Kita melanjutkan topik “Calling”, hari ini khotbah ke-8.
Dalam khotbah-khotbah sebelumnya, kita melihat apakah panggilan manusia itu dari sudut pandang yang mungkin kita tidak terbiasa. Sebagai orang-orang yang di gereja, sering kali kita mengira Alkitab bicara panggilan manusia terutama dalam urusan-urusan rohani, atau bahkan hanya urusan rohani. Kemudian, dari semua ayat-ayat yang kita gali, ternyata dari awal sampai akhir Alkitab, yang Alkitab beritakan sebagai hakekat/esensi dari ‘menjadi seorang manusia’ bukan terutama urusan kerohanian (kerohanian dalam arti sempit, yang cuma urusan hati dan jiwa, non-material, non-badani), tapi justru urusan budaya dan budi daya-nya. Dalam teks-teks yang menceritakan ‘kenapa’ maupun ‘apa tujuan’ manusia diciptakan, serta ‘peran apa’ yang paling fundamental dalam kehidupan manusia, berkali-kali kita mendapati bahwa arahnya ke bumi, ke bawah. Manusia dipanggil untuk mewakili Allah menjalankan pemerintahan yang bertanggung jawab di atas bumi ini, meneruskan apa yang Allah lakukan. Peran unik manusia yang tidak ada dalam makhluk ciptaan lain, ternyata bukan soal menyembah Tuhan (menyembah dalam arti sempit yang cuma urusan datang ke gereja, nyanyi, saat teduh, dsb.); yang kita baca di kitab Kejadian, ternyata panggilan manusia adalah untuk berurusan dengan bumi ini sebagaimana Allah berurusan dengan bumi ini —ke bawah.
Kalaupun kita mau pakai istilah ‘kerohanian’, kita harus tahu bahwa gambaran kerohanian dalam Alkitab jauh lebih luas, bukan melulu urusan antara manusia dengan Allahnya tok; gambaran kerohanian yang kita dapatkan dalam Alkitab adalah gambaran yang bukan cuma ‘cermin’ tapi ‘kaca spion’. Ini gambaran yang selalu melibatkan 3 pihak; ada kehadiran bumi ini yang sangat esensial dalam identitas kita sebagai gambar dan rupa Allah. Sesungguhnya, menurut Alkitab –saya berani katakan ini– manusia bukanlah manusia jika ia tidak sedang berelasi dengan benar terhadap bumi ini, jika ia tidak sedang mengolah bumi ini.
Hari ini kita akan melanjutkan pembahasannya; kita akan pakai kacamata ini terus, dan coba membahas bukan cuma mengenai penciptaan (creation), tapi juga secara logisnya masuk ke pembahasan mengenai kejatuhan manusia (fall) dan penebusan manusia (redemption). Dalam dua hal ini, kita akan coba melihatnya sebagaimana kita melihat penciptaan, kita mau melihat apakah ada pola yang sama atau tidak. Sedikit warning, hari ini kita bukan khotbah naratif, khotbah hari ini mirip PA, pelan-pelan menyelidiki ayat demi ayat, membukanya dan membandingkan ayat per ayat secara detail. Mungkin Saudara tidak suka khotbah seperti ini, tapi kita di sini bukan mengkhotbahkan apa yang jemaat suka, melainkan apa yang jemaat perlu. Kita sudah berkali-kali mengatakan dan melihat lewat pembahasan-pembahasan kita, bahwa yang jadi biang kerok permasalahan di gereja adalah keengganan orang Kristen untuk benar-benar mendalam dalam menyelidiki teks-teks di Alkitab. Misalnya dalam pembahasan kita mengenai peran wanita di gereja, yang jadi error adalah karena orang memegang posisi tertentu dalam urusan ini tapi tidak tahu sebenarnya apa yang dikatakan teks Alkitab sendiri; dan waktu disuruh kembali ke teksnya untuk mengevaluasi posisinya tersebut, alasannya ‘saya ini orang sederhana, tidak bisa belajar mendalam seperti itu, kasih tahu saja konklusinya’ –selalu mau konklusinya tapi tidak pernah mau masuk dapur, maka akan mengulangi kesalahan yang sama.
Seorang teolog pernah ditanya, apa keunikan dia. Awalnya dia menjawab, “Ah, saya tidak ada unik-uniknya, saya bukan superhero, saya hanya berusaha untuk setia kepada Alkitab; dan urusan setia kepada Alkitab itu harusnya bukan sesuatu yang unik ‘kan”. Tapi si penanya melanjutkan, “Oh, saya cuma mau memperkenalkanmu kepada para audience; jadi kamu mau diperkenalkannya sebagai teolog yang apa?” Teolog tadi akhirnya menjawab, “Oh, ya, saya ingin orang mengingat saya sebagai teolog yang tidak melindungi jemaatnya dari Alkitab –yang tidak melindungi jemaatnya dari kesulitan-kesulitan Alkitab, yang tidak melindungi jemaatnya dari pendidikan Alkitab yang memang harus mendalam dan sulit dan kadang membosankan, karena inilah yang diperlukan.” Saya rasa, inilah yang kita juga akan lakukan. Kita tidak akan melindungi Saudara dari Alkitab, kita akan coba melihat beberapa ayat yang kembali bisa menjadi alat untuk mengevaluasi posisi kita selama ini mengenai apakah panggilan manusia itu.
Yang pertama, KEJATUHAN.
Sama seperti banyak orang melihat bahwa manusia diciptakan adalah untuk memuliakan Allah, atau menyembah Allah, atau tujuan-tujuan “rohani” lainnya yang tidak ada sangkut pautnya dengan bumi ini, maka hal kejatuhan manusia pun seringkali dibaca secara demikian. Kalau saya tanya Saudara, ‘manusia jatuh dalam dosa, itu artinya apa’, mungkin Saudara akan menjawab dengan kalimat-kalimat standar, bahwa manusia jatuh dalam dosa artinya memberontak kepada Allah, melanggar hukum Allah, ingin menjadi seperti Allah, dan seterusnya; lalu di mana tempatnya bumi dan dunia, tidak ada dalam gambaran kerohanian seperti itu. Itu sebabnya mari kita sekarang kembali ke Alkitab, menyelidiki catatan-catatan mengenai kejatuhan manusia, khususnya dalam kitab Kejadian pasal 1-11, karena itulah bagian-bagian yang mencatat mengenai kerusakan manusia yang makin lama makin hancur.
Yang pertama kita lihat adalah dalam catatan kejatuhan Adam dan Hawa, yaitu waktu Adam dan Hawa jatuh lalu mereka dikutuk oleh Tuhan, apa sebenarnya yang dikutuk oleh Tuhan. Ketika manusia diciptakan, Tuhan mengumumkan kalimat berkat kepada mereka; sekarang waktu manusia jatuh dalam dosa di Kejadian 3, Tuhan lalu mengumumkan kalimat kutuk. Ini satu hal yang menarik, karena di sini Saudara jadi sadar bahwa kalimat kutuk ini bukan sekadar keluar dengan sendirinya begitu saja, tapi ada hubungannya dengan kalimat berkat yang Tuhan pernah beritahukan. Kita kembali dulu ke kalimat berkat di Kejadian 1:28, dan kita menemukan demikian: Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: ”Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” Apakah dikatakan ‘penuhilah gereja’? Tidak; yang dikatakan ‘penuhilah bumi dan taklukkanlah itu’. Apakah dikatakan ‘berkuasalah atas renungan saat teduh’? Tidak; yang dikatakan, ‘berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi’. Inilah kalimat berkat Tuhan di bagian awal; di sini yang jadi esensi mengenai ‘siapakah manusia’ adalah 2 hal: memenuhi bumi dan berkuasa atas bumi –berbudaya dan berbudi daya. Sekarang, ketika Saudara melihat kalimat kutuk terhadap Adam dan Hawa, Saudara akan menemukan bahwa kalimat kutuknya juga bukan terutama tentang urusan relasi manusia dengan Allah, melainkan urusan relasi manusia dengan bumi ini. Kejadian 3:17-19, “… terkutuklah tanah karena engkau; dengan bersusah payah engkau akan mencari rezekimu dari tanah seumur hidupmu: semak duri dan rumput duri yang akan dihasilkannya bagimu, dan tumbuh-tumbuhan di padang akan menjadi makananmu; dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu, sampai engkau kembali lagi menjadi tanah, karena dari situlah engkau diambil; sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu.” Saudara perhatikan, bagi Adam, yang dikutuk adalah urusan pekerjaan, urusan mengolah bumi. Urusan pekerjaan Adam ini tadinya adalah berkat Tuhan, sekarang adalah kutukan. Pekerjaan manusia bukan sesuatu yang baru muncul setelah kejatuhan, tapi sudah muncul sejak awal penciptaan, bahkan itulah esensi manusia; dengan demikian, esensi inilah yang kena kutuk, harusnya menjadi berkat, sekarang malah jadi kutuk.
Yang kedua, kita melihat kutukan terhadap Hawa. Kita semua biasanya langsung ingat, kutukan kepada Hawa adalah waktu bersalin sakit, tapi sebenarnya dalam bahasa aslinya istilah yang dipakai bukan hanya mengacu urusan sakit persalinan melainkan bicara mengenai seluruh hal dalam urusan memperoleh keturunan, bahwa itu akan jadi sesuatu yang menyakitkan dan menyulitkan. Ini memang benar, karena Saudara mengalami bahwa kesulitan dalam memperoleh keturunan bukanlah cuma waktu bersalin doang lalu setelah itu tidak ada lagi; Saudara mengalami bahwa sejak ada relasi suami istri –supaya bisa memperoleh keturunan– sudah ada banyak pertikaian, demikian pula waktu mengandung, juga setelah selesai bersalin pun Saudara harus mendidik anak dan siapa yang tidak akan bilang bahwa mendidik anak itu penuh dengan kesulitan. Perolehan keturunan ini menjadi satu hal yang akhirnya bisa dibilang membawa kutuk.
Saudara perhatikan dua hal ini, efek dosa terhadap Adam dan Hawa ini: pertama, berkenaan dengan pekerjaan —urusan mengolah bumi; yang kedua, berkenaan dengan perolehan keturunan –urusan memenuhi bumi. Kembali kita melihat dalam kalimat berkat Tuhan di awal, esensi manusia adalah dipanggil untuk berkuasa atas ikan-ikan di laut, menaklukkan bumi dsb., dan untuk beranak cucu serta bertambah banyak; dan sekarang kutukannya juga menyangkut dua hal ini. Jadi, efek kejatuhan dosa Adam dan Hawa, yang menjadi kutukan Tuhan bukanlah efek yang “spiritual” dalam arti sempit itu, Saudara tidak melihat itu. Saudara tidak melihat Tuhan mengatakan, “Adam, kamu nanti jadi sombong, kamu jadi cenderung harga dirinya tinggi, jadi orang yang suka menipu”, dst.; tidak demikian. Kutukannya bukan efek spiritual yang ditekankan, tapi kultural. Inilah efek kejatuhan sejak awal. Pertanyaannya, kenapa kita selama ini tidak pernah membacanya seperti ini, padahal konteksnya jelas-jelas mengatakan seperti ini?
Kita melanjutkan, maju ke Kejadian 4. Di sini kita kembali menemukan konfirmasi, bahwa Alkitab sesungguhnya membaca kejatuhan manusia dalam kacamata ‘budaya dan budi daya’, bukan cuma urusan spiritual. Saudara perhatikan di situ, ketika manusia berdosa, manusia tidak lalu tiba-tiba berhenti jadi makhluk kultural, mereka tetap menghasilkan budaya dan budi daya; dan ada catatan mengenai hal ini. Di Kejadian 4, ada inovasi-inovasi budaya yang pertama-tama, yaitu munculnya kota yang pertama (4:17), munculnya alat-alat musik yang pertama (4:21), munculnya metalurgi yang pertama (4:22), dst. Tapi, pada saat yang sama bukan cuma inovasi dalam hal kultural, Saudara juga menemukan inovasi dalam hal budaya yang gelap, yaitu budaya kejahatan dan kekerasan yang juga mulai terbentuk di dalam dunia ini. Kita menemukan di pasal yang sama ada munculnya kota yang pertama dan juga ada pembunuhan yang pertama, ada alat-alat musik yang pertama dan juga ada bigami (pernikahan dua istri) yang pertama –ini model kekerasan dan abuse terhadap wanita yang pertama, Lamekh mepunyai dua istri. Lagipula ada pembunuhan balas dendam yang pertama; waktu Kain membunuh, boleh dibilang itu pembunuhan karena dia iri, tapi Lamekh membunuh karena balas dendam, pembunuhan berencana, dan lagi dia membanggakan pembunuhan yang dilakukannya itu kepada dua istrinya. Saudara, bukan kebetulan di dalam pasal yang menceritakan alat musik pertama ditemukan, juga ada pembunuhan balas dendam yang pertama, dan bagian itu kemudian ditutup dengan Lamekh bernyanyi mengenai aksi pembunuhannya itu. Saudara lihat penggabungan ini; ada inovasi dalam hal budaya, tapi juga ada inovasi dalam hal budaya yang berdosa. Tapi sekali lagi, efek dosa ini dibaca dan dihadirkan dalam kategori budaya, bukan cuma dalam kategori psikis, atau jiwa, atau emosi.
Berikutnya, Kejadian pasal 6. Ini adalah cerita sebelum air bah, dan yang menarik di ayat 11 Saudara menemukan kalimat ini: Adapun bumi itu telah rusak di hadapan Allah dan penuh dengan kekerasan —bumi penuh dengan kekerasan (violence). Coba Saudara ingat-ingat, frasa seperti ini sebelumnya muncul di mana? Sekali lagi, di awal Allah memberkati manusia untuk memenuhi bumi; maka bukan kebetulan di Kejadian 6 kalimatnya adalah bahwa manusia memang benar memenuhi bumi, tapi dengan kekerasan. Saudara perhatikan, tidak ada dicatat dosa-dosa yang “rohani” seperti penyembahan berhala dsb.; hal seperti itu tidak masuk di catatan ini, itu bukan dosa-dosa manusia yang dicatat di bagian awal seperti ini.
Kita maju lagi ke pasal 9, dan kita melihat akhir kisah Nuh. Dalam akhir kisah Nuh setelah air bah lewat dan Nuh keluar dari bahtera, kembali Nuh digambarkan sebagai seorang pionir dalam hal budaya dan budi daya, Nuh adalah orang pertama yang mengusahakan kebun anggur. Ini pencapaian/keberhasilan dalam hal budaya. Ini pencapaian manusia sebagai gambar rupa Allah yang meneruskan bagaimana Allah mengembangkan ciptaan-Nya. Tapi pada saat yang sama, Saudara juga lihat keberhasilan/pencapaian pertama ini dinodai dengan catatan Nuh sebagai pemabuk yang pertama juga, yang menghasilkan keretakan dalam relasi ayah-anak, karena Nuh kemudian telanjang, anaknya melihat dan menghina ayahnya itu, lalu Nuh mengutuk dia serta keturunannya, dst. Bagian ini juga kita tidak bisa pisahkan.
Bagian pertama dari kitab Kejadian ini, yaitu pasal 1-11 (catatan sebelum Abraham dipanggil biasanya disebut bagian pertama kitab Kejadian), ditutup dengan kisah Menara Babel, yang Saudara juga sudah cukup familier, namun ada satu hal menarik yang mungkin sebelumnya Saudara tidak sadari. Di pasal 11:1 dikatakan demikian: ‘Adapun seluruh bumi, satu bahasanya dan satu logatnya’, maka kita berasumsi Menara Babel adalah peristiwa yang tadinya manusia hanya satu bahasa lalu dibikin jadi banyak bahasa oleh Tuhan. Tapi kalau kita mundur 2 ayat sebelum pasal 11, di sana dikatakan: ‘Itulah keturunan Sem, menurut kaum mereka, menurut bahasa mereka, menurut tanah mereka, menurut bangsa mereka’ (pasal 10:31). Mundur lagi ke ayat 20 pasal 10: ‘Itulah keturunan Ham menurut kaum mereka, menurut bahasa mereka, menurut tanah mereka, menurut bangsa mereka.’ Mundur lagi ke ayat 5: ‘Dari mereka inilah berpencar bangsa-bangsa daerah pesisir. Itulah keturunan Yafet, masing-masing di tanahnya, dengan bahasanya sendiri, menurut kaum dan bangsa mereka’; dan di bagian awal kalimat ayat 5 ini dikatakan ‘dari mereka inilah berpencar bangsa-bangsa daerah pesisir’. Saudara lihat di pasal 10, persis sebelum Menara Babel, Alkitab memberitahukan bahwa manusia sudah berkembang dan berpencar memenuhi bumi, masing-masing menurut bangsanya sendiri, masing-masing di tanahnya sendiri, dan masing-masing menurut bahasanya sendiri. Sudah ada begitu banyak bahasa sebelum peristiwa Menara Babel; jadi apa problemnya Menara Babel?
Peristiwa Menara Babel bukanlah momen yang entah bagaimana tercipta berbagai macam bahasa setelah sebelumnya cuma satu bahasa. Ada penafsir mengatakan, yang terjadi pada peristiwa Menara Babel di pasal 11 adalah suatu langkah mundur dalam kebudayaan; manusia mengupayakan keamanan, kuasa, persatuan, nama, dengan cara menetap di satu tempat.Ini upaya pertama untuk membuat kekaisaran dunia yang pertama, dengan cara satu bahasa. Dengan demikian, ini berarti sedang melawan kehendak Tuhan agar manusia menyebar dan memenuhi bumi untuk mengembangkan budaya dan budi daya. Saudara lihat apa tujuan awal Tuhan yang sedang dilanggar di sini? Kita mengatakan, manusia jatuh dalam dosa karena melanggar kehendak Tuhan; itu benar, tapi kehendak Tuhan yang dilanggar itu apa? Dan Saudara menemukan, ini bukan mengenai pemberhalaan, melainkan mengenai penyelewengan dari peran dan panggilan manusia yang awal itu, yaitu sebagai mahkluk-mahkluk budaya dan budi daya. Jadi langkah Menara Babel adalah langkah yang mundur, bukannya maju.
Kalau kita sungguh-sungguh kembali ke teksnya sendiri, kita akan menemukan bahwa catatan-catatan awal kitab Kejadian mengenai kejatuhan manusia, ternyata itu tidak melihat/membaca kejatuhan tersebut dalam urusan-urusan dosa “rohaniah”. Saudara justru menemukan bahwa pola yang muncul lagi dan lagi, adalah bahwa semua kejatuhan ini dihadirkan dalam warna budaya dan budi daya.
Sekali lagi, panggilan manusia sebagai imago Dei yang telah kita lihat, itu memang mengenai relasi manusia dengan bumi ini; dan ternyata yang kita lihat dalam Alkitab, yang menjadi problem dalam hal dosa bukan cuma urusan kegelapan yang memenuhi hati kita –tentu itu ada, tapi bukan cuma itu– yang justru ditekankan adalah bahwa manusia membawa kegelapan ini memenuhi bumi. Itulah problemnya. Problemnya selalu ke pihak ketiga ini (bumi/ciptaan), karena panggilan awalnya memang ada 3 pihak. Panggilan awalnya adalah manusia dan manusia bekerja sama untuk menjalankan kuasa yang telah diberikan kepada mereka sebagai imago Dei, mereka dipanggil untuk meneruskan kerja Allah atas ciptaan ini, sebagaimana Allah mengolah dan menciptakan bumi maka mereka perlu meneruskannya dengan mengolah dan menciptakan bumi. Selalu 3 pihak. Dengan demikian, kejatuhannya/pemberontakannya adalah ketika manusia menggunakan kuasa ini bukan untuk kerja sama tapi untuk saling injak, saling membunuh, saling membalas dendam, saling menguasai dan dikuasai, saling menghasilkan bumi yang penuh dengan kekerasan. Itulah problem yang kita lihat dalam Kejadian pasal 3-11. Kenapa begitu lain ya, dari warna yang kita dengar selama ini??
Kejatuhan manusia ternyata bukan cuma urusan manusia itu sombong, atau tidak mau taat, atau memberontak, atau hal-hal lain lagi yang kembali lagi cuma urusan saya-Tuhan, saya-Tuhan, saya-Tuhan melulu, atau urusan hati-jiwa, hati-jiwa, hati-jiwa tok. Saudara lihat kejatuhan manusia dalam bagian-bagian ini digambarkan sebagai sesuatu yang sangat erat hubungannya dengan urusan manusia-bumi dan dalam urusan badani-budaya.
Sebelum melanjutkan, menarik untuk kita perhatikan satu hal; kita tahu dalam kitab Imamat, orang Israel diminta untuk mempersembahkan domba yang tidak bersalah, domba yang tidak bercacat cela (istilah Ibraninya: tamim). Istilah ‘tidak bercacat cela’ ini adalah istilah yang juga dipakai ketika Alkitab memperkenalkan Nuh sebagai orang benar dan tidak bercela, blameless. Ini menarik, karena kalau manusia yang dikatakan blameless/tidak bercacat cela/tidak bersalah, Saudara akan langsung pikir ini kategorinya urusan hati-pikiran-jiwa; lalu bagaimana Saudara bisa mengatakan seekor domba tidak bersalah? Apakah kita cari domba yang tidak suka membunuh teman-temannya sesama domba, atau domba yang rajin saat teduh? Tentu saja tidak. Istilah tamim, sebagaimana LAI menerjemahkan dengan tepat, memang adalah istilah yang menunjukkan tidak bercacat cela, dalam arti domba ini domba yang berfungsi penuh, kaki-kakinya lengkap, matanya cerah, sehat walafiat, dan dengan demikian bisa berfungsi sebagai seekor domba pada umumnya, bulunya bisa dicukur dan dipakai, bisa mendatangkan kehangatan, dagingnya bisa dimakan, dan seterusnya. Itulah namanya domba yang tidak bercacat cela, domba yang utuh. Pengertian ini membongkar kita, karena waktu Alkitab menyatakan Nuh sebagai orang yang blameless, orang yang tamim, kenapa kita membacanya mengenai urusan hati dan jiwa?? Yang dimaksud Alkitab mungkin justru terbalik, bahwa manusia sebagai tamim, sebagai orang yang blameless/ tidak bercela, bukanlah soal Nuh itu orangnya lebih baik dari orang-orang lain, atau lebih suka datang ke gereja, atau lebih suka saat teduh, dsb.; tidak demikian, tapi mungkin hanyalah bahwa Nuh adalah orang yang mengerjakan panggilannya terhadap bumi ini secara utuh di hadapan Tuhan. Saudara, ini satu hal yang seharusnya membuat kita bertanya-tanya, selama ini waktu kita belajar Alkitab sebenarnya belajar apa sih?
Yang kedua, PENEBUSAN.
Saudara sudah melihat mengenai penciptaan, bahwa dalam catatan-catatan tentang bagaimana manusia dicipta ternyata berfokus bukan pada urusan aspek rohani, melainkan pada aspek peran manusia sebagai makhluk budaya. Hal yang sama juga Saudara lihat dalam kejatuhan, ternyata catatan-catatan tentang manusia jatuh, itu juga berfokus pada urusan budaya dan budi daya manusia, yang diselewengkan. Dengan demikian saya rasa Saudara tahu apa yang kita expect waktu kita melihat ke fase berikutnya, fase keselamatan/penebusan. Kita akan coba melihat beberapa teks Perjanjian Baru mengenai penebusan yang Allah bawa ke dalam dunia ini.
Ada 5 teks yang akan kita buka, dan dalam setiap teks ini saya ingin Saudara pikirkan 2 pertanyaan sentral yang perlu diperhatikan, yaitu: 1) apa istilah yang dipakai untuk mendeskripsikan keselamatan tersebut; 2) apa yang jadi sasaran/target keselamatan tersebut –apakah hanya mengenai jiwa-jiwa manusia, atau ada sesuatu yang lebih. Setelah kita menyelidiki 5 ayat ini, saya rasa Saudara akan lihat satu pola yang jelas sekali.
1) Kisah Para Rasul 3:19-21, “Karena itu sadarlah dan bertobatlah, supaya dosamu dihapuskan, agar Tuhan mendatangkan waktu kelegaan, dan mengutus Yesus, yang dari semula diuntukkan bagimu sebagai Kristus. Kristus itu harus tinggal di sorga sampai waktu pemulihan segala sesuatu, seperti yang difirmankan Allah dengan perantaraan nabi-nabi-Nya yang kudus di zaman dahulu.”
Ini adalah khotbah Petrus pada hari Pentakosta. Keselamatan yang diberikan Tuhan di sini dideskripsikan dengan istilah apa? Yaitu pemulihan. Sasaran/targetnya adalah kepada siapa, atau lebih tepatnya kepada apa; apakah kepada hati manusia, jiwa manusia? Tidak; bukan cuma itu, melainkan segala sesuatu, atau panta dalam bahasa Yunaninya. Saudara lihat, istilah ‘pemulihan’ berarti keselamatan ini menargetkan apa yang telah dirusak oleh dosa –Saudara butuh pemulihan kalau ada sesuatu yang rusak. Apa yang telah dirusak oleh dosa dan butuh pemulihan ini? Jawabannya: segala sesuatu; bukan cuma hati dan jiwa kita, tapi seluruh ciptaan ini, holistik.
2) Efesus 1:9-10, “Sebab Ia telah menyatakan rahasia kehendak-Nya kepada kita, sesuai dengan rencana kerelaan-Nya, yaitu rencana kerelaan yang dari semula telah ditetapkan-Nya di dalam Kristus sebagai persiapan kegenapan waktu untuk mempersatukan di dalam Kristus sebagai Kepala segala sesuatu, baik yang di surga maupun yang di bumi.
Di sini Saudara melihat rencana keselamatan Tuhan pakai istilah apa? Yaitu mempersatukan. Dan sama polanya, seperti tadi kita melihat ada sesuatu yang rusak maka perlu dipulihkan, sekarang kita melihat ada sesuatu yang dipersatukan, itu adalah karena tercerai-berai oleh dosa. Polanya sama, maknanya sama, istilahnya beda; tetapi yang dipersatukan ini memakai pola yang sama yaitu segala sesuatu, baik yang di surga maupun di bumi. Saudara jangan bingung apa maksudnya surga dipersatukan dengan bumi, dsb., karena frasa ‘surga dan bumi’ maksudnya sama dengan frasa ‘langit dan bumi’; istilah ‘surga’ dan ‘langit’ di dalam Alkitab, baik bahasa Yunani maupun Ibrani, tidak ada perbedaan, langit itu surga, surga itu langit, tidak ada perbedaan seperti yang kita mengerti hari ini. Ketika Alkitab menggunakan istilah ‘langit dan bumi’ atau ‘surga dan bumi’ itu hanyalah istilah yang menandakan seluruh ciptaan –karena pada awalnya Allah menciptakan langit dan bumi; dengan demikian ketika Paulus mengatakan ‘nanti akan dipersatukan segala sesuatu, baik di langit maupun di bumi’, dia hanyalah mengulang hal ini. Maksudnya, bahwa targetnya adalah segala sesuatu, segala ciptaan ini. Kesimpulannya: sasaran dari keselamatan Allah adalah selebar dan sejauh seluruh ciptaan, bukan hanya sejauh dan selebar hati manusia.
3) Kolose 1:19-20, “Karena seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia, dan oleh Dialah Ia memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di surga, sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus.”
Di bagian ini, ayat 19-20 sebenarnya merupakan klimaks dari suatu bagian; ayat 15, Paulus sedang meledak dengan pujian kepada Kristus ketika dia membicarakan peran Kristus sebagai Agen Utama Bapa dalam penciptaan maupun keselamatan, dan ayat 19-20 adalah klimaksnya. Saudara lihat di sini istilahnya ‘memperdamaikan’ (pendamaian); memperdamaikan apa? Segala sesuatu, baik yang di bumi maupun di surga. Yang pertama pemulihan, lalu pemersatuan, dan sekarang pendamaian; dan kembali di sini mengikuti pola-pola sebelumnya, bahwa yang perlu didamaikan berarti sebelumnya bermusuhan –karena dosa. Bagaimana pendamaian dilakukan? Lewat darah salib Kristus (ayat 20). Ini sesuatu yang kita sudah sering dengar, pendamaian oleh darah salib Kristus; tapi mungkin yang kontras dengan khotbah-khotbah yang selama ini kita dengar adalah mengenai target/sasaran pendamaian ini. Setiap kali Saudara mendengar tentang darah Kristus yang dicurahkan, apa yang sering kali kita pikir jadi tergetnya? ‘Ya, darah Kristus tercurah untuk saya dong, ya ‘kan; bukankah jadi orang Kristen itu, kita seperti teken kontrak “saya menerima Tuhan Yesus sebagai Juruselamat saya –lalu kata berikutnya yang penting itu–pribadi”’. Tentu saja ini benar, saya bukan menyangkal hal ini, tapi Saudara lihat Paulus di Kolose 1 tidak sesempit itu. Paulus tidak membatasi pendamaian oleh darah Kristus di atas kayu salib ini hanya pada satu dua individu, atau seratus individu, atau bahkan hanya kepada umat manusia; jelas manusia adalah salah satu targetnya, tapi Paulus mengatakan pendamaian ini adalah bagi segala sesuatu, baik yang ada di bumi maupun yang ada di langit –seluruh ciptaan. Kalau mundur sedikit ke ayat 16-17, di situ sedang bicara mengenai peran Kristus dalam penciptaan, bahwa di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, baik yang ada di surga maupun di bumi, maka tidak heran pendamaian yang dilakukan Kristus juga diaplikasikan kepada segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi. Poinnya, sekali lagi pola yang sama, bahwa penebusan itu lebar, luebbaarrr, selebar seluruh ciptaan ini, dan bukan cuma selebar hatimu, atau juwamu, atau semua umat manusia.
4) Roma 8:19-23, “Sebab dengan sangat rindu seluruh makhluk menantikan saat anak-anak Allah dinyatakan. Karena seluruh makhluk telah ditaklukkan kepada kesia-siaan, bukan oleh kehendaknya sendiri, tetapi oleh kehendak Dia, yang telah menaklukkannya, tetapi dalam pengharapan, karena makhluk itu sendiri juga akan dimerdekakan dari perbudakan kebinasaan dan masuk ke dalam kemerdekaan kemuliaan anak-anak Allah. Sebab kita tahu, bahwa sampai sekarang segala makhluk sama-sama mengeluh dan sama-sama merasa sakit bersalin. Dan bukan hanya mereka saja, tetapi kita yang telah menerima karunia sulung Roh, kita juga mengeluh dalam hati kita sambil menantikan pengangkatan sebagai anak, yaitu pembebasan tubuh kita.
Bagian ini lebih kompleks karena sekarang Saudara menemukan targetnya ada dua. Istilah ‘segala makhluk’ lebih tepat diterjemahkan ‘seluruh ciptaan’, ‘the whole creation’ dalam terjemahan bahasa Inggris, karena ktisis dalam bahasa Yunani lebih tepat diterjemahkan ‘seluruh ciptaan’. Dalam hal ini saya bisa mengerti alasannya LAI menerjemahkan dengan ‘makhluk’, yaitu karena dalam bagian ini ada dua target yang berbeda, seluruh ciptaan dan anak-anak Allah; seluruh ciptaan menantikan kemerdekaan, anak-anak Allah juga menantikan hal itu. Kita menerima lebih dahulu kemerdekaan itu, dan kita menantikan pengangkatan sebagai anak, yaitu pembebasan tubuh kita. Kalau Saudara perhatikan, ini berarti penebusan/pembebasan yang Tuhan berikan kepada kita, anak-anak Allah, itu bukan cuma urusan hati dan jiwa, tapi sebenarnya juga pembebasan tubuh kita. Maksudnya bukan pembebasan roh kita dari tubuh, tapi pembebasan tubuh kita, kebangkitan kita suatu hari nanti –jadi bukan cuma hati dan jiwa tapi menyeluruh sampai ke tubuh. Namun Saudara melihat juga targetnya di sini bukan cuma kita; kita adalah yang pertama-tama, supaya setelah itu seluruh makhluk yang lain boleh ikut mengalami pembebasan ini. Seluruh makhluk sekarang sedang mengerang seperti sakit bersalin, groaning in pain, mengerang kesakitan. Di sini ada istilah ‘sakit bersalin’ yang sebenarnya dalam bahasa Inggrisnya ’mengerang kesakitan’, ada istilah ‘perbudakan’, ada istilah ‘kemerdekaan’, ‘pembebasan’; ini mengingatkan apa? Kita ingat cerita mengenai bangsa Israel yang diperbudak di bawah Firaun, mereka mengerang kesakitan, mereka berseru kepada Allah, dan mereka menantikan kemerdekaan. Dan, ternyata yang memakai istilah dalam hal keselamatan seperti ini bukan cuma Saudara dan saya, Paulus mengatakan segala makhluk seperti itu. Jadi, di sini keselamatan dideskripsikan sebagai pembebasan –sebelumnya yaitu pemulihan, pemersatuan, pendamaian– dan sama polanya, ada pembebasan, berarti sebelumnya terikat, diperbudak oleh dosa. Tapi siapa yang jadi target? Bukan cuma Saudara dan saya, bukan cuma anak-anak Allah, tapi seluruh ciptaan. Keselamatan tidak bisa dikunci dan dibatasi dalam laci-laci urusan jiwa atau hati, atau bahkan umat manusia tok; keselamatan mempunyai sasaran targetnya secara ultimat adalah: segala sesuatu.
Kita sudah melihat dalam 4 teks ini, bahwa sering kali entah bagaimana kita suka salah baca; di satu sisi kita familier dengan gambaran keselamatan yang Tuhan bawa, kita familier dengan istilah-istilah ‘pemulihan, pemersatuan, pendamaian, pembebasan’, tapi kita berpikir ini urusannya cuma dengan diri kita tok, hati atau jiwa kita tok yang didamaikan, manusia tok yang dipersatukan dan dipulihkan. Lalu waktu kita kembali ke teksnya dan meneliti pelan-pelan, kita menemukan berkali-kali bahwa sasarannya tidak pernah sesempit manusia doang, tapi menyangkut seluruh ciptaan ini, langit dan bumi ini, yang seringkali tidak punya tempat dalam kerohanian kita kecuali sebagai barang yang sudah rusak yang suatu hari akan dibuang –demikian yang kita pikir, ciptaan/ alam semesta suatu hari akan kayak begitu. Berkali-kali Saudara melihat dalam 4 teks tadi, bahwa tujuan/sasaran pemulihan, pemersatuan, pendamaian, pembebasan, adalah segala sesuatu; segala sesuatu ciptaan itu bukan untuk dibuang. Namun sekarang teks berikutnya jadi problematik, karena teks yang terakhir ini sering kali dipakai orang sebagai bukti bahwa nasib bumi ini memang untuk musnah dalam api. Apa teksnya?
5) 2 Petrus 3:10-13, “Tetapi hari Tuhan akan tiba seperti pencuri. Pada hari itu langit akan lenyap dengan gemuruh yang dahsyat dan unsur-unsur dunia akan hangus dalam nyala api, dan bumi dan segala yang ada di atasnya akan hilang lenyap. Jadi jika segala sesuatu ini akan hancur secara demikian, betapa suci dan salehnya kamu harus hidup yaitu kamu yang menantikan dan mempercepat kedatangan hari Allah. Pada hari itu langit akan binasa dalam api dan unsur-unsur dunia akan hancur karena nyalanya. Tetapi sesuai dengan janji-Nya, kita menantikan langit yang baru dan bumi yang baru, di mana terdapat kebenaran.”
Saudara lihat kenapa ayat ini problematik? Empat ayat yang tadi menyatakan ciptaan ini dipulihkan, dipersatukan, didamaikan, dibebaskan, tapi ayat yang ini koq sepertinya nasib ciptaan seperti yang sering kali kita tahu, bukan untuk suatu hari dipulihkan, dipersatukan dsb., tapi untuk suatu hari dibinasakan?? Saudara, inilah alasannya ayat ini saya taruh di paling akhir, karena setidaknya Saudara sudah tahu bahwa problem dari ayat ini bukanlah karena ayat ini bertabrakan dengan yang saya katakan sebelumnya; kalau ayat ini bertabrakan dengan yang saya katakan, Saudara silakan buang apa yang saya katakan dan kembali ke Alkitab. Masalahnya, empat ayat yang kita bahas sebelumnya itu juga dari Alkitab; dan ayat yang ini seperti bertentangan dengan 4 ayat tersebut. Lalu bagaimana kita membacanya? Mari kita selidiki pelan-pelan.
Saya mengajak Saudara fokus dengan ayat 10 dulu, istilah tentang bumi yang dihilanglenyapkan, ‘bumi dan segala yang ada di atasnya akan hilang lenyap’. Ini satu hal yang kita rasa tidak aneh, karena memang dalam ayat ini istilah-istilah lainnya adalah ‘hancur, penghakiman, hangus, meleleh dalam nyala api, binasa dalam nyala api’, sehingga tidak aneh kalau bumi hilang lenyap. Sepertinya itu masuk akal saja, karena sepertinya teks ini memang menggambarkan dihancurkannya secara habis-habisan alam ciptaan ini, dan tentu saja termasuk bumi. Saudara juga mungkin ingat terjemahan King James Version (KJV) —yang sangat terkenal dan juga sangat berdampak-– yang menerjemahkan bagian ini sebagai ‘and the earth will be burned up’ (bumi akan dibakar habis), yang tentunya cocok banget dangan gambaran kehancuran yang mendominasi ayat-ayat ini. Problemnya, ketika Saudara membandingkan bagian ini dengan terjemahan-terjemahan bahasa Inggris yang lebih modern, ada yang aneh.
Perlu Saudara ketahui, terjemahan KJV adalah terjemahan yang sangat tua, dibikin tahun 1611, dan diperbaharui tahun 1769. Dalam terjemahan-terjemahan bahasa Inggris yang lebih modern, Saudara menemukan penerjemahan yang berbeda. Misalnya NIV mengatakan: ‘the earth will be laid bare’ (bumi akan ditelanjangkan –bukan dihancurkan); ESV mengatakan: ‘the earth will be exposed’ (bumi akan terungkap/diungkapkan); NRSV mengatakan, ‘the earth will be disclosed’ (bumi akan dinyatakan). Terjemahan-terjemahan yang lebih modern ini (yang paling tua NIV, 1970-an) ada satu kemiripan, bahwa bumi bukan dihancurkan tapi pada dasarnya ditelanjangkan, dinyatakan, seperti diungkap aslinya. Biasanya ketika ada beda-beda terjemahan seperti ini, kita berpikir ini mungkin dari istilah Yunani yang sama tapi karena istilahnya sulit maka orang menerjemahkannya bisa lain-lain makna; tetapi kasus yang ini bukan demikian. KJV dan LAI menerjemahkan istilah yang sama sekali beda dengan terjemahan bahasa Inggris yang modern. KJV dan LAI mengambil istilah katakhesetai, yang memang berarti dibakar; sementara terjemahan-terjemahan bahasa Inggris modern mengambil istilah heurethesetai, yang secara harfiah berarti ditemukan (found). Kenapa bisa beda kayak begini? Ini karena edisi-edisi bahasa Inggris yang modern mengambil dari 2 manuskrip yang paling tua; dalam hal ini Saudara harus tahu, Alkitab kita hari ini bukan berasal dari satu manuskrip yang lengkap dari depan sampai belakang, Alkitab kita ini lahir dari berbagai manuskrip.
Ada beratus-ratus ribu manuskrip yang bertahan sampai hari ini; dan manuskrip-manuskrip ini bisa ada perbedaan, tapi sering kali aturannya adalah mencari manuskrip yang paling awal atau paling tua, karena manuskrip inilah yang paling mendekati aslinya. Saudara tentu tahu, kalau orang menyalin dan menyalin Alkitab, makin lama makin besar kemungkinan salahnya. Kita bukan menyalahkan orang yang menyalin ini bodoh, karena bisa jadi mereka menyalin malam-malam, dengan hanya cahaya lilin, dsb., sehingga bisa dimengerti kalau ada kesalahan salinan. Itu sebabnya setiap kali ditemukan ada perbedaan huruf atau kata yang dipakai, kita akan coba melihat manuskrip mana yang paling awal dan paling tua. Satu hal menarik, 2 manuskrip yang paling awal dan paling tua yang hari ini dianggap paling dapat diandalkan, yaitu Codex Sinaiticus dan Codex Vaticanus, ini baru pop[uler setelah terjemahan KJV ditulis. KJV sebenarnya mengambil dari alkitabnya Erasmus abad ke-16, sementara Codex Sinaiticus dan Codex Vaticanus berasal dari abad ke-4, jadi bedanya jauh banget. NIV dan terjemahan-terjemahan bahasa Inggris yang modern mengambil dari dua manuskrip yang tertua tadi; dan yang kita temukan dalam dua manuskrip tersebut adalah istilah heurethesetai, bahwa bumi itu ditemukan, bukan dihancurkan. Inilah sebabnya penerjemahan Alkitab harus senantiasa diperbarui, tidak ada gunanya Saudara cari satu terjemahan yang paling benar. Terjemahan NIV keluar tahun 1978, ini terjemahan modern yang paling awal; sedangkan LAI Terjemahan Baru kita keluar tahun 1976 –2 tahun sebelum NIV–dan proyek penerjemahannya dimulai tahun 1952. Jadi tidak heran ada kemungkinan sarjana-sarjana penerjemah LAI mengambil dari manuskrip-manuskrip yang lebih muda, lebih belakangan, kurang reliable; sementara terjemahan-terjemahan bahasa Inggris yang lebih modern mengambil dari 2 manuskrip paling tua yang hari ini diakui paling awal, paling mendekati aslinya.
Jika istilah yang tepat adalah bumi ditemukan, heurethesetai, dan bukan hilang lenyap, maka berarti bagian ini sesungguhnya sedang bicara apa? Mungkin Saudara pikir, ‘tidak pengaruh dong, ‘kan masih ada istilah-istilah yang lain itu, hancur, terbakar, hilang oleh api, dsb.??’ Memang benar Saudara, dalam bagian ini ada penghakiman atas dunia ini, ada kehancuran dengan menggunakan bahasa ‘api’; tapi perhatikan, baca kembali Alkitab perlahan-lahan, bahwa yang dihakimi dan dihancurkan/dihabiskan adalah: dunia —itu berarti dosa, yang merusak bumi ini; dan hasilnya adalah: bumi terungkap dan ditemukan. Saudara ingat, jangan samakan dunia dengan bumi; dalam khotbah kita mengenai Kanaan, ada beda antara Kanaan sebagai tanah perjanjian (positif) dengan Kanaan sebagai bangsa Kanaan (yang membawa pengaruh negatif), ada beda antara bumi (positif) dengan dunia/keduniawian (negatif). Dengan demikian, lewat istilah-istilah ‘api’, bahwa ada unsur-unsur yang hancur meleleh oleh api, binasa oleh api, kemudian ada bumi yang ditemukan, yang muncul, Saudara mendapat gambaran apa di sini? Di sini Petrus sedang melukiskan suatu tempat peleburan logam; api yang digunakan dalam tempat peleburan logam itu bukan cuma digunakan untuk menghancurkan –memang untuk menghancurkan kotoran-kotoran– tapi juga agar logam yang diinginkan bisa dimurnikan, atau dengan kata lain ‘bisa ditemukan’, atau dengan kata lain ‘bisa muncul’, atau dengan kata lain ‘found’. Dan yang menarik, istilah bahasa Inggris untuk perapian tempat memurnikan besi dan logam-logam lainnya adalah foundry, tempat Saudara “menemukan” logam lewat pemurnian.
Kalau Saudara masih butuh bukti, Saudara bisa lanjut ke ayat 14, karena di sini istilah heurethesetai kembali muncul. Ayat 14: “Sebab itu, saudara-saudaraku yang kekasih, sambil menantikan semuanya ini, kamu harus berusaha, supaya kamu kedapatan tak bercacat dan tak bernoda di hadapan-Nya, dalam perdamaian dengan Dia”. Kata ‘kedapatan’ di sini pakai istilah heurisko, kata yang sama akarnya dengan heurethesetai; ‘kedapatan tak bercacat dan tak bernoda’, maksudnya supaya kamu ditemukan tidak bercacat dan tidak berdosa, yang pada dasarnya ‘supaya kamu dimurnikan dalam perdamaian dengan Dia’. Harapan Petrus adalah bahwa kita, orang-orang benar, ditemukan diungkap, dan bukan dihancurkan seperti orang-orang fasik.
Kalau Saudara masih belum yakin juga, maka kembali ke ayat 13, setelah Petrus membicarakan penghakiman dunia bahwa bumi yang asli akan ditemukan, apa yang jadi pengharapannya? Apakah Petrus mengatakan, “tetapi sesuai dengan janji-Nya, kita menantikan surga”? Tidak. Dia mengatakan, “kita menantikan langit yang baru dan bumi yang baru” –materi. Inilah penantiannya Petrus. Dia bilang, kamu harus berjuang, kamu harus kadapatan tidak bercacat dan tidak bernoda, supaya kamu menantikan ini, yaitu langit dan bumi yang baru, suatu kosmos alam semesta yang diperbarui, yang identitasnya sekarang adalah kebenaran, dan bukan kefasikan —karena sudah diperbarui, sudah dibersihkan. Saudara tidak melihat Petrus di sini menantikan surga, atau kahyangan, atau nirwana.
Setelah kita melihat kelima ayat ini, ada satu pola yang jelas muncul. Pertama, keselamatan bukanlah Tuhan melakukan sesuatu yang baru secara radikal, dalam arti membuang yang lama dan menciptakan sesuatu dari nol. Keselamatan adalah proyek pembaruan, proyek renovasi; yang awalnya baik itu tidak dibuang karena dirusak oleh dosa, tapi diperbarui, dipulihkan, dipersatukan, didamaikan, dibebaskan, dan yang terakhir yaitu diungkap atau dalam makna yang lebih jelas, dimurnikan.
Yang kedua, keselamatan ini diaplikasikan secara holistik, universal. Targetnya/sasarannya tidak pernah sesempit hanya hati dan jiwa manusia, bahkan tidak pernah sesempit hanya umat manusia tok. Tapi sesungguhnya, semua itu –pemulihan, pemersatuan, pendamaian, pembe-basan, pengungkapan/pemurnian– ditargetkan kepada seluruh ciptaan ini, alam semesta ini, langit dan bumi. Di dalam Alkitab, tidak ada dasar untuk mendukung bahwa suatu hari Saudara akan melepaskan hidup material ini dan pergi ke surga melayang-layang. Panggilan Saudara sejak awal diciptakan adalah untuk berbudaya dan berbudi daya di bumi ini. Kejatuhan manusia, tidak pernah dilepaskan dari budaya dan budi daya yang melenceng; maka penebusannya, adalah juga mengenai bumi ini, bagaimana bumi ini seluruhnya akan kembali diperbarui, budayanya dan budi dayanya. Tidak pernah kurang dari itu.
Terakhir, konklusinya: kenapa ini semua penting? Karena apa yang kita lakukan pada hari ini, akan sangat ditentukan oleh apa yang kita nantikan akan terjadi di kemudian hari. Itulah namanya orang yang bervisi. Visi ke depan, akan menentukan apa yang Saudara kerjakan hari ini. Saudara tidak usah pikir itu cuma orang yang visioner sementara Saudara tidak kayak begitu, karena waktu Saudara menyetir mobil pun kayak begitu. Yang namanya nyetir, itu sebenarnya Saudara sedang menerawang ke masa depan, bukan sedang melihat masa sekarang. Saudara sedang melihat apa yang akan terjadi di masa depan, melihat jalan yang akan Saudara lalui, melihat mikrolet ini nanti akan bergerak ke mana, melihat motor itu akan ke mana, Saudara juga tahu setelah ini akan belok ke mana, dst. Waktu Saudara nyetir, pikiran Saudara sangat jelas sedang melihat ke masa depan; dan semua yang akan terjadi di masa depan itu, akan mempengaruhi bagaimana engkau menginjak rem, bagaimana engkau men-set gigi, dst. Tindakanmu saat ini, dipengaruhi oleh apa yang engkau lihat sebagai masa depan. Ini bukan cuma urusan nyetir, seluruh kehidupan kita adalah seperti itu. Pertanyaannya adalah: dalam Saudara menjadi orang Kristen, dalam Saudara berbudaya dan berbudi daya, dalam Saudara menjadi manusia pada hari ini, apa visi yang menggerakkanmu itu? Dan, mau tidak mau, Saudara harus melihat hari ini Kekristenan sering kali dicemari dengan visi yang tidak Alkitabiah.
D.L. Moody seorang yang tentu saja dipakai Tuhan, saya tidak menyangkal itu; dia lahir 1837, dia dipakai Tuhan dalam “Great Awakening” di Amerika, dan juga belakangan mendirikan Moody Bible Institute. Tapi dalam salah satu khotbahnya tahun 1877 dia mengatakan demikian: “I look upon this world as a wrecked vessel. God has given me a lifeboat and said to me, ‘Moody, save all you can.’” Moody mengatakan, “Saya melihat dunia ini sebagai kapal yang sudah hampir karam, yang sudah hancur, maka Tuhan memberikan kepadaku sebuah sekoci dan berkata kepadaku, ‘Moody, selamatkan yang kamu bisa selamatkan’”. Dunia rusak, tidak ada harapannya, maka visinya adalah evakuasi, mempersiapkan orang menghadap Tuhan di akhirat; bukankah ini yang Saudara lihat berkali-kali dalam Kekristenan, bahwa setiap orang ujungnya kayak begini? Namun di tahun yang sama Moody dilahirkan, tahun 1837, Abraham Kuyper di Belanda juga lahir; dan dia mempunyai visi yang sangat berbeda. Abraham Kuyper tidak melihat dunia ini sebagai kapal yang karam, dia mengatakan: “There is not a square inch in this world, in which Christ does not claim ‘Mine’” –tidak ada satu inci pun dalam dunia ini, yang Kristus tidak mengklaim sebagai milik-Nya. Ini lain sekali; bukan kapal yang karam, tapi sebagai milik Tuhan. Dan implikasi dari kepemilikan Tuhan atas dunia ini adalah: Dia bukan akan membuang dunia ini, tapi adalah proyek-Nya untuk menebus, memulihkan, mempersatukan, memurnikan semua ini.
Segala sesuatu, itulah proyek Injil keselamatan Alkitab. Tidak kurang dari itu. Saudara tempatnya di mana dalam bagian ini? Jelas Saudara bagian dalam renovasi ini, tapi Saudara dan saya bukanlah target terakhirnya. Kasih Tuhan itu sungguh dalam, lebar, tinggi, tidak hanya kepada dirimu dan diriku, tapi meluas dan melebar ke seluruh alam semesta ini. Apakah visi yang menggerakkanmu hari ini dalam hidupmu? Saudara kepingin menjadi gambar rupa Allah (imago Dei) yang sesuai dengan Alkitab, itu berarti apa yang Tuhan cintai, Saudara harus cintai. Saudara harus belajar mencintai apa yang Tuhan cintai, Saudara harus belajar membenci apa yang Tuhan benci. Itu sudah sering kita dengar; tapi pertanyaannya: apakah yang Tuhan cintai, apakah yang Tuhan kasihi? Dan, yang Saudara temukan berkali-kali dalam ayat-ayat tadi, Tuhan mengasihi bukan cuma jiwa-jiwa dan hati-hati dan manusia-manusia di sekitarmu, Tuhan mengasihi bumi ini; dan cara-Nya mengasihi, pertama-tama adalah lewat budaya dan budi daya manusia. Lalu waktu Dia memulihkan seluruh alam ciptaan ini, berarti Dia akan mengembalikan kita sebagai orang-orang yang kembali ke tujuan awal, menjadi orang-orang yang meneruskan budaya dan budi daya Allah ke atas dunia ini. Itulah artinya menjadi seorang gambar dan rupa Allah, menjadi kaca spion, bukan menjadi target tapi menjadi saluran berkat, menjadi agen.
Implikasinya, ini berarti panggilan Saudara yang terutama bukan –sekali lagi, bukan– datang ke gereja dan saat teduh. Bukan itu; memang benar itu diperlukan karena ada dosa, tapi setelah dosa dibereskan, lalu apa yang terjadi? Saudara saat teduh dan saat teduh terus-menerus? Gambaran surgamu adalah nyanyi terus-menerus memuji Tuhan sampai mulut berbusa dan suara serak? Tidak. Gambaran yang kita lihat justru adalah: kita diselamatkan bukan hanya untuk diri, kita diselamatkan supaya lewat kita Allah bisa menyelamatkan, memulihkan, memerdekakan, membebaskan, memurnikan segala sesuatu. Yang paling kasihan di langit dan bumi yang baru, bukanlah saudara-saudara yang kerja di dunia bisnis, sementara kami ini mendapat tempat tinggi; yang paling kasihan di langit dan bumi yang baru, adalah kami-kami ini, kalau kami sebagai pendeta tidak punya skill lain, karena panggilan yang terutama bukanlah panggilan berkhotbah di mimbar. Berkhotbah di mimbar ini adalah temporer, ini dilakukan karena ada sesuatu yang rusak, tapi ketika nati segala sesuatu telah dipulihkan, yang jadi panggilan terutama adalah panggilan budaya dan berbudi daya itu, di langit dan bumi yang baru, di mana terdapat kebenaran dan bukan kefasikan. Sadarkah Saudara bahwa ini justru yang terutama? Inilah Alkitab.
Kita hari ini Perjamuan Kudus, dan saya ingin menantang Saudara untuk merenungkan satu hal ketika kita menghampiri meja Tuhan. Ketika Saudara memegang roti, saya ingin Saudara merenungkan bahwa Tubuh Kristus yang terpecah-pecah, itu bukan hanya menyatukan Saudara yang tercerai-berai, tapi terpecah-pecah untuk mempersatukan segala sesuatu di bawah-Nya sebagai Kepala. Terdengar aneh? Ini Alkitab. Dan, ketika Saudara mengambil cawan, melihat darah salib Kristus yang tercurah, Saudara renungkan bahwa ini bukanlah darah salib Kristus yang tercurah hanya bagimu saja, tapi tercurah untuk mendamaikan segala sesuatu, baik yang di langit maupun di bumi. Terdengar aneh? Ini Alkitab. Saudara dipanggil bukan menjadi consumer, Saudara dipanggil sebagai rekan kerja Allah. Ini buatmu good news atau bad news, itu pertanyaannya.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading