Hari ini pembahasan Seri LITURGI yang ke-11, “Benedictio et Missio”. Pembacaan Alkitab dari Bilangan 6: 22-27, TUHAN berfirman kepada Musa: “Berbicaralah kepada Harun dan anak-anaknya: Beginilah harus kamu memberkati orang Israel, katakanlah kepada mereka:
TUHAN memberkati engkau dan melindungi engkau;
TUHAN menyinari engkau dengan wajah-Nya dan memberi engkau kasih karunia;
TUHAN menghadapkan wajah-Nya kepadamu dan memberi engkau damai sejahtera. Demikianlah harus mereka meletakkan nama-Ku atas orang Israel, maka Aku akan memberkati mereka.”
Kita memulai seri LITURGI ini dengan “Votum/Panggilan”, dan kita mengakhirinya dengan tema ini, yaitu “Berkat”. Dimulai dengan Panggilan, diakhiri dengan Berkat; ini mengafirmasi hal yang sama, yaitu teologi anugerah. Kita bukan umat yang memanggil diri sendiri, bukan umat yang menghidupi cerita Menara Babel, bukan umat yang merangkak dari bawah lalu mencoba untuk jadi besar; itu cerita Babilonia, bukan cerita Abraham yang dipanggil Tuhan, bukan cerita Israel. Kita adalah umat yang dipanggil oleh Tuhan. Keberadaan komunitas kita dibentuk oleh panggilan Ilahi. Bukan orang yang mencari nama, bukan orang yang mengejar reputasi, bukan orang yang berusaha membuktikan diri ataupun kelompoknya, melainkan orang-orang yang mendapatkan belas kasihan Allah.
Itu sebabnya, kita mengakhirinya juga dengan Berkat. Apa maksudnya? Bahwa komunitas orang percaya (Kristen) ini diutus oleh anugerah Tuhan. Sama seperti kita dipanggil oleh anugerah, kita juga diutus oleh anugerah. Kita bukan dibiarkan pergi dengan ‘terserah kamu, tentukanlah dirimu sendiri, berjuanglah sendiri, berhasil atau tidak berhasil itu tergantung kamu’. Itu bukan liturgi Kristen, itu liturgi dunia. Liturgi dunia tidak ada pengutusan yang dari berkat Tuhan; dan memang tidak ada berkat, maka tidak ada pengutusan, dan berarti pergi sendiri-sendiri, berjuang sendiri-sendiri. Kehidupan yang ‘kalau di dalam Gereja kita bersekutu, tapi sesudah itu di dalam kehidupan sehari-hari tidak ada-lah persekutuan, rayakanlah individualisme’, itu kehidupan yang shizrofenia, bukan liturgi Kristen tapi liturgi yang diajarkan dunia.
Kita berharap dan minta kepada Tuhan supaya liturgi Benediction juga hadir di dalam kehidupan kita sehari-hari. Hidup ini bukan tergantung kekuatan kita sendiri, melainkan kita diberkati oleh Tuhan. Sama seperti kita dipanggil oleh Tuhan, kita diberkati dan diutus juga oleh Tuhan. Kita bukan pergi atas kemauan kita sendiri, melainkan karena Tuhan yang mengutus kita. Di sini ada persekutuan antara kita dengan para apostles (apostles=yang diutus/rasul), tapi juga dengan Pribadi Yesus Kristus. Kristus adalah Yang Diutus oleh Bapa; Saudara dan saya juga yang diutus di dalam Kristus, bersama dengan Kristus. Ini bicara tentang Kristologi, tentang injil Yesus Kristus. Ini bukan sekedar bagian terakhir dalam urut-urutan Ibadah, melainkan pemahaman bagaimana kita menghayati kehidupan Kristus di dalam Ibadah dan di dalam keseharian kita. Sama seperti Kristus adalah Yang Diutus, Saudara dan saya setelah menerima berkat Tuhan, juga diutus.
James Smith mengatakan: “The church is elected to responsibility called to be the church too, and for the world; not in order to save it or conquer it, or even transform it, but to serve it by showing what redeemed human community and culture, look like as model by the One [Kristus] whose cultural work led Him to the cross” –pengutusan ke tengah-tengah serigala, diutus untuk menjadi martir. Apa yang bisa kita pelajari dari kutipan ini? Dalam kutipan tersebut ada kalimat yang kita mungkin tidak setuju, terutama kalimat “not in order to save it, or conquer it, or even transform it”, karenabukannya kita memang mengharapkan itu? Ini soal subyeknya; karena kalaupun transformasi terjadi, yang mentransformasi adalah Tuhan, bukan Gereja.
Yang mentrasformasi dunia, yang menyelamatkan dunia, itu adalah Kristus, bukan Saudara dan saya. Jangan menduduki posisi Kristus; itu pelanggaran besar. Gereja jangan menduduki posisi pekerjaan yang hanya boleh dilakukan Kristus, Roh Kudus, Allah Bapa. Gereja jangan memosisikan dirinya di sana; itu bukan posisinya Gereja. Posisinya Gereja adalah yang diutus, bukan yang mengutus. Sama seperti dalam hal Perjamuan Kudus, Gereja adalah yang diundang, dan tuan rumahnya adalah Kristus; jangan Gereja menduduki posisi Kristus sebagai tuan rumah, karena Tuan Rumah hanya satu yaitu Kristus, Sang Anak. Demikian juga waktu kita membicarakan siapa yang menyelamatkan dunia, siapa yang jadi the Saviour, itu adalah Kristus, bukan Gereja. Hati-hati Gereja yang punya sindrom juruselamat, Gereja yang merasa dirinya sumber transformasi, karena itu adalah posisinya Kristus, bukan posisinya Gereja. Itu adalah posisi Kristus yang mulia, dan kita diundang untuk berbagian di dalamnya.
Saya pikir, kita tidak harus mempersoalkan kalimat tadi, “not in order to save it, or conquer it, or even transform it”, karena kita percaya bahwa Gereja punya tanggung jawab/dipanggil untuk menjadi Gereja bagi dunia ini, bukan untuk mentransformasi tapi untuk melayani. Transformasi, itu adalah pekerjaan Tuhan; melayani, itu adalah bagian Saudara dan saya, tanggung jawab kita. Melayani dengan bagaimana? James Smith mengatakan, dengan menyatakan dan bersaksi akan apa artinya umat yang ditebus, apa artinya menjadi manusia-manusia yang ditebus –bukan cuma secara individual tapi komunal—yang kebudayaannya/cerita hidupnya dibentuk oleh Sang Anak, Yesus Kristus, yaitu kebudayaan yang akhirnya membawa Dia kepada salib. Kebudayaan jalan salib, kebudayaan pengorbanan, ini yang jadi panggilan kita. Kita diutus untuk menghidupi narasi ini, bukan diutus untuk mencari fasilitas terbaik dalam hidup ini. Kita diutus ke tengah-tengah serigala, kita bukan diutus ke padang rumput hijau dan air yang tenang –meskipun ayat itu ada di dalam Kitab Suci. Maksudnya apa? Maksudnya, bukan tanpa kesulitan, bukan tanpa bahaya, dan yang pasti bukan tanpa pengorbanan, bukan tanpa salib. Justru kita diberkati supaya kita bisa menjadi berkat.
Cerita panggilan Abraham dalam kitab Kejadian, dia dipanggil untuk menjadi berkat bagi banyak bangsa, bagi bangsa-bangsa lain. Tapi tidak lama setelah itu, Abraham diberi kesempatan ke Mesir, dan dia gagal. Dia bukan mendatangkan berkat di sana, malah seperti mendatangkan kutukan di sana, karena ketidakpercayaannya, karena keegoisannya, karena dia memikirkan keselamatannya sendiri. Dia pikir ini saat krisis, dirinya bisa dibunuh karena punya isteri yang cantik yang namanya Sara, maka dia mulai memikirkan keselamatan dirinya sendiri. Gagal menjadi berkat.
Orang bisa menjadi berkat di dalam saat krisis, orang juga bisa menjadi berkat di saat yang non-krisis. Dan kita juga percaya, orang bisa tidak menjadi berkat di saat krisis, orang juga bisa tidak menjadi berkat di saat yang tidak krisis. Jadi, persoalannya apa? Persoalannya bukan krisis atau tidak krisis. Orang yang mengatakan ‘O, ini saat krisis, saya susah jadi berkat, nanti kalau krisis ini lewat maka saya akan jadi berkat’, itu omong kosong, bohong, tidak jujur di hadapan Tuhan. Kalau kita mau menjadi berkat, sekarang saatnya; kalau kita menjadi berkat sekarang, nanti kita akan menjadi berkat juga di kesempatan yang lain –kalau pun krisis sudah berhenti. Tetapi orang yang tidak mau menjadi berkat waktu krisis, maka ketika krisis berhenti, sepertinya dia tidak akan jadi berkat juga. Hal itu tidak teruji di dalam kehidupannya. Apa artinya diberkati? Kalau kita membaca dalam panggilan Abraham, diberkati pastinya bukan untuk dinikmati sendiri, bukan untuk disimpan sendiri, tapi untuk jadi saluran berkat bagi yang lain.
Satu topik yang agak sulit –saya tidak akan bahas panjang karena ini bukan kairos yang terlalu tepat—bahwa sebetulnya kita tidak bisa membahas berkat (blessing) tanpa kutuk (curse).Sama seperti waktu kita membahas kasih Tuhan, kita tidak bisa membahasnya tanpa murka Allah, kekudusan Allah. Salib bukan cuma bicara tentang kasih Allah, tapi juga tentang murka Allah. Bagaimana mungkin kita bisa bicara salib tanpa murka Allah, tanpa kekudusan Allah; ini sesuatu yang tidak mungkin. Jadi, meskipun tidak enak untuk dibicarakan, kita tidak bisa bicara tentang blessing tanpa curse.
Satu hal yang sederhana lebih dahulu, liturgi Berkat ini kontras dengan liturgi dunia yang damai sejahteranya palsu, ataupun liturgi dunia yang lebih suka mengutuki. Dunia ini adalah dunia yang mengutuki, bukan dunia yang memberkati. Berbahagialah kalau Saudara dan saya mendapatkan perteduhan di dalam berkatnya Tuhan, bukan di dalam kutuknya dunia ataupun berkatnya dunia yang palsu itu. Demikian kalau kita kontraskan dengan dunia.
Kita juga bisa bicara sedikit lebih sulit dari topik ini, yaitu kutukan yang dari Tuhan. Berkat dari Tuhan; dan ada juga kutukan dari Tuhan. Saya pernah baca, konon ada tradisi dalam orang-orang Puritan –yang mungkin tidak semua—yaitu pada akhir Kebaktian mereka bukan hanya ada Berkat tapi juga Kutukan. Ini menakutkan sekali; sampai sekarang pun kita tidak memakai ini dalam mimbar GRII. Di sini kita mau coba merenungkan, mengapa ada kutukan yang menyertai berkat? Kalau Saudara membaca di dalam kitab Ulangan, Perjanjian Lama, dan bahkan di Perjanjian Baru, memang bukan tidak ada tempat untuk itu; Paulus pernah mengatakan “terkutuklah orang yang tidak mengasihi Kristus”. Kita tidak sedang berurusan dengan sofa Christianity, coffee and cookie Christianity, sugar coated Christianity —atau apapun istilahnya– yang adalah false Christianity. Itu adalah Kekristenan yang palsu; kalau bicara tentang Tuhan, hanya bicara cinta kasih-Nya saja dan tidak ada murka/kekudusan-Nya, hanya bicara berkat dan berkat tapi tidak pernah bicara tentang kutuk. Sedangkan di dalam Alkitab, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, kita mendapati kedua-duanya, meskipun tentu tidak simetris. Di dalam kitab Ulangan, ‘berkat’ dikatakan ‘kepada beribu-ribu’, sementara ‘kutuk’ kepada ‘keturunan yang ketiga dan keempat’. Tiga sampai empat, dibandingkan dengan beribu-ribu, itu tidak sebanding sama sekali, tidak simeteris; tapi bukan tidak ada. Intinya, jangan main-main dengan Allah yang memberkati; kalau kita menolak berkat Tuhan, bermain-main dengan Allah yang memberkati itu, maka kita membawa diri kita ke dalam kutukan. Kita membuang dan menghancurkan diri dengan menolak berkat yang dari Tuhan.
Kita perlu sedikit juga membahas dari Bilangan pasal 6 ini, bahwa di sini diucapkan tiga kali: TUHAN memberkati engkau dan melindungi engkau; TUHAN menyinari engkau dengan wajah-Nya dan memberi engkau kasih karunia; TUHAN menghadapkan wajah-Nya kepadamu dan memberi engkau damai sejahtera –klimaks sampai pada shalom.
“TUHAN melindungi”, dalam bahasa Inggrisnya “bless you and keep you” (melindungi/memelihara). Wenham menulis dalam tafsirannya mengenai apa artinya perlindungan/lindungan dari Allah (God’s keeping) ini. Perlindungan atau lindungan dari Allah ini memproteksi kita terhadap segala perubahan-perubahan dari kehidupan yang fana ini (changes and chances of this mortal life).
Kita, kebudayaan Timur seperti menganggap tabu membicarakan kematian, bahkan di Barat pun sulit bicara tentang kematian; tapi di saat seperti sekarang, mungkin memang waktunya. Tradisi “the art of dying” (ars moriendi) pada zaman Medieval sangatlah umum; bahkan di zaman Baroque pun masih sangat penuh dengan literatur ars moriendi, mengenai bagaimana mempersiapkan seseorang menghadapi kematian. Sesudah masuk zaman Late Baroque, apalagi Enlightenment (Aufklärung), literatur semacam ini sepertinya berhenti, tidak ada lagi orang tertarik bicara the art of dying; “ngapain bicara the art of dying, kita merayakan hidup, the art of living dong, apa itu the art of dying?? kita ‘kan bukan di zaman ‘black death’ lagi, bukan di zaman yang ada pandemi, ini zaman kemajuan teknologi, jadi kita ‘gak bicara lagi the art of dying, kita bicara the art of living, let’s celebrate human life! (with or without God)”. Tapi sekarang ini seperti balik lagi keadaannya [pandemi Covid19]; atau, manusia masih tidak mau juga membicarakan ini. Dalam Kebaktian 3, kita membicarakan kitab Pengkhotbah, tentang kesia-siaan (meaninglessness, vanity). Sulit membicarakan bagian-bagian Alkitab yang sangat pesimistis seperti ini. Tapi ini mungkin bukan pesimistis, justru sebetulnya realistis. Hanya saja, banyak orang tidak mau realistis, akhirnya jadi optimistis berlebihan, euforia, menipu diri, dsb.
Kembali ke pembahasan kita. “Tuhan melindungi engkau”, maksudnya adalah Tuhan akan menjaga kita dari perubahan-perubahan yang tidak ada habisnya. Bahkan kehidupan kita sendiri juga bisa berubah, dari hidup menjadi mati; ini juga perubahan, dan mungkin perubahan yang paling besar untuk kita. Bukan cuma perubahan dari sehat menjadi sakit, tapi dari hidup menjadi mati pun adalah perubahan, namun ada kalimat ini: “TUHAN memberkati engkau dan melindungi engkau”. Apa artinya melindungi? Bukan berarti diluputkan dari kematian atau diluputkan dari sakit penyakit, karena kalau itu adalah beritanya, kalimat dalam Alkitab ini jadi tidak bisa dihidupi, seperti bohong, buktinya orang Kristen sakit juga, orang Kristen mati juga. Tuhan melindungi, artinya bukan seperti itu; kalau mengertinya begitu, artinya teologimu yang bermasalah, bukan janji Tuhan yang salah.
Tuhan melindungi, artinya meskipun kita sehat atau sakit, meskipun keluarga kita utuh atau ada yang dipanggil Tuhan, meskipun kita hidup atau suatu saat menghembuskan nafas kita yang terakhir –meskipun apapun itu– Tuhan melindungi kita, di dalam berkat-Nya, di dalam pemeliharaan-Nya, karena kita adalah orang-orang pilihan yang tidak mungkin akan terlepas dari kasih Tuhan, meskipun semua keadaan itu. Inikah teologi Saudara dan saya? Atau kita menipu diri dengan model “perlindungan Ilahi” yang sebetulnya tidak pernah dijanjikan Alkitab?
Berikutnya, “TUHAN menyinari engkau dengan wajah-Nya dan memberi engkau kasih karunia”. Tuhan yang menyinari dengan wajah-Nya, tidak bisa dipisahkan dari Tuhan yang memberi kasih karunia. Dalam bagian ini, bahasa Indonesia ‘memberi kasih karunia’, sedangkan bahasa Inggrisnya ‘be gracious’. Agak sedikit berbeda. Memberi kasih karunia, artinya kasih karunia itu adalah yang diberikan; ‘Tuhan’ adalah subjek, ‘memberi’ adalah kata kerjanya, dan ‘kasih karunia’ adalah sesuatu yang diberikan, yaitu kepada kita. Dalam bahasa Inggris, istilah yang dipakai “be gracious”; ‘be’ di sini juga kata kerja, tapi kata kerja yang menyatakan jati diri Tuhan sendiri. Waktu dikatakan “be gracious”, ini adalah atribut Ilahi, bicara tentang sifat Allah.
Tuhan yang menyinari kita dengan wajah-Nya, adalah Tuhan yang tersenyum, Tuhan yang berkenan, Tuhan yang benevolent, Tuhan yang gracious. Dan kita dibawa untuk bukan saja menerima kasih karunia, tapi juga untuk mengenal Tuhan yang gracious itu, yang penuh dengan kasih karunia itu, yang sifatnya adalah rahmani, yang sifatnya adalah pemberi kasih karunia. Kita dibawa kepada pengenalan akan Allah yang seperti itu. Calvin, di dalam tafsiran Bilangan 6 ini, mengatakan: “Nothing is more desirable for the consummation of our happiness, than that we should behold the serene countenance of God, as it is said in Psalm 4:6”; tidak ada yang lebih kita rindukan atau kita ingini berkaitan dengan kesempurnaan kebahagiaan kita, manusia, yaitu bahwa kita boleh senantiasa mencari/memandang wajah Allah –visio Dei (penglihatan akan Allah)—sebagaimana yang dicatat dalam Mazmur 4:6 (ayat 7 dalam versi bahasa indonesia).
Bagian Mazmur ini penting, dikutip oleh Calvin, dan juga oleh Wenham di dalam tafsirannya (tapi di bagian ketiga, bukan kedua). ‘Banyak orang berkata: “Siapa yang akan memperlihatkan yang baik kepada kita?” Biarlah cahaya wajah-Mu menyinari kami, ya TUHAN! (ayat 7). Engkau telah memberikan sukacita kepadaku, lebih banyak dari pada mereka ketika mereka kelimpahan gandum dan anggur’ (ayat 8). Apakah yang bisa memberikan sukacita lebih daripada kelimpahan gandum dan anggur, makan minum, resources, kekayaan? Kalau menurut pemazmur, yaitu cahaya wajah Tuhan yang menyinari kita, Saudara dan saya. Kembali kepada tafsiran Calvin tadi, seharusnya tidak ada yang lebih kita rindukan waktu bicara tentang sukacita, selain dari memandang wajah Allah. Pertanyaannya, inikah sukacita Saudara dan saya? Atau kita lebih mencarinya pada tumpukan gandum dan botol-botol anggur di dalam kehidupan kita?
Di dalam liturgi Gereja Reformed yang dibuat oleh Calvin, ada tambahan setelah mengatakan 3 kalimat Berkat dari Bilangan 6 ini, yaitu disambung dengan: “Pergilah di dalam damai, dan kiranya Roh Allah memimpin engkau sampai kepada hidup yang kekal”. Ada dimensi eskatologis di sini; berkat itu mengarahkan kita kepada tujuan eskatologis. Ini bukan berkat yang cuma masuk ke dalam kehidupan kita dan ‘saya bersyukur diberkati’, lalu arahnya ke mana tidak jelas. Berkat (Benediction), adalah bicara tentang arah eskatologis, membawa kita untuk menuju satu-satunya tujuan itu. Kita, Gereja Injili, biasanya menekankan “hanya ada satu jalan, dan jalan yang satu-satunya itu adalah Yesus Kristus”; ini betul, Alkitab memang mengajarkan demikian. Tapi di dalam Yohanes 14 bukan cuma dikatakan hanya ada satu-satunya jalan, melainkan juga bahwa hanya ada satu-satunya tujuan. Satu-satunya jalan tersebut, membawa kepada satu-satunya tujuan –bukan kepada tujuan yang pluralistis—yaitu persekutuan dengan Bapa.
Bapa, yang di dalam-Nya kita tinggal, dan Bapa, yang juga tinggal di dalam kita, itulah tujuan yang Kristus membawa kita ke sana. Jadi, waktu kita merenungkan Berkat (Benediction), arah hidup kita seharusnya diperbaiki. Tujuan kita ini sebetulnya ke mana? Jangan sampai kita lari kencang, tapi ternyata tujuannya salah; untuk apa? Jangan kita membawa resources yang cukup, tapi ternyata kita salah jalan, tidak menuju kepada tujuan yang dikehendaki oleh Tuhan. Yesus adalah jalan, Dia membawa kita kepada satu-satunya tujuan yang benar itu. Ada kaitan antara Berkat (Benediction) dengan menuju ke tujuan yang benar sebagaimana yang dikehendaki oleh Tuhan.
Ketiga, “TUHAN menghadapkan wajah-Nya kepadamu dan memberi engkau damai sejahtera”. Apa artinya? Tadi kita mengatakan, damai sejahtera ini adalah klimaks. Kita percaya, di dalam Alkitab pengertian damai/shalom bukan sekedar tidak ada perang. Dunia ini, konsepnya sangat rendah dalam hal shalom, ‘asal tidak ada perang, itu damai; asal saya tidak konflik dengan orang lain, itu shalom’. Tapi itu bukan shalom, karena tidak ribut sama orang lain, bukankah tidak berarti ‘saya ada relasi dengan dia’? Shalom di dalam Alkitab mengandung konsep relasi; kalau cuma sekedar ketiadaan konflik, itu tidak cukup. Shalom atau damai, adalah karena kita memasuki kepenuhan relasi, yang beraneka ragam itu, baik dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dengan alam, dan dengan “diri kita sendiri”. Kalau kita reconciled, barulah di situ kita bicara damai sejahtera. Di dalam tafsiran, ada yang mengaitkan bagian ini dengan Mazmur 4:6 tadi, yaitu Tuhan yang memperlihatkan yang baik di dalam kehidupan manusia; atau Mazmur 34: 15, Tuhan yang mendengar teriakan manusia, orang percaya yang minta tolong, orang yang masih beriman kepada Tuhan. Itulah artinya “TUHAN menghadapkan wajah-Nya kepadamu”. Kita percaya, Dia masih menghadapkan wajah-Nya kepada kita, Dia tidak memalingkan wajah-Nya, justru di dalam saat-saat kita membutuhkan pertolongan dari Tuhan.
James Smith dalam bukunya, “Desiring the Kingdom”, mengaitkan Berkat ini dengan Amanat Agung; yaitu 3 hal ini: Berkat (Blessing), Amanat Agung (Great Comission), Mandat Budaya (Cultural Mandate). Kalimatnya sbb.: “By in doing so, in carrying out this great comission, we are witnessing to the fact that God’s action in the cross and ressurection has made it possible for humanity to be human, to take up their creation evocation as princes/princesses and priest, charged with cultivating creation. So, the good news announce in the great comission is that God had made it possible for us to actualy participate in the cultural mandate”. Amanat Agung itu diberikan supaya Saudara dan saya dimampukan menjalankan mandat budaya.
Mandat budaya ini rusak/hancur setelah manusia jatuh ke dalam dosa, gagal; dan itu sebabnya perlu ada Injil. Injil, dalam batas tertentu bisa kita katakan tidak berhenti pada Injil itu sendiri; Injil diberitakan lalu orang menerima Yesus Kristus, percaya kepada cerita salib dan kebangkitan-Nya, supaya cerita mandat budaya bisa direstorasi di dalam kehidupan manusia. Menjadi pembawa gambar dan rupa Allah, maksudnya adalah menyandang mandat budaya, mengerjakan mandat budaya di dalam dunia ini; dan Berkat memungkinkan kita merestorasi mandat budaya tersebut, melalui Amanat Agung.
Amanat Agung jangan direduksi jadi cuma tantangan untuk orang percaya kepada Yesus Kristus saja –meski ini tentu saja termasuk di dalamnya. Tapi kalau kita merasa puas sudah melakukan Amanat Agung karena kita sudah menantang orang untuk percaya kepada Yesus Kristus dan dia sudah percaya, sebetulnya itu baru permulaannya saja. Di dalam cerita Amanat Agung dikatakan “jadikanlah semua bangsa murid-Ku” –ada pemuridan di sana– lalu “ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang kuajarkan kepadamu” –melakukan segala sesuatu yang diajarkan Kristus kepada murid. Jadi jelas ini tidak bisa direduksi hanya di dalam model penginjilan modern, “terimalah Yesus masuk ke dalam hatimu”, lalu sudah. Itu dangkal sekali. Itu bukan Amanat Agung yang dimengerti Matius, dan yang diajarkan Yesus. Itu mungkin cuma kita, yang ingin membereskan rasa bersalah kita dengan memberitakan seperti itu lalu pikir sudah kerja banyak untuk Tuhan, tapi sebenarnya belum. Masih ada pemuridan yang menanti. Memang kita tidak harus mengerjakan semuanya dari A-Z, memang ada orang-orang lain yang bisa dipercayakan untuk itu, tetapi pekerjaan ini adalah pekerjaan yang utuh, bukan cuma satu mata rantai lalu kita bilang sudah semuanya.
Seorang guru TK, hanyalah mengerjakan yang permulaan, lalu setelah itu masih ada guru SD yang melanjutkan. Setelah itu masih ada guru SMP yang melanjutkan, lalu guru SMA, lalu dosen, profesor, dsb. yang harus melanjutkan, tergantung dia mengikuti pendidikan S1, S2, atau S3 dst. Tapi sekarang dalam budaya kita ada wisuda TK; dan jangan-jangan ini juga masuk dalam liturgi Kristen, ada “wisuda penginjilan”, “wisuda tantang orang percaya kepada Kristus”, dan saya sudah lulus mengerjakan pekerjaan Tuhan, kamu juga sudah lulus. Belum, Saudara. Amanat Agung tidak bicara sedangkal itu. Ini bicara sesuatu yang panjang, memuridkan seseorang itu proses seumur hidup. Bisa saja kita ada di bagian yang pertama –kita bersukacita untuk itu– tapi mari kita terus mendoakan. Jangan berpuas dengan apa yang kita sudah kerjakan, karena ini baru satu mata rantai kecil.
Kembali ke yang dikatakan James Smith, termasuk juga dalam hal ini mandat kultural. Kita percaya, Tuhan adalah Tuhan yang menyatakan karya-Nya di salib dan juga dalam kebangkitan Kristus. Ini memungkinkan manusia –yang tidak manusiawi itu– direstorasi menjadi manusia yang manusiawi, yaitu melalui menjadi image bearer of God. Waktu manusia jatuh ke dalam dosa, hal ini rusak, seakan-akan ‘inikah ciptaan Tuhan, inikah yang namanya manusia, inikah yang disebut gambar dan rupa Allah??’ —kita jadi bingung. Ada orang yang “lebih binatang daripada binatang”, yang bahkan kalau dibandingkan dengan binatang, di sisi tertentu sepertinya binatang bisa lebih ada belas kasihan.
Beberapa waktu lalu mantan doktorvater saya, dalam Gifford Lecture Series(seri antropologi), memulai lecture yang pertama dengan judul yang mengatakan, manusia itu image of God? Hitler, apakah dia image of God? Nero, apakah dia image of God? Auschwitz, apakah itu menyatakan image of God? Memang sulit. Ini bicara teologi realistik, bukan cuma bicara tradisi teologi karena ‘ya, iyalah, ‘kan Calvin, Berkhof, Bavinck, Hodge, semuanya bilang begitu, jadi pasti kita bilang begitu juga’ –tidak bergumul, cuma sekedar meneruskan tapi kita sendiri tidak melihat kesulitannya, tidak melihat realitanya. Sungguh sulit sekarang ini bicara image of God. Lihat saja, dalam situasi seperti ini [pandemi Covid19], berapa banyak orang yang ketakutan lalu jadi egois, tidak peduli dengan orang lain; inikah image of God? Apakah kita ini betul image bearer of God? Pada akhir lecture tadi, Prof. Michael Welker mengatakan, tetap image of God, tapi ini eschatological driven. Jadi tidak bicara tentang ontologis ‘masihkah image of God’ atau pemahaman substansial tentang image of God, dsb. —suatu pendekatan yang mungkin sudah agak lewat—melainkan eschatological, bahwa kita ini manusiawi waktu kita menjadi manusiawi, being human by becoming human. Pertanyaannya, becoming human di dalam hal apa? Kalau boleh mengaitkan dengan perkataannya James Smith, yaitu dengan menjalankan atau berpartisipasi di dalam mandat kultural, cerita yang Tuhan berikan pada mulanya, sebagaimana yang direncanakan Tuhan mula-mula, bukan yang setelah dirusak oleh dosa.
Doa Berkat dikaitkan dengan Pengutusan; ini berarti istirahat yang kita nikmati pada hari Minggu –hari Sabat– serta kelegaan yang ditawarkan oleh Yesus Kristus yang memanggil kita untuk datang kepada-Nya dalam Ibadah, sebetulnya diarahkan kepada panggilan untuk menerangi dan menggarami dunia. From rest, to work. Dari istirahat yang diberikan Tuhan, menanti pekerjaan/panggilan yang disiapkan Tuhan bagi kita. Dari keselamatan yang kita terima di dalam Kristus, menanti perbuatan baik untuk kita kerjakan –yang dipersiapkan Allah sebelumnya, kata penulis Surat Efesus.
Istirahat Sabat membawa kepada tanggung jawab. Liturgi dunia –atau anti-Liturgi– yaitu istirahat yang tidak membawa kepada kerja, istirahat yang maunya istirahat terus. Celebrate terus, shopping terus, main game terus, menikmati terus, bahkan tidur terus, tapi tidak membawa kepada tanggung jawab –inilah liturgi dunia. Atau mungkin sebaliknya, bersusah-susah dahulu lalu nanti kamu berhak untuk travelling, kamu boleh berikan reward pada dirimu sendiri –karena tidak ada yang peduli pada kamu. Sungguh kasihan. Di dalam dunia kita, ini betul-betul liturgi yang bahkan sangat hidup; orang yang menyelamati diri sendiri, merayakan diri sendiri, ‘ya, karena hidup ini sudah terlalu susah, apa salahnya saya menikmati setelah sekian panjang bekerja’.
Di dalam Alkitab bukan tidak ada pola ‘from work to rest’; di dalam batas tertentu pun kita bisa mengatakan, sekarang kita bekerja/berkarya, lalu nanti kita masuk ke dalam eternal rest. Tapi di dalam teologi penciptaan, manusia diciptakan hari terakhir, hari Sabat, lalu setelah itu baru masuk ke pekerjaan. Manusia pada mulanya mengalami kelegaan terlebih dahulu, diberikan istirahat terlebih dahulu, baru setelah itu dengan kekuatan yang diberikan Tuhan di dalam istirahat tersebut, dia bisa melakukan tanggung jawabnya. Dalam bahasa Jerman ada istilah yang indah, ‘gabe itu membawa kepada aufgabe’; gabe artinya gift, pemberian; aufgabe artinya task, tugas. Tuhan memberikan kepada kita gabe, karunia, pemberian-Nya; dan dengan berkat pemberian itu, kita diutus untuk melakukan tanggung jawab kita –ada aufgabe setelah gabe.
Terakhir, mengutip James Smith; dia mengatakan, waktu kita dberkati, berarti kita tidak diutus untuk membuktikan diri kita sendiri. Berkat bukan untuk itu. Yang berusaha membuktikan diri sendiri, itulah cerita Menara Babel; membuktikan kecanggihan mereka, kehebatan mereka, teknologi mereka, seberapa besarnya mereka, dsb. Tapi itu bukan cerita Kristen, bukan narasinya Israel. Kita tidak dipanggil untuk membuktikan diri. Yesus waktu dicobai, juga ada dimensi untuk membuktikan diri-Nya, “jika Engkau adalah Anak Allah”, prove yourself, ‘katanya Anak Allah, ayo buktikan’.
Identitas yang dibangun dengan membuktikan diri sendiri, kasihan sekali. Dunia ini lelah, tidak pernah ada istirahat, tidak pernah ada kelegaan, karena apa? Karena letih lesu di dalam membuktikan dirinya sendiri. Ini bukan liturgi Kristen. Liturgi Kristen bukan membuktikan dirinya sendiri. Kita bukanlah orang-orang inferior complex –meski kita juga harusnya tidak jadi orang superior complex. Kita bukan orang-orang minder yang berusaha membuktikan diri supaya diterima di dunia ini –itu ceritanya orang-orang yang kasihan. Lalu apa? James Smith melanjutkan, “We are not sent out to prove ourselves, but to be fueled by the word to imagine the world otherwise”; kita dipenuhi/diisi oleh Firman untuk imagine the world otherwise.
Kita yang di dalam tradisi Injili, bahkan Reformed, tidak biasa memakai istilah imagine/imagination, bagi kita ‘itu sepertinya tidak riil, delusi, cuma imajinasi, sedangkan orang Kristen bicara realita bukan imajinasi!’ Tapi James Smith, yang sangat dipengaruhi teologi Reformed, justru pakai istilah ‘imagine’ ini. Jangan menghina kekuatan imajinasi; kalau kita tidak ada imajinasi –imajinasi yang dikuduskan oeh Tuhan– kita tidak ada kekuatan hidup di dalam dunia ini. Kita percaya, kita justru diutus karena ada kekuatan imajinasi. Waktu melihat dunia kita yang rusak ini, kita tidak menerimanya begitu saja, ‘bukan begini harusnya, ini bukan cerita original creation, bukan ini yang dikehendaki Tuhan’. “Imagine the world otherwise”, yang dikatakan James Smith, maksudnya di satu sisi kita menerima realita yang sudah jatuh ini, dan di sisi lain kita memimpikan, kita berimajinasi, bahwa dunia seharusnya tidak seperti ini. Ada polemik terhadap narasi dunia, bahkan terhadap realita dunia, yang kita tidak boleh berdamai dengannya. Kita tidak boleh berdamai dengan pandemi, kita tidak boleh berdamai dengan keadaan manusia yang egois, ketakutan, lari sendiri-sendiri mengejar keselamatannya masing-masing. Kita tidak boleh berdamai dengan ini, meskipun ini fakta/realita. Kita dipanggil untuk dipenuhi oleh Firman. Kita berdoa “datanglah kerajaan-Mu, ya Tuhan”.
Kiranya Tuhan menolong kita, kiranya Tuhan memberkati kita, untuk bisa mengerti apa artinya hidup yang dipanggil, diberkati, diutus oleh Tuhan di tengah-tengah dunia ini.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading