Mengapa kita perlu beribadah secara fisik? Apa yang terjadi di ruangan ini, pada saat ini, yang tidak bisa digantikan dengan kebaktian online? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang sedang kita bahas dalam seri kotbah ini; hari ini kita masuk pada kotbah ke-3. Dalam 2 kotbah pertama, kita sudah mulai menjawab hal ini, bahwa Gereja perlu mengadakan kebaktian fisik karena Tuhan memberikan pembentukan bagi Gereja-Nya, bukan cuma lewat apa yang di otak, tapi juga lewat apa yang dialami secara badani, khususnya yang bersifat habitual, liturgical.
Sebagaimana Saudara tahu, situasi global dunia hari ini sedang diwarnai banyak protes “black lives matter”, mengenai rasisme. Lalu di WA beredar satu video wawancara BBC dengan Alm. Muhamad Ali, seorang petinju kulit hitam. Di situ Muhamad Ali mengatakan bagaimana waktu kecil dia bingung dan bertanya kepada mamanya, mengapa segala sesuatu yang jelek selalu warnanya hitam. Misalnya: dalam cerita “Anak Itik yang Buruk Rupa”, si anak itik buruk rupa itu warnanya hitam, sementara yang lainnya putih; kucing hitam dipercaya sebagai kucing pembawa sial; kalau kita mengancam orang, itu namanya ‘black mail’, dan tidak disebut ‘white mail’. Intinya, mengapa warna putih selalu dihubungkan dengan hal-hal yang positif, sementara warna hitam negatif. Di sini Ali sedang menunjukkan satu hal, kita selalu berpikir bahwa bahasa adalah hasil dari pengertian manusia, satu tindakan ketika ide yang internal diekspresikan menjadi bahasa yang eksternal –begitulah arahnya. Tetapi, bagaimana jika arah sebaliknya juga terjadi, demikian kata Ali, dari yang eksternal mempengaruhi yang internal? Bagaimana jika suatu habit –dalam hal ini, gaya bahasa– bukan cuma sesuatu yang kita lakukan, tapi sesuatu yang juga melakukan sesuatu terhadap kita? Ada yang mengatakan, dalam Perang Dunia II di Jerman, pada awalnya orang-orang Nazi membenci orang Yahudi, maka mereka bertindak kejam terhadap orang Yahudi –di sini dari internal ke eksternal. Tapi belakangan, semakin orang-orang Nazi membiasakan diri bertindak kejam terhadap orang Yahudi, maka semakin mereka membenci orang Yahudi –dari eksternal ke internal.
Kita sudah membahas mengapa habit, atau liturgi (habit yang dijalankan bukan cuma oleh seorang pribadi saja melainkan oleh sebuah masyarakat) ternyata begitu berpengaruh, yaitu karena manusia bukan terutama disetir oleh apa yang dia tahu atau apa yang dia percaya; manusia disetir oleh hasrat hatinya. Hasrat ini bukan sekedar perasaan, hasrat ini adalah sebuah panorama, imajinasi, visi bagi kehidupan yang lebih hidup, yang semua dari kita miliki tapi tidak semua menyadari. Ini adalah suatu target, tujuan, yang ingin kita datangkan ke atas dunia ini –meminjam bahasa Alkitab: suatu visi ‘kerajaan’. Segala sesuatu yang kita lakukan, keputusan-keputusan yang kita ambil, bahkan cara kita berpikir, sangat dipengaruhi oleh hasrat hati kita ini, untuk mendatangkan visi tersebut di bumi seperti di dalam hati kita –dan ini terjadi dalam level yang tidak selalu kita sadari.
Kita mungkin merasa tidak seperti itu, tidak sedang menjalankan agenda tertentu; tetapi sebagaimana dikatakan psikolog, hal-hal yang kita sadari hanyalah permukaan gunung es yang menyembunyikan sebuah massa es yang besar di bawah permukaannya, bahwa apa yang diri kita laukan, pikirkan, katakan, sangat dipengaruhi oleh hal-hal yang kita tidak sadari. Contohnya tentang menyetir. Bagi seorang pemula, aktifitas ‘menyetir’ sangat dipenuhi dengan kesadaran, segala sesuatunya dipikirkan secara aktif –cek spion, tuas sein di sebelah kanan, tuas sebelah kiri adalah wiper, gas di sebelah kanan dan rem di sebelah kiri tapi injak rem dengan kaki kanan, belum lagi soal kopling. Tetapi bagi seorang yang sudah puluhan tahun menyetir, pasti lain pengalamannya. Saudara yang sudah puluhan tahun menyetir, mungkin pernah mengalami satu hari keluar kantor dengan sangat capek, dan sementara menuju tempat parkir mobil Saudara, pikiran dipenuhi dengan meeting tadi yang tidak berjalan dengan baik, kolega yang bikin Saudara tidak sabaran, lalu kolega lain yang menusuk dari belakang, sementara bos Saudara tidak peka bahkan tidak peduli, dst., lalu tiba-tiba Saudara sudah sampai rumah, sudah di garasi rumah –dan tidak ada pikiran soal injak kopling dsb. Waktu istri tanya, tadi kamu lewat mana, kita musti ingat-ingat dulu, ‘O, ya, tadi saya lewat sini, saya pilih rute A karena biasanya rute B macet’ –ada keputusan-keputusan yang kita lakukan, tapi kita baru sadar bahwa kita telah melakukan semua itu, karena terjadinya secara otomatis, sesuatu yang tidak kita sadari. Mengapa bisa seperti itu? Karena habit. Karena diri manusia memang beroperasi dengan banyak otomatisasi, jika tidak, mungkin kita bisa gila.
Tubuh manusia memang memiliki desain seperti ini, kita belajar secara pengulangan demi pengulangan –habit—yang kemudian lama-kelamaan menjadi sesuatu yang otomatis, menjadi second nature. Tapi di sinilah problemnya. Kalau Saudara belajar menyetir mobil, memasak, atau main piano, itu semuanya adalah habit-habit, otomatisasi-otomatisasi yang memang kita pilih untuk melakukannya, sesuatu yang intensional, kita memang memutuskan melatih tubuh kita sehingga bisa melakukan hal-hal tersebut secara otomatis. Tetapi, ada otomatisitas-otomatisitas lain dalam hidup kita, yang kita serap dengan tidak menyadarinya. Ini karena kita tidak menyadari bahwa habit-habit tertentu yang kita lakukan, punya kuasa untuk mengukir dan memahat hati kita. Contoh yang paling gampang tentang ‘stereotip’ (stereotype), yaitu semacam karikatur yang dipegang banyak orang, tapi biasanya terlalu simplistik dan reduksional; misalnya: anggapan bahwa wanita lebih cocok tinggal di rumah mengurus anak, anggapan bahwa pria lebih rasional daripada wanita, dsb.
Saya ingin cerita sehubungan dengan stereotype ini. Papa saya pernah pergi ke Amerika pada tahun 90-an; dan itu pertama kalinya dia pergi ke negara bule. Sampai di sana, dia masuk hotel, lalu diantar ke kamar hotel oleh porter bule. Setelah semua barangnya dimasukkan, seperti biasanya, porter itu berdiri di depan pintu kamar dengan mupeng –menunggu tip. Papa saya ‘gak ngeh apa yang harus dilakukan, dia bingung. Ini bukan karena dia baru pertama kali menginap di hotel, tapi dia tidak terpikir bahwa seorang bule minta tip kepada seorang Asia. Mengapa bisa begitu? Karena di benaknya ada sebuah stereotype, dan dia sendiri dikejutkan dengan stereotype yang dia miliki ini. Kita tentu banyak pengalaman seperti ini juga, dikejutkan bahwa ternyata kita punya stereotype-stereotype. Kebanyakan orang tidak pernah merasa dirinya rasis, karena proses yang membentuk diri kita jadi rasis adalah proses-proses yang tidak kita sadari. Sebagaimana contoh dari Muhamad Ali tadi, cara kita memandang orang kulit hitam dipengaruhi dari cara kita berbahasa yang terus-menerus, diulang oleh orang-orang lain dan oleh kita sendiri, sepanjang hidup kita, bahwa semua yang gelap dan hitam diidentikkan dengan hal yang negatif. Tidak ada orang di dunia yang khusus mengisi form bahwa dirinya memegang stereotype tertentu.
Stereotype meresap pelan-pelan tanpa kita sadari, dan dalam waktu yang cukup lama, itu menjadi habit yang mempengaruhi bukan cuma apa yang kita lihat tapi juga bagaimana kita melihat, dan dengan demikian mempengaruhi bagaimana kita berpikir, merasa, bertindak. Itu sebabnya, implikasinya bagi Kekristenan cukup besar. Jika habit-habit masyarakat ternyata bukanlah sesuatu yang netral, jika ternyata itu adalah sebuah liturgi yang sedang melayani kepentingan kerajaan tertentu, maka berarti selama ini Saudara dan saya mungkin sedang dibawa menyembah allah lain tanpa kita menyadarinya, yaitu lewat kita mengikuti pola-pola habit dunia ini. Pola-pola habit yang mungkin kita pikir harmless, netral, tidak ada masalahnya, ternyata di balik itu adalah liturgi yang sedang memahat hati Saudara, secara tidak sadar tapi sangat efektif; memahat hati kita untuk –kalau kita pakai bahasa pemazmur di Mazmur 137– melupakan nyanyian dari Sion dan menyanyikan nyanyian-nyanyian Babilon. Kita secara tidak sadar sedang dilatih untuk menghasarti suatu visi kerajaan saingan Tuhan, karena kita secara tidak sadar sedang menjalani liturgi saingan. Mengutip kotbah Pendeta Billy, titik-titik ketegangan antara Gereja dan dunia, bukanlah cuma ada pada teologinya, filsafatnya, worldview-nya, tapi juga ada pada liturginya.
Itu sebabnya hari ini kita mau menyibak suatu tirai yang selama ini menutupi mata kita dari liturgi-liturgi dunia ini, untuk membuat kita dibuka matanya terhadap praktika-praktika dunia yang selama ini mungkin kita pikir netral-netral saja. Hari ini kita mau mengajak Saudara menyadari kuasa di balik habit-habit itu, yang bisa –bahkan sedang—membentuk hatimu dan hatiku. Ini adalah satu pola yang sangat kuat di Alkitab. Dalam Alkitab, ada satu jenis tulisan yang kita sebut kitab apokaliptika; contohnya: kitab Wahyu, kitab Daniel, bahkan beberapa orang mengatakan Injil Markus pun punya warna apokalitika. Secara umum orang Kristen hari ini mengira kitab-kitab tersebut bertujuan untuk jadi ramalan, mengenai seperti apa akhir zaman, dsb. Ini salah kaprah. Tujuan utama genre apokaliptik bukanlah untuk memprediksi masa depan, tapi untuk membuat kita mengerti masa sekarang; bukan untuk membuka tirai mengenai apa yang akan terjadi ribuan tahun dari sekarang, tapi membuka tirai untuk kita bisa melihat apa yang hari ini sesungguhnya sedang terjadi di balik tirai yang menutupi pandangan kita. Tuhan Yesus menggunakan istilah ini 2 kali di Matius 11: 25-27 Pada waktu itu berkatalah Yesus: “Aku bersyukur kepada-Mu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan (apokalips-kan) kepada orang kecil. Ya Bapa, itulah yang berkenan kepada-Mu. Semua telah diserahkan kepada-Ku oleh Bapa-Ku dan tidak seorang pun mengenal Anak selain Bapa, dan tidak seorang pun mengenal Bapa selain Anak dan orang yang kepadanya Anak itu berkenan menyatakannya (meng-apokalips-kannya)”. Dari kalimatnya, esensi dari ‘apokalips’ bukanlah akhir zaman; lawan dari ‘apokalips’ adalah ketika sesuatu tersembunyi. Jadi, apokalips berarti menyatakan, menyibak tirai, memberikan, memperlihatkan, dst. Dan jelas yang mau dinyatakan di sini bukan mengenai Allah Bapa hendak mengakhiri zaman, di sini sedang bicara mengenai siapa identitas Yesus yang sesungguhnya.
‘Apokalips’ bicara mengenai menyibakkan atau menyatakan sesuatu, dan yang dinyatakan itu bisa berbeda-beda, tidak harus soal akhir zaman. Istilah ‘wahyu’ sendiri artinya ‘apokalips’; itu sebabnya disebut kitab Wahyu, karena kalimat pertamanya mengatakan: “Inilah wahyu Yesus Kristus …” atau “Inilah apokalips Yesus Kristus … “. Apa yang sedang disibakkan dalam kitab Wahyu? Banyak, dan kita tidak bisa bahas hari ini. Pada zaman itu, konteks yang dihadapi jemaat adalah Kekaisaran Romawi yang menghadirkan dirinya sebagai puncak peradaban manusia, sebagai solusi berbagai problematika dunia. Lewat kitab Wahyu, Yohanes menyibak tirai, mengajak jemaat melihat Romawi apa adanya, yaitu bahwa Romawi ternyata seekor monster. Tim Mackie dalam Bible Project mengusulkan, pandemi Covid-19 ini bisa kita mengerti sebagai peristiwa apokaliptik, maksudnya bukan sebagai akhir zaman melainkan dalam pengertian yang benar, yaitu bahwa pandemi ini membuat kita jadi bisa mengerti realita secara lebih jelas, pandemi ini menyibak tirai yang kita pikir selama ini kita tahu. Bukan bahwa ternyata pandemi ini urusan konspirasi lab A dan B dsb. yang semacam itu, tapi bahwa pandemi ini membuka mata kita terhadap banyak hal yang kita tidak sadar sebelumnya. Ada banyak pembicara baik Kristen maupun non-Kristen yang mengatakan bahwa pandemi ini membuat kita menyadari betapa kecilnya kontrol yang kita miliki atas hidup kita, menyadari betapa selama ini kita kehilangan udara segar atau bunyi jangkrik di waktu malam yang tiba-tiba muncul lagi, dst. Inilah yang namanya apokalips, momen-momen ketika tirai disibakkan dan kita mulai melihat realita sesungguhnya di balik permukaan yang selama ini kita lihat. Ini adalah sebuah praktika yang di dalam Alkitab akarnya sangat kuat; yang namanya ‘suara kenabian’ selalu ada unsur apokaliptika ini. Itu sebabnya kita perlu belajar untuk punya habit ini dalam hidup kita.
Lewat kotbah hari ini, kita mencoba menjalankan pola apokaliptik ini. Kita mencoba menyibak apa yang terjadi selama ini lewat ritual-ritual dalam hidup kita yang kita tidak sadari sedang mengkalibrasi ulang hidup kita. Kita mencoba menyibak apa yang terjadi di balik habit-habit dunia yang selama ini kita anggap netral. Dalam kotbah pertama kita sudah mencobanya dengan contoh ‘mal’. Kali ini kita mencoba melihat lebih dalam, apa yang James K. A. Smith sebut sebagai “the gospel of consumerism” yang hadir lewat ritual/liturgi shopping (James Smith adalah seorang filsuf Kristen di Calvin College, dan buku-bukunya adalah dasar seri kotbah ini). Dia bukan cuma memperlihatkan konsumerisme sebagai suatu faham, tapi sebagai suatu liturgi; dan power dari konsumerisme datang dari liturginya. Kalau hanya sebagai faham, kita bisa saja berdalih “ya, tidak apalah saya shopping, selama saya tidak memegang faham di balik tindakan tersebut” –kecenderungan orang Kristen rasionalis. Di sini Smith akan mengatakan, “Tunggu dulu, apa yang mempengaruhimu bukan cuma masuk lewat otakmu, tapi lewat yang tubuhmu lakukan lagi dan lagi dan lagi bersama orang-orang lain”. Tidak ada orang yang khusus isi formulir untuk jadi konsumer, tidak ada yang bertobat lalu menerima injil konsumerisme karena baca traktat atau dengar kotbah. Meski demikian, bisakah kita secara jujur mengatakan kita tidak terpengaruh konsumerisme? Tidak bisa. Jadi, dari mana datangnya konsumerisme ini? Kita akan coba sibakkan tirai ini, kita akan bahas 4 fitur dari konsumerisme yang kita serap bukan lewat informasi tapi lewat re-formasi, lewat bagaimana tubuh kita menjalankan liturgi-liturgi tertentu.
Fitur pertama visi kerajaan konsumerisme adalah: “I’m broken, therefore I shop” (“Ada yang rusak dengan saya, maka saya belanja”). Kalau kita nonton iklan, kita mungkin berpikir konsumerisme adalah budaya yang super positif dan optimis, karena iklan-iklan itu dipenuhi wajah-wajah cantik, ganteng, senyuman, warna-warna terang, dsb. Tapi di sinilah kita perlu menyibak sisi gelapnya, bahwa iklan menghadirkan warna-warna terang justru untuk mengekspos apa yang gelap dalam diri penontonnya. Iklan berusaha menghadirkan gambaran yang super positif di layar, justru demi membuat penontonnya tertusuk dan mengenali bahwa yang di layar itu bukan saya, saya tidak secantik itu, saya tidak sebahagia itu. Inilah “doktrin dosa” dari injil konsumerisme.
Cara iklan menghadirkan keberadaan dosa itu adalah dengan menampilkan ikon-ikon kesuksesan, kebahagiaan, kenikmatan, dan kekuasaan di sisi layar sebelah sana, supaya kita bisa mengenali kekurangan, kesedihan, kesakitan, dan kehampaan di sisi sebelah sini. Orang-orang dalam iklan, selain terlihat begitu positif dan bahagia, mereka juga dikelilingi berbagai aksesori yang bagus dan mengkilat. Kita bisa menangkap pola-pola yang muncul berulang kali ini (liturgi); dan bisa jadi kita mengatakan “mereka begitu berbahagia –tidak seperti saya– mungkin sebagian alasannya karena hal-hal yang mengelilingi mereka itu; si bapak dengan alat barbeque yang besar dan mengkilat itu, si anak remaja yang punya HP terbaru dengan koneksi tanpa gangguan itu, si ibu dengan 3 anaknya yang selalu tersenyum dan taat, dan wow body-nya masih selangsing itu… ”. Memang, kalau kita tarik semua ini ke permukaan sehingga Saudara menyadarinya, mungkin Saudara mengatakan “siapalah yang tertipu dengan semua itu”, tapi inilah tepatnya problemnya, bahwa secara umum Saudara tidak menerima iklan-iklan ini dengan sadar secara penuh.
Secara umum, iklan ada di mana-mana, berulang kali muncul, dan lama-lama kita menjadi veteran iklan. Seperti orang yang sudah menyetir mobil bertahun-tahun, seluruh proses pengkiblatan arah hati ini tersembunyi di bawah sana dan menjadi satu hal yang otomatis. Kalau vacuum cleaner Saudara power-nya mulai berkurang, apa refleks hatimu? Atau ketika printer Saudara mulai macet? Meja Saudara mulai berbunyi? Kursi Saudara mulai tidak enak? Apa yang menjadi refleks hatimu? Okelah, mungkin itu semua kategori barang-barang yang sudah mulai rusak dan memang perlu diganti, tapi tidak berhenti di situ, lama-kalamaan ini mulai menjalar ke hal-hal lain yang belum perlu diganti. Ketika tetangga mulai membangun rumahnya lantai 3 lalu lantai 4, sementara rumah kita pendek sendirian, apa yang jadi refleks hatimu? Ketika teman di kantor ganti mobil baru? Ketika teman di sekolah ganti gadget baru? Apa refleks hati Saudara yang sudah terlatih bertahun-tahun itu? Inilah fitur yang pertama, I’m broken, therefore I shop.
Fitur yang kedua: “I shop with others” (“Saya belanja dengan orang lain”). Di fitur pertama tadi, konsumerisme di depan tirai menghadirkan sisi positif, ternyata di balik tirai lain sekali ceritanya. Dalam fitur kedua, kita menyibak bahwa di depannya kita melihat konsumerisme sebagai suatu budaya yang individualistis karena mencari keuntungan diri, memuaskan diri, dsb., tetapi sebenarnya konsumerisme mendidik kita untuk punya suatu visi akan relasi antar manusia (relasi sosial). Kalau Saudara pergi ke mal, Saudara tidak pergi sendirian, bukan? Seakan ada stigma, kalau kita pergi ke mal sendirian –apalagi nonton bioskop sendirian—itu menyedihkan. Koq bisa muncul hal seperti itu, dari mana? Apa yang ada di balik itu? Bahkan hari ini kita bukan saja pergi ke mal bersama orang lain, kita bahkan pergi ke mal demi bertemu orang, demi sosialisasi. Tapi relasi sosial macam apa yang sedang diserap di dalam mal? Narasi apa yang implisit dalam interaksi manusia di mal? Ada 2 hal; pertama: kompetisi dan bukan komunitas, kedua: objektifikasi dan bukan kasih.
Berhubung konsumerisme bermain dalam ranah image ideal, maka standar ide ini pelan-pelan meresap ke dalam cara kita melihat diri kita dan melihat orang lain. Pertama-tama kita melihat diri kita berdasarkan standar image ideal konsumeristik, tapi celakanya, cepat atau lambat kita akan jatuh ke dalam habit menilai diri orang lain berdasarkan standar yang sama. James Smith mengatakan, ini paling jelas terlihat kalau ada orang baru yang mau masuk lingkaran Saudara, apa refleks hatimu pada saat itu? Di lingkaran anak-anak remaja wanita, ada kecenderungan mereka melakukan scan secara super cepat dari atas ke bawah, langsung analisa sepatu apa yang dia pakai, tas apa yang dia bawa, dst. Tapi tidak cuma itu, waktu ada orang baru mau masuk KTB Saudara, scan yang keluar adalah orang ini enak ‘gak diajak bicara, kita bisa ‘gak percaya sama dia, dsb., yang pada dasarnya standar konsumeristik, yaitu: orang ini bawa apa untuk saya (bukan apa yang bisa saya bawa bagi mereka).
Seringkali kaum wanita komplain bahwa mereka korban dari objektifikasi kaum pria, tapi realitanya banyak dari mereka sendiri secara aktif terlibat dalam objektifikasi kompetisi seperti ini –meskipun laki-laki pun ada juga yang demikian—yaitu menilai orang lain berdasarkan standar konsumeristik mengenai apa yang ideal. Dan ini tidak hanya terbatas pada bagaimana kita melihat dan menilai orang lain, tapi juga sadar atau tidak sadar kita juga sedang membentuk diri kita menjadi objek-objek untuk dilihat orang lain. Kita menilai diri kita sukses atau tidak sukses berdasarkan pada seberapa kita menjadi objek yang nyaman di mata orang lain. Ini bukanlah persahabatan; ini membentuk interaksi manusia yang pada dasarnya adalah sebuah kompetisi dan bukan komunitas, objektifikasi dan bukan kasih. Ini relasi antar manusia yang sangat tidak sehat.
Fitur ketiga: “I shop, therefore I am” (“Aku belanja, maka aku ada”). Ini adalah fitur yang membuat konsumerisme jadi konsumerisme. Tujuan belanja/konsumerisme bukanlah untuk mendapatkan, tapi untuk mengkonsumsi. Apa beda antara ‘mendapatkan barang/layanan’ dan ‘mengkonsumsi barang/layanan’?
Melanjutkan poin yang pertama tadi, kita belanja karena merasa ada sesuatu yang kurang dalam diri atau hidup kita, yang bisa ditebus dengan cara berbelanja; belanja jadi semacam ‘jalan keselamatan’, kalau memakai istilah Alkitab. Di sini Saudara bisa melihat liturgi shopping benar-benar mempengaruhi sampai ke level hasrat (hasrat dalam arti visi kehidupan yang lebih hidup), yang menurut versi ini tentunya kita harus mendapatkan semua pernak-pernik tadi. Jadi tujuan belanja seakan-akan untuk mendapatkan barang-barang/layanan-layanan yang bisa menjadi solusi problem hidup kita, misalnya problem bentuk badan yang seperti jambu, problem jerawat, baju yang ketinggalan zaman, mobil yang mulai karatan, dsb. Tetapi ada sisi gelap di balik semua ini, yang kadang kita sadar tapi juga cepat lupa, yaitu ketika terapi shopping ini berakhir lalu kita pulang ke rumah dengan kantong-kantong belanja, kita menemukan bahwa kita kembali ke dunia yang tidak berubah itu, dunia yang kita kembali harus mengerjakan pe-er, cuci piring kotor, mengeluarkan sampah. Barang-barang yang baru kita beli tadi tentunya memberikan suatu excitement sementara, tapi kita tahu kilauannya tidak bertahan lama. Kita tahu ini, tapi jarang dengan rela mengakuinya. Lalu berikutnya, sama seperti Petrus dan murid-murid, kita juga mengatakan kalimat “tapi kepada siapa lagi kamu dapat pergi?” –sehingga pertanyaan berikutnya adalah: kapan belanja lagi? Inilah bedanya antara ‘mendapatkan’ dan ‘mengkonsumsi’.
Yang namanya ‘mendapatkan’, itu bertujuan demi mengadakan suatu barang; sedangkan ‘mengkonsumsi’ tidak pernah cukup sampai di situ. ‘Mengkonsumsi’ punya satu sisi gelap yang jarang dibicarakan dan dilihat; ‘mengkonsumsi’ bukan hanya mendapatkan apa yang belum ada, tapi juga membuang apa yang sudah ada karena perlu yang baru. Liturgi konsumerisme ironis dalam hal ini, karena liturgi ini di satu sisi menghadirkan produk-produk dengan kilau gemilangnya, bahkan kalau bisa diwarnai dengan keajaiban, dsb., tapi di sisi lain liturgi ini juga membawa kita untuk cepat-cepat membuang ke tong sampah produk yang kita beli, demi menggantinya dengan versi yang lebih baru dan lebih kemilau. Inilah sebabnya konsumerisme tidak terlalu tepat kalau dikaitkan dengan istilah materialistis, karena fokusnya tidak pernah di materi; konsumerisme sebenarnya lebih mirip nihilisme.
Fitur keempat: “Don’t ask, don’t tell” (“Ssst, jangan bilang-bilang”). Sebelumnya kita sudah membicarakan bagaimana arsitektur mal dibuat seperti sebuah sanctuary, tempat kita terisolasi dari dunia luar dan dari waktu luar. Tapi isolasi ini lebih dari sekedar membuat kita terfokus pada satu waktu tertentu atau tempat tertentu; konsumerisme mengalihkan pandangan Saudara ke tempat ini dan waktu ini, karena konsumerisme tidak mau Saudara melihat sesuatu. Konsumerisme tidak mau membuat kita bertanya “barang-barang ini datangnya dari mana, ya?” Konsumerisme meminta kita untuk tidak memusingkan bagaimana baju itu bisa hadir di tanganmu, bagaimana paha ayam ini sampai ke piringmu. Konsumerisme mengalihkan pandangan Saudara dari ‘how the sausage gets made’. Konsumerisme menutup mata kita dari proses produksi dan transportasinya; di sini James Smith mengatakan, mirip seperti di Disney World, Saudara tidak pernah melihat karakter-karakter Mickey dan Donald Duck keluar dari mana, misterius! Dan ini sesuatu yang disengaja, karena kita tidak boleh sampai mengetahui seberapa gaya hidup konsumeristik ini sesungguhnya amat sangat unsustainable, tidak masuk akal secara jangka panjang, membutuhkan sumber daya alam berlebihan, dan perbudakan tenaga kerja dengan gaji yang terlalu murah, untuk bisa menunjang gaya hidup konsumeristik bagi segelintir orang. Gaya hidup konsumerisme tidak bisa jadi milik semua orang, karena tidak proporsional. Amerika, jumlah penduduknya hanya 5% dari total populasi seluruh dunia, tapi mereka mengkonsumsi 23-26% energi dari seluruh dunia; yang 5% mengambil 23-26%, bayangkan apa yang terjadi kalau semuanya 100% hidup seperti itu! Inilah gaya hidup yang merusak alam; tapi lebih dari itu, inilah gaya hidup yang tidak bisa diberi untuk semua orang, sehingga satu-satunya cara untuk visi kerajaan konsumerisme bisa bertahan adalah hanya jika kita menjaganya bagi segelintir orang saja. Itu sebabnya, ssst… jangan bilang-bilang.
Apa konklusi dari semua ini? Pertama, saudara harus menyadari bahwa semua doktrin konsumerisme ini tidak pernah diajarkan kepada kita, tapi mereka diukirkan kepada kita. Ini adalah visi kerajaan yang masuk ke dalam kita bukan melalui traktat dan kotbah; ini adalah visi yang masuk ke dalam hidup kita melalui praktika hidup, yaitu apa yang tubuh kita lakukan lagi dan lagi, bersama orang lain, melalui habit/liturgi. Ini harusnya membuat kita sadar, bahwa yang namanya dosa –dosa dalam pengertian Kekristenan– dalam hidup kita, itu tidak selalu merupakan hasil keputusanmu secara aktif. Model Kekristenan yang terlalu menekankan rasio, lalu lupa akan pengaruh tubuh dan habit, akan melihat pencobaan dan dosa dalam kacamata yang terlalu rasional, bahwa pencobaan adalah semacam ide adanya malaikat yang bicara A dan setan yang bicara B lalu kita secara sadar memilih melakukan yang mana. Tapi itu salah. Dengan menyadari bahwa kita bukan hanya makhluk rasional tapi juga makhluk habitual, maka Saudara akan menyadari bahwa pencobaan dan dosa bukan hanya mengenai ide-ide jelek atau keputusan-keputusan yang salah; dosa-dosa kita ternyata juga adalah hasil, atau mencerminkan, habit-habit yang evil yang kita lakukan secara otomatis. Ini bukan berarti Saudara jadi bisa lepas tanggung jawab dari dosa-dosa semacam ini karena Saudara tidak sadar; saya bukan mengatakan bahwa dosa Saudara cuma yang secara sadar, sedangkan yang secara tidak sadar itu bukan dosa Saudara. Justru saya mau mengatakan, bahwa Saudara sekarang harus memperlebar tanggung jawabmu, Saudara harus menyadari bahwa tanggung jawabmu bukan hanya atas dosa-dosa yang kita putuskan untuk melakukannya, tapi juga atas dosa-dosa yang kita lakukan secara otomatis karena kita secara sadar atau tidak sadar sudah masuk ke liturgi kerajaan saingan dari Kerajaan Allah.
Apa poin dari semua ini? Yaitu bahwa mengalahkan dosa semacam ini, tidak hanya perlu in-formasi tapi perlu re-formasi, re-habituasi. Itu sebabnya Saudara tidak cukup hanya punya pikiran yang berbeda dari dunia, atau tindakan yang berbeda dari dunia; Saudara perlu habit yang berbeda dari dunia. Dengan demikian, Saudara perlu komunitas yang berbeda dari dunia, karena Saudara tidak bisa menjalankan habit seorang diri. Habit yang paling powerful mempengaruhi Saudara, itu didapatkan dari komunitas, dari sebuah liturgi.
Poin kotbah ini juga bukan membuat Saudara berhenti pergi ke mal –meskipun mengurangi sudah pasti positif. Kita tidak perlu jadi orang Kristen yang tidak pergi ke mal, karena itu tidak menyelesaikan masalah. Pendeta Heru pernah cerita kepada saya, suatu kali dia ketemu jemaat di mal, dan jemaat itu kaget, “Pak Heru koq bisa di sini??” –seakan-akan itu tempat sarang setan atau apalah. Saudara bukan dipanggil untuk mundur dari komunitas dunia; poin saya bukan itu, karena itu tidak bisa Saudara lakukan, dan juga bukan panggilan orang Kristen. Yang saya mau katakan adalah: Saudara perlu komunitas tandingan, komunitas alternatif, kalau Saudara mau mendorong balik pengaruh liturgi dunia ini.
Tim Keller memberikan satu ilustrasi menarik; dia mengajak kita membayangkan 2 orang pria, usia 20-an, tapi beda zaman dan beda komunitas –dan dengan demikian beda habit. Yang satu seorang pendekar Viking abad 7, yang lainnya seorang penduduk New York abad 21. Si pendekar Viking melihat seorang musuh, darahnya mendidih, lalu dia mencabut kapaknya dan membacok musuhnya sampai mati. Setelah melihat musuhnya tewas bersimbah darah, dia mengatakan pada dirinya, “This is me!” –khas kultur pendekar. Si penduduk New York satu kali juga melihat musuhnya, darahnya mendidih, tapi dia mengatakan dalam hatinya, “This is not me” –zaman sekarang sudah bukan zaman bunuh-bunuhan, ini zaman dialog dan toleransi. Skenario kedua, si pendekar Viking melihat seorang pria ganteng, jantungnya berdebar-debar, pipinya memerah, tapi dia langsung berkata dalam hatinya, “This is not me! Saya lelaki! Lelaki tidak cinta lelaki, apa-apaan ini!” Si penduduk New York melihat seorang pria ganteng, jantungnya berdebar-debar, pipinya memerah, dan dia berkata, “This is me, inilah diri saya.” Saudara, saya bukan mau mengatakan orientasi seks hanyalah bentukan budaya; orientasi seks adalah isu yang tidak sesimpel nature versus nurture. Yang saya mau katakan dalam ilustrasi ini adalah bagaimana seseorang meresponi/melihat orientasi seksnya, itu sangat dipengaruhi oleh komunitasnya. Dan apa itu komunitas, jika bukan seperangkat kebiasaan, seperangkat habit bersama, seperangkat liturgi yang semua orang dalam komunitas tersebut melakukan lagi dan lagi dan lagi?
Poin kotbah hari ini menyibak tirai konsumerisme adalah untuk membuat Saudara menyadari bobot di balik mengapa Tuhan memanggil Saudara dan saya bukan hanya sebagai individu-individu di hadapan Tuhan tetapi sebagai sebuah umat, mengapa Tuhan menyediakan Gereja dan bukan hanya Alkitab, mengapa Tuhan menyuruh kita untuk berkumpul bersama-sama dalam nama-Nya mengadakan kebaktian –dan maafkan, bukan cuma nonton video kebaktian. Memang tidak semua dari kita sudah bisa mengkuti kebaktian fisik, saya sangat peka dengan ini karena istri saya dokter yang kerja di rumah sakit, sehingga itu sebabnya dia juga belum hadir bersama-sama dengan kita. Tapi di sisi lain, lewat kotbah-kotbah ini, saya perlu mengajak Saudara menyadari bahwa kebaktian online itu bukan the new normal! Itu adalah suatu abnormalitas yang diperlukan, saat ini, yang ada tempatnya bagi sebagian orang. Tetapi, kita terus mengharapkan saat ketika kita boleh kembali berkumpul secara badani di sini.
Sedikit mengulang kotbah yang terakhir, apa kabar baiknya dari semua ini? Kabar baiknya adalah: bahwa Allah Alkitab jauh lebih tahu mengenai diri Saudara dibanding Saudara sendiri. Kalau Saudara melihat ini semua dan mengatakan, “Jadi solusinya apa, Pak? Kebaktian fisik tok? Hal yang sudah kita lakukan bertahun-tahun?? Yaahhh… ternyata solusinya cuma vitamin C, olah raga, tidur cukup??” Jadi Saudara mengharapkan apa? mengharapkan sesuatu yang baru? Jika ada solusi yang baru, itu berarti Tuhanmu adalah tuhan yang kecele, ‘O, iya ya, aku kelupaan, ternyata manusia tidak bisa cuma dibentuk otaknya tapi juga habitnya, jadi sekarang aku kasih metode baru, deh’. Tapi Tuhan kita tidak seperti itu. Di sini kita melihat satu good news, bahwa masa depan Gereja adalah justru masa lalu dari Gereja, bahwa the future of the Church is ancient. Kita perlu menyadari bahwa Allah kita sudah lebih dulu peka akan hal ini sejak awal. Itu sebabnya hal yang paling awal Allah berikan kepada kita bukan doktrin –meski itu penting—tetapi komunitas. Tahukah Saudara bahwa Gereja sudah ada sebelum Perjanjian Baru ditulis? Perjanjian Baru ditulis dalam jangka waktu dari sekitar tahun 30-40 Masehi sampai kira-kira akhir abad pertama; dan Gereja sudah dimulai sebelum itu. Gereja dibentuk oleh Firman Tuhan yang hidup, lalu setelah itu diberikan firman Tuhan yang tertulis. Ini bukan cuma di Perjanjian Baru; Abraham dan keturunannya sudah dipanggil menjadi umat Tuhan sebelum Musa menulis kitab Taurat.
Lewat kita disibakkan tirai liturgi dunia ini –yang membuat kita mungkin jadi agak kuatir dan cemas siapa yang sebenarnya mengontrol arah hati kit, dan mengontrol arah hati anak-anak kita– kabar baiknya adalah: kita diberikan kemampuan untuk melihat Ibadah kita hari ini –dan bukan cuma Ibadah hari ini, tapi juga yang sudah berpuluh-puluh tahun bahkan bermilenium-milenium— sebagai suatu pemberian/anugerah dari Tuhan. Saudara jadi bisa melihat dan menyadari bahwa semua aturan-aturan yang selama ini ada dalam Gereja kita –Saudara disuruh bangun pagi-pagi hari Sabtu untuk berdoa bersama-sama, disuruh untuk saling mengasihi bahkan mengasihi orang yang Saudara tidak ingin kasihi, disuruh untuk saling mengampuni yang begitu berat dan bikin stres itu, disuruh mendengarkan kotbah-kotbah yang bikin mabuk seperti sekarang ini—adalah suatu anugerah, karena tanpa itu semua, apa yang akan terjadi pada dirimu? Di mana lagi Saudara dibiasakan untuk mempunyai satu habit di mana kita memikirkan kebutuhan orang lain lebih daripada kebutuhan kita? Kalau tanpa Gereja, bisakah Saudara jadi orang Kristen?
Pada hari ini kita sudah menyobak tirai dari liturgi kerajaan dunia; pada kotbah berikutnya kita akan menyibak tirai dari liturgi Kerajaan Surga, apa yang terjadi dalam liturgi-liturgi umat Allah.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading