Mungkin kita pernah bertemu dengan orang-orang yang memiliki talenta yang bagus, baik dalam musik, khotbah dll., dan kita kagum dengan orang-orang seperti ini, kita ingin mengenal dan mau belajar dari orang itu. Tetapi setelah mengenal orang-orang yang super talented ini, ternyata kita mulai melihat, kok sepertinya ada yang missing dari karakternya, sepertinya ada sesuatu yang hilang dari karakter orang-orang super talented ini. Ada seorang yang mempunyai talenta bermain bola yang luar biasa, dia bisa menyerang dan bisa bertahan, ketika di wawancara, apa yang membuat dia bisa seperti itu, orang ini menjawab, karena saya adalah pemain terbaik dunia. Memang sih super talented, tidak ada yang tidak mengakui talentanya seperti apa, tetapi kok sepertinya ada something yang missing di dalam karakternya dia? Ada sesuatu yang kita harapkan dari orang-orang pada umumnya yang tidak ada pada orang-orang seperti ini dan ini wajar, tentunya tidak semua orang yang bertalenta seperti ini, bukan, tetapi orang-orang yang sejak kecil sudah terlihat bertalenta, itu difokuskan dalam talenta tersebut, sehingga akhirnya hal-hal yang lain, yang orang lain belajar, itu dia tidak belajar.
Kalau kita bertemu dengan orang yang bertalenta luar biasa, tetapi tidak memiliki karakter yang baik, kita mengatakan apa? Kita akan berkata, sayang ya, orang yang hebat, tetapi karakter-nya kok jelak atau sia-sia orang itu cantik atau ganteng, tetapi sayang tidak memiliki core character di dalam yang harusnya ada dibanyak orang? Hal ini berlaku untuk kita semua, tetapi ini khususnya berlaku juga untuk orang-orang kristen, kalau orang kristen punya banyak talenta, tetapi tidak punya sesuatu yang paling core yang di dalam hidupnya, kita akan mengatakan, sayang sekali.
Inilah apa yang sedang Paulus hadapi waktu dia menghadapi jemaat Korintus, kalau kita bisa mengunjungi Korintus saat ini, kita akan terkesima dengan talenta-talenta yang ada di dalam gereja Korintus. Dalam Korintus 12 kita melihat ada banyak talenta dari jemaat Korintus yang dicatat oleh Rasul Paulus dan Paulus di tempat lain pernah mengatakan, kalau tanda seorang kristen yang baik, kalau kamu jadi orang kristen dan kamu ingin jadi kristen yang baik, tandanya apa? Tandanya adalah dalam hidupmu banyak karunia Roh, tetapi waktu Paulus menilai jemaat Korintus, apa yang dia katakan? Paulus mengatakan, kamu itu manusia-manusia duniawi, kamu itu manusia-manusia yang tidak dewasa, yang hanya bisa minum susu dan tidak bisa memakan makanan keras. Kenapa? Bukan karena jemaat Korintus kekurangan karunia, kekurangan talenta, tetapi karena mereka lupa dengan karakter utama yang harusnya dimiliki oleh semua orang kristen, yang tanpa itu semua talenta itu tidak ada gunanya, karakter yang paling core, karakter yang internal itu dan apa core itu? Apa dalam hal ini yang Paulus tunjuk? Itulah yang ditunjuk dengan mengatakan, sekarang aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lebih utama lagi yaitu kasih.
Coba kita lihat seberapa pentingnya kasih itu bagi Paulus? Kita bisa membaca dari ayat 1-3, mungkin ayat 1 tidak terlalu menjadi domain gereja kita, tapi ayat 2, mengenai pengetahuan, nah bagian ini yang disenangi dan dikejar oleh orang-orang gereja reformed. Biasanya dalam gereja reformed tanda bahwa seseorang itu sudah mulai serius dalam kerohanian atau imannya adalah dia ingin mengerti secara perfect tentang Allah dsb. atau kita tidak tertarik sama pengetahuan, mungkin hal-hal lain dalam kalimat berikutnya yaitu memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung. Coba kita bayangkan kalau gereja kita berdoa hanya sekail saja, lalu gunung bisa berpindah atau tidak meletus lagi, bukankah itu suatu hal yang luar biasa? Tetapi bagi Paulus, kalau dibalik semua hal itu tidak ada kasih, maka semuanya itu sama sekali tidak berguna.
Berikutnya Paulus mengatakan mengenai memberi seluruh hartanya, bukankah itu sesuatu yang kita bisa berkata, wow luar biasa, tetapi sekali lagi, kalau hal itu tidak disertai kasih, tidak ada gunanya bagi Paulus atau bahkan orang yang mau mati martir sebagai penginjil, atau bahkan ada yang tidak sempat memberitakan injil. Bagi kita, bukankah hal ini begitu luar biasa? Tetapi sekali lagi, kata Paulus, jikalau tidak ada kasih di dalamnya, semuanya itu tidak ada artinya. Tanpa intinya, segala sesuatu yang kita anggap berharga, semuanya itu nothing, nah untuk aplikasinya ini menjadi sesuatu yang bisa langsung kita pikirkan.
Kita sebagai orang kristen, hari ini apa yang kita bangun? Di tengah-tengah dunia ini kita harus memiliki identitas yang berbeda dengan dunia, tetapi apa yang seringkali kita hadirkan? Khususnya untuk orang reformed, apa identitas yang menjadi pembeda? Yang pasti doktrin-nya, tapi kapan kita pernah mengatakan bahwa identitas saya sebagai gereja reformed adalah bahwa saya saling mengasihi, hampir tidak pernah. Dalam doaNya, Yesus mengatakan kepada murid-muridNya, dunia akan mengenalmu sebagai murid-muridKu jikalau kamu saling mengasihi, bukan mengatakan, kalau punya doktrin yang benar, lagunya hym dsb.
Kemudian Paulus memberitahu kepada kita apa sih yang namanya kasih itu? Dituliskan dalam ayat 4-7, kita bisa melihat dengan jelas gambaran sekilas apa itu kasih. Bagi Paulus dalam bagian ini, yang namanya kasih itu memiliki 2 sisi yang saling bersatu, satu sisi, kasih itu adalah satu perasaan yang dalam (ayat 4-6) dan dalam ayat 5-7 kita akan menemukan bahwa kasih itu bagi Paulus bukan hanya masalah perasaan, tetapi juga adalah masalah tindakan yang konkrit. Jadi kita melihat di sini Paulus membagi kasih menjadi 2 aspek yang saling bersatu, kasih itu adalah perasaan yang dalam dan kasih itu juga adalah satu tindakan yang konkrit.
Salah satu karakteristik orang kota adalah kita belajar untuk menyembunyikan perasaan kita dalam kehidupan sehari-hari dan sangat jarang orang-orang di kota mengekpresikan perasaannya dengan meluap-luap, dan mungkin hanya pada saat menonton bola kita bisa mengkspresikan perasaan kita. Kan sulit juga kalau kita hidup seperti itu, hidup yang selalu menyembunyikan perasaan atau afeksi kita. Dan hal ini juga masuk kedalam hidup keagamaan kita, bagi orang-orang di kota, tidak nyaman kalau dalam agama, dalam kebaktian itu ada banyak unsur perasaannya, tidak terlalu nyaman juga, khususnya bagi kita orang reformed yang cenderung curiga terhadap perasaan dan emosi. Kalau kita membicarakan kasih dalam gereja ini, seringkali kita menitikberatkan yang namanya kasih itu bukan masalah perasaan, yang namanya kasih adalah masalah komitmen, masalah tindakan, yang penting kamu itu berusaha sebisa mungkin untuk mencari apa yang baik bagi orang lain, tetapi masalah parasaan, itu lain lagi, tidak perlu.
Ini adalah satu hal yang salah, karena di sini alkitab mengatakan dengan jelas bahwa yang namanya kasih adalah masalah perasaan, lewat 1 Kor.13 ini kita belajar bahwa yang namanya kasih itu bukan hanya masalah komitmen untuk melakukan kebaikan bagi orang lain, kasih bukan hanya itu. Mari kita nilai sendiri, apakah jujur ketika seseorang mengatakan kalimat seperti ini, saya tidak tahan dengan dia satu ruangan, kenapa sih saya harus satu pengurus dengan dia? Kenapa sih saya harus satu pelayanan dengan dia? Tetapi sungguh loh…, demi Yesus aku mengasihi dia, apakah jujur mengatakan seperti itu? Perasaan adalah satu hal yang sangat penting dalam satu hubungan kasih, misalnya waktu saudara kandung kita yang sifatnya tidak baik, sering gagal dalam hidupnya dan akhirnya datang minta tolong kepada kita, pada akhirnya kita tetap mengulurkan tangan juga kan ya? Kenapa? Karena deep inside, ada koneksi yang bersifat emosional, kita memang kesal dengan kelakuannya, tetapi sesungguhnya jauh di dalam kita care, kenapa? Karena masalah perasaan, masalah afeksi.
Tetapi seperti yang alkitab katakan, kasih itu bukan hanya masalah perasaan saja, kasih itu juga masalah tindakan, khususnya tindakan yang bersifat pengorbanan. Sama seperti tadi yang kita katakan, bahwa kasih itu bukan hanya masalah tindakan, alkitab juga mengatakan sisi sebaliknya bahwa kasih itu bukan hanya masalah perasaan. Tuhan Yesus mengatakan bahwa tidak ada kasih yang lebih besar dari kasih seseorang yang menyerahkan nyawanya ganti sesamanya, indeed, kalau Tuhan kita itu mengatakan kepada kita Saya mengasihi kamu loh, tapi Dia tidak datang ke dalam dunia dst., apakah kita akan percaya bahwa Dia mengasihi kita? Tidak tentu, mungkin sekali tidak. Tindakan pengorbanan itu adalah bahasa universal, yang bukan hanya orang kristen yang bisa mengerti, orang dunia yang belum beriman itu bisa diluluhkan hatinya oleh pengorbanan.
Cerita-cerita yang paling memorable dalam buku cerita atau film adalah cerita-cerita dimana ketika tokoh utamanya mungkin justru mati, kenapa? Memberikan nyawanya bagi orang lain, itu cerita yang paling memorable. Seperti cerita dalam film frozen yang menceritakan satu tindakan kasih yang sejati untuk menyelamatkan yaitu dengan pengorbanan, jadi cerita ini menjadi memorable karena di dalamnya ada pengorbanan. Pengorbanan itu adalah satu hal yang sangat-sangat jelas, tergabung antara perasaan dan tindakan. Perasan itu penting, tetapi jika perasaan tidak pernah menjadi tindakan, maka bagi alkitab, apapun itu, itu bukanlah kasih. Jadi dua aspek dalam kasih itu harus berjalan bersama-sama, perasaan dan tindakan.
Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana supaya saya memiliki kasih bagi orang lain yang seperti ini? Ok, memang ada panggilan untuk mengasihi orang lain seperti mengasihi diri sendiri, ya hari ini saya belajar bahwa tanpa kasih, apapun yang baik itu tidak ada artinya sama sekali dan saya belajar bahwa dalam kasih harus ada perasaan tapi juga harus ada tindakan. Tapi bagaimana supaya saya bisa punya kasih itu? Atau, memang orang bisa diperintahkan untuk mengasihi orang lain? Kan itu bukan suatu hal yang bisa dipaksakan, ya kan? Kalau kita perhatikan di dalam alkitab, tempat-tempat dimana dalam alkitab itu muncul kalimat, “kasihilah….”, itu sifatnya adalah perintah, imperative, alkitab tidak pernah mengatakan, saya anjurkan ya kamu untuk saling mengasihi, tidak pernah muncul kalimat seperti itu, dengan jelas alkitab langsung mengatakan, “kasihilah Allahmu, kasihilah sesamamu”, dan dalam bagian lain, “hai suami, kasihilah istrimu”, itu sifatnya perintah, imperative.
Ya memang saya tahu perintah itu baik, tapi ayolah, memangnya kasih itu bisa muncul begitu saja? Kita bisa eskperimen sendiri dalam hidup kita, misalnya dalam ibadah ini, coba kita lihat kiri, kanan, depan dan belakang kita, apakah kita bisa mengasihi orang lain kiri, kanan kita begitu saja? Ya tentu bisa karena di kiri saya ini suami atau istri saya, tapi kalau yang disebelahmu itu adalah musuhmu, bagaimana? Apakah langsung bisa mengasihi? Ya tidak semudah itu. Dalam bagian ini kita mau belajar satu hal, relasi tambahan antara perasaan dan tindakan. Perasaan itu tidak bisa dipaksa, perasaan tidak mungkin datang kalau kita tidak diperintah untuk punya perasaan dan bahkan perasaan itu sifatnya tidak selalu konsisten, yang namanya perasaan itu terikat erat oleh berbagai macam faktor, fisik maupun psikologis, individualis maupun sosial, ada banyak sekali. Perasaan itu bisa naik turun dan perasaan itu lebih sering tidak berada dalam kontrol kita.
Sekali lagi, dalam kasih itu perlu ada perasaan dan tindakan, dan akhirnya perasaan kasih itu membuat tindakan kasih kita menjadi lebih asli, menjadi lebih jelas, ya kan? Tetapi yang ingin saya katakan di sini adalah tindakan kasih tidak selalu merupakan hasil dari perasaan kasih, kadang-kadang perasaan kasih justru bisa datang karena tindakan kasih yang mendahuluinya. Kita ini hidup dalam satu budaya yang mengatakan, untuk bisa mengasihi perlu ada perasaan kasih terlebih dahulu dan perasaan ini akan membuat saya bertindak untuk mengasihi, begitu kan? Karena itu aturannya, itu ordonya, misalnya ketika seseorang mau pacaran, kan tidak mungkin dia pacaran supaya dia bisa mengasihi pacarnya, ya tidak mungkin jadi yang seperti itu. Dan ini bukannya salah, dari perasaan datangnya kepada tindakan, itu jelas, tapi bukan hanya ini, pola dalam kasih.
Alkitab memberitahu kepada kita ada pola yang lain yaitu bisa juga kita bertindak dahulu maka akan muncul perasaan, kita bertindak mengasihi, dari tindakan ini justru timbul perasaan kasih. Misalnya, apakah bisa ada tindakan-tindakan yang kita lakukan yang mempengaruhi perasaan kita? Biasanya kita punya perasan apa, lalu melakukan apa, begitu kan ya? Saya kesal, itu sebabnya satu memukul-mukul bantal, saya merasa kepanasan, makanya saya kipas-kipas, dari perasaan menuju kepada tindakan. Tetapi apakah ada di dalam hidup kita dimana kita justru bertindak dulu lalu mempengaruhi perasaan kita? Ada, contoh yang paling mudah adalah kalau kita bermain musik, apa yang akan terjadi? Seperti bermain band, setelah tiga jam bermain, setelah itu jantung berdetak kencang. Misalnya ketika kita mendengar orang bernyanyi, lalu dari telinga kita keluar darah, itu tidak mungkin terjadi kan?
Ada tindakan-tindakan yang justru mempengaruh perasaan kita, itu sebabnya postur tubuh waktu berdoa itu satu hal yang penting, itu sebabnya cara bicara adalah satu hal yang penting, itu sebabnya datang telat dan tidak telat itu juga satu hal yang penting. Pdt. Ivan pernah bertanya, apakah jemaat sering merasa tidak mendapat apa-apa dalam khotbah? Lalu Pdt. Ivan mengatakan, mungkin itu bukan masalah pengkhotbahnya, tapi mungkin karena saudara sendiri saat teduhnya tidak beres. Karena saudara tidak pernah membiasakan diri sehari-hari untuk menerima firman, waktu hari Minggu saudara datang, saudara juga tidak siap untuk menerima firman. Dalam banyak hal, tindakan lebih mempengaruhi tindakan kita dan ini bukan hanya dalam hal positif, ada juga dalam hal negatif.
Pada hari ini kita hidup dalam budaya yang sangat mengatasnamakan kebebasan individual, kalau menikah karena dijodohkan, itu suatu dosa yang luar biasa dan hal ini mengakibatkan kita seringkali menjadi tidak peka terhadap pola kasih yang lain. Kita selalu berpikir kebebasan individual, berarti memang saya harus mau dulu, saya harus punya perasaan dulu, baru setelah itu ada tindakan yang sejati. Tetapi pola kasih yang Tuhan ciptakan, itu bukan hanya ini, memang yang ini benar, bukanya salah, tapi ada pola yang lain, yang juga Tuhan ciptakan, yaitu dari tindakan dahulu, later justru muncul perasaan. Misalnya hubungan orang tua dan anak, secara natural waktu anak lahir, kita punya perasaan sayang, tetapi setiap orang tua akan punya periode dimana anak itu mulai merepotkan dia, lucu-lucunya mulai hilang. Pada akhirnya semuanya menjadi pengorbanan, bukan hanya waktu, uang bahkan porsi tidur pun jadi berkurang, semua harus dikorbankan demi anak. Kita sebagai orang tua, punya anak dan anak tidak mungkin bisa membayar balik semua apa yang sudah kita lakukan kepadanya kan ya? Apalagi kalu sudah remaja, mulai memberontak dsb., tetapi orang tua terus berkorban dan memang ada juga anak yang baik, yang memberikan hormat kepada orang tua, tapi harus kita akui, waktu kita menjadi orang tua, tidak mungkin mereka bisa memberikan kepada kita sebesar yang kita berikan kepada mereka.
Dan apa yang terjadi setelah puluhan tahun? Setelah puluhan tahun, kita mengikuti pola ini terus-menerus, meskipun anak tersebut tumbuh menjadi seseorang yang mungkin tidak ada orang lain yang senang, meskipun anak tersebut tumbuh menjadi sampah masyarakat, sebagai orang tua kita tidak mungkin tidak mengasihi mereka, benar bukan? Kita akan punya perasaan yang sangat dalam bagi mereka, kenapa? Karena kita dipaksa untuk mengikuti pola kasih yang kedua ini, bukan dari perasaan kepada tindakan, tapi dari tindakan kepada perasaan. Sekali lagi, memang benar perasaan itu tidak bisa dipaksa dan perasaan juga bukan dibawah kontrol kita, tetapi tindakan itu tidak demikian, seseorang tidak bisa dipenjara hanya karena dia merasa ingin membunuh, ya kan? Tetapi orang akan dipenjara kalau dia melakukan tindakan pembunuhan, karena itu dibawah kontrolnya dia, diantara perasan dan tindakan, dua-duanya sama penting, tapi kita harus akui satu hal, dalam perasaan dan tindakan, tindakanlah yang lebih kita punya kontrol.
Maka bagaimana caranya supaya benar-benar sungguh saling mengasihi antara satu dengan yang lain di dalam jemaat ini? Kita bisa mulai dari perasaan, itu bisa, tetapi jangan lupa, kita juga bisa mulai dari tindakan. Perlakukan orang lain seakan-akan kita mengasihi dia, perlakukanlah orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan, itulah perintah daripada alkitab. Waktu Tuhan Yesus mengatakan, kasihilah orang lain, Dia tidak mengatakan, hei kamu kasihilah orang lain, berarti itu apa? Milikilah perasaan romantik terhadap orang lain atau milikilah perasaan yang dalam terhadap yang lain, bukan, waktu Tuhan Yesus mengatakan seperti itu, Dia mengatakan, kasihilah orang lain seperti kamu mengasihi dirimu sendiri, apa sih yang dimaksud disini? Perasaan tidak bisa diperintahkan, yang bisa diperintahkan adalah tindakan.
Pada hari ini kita sudah tahu bahwa kasih itu penting, tetapi kita mungkin masih ada keras hati, mungkin masih ada yang mengatakan, wah maaf, saya tidak bisa loh memberikan kasih kalau saya tidak merasakan kasih. Jadi kalau begitu kita hanya perlu mengingatkan diri kita sendiri, ketika Kristus memandang kita dari atas kayu salib, Dia tidak mengatakan, Aku memberikan nyawaKu bagimu, karena kamu sangat menarik bagi hatiKu, ketika Yesus memandang kita dari atas kayu salib, Dia sedang tertikam oleh karena dosa-dosa kita, ketika Dia melihat ke bawah, yang dilihatNya adalah orang-orang yang menyangkalNya, tapi apa yang Tuhan kita lakukan? Dia mengatakan, Bapa ampuni mereka, karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat. Tuhan kita mengasihi kita bukan karena kita menarik, karena kita lovely, Tuhan kita mengasihi kita supaya Dia bisa membuat kita menjadi lovely.
Itulah yang menjadi alasan yang kita harus ingat, kenapa kita mau mengasihi sesama kita manusia, sungguh sayang ketika kita melihat seseorang penuh talenta tetapi tidak memiliki karakter yang inti, sangat sayang ketika gereja itu memiliki potensi, bisa KKR dsb., tetapi pada akhirnya kita kehilangan kualitas karakter yang paling inti. Punya doktrin yang benar, punya gedung gereja yang baik, dll., tetapi kehilangan karakter yang paling inti dalam mengikut Yesus yaitu kasih. Bukankah Tuhan telah mengasihi kita? Tidak bisakah sekarang kita saling mengasihi? Amin.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (AS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Jemaat Kelapa Gading