Hari ini adalah Minggu ke-4 Adven; dan kaitan Adven dengan bagian yang kita baca adalah di ayat 5, karena di situ ada kalimat “Tuhan sudah dekat”.
Beberapa waktu lalu dalam Natal PA Wanita kita membahas kaitan antara Adven dan Pembuangan (Exile); Adven adalah menantikan kedatangan Kristus yang pertama (Natal), yang konteks sebelumnya adalah exile, lalu sekarang kita menantikan kedatangan Kristus kembali, dengan demikian hidup kita sekarang ini juga merupakan exile. Jadi ada paralel antara adven dan exile; namun adven yang dikaitkan dengan ‘bersukacita senantiasa’ juga betul. Di dalam Alkitab banyak paradoks. Di satu sisi, selama kita masih hidup sepanjang sejarah Gereja sebelum Yesus datang kembali, adalah exile (pembuangan); di sisi lain, sepanjang adven —yang juga adalah exile— ada perintah untuk bersukacita senantiasa dalam Tuhan. Jadi tidak harus berbenturan antara berada dalam pembuangan/exile dan ajakan untuk terus bersukacita. Dalam konteks Filipi, tema ‘sukacita’ ini muncul terus. Meskipun Paulus sedang berada di penjara, dia tetap bersukacita; dan itulah yang dia mau tularkan kepada jemaat Filipi yang meski tidak dipenjara seperti Paulus tetapi hidup mereka bukan tanpa pergumulan. Jadi ini adalah perkataan seseorang, yang tahu apa artinya hidup dalam keadaan tidak mendukung tapi tetap bersukacita.
Di dalam bagian ini, ada semacam nada perpisahan, semacam suasana bahwa suratnya sudah akan berakhir di pasal ini, maka kalimat Paulus ini semacam pesan-pesan terakhir. Kita di zaman sekarang terkadang kebanjiran informasi, termasuk juga email-email, sedangkan dulu ada waktunya kita menanti surat, lalu ketika buka kotak pos dan ada surat, rasanya senang. Personal sekali. Tapi sejak adanya email dsb. kita kehilangan nuansa tunggu-tungguan, “adven” itu tidak ada lagi, karena begitu pencet enter langsung dalam hitungan sekian waktu saja sudah bisa diterima. Itu sebabnya kita kurang mengerti apa yang dirasakan di bagian ini. Apalagi di zaman Paulus dulu, yang namanya pembawa berita, itu datangnya dari jauh –tidak ada telegram, telepon, apalagi email– lalu dia menyampaikan pesan, orang mendengarkan pesan tersebut dengan baik-baik; dan sebelum si pembawa berita ini pergi, dia akan mengulang kembali pesannya, memastikan bahwa orangnya mengerti dengan benar. Jadi di situ ada percakapan seperti ini: “Yang Saudara katakan tadi, Tuan itu bicara begini, begini, begini-kah?” kemudian si pembawa berita menanggapi, “Iya, Tuan itu memang bicara begini, begini, begini, seperti tadi sudah saya katakan.” Ini membosankan sekali bagi kita sekarang, karena kita ini sekarang metode scanning mendengarnya; bukan cuma melihat, mendengar pun kita pakai metode scanning, itu sebabnya kita banyak salah mengerti. Tidak ada lagi sekarang orang selesai bicara lalu kita bilang, “Sebentar, sebentar, tadi apakah kamu bilang begini, begini, begini”, dan kemudian dijawab, “Iya, betul, kamu mengerti dengan benar; saya memang mengatakan begini, begini, begini”. Yang seperti begini, tentu kecil kemungkinannya untuk orang salah mengerti; kalau salah mengerti juga, ya sudah, mungkin dia sedang mengigau waktu diajak bicara.
Dalam zaman kita, sulit bagi kita untuk memahami surat yang sudah hampir berakhir ini, bahwa setelah ini tidak ada omongannya Paulus lagi, jadi musti baik-baik mendengarkan perkataannya, “Bersukacitalah senantiasa di dalam Tuhan”. Ini sudah perkataan-perkataan yang terakhir, mirip seperti perkataan orang yang sudah mau meninggal, karena Paulus tidak bersama dengan mereka dan tidak jelas banget nasibnya, sebagai orang yang sudah dipenjara bisa saja ada hukuman mati, dsb. Jadi, waktu Paulus mengatakan “bersukacitalah senantiasa”, kalimat ini dibaca oleh jemaat Filipi yang sangat merindukan kedatangan Paulus kembali, tapi Paulus mengarahkan mereka untuk menanti kedatangan Tuhan, Tuhan sudah dekat. Paulus tidak bilang, “Saya akan kembali lagi”, karena memang tidak tahu bisa kembali atau tidak, tetapi Tuhan sudah dekat. Terlepas dari Paulus akan kembali atau tidak kembali, tulis surat lagi atau ini surat yang terakhir, Tuhan sudah dekat. Ada nada perpisahan di sini.
Orang yang dalam saat-saat terakhir, kalimat yang keluar dari mulutnya itu penting, dan kita bisa menilai. Kalau misalnya Saudara di ranjang kematian lalu bicara, “Itu baju saya yang warna ungu, kancing nomor 3 copot”, kita akan merasa ya, ampun, sudah mau mati malah ngomongin kancing baju warna ungu yang copot, ‘gak level banget, apa ‘gak ada omongan yang lebih penting?? Kalimat-kalimat terakhir sebetulnya menentukan apa yang dihidupi oleh seseorang. Apa kita-kira kalimat terakhirnya kita? Konon kalimat terakhirnya Socrates, dia mengatakan kepada muridnya, “Saya pernah pinjam ayam untuk bayar persembahan kepada dewa itu, dan saya belum bayar” –urusan meninggalkan utang. The great Socrates itu, minta utangnya dibayar oleh orang lain, kontras banget dengan perkataan Yesus di atas kayu salib yang melunasi utang Saudara dan saya. Murid Socrates pasti rela saja membayarkan utangnya, tapi betapa tidak anggun perkataan terakhirnya itu, sementara di surat Filipi ini, Paulus mengajarkan untuk bersukacita.
Dalam bagian ini sebenarnya ada sukacita dan juga damai sejahtera (shalom). Dua hal ini sangat berkaitan, sukacita dan shalom atau damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal (ayat 7). Ada tafsiran yang memberi judul ayat 4-7 ini “Joy and Anxiety” (sukacita dan kekuatiran). Kekuatiran memang lawan katanya sukacita, tapi juga lawan katanya damai sejahtera. Jadi, sukacita dan damai sejahtera memang dekat sekali. Dalam surat Paulus yang lain, Galatia 5, ada kalimat ‘kasih, sukacita, damai sejahtera’; setelah bicara kasih, lalu sukacita, dan berikutnya damai sejahtera. Orang yang mengasihi, dia bersukacita; kita bersukacita karena kita mengasihi. Dan, orang yang bersukacita, dia memiliki damai sejahtera yang sejati —keduanya tidak bisa dipisahkan.
Namun di sini ada perintah yang kalau kita salah mengerti jadi terdengar tidak realistis; dikatakan: “bersukacitalah senantiasa”. Maksudnya bagaimana? Apa dalam kehidupan ini harus tertawa terus, tidak boleh menangis?? Kalau anggota keluarga saya meninggal, saya juga harus bergembira, atau bagaimana?? Apa arti ‘senantiasa’ di sini? Perkataan ‘senantiasa’ (selalu/always) ini bukan dalam pengertian setiap detik tanpa kecuali harus bersukacita terus; Yesus pun pernah menangis waktu Dia menghampiri Yerusalem, Roh Kudus juga dikatakan bisa didukakan dan dipadamkan. Kalau begitu, apakah ini berarti Paulus melampaui spiritualitasnya Yesus dan Roh Kudus? Tentu tidak. Jadi apa artinya? Yang pasti, bukan dalam pengertian tidak boleh ada air mata sama sekali, melainkan bahwa sukacita kita tidak boleh dibangun berdasarkan situasi kondisi (circumstance) yang berubah-ubah, yang membuat kita tidak bisa bersukacita senantiasa, dan hanya bersukacita kalau kondisi sekitarnya baik, mendukung untuk bersukacita. ‘Kalau saya sedang di luar, tidak dipenjara, menikmati kebebasan –apalagi bisa traveling ke sana-sini– ya sukacita, dong; tapi kalau di penjara, ya tidak ada sukacitalah, tidak cocok, itu bukan tempatnya dan bukan momennya untuk sukacita’ –jadi tidak bersukacita senantiasa. Tetapi, Paulus ini bersukacita di dalam saat dan tempat yang “salah” menurut dunia karena dia sedang di penjara. Jadi, bersukacita senantiasa tidak tergantung pada situasi kondisi kehidupan ini yang berubah-ubah, melainkan bergantung kepada apa, atau lebih tepatnya siapa? Jawabannya: bergantung kepada Tuhan. Itu sebabnya di sini dikatakan, “bersukacitalah senantiasa di dalam Tuhan”, bukan “bersukacitalah di luar penjara”, atau “bersukacitalah di dalam kesehatan, bersukacitalah di dalam kelancaran, bersukacitalah di dalam tepuk tangannya orang lain”.
Cuma orang yang di dalam Tuhan, yang bisa bersukacita melampaui situasi kondisi. Tentu saja sebagai manusia kita berada dalam situasi kondisi keadaan yang mengelilingi kita, karena memang kita berada di dunia ini, tetapi sukacita kita seharusnya ada di dalam Tuhan; dan Tuhan itu tidak berubah, tidak seperti situasi kondisi Saudara dan saya. Yang berubah adalah kondisi sekitar sekitar kita, maka kalau kita mendasarkan sukacita kita di sana, pasti sulit bersukacita senantiasa, sukacita kita akan sangat tergantung pada keadaan sekitar yang kondusif atau tidak, untuk kita bersukacita. ‘Kalau sekeliling saya tidak menolong untuk saya bersukacita, malah bikin saya marah, ya sudah saya marah; saya tidak selalu bersukacita —saya bersukacita atau saya marah— karena situasi. Kalau situasi bikin saya marah, ya saya marah-marah saja; kalau situasinya baik, ya saya sukacita, saya senyum-senyum, saya senang’. Keadaan kayak begini ini labil dan tidak sehat secara jiwanya. Ini juga somehow pasif, didikte oleh situasi kondisi. Kalau kita didikte oleh kondisi sekitar (saya bukan mengatakan kita kebal sama sekali), kita boleh bertanya pada diri, apakah kita ini sebenarnya berakar atau tidak di dalam Tuhan? Hal ini dinyatakan dengan kita sanggup berukacita atau tidak.
Berapa dalam kita berakar di dalam Tuhan? Atau, yang namanya Tuhan itu tipis sakali di dalam kehidupan kita? Ini dinyatakan dengan apa? Yaitu ketika kita sangat responsif terhadap keadaan di sekitar kita, padahal respons kita harusnya kepada Tuhan, bukan pada keadaan sekitar. Boleh saja Saudara melihat keadaan sekitar, tapi beresponsnya di hadapan Tuhan, bukan berespons di hadapan kondisi sekitar yang tidak terlalu membentuk kita. Ada orang yang sudah menghadapi berbagai macam kesulitan di dalam kehidupannya, tapi juga tidak bertumbuh; mengapa? Karena memang dia tidak pernah berespons di hadapan Tuhan; dia cuma menghadapi situasi-situasi dalam kehidupannya yang memang tidak kurang kesulitan, tidak kurang tantangan, tidak kurang penderitaan –dan tetap tidak bertumbuh, tetap “kanak-kanak”. Tidak ada respons di hadapan Tuhan, responnya selalu terhadap kesulitan-kesulitan itu. Saudara, memangnya kesulitan bisa apa?? Apa ada di dalam Alkitab yang mengatakan ‘kita ini created after the image of circumstances??’ Tidak ada; yang ada, kita ini created after the image of God. Bukankah kita ini diciptakan menurut gambar rupa Allah, dan bukan gambar rupa kondisi sekitar? Itu sebabnya kondisi sekitar tidak akan pernah membentuk kita, karena kita tidak diciptakan according to the image of circumstances, tidak ada konsep Alkitab seperti itu. Betapa banyak orang yang responsnya bukan di hadapan Tuhan melainkan di hadapan kondisi sekitar; atau yang lebih baik sedikit, berepons di hadapan sesama, yang somehow lebih personal, tetapi masalahnya, tetap saja tidak ada ayat yang mengatakan, “We are created according the image of our fellow human beings”. Jadi, berespons terhadap sesama juga tidak terlalu menolong; lalu harusnya berespons seperti apa? Sekali lagi, berespons terhadap Tuhan, di hadapan Tuhan; dan dengan demikian sukacitanya juga sukacita di dalam Tuhan, tidak bergantung kepada sesama yang mengasihi ataupun kurang mengerti kita melainkan bergantung kepada Tuhan yang selalu mengasihi, Tuhan yang tidak berubah cinta kasih-Nya karena Dia memang adalah kasih. Kebergantungan kepada Tuhan yang tidak berubah ini, yang tidak berubah sebagaimana kondisi sekitar berubah, inilah yang membuat kita bisa bersukacita senantiasa seperti dikatakan oleh Paulus.
Sukacita ini adalah tanda kita hidup beriman kepada Tuhan. Orang yang sungguh-sungguh percaya kepada Tuhan, dia bersukacita –karena berimannya kepada Tuhan. Tidak ada orang yang beriman kepada kondisi sekitar; yang seperti itu mungkin namanya positive thinking. “Saya percaya besok terjadi hal-hal baik” –ya, silakan saja Saudara percaya. “Hari ini akan terjadi hal-hal yang indah” –silakan saja Saudara beriman pada hari ini. Tapi, tahu dari mana bahwa hari ini akan memberikan Saudara hal-hal baik?? Ini menghibur diri sendiri atau apa sebenarnya? “Saya percaya dalam tahun ini akan terjadi hal-hal yang indah dalam kehidupan saya” –Saudara beriman pada tahun ini maksudnya? Tahun ini bisa apa sebetulnya?? Apa yang bisa dilakukan oleh hari ini, atau besok, atau dua hari lagi, atau tahun ini?? Bagaimana mungkin beriman kepada waktu, kepada hari, kepada tahun? Berimanlah kepada Tuhan. Orang yang beriman kepada Tuhan, dia ada sukacita di dalam Tuhan, karena sukacitanya dibangun sebagaimana objek imannya, yaitu di dalam Tuhan, dan bukan di dalam yang lain. Inilah yang membuat kita bertumbuh.
Kita sudah sering membahas virtue ‘kasih’. Orang Kristen yang bertumbuh, dia bertumbuh di dalam cinta kasih; kalau kasih tidak bertumbuh di dalam kehidupan kita, berarti kita sebenarnya tidak ada pertumbuhan apa-apa. Bersamaan dengan ini, kita juga bisa mengatakan bahwa pertumbuhan yang sejati adalah pertumbuhan sukacita. Kalau kita bertumbuh, kita bertumbuh di dalam kasih dan sukacita dan damai sejahtera, karena ini semua berkaitan. Kehidupan yang bertumbuh, dari yang tadinya gampang sekali dipengaruhi dan begitu rentan diombang-ambingkan oleh situasi sekitar, sekarang jadi orang yang lebih bisa bersukacita di dalam Tuhan, dan karena itu sukacitanya senantiasa. Intinya, bagian ini tidak bicara tentang kebahagiaan yang sifatnya; kebahagiaan yang seperti itu, menyatakan dirinya hanya waktu keadaan baik, ‘kalau situasi baik, maka saya senang’. Ini berbeda dari sukacita Kristen, sukacitanya adalah di dalam Tuhan. Tuhan pernah mengatakan, “Damai sejahtera yang Kuberikan kepadamu, tidak bisa diberikan oleh dunia”. Ini betul. Damai sejahtera yang dari Tuhan, tidak sanggup diberikan oleh dunia; dunia tidak sanggup memberikan damai yang seperti itu. Dengan prinsip yang sama, kita bisa mengatakan bahwa sukacita yang dari Tuhan, tidak sanggup diberikan oleh dunia; dunia tidak mungkin bisa memberikan sukacita seperti sukacita yang di dalam Tuhan. Demikian pula halnya dengan kasih; kasih yang dari Allah –Allah yang adalah kasih– juga tidak bisa diberikan oleh dunia ini; dunia tidak pernah bisa memberikan kasih dan cinta seperti yang ada pada diri Allah. Kasih, sukacita, damai sejahtera ini berbeda dari yang dikatakan dunia dengan vocabulary yang sama. Dunia juga bisa bicara tentang damai (peace), tentang kebahagiaan (happiness), atau bahkan kegembiraan/kenikmatan (joy/enjoyment), tentang cinta (love), tapi yang ditawarkan tidak mungkin seperti yang diberikan oleh Tuhan.
Selanjutnya, seperti apa sukacita ini? Ada tafsiran yang mengatakan, sukacita yang sejati yang diberikan oleh Tuhan itu tidak melihat ke dalam (inward looking). Maksudnya apa? Bahwa konsentrasinya bukan pada kebutuhan kita akan kebahagiaan kita, melainkan pada kebutuhannya orang lain. Orang seperti ini adalah orang yang bertumbuh, dia bersukacita karena orang lain; karena orang lain bersukacita, maka dia bersukacita. Sedangkan orang yang kekanak-kanakan, yang tidak bertumbuh, kebahagiaannya adalah mengenai dirinya sendiri, ‘my happiness, my feeling, my acceptance’, dsb., semuanya tentang diri sendiri. Ini orang yang digerakkan oleh ego; yang mengendalikan kehidupannya bukan Tuhan melainkan egonya sendiri. Orang kayak begini akan gampang tersinggung, peka sekali kalau merasa tidak dicintai, peka sekali kalau kebutuhannya tidak diperhatikan orang lain; mengapa? Karena dia selalu inward looking. Orang yang inward looking, pasti tidak mengerti apa artinya bersukacita senantiasa. Seandainya Yesus inward looking, tidak mungkin Dia bisa ada sukacita. Coba lihat kehidupan-Nya, ditolak kanan kiri, disalah mengerti, difitnah, ditampar, diludahi, ditelanjangi, disalib, dsb., mana mungkin bisa bersukacita kalau Yesus inward looking?? Kalau Yesus inward looking, kita akan mendapati sosok Yesus yang luar biasa pemarah, dendam, menggerutu, dsb., yang ‘gak keruan; lalu cerita di dalam Kitab Suci, Yesus waktu ke Galilea, tersinggung karena pendapat-Nya tidak diterima, kemudian di Kapernaum tersinggung lagi, dst. –cerita Yesus tersinggung terus jadinya. Tetapi puji Tuhan, Yesus tidak inward looking. Kita mengikut siapa sebetulnya di dalam kehidupan ini? Kita mengikut Yesus; dan Yesus tidak inward looking. Paulus juga tidak inward looking, karena dia mengikut Yesus. Kalau Paulus inward looking, dia tidak mungkin bersukacita dalam keadaannya di penjara; dia bisa bersukacita, ya karena dia tidak inward looking.
Di bagian yang lain, Paulus mengatakan, “Karena itu, saudara-saudara yang kukasihi dan yang kurindukan, sukacitaku dan mahkotaku, berdirilah juga dengan teguh dalam Tuhan, hai saudara-saudaraku yang kekasih!” (Flp. 4:1). Sukacitanya Paulus itu apa, atau lebih tepatnya siapa? Tadi kita mengatakan, dia bersukacita di dalam Tuhan, sukacitanya di dalam Tuhan; lalu di ayat 1 ini dikatakan ‘saudara-saudara yang kukasihi dan yang kurindukan, engkaulah sukacitaku, mahkotaku’,artinya yang diharapkan Paulus adalah jemaat, sumber penghiburannya. Jadi, Tuhan yang paling utama, tapi setelah itu bukan dirinya melainkan jemaat –orang lain. Orang-orang yang dicintai Tuhan inilah sukacitanya Paulus, bahkan dia menyebutnya “mahkotaku” –saya tidak mengharapkan yang lain kecuali kamu. Saudara, mari kita bertumbuh seperti Paulus bertumbuh, bukan mengejar kebahagiaan kita sendiri tapi belajar melihat orang lain yang dicintai Tuhan itulah sukacita kita dan mahkota kita. Di dalam pertumbuhan yang seperti ini, kita akan menjadi orang yang ‘ke luar’, bukan inward looking; kita bertumbuh dewasa.
Kadang dalam kehidupan ini kita tidak mau mengerti kesulitan orang lain. Waktu orang lain sulit, kita bukannya bersimpati mengerti kesulitannya, tapi malah bilang, “Saya juga susah! Memangnya cuma kamu tok yang susah.” Orang bilang, “Saya sakit”, lalu kita bilang, “Saya juga sakit! Memangnya cuma kamu tok yang sakit”; jadi bagaimana kalau kayak begini?? Kalau kayak begini, ya sudah, tidak perlu ada komunitas Kristen. Jadi pertandingan sakit. Kalau dunia bilang ‘saya sakit’, lalu jawabannya Gereja seperti itu,”Memang lu tok yang sakit, kita juga sakit; memang lu tok yang kekurangan, kita juga kekurangan”, jadi penghiburannya di mana?? Jadi sama saja, sama-sama kelompok orang sakit yang tidak bisa menolong orang lain, tidak simpati dan tidak peduli terhadap kesulitannya orang lain, lalu tinggal ditambah sekalian, “Saya lebih juara kesulitan daripada kamu; saya ranking kesulitannya di atas kamu!” Saudara perhatikan, inilah orang yang tidak bertumbuh; atau kalau kita pakai istilah komunal, inilah Gereja yang tidak bertumbuh, komunitas Kristen yang tidak bertumbuh. Tidak mengerti kesulitannya orang lain, maunya terus inward looking, ‘lu susah, saya lebih dalam susahnya daripada kamu, jadi kasihilah saya’. Orang datang mau mendapat penghiburan, malah justru dia yang disuruh mengasihi. Kesaksian macam apa ini yang mau kita berikan di tengah-tengah dunia??
Di dalam kehidupan Paulus, dia sedang diperlakukan tidak adil. Kita tahu, dia dipenjara bukan karena nyolong jeruk atau apa; tidak ada persoalan yang membuat Paulus layak dipenjara. Dia mengalami ketidakadilan, dia dipenjara, tapi dia bisa bersukacita karena sukacitanya di dalam Tuhan. Dalam hal ini, dia ada contentment/satisfaction melampaui keadaan yang sedang terjadi pada saat itu; dan ini sangat ada kaitannya dengan damai sejahtera. Paulus adalah seseorang yang diperlakukan tidak adil, dan dia bisa tetap content dengan Tuhan –bukan content dengan keadaan di penjara. Meskipun dipenjara, mengalami ketidakadilan, mengalami keadaan yang sama sekali tidak mendukung untuk berbahagia, dia tetap bisa content dengan Tuhan; contentment dengan Tuhan inilah yang bukan saja sangat dekat dengan sukacita, tapi juga damai sejahtera. Kenapa orang bisa content dengan Tuhan meskipun dia diperlakukan tidak adil? Karena prioritas dalam hidupnya bukanlah hak pribadinya.
Ada budaya tertentu yang sangat diwarnai dengan ‘hak pribadi’ (self entitlement) yang tinggi; ‘saya berhak diperlakukan seperti ini, ini adalah hak saya; saya tidak minta lebih, saya tidak minta kamu berkorban, tapi yang ini hak saya!’ Saudara, mari kita bicara tentang hak; dan sekali lagi, lihatlah kehidupan Kristus. Seandainya Yesus mempertahankan hak-Nya sejak Dia lahir sampai mati, maka kita memiliki injil yang lain, injilnya langsung berubah drastis. Kehidupan Yesus itu kehidupan seorang manusia yang tidak mempertahankan hak pribadinya; ini amat sangat jelas di dalam Injil. Apalagi kalau kita bicara dari perspektif keilahian-Nya, hak Tuhan itu apa? Tentu saja Dia berhak disembah, dipuji, dimuliakan, dsb.; dan ini lebih tidak ada lagi dalam kehidupan Yesus. Jangankan bicara soal perspektif keilahian, secara perspektif kemanusiaan pun Dia tidak ada hak di dalam kehidupan-Nya. Sekali lagi pertanyaannya: Saudara dan saya mengikut siapa? Siapa yang kita ikuti? Kita menyembah ego kita sendiri, atau menyembah Kristus? Jangan jawab secara lip service. Kekristenan lip service, tidak menarik sama sekali, itu Kekristenan munafik, Kekristenan yang sebenarnya tidak dihidupi, cuma main jargon-jargon tinggi. Tetapi kalau kita sungguh-sungguh mengikut Kristus –meskipun kita tidak sempurna, masih bisa jatuh dan ada kelemahan, dan ada pengampunan Tuhan, dsb.– kita bertumbuh ke arah sana.
Saya bukan membicarakan perfeksionisme di sini, tapi kalau kita betul-betul di dalam Kristus maka kita akan bertumbuh; kita akan meninggalkan kehidupan yang dikuasai ego, dikuasai hak pribadi, dikuasai self-entitlement, yang di mana-mana selalu menuntut ini dan itu untuk dirinya sendiri. Kristus datang untuk membebaskan kita dari penjara ini, penjara kehidupan –atau lebih tepatnya, kematian– yang digerakkan oleh ego. Kristus datang untuk membebaskan kita dari neraka kehidupan yang dikuasai oleh ego. Paulus itu dipenjara? Ya, benar dia dipenjara; tapi dia bebas, bahkan sangat bebas. Ada orang-orang yang bebas, seperti Saudara dan saya yang tidak masuk penjara, tapi sebenarnya kehidupannya dipenjara, tidak mempersilakan Kristus untuk membebaskan, terus saja suka di penjara. Penjara ego, penjara hak pribadi, penjara ‘merasa berhak untuk diperlakukan ini dan itu, lalu kalau orang tidak memperlakukannya demikian, langsung marah. Sekali lagi, Tuhan-nya orang seperti ini sebetulnya siapa?? Siapa yang sedang diikuti oleh orang ini? Kristus?? Kristus yang mana?? Di ayat mana ada Kristus yang seperti itu, barangkali itu Kristus yang lain yang diikuti, Kristus yang palsu! Betul masih pakai nama ‘Yesus’, tapi kehidupannya banyak dipenuhi oleh self-assertion, selalu bersikeras ‘ini yang saya mau; harus terjadi yang saya mau’. Ini persis lawan kata dari yang dikatakan Yesus, “Barangsiapa mau mengikut Aku, biarlah dia menyangkal dirinya”; menyangkal diri, lawan katanya self-assertion.
Saya pernah mengutip Pendeta Agus Marjanto dari salah satu perkataan orang Puritan, sbb.: surga adalah tempat di mana orang-orang percaya yang sudah disempurnakan, mengatakan kepada Tuhan, “Kehendak-Mu terjadilah”, sebagaimana Doa Bapa Kami. Di surga kehendak Tuhan terjadi dengan sempurna, tidak ada lagi pelanggaran kehendak Tuhan, tapi di neraka Tuhan bicara kepada orang-orang yang di neraka, “Kehendakmu terjadilah”. Saudara menangkap kalimat ini? Menakutkan sekali. Orang yang terus-menerus memaksakan kehendaknya, itulah orang-orang yang akan menuju ke neraka. Orang yang berjalan ke surga, adalah orang yang terus-menerus menyangkal dirinya, orang-orang yang mengikut Kristus. Ini tidak bisa lebih jelas lagi, self-assertion atau self-denial. Tentu saja dunia kita akan merasa self-denial itu goblok. Nietzsche bilang, “Kekristenan itu mentalitas budak, orang-orang goblok, tolol, orang-orang yang diinjak-injak, lemah, pecundang, orang-orang yang tidak ada kekuatan, tidak ada ego-strength, semua yang dia mau, tidak jadi” –dan memang demikian, memang Kekristenan tidak dimengerti oleh dunia ini. Apa kaitan ini semua dengan yang kita bahas? Yaitu: orang yang dalam kehidupannya dikuasai oleh self-assertion, dia tidak mungkin mengerti sukacita. Saudara dan saya, kalau kehidupan kita dikuasai oleh self-assertion, ‘yang saya mau yang harus terjadi karena (saya adalah Tuhan)’, tidak mungkin ada sukacita. Tidak mungkin tahu apa artinya rejoice in the Lord, karena sukacitanya bukan di dalam Tuhan, sukacitanya adalah ‘in my desire; apa yang saya mau, yang saya inginkan, terjadi, itulah sumber sukacita saya’. Kalau kita menghidupi yang seperti ini, maka bukan saja kita tidak bisa bersukacita, tapi kita gagal total jadi saksi Tuhan.
Paulus mengaitkan hal ini dengan Tuhan yang sudah dekat. Menarik gambaran ini. Mungkin Saudara punya pengalaman bersama orang yang di ranjang kematian, yang berantem dengan keluarganya, lalu mati; dan itu pengalaman yang tidak enak banget. Orang yang sudah mau mati, mau berangkat, bukannya rekonsiliasi, peluk-pelukan, tangis-tangisan, tapi malah berantem, berarti egonya luar biasa, sudah mau mati pun masih berantem. Begitu juga keluarganya, orang sudah mau mati masih diajak berantem, itu berarti kesombongannya luar biasa tinggi. Saya sendiri, seingat saya belum pernah menghadapi yang seperti itu; tapi yang saya mau katakan adalah: orang yang sudah mau mati, tahu saat terakhirnya sudah dekat, dia tahu apa artinya tidak self-assert, dia pasti berhenti dari hal itu karena saat akhirnya sudah dekat; dan orang yang menghayati Adven, bahwa Tuhan sudah dekat, tapi masih self-assertion, itu aneh! Tapi kenapa di dalam dunia ini, orang-orang yang disebut orang Kristen masih suka self-assertion?? Itu berarti dia tidak menghayati Adven –jawabannya cuma itu. Dia tidak memikirkan Tuhan sudah dekat, dia pikir Tuhan masih jauh, ‘makanya saya boleh berantem, makanya saya boleh memaksakan kehendak saya, karena Tuhan masih jauh! Ini bukan Adven, Tuhan ‘gak tahu datangnya kapan, mungkin 500 tahun lagi, kesempatannya masih banyak, jadi sekarang ‘gak apa berantem, nanti masih ada waktu untuk rekonsiliasi, karena Tuhan masih jauh!’ Paulus bilang, “Tuhan sudah dekat”, bukan masih jauh. Orang yang menghayati Adven, Tuhan sudah dekat, dia akan berhenti dari kehidupan yang self-assertion, dia mulai belajar apa artinya self-denial –justru karena dia tahu ini Adven. Ini bukan waktunya untuk orang maksa apa yang harus terjadi adalah yang sesuai keinginannya; yang seperti itu, berarti dia tidak mengerti Tuhan sudah dekat.
Saudara, mari kita berpikir Kekristenan itu integrated satu dengan yang lain. Kekristenan bukan misalnya sekarang ini suasana Adven, ada berita Adven, lilin-lilin, pohon Natal, lagu-lagu Natal, atmosfir Natal, dsb. –yang memang bukan evil— tapi kemudian kehilangan substansinya, karena substansinya memang bukan di dalam hal-hal tadi. Berita Adven itu apa? Tuhan sudah dekat. Lalu kalau Tuhan sudah dekat, berarti apa? Sangkalah dirimu. Kalau engkau sungguh-sungguh percaya Tuhan sudah dekat, maka sangkallah dirimu. Jangan di-driven by your own ego, karena tidak ada orang yang mau mati lalu masih self-assertion; yang seperti itu benar-benar absurd banget. Orang yang sudah mau mati masih berantem, atau sudah tahu orang di depannya mau mati masih diajak berantem, itu sama-sama absurdnya. Tidak ada orang berantem di sekitar ranjang kematian, karena yang seperti itu betul-betul mengerikan; yang ada, orang berdamai-damaian di sekitar ranjang kematian. Itu sebabnya di bagian ini bicara damai, shalom, sukacita. Tidak ada orang yang sedang di ranjang kematian lalu anaknya bilang, “Pa, Papa harus tahu ya, dulu Papa melakukan kesalahan ini, ini, ini, dan saya masih sakit hati”, sudah mau mati masih diingatkan kayak begini, itu luar biasa tabu ‘kan? Saudara mungkin setuju, ya, itu luar biasa tabu; lalu bagaimana dengan adven Saudara dan saya, yang katanya Tuhan sudah dekat? Kita ini sudah mau mati ‘kan, Tuhan sudah mau datang kembali ‘kan, ini adven ‘kan, lalu kenapa kita masih suka self-assertion? Advennya jadi di mana? Kenapa di dalam Kekristenan susah sekali menyangkal diri?? Jawabannya: karena tidak ada penghayatan adven. Tidak ada. Mari kembali kepada Tuhan, belajar apa artinya bersukacita di dalam Tuhan.
Saya mengutip dari tafsiran: “The end is nigh when you will have to resign all”; sudah dekat waktunya, dan nanti kamu harus menyangkal semua juga, dalam keadaan seperti itu. Salah satu ilustrasi, yaitu dalam film Titanic tahun 1997 (bagian ini tidak tentu historis tapi indah sekali secara sinematografi), ada satu adegan ketika kapal mulai tenggelam, sekoci-sekoci mulai diturunkan, sekocinya tidak cukup banyak maka didahulukan wanita dan anak-anak, lalu ada seorang yang kaya dengan pakaiannya yang bagus sekali, dan dia tanya, “Is this the first class lifeboat (sekoci)?” Sudah mau mati, masih tanya urusan first class, masih pikir ‘saya harusnya dapat sekoci yang first class’, mana ada sekoci pakai kelas-kelas, itu ‘gak wajar banget. Aneh yang kayak begitu, di dalam situasi krisis, masih memikirkan urusan first class. Lucu. Yang tidak kalah lucu, orang-orang Kristen yang katanya mengaku wakutunya sudah dekat, tapi masih mikirin urusan first class; ‘saya koq tidak diperlakukan secara first class, koq saya diperlakukannya berbeda, ini first class apa bukan, ya, koq kayak begini?’ Sama saja absurdnya. Kenapa kita tidak bisa menghayati hal seperti ini, bahwa kita ini sementara?? Ada banyak orang Kristen ngomongnya “sementara”, tapi apa benar kita menghidupi yang kita bilang “sementara” itu? Atau cuma sekedar teori? Kita bilang, “Hidup ini sementara, tidak ada yang tahu kapan kita mati”, tapi ternyata cuma omongan gombal, tidak ada pengaruhnya, tetap jadi orang yang self-asserting, tidak ada self-denial, dsb. Tahu hidup ini sementara, tahu dirinya tidak bisa kontrol kematian, tapi tahu yang tidak tahu sebenarnya. Lalu, tahu dari mana kalau dia sungguh-sungguh tahu? Menurut Paulus, kalau dia sungguh-sungguh tahu, dia akan bersukacita di dalam Tuhan.
“Hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang. Tuhan sudah dekat!” (ayat 5). Waktunya tidak banyak. Tidak ada lagi waktu untuk mempertanyakan ‘apakah ini fasilitas kelas satu? apakah kamu memperlakukan saya dengan perlakuan kelas satu?’ Tidak ada waktu lagi untuk yang kayak begitu-begitu karena Tuhan sudah dekat, Tuhan sudah akan datang. Pendeta Stephen Tong pernah mengusulkan satu buku dari Mabel Williamson, “Apakah Kami Tidak Mempunyai Hak?” tentang kehidupan misionaris. Orang-orang misionaris, sepanjang kehidupannya mereka menanggalkan haknya, mereka hidup tidak layak. Di dalam Surat Ibrani dikatakan tentang saksi-saksi iman, bahwa dunia ini tidak layak untuk mereka, dunia ini tidak memperlakukan orang-orang ini dengan benar. Inilah tandanya musafir Kerajaan Allah, dunia tidak memperlakukan dengan layak. Kalau Saudara dan saya diperlakukan dunia dengan sangat layak, maka tanda tanya sebetulnya. Jangan salah mengerti saya, ini bukan maksudnya glorifying suffering, glorifying difficulties, dsb. Tetapi, kalau dunia memperlakukan kita dengan layak, pertanyaannya sederhana saja: kenapa dunia yang sama itu memperlakukan Yesus lain dengan memperlakukan kita? jadi kita ini berjalan bersama dengan Yesus atau tidak? Sederhana saja. Dunia memperlakukan Yesus seperti itu; dan bukan cuma Yesus, dunia memperlakukan Paulus, Yohanes, Petrus, serta semua orang-orang yang mengikut Tuhan itu sama seperti memperlakukan Yesus. Lalu, kalau dunia ternyata memperlakukan kita dengan baik, dengan perlakuan kelas satu, pertanyaannya sederhana: kita ini sedang berjalan bersama dengan Tuhan atau tidak? Di sepanjang sejarah, orang-orang yang berjalan bersama dengan Tuhan tidak diperlalukan dengan baik oleh dunia, sampai-sampai Surat Ibrani mengatakan “dunia tidak layak untuk mereka”, tapi koq dunia jadi layak untuk kita?? Jangan-jangan kita yang mencari kelayakan dunia bagi diri kita. Sekali lagi, sebetulnya yang sedang diikuti jadinya siapa?? Bukan maksudnya kita mengejar kesulitan, tapi mengejar Tuhan; kita bukan glorifying kesulitan, penderitaan, kemiskinan, tapi Tuhan. Namun, orang yang berjalan bersama Tuhan, tandanya adalah ini: dibenci dunia, dunia memperlakukan dengan tidak layak, tidak ada perlakuan kelas satu, dsb. –karena memang rumah kita bukan di sini, kita dalam proses terus-menerus untuk ego kita dilukai, disalibkan bersama dengan Kristus. Inilah orang-orang yang mengikut Kristus, mati bersama dengan Kristus, menyalibkan manusia lamanya karena Tuhan sudah dekat, karena Adven.
“Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apa pun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.” (ayat 6). Apa kaitannya dengan pembahasan kita? Orang yang digerakkan oleh kekuatiran, oleh katakutan, yang selalu merasa insecure dalam kehidupan ini, itu karena dia digerakkan oleh ego (driven by ego). Jadi kembali lagi, ujungnya adalah ego. Orang itu kuatir karena apa sebenarnya? Tentu karena dirinya dan keluarganya. Tidak ada orang bilang, “Saya kuatir sekali dengan orang-orang miskin yang ada di sana” –kita bukan kuatir karena itu. “Oh, saya kuatir sekali dengan orang itu yang sakit, tidak sembuh-sembuh, saya kuatir lho” –kita tidak mengkuatirkan itu. Kita selalu kuatirnya urusan diri kita, inward looking, melihat kepada diri sendiri, seakan-akan Kristus belum membebaskan kita keluar, terus saja yang dilihat diri sendiri dan kebutuhan sendiri, ini kurang, itu ‘gak cukup, dsb. Tetapi Paulus mengatakan, kalau kamu punya kebutuhan (dalam bahasa Indonesia pakai istilah ’keinginan’), nyatakan saja kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Setelah itu apa? Sudah cukup, serahkan ke dalam tangan Tuhan, kerjakan bagian kita, Tuhan yang akan memelihara. Sesederhana itu. Kenapa rumit sekali orang berusaha membangun semacam teologi dan filosofi untuk membenarkan kekuatirannya?? Dan herannya, orang-orang yang beriman dianggap absurd, tidak membumi, orang yang tidak ada persiapan. Ini berarti yang benar jadi salah, yang salah jadi benar –dan yang lebih benar adalah: kuatir.
Kekuatiran itu dosa. Kadang kita memperlunak kekuatiran jadi sesuatu yang kayaknya sangat bisa dimaklumi, ‘namanya juga manusia, namanya juga existential being, jadi harus ada kuatirnya, ada kegelisahan (angst), kecemasan (anxiety)’. Kierkegaard malah bilang bahwa angst, anxiety, fear to death, itu eksistensial banget, manusia gitu loh, sadar akan eksistensinya. Memang secara teologis, filosofis, bisa ada penjelasannya, tapi Alkitab sederhana saja; Alkitab bilang, firman Tuhan itu tidak bisa bertumbuh salah satunya karena kekuatiran dunia ini dan tipu daya kekayaan mencekik sampai akhirnya tidak bisa bertumbuh. Jadi sudah jelas itu dosa, evil, mana bisa kita bilang itu sesuatu yang lumrah?? Itu sesuatu yang bikin orang tidak bisa bertumbuh; bukan karena tidak ada firman Tuhan tapi benihnya seakan-akan dirusak, dihentikan pertumbuhannya. Oleh apa? Oleh kekuatiran dunia. Kenapa bisa ada kekuatiran dunia? Jawabannya kembali ke first class treatment tadi. Itulah yang bikin kekuatiran dunia; ‘saya kuatir kalau saya tidak diberi perlakuan kelas satu, bagaimana??’ Tapi lihatlah Yesusmu dan Yesusku, di mana Dia diperlakukan kelas satu?
Natal, Adven, di mana first class treatment-nya?? Kita menyanyikan lagu-lagu Natal, menyembah Dia, apa sih artinya? Lihatlah kehidupan-Nya, lihatlah Dia kelahirannya seperti apa? Dia bilang, tidak ada tempat untuk meletakkan kepala-Nya; bahkan lebih rendah daripada serigala, “serigala punya liang tapi Anak Manusia tidak ada tempat”. Kita ini, kalau bantal terlalu keras saja sudah ngamuk-ngamuk bantalnya tidak ergonomis, dsb.; Yesus bilang, “Saya tidak ada tempat untk meletakkan kepala; serigala pun ada, tapi Saya tidak ada”. Kita komplain urusan bantal guling, tapi masih bilang kita mengikut Kristus. Coba Saudara pikirkan, apa hubungannya mengikut Kristus dengan bantal dan guling?? Kekristenan harusnya berkait sampai ke sana; urusan bantal dan guling harus ada kaitannya dengan Kristologi. Kalau tidak ada kaitannya, ya, kita hidup fragmented, schizophrenic, kita tidak menghayati teologi namanya. Itu sebabnya kita muak belajar doktrin di atas-atas karena bagi kita tidak ada kaitannya dengan hidup ini. Padahal semua ada kaitannya, bukan tidak ada kaitannya. Tapi kitalah yang tidak suka berpikir dalam kaitan seperti ini. Kita anggap itu informasi-informasi elitis yang lebih baik ditaruh di vitrine seperti di museum, jadi barang antik; doktrin Allah Tritunggal, tiga Pribadi satu Substansi, ajaran yang ini dan itu, semua ditaruh di museum, tidak ada hubungannya dengan hidup sehari-hari kita. Hopeless Kekristenan seperti ini. Jadi bagaimana?
Sekali lagi, Tuhan sudah dekat, mari kita menghayati ini. Kalau kita percaya Tuhan sudah dekat, jangan dikuasi kekuatiran. Ngapain kuatir sih? Di sini juga sementara, kita akan kembali kepada Tuhan; Tuhan juga akan datang kembali, jadi tidak usah kuatir. Kalau ada keinginan, nyatakan saja di dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur, maka “Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus” (ayat 7). Akan ada shalom di dalam kehidupan ini. Lawan katanya shalom adalah pertikaian, ribut terus; karena apa? Karena tidak menghayati adven. Kalau kita menghayati Adven dengan benar, ada shalom, damai sejahtera yang dari Tuhan, ada rekonsiliasi, ada cinta kasih, ada sukacita, ada penghiburan, ada iman, ada perbuatan baik, ada kebaikan hati, ada ucapan syukur –dan ada kepercayaan kepada Tuhan yang mengalahkan kekuatiran itu.
“Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!”
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading