Saya masih ingin mengulang bagian ayat 12-14, kita sudah mengatakan minggu lalu ini salah satu bagian yang kita tidak perlu komentari, karena sudah sangat jelas pesannya ada dimana. Kita tahu pesan dalam bagian ini sangat berbenturan dengan kultur yang terjadi di dalam society kita, kenapa? Karena di dalam society kita, di dalam masyarakat kita bahkan di dalam kehidupan keluarga kita, kebaikan seringkali di abuse, kita tahu bagaimana undang-mengundang, namanya saja hospitality, tetapi tidak betul-betul hospitality, yaitu menjadi sarana untuk mendapatkan power, sarana untuk menanam jasa. Paradigma undang-mengundang, bahkan memberi, menolong, termasuk kepada orang miskin dsb., itu menjadi satu paradigma saya menanam jasa, nah ini ada satu karakter evil di dalam pemberian.
Maka kita teringat perkataan Yesus Kristus di dalam sabda bahagia yang menyambung setelah itu di dalam khotbah di bukit, di situ dikatakan, waktu kita memberi sedekah, waktu kita menolong orang lain, apa yang diberikan oleh tangan yang satu kemudian jangan diketahui oleh tangan yang lain. Maksudnya apa? Kita harus belajar untuk menjadi lupa, kita belajar untuk tidak mengingat-ingat apa yang kita berikan kepada orang lain, karena pada dasarnya yang kita berikan kepada orang lain itu bukan milik kita sendiri, tetapi berkat dari Tuhan. Kalau itu adalah berkat dari Tuhan, pada waktu kita memberikan pada orang lain, basically kita hanya menyalurkan saja, itu bukan berkat yang berasal dari diri kita sendiri, tapi kita menyalurkan kepada orang lain.
Agustinus pernah mengatakan satu kalimat yang mungkin cukup radikal, “barang-barang yang terlalu banyak dimiliki oleh seseorang, itu sebetulnya adalah milik orang asing”, maksudnya itu harusnya disalurkan kepada orang lain, bukan dimiliki sendiri seperti itu, itu bukan natur di dalam kekristenan. Kita melihat di dalam sejarah, bukan hanya di dalam kekristenan, agama-agama lain juga dipenuhi dengan spiritualitas atau ethics memberi, undang-mengundang dsb., tapi jangan lupa, selalu ada banyak campuran daripada motivasi untuk menanam jasa, untuk memperoleh popularitas, untuk memperbaiki images, terkenal sebagai orang yang baik dsb., maka di sini kita melihat ada satu kepalsuan di dalam motivasi seseorang waktu dia memberi atau menolong.
Dari posisi orang yang memberi, dia harus belajar melupakan, sehingga waktu dia menyalurkan berkat Tuhan, betul-betul menyatakan, ini semuanya adalah berasal dari pada Tuhan dan saya hanya sekedar menyalurkan, ada doksologi. Dari sisi orang yang menerima, dia juga harus belajar untuk menerimanya dari tangan Tuhan, nah ini juga sangat sulit dari dua pihak, dari sisi yang memberi dia tidak boleh berpikir saya sedang tanam jasa, awas ya jangan lupa, saya pernah menolong kamu (pada dasarnya hal seperti ini tidak alkitabiah). Tetapi termasuk juga dari sisi orang yang menerima pemberian, alangkah sulitnya untuk tidak melupakan jasa (saya membicarakan ini dalam pengertian positif, bukan negatif), waktu seseorang ditolong oleh orang lain, dia juga harus belajar untuk melihat pemberian yang dia terma itu adalah pemberian yang dari Tuhan, bukan dari manusia (ini bukan dalam pengertian dia tidak tahu berterima kasih, bukan). Karena yang memberi sendiri juga harus belajar bagaimana dia memberi dan bukan memperhitungkan itu sebagai jasanya, ya kan? Tapi konsisten, yang menerima juga harus mengerti, bahwa yang dia terima, itu bukan jasa orang itu, tetapi pemberian dari Tuhan melalui orang tersebut. Dia akan tetap bersyukur karena Tuhan memakai orang tersebut untuk menolong dia, bukan tidak bersyukur, tetapi dia tidak akan dipenuhi oleh perasaan berhutang budi kepada sesama lebih dari pada perasaan hutang budi kepada Tuhan.
Sekali lagi, society kita kan sangat menarik, karena dipenuhi dengan paradigma tanam jasa seperti ini, akhirnya sebetulnya yang sedang digeser adalah Tuhan dengan segala kebaikanNya. Yang memberi tidak memikirkan bahwa yang dia berikan itu berasal dari pada Tuhan, sehingga Tuhan digeser, yang memberi itu saya, saya yang baik, kamu harus ingat ya, saya banyak jasanya, kamu tidak boleh lupa, saya orang penting di dalam kehidupanmu, Tuhan disingkirkan. Dari sisi yang menerima, kalau berpikir seperti ini juga, wah yang memberi kepada saya adalah si A, saya berhutang budi kepada si A, si A itu baik sekali, sekali lagi Tuhan juga digeser. Tuhan tidak ada di dalam gambarannya, yang ada adalah si A, si A itu baik sekali kepada saya, setiap kali saya dalam kesulitan, si A yang muncul, lagi-lagi si A dan si A menolong saya terus dan akhirnya Tuhan di geser. Ini spiritulitas yang humanis, bukan spiritulitas kristen, spiritualitas seperti ini kelihatan seperti sangat baik sekali, tetapi banyak melesetnya.
Siapa yang pernah bisa membayar kebaikan Tuhan? Ini logika sederhana. Even seseorang yang menolong pun, seseorang yang bisa mengundang pun, di sini bicaranya kan tentang mengundang, siapa yang pernah bisa membalas undangan Tuhan? Tidak ada kan? Tidak ada orang yang bisa repay back, membayar kembali hutangnya kepada Tuhan, tidak ada. Saudara dan saya tidak mempunyai kemampuan itu, tidak mungkin kita bisa membayar hutang kita kepada Tuhan. Kalau kita tidak bisa membayar hutang kepada Tuhan, bahkan seumur hidup kita, lalu mengapa kita terus mempunyai satu ekspektasi tinggi terhadap orang yang pernah kita tolong? Bisanya kita lebih mudah kecewa dengan orang yang kita berbagian di dalam kehidupan mereka kan? Ini juga bisa positif, tetapi jangan-jangan itu hanya mau mengatakan betapa saya merasa memiliki jasa di dalam kehidupan orang tersebut, kalau saya pernah mendukung dia di dalam kesulitan.
Kadang-kadang orang itu sambil memberi, sambil berusaha kontrol, mungkin memberinya tidak rela, setelah memberi, dia bertanya, mau dipakai untuk apa ya sama dia? Kalau kita sudah memberi, ya kita harus percaya kepada orang yang kita beri, dia mau pakai untuk apa, ya itu resikonya kita memberi, ya kan? Kalau ternyata dia tidak menggunakan dengan benar, pemberian yang kita berikan, ya itu sudah resiko kita, memberi termasuk di dalam bagian itu juga, aspek itu termasuk di dalam pemberian yang tulus. Yesus itu memberikan kepada kita hidup dan memberikan kepada kita kebebasan, termasuk juga tanggung jawab. Nafas kita ini diberikan oleh Tuhan, Tuhan tidak mengontrol seperti kita, Tuhan memberikan kepada kita kebebasan, termasuk kalau kita merusak kehidupan kita, Tuhan memberikan kemungkinan itu. Karena Dia bukan memperlakukan kita seperti robot, orang seringkali berpikir di dalam ajaran Calvinisme, di dalam ajaran reformed, yang percaya tentang kedaulatan Tuhan, seperti Tuhan mengontrol segala sesuatu, kalau begitu manusia itu robot, ternyata tidak. Tuhan tidak memperlakukan manusia sebagai robot, saudara dan saya lebih sering memperlakukan sesama kita sebagai robot waktu kita mau mengontrol mereka, terutama waktu kita rasa punya jasa di dalam kehidupan mereka. Tuhan memberikan kepada kita kebebasan, bersama dengan itu juga tanggung jawab.
Tidak ada satu orang pun yang bisa membayar kembali hutangnya dihadapan Tuhan. Maka Yesus mengajar, mengundang kita bukan sekedar masuk ke dalam perjamuan Ilahi ini, bukan, tapi juga mengajak kita untuk menghidupi cara berpikir, paradigma yang seperti ini, sebagaimana Tuhan mengundang seseorang dan tidak memperhitungkan jasanya di dalam diri orang itu, memberikannya dengan bebas. Alkitab mengatakan, Dia memberikan hujan, matahari bukan hanya kepada orang baik, bukan hanya kepada orang-orang pilihan, Dia memberikan kepada semua orang, baik orang yang bisa membalas maupun orang yang tidak bisa membalas, semuanya diberikan oleh Tuhan kepada mereka. Di dalam doktrin reformed, kita percaya predestinasi, predestinasi mengajarkan, sebelum manusia punya kualitas, bahkan sanggup ber-iman-pun, Tuhan sudah memilih di dalam kekekalan, berarti Tuhan memang tidak hitung-hitungan, ini totally unconditional love. Tuhan bukan memilih karena seseorang Dia tahu bahwa orang ini akan berbuat baik kepada Dia, Tuhan bukan memilih seseorang karena Dia tahu di dalam kekekalan bahwa orang ini akhirnya akan percaya kepada Dia, kalau begitu love-nya kan masih conditional? Predestinasi sangat konsisten dengan konsep unconditional love, memang betul-betul unconditional, tetapi banyak orang salah mengerti, mereka berkata ini ajaran penuh dengan sifat pilih kasih, logika seperti itu salah sama sekali dan terbalik. Justru Tuhan yang memilih, menyatakan total unconditional love, karena betul-betul tidak ada apa-apa di dalam diri manusia yang dipilih itu, yang menyebabkan dia layak dipilih.
Kalau kita membaca bagaimana Yesus mengajak kita untuk belajar memberikan dan melupakan, memberikan dan tidak terlalu ingat dengan pemberian itu, memberikan kepada mereka yang memang tidak bisa membalas. Di sini dikatakan adalah orang-orang miskin, cacat, lumpuh dan orang buta, ini satu phrase yang sangat terkenal di dalam Lukas, kita bisa mendapati di dalam nyanyian pujian Maria di pasal pertama, kita juga bisa mendapati di dalam khotbah Yesus yang pertama di dalam Lukas 4, itu juga disebut kelompok orang-orang ini. Siapa sih orang-orang ini? Sebetulnya adalah orang-orang Kerajaan Allah, ini menjungkir-balikkan tatanan elitisme di dalam society, di dalam society kita orang-orang yang dianggap elit itu adalah orang-orang seperti ini, kita bisa ganti satu per satu. Lawan kata orang miskin ya orang kaya, orang-orang cacat lawan kata orang-orang kuat di dalam banyak hal, dst., intinya adalah sama sekali terbalik dengan kelompok yang dibicarakan di sini.
Yesus sedang menjungkir-balikkan tatanan ini, karena seringkali orang-orang seperti itu justru tidak berbagian di dalam realita Kerajaan Allah. Apa orang-orang miskin, lumpuh, cacat dan buta, karena orang-orang seperti ini biasanya kan lebih bergantung dari pada orang-orang kuat, lebih rendah hati, lebih biasa hidup di dalam belas kasihan orang lain, orang-orang kaya itu sangat asing di dalam satu gaya hidup menerima belas kasihan dari orang lain. Kita seringkali mengatakan, apa yang terjadi secara horizontal, itu sangat berkaitan dengan apa yang terjadi secara vertikal, maksudnya, kalau kita secara horizontal tidak punya satu keadaan hati yang siap untuk menerima ditolong, bagaimana kita mau mempunyai satu keadaan hati yang siap ditolong secara vertikal, itu tidak bisa dihidupi. Sekali lagi, orang yang terus menolong dan dia tidak mau ditolong, kalau konseling orang dia ok, kalau mendoakan orang ok, tetapi kalau dia sendiri tidak pernah share dan tidak berani share kesulitan hidupnya kepada orang lain dan how to share kepada Tuhan? Dan dia katakan, oh masih bisa kok, kalau ada kasulitan saya masih share kepada Tuhan, tetapi kepada horizontal saya tidak mau share sama sekali, nanti ketahuan dong kartu mati saya, lebih baik orang lain yang share kepada saya, saya pegang kartu orang itu. Seperti itu kan lebih bagus, tahu kelamahan orang lain, dari pada kelemahan saya diketahui orang lain, hal seperti ini tidak liveable, itu kemunafikan.
Kenapa sih Yesus menyebut kelompok orang-orang miskin, cacat, lumpuh dan buta ini? Karena bergantung, rendah hati, mengharapkan belas kasihan dari yang di luar, tahu bahwa tidak ada kekuatan dari diri sendiri untuk menolong diri sendiri, orang yang betul-betul dekat sekali dengan spirit gospel, spirit injil. Orang-orang seperti ini indeed adalah orang-orang yang memiliki Kerajaan Allah, dekat sekali dengan Kerajaan Allah, karena mereka sudah dipersiapkan hatinya, receptive, mudah menerima, bukan seperti orang-orang yang kuat itu, yang sulit sekali untuk menerima. Memang kekristenan seringkali di cap sebagai satu agama orang-orang lemah, saya pikir ada benar-nya juga sih kalimat itu, memang kita agak sedikit terganggu dengan kalimat itu, makanya kita mau berusaha membuktikan kalau pendapat itu ngawur, memang kamu tidak lihat bahwa orang kristen yang paling pintar, orang yang kristen yang paling sukses di dalam bisnis dst. Saya pikir kalau kita berusaha membuktikan diri seperti itu, malah bisa jauh dari alkitab, karena alkitab justru sepertinya menggambarkan orang-orang miskin, buta, cacat dan lumpuh, memang kita tidak perlu betul-betul cacat, literally cacat, lumpuh atau buta, tidak seperti itu. Tetapi maksudnya adalah spirit-nya seperti orang-orang ini, orang-orang cacat kan tidak bisa jalan sendiri, masih perlu orang lain yang mendorong dan tuntun dsb., itu orang-orang cacat.
Yesus mengajarkan undanglah orang-orang seperti ini, yang tidak pernah bisa membalas, dengan demikian pemberianmu itu betul-betul sampai kepada kekekalan, karena orang ini tidak mungkin pernah bisa membalas dan kamu juga tidak mungkin bisa punya pengharapan bahwa orang-orang ini harus membalas, kecuali kamu sinting. Orang cacat, lumpuh, miskin kok disuruh membalas, bagaimana caranya? Mereka tidak mungkin punya resources untuk itu, mereka tidak punya kemampuan, waktu kita memberi, mengundang mereka ya sudah itu harus gone, itu akan hilang, itu investasi habis dan karena itu kita akan belajar untuk memberi secara tulus, dan juga tidak dikenang di ruang tamu kita, karena memang tulus memberi.
Bagian ini menjadi satu bagian yang mengantar kita kepada satu sikap hospitality yang sejati, dalam bahasa aslinya hospitality itu bisa kita terjemahkan menjadi kasih kepada orang asing, love of stranger, itu namanya hospitality. Istilah hospitality, kita membuka rumah untuk orang lain, mengundang orang, menjamu orang, sebenarnya bahasa aslinya artinya adalah kita sanggup untuk mengasihi orang yang asing. Tetapi hospitality di dalam dunia kita, bilangnya hospitality, bilangnya keramah-tamahan, tetapi intinya hanya mengundang orang-orang yang dia sudah kenal, orang-orang yang dia comfort, yang dia enak kalau ngobrol dengan dia, itu bukan stranger. Manusia itu pada dasarnya mencintai dirinya sendiri, waktu menolong orang lain pun sebetulnya bukan sedang menolong orang lain, tetapi sedang save muka dia sendiri. Memang semua urusannya balik kepada diri, true hospitality bukan seperti ini. True hospitality itu artinya saya berhubungan dengan others, istilah others di dalam bahasa Inggris, kalau kita merenungkan ini bisa menarik, ada perbedaan di dalam cara bahasa Indonesia mengungkapkan dengan bahasa Inggris. Kalau bahasa Inggris mengungkapkan kata “I” lalu “the other”, kalau kita bilang, “saya” lalu, kita tidak bilang “yang lain”, tetapi “sesama”, wah bagus sekali bahasa Indonesia.
“Saya, ini sesama saya”, maksudnya adalah yang lain itu sama, yang lain itu adalah sesama saya, tetapi orang Barat lebih concious waktu memakai istilah other, kenapa? Maksudnya other itu bukan I, orang Barat itu concious dengan kecenderungan self center, makanya mereka memakai istilah other. Other itu mau mengatakan apa? Orang lain itu ya yang lain, yang bukan kamu, yang bukan bagian dirimu, yang tidak seperti kamu, dia simply lain dan karena dia lain, dia adalah sesamamu, begitu kira-kira. Disebut sebagai yang lain, kenapa? Karena waktu kita bersekutu dengan orang, seringkali kita tidak memperlakukan dia sebagai yang lain, kita bahkan terganggu dengan perbedaan. Kalau orang lain punya pendapat lain, kalau orang lain punya view lain, sepertinya mengganggu eksistensi saya, kita paling senang kalau orang lain mirip dengan kita, kita paling senang kalau kita bicara lalu orang lain berkata, iya ya, dia betul dan kita senang sekali. Seperti melihat bayang-bayang diri sendri di dalam diri orang lain, ya manusia memang begitu, memang narsis.
Kalau begitu tidak ada perjumpaan dong dengan yang lain, yang lain itu lain, namanya saja lain, ya memang lain, cara berikir lain, mungkin juga imannya lain, agamanya lain, kepercayaannya lain, hospitality itu sampai kepada jangkauan mengasihi yang lain itu. Nah orang-orang seperti yang cacat, lumpuh, miskin dsb., ini kan benar-benar lain, yang mengundang kan tidak buta, tidak cacat, tidak lumpuh, tidak miskin, tetapi kemudian mengundang orang-orang seperti ini, intinya adalah mengundang yang lain. Sekali lagi, kita bukan masuk ke dalam spiritualitas literally, meskipun ada, saya percaya ada tempatnya juga untuk betul-betul mempraktekkan secara literally betul-betul. Tetapi alkitab membicarakan lebih dari pada sekedar pemahamana literally, sebagai contoh, ada praktek di dalam spiritualitas kristen yang membasuh kaki, Yesus kan pernah membasuh kaki murid-muridNya, kadang-kadang dalam acara retreat yang diadakan oleh kristen dalam denominasi yang lain, kadang mempraktekkan hal itu yaitu membasuh kaki secara literally, ya mungkin ada tempatnya. Sebetulnya inti dari membasuh kaki itu adalah kita saling melayani satu dengan yang lain, saling merendahkan diri dst., bukan sekedar literally membasuh kakinya.
Sama dalam bagian ini, ya mungkin boleh ada waktunya juga kita lalu mengundang orang miskin, cacat, lumpuh dsb., tetapi yang mau dibicarakan Yesus di sini adalah mengundang orang-orang yang lain, betul-betul total stranger di dalam kehidupan kita. Orang-orang yang kalau kita bicara cenderung tidak nyambung dari pada nyambung-nya, kalau saya bercanda dia tidak tertawa, kalau dia bercanda saya gantian tidak tertawa, bagaimana saya bisa ngobrol dengan orang seperti ini, satu meja dengan orang seperti ini? Total stranger, yang saya tidak mengerti pikiran dia dan dia juga tidak mengerti pikiran saya, that is true hospitality, itu yang disebut dengan hospitality. Bukan bergaul, bukan semeja dengan orang-orang yang memang kita senang, bukan dengan orang yang seperti ini, tetapi dengan orang yang membuat kita jadi menyangkal diri, dengan orang yang membuat kita jadi menerima mereka apa adanya, recognise mereka sebagai yang berbeda itu sebagai sesama. Lalu bersekutu dengan orang-orang seperti itu, belajar untuk makan sama-sama dll.
Filosofi makan bersama di dalam alkitab adalah table fellowship, saya menjadi semeja dengan dia, kenapa? Karena orang pada saat itu kan hidup di dalam strata sosial yang ada kelas-kelas, yang jenderal tidak mungkin semeja dengan orang yang bukan jenderal, jenderal harus makan semeja dengan jenderal, itu biasa di kultur Romawi. Lalu orang miskin, buta, lumpuh bagaimana? Silahkan mereka makan juga, mereka makan di bawah bersama dengan orang buta, lumpuh dan orang miskin yang lain, mereka ada persekutuannya sendiri, persekutuan orang-orang buta,miskin dan lumpuh, yang tidak perlu meja. Lalu Yesus hadir mendobrak konsep seperti ini, Yesus memberi makan lima ribu orang, menghadirkan persekutuan semeja, ini berbicara tentang table fellowship. Ini berbicara tentang penerimaan, bagaimana orang bisa hidup merelativisasi tingkat-tingkat sosial, memang sebetulmnya akan tetap ada sih, tidak bisa dipungkiri, certain orang memang lebih kaya daripada orang yang lain, itu fakta either kita setuju atau tidak setuju, tetapi ini direlativisasi.
Makan pada intinya adalah saya melakukan tindakan acceptance pada orang yang berbeda. Kalau kita hanya makan dengan orang yang sama lagi, apalagi makan cuma supaya dapat koneksi lebih baik dengan orang-orang itu and then for saya harus menjamu makan. Ya kita tidak ada bedanya dengan orang-orang kafir, karena orang kafir juga melakukan itu, mereka hanya ada table fellowship bersama dengan orang sekelompok mereka sendiri, tidak ada table fellowship dengan orang lain, dengan kelompok sosial yang lain. Minggu lalu kita mengadakan perjamuan kudus, relativisasi, kita semeja, makan bersama-sama, diundang oleh Tuhan.
Perikop 15-24, kita percaya ada kaitan dengan perikop ini karena ada motif yang masih dipertahankan yaitu motif banquet, motif perjamuan, kan sebelumnya berbicara tentang diundang ke perjamuan, di sini juga masih berbicara tentang perjamuan. Menarik, Lukas waktu mencatat bagian ini secara flow dia menggambarkan ada satu orang dari tamu-tamu itu yang kemudian berkata kepada Yesus, wah berbahagia sekali orang yang dijamu di dalam Kerajaan Allah. Satu kalimat yang begitu confidence, yang merasa wah.. pasti diberkati orang-orang yang bisa berbagian di dalam Kerajaan Allah, mungkin secara tidak sadar sedang mengatakan, saya pasti punya seat yang sudah di reserve untuk saya di dalam perjamuan kekal itu.
Lalu Yesus memberikan kepada tamu-tamu yang ada di sana, termasuk orang yang berkata ini, satu cerita lagi untuk merelativisasi kecongkakan seperti ini. Orang-orang Yahudi sangat yakin dengan keselamatan mereka, karena mereka adalah bangsa pilihan, sangat yakin bahwa mereka adalah orang-orang elitnya, orang-orang pentingnya, orang pertama yang akan dijamu oleh Allah, berbahagialah orang yang dijamu di dalam Kerajaan Allah. Kalimat “tetapi” itu penting, ayat 16 “tetapi”, berarti itu sedang me-refute ayat 15, berarti ini konsepnya bukan konsep yang positif, kalau konsepnya positif, Yesus tidak akan katakan “tetapi”, “tetapi” itu adalah reputasi terhadap kalimat simpel yang mungkin secara content kita tidak melihat apa sih yang salah di sini? Dia hanya katakan, berbahagialah orang yang dijamu di dalam Kerajaan Allah, nothing wrong, ya kan? Yesus membaca sampai ke dalam kedalaman hati seseorang, bukan hanya content-nya, content-nya sih bisa betul, spirit-nya yang salah.
Maka Yesus mengajarkan satu cerita yang lain lagi tentang orang-orang yang sebetulnya memang betul, mereka adalah kelompok orang-orang yang diundang, bahkan mereka adalah kelompok pertama yang diundang. Di dalam kebiasaan pada saat itu juga biasa untuk mengundang orang in advance seperti ini, termasuk sampai pada zaman kita saat ini, kita kan somehow tersinggung kalau diundang baru terakhir-terakhir, karena tidak diundang in advance. Nah kultur seperti in tidak jauh berbeda, dulu juga sudah begini, jadi memang diundang, social custom, orang diundang in advance, diundang ke satu perjamuan. Mereka kelihatan seperti menerima pada awalnya, sudah bilang ya, tetapi kemudian seperti ada perubahan situasi, sehingga akhirnya mereka cancel, sudah bilang ya mau datang, tetapi kemudian tidak bisa datang.
Alasannya coba kita perhatikan di sini, alasannya betul-betul alasan yang cukup memadai, bukan alasan yang sembarangan, bukan berkata karena macet, alarm tidak bunyi, bukan, ini alasan yang sangat masuk akal kalau kita baca. Misalnya dalam bagian ini dia minta dimaafkan karena dia baru menikah dan alasan yang lain yang sangat masuk akal, tetapi Tuhan tetap mengharapkan prioritas untuk diundang berbagian di dalam perjamuan kekal ini. Kalau kita berbicara prioritas, prioritas kita seringkali keliru kan ya? Ada satu kalimat yang indah dari satu komentri, tawaran yang diberikan Tuhan itu punya prioritas bukan hanya dibandingkan dengan agenda-agenda kita yang jelek, tapi agenda dan jadwal-jadwal kita yang terbaik. Kalau kita hanya memprioritaskan Tuhan atas agenda-agenda buruk kita, Tuhan belum menjadi Tuhan di dalam kehidupan kita, ya memang buruk kok agendanya dibandingkan dengan apa? Tuhan selalu menang, tetapi menangnya hanya terhadap agenda-agenda yang memang kurang baik, yang tidak terlalu menarik untuk dihadiri anyway, tetapi Tuhan seharusnya mempunyai prioritas untuk agenda-agenda kita yang terbaik, bukan agenda-agenda kita yang buruk.
Agenda-agenda yang terbaik itu apa? Ya ini, yang disebut di sini, membeli ladang, baru memiliki lima pasang lembu kebiri, ini modal, baru menikah urusan family matters very urgent bagian ini, tetapi Tuhan punya prioritas atas semua itu, baru kita adalah orang-orang yang mengerti apa artinya hidup di dalam Kerajaan Allah. Kita bukan memberikan sisa-sisa kepada Tuhan, ya memang kita sendiri juga tidak tertarik untuk melakukan, lalu terus diberikan kepada Tuhan, bukan, tetapi Tuhan berhak untuk mendapatkan prime time kita, Tuhan berhak untuk mendapatkan kesehatan kita yang terbaik, bukan waktu sakit lalu dekat kepada Tuhan, bukan. Tuhan berhak mendapatkan masa muda kita, bukan masa tua kita, Tuhan berhak mendapatkan semua yang terbaik yang kita bisa berikan kepada Tuhan, our best agenda bukan agenda-agenda yang buruk.
Di dalam cerita ini, waktu orang-orang undangan itu tidak datang, sebetulnya kemudian waktu digantikan dengan orang-orang undangan yang lain tidak ada sesuatu yang luar biasa terjadi di sini, itu juga common terjadi di dalam social custom pada saat itu, kalau ada undangan-undangan tidak datang, ya orang-orang lain disuruh masuk. Tapi yang mengejutkan dalam cerita ini adalah tidak ada orang yang berpikir bahwa yang menggantikan orang-orang elit itu ternyata adalah orang-orang miskin, cacat, buta dan lumpuh, ini tidak sesuai dengan social custom pada saat itu. Hanya Tuhan yang melakukan hal seperti ini, ironinya adalah justru ada orang-orang yang menganggap diri penting, mereka merasa pasti saya sudah di reserve satu tempat duduk hanya untuk saya dan keluarga saya, ternyata adalah orang-orang terluput dari undangan Kerajaan Allah. Orang-orang yang diundang dan akhirnya datang adalah lagi-lagi kelompok miskin, lumpuh dan cacat, orang-orang yang dekat dengan Kerajaan Allah, orang-orang yang receptive, orang-orang yang tahu bersyukur, orang-orang yang mudah terharu dan tersentuh dengan undangan-undangan seperti itu.
Ironis ya, justru orang-orang seperti ini yang paling banyak mengalami kebahagiaan di dalam kehidupannya, karena mereka mudah touch, hatinya itu begitu lembut. Ya orang bisa mendapatkan pemberian yang sama, orang pertama dapat pemberian, tersinggung, masa saya hanya dapat yang seperti ini saja, apakah dia tidak kenal siapa saya? Orang yang lain, waktu dapat pemberian yang sama, dia sangat tergerak, dia bersyukur, dia terharu, kok ada ya orang yang masih mau memberikan kepada saya barang seperti ini, saya kan tidak pantas dapat ini? Pemberian yang sama, persis sama. Siapa sih orang-orang ini, ya orang-orang miskin, cacat, lumpuh dan buta? Orang-orang yang mudah terharu, orang-orang kaya itu sangat susah terharu, sangat susah tergerak, seperti tidak ada yang bisa menyentuh dia, tidak ada. Kenapa? Karena dia merasa bahwa tempatnya sudah terlalu di atas again high view of self, yang membuat seseorang itu sangat tidak peka terhadap kebaikan dan anugerah Tuhan, selalu merasa diri di atas.
Tetapi orang-orang miskin, buta, cacat dan lumpuh ini adalah orang-orang yang mengerti apa artinya injil, apa artinya pengampunan, apa artinya penerimaan Tuhan. Waktu orang-orang kaya diterima, mereka merasa memang layak, pasti harus diterima dan dijamu di dalam Kerajaan Allah, tetapi orang-orang miskin, buta, lumpuh dan cacat kenapa mereka bisa diundang, kok mereka ada di dalam pesta itu juga? Ada sedikit perbedaan dengan Matius, di sini dikatakan, yang diundang itu ada orang jahat, tapi juga ada orang baik, waktu dikatakan di sini orang baik, bukan sedang mengatakan ada orang yang baik dan tidak perlu pengampunan Yesus lagi, bukan itu maksudnya. Memang di dunia ini, terlepas dari orang percaya dan tidak percaya kepada Yesus, ada orang yang lebih baik dari pada orang lain, ada orang yang jahat sekali, ada orang yang baik menurut ukuran dunia, Matius mengatakan, ini berbagai macam orang, ada yang baik ada yang jahat.
Matius memberikan satu pengimbangan yang tidak ada pada injil Lukas, ada satu orang yang waktu masuk, dia tidak memakai pakaian pesta lalu diusir ke luar. Orang yang tidak memakai pakaian pesta itu likely orang miskin, bukan orang kaya, kalau orang kaya pasti tahu, dia akan datang dengan pakaian pesta, orang miskin tidak pakai pakaian pesta lalu diusir, pertanyaannya adalah pakaian pestanya itu apa? Matius memberikan satu pengimbangan yang mungkin tidak hadir di dalam injil Lukas, ini mau mengatakan, jangan karena kamu miskin, jangan karena kamu orang jahat lalu kamu bisa datang begitu saja dengan se-enaknya ke pesta tanpa menggunakan pakaian pesta. Pakaian pestanya adalah banyak komentator mengatakan, itu adalah kebenaran Kristus, tetap perlu datang melalui iman, korban keselamatan yang ada pada Kristus.
Tuhan tidak tertarik semata-mata hanya kepada orang miskin, kita salah mengerti alkitab kalau berkata seperti itu, nanti akan menjadi seperti orang-orang theology of liberation, teologi pembebasan atau teologi liberal yang selalu terus melihat pergerakan orang miskin, seperti sangat prejudice terhadap orang kaya. Pokoknya orang miskin, orang miskin, kenapa? Karena alkitab mengajarkan Allah dekat kepada orang miskin, tidak semua orang miskin, bahkan tidak semua orang miskin rendah hati, tidak semua orang miskin mempunyai keterharuan seperti yang kita sudah singgung, tidak semua orang miskin hatinya receptive. Ada orang miskin yang sudah miskin tetap congkak, ada orang miskin tetap miskin di dalam kebutaannya, kelumpuhannya, dia tetap tidak memberikan orang lain untuk menolong dirinya, tetap sombong. Orang seperti ini tidak akan diundang di dalam pesta perjamuan itu.
Akitab bukan mengatakan, marilah kita ramai-ramai menolong orang miskin lebih dari pada orang kaya, tidak, ini bukan bicara tentang itu, ini bicara tentang satu keadaan hati. Orang miskin bisa abuse pemberian orang lain, kita harus hati-hati di dalam bagian in, harus jujur dan juga harus minta bijaksana dari Tuhan . Ada pemberian yang melumpuhkan orang, ada pemberian yang justru meninabobokan orang, ada pemberian-pemberian, pertolongan-pertolongan yang justru membuat orang akhirnya jadi manja. Jadi ada satu sikap seperti pengemis dan dia menikmati keadaan pengemis tersebut, sengaja menyatakan satu keadaan yang seperti miskin sekali, seperti susah sekali, sehingga gereja selalu kasihan sama dia, sehingga orang-orang kaya selalu memperhatikan dia. Padahal juga bukan tidak cukup, tetapi terus saja memelihara satu keadaan yang memerankan peran korban, peran orang yang harus dilayani terus, bukan orang miskin seperti ini pasti yang dimaksudkan oleh Yesus, bukan.
Di dalam injil disebutkan ada janda miskin, meskipun miskin, dia tidak memainkan peran orang miskin yang terus harus dikasihani, tidak, tetapi dia malah memberi untuk pekerjaan Tuhan, dari kekurangannya dia memberi. Dan dia memberi bukan untuk membuktikan diri, meskipun miskin, saya tidak boleh dihina ya, coba lihat, saya juga memberi, oh.. tidak, kita tidak membaca catatan seperti itu di dalam alkitab. Dia memberi dengan tulus, tetapi yang saya mau katakan adalah orang miskin seperti janda miskin ini, dia tidak memerankan peran korban, dia tidak menjadikan orang supaya semua kasihan kepada dia, tidak. Self pity itu bad spirituality, ada orang yang menghidupi spiritualitas self pity ini, itu adalah orang yang terus menarik kebaikan orang lain, terus mengeruk kebaikan orang lain, orang seperti ini adalah orang yang egois, orang greedy, orang yang serakah, orang yang tidak pernah bertumbuh.
Kembali kepada injil Lukas kita membaca di dalam bagian ini, akhirnya bahkan bukan hanya orang-orang miskin, cacat, buta dan lumpuh, tetapi juga lebih banyak orang lain lagi. Dijalan, dilintasan, ditikungan semuanya diajak untuk masuk, untuk menikmati perjamuan Tuhan, apa makasudnya? Maksudnya adalah Tuhan tidak tergatung kepada kelompok elit yang pertama tadi untuk menjadikan perjamuanNya itu menjadi satu perjamuan yang ramai, yang penuh dengan sorak-sorai, tidak, kalau tidak mau datang, ya sudah, akan ada orang lain yang akan mengisi tempat duduk itu. Maka jangan sombong, jangan pikir kamu pasti punya reserve seat, tempat duduk yang pasti di dalam Kerajaan Allah, tidak, kecuali kamu memiliki hati seperti orang-orang miskin, cacat, buta dan lumpuh. Kiranya Tuhan memberkati kita semua. Amin.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (AS)