Kita sedang membahas satu seri kotbah yang baru, seri “Bagaimana Kita Membaca Alkitab”. Jadi kita bukan cuma membahas bagian Alkitab tersebut isinya apa, tapi juga merenungkan bagaimana membaca Alkitab, kacamata apa yang kita perlu pegang dalam membaca Alkitab. Sebagai ilustrasi, kalau Saudara membeli DVD atau Blu-ray, Saudara mendapat kotak dengan kepingan CD-nya di dalam, dan diundang untuk menonton isinya. Sekarang ibaratkan kita membuka kotak tersebut, di situ bukan cuma ada kepingan CD-nya tapi juga kacamata 3D; ini suatu undangan untuk kita bukan cuma melihat apa isinya, tapi juga melihatnya lewat satu perspektif yang tertentu, yang mungkin baru, dan mungkin juga tidak. Intinya, coba kita melihat seri kotbah ini seperti demikian.
Kita sudah mendiskusikan alasannya perlu memperluas cara kita membaca Alkitab, tidak bisa cuma pakai metode analisa-praktika, karena Alkitab itu sangat limpah. Alkitab bukan satu buku yang sama dari depan sampai belakang, melainkan sebuah perpustakaan dengan berbagai jenis tulisan berbeda. Saudara tidak bisa membaca tulisan jenis cerita seperti membaca koran, membaca puisi seperti membaca buku sejarah, dan seterusnya. Itu sebabnya kita perlu memperluas cara membaca Alkitab.
Hari ini saya ingin membawakan satu pengertian, bahwa Alkitab memiliki satu keunikan dalam caranya memberikan kepada kita isinya, terutama dalam hal cerita, yaitu bahwa Alkitab diberikan untuk direnungkan. Kita akan mencoba melihat hal ini terus-menerus; sementara cerita-cerita yang kita terima hari ini lewat media-media zaman kita, biasanya menceritakan dengan detail. Cerita-cerita dalam buku, dan khususnya film, Saudara dikasih tahu banyak sekali detail ceritanya; tokohnya seperti apa, dia dari mana, mereka bertindak apa, motivasi mereka di balik tindakan tersebut apa. Sedangkan cerita-cerita di Alkitab, Saudara bukan diberikan banyak detail, tapi justru banyak detail yang dilewatkan, banyak detail yang bolong. Dan ini membuat kita bingung waktu membaca Alkitab.
Misalnya Saudara baca Kejadian 3, apa yang Saudara langsung pikirkan? Saudara berpikir, ini buah apa, sih, persisnya? –dan tidak dikasih tahu. Taman Eden itu di mana, sih, persisnya? –tidak dikasih tahu. Ini ular jenis apa, sih, persisnya? –tidak dikasih tahu. Dalam cerita-cerita Alkitab kita ingin mendapatkan detail yang biasa kita dapatkan dalam cerita-cerita hari ini, dan kita tidak mendapatkannya. Dan itu membuat kita bingung.
Mengapa kita ingin mendapatkan banyak detail dalam cerita-cerita? Tentu ada alasan yang valid, kalau kita tidak mendapatkan detail, nanti kita salah mengerti; kalau cerita tersebut tidak banyak detailnya, orang bisa tafsir macam-macam. Dan itulah yang terjadi pada Alkitab. Itu sebabnya Alkitab ini buku yang membingungkan. Tetapi hari ini saya ingin mengusulkan, bagaimana jika kurangnya detail dalam Alkitab, bolongnya detail dalam Akitab, justru adalah sesuatu yang membawa kita kepada penafsiran yang benar. Mengapa bisa begitu?
Satu contoh: di Kejadian 3 ada janji mengenai seseorang yang identitasnya tidak jelas dari mana, seorang keturunan perempuan itu, yang akan menginjak ular namun dirinya sendiri akan kena gigit, dsb. Dalam hal ini, kalau Saudara pembaca pertama, Saudara akan langsung tanya: “ini siapa, sih?”, ini siapa persisnya, kapan dia keluar, keturunan berikutnya yang langsung dari Hawa atau keturunan yang masih lama, maksudnya apa, dsb. Itu semua tidak dikasih tahu di Kejadian 3. Tetapi, dengan kita mendapatkan detail yang ambigu ini, yang tidak jelas apa/siapa maksudnya, maka dalam cerita-cerita berikutnya Saudara melihat banyak sekali cerita di Alkitab tentang silsilah. Silsilah bicara tentang keturunan. Lalu, karena di Kejadian 3 tadi disebutkan tentang satu keturunan yang membingungkan, yang tidak jelas siapa, yang ambigu, maka ketika Saudara di bagian-bagian berikutnya menemukan silsilah, itu akan membuat kuping Saudara langsung naik ‘ini bicara keturunan, ada silsilah, ada kaitannya tidak, ya?’ Jadi, bolongnya detail malah membuat kita diarahkan kepada satu arah tertentu. “O, itu sebabnya di Alkitab banyak banget silsilah, saya pikir itu ‘gak penting semua, ternyata ada maksudnya di balik itu”. Mengapa Saudara sekarang berpikir begitu? Justru karena ceritanya bolong detail.
Inilah sebabnya ideal seorang pembaca Alkitab, sebagaimana dikatakan Mazmur 1, adalah mereka yang merenungkan Firman Tuhan siang dan malam. Kata asli dari ‘merenungkan’ berarti meditating. Dalam hal ini, bagus sekali dalam bahasa Indonesia diterjemahkan ‘merenungkan’; kalau diterjemahkan ‘meditasi/bertapa’, kita bisa salah mengerti karena ‘bertapa’ pada hari ini berarti mengosongkan pikiran, sedangkan ‘meditating’ dalam Alkitab berarti mengisi pikiran, hanya saja mengisinya bukan dengan pikiran kita sendiri melainkan pikiran dari Alkitab. Intinya, yang ingin kita ekplorasi pada hari ini adalah bagaimana Alkitab mungkin kuasanya datang lewat metode seperti ini, bagaimana Alkitab perlu dibaca bukan cuma isinya tapi juga diterima dengan kacamata yang tertentu –yang Alkitab sediakan di dalam kotak DVD-nya. Inilah yang kita sebut bermeditasi di hadapan Tuhan. Demikian introduksinya.
Dalam setiap budaya, di setiap zaman, ada bentuk-bentuk dan kebiasaan-kebiasaan bercerita yang khas budaya/zaman tersebut. Dalam zaman kita, waktu nonton film-film Holywood hari ini, Saudara bisa langsung tahu ini film action, ini film romantis, ini film komedi, dst. Bagaimana Saudara bisa tahu? Karena kita sudah terbiasa dengan pola-pola penceritaan/storytelling zaman kita. Ini berarti, dalam ribuan tahun sejarah manusia ada berbagai macam pola; dan kadang kita tidak sadar bahwa pola yang kita ketahui hari ini, tidak bisa sembarangan kita pakai untuk membaca cerita-cerita dari zaman sebelumnya atau dari budaya-budaya yang berbeda. Kalau Saudara nonton drama Shakespeare, Saudara rasa agak berat, tidak langsung bisa menangkap; mengapa? Karena tradisi storytelling-nya berbeda, pola-pola storytelling-nya berbeda. Demikian juga Alkitab. Shakespeare cuma beda 500 tahun dengan kita; sementara Alkitab datang dari prosesnya yang ribuan tahun, dari kultur yang berbeda, bahkan dari belahan dunia lain, dsb., dsb., maka kita perlu mengerti pola/kacamata yang dipakai waktu menulis Alkitab kalau kita mau mengerti Alkitab dengan benar. Kita tidak bisa memaksakan kacamata kita hari ini kepada Alkitab.
Sejauh ini Saudara pasti setuju; lalu paradigma/kacamata apa yang seringkali kita paksakan dalam membaca Alkitab, yang mungkin tidak sesuai? Metode analitis-praktis. Kita merasa sukses membaca Alkitab ketika pembacaan kita berakhir dengan pengertian. Itu sebabnya kita mencari-cari ayat-ayat yang berbicara kepada kita, atau mencari sesuatu yang bisa kita keluarkan sebagai suatu aplikasi dan kita perlu menaatinya. Waktu kita pakai cara-cara seperti ini, akhirnya –dalam pengalaman kita– kita bentur dengan Alkitab. Hampir semua kita mengalami bahwa Alkitab tampaknya begitu susah dimengerti, kayaknya ‘gak sukses-sukses baca Alkitab, setiap habis baca Alkitab malah lebih banyak bingungnya daripada mengertinya. Mengapa ini terjadi? Sekali lagi, karena Alkitab itu banyak bolong detail. Ada banyak gap antara kita dan Alkitab, dan akhirnya membuat kita frustrasi, membuat kita merasa jadi orang Kristen koq bego banget, ‘gak ngerti Alkitab mau dibuat apa, dst. Lalu ketika Pdt. Stephen Tong berkotbah, sepertinya Alkitab koq jadi masuk akal, akhirnya senang dengar dia berkotbah tapi tidak membaca Alkitab sendiri, alasannya kalau baca sendiri tidak mengerti.
Mengapa bisa seperti itu? Karena dasar asumsi kita waktu datang kepada Alkitab yaitu kita ingin Alkitab membentuk diri kita, kita ingin Alkitab berkuasa atas diri kita –dan itu tidak salah. Yang salah adalah kita salah mengerti bagaimana caranya Alkitab membentuk kita –dan cara tersebut lain sama sekali dari cara-cara yang kita terbiasa. Satu fitur kunci cara Alkitab datang kepada kita adalah justru dengan tidak adanya detail-detail yang banyak, tidak adanya kejelasan yang kita biasa harapkan ada, sebagai pembaca modern. Saudara bisa bandingkan hal ini dengan literatur modern. Tolkien, yang menulis “The Lord of The Rings”, dia menulisnya super detail. Dia menulis bukan langsung ‘Lalu Frodo pergi ke Mount Doom’, tapi dia cerita lebih dahulu mengenai para hobbit, bagaimana gaya hidupnya, mereka bangun jam berapa, makan jam berapa, dsb. –sangat detail– sehingga waktu Saudara masuk ke dalam ceritanya Frodo, Saudara sudah tahu dia kira-kira hidup seperti apa. Dan bukan cuma literatur, film juga sama. Dalam film, Saudara bukan cuma mendengar yang mereka katakan, tapi juga melihat muka mereka, gerakan mereka.
Lebih lagi, hari ini waktu kita bercerita, kita ingin memasukkan detail-detail yang sebenarnya tidak perlu ada, hanya sekedar untuk membangun atmosfer. Satu contoh, apa kunci cara berkotbah kepada anak Sekolah Minggu supaya mereka tertarik? Detail. ‘Anto suatu hari pergi ke sekolah’ –tidak menarik.
Bandingkan dengan ini: ‘Suatu sore yang puanasss… Anto keringetan. Dia pergi dengan lelah, sandalnya copot sebelah. Sandalnya merek Swallow …’ –anak-anak langsung tertarik, dan kita juga. Kita ingin ada detail-detail yang tidak penting pun tidak apa, tapi tetap penting karena detail itu membangun atmosfer. Bukan cuma detail orang tersebut kayak apa mukanya, dsb., bahkan motivasi di belakangnya pun sangat sering muncul dalam film-film dan literatur zaman sekarang; bahkan bukan cuma tentang jagoannya tapi juga tentang penjahatnya. Thanos dalam Avenger bukan cuma tertawa kayak setan “Hua..ha..ha..ha.. aku jahat”, tapi Saudara dikasih tahu latar belakangnya dia bisa jadi seperti itu, alasannya dia hapus 50% dari semua mahkluk hidup –yang bahkan bisa dibilang ada logikanya juga. Saudara tentu juga pernah melihat novel yang dijadikan film, lalu karakter tokoh dalam filmnya diprotes pembaca, karena tampang aktornya tidak sama persis dengan deskripsi dalam novelnya. Itu semua adalah detail. Kita sangat terbiasa dengan itu; dan kita tidak pernah menemukan itu di Alkitab. Dalam Alkitab, hampir tidak pernah kita tahu sosok orangnya seperti apa, apalagi motivasinya –Daud satu perkecualian dalam hal ini.
Hari ini kita coba melihat dalam satu studi kasus, dari Kejadian 4 mengenai Kain dan Habel, dan kita akan lihat bagaimana Alkitab menuliskan kisah ini. Saya harap, yang bisa kita pelajari bukan cuma mengerti apa isinya, tapi bagaimana bagian ini menjelaskan kepada kita cara membaca Alkitab.
KEJADIAN 4: 1-16, KAIN DAN HABEL
Cerita ini cuma 16 ayat, sangat singkat, bahkan inti ceritanya hanya 12 kalimat, tapi kita bisa membongkarnya berjam-jam. Hari ini kita akan membahas paruh pertamanya, dan lain kali kita bahas paruh keduanya.
Kita melihat di sini Adam dan Hawa punya anak; dan kita mendapat detailnya, yaitu anaknya dua, namanya siapa, pekerjaannya apa. Karena Alkitab jarang memberikan detail, efek apa yang Saudara langsung dapatkan di sini? Sekali lagi, coba Saudara baca Alkitab dengan mengasumsikan bahwa tidak adanya detail yang banyak, adalah sesuatu yang disengaja oleh penulis Alkitab, satu cara yang justru mau diberikan kepada kita sebagai kacamata. Jadi, kalau Saudara jarang mendapatkan detail, lalu tiba-tiba mendapat detail seperti di bagian ini, tentu Saudara langsung menangkap nuansa bahwa ini detail yang penting, tidak boleh dilewati. Dan memang betul, karena sisa ceritanya –konflik dalam cerita ini– sangat bergantung pada 2 hal tadi, yaitu pada pekerjaan mereka.
Dikatakan Kain mempersembahkan korban hasil pertanian –karena dia memang petani—dan Habel membawa korban binatang –karena dia memang peternak. Lalu ayat 5 memberitahu kita bahwa Allah tidak mengindahkan persembahan Kain; bahasa aslinya ‘Allah tidak memandang korban persembahan Kain’. Di sini mulailah Alkitab bikin frustrasi; waktu sampai bagian ini, kita akan langsung bertanya ‘kenapa? ada alasan apa di balik itu?’
Di sini saya ingin mengajak Saudara menyadari satu hal, bahwa Alkitab tidak memberikan detail ini, detail yang seharusnya sangat penting. Kita juga tidak mendapat detail-detail lainnya, misalnya apa maksudnya Kain memberikan sebagian hasil tanah, kenapa dia memberikan sebagian? Tidak dikasih tahu. Apakah ini sebagian kecil atau sebagian besar? Tidak dikasih tahu. Ini sebagian yang jelek atau sebagian yang bagus? Tidak dikasih tahu. Dikatakan Habel memberi persembahan ternaknya yang sulung, bagian lemak-lemaknya, tapi kita tidak mendapat detail. Kenapa yang sulung, bukan yang bungsu? Kenapa bagian lemak, bukan otak? Apakah Habel memang tahu memberikan bagian yang Tuhan memang mau? Ataukah Habel cuma kebetulan? Kita tidak mendapat jawabannya.
Saya terutama ingin Saudara melihat hal ini, bahwa banyak sekali detail yang hilang dalam bagian ini; lalu setelah melihat banyak bolong-bolong ini, Saudara mulai menyadari Alkitab memang ditulis dengan gaya seperti ini. Alkitab sering sekali tidak kasih detail, gaya penulisan singkat yang sangat jarang memberi detail. Masalahnya, Saudara melihat Alkitab bukan menyingkat –yaitu membuang detail-detail yang tidak perlu—tapi Alkitab membuang detail-detail yang justru paling penting! Koq bisa kayak begini?? Ini sering sekali terjadi dalam Alkitab. Saudara tahu hal ini, ketika ada kisah yang banyak orang melihatnya dan kemudian punya tafsiran yang sangat berbeda-beda. Mengapa demikian? Karena mereka merasa harus mengisi bolong-bolong detailnya dengan tafsiran mereka, dan akhirnya tafsiran mereka masing-masing berbenturan satu sama lain.
Dalam kasus cerita Kain dan Habel, begitu banyak orang menafsir apa kira-kira alasannya Allah tidak memandang persembahan Kain –karena tidak ada detailnya. Misalnya, ada yang menafsir bahwa ini karena lanjutan ceritanya menyatakan korban binatanglah yang lebih prominent, dan itu mengarah kepada Yesus sebagai Domba Allah yang dikorbankan. Lalu orang lain menyanggah, “tidak bisa!”, karena di Imamat jelas-jelas ada bagian yang membahas persembahan korban hasil pertanian; lagipula Kain itu petani, jadi Tuhan tidak fair banget kalau petani harus pinjam domba dulu baru bisa mempersembahkan! Selanjutnya ada orang ketiga muncul dengan tafsiran lain lagi, dst., dst.
Di sini saya ingin kita berhenti sebentar; sadar atau tidak sadar, kita merasa kurangnya detail dalam kisah-kisah Alkitab sebagai sesuatu yang negatif, yang ‘harusnya ‘gak begini’. Untuk kita yang sudah sangat terbiasa dengan cerita-cerita zaman sekarang yang penuh dengan detail, bagian-bagian ambigu seperti ini membuat kita greget. Tapi yang ingin saya usulkan hari ini, bagaimana jikalau hal tersebut adalah sesuatu yang memang disengaja? Yang disengaja oleh penulis Alkitab, bukan hanya ketika mereka menaruh detail tertentu, tapi juga ketika mereka menutupi detail yang lain. Kalau kita mencoba memakai kacamata seperti ini, kita akan mendapatkan sesuatu yang luar biasa dari Alkitab.
Mungkinkah menciptakan ambiguitas seperti ini merupakan sesuatu yang disengaja? Pastinya satu hal yang kita bisa lihat, yaitu apa efeknya ketika ada ambiguitas dalam suatu cerita. Yang barusan terjadi, ketika Saudara bertemu dengan ambiguitas cerita bagian ini, Saudara jadi dipaksa untuk berpikir, untuk merenung. Para penulis Alkitab sengaja menciptakan kebingungan untuk membuat pembacanya lebih engaged, bahkan berpartisipasi dalam proses membacanya –dan kita seringkali tidak menempatkan Alkitab setinggi ini.
Satu contoh yang bagus dalam hal ini, yaitu tentang 2 jenis guru. Guru yang pertama bilang kepada muridnya: “Saya mau kamu tahu ini: a. ini –catat, b. ini –catat, c. ini –catat.” Guru tipe yang kedua seperti ini: ‘saya mau murid saya belajar hal ini, saya bisa saja kasih tahu tapi saya tidak mau langsung kasih tahu, saya mau dia mengalami hal itu; jadi saya akan bikin tantangan-tantangan, halangan-halangan, untuk dia alami, sehingga setelah melewati semua itu dia tahu hal yang saya mau dia ketahui’. Dalam film “Karate Kid”, si anak yang belajar karate itu disuruh memaku, disuruh bawa ini dan itu, dsb., lalu si anak ngomel-ngomel, ini apa sih, bikin bingung, gua ‘gak ngerti, banyak detail yang bolong; lalu kalau dia tanya, “Guru, kenapa begini?” dijawab, “Pokoknya kerjakan.” Setelah beberapa bulan mengerjakan itu, ternyata dia benar-benar mendapatkan dasar-dasar yang diperlukan untuk jadi seorang karateka –kekuatan otot, gerakan cepat, stamina, dsb. Jadi, bagaimana jika Alkitab seperti itu? Pernahkah kita menyadari, bahkan melihat, Alkitab seperti ini? Atau, setiap kali Alkitab memberikan kepada kita tantangan, halangan, kebingungan, dsb., kita langsung shut down Alkitab sebagai sesuatu yang pasti negatif?? Ini satu hal yang perlu kita perhatikan.
Detail yang dibuang dalam cerita bagian ini, adalah detail yang tidak sembarangan. Kalau detail soal Kain pakai sandal merek apa, kita juga tidak mau tahu, tapi ini detail yang amat sangat penting, detail yang paling krusial, yaitu kenapa Tuhan tidak memandang persembahannya Kain. Dan, kalau detail yang paling penting ini hilang, harusnya –kalau kita memandang Alkitab tinggi—kita akan langsung melihat ‘kayaknya ini disengaja deh, kayaknya ada maksudnya deh, di balik semua ini’. Problemnya, seringkali asumsi yang kita bawa terhadap Alkitab adalah Alkitab kurang lengkap! Kita perlu belajar untuk berasumsi lain, untuk berpikir ‘ada sesuatu di sini yang disengaja; penulisnya sepertinya bertujuan supaya saya berhenti sejenak untuk bergumul dengan bagian ini’.
Efek waktu kita melihat ambiguitas, kita jadi berhenti, slow down, bergumul dulu dengan bagian itu. Efek yang lain, kita jadi bersimpati dengan Kain. Dengan Saudara tidak diberitahu alasannya Tuhan menolak memandang persembahan Kain, Saudara benar-benar masuk ke dalam sepatunya Kain. Yang Saudara rasakan ketika membaca kisah itu, adalah yang juga yang Kain rasakan! Bukankah ini jenius sekali, karena dengan adanya ambiguitas tersebut, membuat Saudara berpartisipasi dalam ceritanya, karena siapalah di antara kita yang tidak ada pengalaman seperti itu?? Kita percaya kepada Tuhan, kita melakukan yang Tuhan suruh lakukan, lalu entah bagaimana Tuhan sepertinya tidak berespons! Tuhan sepertinya tidak memandang kita –dan kita tidak tahu kenapa?? Kita bertanya-tanya, ‘kenapa ini terjadi kepada saya, kenapa itu terjadi kepada saya, apa yang saya lakukan yang salah di hadapan Tuhan??’ Kebingungan itulah yang penulis ingin Saudara keluarkan. Kebingungan itulah yang penulis sedang undang untuk Saudara masuki.
Ini berbeda sekali jika seandainya Saudara dikasih detail, “jadi begini begitu lho, alasannya Tuhan menolak persembahannya Kain”, apa yang akan terjadi? Saudara akan langsung merasa ‘yah, itu ‘kan Kain; Kain kayak gitu, kita tidak boleh jadi seperti Kain’ –dan banyak orang ketika membaca cerita Kain dan Habel, dia menempatkan dirinya pada Habel. Tapi, dengan menempatkan ambiguitas seperti bagian ini, kita jadi bersimpati kepada Kain, kita juga pernah melakukan seperti itu. Dengan tidak memberikan kita detail, dengan membuat kita bingung, penulis justru mencapai tujuannya, yaitu membuat kita masuk lebih dalam ke cerita ini. Bukan cuma masuk dengan otak, tapi dengan emosi kita, dengan kegalauan kita, dengan seluruh diri kita. Dengan kata lain –saya pakai istilah ini secara positif– Alkitab membuat kita baper; dan itu yang seringkali kita tidak mau Alkitab lakukan. Tapi inilah Alkitab!
Jadi, ambiguitas yang disengaja tadi, efeknya adalah memberi ruang bagi pembaca untuk berpartisipasi, bahkan berkolaborasi dengan penulis, dalam merealisasikan kisah ini. Dan, inilah yang membuat kisah tersebut jadi super kaya dan limpah, karena setiap pembaca yang datang akan merenungkan kisah-kisah ini lewat kacamata kehidupan mereka, yang juga dimasukkan. Di satu sisi, mereka mendapat kacamata dari penulis; di sisi lain, mereka membawa kisah-kisah dari hidup mereka sendiri. Inilah yang menyebabkan Alkitab jadi Firman yang hidup; karena setiap kali Saudara datang, dan datang, dan datang lagi kepada kisah yang sama, Saudara hampir tidak bisa membacanya secara statis. Saudara sudah punya situasi hidup yang berbeda, pengalaman yang bertambah; dan itu membuat Saudara bisa melihat hal-hal yang sebelumnya Saudara tidak lihat.
Ini efek yang sangat positif, karena memberikan Saudara ruang untuk bertumbuh dengan kisah ini. Pertama, Saudara akan bisa merefleksikan kisah ini dalam hidup Saudara. Kedua, dengan membuat Saudara bergumul untuk mengerti kisah ini, maka hasilnya –apapun hasilnya—kisah ini akan jadi suatu hal yang sangat berharga bagimu, karena Saudara ada investasi di sini, ada nilai perjuangannya. Kalau Saudara maunya cepat mengerti, tidak heran Alkitab tidak mempengaruhi hidupmu, karena jangan-jangan selama ini Saudara makan Alkitab seperti permen yang harusnya dikunyah tapi Saudara langsung telan –ya, ‘gak berasa apa-apalah. Padahal desainnya tidak seperti itu.
Di sini mungkin Saudara mengatakan, “Pak, koq, jadinya post-mo begitu?? Jadinya waktu membaca Alkitab, bukan cuma melihat apa yang Alkitab mau kasih, tapi semua orang membawa ceritanya masing-masing ke dalam Alkitab? Kalau kayak begitu, Alkitab jadinya bisa ditafsir seenak jidat, dong??” Memang ada resiko yang seperti itu, dan sudah terjadi. Dalam sejarah penafsiran Alkitab tentang kisah Kain dan Habel, ada orang-orang yang menafsirkan bahwa tanda yang Tuhan taruh pada Kain adalah penggelapan warna kulit –“the mark of Cain”—dan tafsiran ini dijadikan dasar untuk membenarkan rasisme serta perbudakan yang terjadi berabad-abad. Mengapa bisa muncul tafsiran seperti itu? Karena “tanda Kain” itu tidak ada detailnya, ambigu, tidak dikasih tahu, bolong detail sama sekali. Kalau begitu, lalu kita merasa ‘ini ‘gak bener, harusnya jangan kayak gini, Alkitab ini kurang’, dsb. Tapi Saudara tidak boleh menyalahkan Alkitab. Yang menyebabkan orang salah tafsir sampai sebegitunya, adalah karena mereka berhenti bergumul! Karena mereka berhenti bingung. Bukan karena mereka bingung, tapi karena mereka berhenti bingung; mereka memilih untuk stop mengikuti guru yang bikin frustrasi itu, lalu mereka turun gunung dengan ilmu yang setengah jadi.
Saudara, yang menakjubkan adalah justru dalam model murid yang menerima ambiguitas/kebingungan itu, Saudara akan jadi orang yang makin lama makin bertumbuh mengerti Alkitab; karena dengan bingung, jadi bergumul, lalu makin mengerti, makin melihat, makin jelas, makin engaged, makin merasakan, makin simpati, dst. Di sisi lain, karena Saudara bergumul –sebagai murid yang menerima kebingungan– tidak mungkin ada satu titik dalam hidupmu yang Saudara dengan gagah mengatakan, “Now I am the master!”; sebaliknya, Saudara akan menyadari diri Saudara tidak pernah selesai bertumbuh, diri Saudara tidak pernah berhak untuk mengatakan “ini yang benar, semua yang lain salah!” Kalau Saudara murid yang menerima kebingungan sebagai bagian dari membaca Alkitab, maka setiap kali membaca Alkitab, Saudara akan selalu merasa ‘belum selesai, belum selesai, ada tambah, tapi belum selesai’. Dan ini akan menciptakan orang yang di satu sisi belajar banyak, tambah banyak dan tambah banyak; di sisi lain, semakin belajar semakin rendah hati, semakin tahu diri, semakin lambat berbicara dan cepat untuk mendengar. Inilah efek ambiguitas yang pertama; efek ambiguitas itu disengaja karena membuat Saudara lebih berpartisipasi, lebih masuk ke dalam ceritanya, lebih mengerti lewat kebingungan, lebih rendah hati dalam pengetahuan.
Efek yang kedua, ambiguitas tersebut memaksa kita untuk membiarkan Alkitab menafsir Alkitab. Karena kisah-kisah Alkitab banyak yang ambigu, banyak detail yang bolong, banyak kata kunci yang tidak dijelaskan, maka orang yang bergumul dengan Alkitab akan mencoba cari penjelasan dari bagian Alkitab yang lain. Dan inipun sesuatu yang disengaja, sebuah desain bagaimana Alkitab ditulis.
Kalau Saudara melihat Alkitab, Saudara akan menemukan satu hal; analogi hari ini yang paling gampang adalah: Alkitab penuh dengan link/ hyperlink. Saudara bisa google “Bible as a hyperlink”, di situ ada grafiknya, didaftarkan semua kitab dalam Akitab, lalu dibuat garis penghubung ketika ada istilah-istilah atau konsep-konsep atau ide-ide yang saling berhubungan. Dan pada dasarnya, orang yang meriset hal ini –yang jumlahnya banyak sekali—akan mengatakan bahwa Alkitab adalah dokumen pertama dalam sejarah manusia yang pakai hyperlink, sebelum internet. Ini menakjubkan. Tentu Alkitab tidak mirip sekali dengan internet, dalam arti internet tidak ada awal tidak ada akhirnya, sedangkan Alkitab ada. Tetapi intinya, Alkitab punya link-link, yang seperti Wikipedia akan membawa Saudara dari satu kisah ke kisah yang lain, lewat istilah yang sama, lewat ide yang sama, lewat pengertian yang sama-sama membingungkan –karena bingung di satu hal, Saudara akan klik link di situ– dan itu membuat Saudara ketika membaca Alkitab tidak akan pernah berhenti di satu pasal tok. Saudara ingin mencari tahu pengertian bagian tersebut lewat bagian yang lain; dan dengan demikian Saudara membiarkan Alkitab menafsir Alkitab. Kalau begitu, post-mo-nya di mana?? Bukankah ini justru lebih setia kepada Alkitab? Kita akan melihat contohnya dalam bagian pembahasan kita.
Kembali ke Kejadian 4, setelah Tuhan menolak untuk memandang persembahan Kain, Tuhan datang kepada Kain dan mengatakan, "Mengapa hatimu panas dan mukamu muram?” Kemudian ayat 7 –ini kunci— “Apakah mukamu tidak akan berseri, jika engkau berbuat baik?” –klining..klining..klining… . “Tetapi jika engkau tidak berbuat baik” –klining..klining..klining… . Mendengar istilah ‘baik’, apa yang mucul di kepala kita, yang seakan-akan langsung alarm klining..klining..klining… .? Tuhan di sini menghadirkan 2 pilihan kepada Kain, “Apakah mukamu tidak akan berseri, jika engkau berbuat baik? Tetapi jika engkau tidak berbuat baik, dosa sudah mengintip di depan pintu; ia sangat menggoda engkau, tetapi engkau harus berkuasa atasnya" –dan ada istilah ‘baik’ versus ‘dosa’. Kata ‘baik’ adalah kata yang persis dipakai 2-3 pasal sebelumnya ketika Tuhan menciptakan segala sesuatu baik, dan ketika Tuhan membicarakan adanya buah pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat –barang yang jadi pusat konflik di pasal 3. Selanjutnya konflik dari pasal-pasal sebelumnya, muncul dan bergema dalam Kejadian 4 ini. Sekarang Saudara mulai bisa lihat link-nya?
Apa itu artinya memilih baik? Kita tidak tahu, detailnya tidak dikasih tahu di sini. Tuhan suruh Kain berbuat baik, itu maksudnya apa? Kita tidak tahu. Dengan demikian, kita klik link ‘baik’ tersebut, dan itu membawa kita kepada cerita yang sebelumnya. Bagi kasus Adam dan Hawa, memilih yang baik berarti memilih untuk percaya kepada bijaksana Tuhan dalam segala sesuatu, dalam segala situasi, dan khususnya dalam situasi ketika kita tidak bisa melihat Dia baik dan bijaksana –ketika kita bingung dan tidak mengerti mengapa Tuhan melakukan ini dan itu. Di Kejadian 3, Tuhan menciptakan pohon biang kerok itu, lalu menyuruh Adam dan Hawa untuk tidak makan buah pohon tersebut; dan kita sebagai pembaca langsung frustrasi melihat bolong detail ini, ‘kenapa, oh, kenapa, Tuhan, Engkau harus taruh pohon itu di situ??’ Sekali lagi, penulis menaruh bolong detail tersebut untuk menarik kita masuk ke dalam kisah ini, membuat kita merasakan sendiri pencobaan dan pilihan yang dialami Adam dan Hawa. Saudara diajak untuk bersimpati dengan mereka ––ini poin pertama yang sudah kita bahas tadi– Saudara juga tidak dikasih tahu kenapa tidak boleh makan buah pohon itu. Saudara sedang mengalami apa yang Adam dan Hawa sedang alami, pencobaan untuk tidak melakukan apa yang baik yaitu memilih untuk percaya kepada Tuhan dalam bijaksana-Nya, meskipun situasi ini saya sama sekali tidak bisa melihat Tuhan bijaksana. Inilah situasinya, dalam hati kita greget, “Kenapa Tuhan, Engkau harus taruh pohon biang kerok itu?? Tuhan, Kamu bijaksana atau enggak, sih??” Itulah pergumulannya, pilihan antara baik dan jahat di Kejadian 3.
Sekarang lihat Kejadian 4, Saudara mulai lebih mengerti ceritanya? Apa pilihan yang sedang diperhadapkan kepada Kain? Ternyata, penceritaan kasus Kain dan Habel bisa dibilang satu pengulangan atau paralel/penggaungan dari kisah Adam dan Hawa. Begitu Saudara mulai menyadari paralel ini, Saudara akan sadar bahwa kisah-kisah ini ternyata punya kedalaman dan lapisan-lapisan makna yang tidak kita sangka-sangka. Kisah Kain dan Habel ternyata bukan sekedar tabel informasi mengenai 2 manusia di awal sejarah manusia, lalu poin bagi kita hari ini adalah ‘kalau kasih persembahan, yang benar’ dan ‘jangan membunuh orang lain’ –tidak seperti itu, bukan cuma itu– tetapi memberi tahu kita sesuatu yang jauh lebih dalam daripada itu, untuk kita mengerti bukan cuma secara otak tetapi mengalami dan masuk sendiri, melihat dan menyadari kondisi manusia, dan bahwa kita sangat perlu menggantungkan judgement kita kepada Tuhan, apa yang Tuhan lihat bukan apa yang kita lihat. Dua kisah ini ternyata –paling tidak– menceritakan yang namanya ‘berbuat baik’; yaitu menyerahkan kepada Dia sebagai Hakim atas segala sesuatu.
Apa dampaknya ketika kita tidak memilih untuk berbuat baik? Apa dampaknya ketika kita meragukan Allah yang tidak memberitahu kita alasan di balik itu semua? Di Kejadian 3: exile –mereka dibuang dari Taman Eden; dan di Kejadian 4: murder –pembunuhan. Ini paralel yang luar biasa.
Bukan cuma itu; di Kejadian 4 Kain bukan lagi berhadapan dengan ular, dia berhadapan dengan dosa. Inilah pertama kali istilah ‘dosa’ muncul dalam Alkitab. Ini bukan lagi seekor binatang tapi sebuah konsep. Dosa itu, mengintip di balik pintu. Kata ‘mengintip’ adalah istilah yang berarti merunduk seperti seekor singa yang siap menerkam –masih ada unsur binatangnya. Saudara lihat jelas paralelnya.
Di sini kita juga melihat isu yang sama kembali muncul; Tuhan pada dasarnya mengatakan kepada Kain: “Sama seperti papa mamamu, sekarang kamu ada 2 pilihan, yaitu menerima kebingungan –bahwa Aku memang menerima persembahan adikmu dan tidak memandang persembahanmu—dan move on, jangan biarkan itu menghancurkan hidupmu, terimalah bahwa Tuhan lebih bijaksana daripadamu, percayalah pada bijaksana Tuhan di balik itu semua, meskipun kamu tidak bisa melihatnya sekarang, meskipun –paralel dengan Kejadian 3—buah itu menarik parasnya bagimu, dan omongan setan ada logikanya. Atau, kamu bisa menyerah dan membiarkan dosa memakan dan menelanmu.”
Paralel berikutnya: ketika Tuhan berbicara kepada Kain, Dia bilang, “Kamu harus berkuasa atas dosa” –klining..klining..klining… . Saudara ingat apa di sini? Panggilan manusia adalah untuk berkuasa atas ciptaan. Bukankah ini persis cerita Kejadian 3, tapi dikembangkan dalam kisah yang lebih personal, karena ditaruh dalam setting yang lebih mendarat dan makin dekat dalam hidup Saudara dan saya? Situasi yang Kain alami ini juga situasi yang kita alami –situasi dalam keluarga. Ada hal-hal yang kita merasa ‘koq begini, sih; koq, ‘gak fair’, koq dia dapat dan gua enggak’, dsb., dan itu membuat kita panas dan muram, membuat kita berada dalam ambang pilihan untuk menerima kebingungan tersebut lalu move on, atau menyerah kepada dosa yang mulai memakan diri kita dan membuat kita melakukan perbuatan-perbuatan destruktif. Kisah seperti itu, kita semua sudah mengalaminya sejak kecil. Dan semua ini bermula karena penulis meninggalkan satu detail yang dia tidak kasih tahu kita.
Saudara-saudara, poin kotbah hari ini bukan mau mengajak Saudara untuk menjawab bolong tersebut, tetapi untuk mengajak Saudara melihat efek dari bolong ini terhadap kita, pembacanya. Semua perenungan yang sejak tadi kita lakukan sekian lama, bisa sampai di sini karena kita tidak memakai kacamata “ini Alkitab membingungkan, sudahlah cari aplikasinya saja, pokoknya ‘gak boleh bunuh orang, selesai”. Kita bisa sampai pada perenungan seperti ini, kita bisa meditate The Word of God sampai sejauh ini, karena kita pakai kacamata –yang sedang saya pakaikan kepada Saudara—bahwa tujuan dari semua kesulitan yang Alkitab tuliskan ini memang untuk membuat kita bingung, dan kebingungan itulah poin dari kisahnya, karena dengan demikian kita berhenti sejenak –pause, bukan stop—dan memperlambat diri, mengunyah, bergumul, masuk, berpartisipasi lebih dalam dengan kisah ini. Tidak heran kalau selama ini kita frustrasi terhadap Alkitab, karena Saudara dan saya anak zaman, yang mau segala sesuatunya cepat. Lebih cepat lebih baik. Lebih jelas lebih baik. Lebih nendang lebih baik. Lebih mudeng lebih baik. Kita maunya Alkitab seperti guru SD yang dikte, suruh hafal, catat, besok ujian; dan ternyata Alkitab tidak seperti itu. Alkitab seperti guru karateka yang tadi –maksudnya guru karateka tadi yang seperti Alkitab– guru yang tidak langsung memberitahu apa yang kita mau ketahui, tapi memberi kita tantangan, halangan, kesulitan, yang kemudian karena kita bingung di situ, jambak-jambak rambut di situ, akhirnya kita mengetahui apa yang dia ingin kita belajar. Dan kita mengetahuinya jauh lebih dalam dibandingkan kalau kita cuma dikasih tahu. Jadi, darimana semua pembelajaran yang lebih dalam itu datang? Lewat kebingungan! Lewat kesulitan, lewat detail-detail penting yang bolong, lewat kelemahan. Bukankah ini mirip cara kerja Tuhan, kehidupan melalui kematian?
Itu sebabnya, dalam seri kotbah ini, musuh yang mau saya lawan adalah semacam teologi mie instan. Mengapa sih, Alkitab itu harus langsung kita ngerti, langsung berasa, langsung nendang? Saudara bandingkan 2 kasus ini. Yang pertama, Saudara baca Alkitab dan terbingung-bingung, ‘gak ngerti ini maksudnya apa; yang kedua, Saudara baca Alkitab lalu langsung “Rhema! Dapat…!” Pertanyaannya, Saudara selama ini merasa Roh Kudus lebih bekerja di yang mana? Ini pertanyaan serius. Pernahkah Saudara melihat yang bingung-bingung tadi sebagai pekerjaan Roh Kudus? Mengapa kita tidak melihat itu sebagai pekerjaan Roh Kudus? Karena kita anak zaman.
Di sini Saudara lihat, Alkitab memakai cerita, puisi, ambiguitas dengan detail-detail yang bolong, adalah untuk memperlambat Saudara, bukan untuk mempercepat; untuk membuat Saudara mengunyah lebih empuk, mencerna lebih pelan. Generasi zaman kita sangat perlu membaca Alkitab dengan kacamata yang baru ini, karena kita sudah dibentuk habis oleh dunia yang selalu mau lebih cepat, lebih gampang, lebih ngerti, yang penting hasil, hasil dan hasil! Ini bukan murni kesalahan Saudara, ada bagian besar yang memang di luar kontrol kita –kita memang anak zaman—tapi bagian Saudara adalah memutuskan mau ikut yang mana. Kita harus menyadari, pembentukan dunia terhadap kita efeknya besar sekali –bahkan juga pembentukan dari Kekristenan yang tidak bertanggung jawab, atau yang mungkin dipakai setan. Misalnya, teologi mie instan itu datangnya dari mana? Dari salah satu pekerjaan Tuhan yang besar, “Great Awakening", di akhir abad 19, awal abad 20. Ada pertobatan besar-besaran yang sejati di Amerika, di Inggris. Tapi apa dampak kejadian itu terhadap sejarah Gereja? Pertobatan dilihat sebagai sesuatu yang instan, sebagai satu momen; pertobatan sebagai masalah kita mengambil keputusan untuk berubah arah. Ini tidak salah, memang ada elemen-elemen seperti itu. Tapi kalau kembali kepada Luther, Calvin, orang-orang zaman yang lebih dulu, mereka meliatnya tidak seperti itu. Mereka melihat pertobatan sebagai suatu journey, perjalanan yang sangat panjang, yang berlangsung terus seumur hidup. Saya mengatakan ini, bukan maksudnya untuk Saudara melepaskan tanggung jawab, tapi untuk Saudara melihat efek dari teologi mie instan memang sangat besar, dan kita perlu menyadarinya.
Ada cerita dari seorang hamba Tuhan, Tim Mackie, di podcast Bible Project-nya. Dia punya anak; satu hari dia suruh anaknya membersihkan kamar, tapi anak ini tidak mau. Anak ini ngeyel luar biasa, sampai-sampai keluar kalimat dari mulutnya, “Aku ‘gak mau nurut! Aku mau jadi Herodes! Aku mau bunuh Yesus!” Kalau kita cuma mementingkan hasil dan isi, maka mendengar kalimat kayak begini kita akan langsung syok; tapi Tim Mackie melihatnya berbeda. Tentu saja dia tegur anaknya, tapi dia melihat ini sebagai sesuatu yang positif. Dalam arti apa? Bahwa anak ini begitu dipengaruhi Alkitab –dipengaruhi dengan cerita-cerita Alkitab—sehingga dia melihat hidupnya melalui kacamata kisah-kisah tersebut. Dia tahu dirinya sedang memberontak dari kebenaran, dia tahu tokoh mana yang seperti itu, dan dia sedang menaruh dirinya dalam peran itu. Dengan kata lain, Alkitab sebenarnya mempengaruhi anak ini habis-habisan, bukan cuma mempengaruhi apa yang dia pikir, tapi juga bagaimana berpikir. Kacamata yang anak ini pakai dalam melihat hidupnya dan melihat dunia, adalah kacamata Alkitab.
Sekarang bandingkan anak tersebut dengan diri kita. Tentu saja kita ingin mengerti Alkitab, mendapatkan isinya Alkitab, tapi seringkali tidak sadar bahwa kita tidak pernah datang kepada Alkitab untuk membereskan caranya kita mengerti isi tersebut. Yang kita pakai sebagai kacamata, tanpa sadar adalah hasil bentukan dunia. Teologi mie instan. Segala sesuatu mau cepat. Mau koq, diisi Alkitab, tapi dengan cara duniawi, artinya minimalisasi kebingungan, minimalisasi pergumulan –dan yang pasti, minimalisasi waktu. Jadi, siapa yang lebih ada harapan, anak tadi, yang mungkin tidak mengerti isi Alkitab tapi caranya berpikir sangat dipengaruhi Alkitab, atau kita, yang ingin dapat isi Alkitab tapi tidak sadar cara kita mendapatkannya adalah metode yang sangat duniawi? Itu mungkin sebabnya Tuhan Yesus mengatakan “barangsiapa ada telinga, hendaklah dia mendengar”; yang penting bukan cuma ‘mendengar’, tapi ‘telinga’ penting sekali.
Maukah Saudara dididik lewat kebingungan? Inilah yang kita bahas dalam kotbah yang lalu mengenai Petrus, soal ‘siapa’ menyelamatkan ‘siapa’. Tuhan menyelamatkan kita dengan cara-Nya. Tuhan bukan cuma memberikan keselamatan, Tuhan memberikan keselamatan lewat cara-Nya. Yunus diselamatkan dari kematian lewat dimakan ikan lalu dimuntahkan. Yunus pastinya tidak memilih cara ini. Dalam bayangan Yunus, kalau Tuhan selamatkan, Tuhan akan kirim helikopter SAR yang canggih itu, lalu ada penyelam yang terjun lebih dulu, dan 2 orang mencari-carinya, menaruh dalam tandu, lalu dikerek ke atas dengan canggih sekali, dan seorang suster berpakaian putih nan seksi memberikan pernapasan buatan, dsb. Yunus mungkin lebih memilih seperti itu, tapi Tuhan tidak menyelamatkan dengan cara seperti itu. Tuhan menyelamatkan dia, tapi menyelamatkan dengan cara-Nya. Itulah yang Alkitab beritahukan kepada kita.
Tuhan bekerja dengan cara-cara yang aneh. Zaman Musa, orang Israel digigit ular; lalu kalau mau selamat, lihat ular tembaga. Tidak masuk akal banget. Gideon disuruh bawa tentara dengan jumlah yang salah. Daud melawan Goliat dengan senjata yang salah. Ini semua harusnya membuat kita merenungkan satu hal, bahwa tidak cukup hanya mengatakan “Saudara mau diselamatkan Tuhan”; tapi renungkan, cara selamatnya bagaimana, Saudara mau cara Tuhan atau Saudara paksakan cara sendiri –seperti Petrus. Kalau seperti itu, ujungnya bukan Saudara mau diselamatkan Tuhan, tapi Saudara yang mau menyelamatkanTuhan, Saudara ingin jadi juruselamat atas Tuhan. Petrus tidak mau cara kerja Tuhan yang menyelamatkan lewat kematian. Bagaimana dengan kita? Kita tidak mau cara kerja Tuhan yang memberi kita pengertian dan kedewasaan lewat kebingungan, ambiguitas, pergumulan, waktu yang lama. Kita mau jadi juruselamat Tuhan seperti Petrus. Kita mengatakan kepada Tuhan, “Tuhan saya mau menyelamatkan cara baca Alkitab. Saya tidak mau cara baca-Mu yang lewat kebingungan, lewat pagi dan malam. Itu susah! Capek! Lama! Malas!” Saudara hari ini diperhadapkan kepada 2 pilihan –seperti Adam dan Hawa, seperti Kain— untuk menerima bijaksana Allah, termasuk dalam situasi Saudara tidak bisa melihat di mana bijaksananya. Itulah pilihannya. Itulah berbuat baik.
Saya suka mengontraskan antara menerima Dia sebagai Juruselamat dengan menerima Dia sebagai Raja. Kalau sebagai Juruselamat, Tuhan itu menyertai kita; kalau sebagai Raja, kita menyertai Dia. Pembagian seperti itu fair saja, tapi Saudara harus tahu, istilah ‘Juruselamat’ (Soter) dalam Alkitab bukanlah istilah untuk pembantu. Istilah ‘Soter’ adalah istilah royalty (kerajaan). Orang-orang yang menggunakan istilah tersebut dalam nama mereka, seperti Ptolemy Soter, Antiochus Soter, semuanya merupakan titel kerajaan. ‘Sang Penyelamat’ maksudnya adalah penyelamat yang harus ditakuti, dituruti, ditaati. Dia akan menyelamatkanmu dengan cara-Nya. Pertanyaannya, kita mau diselamatkan Dia, atau kita mau menyelamatkan Dia?
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading