap Bait Allah, sementara Injil-injil yang lain termasuk Yohanes memberikan gambaran yang lebih kristis. Dalam hal ini tidak ada benturan sama sekali, tapi memang benar waktu kita melihat dalam bagian ini, bahwa sedang ada masalah di dalam Bait Allah itu. Di sini kita tidak bicara sekedar soal kekurangan, karena Gereja mana yang tidak punya kekurangan? Gereja mana yang sempurna seperti di surga? Tentu tidak ada. Selama kita di dunia, semua Gereja ada kekurangannya. Tapi yang dibicarakan di sini adalah kekurangan yang tidak bisa ditoleransi lagi, kekurangan yang sudah sampai pada batas kesabaran Tuhan. Dan yang kedua, setelah Tuhan mau menyucikan, justru ditolak, Yesus malah ditantang balik oleh orang-orang Yahudi (ayat 18), tidak ada pertobatan.
Kalau Tuhan mau menyucikan, yang terlebih dulu disucikan adalah Gereja-Nya. Ini tahun 2017, kita akan mengenang peristiwa Reformasi Martin Luther. Kita tahu, reformasi mempengaruhi banyak bidang, bukan cuma Gereja. Reformasi mempengaruhi dunia politik, musik dan seni, dunia pendidikan, ekonomi. Reformasi mempengaruhi banyak hal dalam sejarah. Tapi yang permulaan diselesaikan Tuhan adalah Gereja, bukan dunia politik, bukan perusahaan, bukan raja-raja dan pembesar-pembesar di Jerman, bukan urusan keluarga, bukan persoalan-persoalan itu. Penyucian Gereja terlebih dahulu. Dari mana kita tahu Tuhan masih mengasihi Gereja-Nya? Kalau masih ada teguran yang dari Tuhan yang diberikan kepada Gereja-Nya. “Barangsiapa Kukasihi, dia Kutegor dan Kuhajar”, demikian kata Firman Tuhan. Pendeta Stephen Tong mengatakan, “Dari mana tahu suatu negara Tuhan masih mencintainya atau tidak? Yaitu kalau di negara itu masih ada orang-orang yang menjalankan fungsi nabi memberikan teguran bagi bangsa tersebut. Kalau bangsa sudah tidak ada teguran lagi, Tuhan silent, orang terus dibiarkan dalam keadaan kedagingan dan ke-tertidur-an, itu tandanya bangsa itu sudah dibuang oleh Tuhan”. Gereja juga sama. Gereja yang sudah tertidur tapi terus dibiarkan oleh Tuhan, itu Gereja yang sudah dibuang Tuhan. Individu orang Kristen juga sama. Individu yang sudah dibuang Tuhan adalah yang tidak dengar lagi teguran dari Tuhan, karena siapa yang dalam hidupnya tidak ada kekurangan/ kelemahan? Tidak ada. Maka bersyukur waktu kita punya kelemahan lalu masih ada yang menasehati, yaitu Tuhan.
Di dalam perikop ini, waktu Yesus Kristus mendapati keadaan seperti itu, hati-Nya terbakar dengan kemarahan yang suci. Saudara jangan salah mengerti, seolah cuma ada orang jualan di luar Bait Suci saja Yesus terbawa perasaan, jadi tidak bisa tahan emosi, dsb. Ini bukan sekedar ada orang berjualan di depan Bait Allah, tapi sudah menjadi suatu sistem yang sangat corrupted. Dari commentary yang menyelidiki sejarah pada zaman itu, adanya orang berjualan di Bait Allah sebenarnya juga mengakomodasi kebutuhan orang-orang miskin yang tidak bisa mempersembahkan lembu, kambing, domba, dsb. dan cuma bisa membeli merpati, sehingga memang perlu ada yang menjual merpati seperti di sini. Ini bukan sesuatu yang necessarily salah, tapi sistem sudah begitu corrupted sehingga terjadi semacam sindikat. Merpati dijual dengan harga dinaikkan sedemikian sehingga orang miskin diperas, padahal mereka tulus mau mempersembahkan korban sembelihan atau korban bakarannya kepada Tuhan. Lagipula, orang-orang yang berjualan ini sudah pasti setor kepada pemimpin-pemimpin agama; hal terima setoran, korupsi, dsb. sudah sangat established di dalam gambaran ini. Maka waktu Yesus datang lalu Dia menjungkir-balikkan semua struktur yang ada di sana, ini bukan sesuatu yang berlebihan. Yesus bukan cuma urusan gini aja jadi marah luar biasa, bukan sesederhana itu. Yesus mau membersihkan sistem yang sudah begitu corrupted.
Tapi orang-orang ini bukannya bertobat malah menantang balik. Mengapa? Karena ada benturan otoritas di sini. Perhatikan pertanyaan yang muncul: “Tanda apa dapat Engkau tunjukkan kepada kami, bahwa Engkau berhak bertindak demikian?” (ayat 18). Dengan kata lain: otoritas-Mu ini dari mana? Mengapa Kamu merasa berhak melakukan hal seperti ini? Kalimat ini, di satu sisi menyatakan semacam ketakutan juga, mereka tahu Orang yang bisa melakukan ini pasti punya otoritas, karena tidak gampang; Yesus memang wajar melakukan itu tapi kalau orang lain melakukannya mungkin sudah mati. Mereka tidak berani membunuh Yesus, memang belum waktunya juga Yesus mati. Mereka tahu bahwa Orang yang sedang melakukan ini pasti orang yang benar, Terang sedang mengunjungi kegelapan, tapi mereka terganggu. Di dalam kegelapannya, mereka tanya balik: Kamu hak-nya apa melakukan ini? Sambil tidak berani, tapi juga tidak cukup rendah hati untuk bertobat. Inilah problem orang berdosa. Sebenarnya di dalam hati tahu ‘ini Orang benar’ tapi di sisi lain tidak rela dikoreksi, ada pride tersendiri dan sudah terlanjur biasa dengan sistem yang seperti ini, kalau kayak begini, semua saluran korupsi jadi tertutup, kita ‘gak bisa lagi terima setoran-setoran itu, lalu bagaimana? Ya, sudah, kita tanya saja kepada Dia, otoritas-Nya dari mana. Yang pasti, orang-orang ini, toh, mengakui ada semacam kuasa di dalam diri Yesus Kristus. Pertanyaannya, kalau mereka adalah orang-orang yang bertugas di Bait Allah, apalagi pemimpin-pemimpin Bait Allah, bukankah harusnya mereka tahu Bait Allah itu untuk apa?
Kita membaca bahwa Yesus akhirnya menujuk kepada diri-Nya sendiri, tubuh-Nya sendiri itu Bait Allah. Tapi Yesus bukan kritis akan Bait Allah sedemikian rupa sehingga tidak ada tempat sama sekali untuk eksistensi Bait Allah itu sendiri. Di sini bisa ada 2 macam ekstrim. Ekstrim yang satu, orang yang sangat mementingkan bangunan gedung gereja lalu tidak peduli sama sekali dengan kehadiran Tuhan. Padahal, Bait Allah disebut Bait Allah/ Bait Suci karena Allah hadir secara khusus di tempat itu. Tapi ada orang-orang yang tidak memperhatikan bagian ini –kehadiran Allah– mereka cuma melihat gedung gereja, di gereja itu AC-nya ‘gak pernah rusak, kalau gereja ini AC-nya rusak melulu, panas, di gereja koq kayak mencicipi neraka, gak cocok yang kayak gini. Ada orang datang ke Gereja bukan karena memikirkan kehadiran Tuhan tapi memikirkan fasilitas gereja, saya ‘kan sudah kasih kolekte, koq fasilitasnya kayak begini? Gereja seperti klub, saya sudah bayar iuran lalu mana fasilitasnya. Ada orang datang karena tertarik arsitektur gerejanya, karena gerejanya besar. Kita jadi bertanya-tanya, ini orang datang karena apa? Memang faktor ini tidak bisa di-exclude sama sekali, dan kita juga bukan sengaja bikin Saudara sengsara untuk menguji Saudara, misalnya kursi-kursi dikasih kutu, tidak perlu seperti itu. Tapi ada betulnya waktu dikatakan bahwa banyak orang datang ke Gereja lebih memperhatikan gedung gerejanya daripada mencari kehadiran Tuhan; dan itu sebenarnya tidak ada artinya. Bait Allah ini dibangun oleh Herodes, salah satu arsitektur paling megah untuk zaman itu, orang datang ke sana juga ada semacam kebanggaan, tapi persoalannya: Tuhan tidak ada di sana. Lalu sekarang, Tuhan ada di sana dan Tuhan membersihkan, tapi Tuhan justru ditantang. Jadi ini sebetulnya Bait Allah atau apa?
Inilah ekstrim yang pertama, orang hanya mementingkan bangunan gedung gerejanya, lalu melupakan bahwa yang paling penting sebenarnya adalah kehadiran Allah di dalamnya, apapun yang Dia lakukan. Kehadiran Allah bisa dalam kehadiran yang memberkati, yang menolong kita, tapi juga bisa di dalam kehadiran yang menjungkir-balikkan tatanan yang kita bikin tapi yang bukan dibikin oleh Tuhan. Kita tidak bisa bilang: “Tuhan datang saja ke Gereja saya tapi jangan jungkir-balikkan kehidupan saya; yang status quo biarkan saja jangan diubrak-abrik lagi, sudah establised soalnya. Kalau datang, silakan bicara kalimat-kalimat yang menguatkan, menghibur, yang menyatakan bahwa saya dikasihi, dsb.”. Kita tidak bisa mengundang Tuhan dengan cara seperti itu. Kalau Tuhan hadir, Dia akan hadir di dalam kedaulatan-Nya. Waktu Dia menguatkan, Dia akan menguatkan. Waktu Dia mengubrak-abrik, Dia akan mengubrak-abrik. Memang sulit kalau tatanan yang sudah mapan itu diubrak-abrik. Kalau tidak sadar, kita ini bisa-bisa jadi orang yang memberhalakan ‘persiapan kita’ lebih daripada ‘yang Tuhan mau kerjakan’ di tengah-tengah kita. Kita mengatakan: “Tuhan silakan bekerja melalui saya, tapi melalui yang saya rencanakan. Tuhan silakan pakai saya tapi menurut yang seperti saya rencanakan, lalu Tuhan cuma tinggal kasih berkat.” Waktu Tuhan datang, itu berkat, karena itu kehadiran Tuhan. Tapi kehadiran Tuhan bukan cuma ya, sudah Tuhan tinggal kasih berkat, tidak seperti itu, Tuhan menjungkir-balikkan yang tidak benar menurut Tuhan. Berbahagia jika kehidupan kita masih ada penjungkir-balikan yang dari Tuhan, hopefully penjungkir-balikan yang tidak terlalu parah, karena kalau terlalu parah itu menyatakan berapa amburadulnya kehidupan kita. Tapi kalaupun juga begitu, ya, ‘gak apa-apa juga, toh Tuhan mencintai kita.
Tapi kita membaca di bagian perikop ini, mereka tidak menangkap hal itu; kehadiran Tuhan bagi mereka tidak terlalu penting, yang lebih penting adalah the established church yang ada. Dalam Reformasi, kita mendapati cerita yang kurang lebih mirip, Martin Luther terbakar. Saya tidak mengatakan bahwa Martin Luther itu Tuhan Yesus. Martin Luther juga banyak kelemahan, dia juga orang berdosa. Tapi waktu Tuhan memakai dia menyadarkan Gereja yang sudah sangat established, mereka tidak bisa dengar. Mereka susah dikoreksi. Ini mirip dengan kehidupan kita. Kalau kita sudah sampai pada kehidupan yang mapan, kita susah dengar kritik. Kalau kita masih struggling dari bawah, waktu orang kasih masukan, kita lebih rendah hati menerima. Itu persis seperti di sini, memang Yesus itu Tuhan, tapi Dia baru ada ‘achievement’ apa? Dia orang baru di sini, bukan senior, lalu datang-datang langsung melakukan seperti itu. Maka mereka tanya, ‘hak apa Kamu bertindak demikian? Kamu kan ‘gak masuk dalam strukturnya kita, lalu atas nama siapa? Romawi? Herodes? Pontius Pilatus? Atau siapa? Kamu dari mana asalnya?’ Mereka mempertanyakan kehadiran Yesus Kristus karena terlalu terbiasa dengan struktur kehidupan yang sudah established itu yang mereka bangun sendiri, sehingga mereka merasa kehadiran Yesus sebagai sesuatu yang sangat asing. Dia adalah pemilik rumah Allah itu sendiri, tapi mereka tidak kenal. Satu ekstrim, yang sangat mementingkan established church, struktur –bukan cuma bangunannya tapi juga organisasinya, strategi pelayanan, keuangan, dst.– sampai tidak bisa melihat kehadiran Tuhan itu sendiri.
Yang kedua, gambaran seperti mementingkan kehadiran Tuhan tapi tidak ada cinta sama sekali terhadap rumah Tuhan. Dari mana kita tahu ini konsep yang keliru? Karena ada kutipan di ayat 17 “Cinta untuk rumah-Mu menghanguskan Aku”. Yesus terbakar karena Dia cinta akan rumah Tuhan. Ada orang yang katanya sangat mementingkan kehadiran Tuhan, tapi gereja gentengnya rusak, bocor, dsb. tetap tidak direnovasi lalu menipu diri dengan ‘yang penting kehadiran Tuhan, kalau gereja ambruk ‘kan Tuhan ‘gak ambruk, yang ambruk cuma gedung gereja’. Akhirnya mereka tidak ada cinta sama sekali terhadap rumah Tuhan. Yesus mencintai rumah Tuhan, karena itu Dia datang mengubrak-abrik rumah Tuhan, karena tidak ada Tuhan di sana.
“Cinta untuk rumah-Mu menghanguskan Aku “, di sini perkataan ‘rumah-Mu’ tidak bisa kita tafsir sebagai ‘Yesus’ karena kita baca juga bahwa Bait Allah itu maksudnya Yesus sendiri (ayat 21) lalu jadi: Yesus cinta pada tubuh-Nya sendiri lalu menghanguskan tubuh-Nya sendiri. Tafsiran begini tidak masuk akal. Waktu dikatakan ‘cinta untuk rumah-Mu’, yang dimaksud yaitu Bait Allah tersebut, yang dibangun oleh Herodes itu, yang sebetulnya bisa menjadi tempat kehadiran Tuhan kalau orang betul-betul beribadah dengan tulus, memegang dan menjalankan Taurat. Tapi kenyataannya tidak. Bait Allah itu jadi sarang penyamun, sarang orang-orang yang memikirkan keuntungan. Ada confusion of calling di sini. ‘Calling’ dalam Teologi Reformed biasa diterapkan untuk individu; tapi setiap sphere / aspek/ bidang –gereja, keluarga, sekolah/ universitas, perusahaan/ tempat bekerja, pemerintah, politik, marketplace, dsb.– juga ada panggilannya masing-masing. Gereja itu panggilannya apa? Gereja harusnya jadi rumah doa, tempat orang beribadah kepada Tuhan. Gereja bukan tempat untuk orang jualan; jualan itu panggilannya company. Company juga panggilannya bukan membawa orang beribadah. Ada orang bikin company Kristen, pokoknya dibikin Kristen sedemikian rupa, caranya ya, bikin saja persekutuan kantor. Saya bukan mau berpolemik di bagian ini, tapi Saudara dengan persekutuan kantor itu mau apa? Nanti bikin ibadah lagi, bikin chapel hari Minggu juga, akhirnya confused, orang beribadah di kantor. Panggilannya kantor/ company/ tempat kerja itu apa sebetulnya? Panggilannya Gereja itu apa? Kalau Gereja cari untung, dia berubah panggilan seperti panggilannya company. Kalau company bawa-bawa ibadah, penginjilan, dsb. jadi confused panggilannya sebenarnya. Setiap tempat ada panggilan yang kudus, termasuk panggilan cari uang di company bisa jadi panggilan yang kudus dengan filosofi cari uang yang benar, filosofi kerja yang benar, dst. dst. Tapi kekacauan panggilan seperti ini bisa jadi tidak keruan, nanti katanya sekolah, katanya universitas, katanya rumah sakit, tapi panggilannya panggilan company. Gereja pun bisa jatuh ke dalam panggilan ‘pasar’ seperti di bagian ini, bukan jadi Bait Allah lagi tapi jadi pasar, jadi tempat yang orang bisa berbisnis, dst. dst. Ada kekacauan panggilan, dan Yesus membereskan. Waktu Yesus hadir, Yesus mencintai rumah Tuhan. Yesus mencintai tempat itu sendiri.
Dalam hal ini Lukas –karena kita mempunyai catatan tentang gereja mula-mula dari Lukas yang menulis Kisah Para Rasul– yang paling less critical terhadap Bait Allah, konsisten menyajikan profil teologi ini. Saudara membaca di Kisah Para Rasul bahwa jemaat mula-mula tetap beribadah di sinagoga. Mereka bukan melihat sinagoga itu tempat sesat atau tempat setan lalu bangun gedung gereja sendiri misalnya. Memang akhirnya mereka diusir dan harus bersekutu di rumah-rumah sampai kemudian di zaman Konstantin baru mulai ada katedral-katedral yang megah, tapi itu baru belakangan sedangkan sebelumnya mereka selalu menghargai Bait Suci sebagai Tuhan hadir di sana. Mereka bukan kaum sektarian yang ‘ada kesulitan sedikit langsung set up yang baru’, nanti ada kesulitan lagi lalu set up yang baru lagi, dst. Itu tidak umum untuk gambaran early church. Itu cuma menyatakan gambaran orang yang tidak tahan dalam kesulitan; waktu mereka set up yang baru, apa pasti dosa tidak ada di sana, apa kekurangan langsung jadi tidak ada sama sekali? Katakanlah Gereja ini tidak sempurna, Saudara kecewa, lalu mulai yang baru. Apa yang baru itu tidak ada kekurangan, langsung jadi gereja surga? Pasti tidak, akan ada kekurangan lagi di situ. Martin Luther juga tidak ada pikiran mau mendirikan Gereja sendiri. Kalau bisa dia mau me-reformasi saja Gereja yang sudah ada, tapi dia diusir keluar, di-ekskomunikasi, apa boleh buat tidak ada jalan lain karena tidak bisa lagi berada di dalam, bukan dia punya jiwa sektarian. Yang punya jiwa sektarian –historically speaking– justru orang-orang Anabaptis pada saat itu, bukan orang-orang Reformasi. Orang Reformasi maunya di dalam, tapi tidak ada kemungkinan, mereka ditendang keluar, sehingga apa boleh buat mereka harus memulai Gereja sendiri, di dalam kebergantungan kepada Tuhan. Kembali ke bagian ini, Yesus di sini sebetulnya memberikan teladan kepada murid-murid yang pertama/ the early church/ Gereja mula-mula, waktu Dia sendiri mengusahakan penyucian Bait Allah. Bukan karena Yesus adalah Bait Allah yang asli lalu Dia merasa terancam dengan Bait Allah buatan Herodes. Kutipan “cinta untuk rumah-Mu menghanguskan Aku” ini tetap menujuk kepada Bait Allah yang dibangun oleh tangannya Herodes yang sangat tidak layak itu, dan Yesus me-reformasi Bait Allah, atau Gereja dalam konteks kita sekarang.
Jadi, kita harus berhati-hati dengan 2 gambaran ekstrim ini: yang satu sangat menekankan the established church dengan organisasinya, dsb. kemudian melupakan kehadiran Tuhan; yang lain seolah-olah mementingkan kehadiran Tuhan tapi tidak mencintai rumah Tuhan. Perhatikan di sini dikatakan “cinta untuk rumah-Mu menghanguskan Aku”. Mengapa musti mencintai rumah Tuhan? Karena itu adalah rumah-Mu, rumah Tuhan. Kita mencintai rumah Tuhan karena itu adalah rumahnya Tuhan. Tapi pertanyaannya: betulkah ini rumahnya Tuhan? Di sini tidak jadi rumah Tuhan lagi, karena yang hadir di sini Tuhan dan mereka tidak menerima kehadiran-Nya.
Di dalam cerita perkawinan di Kana, Yesus diundang, dan Dia bukan jadi undangan, Dia langsung take over kepemimpinan jadi tuan rumah. Tapi ini berkat. Saudara undang Yesus masuk dalam pernikahan, Yesus tidak akan jadi tamu, Yesus akan langsung jadi Raja di sana, tapi ini blessing untuk pernikahan Saudara. Yesus tidak akan jadi orang yang mengetuk, mengetuk, dan mengetuk, menunggu sampai kita bukan pintu sesuai dengan waktu dan bijaksana kita. Tidak — meskipun ada ayat seperti ini di Wahyu 3– tapi Yesus mengetuk supaya menyadarkan kita bahwa Yesus perlu hadir dalam kehidupan kita. Di perikop ini, waktu Yesus datang di rumah Tuhan, mereka tetap memperlakukan Yesus sebagai tamu, bahkan orang asing. Mereka rasa tidak mungkin memperlakukan tamu seperti ini –yang datang-datang jungkir meja– dengan baik. Kalau Saudara kedatangan tamu di rumah, lalu dia bilang “ini desainnya salah, mustinya kulkas di sini, ranjang di situ”, lalu dia pindah-pindahkan, Saudara akan garuk-garuk kepala, sebenarnya ini siapa ya? saya ‘kan tuan rumah, dia cuma tamu. Saudara bayangkan Yesus masuk di Bait Allah lalu melakukan itu tadi, memang masuk akal kalau mereka tanya, “Engkau berhak bertindak ini dari mana, dengan kuasa apa, otoritasnya dari mana, tanda apa? Tunjukkan kepada kami”. Tapi yang tidak bisa diterima adalah mereka tidak tahu bahwa yang datang ini sebenarnya Pemilik Bait Allah. Yesus bukan tamu. Sama seperti waktu Yesus datang dalam perkawinan di Kana, Dia bukan tamu, Dia menunjukkan bahwa “Akulah Mempelai Laki-laki yang sesungguhnya, yang akan menikah dengan jemaat-Ku”.
Di sini, Yesus, Pemilik Bait Allah datang, tapi mereka tidak mengenali Yesus sebagai pemilik Bait Allah, sebagai Tuhan, sebagai Allah.Yang mereka lihat, merekalah yang memiliki Bait Allah. Ada benturan kepemilikan/ ownership. Ini poin besar, kita bisa aplikasikan dalam banyak sekali aspek kehidupan manusia, termasuk keluarga kita. Anak dalam kehidupan Saudara itu milik siapa sebetulnya? Uang yang di tangan Saudara itu miliknya siapa? Secara teori kita gampang sekali mengatakan “miliknya Tuhan”. Suami miliknya Tuhan, istri miliknya Tuhan, anak miliknya Tuhan, uang miliknya Tuhan, tapi waktu ada kebutuhan maka langsung muncul penjelasan, “Ya, milik Tuhan sih milik Tuhan, tapi Tuhan percayakan kepada saya”. Memang tidak mudah menyerahkan kepemilikan kepada Tuhan. Hidup kita sendiri pun milik Tuhan. Tapi di sini, waktu Sang Pemilik Bait Allah itu datang, ada konflik kepemilikan ini. Yang datang Allah sendiri, tapi mereka tidak bisa menghargai.
Saudara jangan bilang mereka ‘gak tahu kalau Yesus itu Allah, mereka tahunya Yesus cuma semacam nabi; coba kalau mereka tahu, pasti mereka akan rela Yesus melakukan apa pun di sana. Itu excuse yang tidak ada poinnya. Yesus datang sebagai terang, dan orang tahu kalau yang datang ini terang. Kalau mereka tidak menerima Yesus sebagai Allah, mereka tidak menerima Allah. Kalau mereka tidak pernah menerima Yesus sebagai Allah lalu bilang ‘tidak tahu bahwa Yesus Allah’ berarti orang itu memang tidak pernah menerima Allah. Pekerjaan Bapa dan pekerjaan Anak itu sinkron, tidak ada perbedaan. Tidak ada yang dikerjakan Bapa itu lain dengan yang dikerjakan Anak, sampai orang tidak bisa melihat pekerjaannya Anak karena sama sekali lain. Prinsip itu tidak ada di dalam Alkitab. Yesus cuma mengerjakan pekerjaan Bapa-Nya. Waktu Yesus menyucikan Bait Allah, itu memang dikehendaki Bapa. Kalau mereka tidak bisa menerima penyucian Bait Allah yang dikerjakan Yesus Kristus, ya, memang mereka tidak bisa menerima penyucian yang akan dikerjakan oleh Allah, Yahweh yang mereka percaya itu.
Kehadiran Yesus seperti kelihatan mengacaukan, tapi sebenarnya merapikan; yang kacau mereka, bukan Yesus. Yesus mau membersihkan, menyucikan Bait Allah. Tapi orang Yahudi tidak bisa terima, mereka minta tanda. Tanda adalah salah satu kata kunci dalam Injil Yohanes. Tanda seringkali dikaitkan dengan mujizat, tapi sebenarnya penyucian/ pembersihan ini sendiri sebenarnya juga tanda. Tanda yang menunjuk kepada pribadi Kristus. Sebenarnya bukan masalah ada perdagangan di sana, Yesus mau menyatakan tanda, bahwa tubuh-Nya, Yesus sendiri, adalah Bait Allah, bukan Bait Allah yang ini yang Tuhan tidak berkenan hadir di dalamnya. Paulus meneruskan dalam Surat Korintus, “Kamu adalah Bait Allah, karena Tuhan berkenan tinggal di dalam hidupmu.”
Setelah itu, di ayat 19 Yesus mengatakan: "Rombak Bait Allah ini, dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya kembali." Lalu kata orang Yahudi kepada-Nya: "Empat puluh enam tahun orang mendirikan Bait Allah ini dan Engkau dapat membangunnya dalam tiga hari?" (ayat 20). Saudara perhatikan, ini tipikal argumentasi manusia: main angka, main durasi, yang tidak ada poinnya sama sekali. Ini mirip seperti orang mengatakan: “Saya sudah menikah selama 25 tahun, kamu baru 3 hari”, maksudnya lu ‘gak tahu apa-apa, gua lebih ngerti. Ini logika ‘gak nyambung. Ada orang menulis buku tentang pernikahan tapi dia sendiri kawin cerai sampai 5 kali. Lalu ditanya, “Lu tulis buku tentang pernikahan, lu sendiri kawin cerai sampai 5 kali?” Dia jawab, “Practice makes perfect”. Kurang ajar sekali. Bukannya bertobat malah men-justify dirinya yang sudah 5 kali kawin cerai, lu nikah baru sekali, gua udah 5 kali, gua lebih berpengalaman daripada lu. Itulah jalan dunia, main angka. “Saya sudah lama jadi Kristen, saya kenal Teologi Reformed sejak tahun segini, saya sudah dengar kotbah Pak Tong waktu kecil!” Lalu apa? Ini kalimat yang persis seperti dilontarkan orang-orang Yahudi, 46 tahun kami mendirikan Bait Allah, Kamu mau membangunnya dalam 3 hari?? Saudara jangan lupa, 3 harinya Allah dengan 46 tahunnya manusia tidak bisa di-compare. Kalau Tuhan bikin sesuatu 1 menit saja, itu jauh lebih berharga daripada ratusan tahunnya manusia. Ini poin penting. Pertanyaannya bukan Saudara sudah menikah berapa lama, sudah punya anak berapa banyak, sudah ber-gereja berapa lama, sudah baca buku berapa banyak, ikut Reformed berapa lama, tapi yang jadi masalah: Siapa yang membangun? “Empat puluh enam tahun orang mendirikan Bait Allah ini… “, maksudnya Herodes. Mau 46 tahun, 100 tahun, atau 1000 tahun, itu Herodes, bukan Tuhan. Tapi yang dibangun oleh Tuhan 3 hari saja –ini angka 3 hari, kematian dan kebangkitan Kristus– inilah Bait Allah; Bait Allah tidak bisa dipisahkan dengan kematian dan kebangkitan Kristus.
Saya seringkali kuatir dengan gambaran evangelical yang selalu mengatakan, “Yesus mati di atas kayu salib menggantikan saya supaya saya tidak usah mati, Yesus mati menderita supaya saya yang harusnya mati, tidak mati, karena kematian Kristus saya memperoleh kehidupan. ” Kalimat itu memang betul, ada poin Alkitabnya juga, tapi Saudara lupa poin Alkitab yang lain: “Yesus mati di atas kayu salib dan mengajak kita juga untuk mati bersama dengan Dia”. Kita ini anggota tubuh Kristus; yang mati bukan cuma Kepala tapi anggota tubuh-Nya juga musti mati. Memang matinya tidak harus di atas kayu salib, tidak semua orang layak jadi martir, tapi tidak ada anggota tubuh yang tidak perlu mati karena Yesus mati di atas kayu salib. Dalam Perjanjian Baru bukankah Paulus mengatakan, “Kita bukan cuma dipanggil untuk diselamatkan tapi juga untuk menderita” ? Apa yang mau saya katakan? Ini: kehadiran Tuhan, kuasa kebangkitan Kristus, tidak mungkin ada tanpa kematian; ini paralel, kuasa kematian dan kuasa kebangkitan. Kristus sudah mati di atas kayu salib, fakta itu tidak bisa diubah. Sekarang kita –Saudara dan saya– adalah anggota tubuh Kristus, lalu dalam kehidupan kita ini bekerja kuasa kematian atau tidak? Kalau tidak bekerja kuasa kematian, tidak usah mimpi bicara kuasa kebangkitan. Orang yang tidak mati, tidak ada kebangkitan,bangkit dari apa kalau tidak pernah mati? Yesus pun mati baru bangkit, bukan bangkit dari bukan mati.
Kuasa kebangkitan cuma bekerja di dalam Gereja yang di dalamnya bekerja kuasa kematian Kristus. Apa itu kuasa kematian Kristus? Sederhana, kuasa pengorbanan, penyangkalan, mematikan ego diri dan mempersilakan Yesus bekerja menjadi Raja, dst. Tanpa itu, Bait Allah cuma bait Allah struktur, persis seperti di bagian ini; tidak ada kuasa kematian Kristus bekerja di dalamnya –memang saat itu Yesus belum mati– maksudnya tidak ada cinta kepada Tuhan yang berbarengan dengan pengorbanan. Ini ironis; yang dijual adalah binatang-binatang korban, tapi di tempat yang harusnya ada korban, yang ada justru pemerasan terhadap orang-orang miskin. Secara struktur seperti ada simbol-simbol korban, tapi tidak ada korban sama sekali sebetulnya. Lalu bagaimana Allah mau hadir di sana, di tempat yang tidak ada korban? Jangan mimpi! Tidak ada Gereja yang seperti itu diberkati Tuhan. Waktu Yesus mengatakan, “Rombak Bait Allah ini, dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya kembali”, dari sisi Kristus hal itu sudah diselesaikan. Objectively done, sudah selesai.Yesus mati dan Yesus bangkit. Dan sekarang kita bagaimana? Kita menderita dan mati bersama dengan Kristus atau “ya sudah, Yesus mati ya sudah saya ‘gak usah dong, Yesus menderita ya sudah saya ‘gak usah menderita; justru puji Tuhan Dia yang menderita supaya saya ‘gak usah menderita’. Kalimat seperti ini kelihatan seperti evangelical padahal tidak ada dasar Alkitabnya. Tidak ada orang Kristen yang diselamatkan yang tidak dipanggil untuk bersekutu di dalam penderitaan Kristus. Itu tidak ada. Mengapa Gereja tidak bertumbuh? Sederhana, karena tidak ada kuasa pengorbanan. Kita bisa analisa sampai rumit sekali, lalu action pengorbanannya apa? Yang kita perlu bukan orang yang analisa, tapi orang yang selain mengetahui persoalannya tapi juga terjun di dalamnya.
Waktu Yesus menghadapi orang-orang di sini, mereka bukan saja tidak bertobat tapi mereka balik menantang. Itu berarti mereka tidak menghargai kehadiran Allah sendiri, Bait Allah tidak menjadi Bait Allah lagi, bukan menjadi rumah Tuhan.
Dalam cerita berikutnya, Yesus memberikan tanda ini, dan toh ternyata ada orang-orang yang percaya; ayat 23 mengatakan: ‘ … selama hari raya Paskah, banyak orang percaya dalam nama-Nya, karena mereka telah melihat tanda-tanda yang diadakan-Nya’. Tapi yang mengagetkan di ayat 24 dikatakan ‘Yesus sendiri tidak mempercayakan diri-Nya kepada mereka’. Di sini waktu Yohanes menggunakan istilah “percaya” (perlu diberikan tanda kutip), mereka tidak betul-betul percaya sebenarnya. Ini orang-orang yang mungkin selalu pergi ke Bait Allah tapi tidak pernah mencari kehadiran Tuhan. Mereka lebih peduli AC rusak atau tidak, kursi stabil atau tidak, orang-orangnya hangat atau tidak, dst. tapi kehadiran Tuhan tidak ada dalam pikiran mereka. Mereka kelihatan sebagai orang-orang yang percaya di dalam nama-Nya, mereka juga melihat tanda-tanda itu, tapi cuma diam di dalam tanda. Mereka tidak pernah mau melihat yang ditunjuk oleh tanda itu. Yesus menjungkir-balikkan meja-meja penukar uang, itu sebenarnya tanda. Mereka melihat itu dan mereka jengkel, mereka bukan melihat bahwa Yesus-lah sebetulnya Bait Allah. Kehadiran Tuhan itu yang penting, tapi mereka cuma melihat orang ngamuk-ngamuk, tidak melihat Yesus yang sedang menegur; mereka malah tersinggung, marah, urusan rebutan otoritas, dst. Dan, orang-orang seperti ini, ada yang percaya; paling tidak, mungkin baru pertama kali ada orang menjungkir-balikkan meja-meja seperti ini dan tidak dirajam, pastinya orang semacam ini punya kuasa. Maka ada yang tergerak, kagum dengan nama Yesus, percaya di dalam nama-Nya. Mungkin juga mereka berbagian dalam perkawinan di Kana dan melihat mujizat air diubah menjadi anggur itu, tapi mereka tidak pernah melihat yang ditunjuk oleh tanda itu, tubuh Yesus yang akan dipecahkan dan darah-Nya yang akan dicurahkan; yang mereka lihat cuma tanda, tanda, tanda.
Maka Yesus tidak mempercayakan diri-Nya kepada mereka, karena Ia mengenal mereka semua, karena tidak perlu seorangpun memberi kesaksian kepada-Nya tentang manusia, sebab Ia tahu apa yang ada di dalam hati manusia (ayat 24-25). Orang datang ke Bait Allah, ke Gereja, Tuhan tahu isi hatinya, tidak ada yang Tuhan tidak tahu, dan tidak perlu ada orang yang kasih tahu karena Tuhan mahatahu. Ada orang yang kelihatannya percaya, dan Yesus tidak mempercayakan diri-Nya kepada mereka. Ini jarang dibahas karena seperti kejam sekali, yang lebih dibahas ‘siapa percaya, pasti diselamatkan’ bahkan “yang penting percaya dulu, pertobatan belakangan ‘gak apa nanti akhirnya bertobat juga’. Injil dibikin murah sekali. Akhirnya tidak pernah bertobat, karena memang tidak pernah ada pemberitaan Injil yang sejati; yang ada adalah tawaran percaya, percaya. Maka ayat ini mengatakan “banyak orang yang percaya di dalam nama-Nya”, karena apa? karena melihat tanda-tanda; dan dilanjutkan “tetapi Yesus tidak mempercayakan diri-Nya kepada mereka, karena Yesus tahu apa yang ada di dalam hati manusia”. Siapa yang mencari Tuhan, siapa yang mengindahkan kehadiran Tuhan, siapa yang tidak peduli sama sekali, itu semua Tuhan tahu kedalaman hati manusia.
Kita bersyukur Firman Tuhan bukan berhenti di sini tapi kemudian di pasal 3 ada pembicaraan dengan Nikodemus yang melengkapi picture ini. Sementara pasal 2 diakhiri dengan pernyataan God’s sovereignty, kemudian pasal ke-3 masuk ke pembicaraan tentang God’s love, patience, compassion. Kekristenan biasa terbagi dua ini, yang menekankan God’s sovereignty tidak ada love, patience, compassion; dan yang menekankan God’s love, patience, compassion, aspek-aspek humanisme, dsb. tapi kehilangan God’s sovereignty. Kalau kita kembali kepada Alkitab, dua-duanya diajarkan, dan kita harus menerima keseluruhan puzzle ini. Kiranya Tuhan memberkati kita.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading