Di dalam bagian ini ceritanya cukup jelas, ketika Tabut Allah kembali kepada orang Israel, Tuhan menghukum umat-Nya sendiri, dan mereka kemudian mau mengirim Tabut Allah pergi, mau dipindahkan lagi. Kita juga sudah tahu cerita yang terjadi sebelumnya; dan kita melihat bagaimana umat Tuhan, bahkan juga orang-orang non-Israel, mau mengontrol Tuhan. Orang Israel mau mengontrol kuasa Tuhan untuk membawakan kemenangan perang bagi mereka. Lalu ketika mereka kalah dan Tabut Allah dibawa oleh orang Filistin, orang-orang ini pun mau mengontrol situasi –mengontrol Tuhan– mereka tidak mau mengakui bahwa semua penghukuman, borok-borok, dan sengsara yang mereka alami, itu datang dari Tuhan. Mereka mau mengontrol Tuhan tapi mereka gagal; mereka mau mengontrol situasi dengan lembu dan benda-benda emas itu, untuk membuktikan bahwa yang mereka alami bukan dari Tuhan, tapi justru Tuhan menyatakan betapa Dia tidak bisa dikontrol oleh mereka, oleh situasi-situasi yang mereka tetapkan. Dalam hal ini kita bisa melihat Tuhan adalah Tuhan yang berdaulat; dan Tuhan yang berdaulat dan yang bebas ini, memilih untuk setia. Inilah yang kita lihat dalam ceritanya.
Tuhan begitu berdaulat, Tuhan begitu bebas, Tuhan tidak bisa dikontrol oleh siapa pun –dan Tuhan memilih untuk setia. Dia yang membawa Tabut Allah, Dia yang menyatakan kehadiran-Nya balik ke tengah-tengah orang Israel. Dan, harusnya ini menjadi satu hari perayaan, satu hari yang mereka memuji Tuhan, karena Tabut Allah sekarang telah kembali. Tetapi, dalam ceritanya kita tidak melihat demikian; yang kita lihat jusru sebaliknya, mereka dihukum, dan mereka berduka. Alasannya kenapa? Bagian ini merupakan bagian yang paling banyak diperdebatkan, mengenai kenapa mereka dihukum. Dalam hal ini ada dua penerjemahan –dan dua sudut pandang– yang kita bisa lihat.
Pertama-tama kita akan melihat dari sudut pandang terjemahan LAI (LAI dan terjemahan-terjemahan bahasa Inggris lainnya seperti ESV dan NIV, mirip). Di ayat 19 ditulis bahwa mereka melihat ke dalam Tabut Tuhan. Lalu masalahnya di mana, cuma lihat saja memangnya salah? Kenapa mereka ini melihat lalu langsung dibunuh? Intinya, mereka ini bukan cuma melihat, tapi mereka merendahkan Tuhan, mereka meremehkan Tuhan, take God for granted. Kita semua yang membaca Perjanjian Lama, tahu bahwa Tuhan adalah Tuhan yang kudus, Tuhan yang berbeda, Tuhan yang besar, Tuhan yang fearsome. Tuhan sendiri sudah menetapkan bahwa hanya orang Lewi yang bisa melayani bait suci; dan di dalam orang Lewi pun, hanya keturunan Kehat melalui Harun, yang bisa datang ke hadapan Tuhan. Mengapa demikian? Sekali lagi, karena Tuhan adalah Tuhan yang kudus. Bahkan orang-orang Lewi dari keturunan Harun pun harus dikuduskan, mereka harus berfungsi sebagai mediator. Segala yang tercatat dalam aturan-aturan ini, menunjukkan kepada kita, bahwa Tuhan Yahweh adalah Tuhan yang suci, Tuhan yang besar. Apa pun yang bisa kita pikirkan, sebesar-besarnya Allah yang bisa kita pikirkan, Tuhan amat sangat jauh melampaui itu, tidak bisa diukur. Inilah yang harus kita sadari ketika kita datang kepada Tuhan. Tuhan itu melampaui apa pun yang bisa kita bayangkan, Tuhan itu besar, Tuhan itu kudus; dan kita harus ada hati yang takut akan Dia. Orang-orang Israel dalam bagian yang kita baca ini, gagal dalam hal takut akan Tuhan. Mereka take God for granted. ‘O, Tuhan datang, okelah’, merekatidak peduli. Mereka melihat ke dalam Tabut Allah, meremehkan Tuhan. Takut akan Tuhan, takut hukum, takut akan keberadaan Dia, sudah hilang di dalam pribadi mereka.
Bapak/Ibu dan Saudara sekalian, dalam kerohanian kita, kita tetap harus mempertahankan ini: bahwa takut akan Tuhan juga harus ada bagian takut akan penghukuman. Kita di dalam tradisi Reformed, karena kita percaya ‘sekali diselamatkan, selama-lamanya diselamatkan’, karena kita percaya kesetiaan Tuhan, karena kita percaya ‘the preseverance of the saints’, karena kita percaya kita diselamatkan bukan gara-gara emosi kita atau apapun lainnya tapi karena jasa Kristus dan kebenaran Kristus, maka ketika berbicara mengenai takut akan Tuhan, kita menekankan bahwa takut ini bukan takut hukuman neraka. Kita bukan takut dihukum masuk neraka karena kita percaya akan kesetiaan Kristus yang melampaui itu, jadi dalam hal ini, takut akan Tuhan adalah holy reverence, takut yang mau meninggikan/ menghormati Tuhan. Inilah yang kita tekanan ketika berbicara mengenai takut akan Tuhan. Tetapi, meskipun itu penting dan itu adalah titik beratnya, ketika kita berbicara mengenai takut akan Tuhan, bagian takut dihukum, takut atas keberadaan Tuhan yang besar yang melampaui apapun yang bisa kita bayangkan, itu tetap harus ada, tidak bisa dibuang. Kita tidak bisa bilang takut akan Tuhan adalah menghormati Tuhan (holy fear) cuma itu, dan hanya itu saja. Takut akan Tuhan adalah menghormati Tuhan, itu betul, tapi di sisi lain aspek takut akan penghukuman tetap harus ada. Orang-orang Israel di bagian ini sudah tidak ada lagi takut akan penghukuman itu, mereka taking God for granted. Tuhan bilang urusan Tabut Allah itu harus orang Lewi, harus keturunan Harun, tapi mereka bilang, ‘O, saya maju saja, saya lihat saja’.
Di Amerika, ada seorang pendeta mengunjungi seorang televangelist yang sangat terkenal bernama Jim Bakker. Jim Bakker ini, di antara semua televangelist, mungkin dia yang paling terkenal, pelayanannya paling besar, pengaruhnya paling banyak; dan akhirnya sebagaimana kita tahu, dia ditangkap dan divonis 45 tahun (yang akhirnya diperpendek jadi 8-9 tahun) karena pelecehan seksual dan korupsi uang. Ketika dia di penjara, pendeta tadi mengunjunginya; dan Jim Bakker mengatakan kepada pendeta ini, “Sekarang saya tahu, saya masuk penjara adalah suatu anugerah, karena Tuhan tidak mau saya hidup di dalam dosa dan langsung masuk neraka. Ini satu peringatan bagi saya untuk bertobat.” Jadi tampaknya di dalam penjara itu dia bertobat. Pendeta tadi kemudian tanya kepadanya, “Jim, apakah kamu tidak mengasihi Tuhan ketika kamu melakukan dosa-dosa itu? Don’t you love God? Don’t you love Jesus?” Jim Bakker lalu jawab, “Love Jesus? I love Jesus, all the way I love Jesus, saya tidak pernah tidak mengasihi Yesus, sejak awal saya mengasihi Yesus.” Pendeta tadi bilang, “Tidak mungkin; kamu bilang kamu mengasihi Yesus, tapi kamu begini, kamu berdosa, kamu korupsi, kamu melakukan pelecehan seksual.” Jim Bakker melanjutkan, “I love Jesus, I love God, tapi masalahnya I don’t fear Him, saya tidak takut Tuhan. Kalau kamu bilang, apakah saya mengasihi Dia, memang saya mengasihi, tapi saya tidak takut akan Dia.”
Bapak/Ibu dan Saudara sekalian, yang saya mau tekankan pertama-tama di bagian ini sekali lagi adalah: takut akan penghukuman ini, takut akan keberadaan dan kekudusan Tuhan ini, tetap harus dipelihara, tidak bisa hilang dari spiritualitas kita, tidak bisa kita buang sepenuhnya dan kita bilang ‘O, bagian ini sudah tidak ada lagi, kita tidak takut masuk neraka, kita tidak takut hukuman, kita tidak usah takut itu semua’ lalu masuk ke hyper-love, hyper-grace, atau apapun itu. Tidak bisa demikian. Justru inilah yang dilakukan orang-orang Israel di bagian yang kita baca ini, mereka melihat ke dalam Tabut karena mereka take God for granted, mereka sudah tidak ada aspek takut ini. Dan, kenapa mereka bisa menganggap enteng belas kasihan Tuhan, yaitu karena memang mereka menghina anugerah Tuhan.
Coba kita bayangkan waktu mereka mau memanipulasi Tuhan dengan membawa Tabut Allah ke medan peperangan; ketika mereka kalah, apa yang mereka lakukan? Mereka kabur. Mereka kabur tanpa membawa Tabut Allah itu. Mereka kabur begitu saja, Tabut Allah dibiarkan begitu saja. Sebelumnya, mereka meninggikan Tabut Tuhan bahwa ini adalah kehadiran Tuhan, kemuliaan Tuhan, tapi ketika mereka kalah, mereka meninggalkan begitu saja, tidak peduli sama sekali. Lalu setelah mereka kabur, Tabut Allah itu berbulan-bulan –bukan cuma berminggu-minggu, apalagi cuma berhari-hari– ada di tanah orang Filistin, dan mereka tidak mencarinya. Tidak pernah satu kali pun mereka berdoa ‘Tuhan, mana Tabut-Mu, mana kehadiran-Mu?’; Alkitab tidak mencatat sama sekali yang demikian. Mereka tidak mau mencari, tidak rindu, tidak melakukan apapun atas Tabut itu. Mereka biarkan begitu saja, Tuhan ada atau tidak ada, I don’t care! Dan, ketika mereka meninggalkan, membuang, tidak peduli, tidak berdoa, tidak rindu, maka apa yang Tuhan lakukan? Tuhan seakan-akan seperti pribadi yang ‘gak tahu malu, sudah dibuang pun tetap Dia pilih untuk kembali. ‘You abandon Me, you don’t care about Me’, namun Tuhan memilih untuk setia, Dia memilih untuk kembali. Dia menyatakan kuasa-Nya atas orang Filistin, dan Tabut Allah kembali.
Kita bisa bayangkan orang-orang Israel di sini, mereka ini tidak melakukan apapun, semuanya cuma-cuma. Kita juga sering bilang anugerah itu cuma-cuma, keselamatan itu cuma-cuma. Mereka juga bilang, “O, anugerah itu cuma-cuma”, tapi kemudian respons mereka adalah: O, Tuhan itu gampang, Tuhan itu easy, kita tidak perlu minta pun Dia sendiri yang mau kembali koq, siapa yang perlu siapa?? Mereka meremehkan, mereka tidak melihat anugerah Tuhan itu berharga, mereka justru menginjak-injak belas kasihan Tuhan, tidak menganggapnya sebagai anugerah. Ketika Tuhan berbelaskasihan, justru dianggap Tuhan itu lemah –dan inilah dunia. Bagi dunia, belas kasihan (mercy) adalah kelemahan; orang yang berbelaskasihan, orang yang panjang sabar, orang yang mengampuni, justru dianggap sebagai orang yang lemah. Dan, orang yang mau berbelaskasihan, yang panjang sabar, akan diinjak-injak oleh dunia. Tapi bagi orang yang beriman, justru sebaliknya; justru kita melihat kuasa yang terbesar adalah di dalam belas kasihan Tuhan, kuasa yang terbesar adalah di dalam pengampunan, kuasa yang terbesar adalah di dalam salib. Itulah yang Paulus katakan, “Salib adalah kuasa Allah” –kuasa untuk mengampuni. Itu sebabnya jangan pernah menganggap remeh anugerah Tuhan.
Kalau kita dulunya berdosa, lalu kita percaya, kita bertobat, Tuhan mengampuni kita, dan setelah percaya lalu kita berdosa lagi dan Tuhan mengampuni lagi, lalu kita berdosa lagi dan Tuhan mengampuni lagi, lalu kita berdosa lagi dan Tuhan mengampuni lagi, itu bukan berarti Tuhan keset. Tuhan bukan keset, Tuhan tidak bisa diinjak-injak seperti itu. Kita harus sadar itu adalah anugerah, kita harus cepat-cepat mau sungguh-sungguh bertobat. Jangan menganggap enteng anugerah belas kasihan Tuhan. Hati-hati kalau kehidupan kita seperti tidak bisa lepas dari dosa yang satu itu, kita berulang-ulang, dan berulang-ulang, dan berulang-ulang lagi, terus-menerus diikat oleh dosa yang satu itu, lalu kita anggap ya sudah, tidak apa-apa, dan Minggu depannya kita ke gereja minta pengampunan, lalu setelah itu melakukan dosa itu lagi, minta pengampunan lagi, dosa lagi, minta pengampunan lagi. Itu sebenarnya apa?? Itu hidup yang penuh kemenangankah? Itu hidup yang dipenuhi Roh Kudus-kah? Terus-menerus melakukan dosa yang itu dan tidak bisa lepas, dosa lagi, minta pengampunan lagi, dosa lagi, minta pengampunan lagi, ini bagaimana?? Kuasanya di mana? Merespons anugerahnya di mana?
Kita semua setuju bahwa menang atas dosa bukanlah sesuatu yang gampang, itu bukan sesuatu yang instan langsung beres, ‘saya hari ini minta pengampunan, bertobat, dan besok saya langsung beres’. Tidak seperti itu. Kita tidak naif, kita semua mengakui keterbatasan kita, kedagingan kita, kemanusiaan kita; kita sudah percaya, sudah bertobat, sudah ambil komitmen,dan tetap kita bisa jatuh ke dalam dosa yang sama lagi. Itu memang bisa, tapi, apapun kasusnya, ketika kita berdosa lagi, ulang dan ulang lagi, kita bisa coba membenarkan diri, kita bisa coba menjelaskan kepada orang, “O, ya, saya memang ceroboh, it’s a lack of concentration, terpeleset, saya sebenarnya tidak mau, hati saya juga gelisah koq, saya tidak mau melakukan itu, saya hanya ceroboh, saya ‘kan manusia terbatas, godaan terlalu besar; cuma kali ini saja saya jatuh, lain kali tidak lagi”. Kita bisa jelaskan kepada diri kita, kita bisa jelaskan kepada pendeta, kita bisa jelaskan kepada umat, tetapi ketika kita datang ke hadapan Tuhan, tidak ada orang yang bisa menipu Tuhan. Ketika kita berdosa lagi, dan lagi, dan lagi, dan lagi, dan kita datang kepada Tuhan, kita bisa bilang pada Tuhan, “O, Tuhan, saya ‘gak kayak beginilah, saya cerobohlah, sorry ya”; tetapi Tuhan tahu. Tidak perlu kita jelaskan kepada Tuhan, Tuhan tahu yang kita lakukan itu adalah karena kita benar-benar memang degil, kita mengeraskan hati, kita menganggap remeh Dia, atau memang kita ceroboh. God knows! Kita mungkin tidak tahu, kita mungkin menipu diri, kita mungkin menipu orang lain, tapi tidak ada orang yang bisa menipu Tuhan. Tuhan sungguh-sungguh tahu dosa yang kita lakukan itu dari dorongan motivasi yang memang kita menganggap enteng dan meremehkan, atau kita sungguh-sungguh ceroboh dan lack of concentration dalam detik tersebut. Dan, kalau kita meremehkan anugerah Tuhan, meremehkan belas kasihan Tuhan, kita injak-injak belas kasihan Tuhan terus, maka akan terjadi apa yang dicatat Alkitab di bagian ini, Tuhan bisa menyatakan siapa diri-Nya, God is good but He is not save –ini klasik dari C.S. Lewis. Tuhan itu baik, tapi Dia tidak aman; kalau kita menghina Dia, menginjak Dia, anggap Dia keset, Tuhan akan menyatakan siapa Tuhan dan siapa manusia.
Inilah sudut pandang pertama dalam kita melihat ayat 19, mereka meremehkan anugerah, meremehkan belas kasihan Tuhan, dan Tuhan marah. Tapi ada penerjemahan yang berbeda, khususnya yang dipakai dalam NRSV, dan juga misalnya dalam commentary WBC; dan dalam hal ini NRSV cukup otoritatif karena kalau kita menulis jurnal akademik internasional, hanya terjemahan NRSV yang diterima. Di dalam terjemahan NRSV, dan juga WBC, ada satu kalimat tambahan yang berbunyi demikian: “The sons of Jeconiah however did not rejoice with the people of Beth-shemesh when they saw the ark, so God smote them.” Anak-anak Yekhonya tidak bersukacita dengan orang-orang Bet-Semes ketika mereka melihat Tabut ini, itulah sebabnya Tuhan menghukum mereka. Jadi, dalam pembacaan NRSV, ataupun WBC, ada seelompok orang yang ketika Tabut Allah ini kembali, mereka tidak merayakan, mereka benci, mereka langsung menolak. Ini aneh.
Kalau kita lihat dari perspektif mereka, mungkin lumayan lumrah mereka ini marah, karena ketika mereka meminta pertolongan Tuhan dengan membawa Tabut Allah ke medan perang itu, mereka kalah, bahkan kalahnya lebih parah daripada sebelumnya. Jadi kalau kita mengerti dari perspektif mereka, okelah mereka menolak Tabut Allah karena Tabut Allah ini juga tidak menolong mereka, justru membawa kekalahan yang lebih besar daripada sebelumnya. Tapi coba kita pikir kembali, setelah mereka dikecewakan oleh kejadian itu, dan mereka meninggalkan Tabut, apakah hidup mereka lebih baik? Apakah mereka sekarang jadi sukacita, damai, ‘O, saya sudah tolak Tabut Allah, sekarang ada Baal yang menolong saya’ ?? Tidak juga. Mereka tetap ditindas oleh orang Filistin, hidup mereka masih sengsara, tidak ada kemajuan sama sekali. Biasanya, orang yang berada dalam kesengsaraan, kepahitan, kesulitan, maka apapun pengharapan yang mereka terima itu powerful; entah itu asli atau tidak asli, entah itu benar atau tidak benar, pasti akan diterima karena sudah tidak ada jalan lain, memang sudah dalam kondisi di bawah, jadi tidak ada ruginya. Dan, orang Israel ini di dalam kondisi paling rugi, di dalam kondisi dianiaya oleh orang Filistin, kondisi yang sengsara; lalu apa yang mereka lakukan? Kalau mengikuti terjemahan NRSV, yang mereka lakukan adalah: mereka tetap menolak Tuhan.
Bapak/Ibu dan Saudara sekalian, dari hal ini kita bisa melihat bahwa ada orang-orang yang di dalam kesengsaraannya tetap memilih kesengsaraan daripada Tuhan. Di dalam kesengsaraannya, they still willingly choose suffering more than God. Tuhan hadir, tapi mereka tidak mau, mereka lebih pilih kesengsaraan. Tokoh di dalam Alkitab yang jelas seperti ini yaitu Firaun. Firaun diberi kesempatan untuk bertobat, melepaskan bangsa Israel, tapi tidak mau, tetap saja memilih sengsara, dan terus coba melawan dan melawan lagi. Dengan prinsip yang sama, kita melihat bahwa kita dalam kehidupan kita sering kali juga sama; di dalam kesengsaraan, kita seringkali tetap memilih kesengsaraan daripada Tuhan. Misalnya apa? Ketika kita menghadapi pergumulan/kesulitan, dan kita gagal untuk membawa kesulitan/pergumulan kita kembali kepada Tuhan.
Ketika kita dalam kesulitan/pergumulan, lalu kita tidak bisa membawa kesulitan dan pergumulan kita itu kembali kepada Tuhan, itu juga sama dengan menolak Tuhan karena dalam Alkitab prinsipnya jelas sekali, bahwa kesengsaraan, pergumulan, kesulitan, itu bisa dipakai Tuhan untuk berbicara kepada kita, untuk mendisiplin kita. Petrus bilang, kesengsaraan kita bisa dipakai Tuhan untuk membangun kita, mendisiplin kita. Di dalam Perjanjian Lama, dalam kitab Ayub, Elihu mengatakan di pasal 33, “Dengan penderitaan ia ditegur di tempat tidurnya, dan berkobar terus-menerus bentrokan dalam tulang-tulangnya” (Elihu dalam kitab Ayub seperti mewakili suara Tuhan, berbeda dari tiga kawan Ayub lainnya yang menghakimi Ayub; dan Elihu tidak diminta Tuhan untuk didoakan Ayub). Bagi Elihu, Tuhan bisa memakai kesengsaraan/kesulitan untuk berbicara kepada kita. Kesengsaraan/kesulitan kita, itu tidak tentu mutlak terjadi karena dosa-dosa kita, tapi juga bisa menjadi alat komunikasi Tuhan kepada kita. Yang saya mau katakan adalah: ketika dalam kesulitan dan pergumulan kita, lalu kita tidak bisa introspeksi dan membawa kesulitan kita kepada Tuhan, itu berarti kita sedang menolak Dia. Tuhan mau bicara, Tuhan bisa pakai cara tersebut untuk berelasi dengan kita, maka kalau kita tidak mau terima, berarti kita menolak Tuhan.
Dalam hal ini kita tidak boleh berasumsi bahwa orang yang sengsara/dalam kesulitan, otomatis dia pasti akan kembali kepada Tuhan; bahwa andaikata dia sengsara mengalami penghukuman Tuhan, dia pasti akan kembali kepada Tuhan. Tidak tentu demikian. Ada orang yang di dalam kesulitan/pergumulan mereka, mereka tetap tidak kembali kepada Tuhan, mereka tetap tidak introspeksi dan membawa dirinya kepada Tuhan. Ada orang yang ketika miskin, tidak pernah menganggap itu salah mereka, mereka anggap dirinya no problem, perfect. Lalu salahnya siapa? Salahnya karena saya lahir di keluarga miskin; salahnya pemerintah, salahnya ekonomi, salahnya kapitalisme –salahnya seluruh dunia, dan mereka sendiri tidak salah, saya miskin gara-gara salah seluruh dunia, but not me. Ada orang yang di dalam hal relasi terus saja gagal, punya pacar, putus, punya pacar, putus, punya pacar, putus. Pacar dari A, B, C, D, E, F, G, … sampai Z; dan setiap kali putus, masalahnya adalah masalah orang lain. Si A tidak rohani, si B suka bohong, si C sombong, si D bla, bla, bla … dst., sedangkan saya sih rohani, saya sih very very good; kalau saya punya pacar, putus, punya pacar, putus, punya pacar, putus, itu bukan masalah saya –saya dalam kesengsaraan/kepahitan seperti begini, itu bukan masalah saya tapi selalu masalahnya orang lain; everything is the world problem, I have no problem. Orang kayak begini, dia menolak Tuhan. Di dalam kesengsaraannya, mereka tidak memilih Tuhan, mereka memilih kesengsaraan. Mereka rela terus hidup di dalam kesengsaraan daripada kembali kepada Tuhan.
Kita sebagai Gereja, sebagai komunal, juga bisa mengalami hal yang sama kalau andaikata gereja menurun lalu kita hanya menyalahkan dunia, “O, dunia memang sekuler, zaman ini, generasi ini generasi yang rusak, yang menolak Tuhan.” Tapi saya mau tanya, generasi mana yang tidak menolak Tuhan?? Semua generasi menolak Tuhan, bukan?? Apa ada satu generasi yang bilang, “O, ya, saya cinta Tuhan, seluruh dunia kembali kepada Tuhan!” ?? Tidak ada. Every single generation since Adam, menolak Tuhan. Kita bilang, “O, salahnya dunialah, memang generasi ini parah; kalau dulu, generasi saya …”, tapi generasi kamu juga menolak Tuhan, sama saja. Kalau di dalam gereja kita mengalami penurunan, dan kita tidak bisa introspeksi, tidak bisa membawa diri kita kepada Tuhan, itu sama saja kita menolak Tuhan.
Kembali ke bagian ini, kita melihat ada 2 tafsiran, tapi dua-duanya mirip; baik mereka menolak Tuhan ataupun mereka meremehkan Tuhan, keduanya dalam arah yang sama. Itu sebabnya Tuhan menghukum mereka. Dan, setelah mereka dihukum, ada orang-orang yang mati, lalu apa respons mereka? Mereka bertanya di ayat 20: “Siapakah yang tahan berdiri di hadapan TUHAN, Allah yang kudus ini?” Jawabannya bagi mereka jelas-jelas no one, tidak ada satu orang pun yang bisa. Ini kedengarannya sangat benar, sangat ortodoks —Siapakah yang bisa berdiri di hadapan Tuhan; ya ‘gak adalah, semua manusia adalah manusia yang najis, manusia yang berdosa, tidak ada orang yang berdiri di hadapan TUHAN, Allah yang kudus ini. Lumayanlah teologinya, benar, kita bisa meng-amin-kan, kita bisa catat dalam confession kita juga bahwa tidak ada orang yang bisa berdiri di hadapan Tuhan. Tetapi, apakah kalimat ini sungguh-sunguh positif? Kalau kita membaca konteksnya, ternyata tidak. Mengapa? karena setelah mereka mengeluarkan proklamasi yang ortodoks ini, yang benar ini, bahwa Tuhan adalah Allah yang kudus, mereka melanjutkan dengan: “Kepada siapakah Ia akan berangkat meninggalkan kita?” –mereka mau pindahkan tabut, persis sama dengan yang dilakukan orang-orang Filistin. Di dalam konteks ceritanya, orang-orang Filistin juga begitu; mereka ditekan, mengalami tangan Tuhan yang kavod, lalu mereka bilang, “Mari kita pindahkan Tabut Allah” –dan orang-orang Israel pun sama. Jadi perkataan mereka ini bukan satu proklamasi yang positif.
O, ya, yang penting ortodoks! Tuhan adalah Allah yang kudus, tidak ada orang yang bisa berdiri di hadapan Dia; tapi apakah itu benar? Kalau kita melihat dalam Perjanjian Lama pun, itu tidak tepat. Di Mazmur 24, the ascension song, Daud mengeluarkan kalimat yang pertanyaannya mirip: “Siapakah yang boleh naik ke atas gunung TUHAN? Siapakah yang boleh berdiri di tempat-Nya yang kudus?” (ayat 3).Dan, coba kita perhatikan Mazmur 24 ini, Daud tidak mengatakan, ‘O, hanya orang Lewi yang boleh, orang yang sudah kudus yang boleh, imam yang boleh, yang ada dalam status organisasi boleh, hanya mereka itu semua yang boleh maju ke hadapan Tuhan’; Daud tidak mengatakan demikian. Daud menjawab di ayat 4: “Orang yang bersih tangannya dan murni hatinya, yang tidak menyerahkan dirinya kepada penipuan, dan yang tidak bersumpah palsu –mereka boleh berdiri di hadapan Tuhan yang kudus ini”. Kita jangan mengerti kalimat ini dari konteks doktrin keselamatan; ini bukan tentang doktrin keselamatan. Kita tahu dalam doktrin keselamatan, hanya melalui Kristus, dan kebenaran-Nya, ketaatan-Nya, kita disucikan dan bisa berdiri di hadapan Tuhan. Itu betul, tidak salah. Tapi dalam bagian Mazmur ini adalah dalam konteks eksistansi, dalam konteks kita sebagai orang percaya, siapa yang bisa berdiri di hadapan Tuhan; dan bagi Daud, yaitu mereka yang bersih tangannya, murni hatinya, yang tidak menyerahkan dirinya kepada penipuan, dan tidak bersumpah palsu. Jadi, adalah tidak benar waktu orang Israel mengatakan, “O, Tuhan itu Allah yang kudus, jadi kita tidak mampu menghadapi Dia, maka kita harus mengirim/memindahkan Tabut ini”. Lalu kenapa mereka melakukan ini? Jawabannya amat sangat simpel; kalau menurut Daud, alasannya mereka mau memindahkan Tabut adalah karena mereka orang yang najis tangannya, kotor hatinya, yang menyerahkan dirinya kepada penipuan, dan yang sering bersumpah palsu. That’s the only reason. Mereka mau hidup di dalam kegelapan, itulah sebabnya mereaka tidak mau terima terang. Inilah yang dikataan Injil Yohanes, ‘terang sudah tiba, tapi ciptaan yang memilih untuk hidup di dalam kegelapan’.
Orang-orang Israel memilih untuk memindahkan Tabut Allah supaya mereka bisa terus hidup di dalam dosa mereka; meski demikian, alasan yang mereka pakai fantastis, ortodoksi, ‘Tuhan Allah yang kudus, tidak ada orang yang bisa datang kepada Dia –mari kita pindahkan’. Banyak orang memberikan alasan-alasan ortodoks, alasan yang secara teologi memadai, amin, bisa masuk dalam buku teologi sistematika –‘Tuhan itu misteri, Tuhan itu transenden, Tuhan itu melampaui tubuh dan ciptaan-Nya’– lalu responsnya, ‘ya sudah, Tuhan itu masalah nanti.’ Tuhan itu transenden –betul. Tuhan itu ada misterinya –betul, ortodoks, sudah pasti ada misteri. Tuhan itu jauh –betul juga memang jauh. Tapi kemudian responsnya apa? Respons mereka, “Kalau begitu, ya, sudah tidak perlu mengenal Tuhan; just stay away”. Banyak sekali argumen-argumen ortodoksinya, tapi motivasinya cuma satu: yang penting Tuhan jauh. Don’t come close, saya tidak mau terang, saya nyaman di dalam kegelapan saya.
Dari sini kita bisa melihat relasi antara teologi dan ketaatan, teologi dan hidup yang benar. Kita tidak bisa memisahkan good theology dengan hidup taat kepada Tuhan, hidup sesuai dengan perintah Tuhan. Keduanya sama sekali kita tidak bisa pisahkan. Kalau kita mau bicara tentang good theology, kalau kita mau bicara tentang ortodoksi, orang Israel itu ortodoks, mereka bilang ‘Tuhan adalah Tuhan yang kudus, tidak ada orang yang bisa berdiri di hadapan-Nya’. Tapi apakah itu berteologi yang baik? Pasti bukan. Kita semua tentunya dipanggil untuk berteologi, untuk mengenal Tuhan, namun pertanyaannya: bagaimana kita tahu teologi yang kita bangun, yang kita ajarkan, yang kita terima, yang kita pegang, adalah teologi yang baik atau yang buruk? Karena teologi bisa menjadi baik dan juga bisa menjadi buruk, lalu bagaimana kita tahu teologi yang kita pegang itu teologi yang baik? Jawabannya kalau dari cerita ini gampang saja: teologi yang baik membawa kamu untuk lebih taat, hidup benar di hadapan Tuhan; teologi yang buruk justru membawa kamu menjauhi Tuhan. Sederhana saja. Kita belajar teologi predestinasi; kalau predestinasi kita membawa kita jadi lebih tidak mau mau mengabarkan dan bersaksi akan Injil, berarti predestinasi yang kamu belajar itu pasti salah. Kalau kita belajar teologi, dan itu tidak membuat kita rindu untuk lebih serupa dengan Kristus, itu pasti salah. Kalau kita belajar teologi, dan itu membuat kita lebih menginginkan status diakui, populer, uang, itu pasti bukan good theology. Kalau kita belajar ‘kemenangan dalam Tuhan’, dan doktrin yang kita pelajari ini membuat kita lebih menginginkan kemenangan atas karier kita, uang, power, itu sudah pasti bad theology. Kita tidak perlu tulis paper tentang apa itu good theology dan bad theology, karena dari kehidupan kita hal itu nyata, orang lain maupun diri kita sendiri bisa lihat apakah kita sedang membangun teologi yang baik atau yang buruk. Tidak perlu kita membenaran diri, orang bisa lihat –dan Tuhan pasti bisa melihat.
Kita ingat dalam Injil Yohanes pasal 12, ketika Yesus masuk Yerusalem, ada orang-orang Yunani yang mau bertemu dengan Yesus. John Morris dalam commentary-nya mengatakan bahwa orang-orang Yunani ini waktu mau bertemu dengan Yesus, mereka seperti mau “interview”; mereka mau berdiskusi, berdialog tentang apa itu makna hidup, kebenaran, logos, dsb., karena Yesus adalah Rabi. Tapi Yesus tidak merespons mereka, Yesus tidak kemudian bicara dengan mereka. Apa yang Yesus lakukan? Yesus bicara tentang bagaimana satu biji harus jatuh ke dalam tanah, mati, dan berbuah. Artinya, Yesus merespons mereka dengan pekerjaan salib. Yesus merespons keinginan mereka untuk berdialog tentang makna hidup, kebenaran, logos, dsb. itu, dengan ketaatan kepada Tuhan, dengan ketaatan dalam pekerjaan salib. Di dalam ketaatan Kristus kepada salib, dibuktian bahwa teologi Dia benar. In his obedience, His theology is proven right. Dia tidak debat-debat soal Plato, Aristoteles, dsb.; Dia mengatakan, “Satu biji, kalau tidak jatuh dan mati, tidak berbuah” –itulah repons Tuhan. Ortodoksi teologi tok, tidak cukup; orthodoxy alone is definitely not enough, lagipula, ortodoksi bisa diselewengan, dst.
Bagian terakhir, ayat 21 sampai pasal 7:1. Mereka mengirim utusan kepada penduduk Kiryat-Yearim, mereka bilang, “Orang Filistin telah mengembalikan Tabut Tuhan” –tapi sebenarnya bukan orang Filistin yang mengembalikan, Tuhan yang membawa diri-Nya Kembali— “datanglah, dan angkutlah itu kepadamu.” Dan, coba perhatikan pasal 7: Lalu orang-orang Kiryat-Yearim datang, mereka mengangkut tabut TUHAN itu dan membawanya ke dalam rumah Abinadab yang di atas bukit. Dan Eleazar, anaknya, mereka kuduskan untuk menjaga tabut TUHAN itu. Tidak ada drama, tidak ada penghukuman, tidak ada kematian. Artinya apa? Artinya Tuhan menerima. Menariknya, justru orang-orang Kiryat-Yearim ini adalah orang-orang Gibeon.
Dalam kitab Yosua, waktu Israel mau menyerang Kanaan, orang Gibeon ketakutan, lalu mereka menipu, mereka bilang, “Kami ini saudara; bikinlah perjanjian dengan kami” –mereka bikin perjanjian supaya tidak dibasmi. Intinya, orang-orang Gibeon ini bukan orang Israel, mereka orang kafir, non-Israelites. Jadi, ketika Tabut Allah dipindahkan, dipindahkannya kepada orang-orang Gibeon, yang menurut standar ortodoksi Tabut Allah tidak boleh di sana, bukan tempatnya, karena mereka itu orang Gibeon, non-Israel. Mereka itu tidak ada hak untuk Tabut Allah berada di tengah-tengah mereka. Tapi justru itulah yang terjadi, dan Tuhan terima. Ironisnya, orang-orang non-Israel ini justru yang bisa taat. Secara ortodoksi mereka tidak berbagian, tapi mereka bisa menaati; mereka cepat-cepat membawa Tabut Allah ini ke rumah Abinadab, keturunan Harun, lalu menguduskan Eliazar untuk menjaga. Ini ironi yang mau dicatat Alkitab. Umat Tuhan sendiri tidak taat; secara ortodoksi mereka ada, secara genealogi mereka lebih sah, tapi itu bukan yang Tuhan cari –sama sekali bukan yang Tuhan cari. Tuhan mau kita merespons ortodoksi dengan sungguh-sungguh hidup sesuai dengan perintah-Nya, sesuai dengan apa yang Dia sudah nyatakan.
Kita berdiri di hadapan Tuhan, itu bukan cuma tentang kita mengerti; berdiri di hadapan Tuhan, harus ada meresponi apa yang kita mengerti dan apa yang kita terima dengan sungguh-sungguh mau hidup benar dan hidup taat. Tanpa ini, ortodoksi kita sampah. Kita lihat kesaksian dalam sejarah, dalam Alitab, ini konsisten. Ketika Bonhoeffer menulis “The Cost of Discipleship” (Harga Seorang Murid), dia mengatakan, anugerah bukanlah cheap grace, anugerah adalah costly grace, anugerah yang mahal. Dan, dia sendiri bayar harga, dia menentang rezim Nazi dan dibunuh. Dia benar-benar bayar cost. Dalam Alkitab juga sama, Yesus, ketika bicara pengorbanan, pengampunan harus ada korban, Dia pun menyerahkan diri-Nya sebagai korban. Ketika Yesus bicara tentang ketaatan, kehendak Tuhan, maka Dia sendiri taat sampai mati. Ketika Yesus bicara tentang mati bagi penebusan dosa, Dia sungguh-sungguh mati. Dia sungguh-sungguh merespons apa yang Tuhan mau, apa yang benar di mata Tuhan, dengan ketaatan, dengan sukacita, dengan sukarela yang penuh.
Kiranya kita semua bisa lebih serupa dengan Kristus, merespons Tuhan dengan kehidupan yang benar dan taat kepada Dia.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading