Salah satu elemen khas nabi pra pembuangan seperti Yeremia adalah mereka memberitakan baik dosa-dosa Israel, hukuman yang akan menimpa jika mereka menolak untuk bertobat; penghakiman yang benar-benar datang, dan yang tak kalah penting adalah pengharapan dibalik penghukuman keras. Minggu lalu kita menilik tentang berita yang sangat mengerikan, yaitu ketika Allah berkata “cukup” terhadap manusia. Penghakiman sudah dijatuhkan, kesempatan bertobat ditarik, mereka dijauhkan dari jangkauan doa. Kita melihat sebuah pasangan janggal dalam 2 Raj 23 ketika berita giatnya pertobatan Yosia yang diungkapkan dengan sangat dramatis memakai tiga keterangan penting dengan segenap hati, dengan segenap jiwa, dengan segenap kekuatan (25) disandingkan dengan pernyataan penghukuman Allah kepada Yehuda (26-27). Hal ini menjadi berita yang sangat serius dan ketika kita akan membaca berita anugerah yang tak kalah besarnya gambaran tentang murka Allah tidak bisa kita abaikan. Membicarakan anugerah lepas dari kesadaran akan dosa dan kerasnya penghukuman Allah seringkali hanya menjadikan berita anugerah tersebut sebagai tawaran murahan dari Allah yang sedang mengobral Diri-Nya.
Mungkin gambaran inilah yang secara tak sadar juga menghinggapi kita, kita berbicara tentang anugerah Allah namun terlepas dari gambaran yang cukup dekat dengan penghakiman. Ya Allah beranugerah, menyelamatkan kita; namun menyelamatkan kita dari apa??? Jawaban dogmatis yang kita mungkin sangat tahu yaitu dari perapian neraka yang menyala. Namun kita sendiri tidak pernah merasakan bahwa hukuman Allah sebenarnya sudah sangat dekat dengan kita sehingga ketika keselamatan tersebut diberitakan dengan kabar yang “total ramah” maka anugerah itu menjadi murahan. Kabar anugerah seperti ini bukan berita Alkitab; namun Kristen foodcourt. Kita tahu bahwa di foodcourt masing-masing stand menawarkan diri, memamerkan tawaran-tawaran menarik, berusaha untuk “menyentuh” kita agar membeli. Keputusan ada dipihak kita, apakah mau mampir atau tidak, dan jika mampir, mau mampir di stand yang mana. Gereja ada banyak, masing-masing menawarkan diri dengan iklan yang menarik; ada yang menonjolkan lighting, musik, atau bahkan Firman, atau persekutuan. Tergantung hari ini mau yang mana, manis, pedas, gurih; mau ala Chinese ada Chinese food ada gereja Chinese; mau yang ke bule-bule an ada English service. Tinggal pilih; kalau belum jatuhkan pilihan dan masih bingung tenang saja nanti ada gereja yang besuk dan menjajakan diri. Namun sekali lagi itu bukan gambaran Allah Alkitab, itu adalah Yesus foodcourt, menjajakan diri dan kebingungan ketika murid-murid pergi. Yesus Alkitab adalah Yesus yang berkata keras kepada murid-murid ketika orang banyak mulai pergi meninggalkan-Nya, apakah kamu tidak pergi juga??? (Yoh 6:67).
Poinnya bukanlahlah keharusan untuk bersikap super keras terhadap jemaat; namun kesadaran penuh tentang anugerah. Anugerah pada naturnya yang paling dasar adalah diberikan bukan kepada orang yang berada pada posisi diatas namun dibawah; bukan pihak bos namun pihak pengemis. Anugerah Allah dibicarakan tidak terlepas dari kacamata murka dan penghakiman keras Allah. Seringkali yang kita hidupi pada masa kini sebaliknya; tersinggung sedikit kita bisa ngambek dan minta berhenti pelayanan, kesal sedikit menjadi pahit dan pindah gereja. Ini tidak kita lakukan di perusahaan; kita tidak bisa tersinggung sedikit dengan atasan minta keluar. Bedanya adalah kita butuh pekerjaan sementara gereja saya tidak terlalu butuh; supply gereja lebih tinggi daripada demand (kelihatannya). Kita tinggal keluar dari gereja satu untuk disambut dengan tangan hangat oleh gereja yang “beruntung” mendapatkan kita (apalagi kalau kita kaya). Sekali lagi ini foodcourt; Tuhan dalam Alkitab bukan demikian. Kita perlu sadar anugerah adalah anugerah; pemberi anugerah tidak membutuhkan penerima anugerah. Kita akan melihat bagaimana anugerah Allah tersebut dideskripsikan dalam format kabar baik khas Yeremia, dan bagaimana kita menghayatinya dalam hidup kita saat ini.
Zaman Yosia adalah sebuah zaman yang mungkin membuat kita susah percaya akan adanya penghukuman Allah dan penghukuman yang demikian berat, namun zaman Zedekia akan menjadi zaman yang sangat terbalik; kita akan kesulitan untuk percaya bahwa TUHAN ternyata masih memberikan pengharapan dibalik penghukuman yang sangat keras. Kabar baik ini diawali dengan pernyataan Allah sendiri; ah apakah lelaki melahirkan anak, jika tidak mengapa mereka memegangi pinggang layaknya perempuan bersalin (30:6).
Pertama, yang kita perlu ingat; ketika berbicara tentang anugeah, kita perlu melihat bahwa anugerah diberikan dalam konteks pelepasan dari rasa sakit yang sangat akibat pemberontakan dan kelamnya dosa. Sekali lagi anugerah tidak diberikan terlepas dari gambaran tentang penghakiman. Sakitnya penghukuman yang kita alami adalah cerminan sakit hati Allah yang lebih besar lagi. Kita menerima kesakitan karena dosa, itu wajar, namun Allah menerima sakit hati karena tindakan berdosa kita, itu tidak layak.
Kedua, berita anugerah benar-benar bergantung pada Allah semata. Apa yang kita pikirkan ketika Allah berkata anak kesayangankah Efraim bagiku??? Mengapa setiap kali Aku menghajarnya dengan keras timbul rasa kasihan-Ku. Tak dapat tidak aku akan menyayanginya (31:20). Ketika anugerah Allah tiba, hal tersebut bergantung pada Diri Allah, bergantung pada salah satu sifat mengagumkan dalam Diri Allah yaitu kasihan, iba. Kasihan adalah salah satu karakter unik Allah. Kasihan berbeda dengan cinta atau kasih.
Cinta seringkali berhubungan dengan kualitas baik dari objek yang dicintai. Kita mencintai hal yang indah, hal yang memberikan keuntungan atau kesenangan. Kualifikasi ini sama sekali tidak dimiliki oleh manusia yang terjerat didalam dosa. Namun kasihan justru sebaliknya dipantik oleh rasa tak berdaya, kemiskinan, kesakitan, dan segala kualifikasi negatif objek penerimanya. Karakter sedemikianlah yang merangsang anugerah Allah bagi kita; sama sekali bukan karena kebaikan kita, namun sebaliknya karena kejatuhan, kesakitan, rintihan kita. Ini karakter yang sangat unik dari Allah kita; Dia adalah Allah yang berbelas kasihan. Allah bukan Allah yang bisa dipermainkan, Allah tahu manusia yang menipu, berpura-pura mengiba dsb. Kita sulit membayangkan masa yang lebih buruk dari masa hakim-hakim; mereka berdosa dan terus berdosa; namun siklus tersebut terus berlanjut, ketika Allah memukul mereka dengan keras dan mereka menangis, maka Dia tergerak oleh kasihan. Namun kita perlu perhatikan baik-baik; bahwa rasa kasihan TUHAN ini diberikan didalam tangisan Efraim akan aibnya sendiri. Anugerah bukan diberikan kepada orang yang layak menerimanya, namun dalam gambaran ini anugerah diberikan kepada mereka yang menyerah.
Ketiga, anugerah tersebut sulit dipercaya. Ditengah payahnya hukuman yang dibebankan Allah; mereka akan kesulitan untuk melihat bahwa Allah masih mampu untuk kembali beranugerah. 31:35-36 Allah menyatakan bahwa ketetapan dan janji yang dibuat-Nya akan sekukuh janji-Nya terhadap alam semesta. Keadaan mungkin demikian kacau, kita mungkin sudah kesulitan untuk melihat apapun selain malapetaka dan kerumitan. Kita bahkan mungkin sudah tidak berani lagi untuk mengharapkan ampunan dan pertolongan Tuhan, namun Tuhan berkata lihatlah bulan, bintang laut, jika mereka masih ada pada tempatnya maka kita masih boleh mempercayai janji Tuhan. Hal ini dideskripsikan dengan sangat jelas dari kisah pembelian tanah di Anatot. Yeremia sedang ditahan dipelataran penjagaan, dan pasukan Babel yang perkasa telah mengepung kota. Sebuah keadaan yang sangat genting. Lalu Hanameel datang kepada Yeremia dan memintanya untuk menebus tanah di Anatot. Satu hal yang sangat perlu kita untuk mengerti, membeli tanah pada waktu itu berarti tindakan Perjanjian (covenantal), bukan tindakan komersial. Tanah identik dengan janji Allah kepada Abraham, pandangan komersial dan investasi masa kini terkadang membuat kita sulit melihat hal ini. namun untuk mengerti ps 32 ini kita perlu keep ini mind bahwa pembelian tanah yang diperintahkan Allah menjadi jaminan tentang restorasi Perjanjian Allah-umat.
Tindakan pembelian tanah ini menandai bahwa Israel akan kembali mendapatkan kasih Allah; Allah akan mengikat Perjanjian kembali dengan mereka. Hal tersebut memantik syukur Yeremia yang sangat besar; diapun memanjatkan doa dengan haturan kekaguman atas Perjanjian yang telah Allah buat, pengakuan dosa bangsanya, serta syukur harunya akan restorasi setelah penghukuman. Sesungguhnya tembok-tembok pengepungan yang dipakai untuk merebut kota telah sampai mendekatinya; oleh karena pedang, kelaparan, dan penyakit sampar maka kota itu telah diserahkan kepada orang-orang Kasdim yang memeranginya. Maka apa yang Kaufirmankan itu telah sungguh terjadi. Engkau sendiri melihatnya. Namun Engkau menyuruh membeli ladang tersebut dengan memanggil saksi – padahal kota itu telah diserahkan kedalam tangan orang-orang Kasdim. Kota yang diruntuhkan dan dibakar mungkin terlalu rumit untuk dipulihkan oleh para dewa asing; namun hal tersebut mungkin bagi Allah. Apa yang kita harapkan dari sebuah kerajaan yang rajanya telah dikalahkan dan dipermalukan dengan penghinaan yang sangat besar seperti Zedekia, terlebih ketika yang mengalahkannya adalah orang-orang Kasdim, tentara terkuat pada waktu itu. sulit untuk berharap kepada Allah namun masih memungkinkan. Anugerah ini sulit untuk dipercaya; ketika tentara musuh sudah mengepung kota, hal terdekat yang dapat mereka bayangkan adalah kengerian dan kekalahan. Namun justru dalam keadaan seperti ini Allah menyuruh Yeremia untuk membeli tanah.
Keempat, kesulitan untuk berharap kepada Allah pada akhirnya membuat mereka berharap kepada “allah lain”, yaitu Mesir. Ini merupakan hal yang kita perlu perhatikan dengan kewaspadaan tinggi. Dosa dan penghukuman seringkali membuat manusia terjerat kepada dosa lain yang tampaknya akan memberikan jalan keluar. Yehuda sudah kehilangan pengharapan kepada Allah; tentara musuh mengepung dan benar saja mereka dikalahkan; para anak raja disembelih dihadapan raja, demikian para pembesar kerajaannya. Rajanya dibutakan dan dibelenggu tertawan. Masih mau bertahan??? Allah sudah meninggalkan mereka, mau berharap apa lagi??? Anugerah sangat sulit untuk dipercayai, kalaupun ada agaknya akan terlalu sulit menandingi keperkasaan Babel. Yang lebih menjanjikan mungkin pasukan Mesir; mereka pada akhirnya memilih untuk mengungsi dan berlindung ke Mesir. Sebuah pilihan fatal yang pada akhirnya justru menjauhkan kasih karunia Tuhan dari padanya. Bukankah ini yang seringkali terjadi juga dalam hidup kita; ketika kita berdosa dan dihukum Allah dengan keras. Kita melihat bahwa situasi sudah sangat pelik, kita tidak mampu lagi mempercayakan diri pada belas kasihan Allah. Maka kita berharap kerumitan bisa teratasi dengan dosa lain yang tak kalah serius. Menipu ditutup dengan menipu; berjudi ditutup dengan berjudi lagi; berzinah ditutup dengan menyuap dsb. Bertobat merupakan alternatif akhir yang bahkan susah untuk mampir dalam benak kita.
Ditengah keadaan tertawan, Yeremia yang terbelenggu mendapatkan berita sukacita tersebut. Ini pelajaran yang sangat unik. Ketika itu, dengan jelas Yeremia dibelenggu oleh raja Yehuda karena beritanya. Yeremia seperti yang kita kenal adalah sosok yang berkhotbah bagi bangsanya, dan karena itu dia dimusuhi dan menderita perlakuan kejam dari kaum keluarganya. Perlakuan keras tersebut terus berlanjut hingga penawanannya oleh otoritas kerajaan pada waktu itu, Zedekia sang raja sendiri memusuhinya. Namun demikian ancaman hukuman bagi bangsanya (yang memusuhinya) tidak menjadikannya senang, justru sebaliknya Yeremia bersedih dan berdoa bagi bangsanya tersebut. Dalam bagian ini kita melihat sebuah keunikan yaitu ucapan syukur Yeremia yang demikian panjang karena Allah telah menyuruhnya membeli tanah yang melambangkan bagaimana bangsanya (yang saat itu sedang menawannya) akan dipulihkan Allah. Mari kita perhatikan sikap hamba Tuhan ini; berita penghiburannya, ucapan syukur spontannya ternyata bukan pada munculnya berita bahwa dia akan dibebaskan kembali; namun terletak pada kabar bahagia bagi bangsanya. Ini adalah kabar yang sangat istimewa baginya; ditengah ketertawanannya, Yeremia mendapatkan penghiburan dalam pengenalan akan belas kasihan Allah. Dalam kitab Yeremia kita mengetahui nantinya bahwa Yeremia pada akhirnya mengalami benar-benar zaman pembuangan tersebut. Sebuah pemandangan yang sangat menyakitkan. Namun ada hal yang lebih menyakitkan lagi; dalam satu penglihatan Yeremia menyatakan bahwa mereka yang diangkut tertawan adalah bagaikan buah ara yang baik, sementara mereka yang menolak untuk diangkut adalah seperti buah ara yang busuk, tidak dapat dimakan karena jeleknya. Lalu Tuhan berkata bahwa buah ara yang baik itu adalah mereka yang diangkut tertawan, sebab Tuhan akan memperhatikan kebaikan mereka. (Yer 24) Gambarannya jelas bukan karena mereka baik, namun buah ara yang baik tersebut menyatakan perlakuan Allah yang baik terhadap mereka. Mereka akan dibangun, bukan diruntuhkan, ditanam, bukan dicabut. Namun kepada buah ara yang busuk tersebut; Tuhan Allah akan memperlakukan mereka buruk. Mereka akan menjadi kengerian bagi segala kerajaan di bumi, menjadi aib, sindir, kutuk bagi segala bangsa dimana mereka akan tercerai berai. Buah ara busuk tersebut adalah orang yang tidak berbagian dalam pembentukan Allah, mereka yang tersisa di Yerusalem dan mereka yang tinggal di Mesir. Dan yang menyakitkan Yeremia termasuk dari mereka yang pada akhirnya tidak ikut diangkut tertawan. Dia tinggal di negeri Yehuda bersama dengan sisa yang sedikit tersebut. Lalu Yeremiapun kembali berdoa bagi bangsanya, dan secara sangat unik Yeremia kembali menyatakan tentang belas kasihan Allah Aku akan membangun dan bukan meruntuhkan, sebab Aku menyesal atas malapetaka yang telah kujatuhkan terhadapmu. Namun tinggallah teguh pada pertolongan Allah, jangan takut kepada Babel dan jangan minta tolong kepada Mesir. Yang menyingkir ke Mesir akan terkena pedang, kelaparan dan sampar. Namun yang terjadi sekali lagi diluar dugaan. Mereka mencari perlindungan dan keamanan ke Mesir. Dan yang paling celaka adalah Yeremia juga dipaksa mengungsi di Mesir. Satu adegan yang menyedihkan, dan tampaknya Yeremia menutup usianya dengan mati di Mesir. Itu berarti bahwa kabar baik kepulangan bangsanya, janji Allah tentang dipulihkannya bangsanya yang ditandai dengan pembelian tanah di Anatot tersebut tidak dapat dinikmati Yeremia. Yeremia bukan saja tidak terangkut ke Babel (buah ara baik), dia bahkan ikut terangkut ke Mesir; sebuah alternatif terburuk dari 3 wilayah (Babel, Yehuda, Mesir).
Disini kita melihat satu pernyataan unik. Tuhan memakai Yeremia sedemikian rupa dengan panggilan yang sangat berat. Yeremia harus berpacu melawan kuda, bukan sekedar dia dimusuhi keluarganya ternyata, namun dia mengalami alternatif terburuk penghukuman Allah atas umat-Nya. Dan ketika anugerah Allah tersebut datang kembali; Yeremia adalah tokoh yang paling tidak menikmatinya. Hal ini merupakan salah satu fitur unik Yeremia, dan saya percaya semestinya memberikan pengertian yang unik bagi kita tentang panggilan seorang hamba Tuhan yang berbanding terbalik dengan gambaran kontemporer kita. Nabi diutus untuk memberitakan penghakiman dan hamba Tuhan tersebut turut menerima penghakiman Allah (bahkan yang terburuk), dan nabi diperintahkan untuk memberitakan anugerah Allah dan dia tidak mengalaminya. Dalam hal ini jelas bagi kita bahwa yang dipentingkan Allah adalah umat-Nya, bukan nabi-Nya. Nabi ada dan bekerja untuk umat (bagi kemuliaan Allah), bukan sebaliknya, umat diciptakan agar nabi memiliki pekerjaan. Demikian juga hamba Tuhan; hamba Tuhan ada untuk melayani jemaat, bukan sebaliknya. Yang dipentingkan adalah umat, dalam hal ini hamba Tuhan bersifat relatif. Inilah panggilan Yeremia, yang penting umat mendapatkan berita tentang penghakiman dan anugerah yang ada dibaliknya; namun masalah dia sendiri pada akhirnya tidak menerima anugerah tersebut itu bukan isu. Kita bisa menghayati kisah ini dalam dua perspektif yang mungkin tidak terjadi secara bersamaan.
Pertama, kita menempatkan diri dalam posisi nabi. Bagaimanapun juga kita percaya bahwa panggilan kenabian telah digenapkan secara sempurna dalam diri Yesus Kristus dan panggilan tersebut secara unik juga kita emban dalam porsi tertentu. Kita dipanggil untuk menjadi “nabi” bagi dunia ini untuk mewartakan kemuliaan, kesucian, murka, serta karunia Allah. Sasarannya adalah umat bukan diri nabi. Format hamba Tuhan masa kini adalah saya hamba Tuhan, jemaat adalah hambanya hamba Tuhan; saya melayani Tuhan dan jemaat mendukung saya melayani. Namun itu sama sekali bukan gambaran nabi Yeremia. Yang ada adalah saya hamba Tuhan, dan panggilan saya untuk membawa jemaat menjadi seperti apa yang Tuhan mau. Jika tujuan tersebut tercapai, maka cukup, apa yang terjadi pada hamba Tuhan tidak penting. Panggilan sedemikian secara puncak kita saksikan dalam diri Yesus Kristus. Dalam tradisi Injili, kita tahu bahwa salah satu tujuan penting kedatangan Yesus kedalam dunia adalah bagi umat. Yesaya mencatat ganjaran yang mendatangkan keselamatan telah ditimpakan kepada-Nya. Allah menyertai umat-Nya, mengampuni, menebus; dan hamba Tuhan yang menjadi pewarta puncaknya yaitu Yesus Kristus justru memekikkan teriakan pilu memanggil Allah-Nya yang meninggalkan-Nya. Panggilan sebagai hamba Tuhan jelas berat, namun disinilah salah satu sukacita utamanya. Ketika kita diijinkan untuk menyaksikan murka Allah, dan bahkan dalam tataran tertentu kita seperti terkena imbas percikan murka Allah. Pada saat bersamaan kita mencicipi sedikit apa yang terjadi dalam diri Yesus Kristus. Bukan berarti kita perlu mengejar penderitaan, berusaha berkhotbah atau menjadi saksi dengan cara ekstrim yang konyol supaya bisa menderita (ini namanya takkabur), namun jika penderitaan sedemikian diijinkan Allah terjadi; ada karunia unik yang Allah sedang berikan bagi kita, yaitu mencicipi penderitaan Kristus.
Kedua, pembacaan yang mungkin lebih wajar, yaitu kita menempatkan diri dalam posisi umat. Sekali lagi kita diundang untuk takjub; ditengah kehangatan murka yang menyala-nyala tersebut, Allah masih menyisakan belas kasihan-Nya. Untuk kita, Dia mengirimkan utusan-utusan-Nya, dan yang paling puncak, Tuhan Yesus sendiri. Untuk kita, Dia ditinggalkan Allah. Masihkah kita akan menyepelekan anugerah Allah??? Sekali lagi, anugerah Allah bukanlah barang murah. Anugerah Allah bukan foodcourt yang kita bisa pilih apakah mau makan dan makan dimana. Anugerah Allah yang benar-benar adalah anugerah adalah ketika dalam segala kerendahan hati kita bertanya dengan jujur; masihkah tersisa karunia bagi saya yang berdosa ini, masih mungkinkah Dia kembali berkenan??? Tanpa sikap hati sedemikian anugerah Allah hanya akan menjadi bahan kateksasi semata. Anugerah Allah tidak semestinya merangsang kita untuk takkabur dalam hidup, menyepelekan dosa dsb. Anugerah Allah yang sejati kita terima dalam kesadaran akan ketidak layakan dan diikuti oleh ekspresi syukur.
GOD be praised!!!
Ringkasan khotbah ini sudah diperiksa oleh pengkhotbah (EA)
Baca: Yeremia 30-33