Dalam khotbah sebelumnya, kita sudah melihat bagaimana Roh memimpin Filipus di Samaria, sebuah kota yang ramai, sebuah pemukiman; sekarang kita melihat Filipus dipimpin Roh untuk memberitakan Injil di tempat yang hampir tidak ada orang, tempat yang jumlah kalajengkingnya lebih banyak daripada jumlah orang, yaitu di padang belantara (padang gurun).
Roh memimpin Filipus masuk ke sebuah perjalanan yang disebutkan di sini “dari Yerusalem menuju Gaza”. Ada banyak jalan dari Yerusalem ke Gaza, bukan cuma satu jalan, dan dalam hal ini kita tidak tahu di titik mana terjadi perjumpaan ini. Sepanjang yang kita tahu, sebagaimana Lukas katakan, Filipus disuruh pergi oleh Roh (dikatakan di sini oleh malaikat Tuhan), Dia mengatakan, “Bangkitlah …” (perkataan ‘bangkitlah’ ini satu istilah yang sama dengan bagaimana Yesus dibangkitkan dari antara orang mati, yang orang-orang Gereja Ortodoks Yunani masih mengatakannya setiap Paskah, yaitu “Christos Anesti,”, kebalikan dari anestesi (tidak bangkit)). Kemudian Filipus disuruh berangkat ke sebelah selatan, artinya disuruh berangkat pada siang hari, karena istilah ‘berangkat ke selatan’ dalam bahasa Yunani juga bisa berarti berangkat pada pukul 12 siang. Ia disuruh turun ke sebuah jalan antara Yerusalem ke Gaza, yang kita tidak tahu persisnya di mana namun yang pasti itu suatu jalan yang ada di padang belantara, atau ‘sunyi’ menurut terjemahan Alkitab TB2. Dan bayangkan, atau coba kita hitung, probabilitas Filipus bisa bertemu dengan sida-sida tersebut dalam kisah ini.
Sida-sida adalah seorang kebiri, karena dia adalah orang yang melayani seorang ratu, dari daerah yang di sini disebut Etiopia, namun kita mengetahui Sri Kandake ini bukan memerintah di tempat yang nama sekarangnya Etiopia melainkan Sudan. Sida-sida ini adalah seorang bendahara –menteri keuangan, gubernur bank sentral– di Sudan. Sekarang coba kita bayangkan berapa besar kemungkinannya si sida-sida ini, yang berangkat ke Yerusalem pada suatu masa, lalu selesai festival dia pulang, dan kemudian langkah-langkah sapi yang mengangkut kereta si pembesar ini begitu persis sampai pada titik yang sama dengan ketika Filipus sampai di titik itu. Apakah ini kebetulan? Apakah kebetulan saja mereka sampai pada titik yang sama bersamaan?
Saya kira, segala sesuatu dalam hidup kita bisa kita melihatnya dalam 3 perspektif. Perspektif yang pertama, bahwa segala sesuatu ini tentu dimaksudkan dan merupakan hasil dari rencana, usaha, perbuatan, dari manusia. Misalnya, kenapa kolom di sebelah mimbar ini warnanya putih, ya karena yang mengecat mau pakai warna putih; kenapa bentuknya kayak begini, ya karena rancangannya memang seperti ini maka terjadi kayak begini. Jadi dalam hal ini, yang terjadi dalam hidup kita adalah hasil dari keputusan/usaha/rencana orang-orang. Namun masalahnya, orang-orang dalam dunia yang bisa punya rencana ‘kan banyak, dengan demikian hasil/result yang sungguhan terjadi, itu terjadi karena apa? Yaitu karena hasil perkelahian dan kemenangan dari rencana/perdebatan/usaha-usaha yang ada yang berhasil dan ada yang gagal; lalu yang terjadi adalah: yang berhasil mengalahkan yang lain. Leopold von Ranke, Bapak Sejarah Modern, mengatakan bahwa sejarah itu tidak lain tidak bukan adalah cerita mengenai the great works and deeds of great heroes (perkataan-perkataan dan tindakan-tindakan dari orang-orang hebat); orang-orang hebat berkelahi, lalu menang atau kalah, lalu ada hasilnya, dan itulah sejarah. Bagaimana dengan orang yang tidak hebat? Ya, cuma menonton. Jadi ini adalah satu pagelaran yang digelar oleh dewa-dewa, yaitu orang-orang hebat tersebut; sejarah itu ada di bawah bayang-bayang orang-orang besar. Ini gambaran romantik, gambaran modern, seolah-olah sejarah itu terjadinya persis seperti yang orang-orang yang hebat, orang-orang yang punya kuasa, maksudkan dan inginkan.
Namun kita tahu, pada kenyataannya tidak begitu. Dalam kenyataan yang terjadi, selalu ada faktor X. Faktor X ini bisa faktor alam, misalnya orang-orang hebat merencanakan sesuatu, lalu tiba-tiba cuaca berubah, atau mendadak terjadi gempa bumi; atau juga mendadak terjadi kelaparan, terjadi peperangan yang tidak diduga-duga. Jadi ada hal-hal mendadak –atau orang asurasi bilang ‘force major’— ada kuasa besar yang tidak disebutkan namanya –orang zaman dulu menyebutnya Tuhan atau dewa-dewa atau apapun– yang kita sebut faktor X. Dengan demikian orang postmodern mengatakan, segala yang terjadi dalam sejarah –termasuk dalam peristiwa ini, mengenai kenapa Filipus bisa ada di situ tepat ketika sida-sida ini lewat– adalah random saja. Random itulah yang mahakuasa, hidup ini tidak ada maksudnya, tidak ada maksud apa-apa bahwa kamu ada di sini dan saya ada di sini, tidak ada maksud apa-apa terjadi ini dan bukan terjadi itu, tidak ada makna apa-apa, kita cuma ada di sini sebentar, bernafas dan menikmati atau tidak menikmati, lalu mati, lalu dilupakan. Itu saja. Inilah gambaran mengenai kehidupan menurut perspektif kedua.
Namun saya kira tidak cuma dua hal tadi yang ada. Yang pertama tadi, bahwa hidup kita ini diombang-ambingkan di antara kehendak dan keberhasilan orang-orang besar –sehingga kita selalu berdoa “Tuhan, berikan kepada kami pembesar-pembesar yang takut akan Tuhan, berikan kepada kami pemimpin-pemimpin yang cinta rakyat dan cinta Tuhan” seolah-olah semuanya tergantung pada orang-orang hebat dan orang-orang besar itu. Yang kedua tadi pun gelap sekali, seolah-olah apa yang terjadi, ya terjadi begitu saja, random saja, tidak ada maksudnya. Misalnya, bahwa saya meraih 10 juta dolar pertama saya sebelum berusia 30 tahun, itu tidak ada maksud apa-apa; bahwa uang tersebut hilang dalam satu minggu, juga tidak ada maksud apa-apa; tidak ada maksud apa-apa bahwa anak saya mati ketika dia masih umur 3 bulan; tidak ada maksud apa-apa waktu tiba-tiba misalnya saya terpilih jadi sekjen PBB. Saya kira, dua-duanya itu tidak realistis, dan yang pasti tidak sesuai dengan gambaran dunia Kristen. Gambaran dunia Kristen mengatakan: segala yang terjadi dalam dunia kita adalah wujud/bentuk dari providensia, wujud/bentuk dari drama penyelenggaraan sejarah yang berasal dari Tuhan; dan Tuhan itu Bapa kita. Not happened by chance, but from His fatherly hand, demikian kata penulis Katekismus Heidelberg, Zacharias Ursinus, bahwa datangnya dari tangan Tuhan.
Saya kira ini juga hal yang sama yang dianggap oleh Lukas, yaitu karena Roh, malaikat Tuhan, berkata kepada Filipus, ‘bangkitlah, berangkatlah ke sebelah selatan –artinya siang hari, pada siang bolong yang di padang gurun panas banget, tidak ada orang– jalanlah menurut jalan yang turun dari Yerusalem ke Gaza, dan di jalan sunyi itu –di mana kamu ketemu kalajengking lebih banyak daripada manusia– kamu akan ketemu orang’. Dan betul, Filipus bangkit, Filipus berangkat. Jadi di sini dilangi dua kali, malaikat Tuhan bilang ‘bangkitlah, dan berangkatlah’, Lukas kemudian bilang Filipus melakukan hal yang persis sama, bangkit, berangkat. Dan, lo and behold di sana dia ketemu seorang Etiopia (atau Sudan), seorang sida-sida istana. Perhatikan di sini lapisan-lapisan ketidakmungkinannya: di sana ia ketemu seorang Etiopia, orang Etiopia ini bukan sembarang orang Etiopia melainkan seorang eunuch /sida-sida, dan sida-sida itu adalah kepala dari perbendaharaan (treasury) kerajaannya Sri Kandake, ratu negeri Etiopia itu; dan, sida-sida ini juga bukan sedang melakukan perjalanannya sembarang juga. Bayangkan, berapa besar chances seorang bendahara Sri Kandake, negeri yang bukan menyembah Allah Yahweh, sedang melakukan perjalanan untuk beribadah di Yerusalem dan sekarang sedang meninggalkan Yerusalem, lagipula hari-hari ibadah/berziarah ke Yerusalem pun cuma sekian hari dari sekian ratus hari, lalu bisa persis pada detik itu dia sedang dalam perjalanan pulang dan duduk di keretanya, lalu “kebetulan” juga dia sedang membaca kitab Nabi Yesaya!
Lalu Roh Tuhan berkata kepada Filipus, “Pergilah ke situ, dekatilah kereta itu!” Jadi pada kali yang pertama, malaikat Tuhan ini menyuruh Filipus datang ke sebuah spot yang most probable blank, tidak ada siapa-siapa; lalu pada kali yang kedua, Roh berkata kepada Filipus dengan mengasumsikan ada orang di sana. Selanjutnya dikatakan dalam kisah ini, Filipus bergegas ke situ. Jadi respons Filipus, waktu dikatakan “bangkit, berangkatlah” maka dia bangkit dan berangkatlah, lalu waktu dikatakan “ke situ, dekati” maka Filipus bergegas ke situ. Dan, ketika dia sudah dekat, dia mendengar sesuatu.
Apa yang Filipus dengar? Yang dia dengar adalah: orang itu sedang membaca kitab Nabi Yesaya. Ini sesuatu yang pastinya Filipus sudah pernah dengar sejak dia kecil. Ini sesuatu yang familier bagi Filipus, namun tidak familier bagi orang Etiopia, sida-sida ring satu, bukan orang Yahudi yang imigran di Etiopia melainkan most probable orang Etiopia asli, yang merupakan Yusuf-nya kerajaan Ratu Kandake –dan orang ini tidak menyembah Allah Yahweh namun dia membaca kitab Nabi Yesaya, padahal dia tidak mengerti. Dia ini simpatisan kelihatannya. Dia adalah orang yang datang ke pelataran gentiles.Ini pelataran di mana Yesus pernah marah-marah, membikin pecut lalu mengusir para pedagang di sana, karena mereka membuat suasana tidak ramah bagi orang-orang asing yang datang untuk nonton ibadah orang Yahudi, berhubung mereka mengubah rumah doa bagi segala bangsa itu menjadi sarang dari Zelot, orang-orang garis keras yang anti terhadap orang asing –anti terhadap sejenis manusia dari Etiopia (Sudan) ini. Dan, orang ini setelah melihat pagelaran/festival agama yang asing yang dia simpati banget, yang hatinya strangely warm (frasa dari Wesley), yang hatinya dihangatkan dengan aneh ketika mendengar dan melihat ibadah di Yerusalem itu –kalau tidak, ngapain dia ke sana dan tertarik dengan agama Yahudi– dia pun pulang. Dalam perjalanan pulang dia membaca kitab Nabi Yesaya, dan Filipus mendengar kitab itu dibacakan ketika dia slow jogging di pinggir kereta sapinya sang bendahara, dan kemudian ngobrol dengan dia eye to eye. Kita bisa bayangkan sang bendahara ini membuka jendelanya, sementara Filipus jalan di pinggir keretanya, kemudian mereka mengobrol. Filipus mengatakan, “Ngerti ‘gak yang Tuan baca?” Dia lalu bilang, “Bagaimana aku dapat mengerti, kalau tidak ada yang membimbing aku?” dan kemudian dia meminta Filipus naik ke keretanya. Dia bukan memerintahkan Filipus naik, dia memohon agar Filipus naik dan duduk di sampingnya, menjadi gurunya.
Nas yang dibaca adalah satu nas yang familier buat kita, berbunyi begini: “Seperti seekor domba Ia dibawa ke pembantaian; seperti anak domba yang kelu di depan orang yang menggunting bulunya, demikianlah Ia tidak membuka mulut-Nya. Dalam kehinaan-Nya keadilan tidak diberikan kepada-Nya; siapa yang akan menceriterakan asal usul-Nya? Sebab nyawa-Nya diambil dari bumi.” Ini ayat dari Yesaya 53:7-8, yang biasanya kita dengar pada saat Paskah.
Yesaya 53 ini, kalau bagi kita bicara mengenai siapa? Mengenai Yesus. Kalau Saudara tanya kepada rabi-rabi di Yerusalem, apa mereka setuju ayat ini bicara mengenai Yesus? Tidak. Kalau Saudara tanya kepada Yitzchak Breitowitz, dia akan bilang ini tidak bicara soal Yesus-lah, ini bicara soal Israel. Tentu itu perdebatan yang perenial, perdebatan yang tidak habis-habis. Bagi orang Yahudi, bagian ini tentu tidak bicara mengenai Yesus dari Nazaret, ini bicara mengenai Israel sendiri, sebagai yang menderita, yang di-bully, yang terus-menerus dikerjain oleh bangsa-bangsa, yang menderita penderitaan dunia ini; dibikin menderita oleh dunia ini namun somehow Yahweh menanggungkan kesalahan dunia ini kepada Israel, dan melalui bilur-bilur Israel somehow dunia ini disembuhkan, terjadi tikkun olam. Itulah yang mereka percaya, bahwa somehow penderitaan orang-orang Yahudi membikin dunia jadi tempat yang sedikit lebih baik karena Tuhan melakukannya begitu –menurut mereka. Kita tidak percaya itu, tentu saja (atau kita percaya itu juga, kalau kita bungkus dengan satu konteks tertentu). Kita percaya bahwa sintesa yang benar adalah: ini bicara mengenai Yesus. Yesus yang adalah Adam yang kedua. Yesus yang adalah Israel yang sejati. Yesus yang adalah kepala dari umat Tuhan yang baru, yang ternyata terdiri dari berbagai bangsa. Dan ternyata yang disebut Israel bukanlah bangsa tertentu, yang menurut Paulus dalam surat Galatia justru merupakan keturunan Hagar (tentu bukan dalam arti secara literal keturunan Hagar, melainkan secara alegoris boleh dibilang keturunan Hagar karena obsesi mereka pada hal-hal material, mengenai silsilah/darah/etnis). Orang-orang Israel yang sejati justru adalah dari berbagai bangsa, bahkan orang-orang yang tidak bersunat, orang-orang yang najis menurut mereka yang terobsesi dengan silsilah; orang-orang Israel yang sejati adalah mereka yang bergulat dengan Tuhan, bergumul dengan Tuhan (karena Israel artinya bergulat/bergumul dengan Tuhan, nama baru Yakub, yang dengan lihai bergulat dengan kakaknya lewat segala tipu daya namun kemudian namanya diganti menjadi Israel). Jadi nama ‘Israel’ bisa punya arti yang lain.
Intinya, kalau kita bicara mengenai Yesaya 53, kita bertanyanya: domba ini apa, kenapa dia mati. Orang Israel dan orang Kristen bertengkar mengenai hal itu; yang satu bilang domba itu adalah saya, bangsa kami, bangsa Israel; sementara orang Kristen bilang domba itu adalah Dia, Yesus, yang mati bagi kita. Tapi, orang Etiopia ini, sida-sida ini, pertanyaannya “offside”, dia tanyanya tidak ortodoks, dia tanyanya begini: “Tentang siapa nabi itu berkata demikian?” –sampai di sini masih benar– lalu sambungannya: “tentang dirinya sendiri, atau tentang orang lain?” Lho?? Unexpected. Ini hasilnya kalau misalnya Saudara PA dengan orang yang tidak biasa baca Alkitab. Saya ingat pada tahun 2017 di satu kelas Metode Riset, seorang kawan mengusulkan mengenai proyek yang sedang saya kerjakan waktu itu, demikian: “Coba lu baca Alkitab, misalnya Khotbah di Bukit, bareng dengan orang agama lain deh, dan coba dengar dia tanyanya apa, dia lihatnya apa, nanti lu akan tahu hal-hal yang lu ‘gak pernah tahu, yang lu ‘gak pernah tanya, dan satu horison yang baru bisa terbuka —just simply karena mereka itu punya satu set ekspektasi yang beda banget”, dan saya kira itulah yang terjadi di bagian ini.
Sida-sida itu bukan orang Israel, dan jelas bukan orang Israel juga. Dia punya set ekspektasi yang beda banget, dia bertanya suatu pertanyaan yang tidak ortodoks, tidak lazim; yang dia tanya adalah: yang dibicarakan di sini nabi itu sendiri atau orang lain? Tentu tidak ada ‘kan perdebatan tentang apakah Yesaya bicara mengenai dirinya sendiri, tapi sida-sida tersebut bertanya hal itu. Dan, Filipus tidak menjawab pertanyaan itu. Jadi ini satu contoh bahwa pertanyaan orang tidak harus pertanyaan yang insightful, tidak harus pertanyaan yang tepat, dan kita tidak harus kemudian menghakimi pertanyaan itu karena pertanyaannya buruk, namun kita bisa bertolak dari pertanyaan itu. Filipus pun bertolak dari pertanyaan itu, dari nas tersebut dia memberitakan Injil tentang Yesus kepadanya.
Mereka melanjutkan perjalanan mereka, dan tiba di suatu tempat yang ada airnya. Sekali lagi, ini chances-nya kecil banget karena ini merupakan perjalanan dari Yerusalem ke Gaza, perjalanan di padang gurun yang lazimnya tidak ada air –tapi bukan tidak mungkin ada air, mungkin saja ada oasis, mungkin saja ada sungai di padang gurun. Di situ kemudian orang Etiopia ini menyuruh berhenti; dan pertanyaan yang keluar begitu menyentuh hati, menurut saya. Dia mengatakan: “Lihat, di situ ada air; apakah ada halangan bagiku untuk dibaptis?” Coba Saudara pikir, ini konstruk kalimat yang agak aneh, ‘apakah ada halangan bagiku untuk dibaptis’.
Kenapa dia tanya begitu? Saya kira karena banyak halangan bagi dia untuk menjadi umat Tuhan. Dia itu bukan orang Yahudi. Dia itu tidak mengerti yang dia baca. Dan di atas semuanya, dia itu sida-sida, eunuch; dia tidak akan punya keturunan. Dia itu ditulis dalam kitab Taurat tidak boleh ada di antara jemaat Tuhan. Dia terusir dari jemaah Tuhan, setidaknya tidak boleh berada di Pelataran Dalam dari Bait Suci, dia tidak boleh jadi imam sudah pasti, dia tidak bisa dekat dengan Tuhan –karena tubuhnya yang cacat itu. Ini kecacatan yang membuat dia excluded dari umatnya Yahweh, namun yang membuat dia naik ke tempat yang tinggi di Sudan (Etiopia) sana yaitu menjadi bendahara Ratu. Dia seolah-olah kastanya paling rendah ketika datang ke Yerusalem kerena tertarik pada ibadah dari suatu Tuhan, yang mereka sembah, yang menolak dia. Dia dihinakan sekali di sana.
Tetapi, Tuhan rupanya menyimpan juga satu janji mengenai orang-orang yang bulus ini, orang-orang eunuch ini, orang-orang yang tidak mungkin mempunyai keturunan ini, orang-orang yang castrated ini; janji-Nya adalah bahwa mereka pun akan terhitung masuk ke dalam perjanjian, mereka pun akan punya akses kepada Bait Suci. Kapan? Jawabannya: ketika Tuhan memulihkan keadaan Sion, ketika Tuhan kembali ke Sion, ketika Israel kembali dari pembuangan sepenuhnya –dan Israel ketika itu memang sudah secara fisik kembali dari pembuangan, tapi belum seluruhnya, mereka masih menantikan datangnya hari itu, datangnya eskaton, datangnya hari akhir, datangnya Kerajaan Allah. Israel menunggu itu; dan salah satu yang mereka harusnya tunggu tapi saya kira mereka tidak tunggu, adalah: ketika para eunuch, orang-orang yang dikebiri ini, mereka itu pun memiliki janji, mereka akan memiliki warisan/portion. Mereka bahkan memiliki anak-anak, mereka akan berbahagia. Lukas bercerita mengenai ini. Lukas ingin mengisahkan bagaimana janji kepada nabi-nabi Perjanjian Lama direalisasi di dalam peristiwa yang unlikely, yang kayaknya random, yang chances-nya kecil ini, yaitu ketika Filipus disuruh malaikat Tuhan untuk bangkit dan berangkat ke selatan menurut jalan yang turun dari Yerusalem ke Gaza, yang sunyi, yang lebih banyak kalajengkingnya daripada orangnya, dan happened to be di sana sedang lewat kereta sapi ditunggangi seorang Etiopia, yang adalah sida-sida, yang adalah kepala perbendaharaan Ratu Kandake, yang habis beribadah ke Yerusalem dan sedang pulang, dan persis banget sedang membaca dari kitab Nabi Yesaya. Tidak ada yang kebetulan, itu pun datangnya dari tangan Tuhan bagi orang ini, bagi orang yang selalu terhalang untuk dibaptis, untuk dijadikan umat, untuk dihitung masuk dalam kerajaan dari Allah asing itu, dari Allahnya Abraham-Ishak-Yakub. Selalu ada halangan baginya untuk disebut anak Tuhan, umat Tuhan –selalu ada halangan– tapi sekarang, adakah halangan bagi si eunuch ini untuk dihitung sebagai umat Tuhan? Tidak ada.
Selanjutnya, salah satu penyalin dari Alkitab (kita tidak punya lagi naskah asli Alkitab, semua salinan), menuliskan di ayat 37 yang dalam tanda kurung kotak [ ]. Dalam studi Textual Criticism, kelihatan banget bahwa ayat 37 ini bukan bagian dari gaya penulisan Lukas, dan jelas tidak ada dalam naskah-naskah yang paling tua, maka ditaruh di catatan pinggir, namun beberapa transmitor Alkitab menuliskannya dalam body text, sehingga kemudian para sarjana kritis memberi tanda [ ] saja, supaya diketahui. Seperti juga doa Bapa Kami, ada bagian yang mengatakan “Karena Engkaulah yang punya kerajaan, dan kuasa, dan kemuliaan, sampai selama-lamanya” yang ditulis dalam tanda [ ], bagian itu tadinya tambahan dari orang yang menyalin Alkitab, namun karena telanjur masuk ke dalam body text dalam beberapa salinan yang terkemudian, maka para sarjana kritis mencoba meletakkannya dengan memberi tanda [ ]. Dalam bagian [ ] ayat 37 ini, Filipus digambarkan mengatakan: “Jika tuan percaya dengan segenap hati, boleh.” Ini menarik. Walaupun ini bukan tulisan Lukas, namun saya kira ini masih in line dengan Lukas, seakan-akan ini LukasEx (seperti KafkaEx). Filipus digambarkan mengatakan, “O, ya, tidak ada halangan sama sekali; syaratnya cuma satu: percaya dengan segenap hati atau tidak”. Dan orang itu menjawab, “Aku percaya, bahwa Yesus Kristus adalah Anak Allah”; ini formulasi yang terdengar sangat late, bukan bagian dari mula-mula banget, mau mengatakan bahwa Yesus memang Mesias, Yesus memang berasal dari Allah, Yesus memang yang kita tunggu-tunggu.
Selanjutnya, orang Etiopia itu menyuruh menghentikan kereta itu, keduanya turun ke dalam air, baik Filipus maupun sida-sida itu, lalu Filipus membaptis dia. Ini sesuatu yang memenuhi hati jemaat dengan kegembiraan, karena Injil datang dan sampai ke Etiopia, kepada orang yang dianggap paling marjinal kalau dia berada di Yerusalem meskipun dia ring satu di pusat kekuasaan. Dia orang yang sangat terhormat kalau di Etiopia (Sudan) sana, tapi kalau di antara umat Tuhan, mereka menolak dia, menghalangi dia untuk jadi milik Tuhan. Namun sekarang sudah datang sebuah zaman, di mana Kerajaan Allah datang; dan, dalam Kerajaan Allah yang datang ini, orang macam begini pun, orang asing, orang Etiopia, orang bukan percaya, orang yang bahkan sida-sida, dia diterima menjadi anak Tuhan, karena ternyata Tuhannya Abraham-Ishak-Yakub berjanji juga mengenai orang-orang macam begini, orang-orang eunuch ini. Mereka ini pun akan bersukacita ketika Tuhan menjadi Raja di Sion.
Ketika mereka keluar dari air, Roh Tuhan tiba-tiba membawa Filipus pergi sebab tugasnya sudah selesai. Sida-sida itu tidak melihatnya lagi, sida-sida itu meneruskan perjalanannya dengan sukacita. Lalu Filipus ternyata sudah berada di Asdod, another centrum dari orang-orang gentiles, sebagaimana kita tahu Asdod adalah tempat orang Filistin bermukim. Filipus berjalan melalui daerah itu, memberitakan Injil di semua kota, sampai ia tiba di another centrum dari orang gentiles, yaitu Kaisarea, centrum dari orang-orang Romawi di Yudea. Di sana pun nantinya kita akan melihat Roh Tuhan menghadirkan pemerintahan-Nya, Kerajaan-Nya. Jadi, tidak pandang bulu, tidak melihat dari siapa atau melalui siapa, Roh itu bisa menghadirkan pemerintahan-Nya. Lukas membentangkan kepada kita bahwa Roh Allah bisa bekerja memakai siapa saja, lewat siapa saja. Itu semua memang sudah ada dalam nubuatan janji Tuhan dalam Perjanjian Lama, bahwa Tuhan akan membuat bumi ini bersukacita segala isinya, karena pekerjaan Roh-Nya menciptakan ulang —dan Tuhan memakai kita. Tuhan memakai orang-orang percaya, Gereja-Nya, untuk menyampaikan berita sukacita ini kepada segenap makhluk, kepada semua orang, kepada tempat-tempat yang gelap yang belum terjangkau di manapun kita berada.
Saya akan coba kaitkan ini dengan satu tokoh lagi, yang mungkin tidak serta-merta kelihatan nyambung, yaitu dari Surat Paulus kepada orang-orang di Efesus, pasal 6:3. Dikatakan di sana oleh Paulus: “… supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi”. Panjang umurmu itu bukan maksudnya umurmu sampai 103 tahun dan matanya buta, kupingnya budek, badannya sakit-sakitan, minta mati setiap hari tapi sudah 50 tahun minta dan Tuhan belum kabulkan, melainkan maksudnya masih tetap segar-bugar, umur 103 tahun masih ikut marathon, lalu tiba-tiba diangkat –kira-kira begitu. Intinya, panjang umur yang dimaksud adalah baik keadaannya, flourish hidupnya, ada keadilan, ada kebaikan, ada keindahan, ada kebenaran, righteous tingkah lakunya –kira-kira begitu. Di mana? Ini yang menarik, Paulus katakan: di bumi. Ini adalah trasformasi dari apa yang Tuhan janjikan dalam Perjanjian Lama, yang dalam bahasa Ibrani disebutkan “di tanah yang diberikan Tuhan kepadamu”, sebagaimana dikatakan: “Turutilah perintah-perintah ini (orang Yahudi bilang ada 613 langkah), instruksi-instruksi untuk berjalan bersama Yahweh itu, supaya panjang umurmu di tanah yang diberikan Tuhan kepadamu.”
Kalau Saudara googling lagu kebangsaannya Israel, “Hatikvah” —by the way saya tidak mendukung zionisme– ada sedikit hal yang mereka pakai untuk mendukung ideologi mereka –yang saya tidak setuju– yaitu mereka mengatakan: “Dua ribu tahun pengharapan kita tidak akan sia-sia kalau kita melihat ke timur, karena di sana, di tanah Israel dan di Yerusalem, kita akan hidup bebas”. Jadi, Eretz-Tziyon Yerushalayim adalah tempat mereka akan hidup bebas, demikian mereka katakan. Paulus mentransformasi ini; dia tidak mengatakan “panjang umurmu, banyak anakmu, sehat badanmu, sukses usahamu, di tanah Israel, di tanah nenek moyangmu”, dia bilang: “di bumi”. Sebab apa? Sebab tidak penting apakah itu Israel atau Eropa atau Amerika, apakah di Madura atau di Jawa atau apapun; tidak penting sama sekali karena Tuhan sudah mengubahnya, karena Tuhan sudah memperluasnya, karena sudah digenapi janji Tuhan kepada umat Tuhan yang lokal pada zaman itu dan sekarang pintunya terbuka untuk segala bangsa datang kepada Allahnya Abraham-Ishak-Yakub, dan mereka diberkati, mereka akan disebarkan di bumi, sehingga terjadi shalom, bukan di tanah perjanjian saja, bukan di Eretz-Yisrael saja, tapi di seluruh dunia, di seluruh kosmos. Di seluruh dunia, segala bangsa adalah milik Tuhan; dan Anda dan saya adalah saksinya. Di ruangan ini saya kira tidak ada orang Yahudi, kita adalah bangsa Mongoloid, Melayu, Polinesia, atau apapun, dari berbagai bangsa, mungkin juga ada keturunan orang Sudan, yang dipanggil Tuhan di dalam Yesus untuk merayakan datangnya pemerintahan dari Allah yang menampakkan diri kepada Abraham, Ishak, Yakub, dan juga kepada Musa, Daud, dan melalui mereka segala bangsa diberkati.
Pantas saja Lukas membentangkan kisah seperti itu, di mana lewat pekerjaan Roh, Tuhan membawa orang-orang sampai ke tempat yang sepi seperti padang belantara itu, di mana Filipus dipimpin untuk ketemu dengan seorang yang highly unlikely, untuk medengar Injil, untuk mengenal Allah Israel, dan dia memang sepertinya tertarik sehingga dia datang ke Yerusalem untuk beribadah sebagai bangsa-bangsa, sebagai gentiles, walaupun umat Tuhan menghalang-halangi dia, mendiskriminasi dia. Lihat saja, pelataran gentiles pada zaman Yesus sudah diubah jadi sarang pemberontak, sarang orang-orang xenophobic yang benci terhadap orang asing, yang mengatakan, “Kami, umat Israel, orang-orang Yahudi, ditindas beratus-ratus tahun, tapi tunggu saja nanti kalau mesias datang, kami akan giling kamu habis-habis, kamu akan tunduk menjilati sepatu kami”. Namun ketika Mesias Yesus datang, Dia tidak melakukan itu.
Ketika Raja Yesus datang, dalam Kerajaan Yesus, orang-orang asing itu duduk semeja dengan orang-orang Israel, mereka duduk semeja menyembah Allah yang wajah-nya kita lihat di dalam Yesus, Allah yang tersalib itu. Dengan demikian, yang menghalangi kita untuk disebut umat Tuhan bukanlah warna kulit kita, bukan bahasa kita lagi –ini perspektifnya Lukas– bukan lagi keturunan kita, makanan kita, tapi yang menghalangi adalah tidak percayanya kita kepada Yesus. Dan, barangsiapa Roh bangkitkan, kita akan percaya kepada Yesus, kita percaya pada datangnya pemerintahan Tuhan di dalam Yesus, yang include orang-orang macam Anda dan saya, untuk merayakan hari-hari kita di bumi. Merayakan yang kita suka sebut “hidup manusia itu satu kali saja, satu hari saja, sudah gitu mati”, namun itu salah; kita merayakan 365 ¼ kali per tahun occasion yang kita kerjakan, yang kita sebut hidup, karena kita hidup 365 ¼ kali setahun itu bukan satu kali seumur hidup tapi 70 atau 80 dikali 365 ¼ kali. Kita merayakan itu. Kita merayakan hidup, sebab kita milik Tuhan, sebab kita melihat pekerjaan Tuhan di dalam Yesus, pekerjaan Tuhan di dalam sejarah Gereja, yang memasukkan orang-orang termasuk macam kita, ke dalam kumpulan jemaat Tuhan.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading