Dalam perikop sebelumnya kita sudah membahas motif “saksi/ witness” dalam setting in life –di tempat pengadilan– dan Gereja, orang Kristen, juga berada dalam konteks tersebut ketika menderita bagi Tuhan. Waktu kita mengikut Anak Domba Allah –Mesias yang menderita itu– dan memberi jawab kepada dunia yang banyak disesatkan oleh kesaksian palsu, kita mengikuti jejak kaki Yohanes Pembaptis memberikan alternatif kesaksian tandingan tentang Yesus Kristus, yang juga diadili dalam kehidupan-Nya.
Perikop ini, kalimat pertama dituliskan “Pada keesokan harinya…”. Ada penafsir mencoba mengaitkan ini dengan gambaran “symbolical week”, dalam konteks sekarang mirip dengan kalau kita sedang bersaat teduh, misal saat teduh hari ini ayatnya apa, besok ayatnya apa, besoknya lagi apa, dst. Jadi bagian ini dibaca dalam symbolical week dan terutama dikaitkan dengan cerita penciptaan di dalam Kejadian. Di perikop pertama pasal ini ada tentang “terang”, “kegelapan”, “hidup”, dsb., bahasa yang diambil dari kitab Kejadian sebagaimana penciptaan pertama “Jadilah terang”; kemudian ada kesaksian Yohanes bahwa dia bukan terang itu, terang sesungguhnya adalah Yesus Kristus, Sang Firman, Sang Anak Domba Allah. Ayat 29-34 ini adalah hari yang kedua, yang akan berjalan terus sampai hari yang terakhir, cerita “Perkawinan di Kana” (pasal 2). Ada kaitan motif yang tidak sedikit kalau Saudara bandingkan penciptaan hari kedua dengan yang kita bahas hari ini.
Sebelumnya, kita akan membahas perkataan Yohanes Pembaptis waktu ia melihat Yesus datang kepadanya. Ayat 29: … Yohanes melihat Yesus datang kepadanya dan ia berkata: "Lihatlah Anak domba Allah, yang menghapus dosa dunia.” Kata “melihat” adalah salah satu kata kunci dalam Injil Yohanes. Istilah “lihatlah” –kata kunci juga– di dalam Perjanjian Lama umum dipakai (Ibrani: hinneh; Inggris: behold) untuk menyatakan ada sesuatu yang penting mau dikatakan sehingga pembaca perlu memperhatikan dengan seksama. Dalam perkataan para nabi formula ini banyak dipakai, biasanya ada suatu gambaran yang mencapai klimaks pada perkataan “behold…” tersebut. Demikian juga kesaksian Yohanes mencapai klimaks dalam kalimat ini: "Lihatlah Anak domba Allah, yang menghapus dosa dunia.” Setelah itu, kesaksian Yohanes Pembaptis akan diteruskan oleh murid-murid Yesus yang pertama (ayat 35 dst.).
Di bagian ini dikatakan: “Dan aku sendiripun mula-mula tidak mengenal Dia…” (ayat 31). Yohanes sendiri mulanya tidak mengenal Sang Anak Domba Allah itu; ini satu penekanan sangat khusus. Mungkin kita berpikir: masa Yohanes yang terbesar di antara para nabi, dia sendiri tidak kenal? Tapi justru keindahannya adalah: orang sebesar Yohanes Pembaptis pun bukan tanpa proses waktu dia mengenal Sang Anak Domba Allah. Ini model kita, Gereja, semua manusia. Yohanes Pembaptis yang dikatakan Yesus “terbesar dari semua yang dilahirkan perempuan”, mulanya tidak mengenal Yesus Kristus; Yesus harus dinyatakan terlebih dahulu kepadanya, baru dia bisa bersaksi tentang Dia kepada orang lain.
Dikatakan di ayat 31: “Dan aku sendiri pun mula-mula tidak mengenal Dia, tetapi untuk itulah aku datang dan membaptis dengan air, supaya Ia dinyatakan kepada Israel." Perhatikan di sini ada pergantian ‘orang’. Kalau kita baca secara sederhana, kita akan ekpektasi seperti ini: Dan aku sendiri pun mula-mula tidak mengenal Dia, tetapi untuk itulah aku datang dan membaptis dengan air, supaya Ia dinyatakan kepadaku. Tapi yang kita baca: “supaya Ia dinyatakan kepada Israel”. Yohanes Pembaptis pastinya perlu penyataan itu, tapi penyataan itu tidak berhenti pada Yohanes Pembaptis melainkan dinyatakan kepada Israel, umat Allah, karena Israel juga tidak mengenal Penciptanya. Israel tidak mengenal Penebusnya. Israel, covenantal breaker itu, perlu dipulihkan perjanjian dengan Allahnya, melalui kesaksian yang benar dari orang seperti Yohanes Pembaptis.
Kita sudah membahas kaitan Injil Yohanes dengan Kejadian dan Keluaran, dan di perikop ini berkaitan dengan kitab Imamat karena berbicara tentang ‘Domba Allah’, ‘menghapus dosa’, yang adalah bahasa kitab Imamat. Apa beda imam/ imam besar dalam Perjanjian Lama dengan Yesus Kristus, Sang Imam Besar itu? Imam besar dalam Perjanjian Lama waktu mempersembahkan korban tebusan, harus menyucikan dirinya terlebih dahulu, baru dianggap layak, kemudian bisa mewakili umat Israel untuk didamaikan dengan Allah melalui korban penebusan. Yesus adalah Imam Besar yang mempersembahkan korban, dan korbannya –Domba itu– adalah diri-Nya sendiri. Ini tidak ada dalam Perjanjian Lama, bahkan tidak ada seorang imam besar pun yang layak mempersembahkan dirinya sebagai korban penebus dosa.
Kalau kita membaca Katekismus Heidelberg tentang fungsi imam dalam Yesus, kita percaya Yesus Nabi-Imam-Raja, dan hal itu di-share juga kepada jemaat-Nya; orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus menjalankan fungsi nabi-imam-raja juga. Kita mengikuti jejak Kristus, kita adalah imamat rajani, waktu mempersembahkan tubuh kita, kehidupan kita, di atas mezbah menjadi korban, persis seperti Kristus mempersembahkan diri-Nya menjadi korban. Ini tidak ada di Perjanjian Lama. Perjanjian Lama memakai domba untuk dipersembahkan, dan bukan mereka sendiri yang mempersembahkan. Mereka tidak layak, kita pun tidak layak, tapi di dalam Kristus kita dilayakkan bukan hanya untuk menerima Sang Anak Domba Allah yang sudah menghapus dosa kita, tapi juga diundang untuk memersembahkan kehidupan kita seperti Domba Allah, Kristus. Orang Kristen yang tidak mempersembahkan hidupnya kepada Tuhan, itu bukan Kristen karena itu bukan cerita Domba Allah yang kita baca dalam Alkitab. Orang Kristen yang cuma mau penggantian diri dengan Yesus yang mati di atas kayu salib lalu berhenti sampai di sini, bukanlah gambaran di dalam Alkitab. Kita diundang untuk berpartisipasi di dalam kehidupan Kristus. Sama seperti Kristus, Anak Domba Allah yang menderita, kita juga akan mati seperti Kristus. Meski bukan berarti semua orang akan mati martir –tidak semua orang diberi privilege itu– tapi tidak ada satu pengikut Kristus yang dikecualikan dari panggilan untuk menderita menjadi living sacrifice. Kitab Roma mengatakan hal itu, persembahan yang hidup di hadapan Allah.
Yesus menghapus dosa dunia, ini gambaran domba. Dalam kitab Keluaran dan Imamat menunjuk pada korban persembahan, tapi juga menunjuk terutama pada Anak Domba Paskah. Waktu Israel diperbudak di Mesir, dan anak-anak sulung Mesir dibunuh, anak-anak sulung Israel didelamatkan karena ada olesan darah di pintu yang menggantikan mereka, menghapus dosa Israel, menghapus dosa dunia.
Dalam bahasa aslinya, istilah “dosa” di sini mirip dengan yang digunakan dalam terminologi Paulus, yaitu “sin” (singular, bukan plural). Sedang dalam Lukas penekanannya lebih ke “sins” (plural). Apa bedanya? Sins (plural) penekanannya pada dosa-dosa yang dilakukan secara aktual, sehingga pengudusan yang sesungguhnya adalah waktu orang yang melakukan dosa itu diubahkan oleh Tuhan untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik secara aktual dan konkrit. Tekanannya pada deeds, perbuatan dosa; sinful deeds atau good deeds. Itu doktrin dosa dalam kitab Lukas. Tapi dalam tulisan Paulus, mirip dengan Yohanes, membicarakan tentang “sin” (singular), the power of sin, the nature of sin, yang membuat seluruh dunia akhirnya corrupted. Ini yang dihapus oleh Sang Anak Domba Allah. Tentu bukan berarti Sang Anak Domba Allah tidak menghapus dosa setiap pribadi, tapi dalam pengertian yang dihapus adalah kuasa dosa yang ada dalam dunia ini. Dalam surat Yohanes dikatakan “dunia dan segala keinginannya akan lenyap, tetapi orang yang melakukan kehendak Allah hidup selama-lamanya”. Dosa mencemari dunia. Dunia seringkali digambarkan secara negatif dalam Yohanes, “kamu bukan merasal dari dunia ini”, dunia yang membawa kita jauh dari Allah, dunia yang merupakan musuh Allah. Tapi dunia yang sama, adalah dunia yang juga dikasihi oleh Tuhan, “karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini” dan “Anak Domba Allah menghapus dosa dunia”.
Mengapa Yohanes menggunakan istilah “dosa dunia” (the power of sin) seperti Paulus, dan bukan dosa-dosa setiap pribadi seperti dalam Lukas? Gambaran yang sedang dipakai Yohanes adalah metafor partisipasi. Kita sebagai manusia ada 2 pilihan: ikut berpartisipasi dengan cerita cara kehidupan dunia dan dosa-dosanya (participation in the world), atau berpartisipasi di dalam natur ilahi seperti yang ada dalam kehidupan Kristus (participation in the life of Christ); orang yang hidup dalam kegelapan atau dalam terang –bahasa dualisme Yohanes yang alkitabiah– orang yang berjalan menuju kebinasaan atau mengalami kehidupan yang kekal dengan mengenal Yesus Kristus. Tidak ada jalan tengah. Ini antitesis yang tidak pernah bisa diharmoniskan. Dosa dunia dihapus di dalam pengertian supaya kita tidak perlu lagi berbagian dalam cerita dunia itu karena dosa dunia sudah dihapus oleh Sang Anak Domba Allah.
Kekristenan bukan memberitakan ‘kita berdosa, lalu diampuni, setelah itu kalau mati kita yakin pasti masuk surga’; gambaran ini sangat reduktif karena tidak menekankan bagaimana orang Kristen bisa bebas dari kuasa dosa di sini dan sekarang. Kita tidak menyangkali kalimat yang tadi, tapi gambaran ini bisa sangat membahayakan, menggeser Kekristenan hanya ke dalam dunia yang akan datang, tidak peduli dengan dunia yang di sini dan sekarang. Banyak orang Kristen tidak merasa dosa adalah persoalan terbesar dalam kehidupannya. Dalam kehidupan berkeluarga, mereka pikir persoalan terbesar mungkin gaji yang kurang, atau gaji istri lebih tinggi dari suami, atau bergumul dengan sakit penyakit. Yang lain lagi misal dalam pendidikan, kita bisa mengatakan bahwa persoalan pendidikan di Indonesia adalah karena infrastruktur kurang bagus, perpustakaan kurang lengkap, dsb. Kalau kita konsisten dengan kalimat di dalam firman Tuhan, persoalan dalam semua aspek kehidupan manusia, apapun itu, adalah DOSA, bukan yang lain, bukan ekonomi, bukan kesehatan, bukan perpustakaan, bukan tidak ada dana, bukan tidak ada kesempatan. Evangelical Theology tidak pernah lelah menekankan hal ini lagi, dan lagi, dan lagi. Dosa apa? Dosa dunia. Ini total depravity, menyebar ke seluruh dunia ke dalam semua aspek kehidupan manusia. Maka kalau kita mau melihat problem dalam kehidupan kita, dan kita tidak menganalisa sampai ke persoalan dosa, kita sebetulnya tidak meng-observasi berdasarkan perspektif Kristen. Itu sudah pasti bukan perspektif Kristen. Orang Kristen tidak melihat hanya kepada permukaan persoalan melainkan ke akar permasalahan. Akar permasalahan, menurut ayat ini, adalah dosa. Dosa bukan cuma urusan akhir zaman setelah kematian tapi juga urusan di sini dan sekarang, karena dunia ini sangat ‘hidup’ dengan dosanya dalam pengertian membawa manusia ke dalam kematiannya. Anak Domba Allah menghapus dosa dunia supaya kita tidak harus berpartisipasi dengan cerita dunia dan keberdosaannya tapi boleh menjalani cerita kehidupan Kristus, Sang Anak Domba Allah.
Berbicara tentang domba, kita sedikit banyak dipengaruhi oleh Theologia Crucis dari Luther, gambaran “seperti domba yang kelu” dalam kitab Yesaya, taat sepenuhnya, dibantai di tempat sembelihan, seperti Yesus tersalib, mati, total sepenuhnya berserah kepada Bapa yang di surga. Tapi orang sering lupa gambaran domba dalam kitab Wahyu, dan juga lumayan akrab dalam Judaisme, yaitu gambaran domba sebagai yang powerful. Di kitab Wahyu ada dikatakan “Singa dari Yehuda”, dan kemudian ada perubahan motif menjadi “domba yang disembelih”. Ada orang menafsir itu seolah dari gambaran powerful menjadi powerless. Sebetulnya bukan demikian. Domba di situ digambarkan dengan 7 tanduk, itu gambaran kekuatan bukan kelemahan. Gambaran domba di dalam Alkitab bukan cuma weakness –yang memang ada aspek weakness– tapi juga Domba yang menang, yang layak membuka gulungan kitab itu. Ini metafor kekuatan bukan cuma metafor kelemahan. Kalau kita gabungkan, kembali lagi kepada Theologia Crucis, maka kekuatan yang sesungguhnya ada dalam gambaran pengorbanan, seperti Domba Allah yang disembelih. Orang Kristen yang rela menderita bagi Tuhannya, itu the true powerful person, yaitu mereka yang berani menderita bagiKristus. Kelemah-lembutan bukanlah kelemahan tapi kekuatan, itu adalah power bukan weakness. Domba Allah, Domba yang disembelih, yang mati di atas kayu salib, adalah sekaligus Domba yang menang, karena dengan jalan pengorbanan Dia menghapus dosa dunia; gambaran kemenangan terhadap dosa, terhadap dunia. Inilah iman kita, iman yang melampaui dunia ini, mengalahkan dunia ini. Di situ ada gambaran peperangan. Tapi yang berperang adalah “domba”, Domba yang bertanduk 7 yang mengalahkan dosa dunia ini. Kita dipanggil berpartisipasi dalam cerita yang sama, waktu kita membangun konsep kekuatan, power, kebesaran, kuasa, dsb. menurut cerita Anak Domba Allah, bukan menurut cerita dunia ini.
Ayat 30, Yohanes Pembaptis mengatakan: “Dialah yang kumaksud ketika kukatakan: Kemudian dari padaku akan datang seorang, yang telah mendahului aku, sebab Dia telah ada sebelum aku”. Dari perspektif orang di zamannya, Yesus datang belakangan, successor-nya (penerusnya) Yohanes; dan yang namanya successor tidak pernah lebih besar daripada yang mendahului. Kita mengatakan “ini Calvin dan itu penerusnya Calvin; ini Martyn Lloyd Jones dan itu penerusnya Martyn Lloyd Jones; ini Pendeta Stephen Tong dan itu penerusnya Pendeta Stephen Tong”, dst. Yohanes mempertahankan konsep bahwa yang mendahului itu memang lebih besar daripada yang meneruskan. Penerus tidak lebih besar daripada yang mendahului. Kalau gitu, Yesus a mere successor dari Yohanes Pembaptis? Jadi Yesus lebih kecil? Yohanes mengatakan “tidak, karena Dia sebetulnya yang telah mendahului aku”. Yohanes Pembaptis di sini menggunakan prinsip yang sama, bahwa yang ada lebih dulu, dialah yang lebih besar. Seperti itu juga Yohanes penulis Injil waktu menuliskan Injil Yohanes ini, dia bukan mendadak tulis tanpa ada tradisi yang di belakangnya; dalam tulisannya ada kaitan yang sangat banyak dengan teologi Kejadian, Keluaran, bahkan juga Imamat. Dan di sini Yohanes Pembaptis mengatakan “Yesus, Sang Anak Domba Allah itu telah mendahului aku, Dia telah ada sebelum aku”. Waktu Yohanes penulis Injil ini mengatakan di dalam ayat 1 “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah”, dia sudah tahu bahwa dia akan memakai statement ini untuk menyatakan kebesaran Yesus –Sang Firman, Sang Anak Domba Allah– yang melampaui kebesaran Yohanes Pembaptis. Di dalam zaman itu, Yohanes Pembaptis adalah pengkotbah yang sangat berkharisma dan pengikut-pengikutnya banyak sekali dari semua lapisan. Orang tidak bisa memungkiri bahwa dia adalah orang yang diutus Tuhan, karena dia tidak cari muka, dia memberitakan kebenaran, bahkan Herodes pun mengakui otoritasnya meski tidak terlalu senang ditegur olehnya. Juga orang-orang Farisi dan serdadu-serdadu Romawi menjadi audience dari Yohanes Pembaptis. Dia seorang yang betul-betul besar. Yesus secara historical, dalam cerita dunia ini, “sekedar meneruskan” pekerjaan dari Yohanes yang berkharisma ini, tapi Yohanes penulis Injil mengatakan “Yesus ada sebelum Yohanes Pembaptis”. Bukan Yohanes Pembaptis yang mendahului Sang Anak Domba Allah, Sang Mesias, melainkan Firman ini yang mendahului Yohanes Pembaptis, karena sudah ada sejak dari kekekalan.
Ayat 31, Yohanes Pembaptis pun mula-mula tidak mengenal Dia, tapi kemudian akhirnya mengenal, yaitu melalui membaptis Yesus. Ini sangat khas Yohanes kalau dibandingkan dengan Injil Matius, Markus, Lukas. Sebenarnya Yohanes Pembaptis membaptis Yesus, itu apa alasannya; raison d'être (Perancis) –the reason of being– membaptis Yesus itu apa? Kalau Saudara membaca Injil Lukas dan Matius, jawabannya lain. Di dalam Matius ada percakapan antara Yesus dengan Yohanes Pembaptis, Yohanes Pembaptis mengatakan: "Akulah yang perlu dibaptis oleh-Mu, dan Engkau yang datang kepadaku?" , dan jawaban yang kita dapat di situ ada kaitan dengan teologi Taurat; Yesus sebagai yang sepenuhnya submit kepada Taurat dan menjalankan all righteousness. Dalam jawaban di Injil Yohanes, Yohanes tidak menekankan bagian itu. Perspektifnya adalah supaya Yohanes Pembaptis yang tadinya tidak mengenal Dia akhirnya bisa mengenal, “inilah Anak Domba Allah”, dan kemudian itu bisa dinyatakan kepada Israel. Di dalam Injil Markus, Markus memakai ‘secret motif’, ke-Mesias-an Yesus selalu disembunyikan karena belum sampai kepada salib dan kebangkitan, tapi dalam Injil Yohanes tidak ada Messianic secrecy theory itu. Yang ada justru supaya sang Anak Domba Allah itu dinyatakan kepada Israel.
Setelah dinyatakan, apakah orang pasti menerima? Tidak. Waktu terang dipancarkan, ada orang yang datang kepada terang itu, tapi ada juga yang terganggu. Orang yang tidur di dalam dosa, waktu dapat cahaya, dia terganggu sekali, lebih enak tidur dalam kegelapan. Di dalam Injil Yohanes dikatakan, waktu terang itu menyinari, tidak semua orang datang kepada Terang, ada yang terganggu karena terang itu membongkar kegelapan hati manusia. Waktu Firman Tuhan diberitakan, selalu membawa kepada 2 macam respon: ada orang yang datang kepada kebenaran itu dan ada orang semakin membenci kebenaran justru karena kebenaran diberitakan, semakin membenci terang justru karena terang disinarkan. Jadi waktu dikatakan di sini “supaya Ia dinyatakan kepada Israel”, sebagian Israel akan menerima dan sebagian akan menolak, membenci Terang itu. Tapi terang akan terus dipancarkan, dan kita dipanggil untuk memancarkan terang itu.
Sangat menarik, ini ada kaitan dengan penciptaan hari kedua; tapi Saudara jangan cocok-cocokkan terus satu per satu mulai hari ke-1, hari ke-2, hari ke-3, dst. nanti jadi Teologi Esoterik, bukan kekristenan tapi esoterism. Setidaknya di sini banyak kaitan motif dengan penciptaan hari kedua, karena ayat 29-34 ini hari yang kedua dalam pembacaan symbolical week. Dalam Kejadian, di hari kedua Tuhan memisahkan air dari air; ada air yang diatas, ada air yang di bawah, sebelum nantinya ada pemisahan air dan daratan. Lalu Tuhan memberikan pemisah air yang di atas dengan yang di bawah, yaitu heaven (langit). Dalam kosmologi Israel, langit memisahkan air yang di atas dengan air yang di bawah. Kemudian dalam cerita Air Bah, Tuhan membuka tingkap-tingkap langit, karena Tuhan menyesal menciptakan manusia, luar biasa sedih, seakan mau meng-urungkan ciptaan –kalau gadget seperti “reset to factory setting”– cancellation of creation. Waktu menciptakan, Tuhan membuat dari kacau jadi teratur; dan sekarang dibuat kacau lagi oleh Tuhan, Tuhan membuka tingkap-tingkap di langit, kemudian air dijatuhkan semua, terjadi air bah. Waktu menciptakan, Tuhan memisahkan daratan dan lautan; sekarang tingkap-tingkap langit dibuka, air yang di atas turun memenuhi bumi sehingga tidak ada lagi keterpisahan daratan dan lautan, keadaan chaos lagi. Maka waktu kita membaca bagian ini, ada beberapa kaitan motif yang hadir.
Di ayat 32, "Aku telah melihat Roh turun dari langit seperti merpati, dan Ia tinggal di atas-Nya”, ada motif “air”. Yohanes membaptis dengan air, dan cerita Air Bah ada air juga. Air yang tadinya turun dari atas ketika tingkap-tingkap langit dibuka menjadi tanda murka Allah, sekarang menjadi tanda keselamatan. Di sini juga ada istilah “langit”, tapi yang turun dari langit bukan air yang menyatakan ekspresi murka Tuhan melainkan Roh Kudus yang turun dari langit. Jadi Yohanes membaptis dengan air, sebenarnya yang ditunjuk oleh tanda itu bukan airnya Yohanes yang turun dari tangannya, melainkan Roh Kudus yang turun dari langit.
Dikatakan “Roh Kudus turun dari langit seperti merpati”. Waktu membaca Alkitab dan menemukan kata “merpati”, orang berpikir misalnya tentang “tulus” karena ada perkataan “tulus seperti merpati, cerdik seperti ular”, ada dukungan Alkitabnya. Tapi kalau kita kembali lagi pada Kejadian, cerita Air Bah, waktu Nuh dan keluarganya terapung-apung di air dan mau memastikan apakah air sudah surut, dia melepaskan merpati. Merpati itu tidak mendapat tempat pijakan karena airnya belum surut, maka merpati itu kembali lagi. Motif “merpati” dalam cerita Air Bah penting. Mungkin kita merasa ‘waduh, koq susah ya menelaah Alkitab kayak begini’, tapi susah bagi kita bukan susah bagi pembacanya Yohanes. Mereka sangat mengerti kitab Kejadian. Waktu membaca “pada mulanya” mereka langsung ingat Kejadian “pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi”. Waktu Yohanes membicarakan tentang “terang”, mereka langsung ingat di kitab Kejadian Allah mengatakan “Jadilah terang”. Waktu membaca dalam Injil Yohanes tentang hidup, mereka tahu tentang cerita penciptaan, ada kehidupan. Waktu membaca Yesus yang diam (berkemah) di tengah-tengah umat-Nya, mereka langsung connect dengan kitab Keluaran, cerita Tuhan yang berkemah. Waktu membaca “Anak Domba Allah menghapus dosa dunia”, mereka langsung connect dengan kitab Imamat. Demikian juga waktu membaca “merpati” di sini, mereka connect dengan cerita Air Bah. Saya bukan mengatakan bahwa merpati di zaman Nuh itu Roh Kudus, Saudara jangan tafsir kelewatan, tapi ada koneksi “merpati” di sini.
Dalam cerita Air Bah ada motif merpati yang tidak mendapatkan tempat tinggal/ tempat pijakan, dan di bagian Yohanes ini dikatakan bahwa merpati itu “tinggal atas-Nya (Anak Domba Allah)”. Apa message-nya? Kalau kita kembali ke cerita Nuh –di sini kita membaca cerita Perjanjian Baru dari terang Perjanjian Lama– kecuali merpati itu mendapatkan tempat pijakan, daratan/ land, maka manusia akan terus terapung-apung dalam chaos itu, aman sih aman tapi tatap itu bukan daratan, itu seperti tidak ada tempat pijakan. Kecuali merpati itu ada tempat pijakan, barulah Nuh bisa turun dari bahtera dan kemudian ada new covennant, new creation di dalam Nuh, karena Tuhan mulai mengembalikan lagi ciptaan, mulai memisahkan lagi antara daratan dan laut, masuk lagi ke dalam “order”. Tapi sebetulnya, penggenapan paling puncak dari new creation ada di dalam diri Yesus Kristus, karena “merpati” ini tinggal di atas-Nya.
Kita tahu secara pembacaan sederhana, bahwa Yesus dipenuhi Roh Kudus, fully anointed by The Holy Spirit in pleroma –di dalam segala kepenuhan-Nya. Tapi juga ada motif “tinggal” yang sangat penting dalam Injil Yohanes; bahasa Ibraninya pakai istilah “meno” seperti Yesus mengatakan “tinggalah di dalam Aku” (“abide in Me”). Saya pernah menjelaskan bagian ini dalam kaitan inter-trinitarian relationship –bahasa perichoretic– “Aku di dalam Bapa, Bapa di dalam Aku”. Yesus di dalam Bapa, Bapa di dalam Yesus; saling tinggal, divine mutual indwelling. Dan di bagian ini kita melihat Pribadi Ketiga –Roh Kudus– tinggal di dalam Kristus. Kalau orang tinggal di rumah kita, biasanya bisa terjadi kerusuhan, kekotoran. Tapi dalam inter-trinitarian relationship tidak terjadi hal itu. Saling meninggali dan tidak menggeser, tidak menggusur, ada true relationship. Ini hal besar, karena Yesus sendiri mengundang kita, “Tinggalah di dalam Aku”, dan Yesus sendiri juga mau tinggal di dalam kita.
Kita bisa melihat hal ini dalam berbagai perspektif, paling sedikit dalam 2, yaitu kita mem-paralelkan diri kita dengan Kristus atau dengan Roh Kudus. Paulus mengatakan “kita adalah bait Allah”, Roh Kudus tinggal di dalam kita, seperti Roh Kudus tinggal di dalam Kristus –ini paralel antara kita danYesus; Yesus adalah model kehidupan kita. Tapi kita juga bisa mem-paralel-kan diri kita –maksudnya Gereja– dengan Roh Kudus, dalam pengertian Roh Kudus tinggal di dalam Kristus dan kita tinggal di dalam Kristus.
Kehidupan manusia itu mengembara. Kita ini orang yang restless, seperti perkataan Agustinus yang sangat terkenal “jiwa kita restless”, tidak bisa berhenti, seperti tidak masuk tanah perjanjian, terus mengembara, gelisah, insecure, dsb. Kapan kegelisahan itu berhenti? Saya percaya Agustinus pasti sangat dipengaruhi konsep Alkitab waktu dia mengatakan kalimat itu, yaitu “waktu berhenti di dalam Yesus”. Seperti merpati mendapatkan tempat pijakannya — tinggal di atas Sang Anak Domba Allah– di dalam cerita ini, kita juga diundang tinggal di dalam Kristus. Orang yang tidak tinggal di dalam Kristus, hidupnya gelisah. Dan “tinggal di dalam Kristus” adalah tinggal yang terus menerus. Ini ajakan repetitif. Ini adalah lifesyle, suatu habbit of life, bukan cuma sekali tinggal lalu tinggal selama-lamanya tidak perlu lagi ngurusin itu. Kita tinggal di rumah adalah juga suatu gerakan habbit, life of style, bukan sekali tinggal lalu selama-lamanya. Itu sesuatu yang perlu di-maintain, perlu kita jaga, perlu kita pelihara.
Yesus mengatakan “tinggallah di dalam Aku, maka kamu akan berbuah banyak” (Yoh 15), di sini memakai kata yang sama, “meno” (tinggal). Waktu kita tinggal di dalam Kristus, kita bukan saja menemukan true rest, tapi kita bahkan berbuah banyak. Kalau kita tidak tinggal di dalam Kritus, yang kita kerjakan cuma pekerjaan manusia, tidak ada artinya, tidak ada sesuatu yang perlu dipertahankan di dalamnya. Suatu saat kita bertemu Tuhan akan dinilai, yang mana pekerjaan Tuhan melalui kita, atau semua cuma pekerjaan kita sendiri? Meminjam perkataan Paulus, “ada orang diselamatkan tapi waktu diuji oleh api, semua pekerjaannya terbakar”, artinya ada pekerjaan manusia yang sama sekali bukan pekerjaan Tuhan; ini tidak bicara keselamatan karena di situ Paulus mengatakan “ia sendiri diselamatkan tetapi seperti dari dalam api”. Mengapa? Karena yang dia garap semuanya pekerjaannya sendiri yang tidak ada kaitannya dengan pekerjaan Tuhan. Berbahagialah kalau yang dikerjakan tangan kita sebenarnya adalah pekerjaan Tuhan; pekerjaan Tuhan melalui kita. Dan Yohanes mengatakan itu melalui “tinggal”, tinggal di dalam Kristus, seperti merpati –Roh Kudus itu– tinggal atas-Nya.
Ayat 33: “Dan akupun tidak mengenal-Nya, tetapi Dia, yang mengutus aku untuk membaptis dengan air, telah berfirman kepadaku: Jikalau engkau melihat Roh itu turun ke atas seseorang dan tinggal di atas-Nya, Dialah itu yang akan membaptis dengan Roh Kudus.” Poin terakhir: baptisan Roh Kudus. Ini sebenarnya tema besar dan tidak cukup waktu untuk membahas. Sebagaimana Saudara tahu, ada perdebatan di antara denominasi-denominasi Kristen mengenai sebenarnya baptisan Roh Kudus itu apa? Sebagian orang mengatakan bahwa baptisan Roh Kudus distinct dari pengalaman percaya/ lahir baru; itu dua hal yang berbeda. Kita dalam Teologi Reformed klasik tidak membedakan; baptisan Roh Kudus terjadi bersamaan dengan momen “lahir baru” (Calvin pakai istilah “regenerasi”). Ada yang mengatakan baptisan Roh Kudus ditandai dengan kemampuan bisa berbicara bahasa lidah. Kalau Saudara membaca Yohanes, tidak ada dukungan sama sekali akan hal ini. Kalaupun orang mengembangkan ke sana, biasanya mereka pakai tradisi Lukas, terutama Kisah Para Rasul. Tapi ini pun perlu penafsiran yang lebih beres, apakah betul baptisan Roh Kudus ditandai dengan bahasa lidah.
Gambaran Yohanes waktu membicarakan baptisan Roh Kudus, yaitu di dalam perichoretic relationship tadi. Sama seperti Roh Kudus tinggal di dalam Kristus, demikian juga kita yang dibaptis Roh Kudus, Roh Kudus tinggal di dalam kita. Ini strictly Johaninne perspective. Pembicaraan tentang Roh Kudus dalam Yohanes, paling intens di pasal 14, 16, yang ditaruh dalam “farewell discourse” (diskursus perpisahan), dan cuma Yohanes yang ada hal ini. Di situ Yesus mempersiapkan murid-murid-Nya. Dia akan pergi, Dia memberikan perkataan-perkataan perpisahan (pasal 14, 16) dan Dia mendoakan murid-murid-Nya (pasal 17). Pasal 16, Yesus mengatakan, “Aku pergi, tapi parakletos akan mendampingi kamu”. Seperti Yesus yang berkemah di antara umat-Nya –Firman menjadi daging– lalu Yesus akan pergi ke surga meninggalkan mereka, maka Roh Kudus akan tinggal bersama dengan mereka. Itu artinya dibaptis dengan Roh Kudus; nothing to do dengan bahasa lidah. Tidak ada pembicaraan bahasa lidah di dalam Injil Yohanes, yang ada adalah bahasa Keluaran tentang Tuhan yang berkemah di tengah-tengah umat-Nya.
Bagi kita, apa artinya? Yaitu kita hidup membiarkan Roh Kudus memimpin kita. Bangsa Israel dipimpin tiang awan dan tiang apai yang kelihatan. Kadang kita ingin mencari kehendak Tuhan dengan cara mirip seperti itu, lempar dadu atau apa, kalau tiba-tiba di jalan saya lihat kucing ungu maka itu tandanya begini begitu, dst. Itu model pencarian kehendak Tuhan yang seperti mau di zaman Keluaran lagi, seolah alangkah indahnya kalau kita seperti orang Israel, jelas banget dipimpin Tuhan; kalau tiang awan tiang api berhenti, kita berhenti, kalau jalan, kita jalan; ini ‘kan jelas banget, tidak mungkin salah. Itu menurut pemahaman kita, tapi kita baca di dalam Keluaran bangsa Israel sendiri tidak segampang itu. Mereka dipimpin begitu jelas, tapi apakah mereka taat? Tidak. Jadi, kita no excuse, karena kita tidak lebih baik daripada mereka. Dan cara pengenalan Tuhan yang so visible seperti ini –yang buat kita sepertinya lebih gampang– justru menurut konsep Alkitab adalah gambaran kanak-kanak. Orang Israel ada periode seperti itu, di situ Tuhan meng-akomodasi kelemahan mereka; tapi tidak bisa pakai cara begitu terus.
Roh Kudus yang memimpin kita itu tidak kelihatan. Roh Kudus memimpin seseorang dengan mengenal Firman Tuhan. Manusia diberikan kebebasan untuk berpikir; pikirannya diisi oleh bijaksana Kristus (the wisdom of the cross) atau bijaksana dunia (the wisdom of the world)? Kembali lagi, Anak Domba Allah itu menghapus dosa dunia; semua bijaksana dunia dihapus oleh Anak Domba Allah, digantikan dengan bijaksana-Nya, bijaksana Anak Domba Allah.
Waktu sekarang kita cari kehendak Tuhan, kita ikut pimpinan Roh Kudus lalu kita bilang “tidak jelas”, tapi sebetulnya challenge-nya di situ, Tuhan mau mendewasakan kita supaya belajar peka. Ilustrasi sederhana: orang yang sudah lama menikah kalau masuk ke dalam pengenalan yang sehat, betul-betul intim saling mengenal, waktu pasangannya melirik doang, tidak usah bicara, dia sudah mengerti maunya apa, tidak senang, dsb. Pernikahan tidak berhasil waktu pasangannya sudah kasih tanda begini begitu masih tidak mengerti juga, musti teriak-teriak, ini komunikasi tidak jalan. Pengenalan yang so intense di dalam pernikahan, gerak gerik sedikit pun sudah terbaca oleh pasangannya, orang lain tidak tentu mengerti tapi pasangannya langsung mengerti, karena pasangannya mengenal dengan benar. Saya pinjam ilustrasi ini untuk pergaulan kita dengan Tuhan. Tuhan tidak usah sampai teriak-teriak lalu kita baru tahu. C.S. Lewis mengeluarkan kalimat terkenal: “Waktu kita sakit, itu Tuhan sedang bicara pakai corong”. Karena kita ini saking ndableknya, sudah dikasih tahu Tuhan tetap tidak mau nurut juga, Tuhan bicara lemah lembut tapi kita budeg, akhirnya Tuhan pakai corong, yaitu waktu kita sakit. Bukan berarti setiap sakit pasti begitu, jangan dibalik.
Tuhan tidak perlu teriak pakai corong kalau kita in intimate relationship dengan Dia. Tahu gerak-gerik Tuhan memimpin yang so subtle, kita bisa mengenali karena kita punya kepekaan, seperti suami istri tadi. Alangkah bahagianya orang yang punya kepekaan seperti itu, berjalan bersama dengan Roh Kudus. Roh Kudus memimpin tidak perlu teriak-teriak, gambaran Roh Kudus di dalam Alkitab indah sekali mirip seorang perempuan yang sangat lemah lembut sampai bisa dipadamkan dan didukakan. Roh Kudus itu Allah, tapi digambarkan begitu sensitif sehingga kita perlu sensitifitas baru bisa mengenal Roh Kudus. Roh Kudus tidak pernah memaksa, Dia persuade (membujuk). Kita musti membiarkan diri kita di dalam persuasi/ bujukan Allah itu. Roh Kudus kalau ditolak akan berdukacita, bukan langsung turunkan air bah. Dia membiarkan Diri-Nya seperti dipadamkan. Ini satu challenge bagi kita; kecuali kita hidup sensitif, kita tidak bisa mengenal pimpinan Tuhan. Berbahagia kalau kita tidak mendukakan Roh Kudus waktu mengikuti pimpinan Roh Kudus, belajar peka dengan yang Tuhan mau dalam hidup kita. Kiranya Tuhan memberkati kita semua.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)