Perikop pasal 12:20-36 Alkitab versi Bahasa Indonesia, dapat terlihat bagian ini tidak ada paralelnya dalam Injil Sinoptik (ini kelebihan dari Alkitab Bahasa Indonesia). Secara umum memang bagian ini merupakan special material dari Injil Yohanes, tapi kalau dibaca secara detail, sebenarnya bukan tidak ada paralelnya sama sekali; dalam hal ini paralel yang kata-katanya tidak sama persis tapi pengertiannya dekat sekali dengan catatan di dalam Injil Sinoptik.
Misalnya ayat 26, “Barangsiapa melayani Aku, ia harus mengikut Aku dan di mana Aku berada, di situpun pelayan-Ku akan berada”, bukan ayat yang tidak ada paralelnya dalam Injil Sinoptik; yang khas Yohanes adalah tambahan kalimat “Barangsiapa melayani Aku, ia akan dihormati Bapa” –pengertian Trinitarian. Bagaimana pun, di sini ayat tersebut sangat erat konteksnya dengan ayat 24 dan 25, bahwa mengikut Yesus, berada di mana Yesus berada, adalah suatu kehidupan yang berkorban, yang jatuh ke tanah dan mati, yang tidak mencintai nyawanya/hidupnya sendiri melainkan bisa bebas mencintai Tuhan. Konteks ini dalam Injil Sinoptik sangat erat kaitannya dengan memikul salib. Yesus pergi ke Golgota, Dia tekun melakukan kehendak Bapa-Nya, maka Saudara dan saya yang mengaku percaya kepada Yesus Kristus, seharusnya berada di mana Yesus berada, yaitu memikul salib kita masing-masing. Di sini maksudnya berbicara tentang persekutuan di dalam penderitaan Kristus. Seseorang yang mengenal Kristus, dia bersekutu di dalam penderitaan Kristus –berada di tempat Yesus berada.
Di dunia ada 2 macam orang, bahkan mungkin juga bisa dikatakan ada 2 macam “Kekristenan”. Ada semacam “Kekristenan” yang katanya Kekristenan, tapi sebetulnya kehidupan yang mementingkan diri sendiri; yang tidak beda antara percaya Yesus atau tidak percaya Yesus pokoknya pusat segala sesuatu adalah tentang “saya”, setelah itu ditambah-tambahin kosakata religius –Tuhan memberkati saya, Tuhan yang menyediakan, dsb. Ada kata ‘Tuhan’-nya, bukan tidak ada –karena orang beragama– tetapi sebetulnya spiritnya semua tentang diri sendiri, lalu Kekristenan dipakai sebagai semacam sarana untuk pemenuhan cerita kehidupan diri sendiri, self-fulfillment, self-actualization, dsb. Kalau demikian, ayat tadi jadi berubah, “di mana aku berada, di situ Yesus berada” –jadi terbalik. Tapi ayat ini tidak bicara begitu; ayat ini bicara “di mana Aku berada, di situpun pelayan-Ku akan berada”. Kita musti tahu Yesus ada di mana, lalu kita pun ada di situ –itulah pengikutan yang sejati akan Kristus.
Perkataan Yesus kepada Petrus, “waktu kamu muda, kamu pergi ke tempat yang kamu kehendaki; waktu kamu tua, tanganmu diikat dan kamu akan dibawa pergi ke tempat yang kamu tidak kehendaki”. Kematangan rohani, kehidupan yang bertumbuh di dalam Kristus, adalah kehidupan yang tadinya pergi ke tempat yang semau ‘saya’ –itu kanak-kanak menurut Alkitab—untuk kemudian dipimpin pergi ke tempat yang kita tidak kehendaki. Tapi tidak berhenti pada ‘yang tidak kita kehendaki’, melainkan bahwa yang tidak kita kehendaki itu adalah yang Tuhan kehendaki. Inilah pertumbuhan kerohanian yang sehat; dari kehidupan yang tadinya ‘Tuhan musti ikut saya, Tuhan musti menyertai saya’ menjadi kehidupan yang ‘saya menyertai Tuhan, saya mengikut Tuhan’.
Bagian ini juga pernah kita bahas dalam eksposisi Injil Lukas, hanya saja di perikop ini ada kalimat “Barangsiapa melayani Aku, ia akan dihormati Bapa”. Kalimat seperti ini langka. Kalau kita bilang “kita menghormati Allah, kita menghormati Yesus, Yesus menghormati Bapa”, itu biasa, karena ‘menghormati’ itu ordonya ke atas. Anak menghormati bapanya, anak menghormati orangtuanya; tapi kita jarang mendengar kalimat ‘orangtua menghormati anaknya’ –itu seperti terbalik. Tapi di sini maksudnya bukan kita yang minta supaya Bapa menghormati kita, melainkan Yesus yang mengatakan, “Barangsiapa melayani Aku, ia akan dihormati Bapa”.
Bapa dan Anak itu di dalam satu kesatuan, oleh sebab itu barangsiapa melayani Anak, ia dihormati oleh Bapa. Bapa mengasihi Anak, Bapa menghormati mereka yang mengasihi Anak. Kalimat ini tidak seharusnya membuat kita sungkan; waktu Yesus bilang begitu lalu kita bilang, “Gak usahlah, lagian ada ayat di dalam Injil lain yang bilang setelah kita selesai melakukan pekerjaan kita, kita musti berkata ‘kami cuma melakukan yang harus kami lakukan, kami ini hamba-hamba yang tidak berguna’.“ Maksudnya bahwa kita melayani bukan dalam motivasi lain, tapi sudah sewajarnya kita melayani, dan setelah itu musti bilang diri kita hamba yang tidak berguna. Namun di sini Yesus mengatakan, yang menghormati Yesus, dia dihormati Bapa. Kita tidak perlu menghayati ini secara sungkan seperti tadi, melainkan dalam pengertian inilah dignitas manusia yang sesungguhnya. Dignitas kehidupan manusia yang paling tinggi yang bisa kita peroleh, adalah ketika kita dihormati Bapa. Tidak ada yang lebih tinggi daripada itu.
Apa sebetulnya basic human needs? Ada orang bilang, kebutuhan manusia yang paling dasar adalah dikasihi, dicintai. Dalam peristiwa inaugurasi Yesus, setelah Dia dibaptis untuk kemudian masuk ke dalam pelayanan, di situ ada perkataan Bapa “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan”. Ajith Fernando mengatakan, kalimat ini bicara tentang identitas (“Inilah Anak-Ku”), bicara tentang kasih (“Yang Kukasihi”), bicara tentang bagaimana kita terus-menerus memperkenan Bapa; bicara tentang security, dan juga ada kasih di situ. Kita bisa bicara dalam berbagai perspektif tentang apa sebetulnya basic human needs; tapi kalau kembali kepada ayat ini, salah satu dari basic human needs adalah honour (kehormatan).
Manusia itu tidak bisa dihina. Ketika kita dihina, kalau kita tidak bisa menangani penghinaan, akan ada masalah. Hal ini tidak ada urusannya dengan tingkat sosial, kaya-miskin, berapa tinggi kedudukannya, dsb., orang yang paling sederhana pun mau dihormati. Dan hal ini tidak usah ditafsir terlalu negatif, misalnya ‘jangan gitu, dong, kalau kamu mau dihormati berarti kamu gila hormat’. Memang ada orang yang gila hormat –itu persoalan—tapi kebutuhan untuk dihormati tidak harus ditafsir sebagai gila hormat; itu satu kebutuhan yang wajar. Memang manusia seharusnya ada dignitas dalam kehidupannya; pertanyaannya, dignitas itu dia dapatkan di mana? Kalau menurut ayat tadi, dignitas bukan didapatkan melalui hal-hal lain yang dijanjikan dunia supaya kita jadi orang yang terhormat yang dapat penghargaan ini itu, dsb.; kita mendapatkan true honour itu waktu kita melayani Yesus Kristus, waktu kita berada di mana Yesus berada, dan di situ Bapa menghormati kita. Kehormatan ini adalah kehormatan yang cukup, bahkan lebih daripada semua yang lain. Kalau kita masih tidak beres di bagian ini, saya kuatir psikologi kita masih rusak dan kita ketagihan serta rakus akan kehormatan-kehormatan yang dijanjikan oleh dunia, dan akhirnya hidup tidak beres-beres. Ada orang yang selalu ada pikiran negatif bahwa dirinya dihina, tidak dihormati, dsb.; dan akhirnya betul-betul jadi orang yang gila hormat. Mengapa ada orang yang gila hormat, gampang tersinggung kalau tidak dihormati, atau orang lain tidak tunduk kepadanya? Ya, karena dia tidak mengerti ayat ini –orang yang melayani Yesus, dia dihormati oleh Bapa-Nya.
Kita tidak perlu mencari hormat yang dari dunia, karena Yesus pun tidak mencari hormat yang dari dunia. Waktu kita merenungkan salib, Pendeta Stephen Tong mengatakan, di situ tempat yang vakum kasih. Betul, salib adalah tempat yang vakum kasih; tapi salib juga satu tempat yang vakum kehormatan. Betul-betul tidak ada rasa hormat sama sekali di situ. Jangankan hormat kepada Mesias, apalagi hormat kepada Anak Allah, hormat kepada manusia yang normal saja pun tidak ada. Salib adalah satu tempat yang di situ penghinaan dilontarkan sepuas-puasnya. Di situ Yesus sangat dipermalukan; tapi Dia adalah yang mengatakan kalimat ini, “Barangsiapa melayani Aku, ia akan dihormati Bapa”.
Kalau kita merenungkan bagian ini –di mana Yesus berada, di situ pelayannya, kita, akan berada—maka kita bisa mengantisipasi satu kehidupan yang dihormati Bapa, tapi tidak dihormati manusia. Memang tidak selalu bentur seperti ini, tapi kita ingat kalimat yang dikatakan dalam Injil Yohanes, bahwa waktu kita mengasihi Tuhan, dunia membenci murid-murid-Nya. Kalau kita dikasihi dunia, berarti kita ada masalah. Kita tidak dipanggil untuk membenci dunia; Allah mengasihi dunia, oleh sebab itu Dia mengirimkan Anak-Nya yang tunggal. Kita bukan dipanggil untuk membenci dunia, tapi Yesus mengatakan, dunia membenci kita. Maka di sini ada kontras, bahwa dihormati Bapa, itu sangat mungkin tidak dihormati oleh dunia, sangat mungkin tidak dihormati sesama manusia –seperti juga kehidupan Kristus. Namun, kehormatan yang diberikan Bapa itu seharusnya cukup, kecuali kehidupan kita tidak peduli dengan hal-hal yang tidak kelihatan.
Kalau kita tidak peduli dengan hal-hal yang tidak kelihatan, banyak persoalan akan terjadi dalam kehidupan kita, karena bagi kita yang betul-betul riil adalah dunia yang kelihatan. Kita selalu mengejar dunia yang kelihatan; sementara dunia yang tidak kelihatan kita anggap tidak riil. Kalau kita tidak percaya dunia yang tidak kelihatan, kita akan jadi orang yang terus-menerus cari kehormatan dari dunia ini. Bagi kita, penghormatan yang dari Bapa itu apa, dan merasakannya bagaimana?? Seperti tidak konkrit sama sekali, tidak bisa dialami, tidak bisa dihidupi, terlalu abstrak bagi kita. Tapi mengapa kalimat itu menjadi kalimat abstrak, kalau kita betul-betul percaya ada Allah Tritunggal, bahwa Bapa-Anak-Roh Kudus itu nyata/riil, bahwa barangsiapa melayani Anak, ia dihormati Bapa?? Orang yang dalam kehidupannya beres dengan persoalan ini, dia bisa melayani dengan lebih bebas. Kalau kita melayani, kita mendapat penghormatan dari Bapa; kalau kita bisa menghayati dengan baik penghormatan yang diberikan Bapa, kita bisa melayani dengan lebih bebas. Ini dua hal yang tidak bisa dipisahkan.
Ayat 27, Yesus mengatakan kalimat “Sekarang jiwa-Ku terharu… ”; dalam terjemahan ESV, dikatakan: “Now is my soul troubled”. Jadi terjemahan bahasa Indonesia di sini ‘terharu’ maksudnya dalam pengertian ‘troubled’, bukan dalam pengertian takjub atau tersentuh. Selanjutnya: “…dan apakah yang akan Kukatakan? Bapa, selamatkanlah Aku dari saat ini? Tidak, sebab untuk itulah Aku datang ke dalam saat ini.” Bagian ini ada perbedaan penafsiran dalam berbagai terjemahan; dalam hal ini ESV sama dengan terjemahan Bahasa Indonesia, memberikan tanda tanya (?) setelah kalimat “selamatkanlah Aku dari saat ini”.
Saya membaca tafsiran WBC, di situ ada poin yang bagus, juga lebih sinkron dengan Injil Sinoptik yang lain, bahwa ada penafsiran yang berbeda kalau terjemahannya pakai tanda tanya. Di sini Yesus mengatakan “sekarang jiwa-Ku terharu, apakah yang akan Kukatakan?” –kalimat ini betul, dan memang pakai tanda tanya (?). Tapi berikutnya, kalau kalimatnya dengan tanda tanya, menjadi: “Bapa, selamatkanlah Aku dari saat ini?”, berarti Yesus tidak mau mengatakan kalimat tersebut. Seakan-akan kalimatnya jadi seperti ini: ““Bapa, selamatkanlah Aku dari saat ini? Ya enggaklah! Memangnya Aku ‘gak siap mati?? Masakan Aku ngomong kalimat seperti itu!” –dan berarti Yesus tidak ada pergumulan dalam menghadapi salib, dari lahir Dia sudah siap mati dan tidak ada pergumulan sama sekali. Tapi kalau seperti itu, tidak sesuai dengan gambaran keseluruhan keempat Injil. Terjemahan yang lebih tepat dalam hal ini, Yesus betul-betul mengatakan kalimat tersebut; jadi kalimatnya tanpa tanda tanya (?). Kalimatnya jadi begini: “Sekarang jiwa-Ku terharu dan apakah yang akan Kukatakan? Bapa, selamatkanlah Aku dari saat ini.” Kalimat ini adalah variasi Injil Yohanes, yang sama dengan kalimat yang ada dalam Injil Sinoptik: “Bapa, kalau boleh, cawan ini lalu daripada-Ku.” Kalimatnya diakhiri dengan titik (.). Saudara tidak baca dalam Injil Sinoptik kalimat yang seperti ini: “Apakah aku akan mengatakan lalukanlah cawan ini daripada-Ku? Ya enggaklah! Masakan Aku ngomong kalimat seperti itu!” Yang kita baca dalam Injil Sinoptik, Yesus betul-betul mengatakan “kalau boleh cawan ini lalu dari pada-Ku” –kalimat statement/pernyataan, bukan kalimat pertanyaan, juga bukan pertanyaan retoris. Itu satu kalimat betul-betul yang keluar dari kedalaman hati Yesus, keluar dari kesedihan-Nya, sebagaimana Dia bilang “Now is my soul troubled”.
Saya kuatir dengan terjemahan yang pakai tanda tanya (?), karena jadi tidak seperti Yesus, tapi lebih mirip Stoisisme. Di situ Saudara tidak boleh mengekspresikan rasa sakit dan penderitaan, Saudara harus selalu kuat –tapi itu bukan Kekristenan. Saudara tidak boleh ada keraguan sedikit pun, bicaranya harus selalu theologically correct –tapi Yesus sendiri ngomong kalimat tadi. Itu sebabnya ada terjemahan dengan tanda tanya (?), yang seperti berusaha menyelamatkan Yesus dari ucapan yang seakan tidak layak keluar dari mulut-Nya –maksudnya, Yesus sebenarnya tidak mengatakan itu. Namun, dalam terjemahan yang tidak pakai tanda tanya (?),“Sekarang jiwa-Ku terharu dan apakah yang akan Kukatakan? Bapa, selamatkanlah Aku dari saat ini”, menunjukkan bahwa Yesus dalam kehidupan memikul salib, bukanlah tanpa proses, bukan tanpa pergumulan. Dan adalah indah untuk kita tahu hal ini. Yesus bukan otomatis taat tanpa pergumulan sama sekali, memikul salib pun ‘ayo! siapa takut??’ Kita tidak baca cerita itu; yang kita baca, Yesus sendiri ada pergumulan. Dia mengatakan, “Bapa, selamatkanlah Aku dari saat ini”, kalimat statement, sama seperti yang dicatat dalam Injil Sinoptik, “Bapa, kalau boleh cawan ini lalu daripada-Ku”, tapi kemudian diikuti dengan: “Tapi bukan kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mu.” Itulah keindahannya; dan memang dalam Yohanes, setelah Dia mengatakan “Bapa, selamatkanlah Aku dari saat ini”, kalimatnya juga tidak berhenti di situ. Itulah pergumulan hidup manusia.
“Jiwa-Ku seperti mau mati rasanya”, kalimat ini dicatat dalam Injil; dan di bagian ini, “Now is my soul troubled”. Yesus adalah Manusia sepenuhnya. Dia bukan superhero yang tidak dapat disentuh, yang tidak ada pergumulan sama sekali, yang tahu akan bangkit dan penderitaan ini cuma sementara maka Dia tidak mengalami pergumulan sama sekali, dst. Gambaran seperti itu bukan gambaran Kristologi yang benar. Dan saya kuatir, Kristologi stoik yang sesat kayak begini, menghasilkan orang-orang Kristen yang juga sesat. Kalau Kristologi kita berantakan seperti ini, kita akan menjadi orang-orang Kristen yang sebetulnya bukan Kristen, tapi Stoik. Lalu kita pikir, dengan menjadi Stoik, itu artinya lebih reformed –ini paling celaka—padahal itu jauh sekali dari kehidupan Kristus.
Di dalam Gereja mula-mula, yang muncul dalam ajaran bidat, 2 hal yang sangat besar adalah urusan Tritunggal dan urusan Kristologi –ada juga Pelagianisme, yang kaitannya dengan soteriologi. Dalam hal Kristologi, urusannya adalah penolakan terhadap Yesus yang punya 2 natur, dan bahwa kedua natur tersebut betul-betul natur yang sejati, natur manusia dan natur Ilahi. Yesus pada mulanya Ilahi, dan Dia mengambil natur kedua yaitu natur manusia; waktu inkarnasi, Dia punya 2 natur. Ajaran yang tidak bisa menerima 2 natur ini, adalah bidat/ heretics. Ini hal yang serius. Dan saya mau mengaitkan dengan pembahasan bagian ini; hati-hati terhadap kesesatan bahwa Yesus di sini jadi tidak sepenuhnya manusia; mengapa? Karena berpikir bahwa Dia tidak ada pergumulan, Dia cuma tanya doang, padahal sebetulnya Dia otomatis langsung taat –yang seperti itu bukan manusia sejati. Kalau Saudara menafsir seperti itu, kemanusiaan Yesus jadi terancam. (Saya tidak mau bicara lebih jauh bahwa terjemahan yang pakai tanda tanya semuanya Kristologi sesat; harap jangan ditarik ekstrim sampai ke sana). Jadi ada bahaya kalau pemahaman kita salah, di sini yang terancam adalah doktrin kemanusiaan Kristus. Manusia itu bukan tidak ada pergumulan. Manusia ada proses, ada pergumulan –dan Yesus manusia sepenuhnya.
Jadi, dalam bagian ini terjemahan yang tidak pakai tanda tanya (?) –“Sekarang jiwa-Ku terharu dan apakah yang akan Kukatakan? Bapa, selamatkanlah Aku dari saat ini”– adalah terjemahan yang lebih tepat, sesuai dengan doktrin yang kita terima; atau lebih tepatnya, doktrin tersebut cocok dengan ayat yang dikatakan di bagian ini, tanpa ditambahkan tanda tanya (?). Tanda tanya (?), membuat kita jadi seperti punya pemahaman Kristologi yang aneh, bahwa Yesus itu tidak bisa disentuh oleh pain and suffering.
Dalam Perjanjian Lama banyak sekali mazmur lamentasi/ratapan. Itu ekspresi dari rasa sakit dan penderitaan, kekecewaan, pertanyaan. Ayub malah mau berperkara dengan Tuhan. Berperkara dengan Tuhan itu, maksudnya menarik Tuhan ke ruang pengadilan. Koq berani, ya, manusia bicara seperti ini, Tuhan ditarik ke ruang pengadilan, Tuhan mau dhakimi, mau diajak debat?? Tetapi Ayub tidak pernah kehilangan sikap percayanya kepada Allah. Justru ini paradoksnya. Dengan membawa Allah ke ruang pengadilan, dia masih berharap kepada Allah, bahwa Allah adalah Hakim yang adil. Kalau dia sudah tidak percaya Allah adil, tentu dia tidak akan bicara lagi kepada Allah, untuk apa?? Percuma, lebih baik pergi saja jadi ateis, karena Allah ternyata tidak adil, saya bukan hidup fasik tapi menderita seperti ini. Tapi bukan itu yang kita baca di dalam Kitab Ayub. Yang kita baca, waktu Ayub mau berperkara dengan Allah, itu berarti sebetulnya masih ada pengharapan kepada Tuhan. Sama seperti ini, tafsiran yang mengatakan waktu Yesus berkata “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku”, di situ Dia berteriak Bapa yang sedang meninggalkan Dia. Ini bukan sekedar perasaannya Yesus yang merasa ditinggalkan padahal tidak ditinggalkan, memang Bapa betul-betul meninggalkan, tapi Dia bicara kepada Bapa yang meninggalkan itu. Inilah ekspresi iman.
Jangan pikir dalam kehidupan ini, kita lebih taat, kita lebih sinkron, kalau kita tidak pernah ada kalimat-kalimat seperti itu, kalau semua yang kita ucapkan selalu benar, tepat, di hadapan Tuhan. Saya justru kuatir dengan orang Kristen seperti ini, karena sekali kecewa, malah hilang. Itu karena tidak pernah komplain, tidak pernah meratap kepada Tuhan, semuanya selalu “ya, Tuhan”. Ini mirip cerita anak sulung di dalam Alkitab. Dia baik-baik saja, selalu taat kepada bapanya, tapi kita tidak tahu kekuatan eksplosif yang ada di dalamnya, dia tiba-tiba mengatakan hal yang kita tidak bisa mengerti. Banyak cerita-cerita tentang anak yang sejak kecil baik-baik, tidak pernah nakal, tidak nge-drugs, lalu tiba-tiba langsung hilang. Lalu kita bertanya-tanya, apa yang salah?? Orangtuanya juga bingung, ‘koq jadi begini anakku, dulu ‘gak begitu’. Mengapa bisa terjadi seperti itu? Karena ada bagian jiwa yang ditekan, yang tidak dilatih. Rasa sakit dan penderitaan itu riil dalam kehidupan kita; demikian juga ketakutan, kekuatiran, dsb., dan kita musti belajar untuk mengekspresikan itu, bukannya ditekan. Juga bukan ditekan dengan kalimat-kalimat iman.
Waktu kita baca kehidupan Yesus, Yesus juga bukan seperti itu. Dia mengatakan kalimat “Bapa, selamatkanlah Aku dari saat ini”; saat apa? Saat Yesus akan ditinggikan, mati. Tapi kemudian kita baca dalam kalimat berikutnya, Yesus mengatakan, “Tidak, sebab untuk itulah Aku datang ke dalam saat ini.” Dia bergumul. Di satu sisi, Dia mau kalau bisa jangan minum cawan pahit ini –“selamatkanlah Aku dari saat ini”—tapi di sisi lain, Dia tahu musti mengikuti kehendak Bapa-Nya, Dia mau menyangkal diri, dan Dia melakukannya di dalam kerelaan –“Tidak, sebab untuk itulah Aku datang ke dalam saat ini”. Yesus datang memang untuk mati, memang untuk mengorbankan diri. Dan ini klimaksnya.
Selanjutnya kita membaca di sini visi kemuliaan Allah; ayat 28: “Bapa, muliakanlah nama-Mu!" Di sini kita bicara satu kemuliaan Ilahi, bukan 3 kemuliaan Ilahi; sebagaimana juga kita bicara satu kemahatahuan, satu kemahakuasaan, satu kemahahadiran, dst. Esensi Ilahi itu satu, bukan tiga. Ajaran yang mengajarkan 3 esensi Ilahi, itu ajaran bidat. Satu esensi Ilahi, dan esensi yang sama ini –kemahatahuan, kemahakuasaan kemahahadiran—dimiliki secara sempurna oleh ketiga Pribadi. Pribadinya 3, esensi Ilahi-nya 1. Bukan setelah dimiliki oleh ketiga Pribadi lalu jadi 3 esensi. Mereka yang mengajarkan seperti ini, itu pengajaran yang sesat, karena kita tidak menerima tradisi ajaran yang seperti ini dari Bapa-bapa Gereja, ataupun konsili-konsili, tulisan-tulisan para reformator, dsb.
Saudara mungkin bertanya, kalau dalam Tritunggal cuma ada satu esensi, dan berarti juga satu pikiran, satu kehendak, mengapa Yesus pernah berkata “bukan kehendak-Ku melainkan kehendak-Mu yang jadi”; bukankah jadinya 2 kehendak? Kalau cuma 1 kehendak, bukankah kalimat Yesus itu jadinya tidak relevan? Jawabannya sederhana: karena Yesus punya 2 kehendak sesuai dengan natur-Nya –natur Ilahi dan natur manusia. Punya 2 kehendak bukan berarti 2 pribadi. Kalau kita berpikir bahwa punya 2 kehendak berarti sama dengan 2 pribadi, artinya kita sudah tercemar konsep kepribadian modern, ‘kehendak’ ditaruh ke ‘pribadi’. Dalam tulisan ortodoks, kehendak bukanlah bagian dari pribadi; kehendak adalah bagian dari natur atau esensi. Kehendak Ilahi hanya satu, bukan 3 kehendak Ilahi. Mereka yang mengajarkan 3 kehendak Ilahi, berarti sedang percaya kepada 3 allah, bukan 1 Allah. Kita percaya hanya 1 kehendak Ilahi, tapi Yesus punya 2 kehendak, kehendak Ilahi dan kehendak manusia. Waktu Yesus mengatakan “bukan kehendak-Ku melainkan kehendak-Mu”, di situ Dia sedang bicara dari perspektif kemanusian-Nya; termasuk juga kalimat-Nya, “Bapa, selamatkanlah Aku dari saat ini”. Yesus, menurut natur manusia-Nya, Dia mengatakan, “Bapa, selamatkanlah Aku dari saat ini”. Dan tetap menurut natur manusia-Nya, Dia mengatakan, “Tidak, sebab untuk itulah Aku datang ke dalam saat ini.”
Kembali ke ayat 28, “Bapa, muliakanlah nama-Mu!" Ini kemuliaan yang sama; kemuliaan Kristus, yang juga adalah kemuliaan Bapa –kemuliaan yang satu itu. Maka jawaban dari surga, dari Bapa: "Aku telah memuliakan-Nya, dan Aku akan memuliakan-Nya lagi!"
Orang mungkin berpikir, koq ‘gak sungkan ya, bilang ‘Bapa, muliakanlah nama-Mu’, lalu dijawab ‘ya’; berarti Bapa mempermuliakan diri-Nya sendiri. Saudara bisa bayangkan kalau hal ini terjadi pada manusia?? Misalnya, saya bicara tentang diri saya, saya minta pujian, lalu Saudara memuji, dan saya bilang “amin”. Bukankah jadinya ini orang sedikit sombong dan narsis?? Lalu pikiran itu kita terapkan kepada Allah, koq ‘gak sungkan ya?? Di sini orang Reformed biasanya menjawab, “Memang itu adalah natur Allah, memuliakan diri-Nya sendiri; kalau kita, tentu tidak bisa kayak begitu. Manusia tidak bisa berputar pada dirinya sendiri: tapi kalau Allah berputar pada diri-Nya sendiri, Dia memang benar, karena Dia Allah, Dia tidak bisa memberikan kemuliaan kepada yang lain, Dia musti memuliakan diri-Nya sendiri.” Kita akhirnya bilang “oke”, tapi sebenarnya jauh di lubuk hati tidak terlalu puas dengan jawaban itu, koq Dia boleh, koq kita ‘gak boleh?? Memang kita tahu doktrin itu; kita bukan Allah, dan karena itu kita musti memberi segala kemuliaan kepada Allah, tapi Allah sendiri boleh memberikan kemuliaan kepada diri-Nya sendiri, jadi ya, okelah, memang harus begitu, tidak bisa debat lagi, kita berhenti di sini saja –seperti tidak terlalu memuaskan. Tapi kalau Saudara memahami dalam perspektif Trinitaris, setidaknya akan lebih membantu.
Waktu di sini kita mengatakan kemuliaan Bapa adalah juga kemuliaan Anak –satu kemuliaan– maka ketika Anak mengatakan “Bapa muliakanlah nama-Mu”, itu bicara kemuliaan Anak juga. Itu sebabnya ketika Bapa menjawab "Aku telah memuliakan-Nya”, kemuliaan Bapa adalah juga kemuliaan Anak. Dalam pengertian apa? Yaitu dalam pengertian Yesus, Anak Allah, yang selalu taat kepada Bapa-Nya, yang selalu melakukan pekerjaan Bapa-Nya, yang selalu mengatakan apa yang Dia terima dari Bapa selama kehidupan pelayanan-Nya. Di dalam hal itu, Anak selalu memuliakan Bapa.
Ini bukan satu hal yang abstrak. Misalnya waktu Bapa bilang “Aku telah memuliakan-Nya”, lalu ada sinar keluar, atau gempa bumi, dsb., menunjukkan Bapa sedang memuliakan diri-Nya sendiri –meski di sini memang ditulis terdengar bunyi guntur, yang akan kita bahas nanti. Ini bukan dalam pengertian demonstrasi dari diri Allah yang mengeluarkan sesuatu, tapi bahwa kemuliaan Bapa itu –kalau kita baca konteksnya– ada pada ketaatan Anak selama Dia hidup dalam dunia. Jadi waktu Anak berkata kepada Bapa “muliakanlah nama-Mu”, kemudian Bapa “Aku telah memuliakan-Nya” –Aku telah memuliakan nama-Ku– yaitu dengan cara ketaatan Kristus selama Dia ada dalam dunia. Ini satu hal yang besar, karena meskipun ini pembicaraan antara Bapa dan Anak yang eksklusif –yang Saudara dan saya tidak bisa berbagian– tetapi yang sangat khas dalam teologinya Yohanes adalah bahwa Saudara dan saya bisa berpartisipasi di dalamnya. Maksudnya, waktu kita taat kepada Allah, nama Bapa juga dimuliakan. Bukan cuma Kristus, Sang Anak Allah Yang Tunggal, yang bisa memuliakan nama Bapa-Nya, tapi juga Saudara dan saya, anak-anak Allah melalui adopsi ini, juga bisa memuliakan nama Bapa.
Kalimat berikutnya: "Aku telah memuliakan-Nya, dan Aku akan memuliakan-Nya lagi!" Jadi, nama Bapa sudah dimuliakan, dan kemuliaan itu adalah kemuliaan yang dimiliki baik Bapa maupun Anak, dan akan dimuliakan lagi. Apa maksudnya ‘akan’? Yaitu Yesus yang akan naik ke atas kayu salib. Itu klimaksnya. Di dalam bahasa Yohanes, Yesus yang naik ke atas kayu salib, itu adalah glorification, Yesus dimuliakan.
Kalau kita menghayati ini dalam kehidupan Gereja, artinya bahwa Gereja yang mempermuliakan nama Bapa adalah Gereja yang dengan setia memikul salibnya. Gereja yang mempermalukan nama Bapa, yaitu Gereja yang tidak mau pikul salib, Gereja yang tidak tertarik pada salib, yang menggantikan kehormatan yang diberikan Bapa dengan kehormatan yang di dunia, lalu kelihatan hebat menurut kriteria dunia, bukan menurut kriteria Alkitab. Bagi orang Kristen juga berlaku prinsip yang sama. Orang Kristen yang mempermuliakan Allah adalah orang Kristen yang tekun memikul salibnya. Orang Kristen yang mempermalukan Allah adalah orang Kristen yang tidak tertarik memikul salibnya –tidak ada glorification. Kalimat “Aku telah memuliakan-Nya”, bicara tentang ketaatan Yesus kepada Bapa; “dan Aku akan memuliakan-Nya lagi”, adalah klimaksnya, yaitu glorification on the cross (pemuliaan di atas kayu salib).
Ayat 29, Orang banyak yang berdiri di situ dan mendengarkannya berkata, bahwa itu bunyi guntur. Ada pula yang berkata: "Seorang malaikat telah berbicara dengan Dia." Inilah perspektif bawah. Perspektifnya lumayan, “Wah, Dia begitu eksklusif, bisa bicara kepada langit dan langit menjawab, dsb.. Pastinya Dia Orang yang mendapat wahyu khusus!” –agak berbau Gnostik. Tapi Yohanes kemudian mencatat perkataan Yesus (ayat 30), "Suara itu telah terdengar bukan oleh karena Aku, melainkan oleh karena kamu.” Maksudnya, ini bukan bicara exclusive revelation antara Yesus, Anak, dan Bapa yang tidak bisa diakses oleh siapapun.
Ada gambaran agama yang eksklusif seperti ini; kalau Gereja kayak begini, celaka. Gambaran eksklusif seperti ini maksudnya pertama Bapa dan Anak, lalu siapa yang bisa join ke situ berarti masuk grup elit, lalu sisanya yang bodoh-bodoh dan tolol-tolol dan rendah-rendah yang masih di bawah sana yang tidak mengerti udara sejuk dsb. Gambaran Kekristenan elitis seperti ini, tidak ada kaitannya dengan Alkitab. Kita bisa pakai istilah apapun untuk ini, tapi sebetulnya spiritnya gnostik. Intinya spirit eksklusif. Kita tidak mendapat prinsip seperti itu dalam Alkitab; yang ada adalah spirit condescending, bukan spirit membawa kepada grup eksklusif yang ke atas.
Yesus mengatakan, "Suara itu telah terdengar bukan oleh karena Aku”; jadi ini bukan bicara tentang special revelation antara Bapa dan Anak –meski boleh juga karena Dia memang Anak Allah yang tunggal— tapi Yesus mengatakan “melainkan oleh karena kamu”, ini revelation untuk kamu sebetulnya. Kamu mau dilibatkan dalam kehidupan Trinitatis ini, kamu boleh berbagian di dalam kodrat Ilahi, kamu silakan masuk ke sini juga, kamu diundang. Yesus turun supaya kita boleh masuk ke sana; dan bukan dalam pengertian eksklusif melainkan dalam pengertian yang embracing, memeluk.
Gereja, kalau gerakannya makin lama makin eksklusif, itu salah. Itu tidak Trinitatis, karena Tritunggal yang kita percaya bukan itu. Meski Tritunggal memang sangat eksklusif, dalam arti tidak ada yang bisa jadi Pribadi ke-4, ke-5, dsb., tapi spiritnya bukan spirit eksklusif melainkan spirit memeluk. Gereja yang diberkati Tuhan itu embracing, bukan eksklusif. Kalau eksklusif, berarti elitisme, dan itu lebih mirip gereja gnostik yang sebenarnya bukan Gereja. Gnostik percaya hanya orang-orang tertentu yang bisa mendapat special revelation, yang bisa mendapat iluminasi atau enlightenment, yang bisa masuk ke sana; lalu yang tidak bisa masuk, artinya belum mengerti kedalaman wahyu Tuhan dst., dst. Kita asing sekali dengan gambaran seperti itu. Yang seharusnya familiar adalah gambaran sebagaimana dibicarakan dan diajarkan oleh Yohanes.
Ayat 31, “Sekarang berlangsung penghakiman atas dunia ini: sekarang juga penguasa dunia ini akan dilemparkan ke luar”. Ada beberapa penafsiran mengenai penghakiman ini. Satu kemungkinan, kita bisa membaca bagian ini dalam pengertian peristiwa salib itu sendiri adalah penghakiman –seperti tafsiran Westcott. Atau ada yang menafsir di masa depan nanti, dunia dan penguasa dunia pasti akan dihakimi –maksudnya dalam pengertian eskatologis– karena mereka sudah melakukan dosa yang begitu besar menghakimi Yesus orang benar itu, mereka sudah menyalibkan Kristus. Dalam hal ini, saya cenderung pada penafsiran bahwa penghakiman dunia ini –baik secara positif maupun negatif, maksudnya diselamatkan ataupun dibuang binasa– ada di dalam peristiwa salib, bahwa penghakiman atas dunia ini berdasarkan kriteria salib Kritus. Dunia ini dihakimi, ada yang diselamatkan, ada yang tidak diselamatkan. Berdasarkan apa? Salib.
Kalau Saudara melihat kehidupan Gereja, Saudara bisa melihatnya dari kriteria tersebut, betapa pun ini tidak populer. Saya pernah dengar satu kotbah mengatakan tentang ikut Tuhan, Kekristenan, dsb.; katanya: “Jangan cuma ngomong salib”, tapi dia tidak jelaskan. Kalimat ini, kalau kita dengar, tidak terlalu salah juga, karena dia bukan bilang “Kekristenan tidak perlu salib”. Jadi rasanya benar juga, jangan cuma ngomongin salib, karena kita boleh juga dong ngomongin berkat Tuhan. Tapi akhirnya dalam seluruh kotbahnya tidak ada pembicaraan tentang salib sama sekali. Kalau Saudara baca dalam Alkitab, prinsip ini terus-menerus diulang. Paulus mengatakan, “Yang kukehendaki adalah mengenal Dia yang disalibkan … aku memutuskan tidak mau tahu semuanya kecuali Kristus yang tersalib … .” Paulus justru bilang “cuma salib”, sedangkan pengkotbah tadi bilang “jangan cuma salib” –bentur dengan yang dikatakan Paulus. Waktu kita kembali ke ayat ini, penghakiman atas dunia ini berdasarkan salib. Ini kriterianya; ada yang menerima salib, ada yang menolak salib.
Membedakan Kekristenan sebetulnya sangat sederhana –tapi ini bukan dalam kuasa kita melainkan dari pemahaman yang diberikan Roh Kudus—yaitu dilihat dari satu kategori saja, ada salib atau tidak ada. Kalau tidak ada, itu bukan Kekristenan, karena menurut prinsip yang diajarkan Alkitab, fokusnya adalah salib. Dan, salib itu bicara tentang pembebasan. Pembebasan yang bukan dalam pengertian ‘menggantikan kita’ saja –itu hal besar, happy exchange sebagaimana dikatakan Luther—tetapi juga pembebasan dalam pengertian pengudusan. Waktu kita tekun memikul salib, di situ kita dibebaskan –dibebaskan dari diri kita sendiri. Kehidupan yang terus-menerus tetap satu biji saja, itu kehidupan yang terikat, yang egois. Kehidupan yang bebas, di situ dia bisa mencintai Tuhan, bebas menyangkal diri, bebas memikul salib.
Kutipan dari tafsiran tadi: “The judgement of this world, both negatively and positively, takes place in the cruxifiction exaltation of The Son of Man, Jesus.” Jadi, waktu dunia ini dihakimi –akan dihakimi dan pasti dihakimi—penghakimannya berdasarkan kriteria salib. Di dalam peristiwa cruxifiction and exaltation inilah dunia dihakimi. Penghakiman itu konsentrasinya pada salib Kristus.
Ayat 32, “… dan Aku, apabila Aku ditinggikan dari bumi, Aku akan menarik semua orang datang kepada-Ku”. Ini bukan berarti semua orang akan percaya kepada Yesus, melainkan dalam pengertian Injil akan diberitakan untuk semua orang. Dalam hal ini, bahwa pada akhirnya akan ada yang menerima dan ada yang menolak, semua orang akan dihakimi oleh Tuhan.
Waktu Yesus ditinggikan, Dia akan menarik semua orang; maksudnya bukan golongan orang-orang tertentu saja. Ini sejalan dengan spirit memeluk tadi, bukan spirit eksklusif. Dia bukan menarik sebagian kelompok orang saja, Dia menarik semua orang datang kepada-Nya. Kalau kita kembali ke Alkitab, Yesus itu menjangkau semua orang, termasuk orang-orang kusta, dsb. Bisa tidak kita menjangkau orang-orang kelompok yang lain yang tidak sama dengan kita –baik yang di atasmu ataupun yang di bawahmu? Tidak selalu maksudnya yang di bawahmu, tapi mungkin yang jauh di atasmu. Waktu saya bicara ini, mungkin 99% dari kita di sini berpikir ‘kita musti jangkau yang di bawah’; itu berarti ada semacam kesombongan terselubung, merasa diri di atas. Tapi kalimat tadi bisa jadi maksudnya orang yang jauh di atas kita sampai kita kelihatan goblok banget, kelihatan bukan siapa-siapa, totally nothing and nobody, jadi kaum yang marjinal. Gereja yang diberkati Tuhan, mustinya dia bisa menjangkau, menarik semua orang datang kepada Kristus. Bukan cuma orang-orang tertentu. Bukan cuma orang-orang dengan IQ tertentu. Yesus tidak bilang itu, Yesus bilang, “Aku akan menarik semua orang datang kepada-Ku.”
Ayat 33-34 Ini dikatakan-Nya untuk menyatakan bagaimana caranya Ia akan mati –yaitu dengan naik ke atas kayu salib. Lalu jawab orang banyak itu: "Kami telah mendengar dari hukum Taurat, bahwa Mesias tetap hidup selama-lamanya; bagaimana mungkin Engkau mengatakan, bahwa Anak Manusia harus ditinggikan?” Bukan tidak ada alasannya mereka mengatakan kalimat seperti ini.
Dalam hal ini, ada satu tafsiran menunjuk kepada Mazmur 89:37 “Anak cucunya akan ada untuk selama-lamanya, dan takhtanya seperti matahari di depan mata-Ku”. Maksudnya, dari perkataan “akan ada untuk selama-lamanya”, dalam pemahaman orang Yahudi, kalau Mesias datang Dia akan menyelesaikan persoalan penjajahan Romawi dan Dia akan mengukuhkan Kerajaan Israel –Kerajaan Allah itu. Tetapi di sini Yesus bicara tentang Anak Manusia akan mati –mereka sangat mengerti istilah ‘ditinggikan’ itu bicara tentang kematian—maka mereka tidak bisa terima. Mereka mengatakan, “Siapakah Anak Manusia itu?" dalam pengertian ‘Anak Manusia yang mana ini?? Yang kita baca dalam Alkitab, Mesias itu teguh selama-lamanya, Dia hidup selama-lamanya, takhta-Nya tidak akan berakhir. Tapi Kamu bilang Dia akan ditinggikan, ini Anak Manusia yang mana lagi??’
Yesus tidak menjelaskan. Ayat 35-36 Dia mengatakan,"Hanya sedikit waktu lagi terang ada di antara kamu. Selama terang itu ada padamu, percayalah kepadanya –kepada Anak Manusia yang akan ditinggikan di salib itu– supaya kegelapan jangan menguasai kamu; barangsiapa berjalan dalam kegelapan, ia tidak tahu ke mana ia pergi. Percayalah kepada terang itu, selama terang itu ada padamu, supaya kamu menjadi anak-anak terang."
Poin terakhir, Yesus bicara mentafor kegelapan dan terang –tipikal Johannine dualisme. Apa maksudnya berjalan di dalam terang? Apa artinya tetap berada di dalam kegelapan? Apa artinya hidup yang dikuasai oleh kegelapan? Jawabannya satu: percaya kepada Anak Manusia yang disalibkan. Sekali lagi, kategori salib; menerima atau menolak berita salib. Orang yang menolak berita salib, dia tetap berjalan di dalam kegelapan; gambarannya seperti gambaran Glorious Messiah, “mesias akan hidup selama-lamanya, takhtanya tidak akan …”, bahkan ada ayat Alkitabnya, tapi bagi Yesus itu adalah pengertian ‘di dalam kegelapan’.
Gambaran yang menghindari salib adalah gambaran yang dikuasai oleh kegelapan. Gambaran yang justru rela dan tekun memikul salib seperti Yesus sudah memikul salib-Nya, dan berada di mana Yesus berada, itulah terang. Di dalam konteks ini, terang tidak bisa dipisahkan di dalam kehidupan; pertama, percaya kepada Yesus yang sudah memikul salib; dan kedua, kehidupan yang kita sendiri diundang untuk memikul salib seperti Kristus sudah memikul salib-Nya untuk kita. Kiranya Tuhan memberkati kita semua.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading