Kita terakhir kebaktian tanggal 15 Maret 2020, dan hari ini tanggal 14 Juni; karena ini ibadah fisik yang pertama setelah hampir tiga bulan, saya ingin mengajak untuk memikirkan mengenai “mengapa kita perlu berbakti secara badani bersama-sama”. Mungkin dalam benak Saudara muncul pertanyaan ini dalam bentuk yang sedikit berbeda, tapi mirip, misalnya: mengapa gereja harus memulai kembali ibadah secara badani sementara masih banyak concern tentang penyebaran [COVID-19], second wave, dsb. Di sini saya mau memulai dengan satu disclaimer, jika Saudara hari ini mengikuti kebaktian dari rumah secara streaming, Saudara jangan merasa kotbah ini akan mengatakan bahwa kerohanian Saudara somehow kurang dibandingkan mereka yang datang. Tidak demikian. Ada banyak alasan yang bisa valid tentang mengapa Saudara tidak datang hari ini; dan kotbah ini bukan bertujuan untuk berpolemik terhadap Saudara yang masih stay at home dan worship at home. Tidak ada intensi sama sekali untuk membuat Saudara merasa bersalah karena tidak hadir.
Tujuan kotbah hari ini hanyalah untuk mengajak kita memikirkan ulang, sebenarnya apa yang terjadi di tempat ini ketika umat Tuhan datang secara badani dan beribadah bersama-sama. Pertama, kita akan bicara mengenai apa itu Ibadah yaitu di dalam pengertian tentang liturgi. Yang kedua, kita akan bicara mengenai apa efek dari liturgi. Yang ketiga, kita akan melihat semacam studi kasus, yaitu dengan mempelajari liturgi “pengakuan dosa”.
Kita mulai dengan pertanyaan: Apakah tujuan kita datang beribadah? Apa tujuan kita menyembah? Saudara tentu mengatakan bahwa tujuannya untuk memuliakan Tuhan. Tetapi pertanyaan berikutnya: Dengan cara apakah Tuhan dimuliakan? Ketika apakah Tuhan dimuliakan? Bagaimana persisnya kita ini memuliakan Tuhan dengan kita hari ini datang bersama-sama secara badani? Bukankah hal-hal yang kita identikkan dengan memuliakan Tuhan itu bisa kita lakukan dengan cara streaming di rumah? Kita bisa bernyanyi memuji Tuhan di rumah, kita bisa mendengarkan kotbah dengan khidmat di rumah, lalu apa sebenarnya yang terjadi di tempat ini secara badani dan secara bersama-sama?
Saudara, saya langsung berikan jawabannya: tujuan kita datang beribadah adalah untuk memuliakan Tuhan, dan memuliakan Tuhan terjadi ketika kehendak Tuhan terjadi di bumi seperti di surga. Tuhan dimuliakan bukan cuma ketika ada jiwa-jiwa yang diselamatkan –bukan cuma itu—tapi ketika manusia-manusia yang diselamatkan ini mengerjakan panggilan mereka, yaitu mendatangkan kehendak Tuhan di atas bumi. Kita bukan dipilih sekedar demi dipilih saja; kita dipilih karena Tuhan hendak mengerjakan sesuatu melalui kita.
Saudara masih ingat gambaran saya tentang tanggal 18 Agustus 1945? Kita semua hanya ingat tanggal 17 Agustus 1945, tapi yang terjadi pada tanggal 18 tidak kalah penting, bahkan bisa dibilang lebih penting, karena itu adalah tanggal disahkannya Undang-undang Dasar 1945. Kita seringkali berpikir, momen kunci lahirnya bangsa Indonesia adalah momen deklarasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 –dan itu tidak salah—tetapi deklarasi kemerdekaan tidaklah berdiri sendiri. Deklarasi tersebut adalah tahap yang penting, tapi bukan yang terpenting, dan juga bukan yang final; deklarasi tersebut ada demi sesuatu yang lain, yaitu terjadinya kehendak rakyat Indonesia di bumi Indonesia. Dan itu dinyatakan lewat UUD 1945, landasan yang menjadikan hal tersebut mungkin terjadi. Sama halnya dengan itu, demikian juga keselamatan kita; kita diselamatkan/dilepaskan dari perbudakan dosa bukan demi kelepasan itu sendiri. Kelepasan itu adalah tahap yang penting, tapi bukan tahap yang terpenting. Kita dideklarasikan sebagai orang-orang yang dimerdekakan, supaya kita boleh mengerjakan sesuatu, untuk lewat kita Allah menjadikan kehendak-Nya di bumi seperti di surga.
Jadi, inilah tujuan kita datang beribadah; bukan terutama untuk mendengar Firman Tuhan tok, atau untuk menyanyikan pujian tok, tapi ada sesuatu yang lebih dalam. Tujuan kita datang beribadah dan melakukan ini dan itu, adalah karena dalam Ibadah ini kita sedang menjalankan undang-undang dasar Kerajaan Allah di bumi ini. Kita sedang hidup menurut manajemen yang baru. Ketika kita menyanyikan pujian, kita sedang hidup dalam budaya yang baru. Ketika kita mendengar kotbah, kita sedang dibentuk cara pikir yang baru. Ketika kita melayani, kita sedang dibentuk cara kerja yang baru. Kita sedang mendatangkan manajeman surgawi, budaya surgawi, cara pikir surgawi, cara kerja surgawi lewat Ibadah kita. Dan itulah sebenarnya yang hari ini kita sebut “liturgi”.
Dalam mengerti “liturgi”, kita sering terpaku pada definisi yang terlalu sempit, bahwa liturgi adalah semacam pola atau urutan acara yang kita lakukan setiap kali berbakti. Tetapi pengertian liturgi dan signifikansi maknanya jauh lebih lebar dan dalam dibandingkan sekedar alur acara. Seorang filsuf Kristen, James Smith, mengajak kita menyadari apa sesungguhnya liturgi dengan cara membandingkannya terhadap liturgi yang lain. Apa maksudnya liturgi yang lain itu? Liturgi orang Kharismatik, atau Pentakosta, atau Katolik-kah? Bukan; yang dimaksud adalah liturgi dari dunia. Bagaimana bisa dunia punya liturgi, bukankah orang dunia tidak ke gereja?? Di sinilah kita perlu memperluas dan memperdalam pengertian kita mengenai “liturgi”.
Liturgi tidaklah ditemukan eksklusif hanya ada di gereja; kita menemukannya setiap hari, hanya saja kita tidak sadar. Salah satu contoh liturgi yang ada di dunia, James Smith menyebutkan tentang mal. Saudara mungkin tidak sadar akan hal ini, tetapi mal sebenarnya punya liturginya sendiri dalam arti ada tata caranya sendiri, ada budayanya sendiri, yang tertuang dalam cara-cara pengunjung beraktifitas di mal –sama seperti liturgi kita pada hari Minggu, yang pada dasarnya adalah cara kita beraktifitas di gereja.
Coba Saudara memikirkan terlebih dahulu kemiripan antara mal dan gereja. Hari ini, mal secara lokasi sudah menggantikan posisi gereja dalam sebuah kota. Pada zaman dulu –kebanyakan di Eropa, tapi juga di tempat-tempat lain—biasanya sebuah kota dibangun dengan tempat ibadah sebagai pusatnya, tetapi sekarang jantung hati sebuah kota adalah mal-mal-nya. Dan, masing-masing mal berlomba-lomba untuk menjadi pusat kota yang baru. Saudara bisa memikirkan juga desain ruangan sebuah mal. Ada banyak variasi, tetapi ada sebuah gaya desain arsitektur/interior yang cukup universal dalam sebuah mal, yaitu mal biasanya memiliki skylight –mirip seperti yang ada di gereja kita. Jadi di dalam mal, bagian tengahnya biasanya terbuka ke atas, ditutup bahan tembus pandang sehingga cahaya matahari dari atas bisa masuk, dan akses pandangan kita tidak terhalang oleh beton, seakan ada akses transendensi yang dibuka. Tetapi di sisi lain, dalam sebuah mal hampir tidak ada jendela yang terbuka ke samping Saudara bisa melihat ke luar, ke bangunan-bangunan di sebelah mal. Lalu apa efeknya? Efeknya, di dalam mal Saudara seperti diajak masuk ke dalam suatu ruang yang sakral (‘sakral’ dalam pengertian ‘terpisah’ bukan ‘suci’). Di satu sisi Saudara seperti ada transendensi ke atas, tapi di sisi lain juga dipisahkan dari dunia Saudara yang ada di sebelah kiri kanan. Saudara tidak didorong untuk memperhatikan bangunan-bangunan yang lain, Saudara sedang dikhususkan perhatiannya pada mal tempat Saudara berada.
Perhatikan juga, mal bukan hanya membawa kita masuk ke sebuah ruang yang sakral, tapi juga sebuah waktu yang sakral –sakral dalam arti ‘terpisah’. Apa buktinya? Saudara sangat sulit menemukan jam di dalam mal Lalu apa efeknya? Saudara diajak untuk melupakan ‘waktu’ dunia yang di luar, Saudara diajak untuk meninggalkan ‘waktu’ tersebut, lalu masuk ke dalam ‘waktu’-nya mal. Saudara dipanggil untuk meninggalkan keluh-kesah Saudara, pekerjaan Saudara, kesibukan Saudara yang di luar, dan dipanggil untuk mengkhususkan ‘waktu’ yang saat ini, untuk tujuan-tujuan konsumeristis. Soal ‘waktu sakral’ dalam mal ini, bahkan meluas sampai pada cara sebuah mal mempunyai musim-musim dan kalendernya sendiri; ada musim diskon, musim belanja baju, musim belanja elektronik, dst.
Kemiripan ini lebih lagi waktu kita menyadari bahwa ketika kita masuk sebuah mal, kita sedang mengikuti alur kegiatan tertentu, tidak bisa sembarangan. Waktu Saudara masuk mal, tidak bisa langsung masuk ke toko, tapi ada alurnya. Kita masuk mal mulai dari mana? Dari tempat parkir. Apa yang kita lihat di tempat parkir? Yaitu area parkir yang begitu luas dan begitu penuh dengan mobil, kadang-kadang kita struggle untuk dapat tempat parkir. Ini satu rutinitas yang kita alami setiap ke mal, bukan? Jadi dari awal Saudara sudah dibombardir dengan satu kesan, bahwa inilah tempat yang penting, inilah tempat yang banyak orang datang untuk mencari sesuatu –Saudara sedang dipanggil untuk “beribadah”.
Saudara kemudian naik dan masuk ke dalam mal, dan menemukan manekin-manekin dan gambar-gambar di dinding mal yang melukiskan bisa berbagai macam, tapi fungsinya agak mirip dengan fungsi mosaik-mosaik atau patung-patung para tokoh iman di gereja-gereja di Eropa, yang tanpa harus berkata-kata, pada dasarnya mau mengatakan: “Inilah pahlawan-pahlawan imanmu, tirulah mereka”. Kalau dalam versi gereja, itu berarti tirulah karakternya, tirulah imannya; sementara dalam versi mal berarti tirulah penampilannya, tirulah pernak-perniknya, bajunya, gadget-nya, dsb. Setelah itu, kita masuk ke dalam “kapel-kapel” dari sekian banyak pilihan kapel di dalam mal, dan kita disambut oleh “imam-imam”, yang di satu sisi happy to help, tapi juga cukup bijaksana untuk tahu kapan waktunya membiarkan kita sendiri jika kita lebih suka “beribadah secara individual”. Ibadah apa yang kita lakukan dalam kapel itu? Kita ibadah, karena di dalam kapel-kapel itu kita melakukan suatu pencarian rohani, kita mencari artefak-artefak rohani yang akan membantu kita lebih bisa meneladani “raksasa-raksasa iman” yang gambarnya dipajang di depan. Kadang-kadang kita langsung tahu artefak apa yang kita butuhkan, kita datang, dan kita langsung mendapatkannya. Di waktu lain, kita datang dengan mode “terbuka akan pimpinan roh” dan kita mengitari ruangan kapel tersebut sampai akhirnya mata kita tertuju kepada satu artefak, dan mengatakan dalam hati “inilah yang jiwaku butuhkan”. Akhirnya kita sampai pada klimaks alur liturgi mal ini, ketika kita menghadap “imam besar” di balik meja kasir, karena sama seperti di gereja, tentu Saudara di situ bukan cuma dipanggil untuk mendapat tapi juga untuk memberi. Imam tersebut melangsungkan proses transaksi, lalu setelah selesai, dia mengutus Saudara pergi dengan “kalimat doksologi dan doa berkat”: “Sukses selalu, Pak; silakan datang kembali”.
Saudara lihat liturgi ini? Yang adalah urutan acara yang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari di dunia. Poin dari semua penggambaran ini maksudnya untuk kita menyadari, bahwa “liturgi” bukanlah sesuatu yang eksklusif dimiliki oleh Gereja. Dan tujuan menceritakan semua ini, bukan untuk mengatakan bahwa yang namanya liturgi itu ternyata barang duniawi sehingga kita tidak usah pakai. Bukan itu. Poinnya justru sebaliknya, yaitu untuk menyadarkan kita, mengapa Gereja memakai liturgi. Sekali lagi, tujuan dari ibadah/penyembahan kita adalah untuk membawa manajemen Kerajaan Tuhan ke dalam dunia ini, dengan demikian yang namanya ‘liturgi’ adalah sesuatu yang dipakai untuk mengekspresikan cara kerja manajemen yang baru tersebut. Liturgi adalah tidak kurang dari alat untuk mendidik dan membentuk kita dalam cara kerja yang baru ini, dalam nilai-nilai yang baru ini, dalam budaya yang baru ini. Ketika kita menggunakan sebuah liturgi, kita sebenarnya sedang pasang papan yang mengatakan “UNDER NEW OWNERSHIP, UNDER NEW MANAGEMENT”. Dengan demikian, ideal dari liturgi Gereja adalah membawa Saudara masuk ke dalam ruang yang baru –ruang yang sakral—dan membawa Saudara masuk ke dalam suatu waktu yang baru –waktu yang sakral; dan hal ini baru benar-benar berdampak kepada Saudara dan saya ketika kita melakukannya secara badani dan bersama-sama.
Itu juga sebabnya salah satu poin dalam liturgi kita adalah memberikan musik-musik yang berbeda dari musik-musik dunia; musik-musik yang sakral, terpisah, yang secara umum beda gaya dari musik-musik yang Saudara temukan di luar sana. Banyak orang tidak mengerti dan masih bertanya ‘mengapa kita tidak pakai musik yang sama dengan dunia’, tetapi sekarang Saudara bisa melihat alasannya kita melakukan yang kita lakukan itu, yaitu karena Ibadah (liturgi) sebuah Gereja tidaklah pernah kurang dari sebuah gerakan mendorong balik pengaruh dunia (counter culture movement), dengan menegakkan budaya surgawi, dengan menegakkan cara kerja Kerajaan Allah, yang dituangkan lewat cara kerja liturgi kita.
Satu contoh, mengapa kita mulai liturgi kita bukan dengan puji-pujian? Bukankah logisnya waktu mau menghadap dewa, kita datang dengan puji-pujian, mencari perkenanan dewa tersebut? Tidak. Itu terbalik, itu liturgi dunia; sedangkan dalam Gereja Kristen, Kebaktian dimulai dengan votum/panggilan beribadah. Tujuannya adalah untuk menuangkan cara manajemen yang baru ini, di mana Saudara datang bukanlah karena Saudara mau datang, Saudara datang bukanlah karena Saudara mampu untuk memuji Tuhan, tetapi Saudara memuji Tuhan karena Saudara diundang terlebih dahulu, karena Saudara dipanggil untuk beribadah. Kalau Saudara tidak diundang oleh Tuhan –yang diwakili oleh liturgos melalui pembacaan ayat Firman Tuhan dalam votum—maka kita tidak bisa datang. Inilah yang sedang dituangkan dalam liturgi kita, tetapi kita tidak sadar.
Liturgi ini baru kita dapatkan dampaknya secara penuh ketika kita melakukannya bukan di dalam pikiran, melainkan justru ketika kita melakukannya secara badani dan komunal (bersama-sama). Perhatikan satu hal, Saudara dibentuk oleh masyarakat lewat cara ini, lewat apa yang semua orang lakukan bersama-sama, lagi dan lagi. Satu contoh sederhana, tentang naik lift. Kalau Saudara naik lift di zaman PSBB [Pembatasan Sosial Berskala Besar] ini, di dalamnya ada sticker-sticker yang menunjukkan bagaimana seharusnya posisi Saudara di dalam lift –Saudara harus menghadap ke dinding. Itu tidak enak. Mengapa Saudara merasa tidak enak? Mengapa Saudara merasa itu cara naik lift yang tidak sepantasnya? Di sini Saudara baru sadar, ternyata ada “cara naik lift” yang tertanam di dalam hati Saudara; Saudara inginnya begitu masuk lift, Saudara lalu putar badan menghadap ke pintu. Pertanyaannya, siapa yang mengajarkan itu? Siapa yang pernah kasih tahu, kalau masuk lift, kamu harus putar badan lalu menghadap pintu? Tidak pernah ada yang mengatakan seperti itu, informasi itu tidak pernah masuk ke dalam otak Saudara. Lalu Saudara menyerap itu dari mana? Dari badan Saudara. Bagaimana atau melalui apa? Yaitu melalui semua orang melakukan seperti itu.
Jelas sekali kita dibentuk lewat cara itu, lewat apa yang semua orang melakukannya, lagi, dan lagi, dan lagi –habit komunal. Kalau Saudara menyetir mobil di Jakarta, cepat atau lambat Saudara akan menyetir seperti orang Jakarta menyetir; kalau Saudara menyetir mobil di Melbourne, cepat atau lambat Saudara akan menyetir seperti orang Melbourne menyetir, karena setiap kali Saudara pergi ke jalanan, semua orang menyetirnya begitu, berulang kali, berulang kali, berulang kali. Lalu perhatikan dampaknya; yang namanya habit komunal itu masuk lewat badan/tindakan badan, tetapi masuknya sampai ke dalam sekali, sampai mempengaruhi level hasrat. Hari ini kita mulai kebaktian fisik, sesuatu yang baru, lalu waktu tadi pagi saya datang bertemu jemaat, secara refleks saya ingin salaman … tapi tidak bisa, tidak boleh untuk sekarang ini. Mengapa itu terjadi? Karena habit. Tapi lihat, yang terjadi bukanlah saya datang ke gereja sambil merasa ‘aduhhh… musti salaman nih…’ padahal hati tidak mau. Bukan begitu. Saya ingin salaman. Ada hasrat untuk bersalaman di gereja. Mengapa kita bisa ada hasrat seperti ini? Siapa yang pernah kasih tahu kepada kita kalau datang ke gereja harus salaman? Tidak pernah ada. Itu hanyalah sesuatu yang Saudara serap dari apa yang semua orang lain lakukan, bahwa yang namanya ke gereja ya, salaman. Ini semua orang lakukan, dan mereka melakukannya berulang-ulang minggu demi minggu; dan lihatlah, dampaknya sampai mempengaruhi level hasrat —powerful sekali.
Kita bicara semua ini, maksudnya sedang menjawab pertanyaan “mengapa kita perlu datang beribadah lagi, secara badani bersama-sama”. Yaitu karena pembentukan yang Tuhan lakukan bagi Gereja-Nya bukanlah hanya hadir lewat pengisian data ke otak, melainkan juga pembentukan yang diberikan lewat habit yang bersifat komunal ini. Apa itu liturgi? Kalau Saudara mau definisikan, liturgi adalah sebuah habit komunal. Liturgi yang tertulis hanyalah sebagian dari liturgi yang sesungguhnya. Liturgi Gereja adalah jauh lebih besar dari sekedar alur acara Kebaktian. Liturgi Gereja tidaklah kurang dari habit komunal sebuah Gereja, yang adalah tuangan dari cara manajemen Kerajaan Allah. Itu yang pertama, mengenai apa artinya liturgi, apa itu Ibadah, mengapa kita perlu beribadah secara badani dan bersama-sama.
Kita masuk ke hal yang kedua; kita coba merenungkan apa efeknya dari liturgi. Tadi kita sudah menyinggung ini sedikit, dan sekarang kita coba teruskan lebih lanjut. Saudara, hari ini kita selalu berpikir bahwa sesuatu yang ulang-ulang itu tidak berpengaruh, yang rutin itu tidak ber-efek. Kalau mau yang ngefek, yang ngaruh, yang nendang, yang berasa, maka musti yang “duarrr..!”, yang sekali-sekali, itu baru berpengaruh. Tapi ini salah besar, karena Saudara perlu membedakan antara ‘apa yang benar-benar berpengaruh’ versus ‘apa yang Saudara sadari pengaruhnya’. Kalau Saudara menyadari hal ini, tentunya hal yang berpengaruh bagi Saudara itu jauh lebih besar dibandingkan pengaruh-pengaruh yang Saudara sadari. Dengan demikian, sebenarnya pengaruh yang besar itu, yang tidak kita sadari itu, lebih berdampak, lebih ngaruh, karena itu adalah pengaruh yang membentuk Saudara dan saya tanpa kita menyadarinya –inilah pengaruh yang lebih berpengaruh. Itu sebabnya orang yang datangnya ke Kebaktian “tepat waktu” –maksudnya tepat waktu sebelum kotbah—mereka tidak mengerti fungsi liturgi ini; mereka pikir pembentukan yang Tuhan berikan dalam Gereja hanyalah lewat otak, lewat data informasional, lewat kotbah. Tentu saja itu salah satu cara Tuhan membentuk kita, dan kita tetap pentingkan hal itu karena itulah yang paling berasa, yang paling Saudara sadari pembentukannya terjadi. Tetapi jangan salah, jangan kira pembentukan yang Saudara sadari itu adalah pembentukan yang paling berpengaruh. Kita justru bisa berargumentasi bahwa pembentukan yang datang dari habit komunal/ liturgi adalah lebih powerful, karena Saudara tidak sadar koq bahwa Saudara sedang dibentuk.
Tadi kita mengatakan bahwa kotbah adalah pengaruh yang kita sadari, tetapi kotbah pun bahkan ada sisi pengaruh yang Saudara tidak sadari. Saudara mungkin mengatakan “ini baru pertama kotbah, Pak Jethro sudah bikin pusing lagi”, tapi mengapa Saudara mengatakan “lagi” di sini? Karena dulu-dulu juga sudah begitu; Saudara tahu kalau Pak Jethro kotbah, ya, kayak begitu. Mengapa bisa muncul gambaran seperti itu? Inilah habit komunal, inilah pengaruh yang Saudara seringkali tidak sadari. Maksudnya begini, ada pengaruh kotbah yang lebih dalam, yang datang bukan hanya dari kotbah yang Saudara dengar hari itu, tapi dari jenis kotbah macam apa yang Saudara dengarkan selama ini, minggu demi minggu, demi minggu, demi minggu. Inilah yang lebih berpengaruh. Paling mudah, kalau bicara soal durasi; Saudara sudah terbiasa dengar kotbah antara 50 menit – 1 jam, lalu kalau kotbah cuma 30 menit, Saudara bisa protes, bukan? Tapi kalau biasanya Saudara dengar kotbah cuma 15 menit, lalu Saudara dengar kotbah yang 30 menit, Saudara akan merasa kepanjangan. Mengapa bisa kayak begitu? Dari mana Saudara menilai? Bukan cuma dari satu kotbah yang Saudara dengar, yang Saudara rasa bagus atau jelek, tapi dari kotbah macam apa yang Saudara dengar minggu demi minggu, demi minggu, demi minggu. Itu sangat mempengaruhi bagaimana Saudara melihat kotbah. Yang paling berpengaruh bukan soal kotbah hari ini –“wah kotbah hari ini dalam..” atau “hari ini koq kotbahnya ancur banget..”— bukan itu, melainkan ketika minggu demi minggu Saudara dibiasakan untuk mendengar kotbah yang kayak begini, yang segini dalamnya, yang segitu panjangnya, dan itu membentuk standar Saudara mengenai kotbah harusnya sedalam apa, bahkan juga hasrat Saudara ubtuk menuntut kotbah yang seperti apa.
Itu tadi contoh yang positif. Apa contoh yang lebih ke negatif? Misalnya tentang datang terlambat –maksudnya selalu terlambat, lebih sering telat dibandingkan datang tepat waktu. Coba Saudara tanya orang-orang seperti ini, mereka masih merasa berdosa atau tidak, sih, datang selalu terlambat? Mungkin mereka bilang “iya”, tapi sebenarnya tidak, buktinya mereka lakukan terus tiap minggu. Mengapa mereka bisa kayak begini? Mengapa mereka bisa tidak merasa berdosa datang terlambat? Karena bukan cuma mereka yang terlambat. Kalau orang terlambat, kecenderungannya kita mengatakan “ini orang memang brengsek, anak setan’, dsb.; tetapi ini bukan cuma tentang dia. Ini adalah karena setiap kali dia datang terlambat, dia melihat orang lain juga terlambat, dan cukup signifikan jumlahnya. Karena ada habit komunal, “terlambat” menjadi suatu liturgi, maka orang tidak lagi merasa bersalah. Coba Saudara bayangkan kalau Saudara datang terlambat, dan waktu Saudara masuk, semua orang hari itu datang tepat waktu, maka saya jamin Saudara akan galau sekali minggu depan untuk tidak terlambat –kalau Saudara orang normal. Jadi Saudara lihat, ini datang dari kebiasaan, dan kebiasaan yang bersama-sama kita lakukan. Itulah liturgi. Saudara tidak bisa lari dari ini.
Ketika kita beribadah bersama-sama di gereja, ketika kita diajak untuk masuk ke dalam waktu yang lain dari waktu dunia, dan ruang yang lain dari ruang dunia, hal ini mempengaruhi kita benar-benar. Soal waktu, Saudara tentu melihat bagaimana kalender Gereja seperti bertabrakan sekali dengan kalender duniawi. Dalam kalender Gereja, pertama-tama kita diajak untuk menghitung dan menyusun waktu dengan mereferensikan pada diri Yesus Kristus, yaitu Natal, Jumat Agung, Paskah, Kenaikan, Pentakosta. Itu semua adalah event-event yang kita peringati dalam satu tahun menurut hidup Yesus Kristus. Natal memang sudah diadaptasi jadi ‘waktu’ dunia, dan diselewengkan jadi musim diskon. Tetapi, fakta bahwa dunia telah berusaha mengambil alih ‘waktu’ tersebut dan me-redefinisi Natal, memperlihatkan bagaimana Gereja dan dunia sedang terlibat dalam sebuah tarik-menarik. Ada persaingan manajemen di sini. Ada persaingan kerajaan.
Lebih spesifik lagi di dalam GRII; akhir tahun yang merupakan musim jalan-jalan dalam kalender dunia, oleh GRII dipakai sebagai momen kebaktian –Kebaktian Akhir Tahun dan Kebaktian Awal Tahun—dan kadang-kadang juga NREC. Ikut tidaknya Saudara dalam NREC, taruhannya bukan sekedar Saudara mendapatkan kotbah atau tidak mendapatkan kotbah; taruhannya adalah seberapa banyak aturan Kerajaan Allah itu ada di bumi seperti di surga. Terlalu egois kalau Saudara memutuskan ikut NREC, dsb., hanya dengan alasan Saudara dapat apa atau tidak dapat apa; Saudara perlu tanya pada diri sendiri, apa yang Saudara berikan kepada dunia lewat mengikuti semua itu. Apa yang terjadi di Gereja, tidaklah kurang dari ini semua; dan lihatlah efeknya. Waktu keluarga kami pertama kali ikut NREC, sebagai anak kecil, kami ngamuk-ngamuk karena itu adalah waktu liburan. Ada habit komunal dalam keluarga saya untuk tiap tahun pergi liburan, tapi papa mengatakan “tidak, tahun ini kita ikut NRC/NYC”. Setelah 10 kali ikut NRC/NYC dan tahun itu belum ada penerusnya, lalu kami, anak-anak dalam keluarga saya bilang “koq ‘gak ada, ya? ‘kan ini sudah waktunya NREC?” –hasrat, dari tidak kepingin jadi kepingin. Saudara lihat, bukan cuma soal tahu apa yang baik dan benar, tapi dilatih untuk mengingini apa yang baik dan benar. Dan yang terjadi di Gereja, tidaklah kurang dari ini.
Bagian terakhir, mengenai pengakuan dosa, salah satu item liturgi di Gereja. Kita sekarang studi kasus secara detail. Sebenarnya pengakuan dosa itu apa, sih? Sekedar lips service saja atau apa? Saya akan coba jelaskan dan gambarkan hal ini. Walter Brueggemann, seorang teolog, pakar Perjanjian Lama, mengatakan satu kalimat yang sangat bagus: “Gereja harusnya bukanlah tempat yang paling bahagia di sebuah kota; Gereja adalah satu tempat di sebuah kota, yang paling jujur. Di situlah Saudara menemukan kejujuran.”
Saya membaca satu buku dari Rachel Held Evans; dia menulis, di gereja-gereja Amerika, terkadang dia menemukan bahwa momen yang paling kudus, paling sakral, bukanlah saat Kebaktian Minggu melainkan hari Selasa malam, ketika sekelompok orang yang seperti tidak ada hubungan satu dengan yang lain –CEO perusahaan besar, ibu-ibu, veteran perang, anak muda– datang berkumpul. Mereka berkumpul untuk satu tujuan yang sama, yaitu untuk mengatakan kebenaran satu sama lain. Mereka mengakui ketidakberdayaan dan ketergantungan mereka. Mereka mengakui itu kepada Tuhan dan kepada satu sama lain, apa yang menjadi kesalahan mereka. Secara detail mereka menceritakan itu. Mereka meminta pertolongan dan pengampunan. Dan perkumpulan ini biasanya dimulai dengan satu per satu pesertanya memperkenalkan diri seperti ini: “Halo, nama saya Jethro, dan saya seorang alkoholik”. Ini adalah suatu pertemuan Alcoholics Anonymous (AA). Rachel kemudian mengatakan, dia mendengar bahwa orang-orang yang kecanduan alkohol, yang datang ke pertemuan-pertemuan AA tersebut, mengatakan bahwa mereka tidak pernah menemukan komunitas lain yang lebih jujur, lebih terbuka, dan lebih bersatu, dibandingkan AA; mereka sudah keliling banyak gereja, mencari komunitas gereja yang bisa ada persatuan seperti itu, dan tidak menemukan. Apa yang membuat kelompok AA ini begitu bersatu? Mereka bersatu bukan atas dasar doktrin yang sama, atau iman yang sama; mereka bersatu karena mereka share satu brokenness yang sama, satu keterpurukan yang sama, yaitu mereka semua kecanduan alkohol. Rachel bingung; dan setelah berbulan-bulan dia baru menyadari bahwa yang seringkali lebih berkuasa mengikat manusia dalam suatu persekutuan, bukanlah kepercayaan atau doktrin yang sama, tetapi justru nasib yang sama, khususnya solidaritas yang dihadirkan karena share brokenness.
Disclaimer sedikit, AA tentu ada kekurangan dan ketidaksempurnaan, dan mungkin di antara Saudara mungkin ada yang antenanya naik karena menangkap bau-bau “Pria Sejati” dan “Wanita Bijaksana”, tetapi saya bukan mau bicara ke arah sana, saya hanya mau menghadirkan kepada Saudara satu gambaran perbandingan antara apa yang terjadi di AA dan di Gereja, karena Rachel meneruskan tulisannya dengan mengkontraskan gambaran yang terjadi di AA dengan gambaran di Gereja hari ini. Satu disclaimer lagi, yang dia tuliskan itu gereja di Amerika, jadi pasti tidak sama dengan konteks kita hari ini, tapi coba kita rendah hati dan merefleksikan, apakah ada resonansi antara gambaran yang dibicarakan itu dengan konteks kita, meskipun tidak bisa semua. Rachel mengatakan, kalau dibandingkan dengan Gereja, di gereja isinya adalah orang-orang yang waktu bertemu, mereka berbasa-basi, “Halo, apa kabar?” Dan secara umum mereka berusaha menampilkan sisi sukacita, sisi yang oke dari hidup mereka. Semuanya mereka lakukan, ironisnya, selagi mereka berdiri di bawah salib, yang mereka tahu telah menanggung tubuh Seseorang yang telanjang dan menderita sampai mati oleh karena dosa-dosa mereka. Rachel mengatakan, Gereja hari ini sangat jauh dari gambaran di Yakobus 5: 16 “Karena itu hendaklah kamu saling mengaku dosamu dan saling mendoakan”, karena secara umum hari ini Gereja bukan tempat yang aman untuk mengaku dosa. Rachel mendengar kesaksian orang-orang yang mengatakan, bahwa begitu mereka mencoba untuk mengaku dosa kepada seseorang di Gereja, Minggu depan seluruh Gereja sudah tahu dosanya. Dan ini terjadi bukan karena satu-dua Gereja yang tidak beres, atau karena Gereja tersebut ada satu dua orang yang tidak beres; Rachel mendapat surat dari begitu banyak orang, dari begitu banyak Gereja.
Gereja menjadi satu tempat, yang ketika orang mengaku dosa, lalu yang jadi respons bukanlah pengakuan dsa juga, bukanlah solidaritas, bukanlah suatu perasaan share brokenness; yang terjadi adalah pertanyaan-pertanyaan interogatif, “Kehidupan saat teduhmu bagaimana?”, “Baca Alkitabnya bolong-bolong, ya?”, “O, kamu harus beriman, berdoa lebih sering”, dst. Dan akhirnya, banyak orang meninggalkan Gereja karena tidak tahan akan hal ini. Di sini Saudara mengerti, mengapa Rachel mengatakan bahwa pertemuan hari Selasa malam, saat pertemuan AA itu dijalankan, adalah momen yang kadang-kadang lebih sakral dibandingkan Kebaktian Minggu. Ini ironis, karena salah satu alasan mengapa kita jadi orang Kristen, harusnya adalah karena Kekristenan mengakui keberdosaan yang universal itu, mengakui realita bahwa dosa adalah sesuatu yang sangat universal, bahwa kita semua sama terpuruknya dalam keberdosaan dan ketidakberdayaan. Kekristenan harusnya mendeklarasikan kebenaran yang benar-benar benar ini, bahwa ada sesuatu yang tidak beres, ada sesuatu yang rusak pada dunia ini dan pada diri kita dalam level yang amat sangat mendasar. Tapi anehnya, koq pengalaman kita hari ini pergi ke Gereja, lain sekali nuansanya?? Gereja, yang katanya mengakui semua itu, mempunyai warna/nuansa yang berbeda dari semua gambaran tadi. Gereja malah lebih mirip dengan gambaran waktu kita ingin pergi ke gym untuk menurunkan berat badan, tapi takut dan malu; kita merasa ‘kayaknya gua harus kurangin lagi, deh, sedikit lemak ini, sebelum gua pergi ke gym, karena di gym itu ‘kan orang-orangnya semua fit dan pakai baju ketat-ketat, jadi bisa kelihatan banget kalau ada lemak kayak gini’, padahal gym justru tempat untuk mengurangi berat badan. Saudara lihat ironisnya?
Contoh yang lain: Gereja menjadi suatu tempat, di mana kita seperti sedang dijemput pacar di rumah. Pertama kali pacaran dan pacar mau jemput di rumah, mama kita geleng-geleng kepala, “seumur hidup lu ‘gak pernah pegang tongkat pel, ‘gak pernah pegang sapu, kenapa hari ini ti-ba-tiba beres-beres rumah??” Itulah kita. Dan Gereja akhirnya jadi seperti itu, tempat yang seperti instagram rohani, di mana kita, satu dengan yang lain berusaha menampilkan sisi hidup kita yang paling oke, paling berkilau. Saudara, mendasari semua itu, entah bagaimana adalah kepercayaan yang membuat kita berpikir bahwa Gereja adalah tempat bagi orang-orang yang sehat, meskipun Yesus berkali-kali memberitahu kita bahwa Dia datang untuk melayani orang yang sakit.
Apa tujuan kita membicarakan semua ini? Kembali kepada hal yang kita bicarakan, apakah sekarang Saudara mengerti, mengapa perlu ada tempat bagi pengakuan dosa yang dilakukan bersama-sama, minggu demi minggu, demi minggu? Mengapa ini merupakan satu hal yang penting? Karena pengakuan dosa dalam liturgi adalah momen di mana Saudara dan saya dipaksa untuk memulai Kebaktian kita sebagaimana orang-orang AA memulai pertemuan mereka, dengan saling mengaku, dengan saling memperkenalkan diri, “Halo, nama saya Jethro, dan saya adalah seorang pendosa”. Ini suatu hal yang powerful ketika kita melakukannya minggu demi minggu, demi minggu, demi minggu. Ini momen yang jelas sekali di mana orang Kristen diajak menghidupi suatu manajemen Kerajaan Allah, suatu budaya, suatu kebenaran surgawi di bumi ini, yang sangat bertabrakan dengan gaya manajemen dunia.
Sekarang coba kita kontraskan ini dengan liturgi mengenai dosa di dunia. Paling tidak ada 2 alur di dalam dunia, yang sangat kontras dengan liturgi Gereja. Pertama, liturgi dunia cenderung membuang jauh-jauh rasa bersalah dan menghilangkan pertanggungjawaban. Acara-acara di TV semacam acaranya Oprah, isinya minggu demi minggu, demi minggu –liturgi—mengulang-ulang kalimat yang mengangkat self-confidence –“believe in yourself!”, “you can do it!”, dst.– yang isinya menolak mengakui kegagalan, membuang jauh-jauh rasa bersalah dan pelanggaran. Dalam istilah-istilah dunia hari ini Saudara menemukan kalimat-kalimat yang mengatakan “kita buang jauh-jauh energi negatif yang merendahkan dan merusak self-esteem”. Liturgi dunia seperti ini lagi, dan lagi, dan lagi, sedang membentuk kita untuk punya self-confidence “kita bisa!”, tanpa tempat bagi dosa, apalagi pengakuan dosa. Sangat jelas tabrakan liturgi dunia dengan liturgi dalam Gereja.
Berikutnya, liturgi pengakuan dosa dalam Gereja bukanlah cuma mengakui dosa. Dalam Kebaktian Tengah Minggu kita, liturgi pengakuan dosanya lebh dekat dengan liturgi dari Calvin atau para reformator, yaitu setelah pengakuan dosa dilanjutkan berita pengampunan, dengan kita membacakan 1 Yohanes 1: 9 misalnya. Jadi liturgi pengakuan dosa di Gereja juga mengasumsikan adanya pengampunan; ada deklarasi pengampunan yang datang setelah pengakuan tsb. Ini pun sebuah liturgi yang melawan arus liturgi dunia, karena sekarang ada liturgi dunia yang kedua selain liturgi ala Oprah yang tadi, yang tidak ada tempat bagi dosa ataupun energi negatif menurut istilah mereka. Liturgi dunia yang kedua ini justru seperti mengakui keberadaan dosa, tapi tidak menawarkan pengampunan, malah memanipulasi dan memainkan perasaan kita, yang sesungguhnya tahu bahwa kita tidak cukup. Tidak cukup cantik, tidak cukup pintar, tidak cukup sukses, tidak cukup kaya, tidak cukup bahagia, tidak cukup bebas, dst. Semua iklan di dunia pada dasarnya memainkan perasaan ini. Tim Keller mengatakan, iklan adalah mesin penghasil “iri” (envy generating machine). Kalau Saudara melihat iklan, yang berikutnya adalah Saudara mengaca, dan Saudara tidak puas dengan yang Saudara lihat. Selanjutnya, yang liturgi dunia tawarkan adalah kesempatan untuk memperbaiki perasaan-perasaan tidak cukup itu dengan berbagai produk dan layanan. Inilah liturgi dunia, yang seperti menuntut pengakuan dosa, tapi tidak memberikan kepastian pengampunan atau kedamaian.
Ibadah Kristen/liturgi Kristen kontras dengan dua kecenderungan liturgi duniawi ini. Di satu sisi melawan liturgi ala Oprah, mengingatkan kepada kita minggu demi minggu tentang realita kerusakan yang kita temukan di dalam diri dan dunia, mengajak, dan bahkan memaksa kita untuk mengakui secara jujur di hadapanTuhan kegagalan-kegagalan kita dalam menjadi seorang suami, seorang istri, seorang anak, kakak, adik, orangtua; dalam kita menjadi sesama manusia, dalam kita menjadi pelayan, bahkan kegagalan kita secara komunal di mana sebagai Gereja kita seringkali gagal menjadi icipan Kerajaan Allah yang kita dipanggil untuk jadi saksi-saksinya. Di sisi lain, liturgi ini tidak meninggalkan kita di dalam depresei, sebaliknya memberikan pengharapan dalam belas kasihan Tuhan, mengingatkan kita lagi dan lagi bahwa rencana Tuhan yang baik itu tidak pernah terhalang oleh kejelekan dan kerusakan, bahkan seringkali bekerja lewat apa yang dunia sebut dengan “energi negatif”. Dari mana ini muncul?
Ini muncul lewat liturgi, di mana Gereja lagi dan lagi, dan lagi, minggu demi minggu, jadi tempat kita mengingat dan mengulang kisah Yesus, yang mendatangkan kemuliaan lewat kehinaan, yang mendatangkan kemenangan lewat kekalahan, yang mengubah kematian jadi kehidupan. Tetapi, sekali lagi, semua ini dampaknya paling Saudara dapatkan secara penuh ketika Saudara melakukannya secara badani, Saudara datang melihat orang-orang lain, bersama-sama mengaku, mendengar orang lain mengaku, mendengar mulut sendiri mengaku. Dan Saudara melakukannya minggu demi minggu, demi minggu –habit komunal, liturgi.
Itulah sebabnya, kita merasa perlu kembali mengajak Saudara-saudara untuk beribadah secara badani. Ini masih masa transisi, jadi tujuan kotbah ini bukan untuk membuat Saudara datang karena merasa bersalah, merasa kurang beriman kalau tidak datang kebaktian. Tidak begitu. Saudara masing-masing harus menggumulkan sendiri, apakah waktunya sudah tepat untuk hadir secara fisik. Kita tidak akan menganggap saudara-saudara yang ikut streaming pasti ketakutan atau pengecut. Tujuan kotbah hari ini hanya untuk mengisi Saudara dan saya dalam momen transisi ini, sehingga momen ini menjadi satu momen kita lebih menyadari makna dari Ibadah Minggu, dari liturgi kita di hadapan Tuhan.
Kiranya kotbah ini boleh memberikan kepada kita satu kehausan rohani yang kudus, sehingga nanti pada saat kita boleh kembali berkumpul bersama-sama secara penuh, kita sungguh-sungguh boleh mendatangkan kehendak Allah di bumi seperti di surga.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading