LAI memberikan judul “Pertentangan Tentang Asal Yesus” –jadi intinya tentang asal-muasal Yesus– tapi dalam terjemahan English Standard Version (ESV) diberikan judul “Can This be The Christ?” (Mungkinkah Dia Ini Kristus?). Jadi di sini ada perbedaan; sementara LAI menekankan tentang Yesus dan asal-muasalnya, terjemahan bahasa Inggris lebih menyoroti sikap/ respon orang yang mendengar atau mengalami perjumpaan dengan Kristus. Kita bisa melihat sisi positif dari masing-masing pendekatan ini. Intinya, kita tidak cukup hanya membicarakan tentang objektifitas Yesus (siapa Yesus itu), tanpa kita sendiri terlibat, melihat, dan memperhatikan yang menjadi respon manusia –termasuk juga diri kita.
Realita Kristus bukan cuma soal penyelidikan objektifnya, tapi bagaimana kita meresponi Dia. Tentu saja waktu memikirkan objektifitas Kristus –sebagaimana judul yang diberikan LAI– kita bukan sedang mengesampingkan respon manusia. Demikian juga dalam judul yang diberikan ESV, bukan berarti ESV sangat eksistensial atau sangat mementingkan respon subjektif manusia, dan kurang memperhatikan fakta objektif tentang siapa Kristus sesungguhnya. Intinya, kita perlu kedua perspektif ini; siapa Kristus secara objektif, tapi juga bahwa itu kemudian menuntut satu respon, karena semua orang pasti berespon terhadap perjumpaan dengan Kristus. Maka waktu mempelajari bagian ini, kita mau melihat paling sedikit dari 2 perspektif ini: Kristus itu siapa, dan bagaimana orang meresponinya. Llyod Jones juga mengkotbahkan bagian ini dalam kotbah ekspositori Injil Yohanes, dia memberikan judul yang lain, yaitu tentang unbelief (tentang ketidak-percayaan); mirip seperti ESV, yang disoroti adalah respon manusia.
Kalau kita melihat bagian ini, ada perbedaan orang-orang yang memberi tanggapan dari orang-orang yang ada di bagian sebelumnya. Di sini dikatakan ‘orang Yerusalem’ (the people of Jerusalem), yang berbeda dari ‘orang banyak’ (the crowd) di bagian sebelumnya. Orang banyak yang ada di dalam bagian sebelumnya begitu naif, tidak tahu kalau Yesus mau dibunuh oleh pemimpin-pemimpin mereka, sehingga waktu Yesus mengatakan “engkau berusaha membunuh Aku”, mereka berpikir Yesus seperti kerasukan setan. Tapi tidak demikian dengan orang-orang di Yerusalem pada bagian ini; mereka tahu bahwa pemimpin-pemimpin mereka memang mau membunuh Yesus. Ayat 25, Beberapa orang Yerusalem berkata: “Bukankah Dia ini yang mereka mau bunuh?” ; ‘mereka’ yang dimaksud adalah pemimpin-pemimpin agama yang ada di Yerusalem. Mereka tahu bahwa pemimpin-pemimpin mereka mau membunuh Yesus di dalam kebencian. Tapi dalam kalimat tadi, apakah mereka mau menyatakan bahwa diri mereka sendiri tidak terlibat dan lebih baik, bahwa ‘mereka yaitu pemimpin-pemimpin mau membunuh Yesus, tapi kita sih sebenarnya tidak mau membunuh Yesus’? Dalam pembacaan yang hati-hati, kita tahu bahwa sebenarnya orang-orang Yerusalem ini pun ternyata berada di pihak yang sama seperti pemimpin-pemimpin mereka.
Sebelum membahas bagian tersebut, di ayat 26, mereka tampaknya heran karena Yesus berbicara dengan leluasa tapi pemimpin-pemimpin mereka tidak mengatakan apa-apa. Dalam kebudayaan mereka pada saat itu –dalam hal ini mirip kebudayaan Barat—ketika orang selesai mengajar dan ajarannya bukan ajaran yang bisa diterima, maka akan dikoreksi secara langsung; dalam hal ini mereka bukan ‘tidak mengatakan apa-apa’ tapi akan langsung mengkoreksi, Yesus akan mendapat melakukan perlawanan argumentasi, dsb. Jadi yang terjadi di sini, Yesus mengajar dan mengajar, lalu mereka semua diam. Maka orang-orang Yerusalem itu berpikir, kalau begitu berarti pemimpin-pemimpin itu setuju dong, karena biasanya kalau tidak setuju akan langsung ada argumentasi, tapi kali ini tidak. Mereka berkata: “Mungkinkah pemimpin kita benar-benar sudah tahu, bahwa Ia adalah Kristus?” –‘jangan-jangan pemimpin-pemimpin kita ini mulai terbujuk bahwa Yesus adalah Kristus?’ Apakah mereka kemudian berpikir ‘kalau pemimpin-pemimpin kita percaya, ya, sebaiknya kita percaya juga’? Ternyata tidak.
Orang-orang Yerusalem ini tidak kalah sombongnya dengan pemimpin-pemimpin mereka; ayat 27 mereka mengatakan: “Tetapi tentang orang ini kita tahu dari mana asal-Nya, tetapi bilamana Kristus datang, tidak ada seorangpun yang tahu dari mana asal-Nya." Maksud mereka, ‘kalaupun pemimpin-pemimpin kita terbujuk (persuaded) karena kurang pintar, tidak tahu Yesus dari mana asalnya sehingga mereka pikir Yesus adalah Mesias, kita sih tidak begitu, karena kita tahu Yesus ini dari mana asalnya, Dia tukang kayu, dsb.’ Lalu mereka mengembangkan suatu Kristologi sendiri: “Kristus/ Mesias itu kita tidak tahu dari mana asalnya”. Inilah Kristologi yang benar menurut mereka. Betapa mereka ini keras hati, sama sekali tidak kalah dengan pemimpin-pemimpin mereka.
Kita tahu, pemimpin-pemimpin mereka sebenarnya tidak terbujuk; mereka salah tafsir sikap diam pemimpin-pemimpinnya sebagai tanda setuju, padahal pemimpin-pemimpin itu diam bukan karena setuju tapi memang belum waktunya. Mereka tidak ada kekuatan melawan karena Tuhan memang belum mengizinkan hal itu terjadi. Calvin menafsir bagian ini, bahwa mereka bisa diam karena ada providensia Allah di sini. Ada pemeliharaan Tuhan sehingga waktu Yesus mengajar, meskipun ada orang yang setuju dan tidak setuju, tetap firman Tuhan harus diberitakan. Ini bukan berarti setelah Firman Tuhan diberitakan lalu semua orang pasti bertobat dan menerima, tidak tentu seperti itu, ada yang tetap menolak sebagaimana di sini. Tetapi, waktu firman Tuhan diberitakan, dalam pemeliharaan Tuhan, hal itu harus terjadi dan orang harus mendengar. Baik orang keras hati dan akhirnya menolak ataupun dia lembut hatinya, Firman Tuhan toh sudah diberitakan. Tidak ada yang bisa menghentikan Yesus waktu Dia berbicara, karena ada pemeliharaan Allah di sini. Ini penghiburan bagi kita. Waktu kita mau bersaksi tentang Kristus, waktu Tuhan memelihara kita dan memberikan saat untuk bersaksi, maka tidak ada orang yang bisa menghentikan. Waktu pintu itu masih dibuka, tidak ada orang bisa menghentikan. Saya bukan mengatakan bahwa ketika pintu dibuka maka semua orang pasti berobat, bukan itu poinnya, tapi bahwa tidak ada yang bisa menghentikan pekerjaan Tuhan. Waktu Firman Tuhan diberitakan, biarlah itu terjadi, jadi kita sendiri jangan menghalangi karena kesungkanan, ketakutan, atau kemalasan kita, dsb., sementara Tuhan memberikan pintu yang terbuka untuk kita bersaksi –by the way, pintu itu tidak selalu terbuka. Yesus berbicara dengan leluasa di sini, meskipun ada perlawanan. Tapi perlawanan itu pun tetap harus diam, di dalam hal ini.
Lalu orang-orang Yerusalem ini mengatakan “Yah, mungkin pemimpin-pemimpin kita jadi lemah, tersesat, percaya bahwa Yesus adalah Kristus, tapi kita sih tidak akan begitu karena kita tahu dari mana asal Yesus ini; kalau Kristus datang, tidak ada seorang pun yang tahu dari mana asalnya”. Ada macam-macam tafsiran mengenai dari mana mereka bisa mengambil kesimpulan seperti itu. Mungkin mereka menggambarkan sosok Mesias sebagai seorang yang dikelilingi aura misteri seperti Melkisedek, yang tidak diketahui siapa bapanya dan siapa ibunya, suatu figur misterius; bahwa kalau seorang diutus dari Tuhan maka berarti kita tidak akan tahu dari mana asalnya, tapi kalau kita tahu asal-muasalnya maka itu tidak mungkin Mesias. Tapi mungkin juga mereka tidak mengerti Kitab Suci, padahal dalam kitab Mikha jelas dikatakan bahwa Mesias datang dari Betlehem, yang berarti diketahui asal-muasalnya. Mungkin juga mereka tidak tahu ada catatan itu dalam Kitab Suci. Atau, kalaupun mereka tahu, tetap ada alasan mereka mengatakan seperti itu karena Yesus bukan dikenal berasal dari Betllehem melainkan dari Galilea, orang Nazaret, sehingga tidak cocok dengan gambaran kitab Mikha. Tetapi apapun konklusinya, yang saya mau tekankan di sini adalah sikap mereka yang sok tahu.
Sikap mereka yang sok tahu itu menghalangi mereka sehingga tidak bisa lagi mendengar tentang Kristus. Mereka mengatakan: “Tetapi tentang orang ini kita tahu dari mana asal-Nya, …” –kita tahu, jadi kamu tidak usah kasih tahu lagi, kita yang akan kasih tahu kamu. Inilah gambaran kesombongan, arogansi, yang menghambat orang Kristen untuk maju. Mulai dari anak Sekolah Minggu sampai orang yang paling tua, mulai dari jemaat biasa sampai hamba Tuhan, yang paling membuat tidak bisa maju adalah rasa diri sudah tahu –‘kita sudah tahu dari mana asalnya, pengertian seperti ini sudah establish, lu tidak perlu kasih tahu, tidak usah bicara, saya yang akan kasih tahu kamu, bukan kamu yang kasih tahu saya; kamu yang peru dengar saya, saya tidak perlu dengar sama sekali, silakan dengar saya karena saya SUDAH TAHU semuanya’. Sikap seperti ini adalah sikap yang menempatkan diri persis seperti orang-orang Yerusalem, bahkan kecongkakan mereka tidak kalah dengan pemimpin-pemimpin mereka. Karena “pengetahuan” itu, akhirnya menutup mereka dari insight yang lebih dalam yang Tuhan mau berikan kepada mereka. Inilah yang terjadi kalau kita tidak berhati-hati.
Saudara jangan sok tahu seperti orang-orang Yerusalem ini, ‘kami tahu, Kristologi pasti begini, Mesias pasti kayak gitu, yang di luar itu kami tidak mau tahu dan tidak tertarik untuk belajar, pokoknya harus seperti ini’. Hati-hati dengan sikap sok tahu, arogansi, pride, sifat tidak mau mendengar, tidak bisa dikasih masukan, tidak bisa terima pendapat orang lain; itu menghancurkan seseorang. Kalau Saudara jadi orang yang seperti ini, pada saat itu juga Saudara sudah berhenti. Tuhan mungkin masih sabar menunggu Saudara bertobat, tapi kalau Saudara memelihara terus kedegilan hati seperti ini, lama-kelamaan Saudara pasti dibuang Tuhan. Pengenalan akan Firman Tuhan bukanlah sesuatu yang kita bisa katakan “sudah tahu, sudah tahu”, ini bukanlah sesuatu yang statis. Dan juga bukan dualisme antara ‘belum tahu’ dan ‘tahu’, melainkan dari tahu menjadi semakin tahu dan semakin tahu; kategorinya adalah ‘tahu’ dan ‘semakin tahu’. Ini sesuatu yang going deeper and deeper and deeper, bukan belum tahu menjadi tahu lalu kalau sudah tahu ya sudah. Gambarannya adalah tadinya kita tidak tahu apa-apa, lalu Tuhan kasih tahu. Waktu Tuhan kasih tahu, pengertian kita minim sekali, namun kita terus bertumbuh makin lama makin tahu. Tetapi orang-orang yang sok tahu ini, yang sombong luar biasa, adalah orang-orang yang arogan yang sudah mengunci diri mereka sendiri sehingga tidak bisa lagi menerima pengajaran dari Kristus. Mereka rasa dirinya sudah tahu siapa itu Kristus, sudah kenal.
Dan di ayat 28 Waktu Yesus mengajar di Bait Allah, Ia berseru: "Memang Aku kamu kenal dan kamu tahu dari mana asal-Ku”. Kalau begitu, jadinya benar dong, Yesus sendiri meng-amin-kan perkataan mereka, mengapa dituduh arogan?? Tapi kalimat ini belum selesai, Yesus masih menyambung: “… namun Aku datang bukan atas kehendak-Ku sendiri, tetapi Aku diutus oleh Dia yang benar yang tidak kamu kenal.” Mereka bilang bahwa mereka kenal Yesus itu siapa, dan Yesus menanggapi “memang kamu kenal Saya”; kemudian Yesus bicara tentang Pribadi yang lain yang mengutus Dia, yaitu Bapa, dan mengatakan “kamu tidak kenal Dia”. Seandainya Saudara dalam posisi mereka, mungkin akan balik mengatakan “tapi kita juga tidak pernah klaim bahwa Pribadi yang Kamu sebut itu kita kenal; yang kita katakan tadi adalah kita kenal Kamu. Dan Kamu ‘kan bilang bahwa Kamu dikenal kita, kalau begitu klop dong, jangan malah bawa-bawa Pribadi yang lain yang mengutus”. Kalau begini pembicaraannya, kelihatannya jadi mereka yang benar; tapi tidak sesederhana itu. Mengapa Yesus merujuk kepada Pribadi yang satu lagi? Karena sebagaimana pengenalan akan Allah, Bapa, tidak mungkin tanpa Anak, demikian juga pengenalan akan Anak tidak mungkin tanpa Bapa.
Orang-orang ini adalah orang-orang yang tidak mengenal Allah, tidak mengenal Bapa, dan karena itu mereka juga tidak mengenal Anak. Mereka bukannya tidak mengenal Anak sama sekali; mereka mengenal Anak secara asal-muasal yaitu tukang kayu, anak dari Yusuf dan Maria. Secara yang kelihatan, mereka tahu. Sekarang juga ada banyak orang yang sok tahu waktu bicara tentang Gereja. Ada orang mengatakan bahwa Gereja itu sebetulnya institusi untuk cari uang, buktinya setiap kali ada kolekte, kantong diedarkan dan pengunjungnya seperti disihir untuk mengeluarkan dompet; mereka orang-orang yang kesepian, yang ada problem tidak bisa menyelesaikan sendiri, jadi mereka perlu persekutuan, bertemu orang-orang lain yang barangkali bisa membantu; atau mereka tidak ada persoalan tapi memang dasarnya suka gosip, jadi pergi ke Gereja supaya ada teman bergosip, dsb. Orang-orang seperti ini melihat dari perspektif yang kelihatan, tidak melihat yang transenden. Mereka melihat pendeta sebagai orang yang suka ngécap, suka ngomong, tapi sebetulnya cuma mau menaklukkan massa supaya ada pengikut lalu pakai “atas nama Tuhan”, dsb. Orang-orang seperti ini sok tahu.
Mereka tidak pernah berjumpa dengan Tuhan, tidak pernah mengerti artinya kehadiran Tuhan, karena mata mereka memang buta. Tapi orang buta ini sok tahu. “Kami tahu Kamu anak Yusuf dan Maria, kami tahu Kamu mengajar di Galilea, kami tahu Yesus orang Nazaret, kami tahu …, kami tahu … kami tahu …”. Dan Yesus menjawab, “Memang, Aku kamu kenal dan kamu tahu dari mana asal-Ku –asal-Ku yang anak Yusuf dan Maria, dari Galilea, Nazaret– namun Aku datang bukan atas kehendak-Ku sendiri, tetapi Aku diutus oleh Dia yang benar yang tidak kamu kenal –itu asal-Ku yang sesungguhnya yang kamu tidak kenal. Kamu seharusnya kenal Dia melalui kenal Aku, tapi sekarang Aku pun kamu tidak kenal karena kamu sebenarnya tidak pernah kenal Dia juga. Dan sekarang Aku pun kamu tolak”. Menolak Kristus berarti menolak Allah, menolak Alllah berarti menolak Kristus. Ini satu paket di dalam Injil Yohanes.
Yohanes mengeluarkan definisi yang sangat sederhana tentang artinya hidup kekal. Hidup kekal bukanlah hidup selama-lamanya menurut definisi Yohanes. Hidup kekal menurut Yohanes adalah mengenal Dia yang mengutus, dan mengenal Dia yang diutus; dan orang yang bisa mengenal Yang Mengutus dan Yang Diutus, pastinya adalah oleh Roh Kudus. Maka menurut Yohanes, hidup kekal adalah pengenalan Allah yang sejati, yaitu Allah Tritunggal. Bukan cuma mengenal Yesus, tapi tanpa Bapa. Bukan cuma mengenal semacam konsep tentang Allah tapi tanpa Anak. Dan juga bukan tanpa Roh Kudus. Saudara mungkin tidak melihat Roh Kudus di bagian ini –Roh Kudus baru muncul di pasal 14-16—Roh Kudus seperti berada di belakang (back ground), tetapi tidak ada orang yang bisa mengenal dengan benar tanpa Roh Kudus. Roh Kudus tidak tertarik untuk menonjolkan diri-Nya sendiri, Roh Kudus tidak tertarik untuk mempermuliakan diri-Nya sendiri, maka waktu Saudara membaca bagian ini seperti tidak Roh Kudus. Tapi tidak mungkin tidak ada, karena kalau Roh Kudus tidak ada maka tidak ada orang yang bisa mengenal Yesus. Roh Kudus itulah yang membawa orang kepada Kristus, melihat dimensi yang transenden itu.
Tapi orang-orang ini tidak bisa melihat hal itu, mereka hanya melihat secara horisontal yang kasat mata. Ini seperti waktu mereka mengalami mujizat, mereka tidak melihat Yesus Roti Hidup, dan juga tidak tertarik. Yang mereka lihat adalah ‘saya kenyang; tadi roti tidak cukup lalu dibikin mujizat tiba-tiba jadi cukup, jadi banyak, dan yang tadinya lapar jadi kenyang’. Yang mereka tahu, ada persoalan lapar, lalu Yesus datang dan jadi kenyang. Cuma itu yang mereka lihat. Maka waktu di sini Yesus mengatakan “memang Aku kamu kenal”, ini bisa kita lihat dalam double meaning, dalam pengertian ‘memang kamu kenal secara pengertian horisontal, dalam realm dunia fisik, dunia yang kelihatan; tapi dari perpektif dunia yang tidak kelihatan, kamu tidak kenal apa-apa sebetulnya, cuma sok tahu saja’.
Mereka tidak mengenal Yesus, karena mereka tidak mengenal Bapa. Yang tidak mengenal Bapa, tidak mengenal Yesus; yang tidak mengenal Yesus, tidak mengenal Bapa. Itu satu ikatan di dalam teologi Yohanes. Tentang keselamatan, hidup kekal, Tritunggal, itu satu paket.
“Aku datang bukan atas kehendak-Ku sendiri, tetapi Aku diutus oleh Dia yang benar yang tidak kamu kenal. Aku kenal Dia, sebab Aku datang dari Dia dan Dialah yang mengutus Aku.” Ini klaim eksklusif waktu Yesus mengatakan “Aku kenal Dia”, maksudnya Yesus mengatakan bahwa satu-satunya yang mengenal Bapa hanyalah Anak. Kita mengenal Bapa dengan melalui Anak. Tapi sebelum itu, cuma satu-satunya yang mengenal Bapa, yaitu Anak. Dan Anak diutus ke dalam dunia untuk memberitakan kepada kita supaya kita juga bisa menjadi anak-anak Allah, yaitu yang mengenal Bapanya. Sebelumnya, tidak ada orang yang bisa mengenal Allah; Dia tidak accessible, Dia di dalam terang yang tidak terhampiri, tidak ada yang bisa mengenal Allah. Maka waktu Yesus mengatakan “Aku kenal Dia”, Yesus bukan membawa mereka untuk mengenal Yesus saja, tapi Yesus sebetulnya membawa mereka untuk bisa mengenal Allah yang sejati, Bapa-Nya. Yesus sendiri adalah Allah karena Dia punya pengenalan yang eksklusif ini, yang tidak dimiliki orang lain.
Ada tafsiran klasik yang membedakan antara kalimat “sebab Aku datang dari Dia” dengan kalimat “Dialah yang mengutus Aku”: yang pertama bicara tentang keilahian Kristus, yang kedua bicara tentang kemanusiaan Kristus (inkarnasi). Kalimat yang awal –“Aku kenal Dia”– adalah konsubstansialitas antara Anak dan Bapa. Ini bicara soal eternal generation. “Aku datang dari Dia”, maksudnya adalah Yesus –Anak– lahir dari Bapa. Bapa melahirkan Sang Anak di dalam kekekalan. Keilahian Kristus adalah dari keilahian Bapa yang kemudian melahirkan Sang Anak, sehingga Kristus itu sepenuhnya Ilahi seperti Bapa, konsubstansial (substansi ilahi yang sama) –karena Kristus datang dari Bapa. Satu-satunya yang boleh klaim kalimat ini –“Aku kenal Dia, sebab Aku datang dari Dia”– hanya Kristus, tidak ada seorang pun yang lain yang boleh mengatakan kalimat ini. Tapi kalimat yang kedua –“Dialah yang mengutus Aku”—banyak yang bisa mengatakannya. Nabi-nabi di Perjanjian Lama juga diutus dari Bapa. Jadi ini Kristologi “Dua Natur”. Waktu kita bicara Kristologi “Dua Natur”, kita bicara tentang keilahian Kristus yang eksklusif, tidak ada yang mengenal kecuali Kristus. Kristus satu-satunya yang datang dari Bapa, tidak ada yang lain. Kalau mau mengenal Bapa, musti melalui Kristus, karena Dia satu-satunya yang mengenal Allah, Bapa. Dan orang yang bisa mengenal, yaitu karena Roh Kudus. Roh Kudus-lah yang membawa kepada pengenalan itu.
Tapi separuh ayat berikutnya mengatakan “Dialah yang mengutus Aku”. Ini bicara tentang solidaritas Yesus, Manusia seutuhnya seperti Saudara dan saya, yang diutus oleh Bapa. Kita juga bisa diutus oleh Bapa. Ini sesuatu yang bukan eksklusif melainkan di-share, kita bisa mengalaminya di dalam kehidupan kalau kita juga mau diutus oleh Tuhan, kalau memang betul yang mengutus kita adalah Allah sendiri dan bukan yang lain. Kalimat pengutusan ini adalah bahasa manusia, bahasa nabi. Sama seperti nabi-nabi diutus oleh Bapa, demikian juga Yesus diutus oleh Bapa.
Jadi dalam kelimpahan Dua Natur Kristus, jangan lupa bahwa Kritus itu eksklusif, Dia satu-satunya yang bisa menyatakan Bapa, Dia satu-satunya yang datang dari Bapa, Dia satu-satunya yang mengenal Bapa. Tapi sekarang yang eksklusif ini di-share. Ini mirip dengan doa Yesus di Yohanes 17; Yesus mengatakan: “Bapa, Engkau di dalam Aku, Aku di dalam Engkau”, sesuatu yang begitu intim, hubungan Trinitarian yang sangat eksklusif. Dan kemudian Yesus mengatakan: “Supaya mereka juga di dalam Kita”. Tadinya yang ‘saling di dalam’ hanya Bapa, Anak, dan Roh Kudus (inner Trinitarian Relationship); tapi kemudian waktu bicara tentang murid-murid-Nya, Yesus mengatakan; “Supaya mereka juga di dalam Kita”.
Kita ini bukan Allah, apa hak kita sehingga kita bisa di dalam Allah dan Allah di dalam kita?? Yang bisa mengatakan hal ini sebetulnya cuma antara Bapa dan Anak, sedangkan kita ini siapa?? Posisi kita di mana sebetulnya?? Lagipula kita sudah jatuh di dalam dosa, jadi lebih tidak layak lagi. Tidak jatuh dalam dosa pun tidak layak karena kita bukan Allah. Waktu kita membaca “Dialah yang mengutus Aku”, ini kalimat sederhana yang bicara tentang sesuatu yang eksklusif tapi kemudian di-share. Petrus bahkan pernah mengatakan bahwa kita ini berbagian di dalam kodrat Ilahi (participating in Divine nature). Dalam teologi Reformed kita kurang biasa mengatakan ini karena tradisi Reformed lebih menekankan qualitative difference antara Pencipta dan ciptaan. Tapi Alkitab berani sekali memakai istilah bahwa kita ini berbagian di dalam kodrat Ilahi (Divine nature). Orang Kristen Ortodoks mengatakan ini “peng-ilahi-an”, tapi mungkin kita merasa jadi seperti New Age. Mungkin karena ketakutan jadi seperti New Age, kita kurang suka dengan tradisi Petrine, Johannine, dan lebih nyaman dengan tradisi Pauline. Namun kalau kita belajar Alkitab, kita musti menerima Yohanes, Petrus, tidak bisa cuma menerima Paulus.
Allah menjadi manusia, Logos itu menjadi daging, Athanasius mengatakan, “Supaya kita bisa menjadi allah”, maksudnya berbagian di dalam kodrat Ilahi yang dikatakan Petrus tadi. Ini mystic union with God, menjadi satu dengan Allah. Rahasia ini luar biasa besar karena kita tidak seharusnya berada di sana; kita ini cuma ciptaan, bagaimana mungkin bisa diundang masuk, berpartisipasi di dalam diri Tuhan sendiri?? Inilah di dalam Perjamuan Kudus. Perjamuan Kudus memang tandanya cuma roti dan anggur, tetapi kalau kita punya mata iman, yag kita makan dalam realita rohani adalah tubuh dan darah Kristus. Waktu kita makan tubuh dan darah Kristus, kita yang adalah ciptaan, sebenarnya mana boleh?? Waktu kita berbagian dalam tubuh dan darah Kristus, kita betul-betul menjadi satu dengan Kristus, Dia itu Pencipta, mana boleh begitu?? Tapi kita diundang. Inilah rahasia Kristus, konsep mediator yang sangat sederhana: di dalam Kristus, Allah dan manusia menjadi satu. Connecting point-nya adalah Kristus.
Di dalam Kristologi Reformed –dan dalam hal ini ada agreement dengan Roma Katholik, Eastern Othodox, Lutheran—menekankan bahwa setelah Yesus naik ke surga, Dia mempertahankan natur manusia-Nya, dan itu untuk selama-lamanya. Yesus bukan cuma waktu inkarnasi mengambil natur manusia lalu setelah kembali ke surga natur manusia-Nya dilepas, sudah selesai, dan kembali menjadi Tuhan. Itu bukan Reformed Christology, dan juga bukan Kristologi-nya orang Roma Katholik, Eastern Othodox, Lutheran. Yesus tidak ada perubahan, Dia tetap Ilahi. Intinya, Yesus mempertahankan natur manusia-Nya sampai waktu Dia di surga, karena kita dipersatukan dengan Bapa, dan kita dipersatukan itu di dalam Kristus. Oleh sebab itu Yesus mempertahankan human nature-Nya selama-lamanya supaya di surga kita bersatu dengan Bapa selama-lamanya, di dalam Kristus. Istilah ‘bersatu dengan Bapa’ itu bukan tanpa Kristus. Itulah sebabnya Yesus harus punya dua natur di sana. Kalau Yesus menghentikan natur manusia-Nya, maka berarti kita keluar dari surga, tidak ada yang bisa mempersatukan kita dengan Bapa.
Maka di sini waktu Yesus mengatakan “Dia yang mengutus Aku”, ini kabar baik. Memang yang mengenal Bapa itu exclusively cuma Anak, tidak ada yang lain yang mengenal Bapa. Yohanes pasal 1 sudah mengatakan hal itu, ayat 18: “Tidak seorang pun yang pernah melihat Allah; tetapi Anak Tunggal Allah yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakan-Nya”. Tidak ada satu orang pun yang melihat Allah, tidak ada satu orang pun yang mengenal Allah. Hanya Dia satu-satunya, yaitu Sang Anak, yang datang dari Bapa; tapi kemudian kalimat berikutnya: “Dia mengutus Aku” –Bapa, yang satu-satunya cuma Saya yang mengenal-Nya, Bapa ini mengutus Saya untuk memberitahu kepadamu supaya kamu juga bisa mengenal Allah, melalui Kristus.
Apa itu Kekristenan? Kekristenan adalah pengenalan yang tidak henti-hentinya, terus-menerus mengenal Tritunggal, makin dalam dan semakin dalam. Orang yang berhenti mengenal Allah, dia sebentulnya tidak berhak bicara tentang kehidupan kekal. Kita tidak bisa bicara tentang kehidupan kekal sedangkan pengertian kita mandek; itu tidak kompatibel dengan pengertian hidup kekal. Itu lebih kompatibel dengan orang-orang yang akan binasa, orang-orang yang tidak mengenal Allah, yang sok tahu, yang selalu merasa sudah tahu, yang selalu merasa sudah tidak perlu diajar lagi karena dia sudah tahu semuanya, tidak bisa lagi terima masukan karena semuanya sudah tahu. Gambaran orang-orang seperti ini lebih mirip orang yang binasa daripada orang pilihan. Orang pilihan itu terus-menerus mencari tahu dan terus-menerus diberi tahu, semakin mengenal Allah.
Maka waktu kita membaca bagian ini, setelah Yesus mengatakan kalimat yang begitu penting, mereka lalu berusaha menangkap Dia. Ini menunjukkan mereka betul-betul tidak mengenal; mereka mendengar penjelasan sepenting ini tapi malah berusaha untuk menangkap Yesus. Yesus seakan sudah bicara berbusa-busa tapi tidak ada gunanya, orang malah jengkel, menganggap Dia sombong, kurang ajar dan musti mereka bunuh. Betul-betul mereka buta, sudah dijelaskan dan dijelaskan tapi tetap tidak ada kerendahan hati untuk menerima; yang ada adalah mereka mau menangkap Yesus.
Ayat 30 Mereka berusaha menangkap Dia, tetapi tidak ada seorangpun yang menyentuh Dia, sebab saat-Nya belum tiba. Saya tidak tahu mungkinkah di Indonesia akan berubah ada penganiayaan orang Kristen, tapi yang kita tahu sekarang ini saatnya belum tiba. Bagaimana Yesus menghayati saat-Nya yang belum tiba? Yaitu dengan Dia terus memperkenalkan Bapa-Nya, bersaksi tentang Bapa-Nya. Itulah orang yang tahu arti ‘saatnya belum tiba’. Kalau kita mengerti saatnya belum tiba, kita belum dianiaya, belum mengalami kesulitan besar, maka kalau kita mengikuti cara Kristus mengertinya, itu berarti kita harus memberitakan Injil.
Tapi ada orang yang mengertinya lain. Bagi dia kalau saatnya belum tiba, ya, baguslah, jadi masih bisa makan-makan tanpa dikejar-kejar, masih bisa tidur tenang, bisa nonton TV yang banyak channel, bisa pergi nonton bioskop, saatnya belum tiba rumah belum runtuh jadi masih bisa travelling, dsb. Penghayatannya sama sekali tidak ada urusannya dengan yang diajarkan Alkitab. Yesus mengerti saat-Nya belum tiba maka Dia terus memberitakan Bapa. Dan ada saatnya ketika tidak ada lagi kesempatan untuk memberitakan Bapa, ketika telinga orang sudah terlalu berat, yang ada cuma penganiayaan. Waktu saat itu tiba, pintu penginjilan seperti ditutup. China pernah mengalami seperti ini. Sebelum komunisme masuk –itu saatnya belum tiba– John Sung, Wang Ming Dao, dan orang-orang besar itu dibangkitkan Tuhan. Lalu saatnya tiba –penganiayaan—tidak ada lagi yang seperti itu, tapi toh sudah pernah ada penaburan Injil dari orang-orang tadi.
Mungkin Saudara mengatakan “Dari dulu saatnya belum tiba, buktinya kakek saya Kristen sampai mati, dan tetap tidak ada penganiayaan di Indonesia, dia oke-oke saja”. Saudara jangan lupa, belajar eskatologi bukanlah cuma soal eskatologi general, tapi ada eskatologi pribadi/ individu. Apa maksudnya? Maksudnya adalah: kalau Tuhan belum datang juga, ya, kita yang datang kepada Tuhan. Waktu orang datang kepada Tuhan (meninggal), itu kiamat pribadi bagi dia. Kita tidak harus mengalami kiamat secara dunia, tapi orang mengalami kiamat secara pribadi waktu dia datang kepada Tuhan; itu adalah selesainya diri dia. Setiap orang diminta untuk pikul salib. Masing-masing orang punya kiamatnya sendiri, punya great tribulation-nya masing-masing. Meskipun great tribulation belum terjadi secara general, tapi tiap orang mengalami; Calvin mengalami, Luther mengalami, Paulus mengalami, Petrus mengalami, masing-masing mengalami. Jangan lupa, kita bukan cuma hidup di dalam dimensi general tapi ada juga dimensi individu. Waktu kita sakit, itu saatnya tiba, karena kita tidak bisa lagi memberitakan Injil dalam saat seperti itu, tidak ada kesempatan lagi. Kalau kita di rumah sakit sendirian, siapa yang mau dengar kita?? Mau kotbah kepada orang yang membesuk?? Mungkin juga tidak ada yang membesuk. Itu berarti saatnya sudah tiba, selesai. Waktu Yesus di atas kayu salib, memang Dia ada mengatakan beberapa kalimat, tapi crowd yang di sana tidak banyak yang mendengar yang Yesus katakan, cuma beberapa orang saja yang mendengar. Perhatikan bagian ini: tidak ada seorangpun yang menyentuh Dia, sebab saat-Nya belum tiba. Ini bukan dihayati secara ‘nah, kita dalam pemeliharaan Tuhan, providensia Allah, kita ini biji mata Allah, tidak mungkin dianiaya’. Bukan itu penghayatannya, melainkan karena saatnya belum tiba, belum dianiaya, maka beritakanlah, beritakanlah, dan beritakanlah.
Terakhir, orang-orang itu ternyata ada banyak yang percaya kepada-Nya. Dikatakan di ayat 31: Tetapi di antara orang banyak itu ada banyak yang percaya kepada-Nya dan mereka berkata: "Apabila Kristus datang, mungkinkah Ia akan mengadakan lebih banyak mujizat –atau tanda– dari pada yang telah diadakan oleh Dia ini?" Perhatikan, mereka percaya karena mereka melihat tanda, karena mereka melihat mujizat sebagai tanda. Ada orang yang melihat mujizat sebagai tanda, yang akhirnya membawa kepada Kristus; ada orang yang melihat mujizat bukan sebagai tanda. Orang-orang yang kenyang itu, mereka tidak melihat mujizat sebagai tanda. Kalau mereka melihat mujizat sebagai tanda, waktu mereka kenyang, mereka akan melihat Pribadi Kristus sebagai Roti Hidup yang mengenyangkan mereka secara rohani. Sama seperti secara jasmani mereka dikenyangkan oleh roti, demikianlah Yesus yang adalah Roti Hidup mengenyangkan mereka di dalam realita rohani.
Tapi orang banyak ini tidak melihat mujizat sebagai tanda. Mereka melihatnya sebagai goal di dalam dirinya –wah, enak ya punya orang seperti Yesus— dan akhirnya Yesus yang jadi semacam tanda yang menunjuk kepada mujizatnya. Kalau bisa waktu kita lapar, kita tinggal cari Yesus; waktu Yesus ada, orang lapar akan langsung kenyang; ini berarti mujizat bukan tanda yang menujuk kepada Kristus, melainkan Kristus yang dipakai jadi semacam tanda atau sarana untuk menunjuk kepada mujizat. Goal-nya adalah mujizat itu, berkat Tuhan itu, pahala itu sendiri. Lalu Yesus jadinya apa? Yesus cuma tanda yang menunjuk ke sana. Goal dalam kehidupan saya adalah ‘Tuhan memelihara saya, tidak ada yang berani menyentuh saya, saya sejahtera, anak-anak saya bahagia, mereka jadi orang baik-baik, karirnya bagus, pekerjaan saya lancar’. Yesus di mana? ‘Yesus tanda’. Orang-orang seperti ini adalah orang-orang yang tidak pernah percaya Kristus sebetulnya.
Orang yang percaya Kristus, dia tidak menjadikan Yesus sebagai tanda, tapi dia melihat segala sesuatu yang lain sebagai tanda. Kalau boleh saya pakai istilah ini agak luas, bahwa Tuhan bisa pakai banyak hal menjadi tanda. Mungkin dalam kehidupan ini kita mengalami sesuatu, itu seharusnya menjadi tanda, yang membawa kita lebih mengenal Kristus; yang seharusnya menjadi pertanyaan kita adalah: di dalam peristiwa ini, sebetulnya Tuhan mau saya lebih mengenal Dia dalam perspektif apa lagi? Mengapa peristiwa ini terjadi dalam kehidupan kita? Karena ini tanda. Tanda ke mana? Tanda kepada Pribadi Kristus –melalui peristiwa ini, saya mengenal Yesus seperti apa lagi—deeper and deeper knowledge, makin dalam dan semakin dalam.
Waktu kita mengalami sesuatu, itu bisa hal mujur dan bisa juga malang; Paulus mengatakan, “Aku tahu apa itu kelimpahan, apa itu kekurangan.” Waktu kita mengalami kelimpahan, itu tanda, bahwa Tuhan mau saya mengenal Dia di dalam gambaran apa lagi yang mau diperluas pengenalan saya? Waktu kita jatuh, di bawah, menderita, kita juga bisa bertanya, ini tanda yang dipakai Tuhan supaya saya bisa mengenal Dia di dalam perspektif apa lagi? Inilah Kekristenan; orang yang melihat segala sesuatu sebagai tanda dan tanda. Tanda supaya kita bisa mengenal Tritunggal lebih baik dan lebih baik, lebih dalam dan lebih dalam, lebih cinta, lebih mengorbankan diri, lebih haus, lebih menginginkan Dia, lebih mempersembahkan diri kita kepada Tuhan, dan seterusnya, dan seterusnya. Itulah orang Kristen. Kita tidak tahu model Kristen yang lain, yang ada dalam Alkitab adalah model ini. Mengenal Allah, mengenal Tritunggal, itulah kehidupan kekal, dan itu terus-menerus, unending, tidak ada habisnya. Kiranya Tuhan memberkati kita.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading
