Beberapa minggu yang lalu kita sudah membicarakan bagaimana di dalam gambaran ini tampaknya seperti seolah-olah iblis yang lebih bekerja dengan lincah, lalu menggunakan Yudas, imam-imam kepala dan ahli Taurat, tetapi sebetulnya kita tahu Tuhan bergerak dengan rencanaNya. Meskipun kelihatan sangat biasa, sederhana, bukan dilakukan dengan cara military yang mengagumkan, yang secara kasat mata orang melihat kehebatan dan kebesaranNya, tetapi di dalam persiapan-persiapan yang sederhana, persiapan perjamuan malam ini, bahkan waktu kita melihat perjamuan malamnya pun juga cukup sederhana.
Di dalam ayat 14 dikatakan, ketika tiba saatnya, Yesus duduk makan bersama-sama dengan rasul-rasulNya, kita boleh membandingkan dengan bagian lain, kita agak tidak biasa mendapati julukan seperti ini (meskipun tidak salah mengatakan rasul-rasul), karena mereka belum rasul, belum pentakosta, belum diutus pergi. Dengan kata lain di sini Lukas mengarahkan kepada pandangan eskatologis dalam jangka waktu yang dekat (bukan eskatologis kedatangan Yesus kedua kalinya), bahwa mereka suatu saat akan diutus, akan menjadi rasul-rasul dan bersamaan dengan itu juga akan mencicipi apa yang dialami oleh Yesus Kristus yaitu penderitaanNya, pikul salib.
Kita tahu bahwa Lukas yang menulis injil Lukas dan Kisah Para Rasul, Lukas menyajikan satu gambaran pekerjaan Allah secara gambaran sejarah keselamatan Allah. Mereka ini bukan orang-orang biasa, mereka akan dipakai oleh Tuhan, indeed mereka memang orang biasa, tetapi akhirnya dipakai oleh Tuhan secara luar biasa. Di sini ada satu sebutan yang lebih dari pada sekedar murid (istilah murid sendiri adalah satu istilah yang tinggi), tetapi istilah apostolos, rasul-rasul, orang-orang yang akan diutus, gambaran ini penting waktu kita menghayati tentang kematian Kristus untuk membedakan dengan satu gambaran evangelical yang rather sempit. Biasanya kalau kita memikirkan tentang kematian Kristus, pasti yang pertama muncul dalam benak kita sebagai orang injili adalah Yesus mati mengampuni dosa-dosa saya, membebaskan saya dari dosa, memang itu betul, harus yang pertama, karena pondasinya adalah itu. Tetapi kita tidak mau berhenti hanya dalam pengertian Yesus mati di atas kayu salib, dosa-dosa saya diampuni, saya diterima apa adanya, dipeluk, digendong, ditinggikan dsb., itu adalah pengalaman pasif.
Tapi waktu di sini Lukas menggunakan istilah rasul-rasul, maksudnya bukan hanya sekedar orang-orang yang akhirnya menerima pengampunan dosa dari Yesus Kristus, tetapi orang-orang yang juga dipanggil untuk menderita seperti Kristus, orang-orang yang akhirnya diutus ketengah-tengah serigala, juga seperti Kristus yang hidup ditengah-tengah serigala. Rasul artinya yang diutus, berarti kita juga bukan hanya sekedar menerima apa yang sudah Tuhan Yesus kerjakan bagi kita, tetapi juga sekaligus antisipasi bahwa akan belajar untuk memikul salib kita masing-masing.
Waktu kita membaca ayat 15, saya percaya ini lebih dari pada sekedar sentimentalitas, meskipun pasti ada tempatnya juga seperti itu, kesedihan, karena Yesus juga 100% manusia, jadi semacam pembicaraan kalimat-kalimat perpisahan. Memang diantara semua injil, yang menulis paling extensive, paling banyak tentang pembicaraan perpisahan adalah Yohanes, tetapi di dalam Lukas kita juga mendapati meskipun hanya beberapa ayat, “Aku sangat rindu makan paskah ini bersama-sama dengan kamu, sebelum Aku menderita”. Sekali lagi, Yesus mengisi saat yang tepat ini dan membuat klimaks dengan mempersembahkan diriNya sendiri sebagai korban, Domba Paskah yang sesunguhnya. Ada persekutuan meja, table fellowship antara Yesus Kristus dengan para rasul yang nanti akan dipersiapkan untuk menderita bagi dan bersama dengan Kristus, meskipun kita tahu pada saat penyaliban mereka belum mampu untuk melakukan hal itu.
Dalam ayat 16 menyatakan satu gambaran pengharapan eskatologis dan ini satu bagian penting yang seringkali dilupakan waktu kita merenungkan tentang perjamuan kudus. Perjamuan kudus itu mengantisipasi table fellowship yang akan datang, future, heavenly table fellowship bersama dengan Kristus, bersama dengan orang-orang pilihan sepanjang segala zaman dan tempat. Waktu perjamuan kudus, pasti yang paling penting kita renungkan adalah karya Kristus itu sendiri, yang sudah dilakukan di atas kayu salib, pengorbanan yang diberikan bagi saudara dan saya, kita mengingat kebelakang, tindakan mengingat, karena kita memang sering lupa, oleh karena itu perlu remembrance, mengingat kebelakang, tetapi juga sekaligus kita ada antisipasi eskatologis, kita akan dijamu di dalam Kerajaan Allah.
Di dalam teologi reformed, waktu berbicara tentang Kerajaan Allah pengertiannya itu double, satu sisi memang Kerajaan Allah sudah datang, bahkan di dalam zaman Yesus pun sudah dikatakan, Kerajaan Allah ada diantara kamu berarti sudah, tetapi di sisi yang lain juga kebelumannya, Kerajaan Allah yang belum datang. Waktu kita melihat disekitar kita, kita mendapati ada banyak hal yang masih sangat tidak sempurna, bahkan gereja pun juga tidak sempurna, belum sempurna. Ada saat kita merenungkan aspek sudah, supaya kita tidak loosing our hope, supaya kita tidak menjadi discourage, supaya tidak menjadi orang yang kecewa, penuh kepahitan, sampai tidak bisa bersyukur karena tidak ada satupun hal yang baik di dalam kehidupan kita, pasti ada aspesk sudah.
Tetapi kita juga janga lupa, ada aspek belum, waktu kita bicara tentang belum, kita bisa menghayatinya baik di dalam scope yang paling kecil, sampai saya sendiri sebagai individu, yang belum sepenuhnya dikuduskan secara kondisi oleh Tuhan, sampai kepada scope yang paling besar dunia ini. Belum, kita tahu masih banyak kejahatan yang terjadi disana, sini, menyatakan bahwa Kerajaan Allah memang belum datang sepenuhnya, belum digenapi sepenuhnya. Ada hal yang paradoks, tapi bukan kontradiksi ketika kita mengatakan antara belum dan sudah, karena di dalam perspektif tertentu “sudah” dan perspektif yang lain “belum”, kita akan menekankan bagian yang “belum”.
Kalau kita tidak balance di dalam pembicaraan ini, kita bisa menjadi orang yang akhirnya masuk kepada pembacaan realita yang tidak jujur. Kita selalu ingin gambaran, image yang lebih baik, kalau bisa bicara semuanya “sudah”, malah kadang-kadang bisa timbul suatu spirit, kalau orang membicarakan sesuatu yang negatif, padahal itu kenyataannya di dalam realitas, kita merasa itu sebagai satu discouragement. Misalnya kita sudah berjuang mati-matian, ternyata toh masih ada juga kekurangan, lalu kita berharap, ya sudahlah kekurangan itu ditoleransi saja, kan saya sudah berusaha memberikan yang terbaik, kenapa orang masih membicarakan kekurangannya juga dan kadang kita merasa lelah, sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi kok teganya orang lain masih membicarakan kekurangannya itu dan bukan melihat apa yang sudah saya kerjakan, lalu kita merasa discourage, dst.
Memang di dalam gambaran seperti ini, kita melihat ada satu kecenderungan waktu manusia membicarakan yang belum, itu agaknya memang cukup mengganggu. Bicara yang belum bisa dianggap sebagai suatu keadaan, kok orang tidak berterima kasih ya dengan apa yang sudah dikerjakan? Kita bisa membaca di dalam perspektif seperti ini, perspektif paranoia atau kita bisa melihat sebagai satu gambaran yang positif, justru karena kita tahu ada yang belum, kebeluman itu mendorong kita untuk terus mengejar apa yang memang masih perlu dikerjakan selama kita masih hidup di dalam dunia ini. Ada orang waktu membesarkan anak, dia berpikir ini belum, belum, belum sampai universitas, lalu selesai, masih belum juga karena belum dapat pekerjaan, akhirnya cari pekerjaan, setelah dapat pekerjaan, menikah dst. Sekarang sudah, waktunya berlibur berdua dengan suami atau istri, tidak diganggu lagi oleh anak, dari belum sampai sudah, lalu setelah sudah ya sudah, berarti sudah selesai?
Waktu orang berpikir sudah dan tidak memikirkan lagi aspek kebeluman, dia menghidupi kehidupan ini rather secara dualisme, seperti peribahasa yang mengatakan, “bersusah-susah dahulu, lalu bersenang-senang kemudian” (saya sudah pernah bahas bagian ini), maksudnya seperti ada dua periode dalam kehidupan, dari bersusah-susah lalu bersenang-senang, karena susahnya sudah dan sekarang masuk dalam kesenangan. Kita tahu di dalam kehidupan manusia, hal seperti ini kan tidak realistis untuk dihidupi? Waktu kita katakan sudah, sudah di dalam hal apapun, sudah punya rumah, anak sudah menikah, sudah dapat kerjaan, sudah, sudah…., eeeh ternyata masih ada juga sebetulnya yang problem dan kita dipaksa lagi untuk berpikir, juga belum benar-benar sudah, ternyata ya belum, ternyata ada yang belum beres juga di dalam kehidupan saya.
Tuhan tahu menakar bagian-bagian yang belum ini, karena Dia maha bijaksana, Dia tidak memberikan takaran yang terlalu berat, sampai kita tidak bisa menanggungnya, tetapi Tuhan juga tidak akan membiarkan kita masuk ke dalam pemahaman sudah, sampai kita terus akhirnya hidup secara hedonis, semua tugas sudah selesai dikerjakan, sekarang saya bisa melakukan kehidupan ini seenak saya, saya bisa melakukan apapun yan saya mau, tidak perlu kerja lagi, uang juga sudah cukup, dst., sekarang gantian, anak yang harus memperhatikan saya dst. Saya kuatir gambaran seperti ini menjadi satu gambaran yang salah tentang Kerajaan Allah. Waktu kita perjamuan kudus, kita memikirkan apa yang sudah dikerjakan oleh Yesus Kristus di atas kayu salib dan sudah sempurna, tidak perlu ditambahkan, itu perfect sacrifice, tetapi sisi yang lain kita juga dibawa kepada satu visi, bahwa pekerjaan Tuhan di dalam dunia ini belum selesai.
Dan waktu kita menantikan kegenapan Kerajaan Allah, ini termasuk di dalamnya juga bagian dimana kita harus memikirkan apa yang menjadi tanggung jawab saya yang Tuhan mau untuk saya kerjakan di dalam kehidupan ini, selagi saya masih hidup? Tidak ada orang yang hidup percuma, tidak ada orang yang hidup tidak perlu lagi, waktu usia mulai agak tua, merasa diri seperti kurang berguna, cenderung jadi beban lalu setelah itu kepingin mati. Menurut Tuhan tidak ada orang yang perhitungannya salah, kenapa dia masih hidup di dalam dunia ini? Termasuk juga kalau dia harus jadi beban, itu ada di dalam bijaksana Tuhan, pak Tong pernah khotbah tentang orang yang cacat, termasuk juga cacat mental, dia mengatakan, dalam hal itu ada keindahan tertentu, panggilan khusus bagi orang-orang seperti itu, menjadi seperti hati nurani masyarakat. Contoh yang paling sederhana yang seringkali kita dengar adalah seperti Fanny Crosby yang buta, tetapi dia bisa dipakai Tuhan seperti itu, menjadi satu refleksi untuk kita, saya tidak buta, lalu di dalam kehidupan ini saya sudah melakukan apa? Dan masih banyak contoh yang lain, seperti seorang cacat tanpa tangan dan kaki yang bernama Nick Vujicic, dia seorang kristen, dia menjadi lebih dari sekedar motivator, dia menyaksikan kebaikan Tuhan di dalam keadaan seperti itu, dia berbicara menguatkan banyak orang yang ada tangan dan kaki.
Kadang-kadang di dalam saat seperti itu, waktu kita sudah tua, tidak produktif lagi, karena dunia ini kejam, menilai arti hidup manusia hanya sekedar dari produktivitas, itu betul-betul kejam, sebenarnya penilaian seperti itu kan penilaian terhadap mesin bukan terhadap manusia? Kalau mesin sudah tidak produktif, maka akan kita afkir, mesin harus digeser, kita akan membeli mesin yang lebih bagus, yang lebih cepat kerjanya, yang lebih skillful, tetapi ini kan bukan pandangan terhadap manusia, ya kan? Kita tidak melihat manusia seperti melihat mesin, kalau melihat manusia seperti ini, ya benar-benar evil, maka kita juga tidak usah berpikir bahwa diri kita seperti itu. Kita percaya, selagi kita masih hidup di dalam dunia ini, pasti ada panggilan yang Tuhan mau berikan di dalam kehidupan kita, meskipun panggilan itu seringkali melampaui bijaksana manusia.
Mengukur arti hidup kita hanya dengan sekedar produktivitas, saya menjadi berkat baru itu ada artinya, tidak tentu, ada orang diijinkan Tuhan sakit tidak sembuh-sembuh, saya pernah share cerita ini di persekutuan, ada seorang suami yang tidak mengerti, merawat istrinya bertahun-tahun, semacam keadaan koma, sampai menguras tenaga, tetapi Tuhan juga tidak panggil-panggil, dia terus bergumul, dia merawat istrinya dengan setia, sampai suatu saat istrinya akhirnya dipanggil Tuhan juga. Beberapa hari setelah istrinya meninggal, dia dapat surat dari tetangganya, dia katakan, saya selama ini menyaksikan kamu sebagai orang yang mengaku kristen dan saya mendapati sesuatu yang berbeda di dalam kehidupanmu, saya ingin kenal Tuhan yang kamu percaya, kenapa kamu bisa sabar seperti itu, bertahun-tahun merawat istrimu?
Cara Tuhan bekerja itu misteri, kalau dilihat dari perspektif produktivitas, ya memang benar, tidak produktif sama sekali, istri yang seperti itu mana bisa produktif lagi, tidak mungkin, bukan hanya istrinya, suaminya juga jadi kurang produktif, karena harus berjam-jam menjaga istrinya yang sakit. Seperti B.B. Warfield, seorang theolog, waktu dia bersama istrinya ke Eropa, istrinya mengalami kecelakaan dan akhirnya seperti orang mati, gara-gara itu, B.B Warfield tidak bisa pergi ke tempat lain, dia harus di kota itu terus. Tuhan seperti mengurung dia di kotanya, tidak bisa pergi kemana-mana, tapi justru kehadiran dia di Princeton, dia justru menjadi berkat, menciptakan suatu aliran bersama dengan theolog lain, mungkin kalau istrinya tidak sakit, dia akan keliling kemana-mana, mungkin dia akan mengajar di Eropa atau di tempat lain, kita tidak tahu, mungkin tidak terlalu fruitful, tapi karena ada kejadian itu, dia dipaksa harus tinggal di Princeton seumur hidupnya. Nah bijaksana-bijaksana seperti ini sulit untuk kita pahami.
Sekali lagi, kita tidak bisa menilai kehidupan kita seperti kalau menurut saya sudah ya sudah, Tuhan harus panggil saya, pekerjaan saya sudah selesai, saya tidak perlu lagi terlibat, karena saya sudah pernah bekerja, walaupun memang kenyataannya betul-betul sudah pernah bekerja. Tetapi jangan lupa selalu ada aspek kebeluman, Yesus mengatakan, Aku berkata kepadamu, Aku tidak akan memakannya lagi sampai ia beroleh kegenapannya dalam Kerajaan Allah, belum datang, masih diantisipasi. Dan saudara diundang untuk terlibat di dalam menggenapi datangnya Kerajaan Allah ini.
Lalu kita masuk di dalam pembicaraan yang sangat terkenal ini, ayat 17-19, Yesus mengambil cawan, mengucap syukur, lalu berkata, ambillah ini dan bagikanlah diantara kamu. Sebab Aku berkata kepada kamu, mulai dari sekarang Aku tidak akan minum lagi hasil pokok anggur sampai Kerajaan Allah telah datang. Lalu Ia mengambil roti, mengucap syukur, memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada mereka, katanya, “Inilah tubuhKu yang diserahkan bagi kamu, perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku”. Kalimat inilah tubuhKu menjadi satu perdebatan yang luar biasa panjang di zaman reformasi, meskipun sekarang tidak ada perdebatan sampai se-theologis atau se-akademis zaman dulu, tapi kita tahu masih banyak sekali penyelewengan di dalam pengertian perjamuan kudus di dalam kekristenan.
Inilah tubuhKu, artinya apa? Kalau di dalam bahasa Inggris, this is My body, sebagian orang memang betul-betul menghayati ini secara harafiah, this is My body maksudnya, ya ini betul-betul adalah tubuh Kristus di dalam rupa roti, tetapi sebetulnya ini adalah tubuh Kristus, ini bukan roti, hanya rupanya saja berupa roti. Ini satu gambaran yang magis, satu gambaran yang rather magical, saya waktu kecil ada di dalam tradisi pentakosta, orang-orang membawa pulang roti perjamuan kudus, boleh banyak dan pendetanya juga mengajarkan, roti itu letakkan di bagian yang luka, karena ini adalah tubuh Kristus, kan ada ayat yang mengatakan, melalui bilur-bilurMu kami menjadi sembuh, oleh bilur-bilurMu kami disembuhkan, we are healed. Ini kan tubuh Kristus yang pernah ada bilur-bilurNya, maka diletakkan dibilur-bilur kita, gantian transfer bilur, bilurnya ditransfer ke Kristus yang pernah di atas kayu salib, lalu dia disembuhkan.
Ini satu penyelewengan di dalam perjamuan kudus, orang bukan mengenang korban Kristus yang mati karena dosa-dosa kita, tetapi orang mulai masuk ke dalam satu penghayatan yang antroposentris, yang sangat berpusat kepada diri sendiri. Seolah-olah Yesus terus-menerus harus menjadi pelayan di dalam kehidupannya selama-lamanya, tidak ada pembicaraan tentang bagaimana mengikut Yesus, seperti rasul-rasul yang juga mencicipi penderitaan Kristus, yang juga setia memikul salib, yang diundang untuk berbagian di dalam pekerjaan Kerajaan Allah. Tetapi yang ada adalah pemahaman seperti ini, for very simple reason bahwa ayat ini tidak mungkin ditafsir secara literally, Yesus mengatakan, this is My body, orang Dia sendiri sedang ada di situ, bagaimana ini My body? Kalau ini betul-betul adalah tubuh, lalu yang bicara ini apa? Yesus sendiri sedang pegang dengan tanganNya, tanganNya itu bagian dari Jesus body, lalu Dia katakan, this is My body, lah Dia sendiri kan tubuhNya ada di situ? Kan tidak nyambung tafsiran seperti ini? Jadi pengertian this is My body pasti bukan di dalam arti literally seperti itu, karena kalau literally seperti itu berarti ini agak membingungkan, sebetulnya body yang mana, rotinya atau Yesus yang sedang bicara? Atau di saat itu waktu Yesus bicara, tiba-tiba Dia kehilangan body-Nya, mendadak body-Nya berubah jadi roti, ini tafsiran yang tidak bisa diterima sama sekali secara penalaran yang sederhana.
Lalu apa artinya this is My body? Kita bukan percaya bahwa roti dan anggur itu berubah menjadi tubuh dan darah Kristus, bukan, tetapi di dalam pengertian ini menunjuk, signify, lebih dari pada sekedar simbol. Istilah signifies, tanda, menunjuk, melalui hal yang kelihatan, lalu kita belajar untuk merenungkan hal yang tidak kelihatan, yang ditunjuk oleh tanda yang kelihatan itu. Realitanya adalah realita yang sesungguhnya yaitu bahwa tubuh Kristus betul-betul pernah dipecah-pecahkan, darah Yesus Kristus betul-betul pernah dialirkan untuk pengampunan dosa-dosa kita. Tetapi melalui yang kelihatan itu, melalui roti dan anggur, kita belajar untuk menghayati apa yang Yesus Kristus kerjakan, tubuhNya yang dipecah-pecahkan dan darahNya yang dialirkan. Tapi coba kita perhatikan juga di situ, bukan tanpa roti dan anggur, kenapa perjamuan kudus penting? Penting karena ada janji kehadiran Kristus yang khusus waktu kita ikut serta di dalam perjamuan kudus.
Nah kita berada di dalam satu gambaran dua ekstrim, tadi kita mengatakan satu gambaran yang highly magical yaitu tubuh dan darah Kristus, roti dan anggur, dari zaman abad pertengahan sampai zaman Luther waktu pelayanan, itu kita tahu yang dibagikan kan hanya roti, anggur-nya tidak dibagikan, hanya di reserve untuk priest. Kalau dibagikan itu menakutkan, kenapa? Nanti ketika dibagikan, lalu tumpah, berarti darah Kristus tumpah, di dalam satu gambaran film (bukan sejarah, saya tidak tahu), Martin Luther waktu melayani pertama dalam perjamuan kudus, dia hati-hati sekali, karena ini darah Yesus, setelah itu tumpah, waduh, ini satu keadaan yang sangat menakutkan bagi Luther, ini menumpahkan darah Kristus. Satu sisi kita menghadapi gambaran highly magical seperti ini tentang perjamuan kudus.
Tapi bahaya yang lain, saya percaya mungkin kita lebih rentan dengan bahaya yang satunya yaitu gambaran perjamuan kudus itu hanya sekedar lambang, ritual, boleh ada, boleh tidak ada, yang penting khotbah, perjamuan kudus bulan ini lupa ya tidak apa-apa, masih ada bulan berikutnya. Kita tidak merasa kehilangan apa-apa, kita tidak merasa missed dalam kehidupan kita dengan kita tidak ikut perjamuan kudus, very low view tentang Lord supper. Kalau kita mengerti bagian ini, saya percaya kita harus memiliki satu pemahaman yang berbeda, karena bagi Yesus Kristus, ini sesuatu yang penting, bukan tanpa roti dan tanpa anggur. Saya boleh memakai istilah sacramental understanding menolong kita untuk menghayati bagaimana kita bergerak dari yang kelihatan masuk kepada penghayatan yang tidak kelihatan, melalui latihan sakramen.
Yang kita makan kan betul-betul roti, yang kita kecap itu juga betul-betul anggur, jadi waktu kita memakan roti itu ada baunya, waktu anggur dikecap ada rasanya, kita betul-betul menikmati. Tetapi kenikmatan ini bukan hanya sekedar kenikmatan sensual, kenikmatan inderawi saja, sebetulnya kita sedang menikmati karya pengorbanan Kristus yang pernah diberikan bagi kita. Jadi double meaning, satu sisi menikmati yang kelihatan secara sensory perception, sisi yang lain juga menikmati Tuhan dan dua sisi ini digabung, integrate jadi satu di dalam perjamuan kudus. Bukankah yang seringkali terjadi di dalam kehidupan kita adalah kita disintegrated antara kenikmatan rohani sama kenikmatan jasmani? Kadang kita bisa makan begitu lahap, tetapi terus terang saja kita memang sedang menikmati babi, bukan menikmati Tuhan, saya bukan mau mengatakan roti dan anggur jadi setara dengan babi, bukan itu poinnya. Tetapi bagaimana menghayati Tuhan di dalam kehidupan kita, apa yang kita nikmati secara jasmaniah, secara inderawi, itu dikaitkan dengan sebetulnya saya sedang menikmati Tuhan yang sanggup memelihara saya.
Ini yang membedakan orang yang menikmati di dalam perspektif kristen dengan orang yang masuk ke dalam ideologi hedonisme, ya kan? Kenapa? Karena tidak bisa berhenti menikmati, akhirnya tidak menikmati Tuhan, tidak tahu kapan harus stop, nah ini tidak harus selalu di dalam urusan makanan saja, bisa juga dalam hal menonton TV, bisa dalam hal memaki internet, tidak tahu kapan harus stop, karena tidak bisa lagi mengintegrasikan bahwa saya sedang menikmati Tuhan saat ini. Tetapi betul-betul menikmati the physical thing them self, intinya sederhana, waktu kita makan, kita kan berdoa, bukan sekedar ritual, betul-betul satu yang meaningful, kenapa kita berdoa? Karena salah satu makna kita berdoa, ketika saya sedang makan makanan fisik yang saya kecap dengan lidah, yang fisik, tetapi waktu saya berdoa, saya acknowledge pemeliharaan Tuhan, God providence, saya menyaksikan kebaikan Tuhan, saya bersyukur, artinya dengan kata lain, saya sedang belajar untuk menikmati Tuhan. Bukan sekedar sedang menikmati makanan ini, tetapi saya sedang menikmati Tuhan.
Kalau seseorang lagi makan menikmati Tuhan, kalau kita bekerja, kita sedang menikmati Tuhan, menikmati kepercayaan yang Tuhan berikan dalam kehidupan kita dan kita bisa bekerja seperti sekarang ini, kita pasti akan tahu takarannya sampai mana, kapan harus stop, kapan harus mulai dsb., karena kita sedang menikmati Tuhan. Waktu kita tidak bisa stop, akan masuk ke dalam ketagihan, addiction, durasinya kepanjangan, orang yang main game tidak bisa berhenti dsb., karena dia sudah tidak bisa lagi mengkaitkan antara kenikmatan main game itu dengan kenikmatan Tuhan, tidak bisa. Jadi dia menikmati barang itu sendiri, sehingga dia masuk semakin lama semakin dalam dan akhirnya ironically semakin kering, karena sebetulnya Tuhan sedang meninggalkan dia. Seharusnya kita sudah stop, tetapi kita tidak mau stop, kita mau gali terus dan kita berpikir ini kenikmatan, akhirnya kita jadi totally exhausted, saya tidak tahu, apakah kita punya pengalaman seperti ini?
Misanya, ketika sedang suntuk, ceritanya ingin menghibur diri dengan menonton TV atau melakukan hal lain, setelah selesai menonton TV bukan merasa segar, tetapi malah lebih capek lagi, lebih lelah bukan hanya secara fisik saja, tetapi juga sebetulnya lebih kosong. Apa yang seharusnya saya harapkan hal itu bisa menyegarkan saya, ternyata tidak, malahan membuat saya lebih di squeeze lagi, lebih diperas, karena gagal menikmati Tuhan di dalam hal itu. Nah dunia menjanjikan tambal sulam seperti ini, saudara lelah dengan pekerjaan, silahkan travel, kami dari travel biro menyediakan ini, ini dan ini (saya bukan against travel biro, jangan salah mengerti) atau yang lain lagi akan menyediakan, ayo kita punya spa, ikutlah club kami, hidup memang melelahkan, ikutlah spa, pijat-pijat dsb. itulah dunia, terus berputar-putar, tambal sulam. Tetapi manusia tidak keluar dari problem yang sesungguhnya di dalam dirinya, tidak ada, karena memang hatinya kosong, baik dia ke spa, wisata kuliner atau ke tempat yang lain untuk kesenangan, semacam pengalaman rileks, ya tidak rileks juga, justru kehidupannya semakin kering, semakin kosong.
Perjamuan kudus membawa kita kepada penghayatan integrasi, apa yang kita alami secara jasmani, secara fisik, itu adalah paham naturalistik, paham seperti seolah-olah tidak ada Tuhan. Waktu saya makan, betul, memang makanan ini real, kan kita juga bukan idealis dengan mengatakan bahwa semua dunia materi itu pada dasarnya semu, bukan true reality, bukan, kita tidak berpedapat seperti ini. Kita tahu memang physical things itu real, itu betul, tetapi sekaligus melaui pemahaman perjamuan kudus, kita mau belajar untuk mengkaitkan apa yang kita nikmati secara fisik, termasuk dengan our sensory perception dengan indera kita, itu juga sekaligus merupakan satu penghayatan kita akan pemeliharaan Tuhan, kehadiran, cinta kasih dan kesetiaan Tuhan. Seperti contoh sederhana ini, kalau kita dapat bunga dari pasangan kita, lalu kita terima, kita senang kan ya? Satu sisi kita pasti menikmati bunganya juga, tetapi menikmati bunga di dalam integrasi bahwa ini yang memberikan adalah pacar saya, suami atau isteri saya, ada integrasinya, satu sisi menikmati bunga, sisi yang lain juga memeluk pasangan kita yang sudah mengekspresikan cinta kasihnya melalui bunga itu.
Tetapi akan jadi konyol kalau kita akhirnya terus menikmati bunga itu, kamu pergi dulu, saya sedang menikmati bunga ini, akhirnya kita jadi membuat pasangan kita excluded, dari pada kenikmatan saya terhadap bunga. Poin saya sederhana, kita terhadap Tuhan juga bisa seperti pengalaman ini, waktu kita makan, waktu kita bekerja, waktu kita studi atau waktu kita apapun, sepertinya kita mengusir Tuhan, Tuhan pergi dulu, saya sedang makan, jangan diganggu, biarkan saya menikmati dulu, nanti hari minggu saya baru bertemu Tuhan. Jadi mirip dengan pengalaman bunga tadi, kamu pergi dulu, saya sedang menikmati bunga. Kita tahu di dalam kehidupan sehari-hari, model seperti ini tidak jalan bukan? Kita akan mendapati bahwa orang ini aneh, saya beri dia bunga malahan saya yang diusir, memang betul sih, dia bukan tidak boleh menikmati bunganya, ya silahkan menikmati, memang saya juga senang kalau kamu menikmati, tetapi ingat saya juga yang memberikan bunga itu.
Di dalam kehidupan kita, kalau kita tidak ada lagi sacrament understanding, akan terjadi model seperti ini, disintegrated, ada hal-hal, saat-saat kita menikmati Tuhan, lalu ada saat-saat kita menikmati diri kita sendiri. Ada saat-saat kita memeras diri, memecut diri, pikul salib, terus menahan, begitu selesai, nah sekarang giliran saya, Tuhan, saya sudah menjalankan duty, sekarang giliran saya, biarkan saya, ini hanya dua jam saja, nanti saya kembali bekerja untuk Tuhan. Kalau seperti ini, itu namanya dualisme, Tuhan mau supaya kita belajar menikmati Tuhan dan ini tidak berbenturan dengan saudara menikmati makanan, bunga dll., tidak ada benturan. Jangan melupakan Tuhan, waktu kita gagal menghayati perjamuan kudus, kita tidak akan terlatih dengan gambaran seperti ini, akan masuk ke dalam disintegrated life, fragmented life, karena itu perjamuan kudus ini penting.
Yesus mengambil roti, mengucap syukur, memecah-mecahkan, memberikannya kepada mereka, bahasa yang mirip, yang pernah dikatakan juga di dalam bahasa waktu 5 roti 2 ikan, Yesus mengambil roti, lalu Dia mengucap syukur, memecah-mecahkan dan memberikan kepada mereka. Ada tafsiran menarik tentang bagian ini dari Henri Nouwen yang berusaha mencoba zoom di dalam empat kata, mengambil roti, mengucap syukur, memecah-mecah, memberikan sebagai satu paradigma di dalam kehidupan kristen yaitu pertama, Yesus yang berinisiatif untuk mengambil roti, kalau kita boleh menempatkan kehidupan kita sebagai roti yang juga akan dipecah-pecahkan, karena kita bukan diundang hanya untuk menerima korban keselamatan Kristus bagi kita, tetapi saudara juga diundang untuk mengikut Kristus, menghayati apa artinya menjadi roti, seperti Yesus Kristus yang juga adalah roti hidup. Yesus yang terlebih dahulu mengambil, Tuhan yang menerima, bukan karena kita yang mempersembahkan diri, lalu pasti Tuhan pakai, tapi Tuhan yang menentukan, ini membicarakan tentang kedaulatan Tuhan.
Tuhan yang mengambil, bukan karena saya mau, ya sudahlah, mumpung dia lagi mau melayani ayo kita terima, orang mau melayani kok dihalangi? Itu adalah tipikal pemikiran evangelical, bukan pemikiran reformed evangelical. Saya pernah berada dalam keaadan pelayanan sedikit ada ketegangan karena ada perbedaan filosofi ini dalam mengajar koor. Saya katakan, meskipun anak kecil, kita harus test suaranya, tidak tentu Tuhan percayakan dia untuk menyanyi di koor sekolah minggu, tetapi pengajar koornya mengatakan, ini anak kecil loh, kalau anak kecil diperlakukan seperti ini bagaimana? Dia hatinya itu baik loh, polos, mau melayani Tuhan, mau melayani Tuhan kok dihalangi, saya menjawab dengan satu kalimat, bagaimana kalau minggu depan dia tergerak hatinya mau menggantikan pak Tong di atas mimbar? Dia mau melayani Tuhan loh? Jangan dihalangi dia mau naik mimbar, bagaimana? Wah tidak bisa dong, mimbar itu kan lain? Dimana lainnya? Langsung ada kontradiktif di dalam philosophy of ministry seperti ini? Kita mengerti kan point-nya?
Ya mungkin ini anak kecil, kalau di stop kan tidak tega, kalau begitu, pikiran kita jadi humanisme. Tuhan tidak menerima semua orang yang datang kepada Dia, hal itu di dalam alkitab jelas sekali, karena Tuhan tahu siapa yang betul-betul datang, siapa yang datangnya pura-pura. Ada yang kelihatan ikut-ikut, ada yang kelihatan seperti mau pelayanan dsb., tidak betul-betul memiliki jiwa pelayanan, Tuhan tidak harus terima, kecuali Tuhan mengambil roti, tidak ada orang yang bisa dipakai untuk menjadi berkat bagi orang lain. Jangan berpikir, bahwa begitu kita menyerahkan diri Tuhan langsung tergerak akan memakai kita, tidak, waktunya bukan kita yang menentukan, tetapi Tuhan, yang bilang the final yes itu Tuhan, bukan saudara dan saya.
Ini teologi yang fatal kalau kita selalu mengajarkan dari sisi Tuhan, Tuhan selalu rindu untuk mengundang kita, sekarang tergantung kepada saudara, saudara mau menyambut tidak tawaran Tuhan? Tergantung, saudara mau mengatakan yes atau no, dari sisi Tuhan, Tuhan selalu yes, itu salah, dari sisi kita, kita harus selalu katakan yes, dari sisi Tuhan, Tuhan boleh pikir-pikir, apakah Dia mau terima atau tidak. Dari sisi saudara dan saya, seharusnya kita total obedience, tidak ada reservation, karena pertama kita adalah ciptaan, kedua, kita juga sudah ditebus oleh darah Kristus yang mahal. Saudara dan saya harus mempersembahkan diri sepenuhnya dihadapan Tuhan, lalu Tuhan mau mengambil atau tidak pada saat itu, itu urusan Tuhan, itu ada di dalam kedaulatan Tuhan.
Tuhan yang mengambil roti, lalu Dia mengucap syukur, mengucap syukur, acknowledgement of God grace, ini adalah hal sederhana, roti, hasil bumi, tetapi Yesus mengucap syukur, lalu di dalam kuasa ucapan syukurNya, hasil bumi yang sederhana bisa di elevated, ditinggikan sedemikian rupa sampai boleh menjadi signifyer, menjadi tanda atas tubuh Kristus melalui kuasa ucapan syukur. Melalui ucapan syukur inilah terjadi juga multiplikasi, penggandaan, tadinya kan hanya 5 roti 2 ikan, demikian juga sebetulnya tubuh Yesus Kristus itu tidak maha hadir kan ya? TubuhNya juga ada di situ, kecil, sederhana, Dia pernah jadi bayi juga, tetapi di dalam kuasa ucapan syukur ini juga kehidupan saudara dan saya bisa dimultiplikasi. Kalau kita tidak memiliki kehidupan yang bersyukur, mana mau dipecah-pecahkan, kita akan berkata, saya sendiri juga tidak cukup kok, saya sendiri kurang, mana bisa dipecah-pecahkan, apalagi dibagi-bagikan pada banyak orang, tidak mungkin. Kalau boleh orang lain yang pecah-pecahkan roti, bagikan kepada saya, ini orang yang tidak bersyukur, tetapi kalau orang yang bersyukur, seperti janda miskin yang bisa memberikan, saya percaya itu pasti orang yang bersyukur.
Orang yang bersyukur itu melihat dirinya kelebihan, meskipun orang lain mungkin bisa melihat dia sebagai orang yang pas-pasan atau mungkin tidak kekurangan dan tidak miskin. Tetapi seseorang mengucap syukur, itu dia menghitung anugerah Tuhan, setelah dihitung-hitung lagi, iya ya, saya sebenarnya tidak perlu segini banyak, ini lebih, karena lebih, saya bisa bagikan kepada orang lain. Saya bukan sekedar mengatakan tentang materi, ini bukan hanya urusan materi, tapi urusan seluruh kehidupan kita, perasaan kita, tenaga kita, bakat kita dsb., kalau kita bersyukur, kita selalu akan memiliki spare untuk bisa bagi kepada orang lain, karena di situ kita belajar untuk menghitung anugerah Tuhan dan setelah dihitung-hitung ya memang lebih, makanya kita bisa berbagi.
Setelah itu memecah-mecahkan, apa artinya dipecah-pecahkan? Berarti ada sesuatu pengorbanan, dipecah-pecah itu rasanya sakit, Yesus bukan mengatakan, Ia mengambil roti, mengucap syukur lalu membelai-belai, bukan, tetapi betul-betul dipecah. Kehidupan saudara dan saya, waktu Tuhan mau pakai kita, pasti akan Tuhan pecah dan waktu dipecah pasti sakit, tidak bisa utuh lagi. Diperas itu tidak enak, sampai bisa mengalirkan air, handuk yang basah, mau mengalirkan air, kalau tidak diperas, ya turunnya pasti pelan sekali, tapi kalau diperas, air turunnya akan langsung deras. Kehidupan kita waktu mau dipakai oleh Tuhan harus mengalami necessary pain seperti ini, tetapi tidak apa-apa, itu yang sakit adalah manusia lama kita, memang harus sakit, bukan hanya sakit, bahkan sedang tersalib bersama dengan Kristus, biarkan saja manusia lama kita mati. Kalau sakit dia teriak-teriak minta tolong, tidak usah didengarkan, karena itu manusia lama kita, biarkan dia mati kesakitan di atas kayu salib, memang manusia lama itu harus mati. Kalau manusia lama kita tidak mau mati, tidak ada kuasa kebangkitan bekerja di dalam kehidupan kita. Yesus itu tidak bangkit dari kehidupan, tidak, Dia bangkit dari kematian, demikian juga kehidupan saudara dan saya, kita dipecah-pecahkan baru bisa mengalirkan berkat.
Kemudian Yesus memberikan kepada mereka, Yesus membagi-bagikan, ada distribusi, pembentukan karakter itu sakit, tetapi setelah itu baru bisa dibagi-bagikan dan menjadi berkat bagi banyak orang seperti kehidupan Yesus Kristus sendiri. TubuhNya yang dipecah-pecahkan di atas kayu salib, lalu dibagi-bagikan, di distribusikan kepada semua orang yang percaya kepadaNya. Kiranya Tuhan menolong, menguatkan dan mendorong kita untuk mencicipi penderitaan Kristus seperti para rasul yang juga sudah mencicipi penderitaan Kristus. Amin.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (AS)