Hari ini adalah Minggu ke-7 setelah Minggu Trinitatis. Tema hari ini seharusnya berkenaan dengan Perjamuan Kudus, tapi karena hari ini kita tidak ada Perjamuan Kudus jadi tukar ke minggu depan, sementara untuk hari ini saya mengambil dari tema minggu depan, Minggu ke-8 setelah Minggu Trinitatis, yaitu ‘garam dan terang.’ Kita akan merenungkan tema yang berkaitan dengan terang, tapi bukan yang dari versi Injil; kita akan merenungkan ‘terang’ dari profil teologi Surat Efesus, dan kita memberikan judul “Anak-anak Terang”.
Kalau Saudara membaca ayat 8, “Memang dahulu kamu adalah kegelapan, tetapi sekarang kamu adalah terang di dalam Tuhan … ”, gambaran yang dipakai Paulus adalah kontras antara masa lampau yang dibelakang, dengan keadaan sekarang. Ini cukup khas dalam tulisan Paulus, bukan cuma di bagian ini tapi juga di bagian lain.
Bisa ada beberapa model dalam melihat ‘terang’ dan ‘gelap’. Di dalam Roma pasal 7 Paulus menggambarkan pergumulan seseorang yang mau taat kepada Tuhan, tetapi lalu ada kekuatan lain yang berusaha menarik, dsb. –suatu gambaran peperangan yang terjadi di dalam diri. Tetapi di bagian Surat Efesus ini, metaforanya bicara tentang terang dan kegelapan, dan ini tidak bisa digambarkan seperti model Roma 7 tadi, karena bagaimana mungkin kita menggambarkan kegelapan dan terang sebagai sesuatu yang ada bersamaan, yang sedang berperang di dalam diri; dalam hal ini tidak bisa dipahami metaforanya kalau pakai ‘gelap’ dan ‘terang’. Di bagian ini, gelap dan terang dibicarakan mirip seperti dalam Injil Yohanes, yaitu di dalam pandangan dualistik, gelap atau terang –kalau terang maka berarti tidak ada kegelapan, kalau gelap berarti tidak ada terang– tidak ada hubungan antara terang dan kegelapan, tidak ada grey area. Dengan demikian Saudara melihat dalam hal ini Paulus bisa pakai banyak model, multifaset; kadang-kadang dia pakai model dualistik seperti Yohanes, kadang-kadang dia pakai model seperti Roma 7 yang menggambarkan pergumulan di dalam yang saling tarik-menarik, dsb. Saya percaya masing-masing ada kelebihannya, tapi karena sekarang kita sedang membaca Surat Efesus –bukan sedang membaca Surat Roma– maka kita lebih baik membacanya di dalam kelebihannya Efesus.
Apa yang bisa kita pelajari di dalam model kontras skema ‘dulu’ dan ‘sekarang’ dari Surat Efesus ini; apa sebetulnya poinnya? Sederhana sebetulnya, di sini Paulus mengajak kita untuk melihat perubahan konkret yang terjadi di dalam kehidupan orang-orang yang adalah anak-anak terang. Ada perubahan yang luar biasa; dan itu bukan dari diri kita sendiri melainkan dari Tuhan. Kalau kita tidak bisa melihat adanya hal ini, jadi somehow tidak ada konfirmasi. Kita memang bukan diselamatkan karena perubahan ini, tapi seperti dikatakan oleh Calvin –kalau boleh pakai perspektif historis– ini bicara tentang twofold grace of God, both justification and sanctification, dua-duanya. Ada perubahan yang nyata di dalam kehidupan seseorang; dan hal ini kita sendiri harusnya tahu, orang lain pun bisa menyaksikannya. Pertumbuhan tersebut adalah suatu pertumbuhan yang nyata. Ini jangan disalah mengerti sebagai sesuatu yang seolah-olah kita mau show off; ini tidak ada hubungannya dengan show off –tapi bisa dilihat. Mengapa demikian? Karena kalau tidak bisa dilihat, berarti tidak ada embodiment-nya, tidak ada firman yang menjadi daging, jadi lebih mirip Doketisme dsb.
Paulus mengajar jemaat Efesus untuk melihat bahwa kehidupan mereka sekarang bukan lagi kegelapan, tetapi terang di dalam Tuhan. Dan karena itu, maka adalah kontradiktif dan absurd kalau kita, yang adalah anak-anak di dalam terang, masih hidup di dalam atau terkait dengan amoralitas yang sebetulnya sudah lewat, sudah jadi masa lampau. Jadi di sini Paulus mengajak kita untuk melihat identitas kita yang sekarang, kamu itu sebetulnya siapa sih. Kadang-kadang, dalam kehidupan ini orang bikin banyak excused akan kelemahannya, ‘saya ‘kan begini begitu, saya ‘kan tidak sempurna’, dsb.; penjelasannya adalah penjelasan identitas, tapi identitas yang ngawur, identitas yang keliru.
Omong-omong, waktu dikatakan identitas, ini juga bukan berarti semacam hipnotis diri, ‘ayo, katakan pada dirimu sendiri, kamu adalah anak-anak terang’, sambil melihat pada cermin misalnya lalu bilang, “Hai Billy, kamu adalah anak terang”. Poin saya bukan itu, melainkan dalam arti bahwa kita sadar akan status yang diberikan Tuhan, diri kita ini adalah anak-anak terang; dan hal ini bukan nanti, tapi sekarang. Dulu, memang kita adalah kegelapan, tetapi sekarang kita adalah terang di dalam Tuhan. Dan karena status kita adalah terang di dalam Tuhan, maka amoralitas, kedagingan, dsb., seharusnya sudah lewat, itu semua tidak cocok kalau masih ada dalam kehidupan kita di sini dan sekarang karena itu sudah lewat, sudah di belakang kita. Kita ini tidak ada mesin waktu untuk kembali ke belakang ‘kan, maka itu adalah bagian yang sudah lewat, sudah dikubur.
Memang waktu berbicara dalam perspektif justification dan sanctification, secara kondisi ada proses. Secara kondisi, kita belum sempurna; secara kondisi, kita masih bisa jatuh ke dalam dosa. Itu betul; dan kita memang tidak mengajarkan perfeksionisme. Tetapi, penghayatan akan status yang adalah anak-anak terang, itu penting, karena hal ini akan mendorong kita, menguatkan kita, menghibur dan memperingatkan kita, bahwa kita tidak seharusnya berbagian di dalam perbuatan-perbuatan kegelapan.
Tipikal dalam Pauline Theology, mengontraskan antara buah dan perbuatan, atau buah dan karya (Inggris: works; Yunani: erga). Perbuatan, di dalam Pauline Theology konotasinya negatif; misalnya perbuatan daging, perbuatan-perbuatan kegelapan (ayat 11). Lalu jadi bagaimana? Apakah Kekristenan itu pasif, tidak berbuat apa-apa? Tentu tidak. Di dalam Efesus 2 jelas konsepnya; dikatakan, “Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya.” Di sini bahasa Indonesia pakai istilah ‘pekerjaan baik’; ini terjemahan yang bagus, menghindari kata ‘perbuatan’, supaya tidak bingung dengan konsep perbuatan di dalam pengertian negatif yang dikaitkan dengan kegelapan. Sekali lagi, waktu bicara ‘kegelapan’, ‘kedagingan’, itu adalah bicara tentang perbuatan; jadi yang mau dikatakan Paulus di sini adalah bahwa yang bisa dilakukan manusia –perbuatan-perbuatan– itu cuma bisa di dalam kegelapan, cuma bisa dari kedagingan. Itu sebabnya bicara tentang perbuatan, sebetulnya gang buntu.
Jika bukan perbuatan, lalu apa yang kaitannya dengan terang? Ayat 9: “terang hanya berbuahkan kebaikan dan keadilan dan kebenaran”. Dikatakan di sini ‘terang berbuahkan’ –pakai istilah ‘buah’. Ini konsisten; di dalam Surat Galatia juga pakai istilah ‘buah’ (buah Roh), tidak ada istilah ‘perbuatan Roh’, yang ada ‘buah Roh’, dan demikian juga di sini, ‘terang berbuahkan’ –buah dari terang. Apa bedanya buah dan perbuatan? Secara sederhana, perbuatan adalah kita yang melakukan, kita yang mengerjakan, itu sesuatu yang dari diri kita. Tetapi kita ini sudah berdosa, sehingga apapun yang kita lakukan semata-mata gagal dari standar kesucian dan kekudusan Tuhan. Itu sebabnya orang yang terus-menerus bicara tentang perbuatannya, aneh sekali, karena di dalam Alkitab, perbuatan tidak diberikan tempat secara positif –setidaknya dalam Pauline Theology. Kalau kita suka membicarakan perbuatan kita, termasuk juga yang di masa lampau, yang sudah lewat, yang di belakang, menurut teologi Paulus semua perbuatan kita itu cuma di dalam kegelapan. Kita tidak tertarik bicara tentang perbuatan di sini –di dalam konteks teologi Paulus; bahkan bicara works of the law pun tidak menarik, gang buntu, apalagi bicara works of darkness, apalagi bicara perbuatan kedagingan yang dari istilahnya saja tidak bisa diterima. Tetapi kalau bicara ‘buah’, buah adalah sesuatu yang perlu kebergantungan terhadap yang lain, yang di luar diri manusia. Kita tidak bisa berbuah dari diri kita sendiri. Meminjam teologinya Yohanes dalam Yohanes 15, “di luar Aku, kamu tidak bisa berbuat apa-apa –tidak berbuah”, buah itu perlu ada yang men-support sehingga bisa berbuah, dan itu pasti bukan dari diri manusia sendiri. Dikatakan dengan istilah ‘buah Roh’, artinya oleh Roh. Di bagian ini memang tidak pakai istilah ‘Roh’, meski nanti muncul di bagian belakang; di sini pakai istilah ‘buah terang’.
Terang itu berbuah; dan kita tahu bahwa terang bukanlah dari diri kita sendiri, tapi sesuatu yang sumbernya dari Tuhan. Kristus mengatakan, “Akulah terang dunia”; Dia terangkat naik ke surga, dan Dia menyebut murid-murid-Nya, “Kamu adalah terang dunia”. Ada semacam kontinuitas di sini. Paulus di ayat 8 bagian ini, juga mengatakan, “kamu adalah terang di dalam Tuhan”; identitasnya adalah terang. Ini bukan cuma mengatakan ‘kamu merefleksikan terang’, yang adalah Tuhan –dan ini tidak salah juga– tapi penulis Efesus ini berani mengatakan ‘kamu adalah terang’, sebagaimana Yesus juga mengatakan seperti itu. Tentunya ini di dalam pengertian derivatif, maka ada istilah ‘di dalam Tuhan’. Kita cuma bisa identitasnya adalah terang, hanya di dalam Tuhan, dan bukan di luar Tuhan, karena di luar Tuhan tidak ada orang yang bisa berbuat apa-apa, tidak ada orang yang bisa merefleksikan terang itu. Lalu selanjutnya dikatakan: “Sebab itu hiduplah sebagai anak-anak terang”; karena identitas kita sekarang adalah terang, dan kegelapan adalah sesuatu yang sudah lewat di belakang kita, maka hiduplah sebagai anak-anak terang.
Sedikit saya bandingkan dengan terjemahan bahasa Inggris; ayat 8: “… for at one time you were darkness, but now you are light in the Lord. Walk as children of light.” Bahasa Indonesia pakai istilah ‘hidup’, bahasa Inggris pakai istilah ‘walk’ (berjalanlah), ini mirip tapi sedikit berbeda –dalam bahasa Inggris: “berjalanlah sebagai anak-anak terang.” Identitas, itu mendahului perjalanan. Identitas kita apa, maka kita akan berjalan ke mana. Keduanya ini harus sinkron; kalau tdiak sinkron, berarti kita mengkhianati identitas kita. Ada juga orang yang sinkron sih, tapi sinkron dalam cara yang salah, yaitu orang yang selalu minta excused, ‘ya, saya ‘kan begini-begini, saya adalah begini-begini, makanya perbuatan saya begini-begini’ –ini sinkron, tapi identitasnya identitas kacau. Ini orang yang tidak sadar dirinya adalah terang, dia menciptakan identitas yang lain untuk membenarkan perbuatannya –jadi memang sinkron, tapi sinkron yang salah. Kalau kita jelas identitas kita adalah terang, maka sebagaimana dikatakan di sini, kita hidup/berjalan sebagai anak-anak terang; dan terang itu berbuah.
Terang yang sejati pasti berbuah. Tidak ada terang yang tidak berbuah. Tidak ada terang yang kemudian dikalahkan oleh kegelapan. Tidak ada terang yang kemudian menghasilkan perbuatan-perbuatan kegelapan juga. Ada buah terang; dan buah terang di sini disebutkan 3 hal: kebaikan, keadilan, kebenaran. Kalau Saudara baca dalam konteks Efesus secara keseluruhan, ketiga hal ini —goodness, righteousness, truth— sebetulnya adalah atribut Allah sendiri, karakter Allah sendiri. Efesus 4:24, dikatakan: “… dan mengenakan manusia baru” –ini mirip seperti dikatakan tadi, ada baru-lama, dahulu-sekarang, old-new, past/once-now–“yang telah diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya”; ini dekat dengan pasal 5:9, “terang hanya berbuahkan kebaikan dan keadilan dan kebenaran”.
Bukan tidak ada tempat untuk kebaikan. Di dalam bahasa Inggris memang dipakai istilah ‘good works’. Good works ini harus dimengerti dalam pengertian goodness (kebaikan), penekanannya bukan di works-nya. Dalam bahasa Indonesia juga boleh pakai istilah ‘perbuatan baik’. Kalau dalam tradisi Protestan, Lutheran maupun Reformed, biasanya kita lumayan kritis terhadap pembicaraan tentang perbuatan baik; ini karena pengaruh dari teologi Paulus tadi. Tapi kalau pun kita bicara tentang perbuatan baik, waktu kita bicara tentang perbuatan baik –atau dalam Efesus 2 terjemahan LAI pakai istilah ‘pekerjaan baik’–penekanannya adalah pada kebaikan (goodness) yang adalah buah terang, bukan pada perbuatannya manusia melainkan perbuatan/pekerjaan baik yang adalah buah dari Roh, buah dari terang yang sejati. Dengan demikian, tidak ada excused lagi untuk kita berbangga diri atau mencuri kemuliaan Tuhan, dst.
Keadilan (righteousness), sebagaimana kita sudah sering bahas, adalah penting waktu kita bicara tentang Kerajaan Allah —Kingdom of God and His righteousness. Righteousness ini ada aspek ‘universal’, bukan kelompok tertentu, untuk semua orang, tidak memandang muka (partiality). Righteousness berarti bisa menilai dengan adil, bisa mengenal dengan adil, tidak double standard, tidak melakukan standar yang berbeda; misalnya terhadap diri kita lunak, tapi terhadap orang lain kita tuntut mati-matian –ini bukan righteousness, tidak ada sense of justice di sini. Termasuk juga terhadap orang lain, tidak pakai double standard; terhadap kelompok yang ini pakai standar A lalu terhadap kelompok yang itu pakai standar B, itu bukan righteousness. Waktu kita mengerti righteousness, kita langsung teringat ini pasti berkait dengan ke-raja-an Kristus (kingship of Christ), karena Kristus itu memerintah dengan adil.
Kebenaran (truth), ada kaitan dengan pengertian, pengetahuan, pengenalan yang benar (true knowledge), karena yang diketahui/dikenal adalah kebenaran. Kalau di dalam profil Yohanes, kebenaran (truth) ini dikontraskan dengan dusta. Dusta, itu termsuk tidak mengenal diri dengan benar. Orang yang suka menipu diri, suka diprofil yang tidak sesuai dengan kenyataan, itu bukan truthful melainkan lies (dusta). Tapi dalam konteks Efesus, kontras dari kebenaran (truth) adalah ketidakmengertian (ignorance). Berbicara tentang ignorance, kita bisa bikin excused ‘ya, ‘kan tidak saya mengerti, tidak tahu’, lalu karena tidak tahu, kita mengharapkan bisa dapat perlakuan yang lebih lunak. Tapi di dalam Efesus 4:18, penulis Efesus tidak memaksudkan ignorance dalam pengertian yang membawa kita kepada excused seperti itu (sikap yang ‘karena saya belum tahu, jadi orang musti maklum’), melainkan ini dikaitkan dengan kegelapan. Efesus 4:17, “Sebab itu kukatakan dan kutegaskan ini kepadamu di dalam Tuhan: Jangan hidup lagi sama seperti orang-orang yang tidak mengenal Allah dengan pikirannya yang sia-sia”. Tidak mengenal Allah, tidak ada knowledge of God, ini ignorance. Lalu selanjutnya ayat 18: “dan pengertiannya yang gelap, jauh dari hidup persekutuan dengan Allah, karena kebodohan yang ada di dalam mereka dan karena kedegilan hati mereka”. Perhatikan, waktu bicara tentang pengertian yang gelap, dan juga kebodohan, itu tidak ada hubungannya dengan kecerdasan, tidak membicarakan soal kecerdasan sama sekali. Bahkan di bagian lain, dalam 1 Korintus 1, Paulus melakukan polemik dengan orang-orang yang memegahkan kecerdasan dan hikmatnya, karena Injil itu terbalik, Injil itu kebodohan. Jadi, waktu di sini pakai istilah ‘kebodohan’ ini bukan maksudnya kebodohan dalam pengertian tingkat kecerdasan —IQ yang tinggi, bisa berpikir secara sangat logis, tajam kecerdasannya, bisa mengikuti khotbah yang rumit atau apaun lainnya– tapi ini dikaitkan dengan sikap hati; kenapa seseorang itu bodoh, itu adalah karena hatinya degil. Ignorance bukanlah karena ‘gak nyampe IQ-nya –konsep seperti itu tidak pernah ada di Alkitab; orang ignorance, itu bukan karena dia tidak mampu mencerna hal-hal yang terlalu rumit atau terlalu dalam, karena dia orang yang ultra pragmatis misalnya, tidak mau diajak berpikir dsb., tapi tekanannya adalah bahwa ini orang yang hatinya degil karena dia ignore pengetahuan yang ditanamkan Tuhan di dalam kehidupan manusia, sebagaimana dikatakan dalam Surat Roma. Pengetahuan itu ditekan, di-ignore, akhirnya benar-benar jadi orang ignorance –jadi ignorance sepertiini tidak menimbulkan belas kasihan. Jangan kita berpikir karena kita tidak tahu, karena kita ignorance, lalu kita bisa minta perlakuan tidak adil ‘tolong lebih lunak kepada saya karena saya tidak tahu’; dalam hal ini, justru itulah persoalannya: kenapa tidak tahu, kalau menurut Efesus 4:18 adalah karena kedegilan hati manusia. Kedegilan hati manusia itulah yang membawa kepada ketidakmengertian, membawa kepada pengenalan akan Allah yang keliru atau bahkan ketiadaan pengenalan akan Allah.
Sekali lagi, tiga hal ini: waktu terang hadir di dalam kehidupan kita, itu akan berbuah kebaikan, keadilan, kebenaran. Dan khususnya dalam hal kebenaran, itu membawa orang jadi bisa menilai/menguji apa yang berkenan kepada Tuhan, ada spiritual discernment (karunia membedakan roh). Hal ini bahkan kita bisa kaitkan dengan ketiganya, jangan hanya dengan kebenaran, karena spiritual discernment bukan hanya mengasumsikan kebenaran, tapi juga perlu kebaikan; spiritual discernment bukan cuma bicara ‘benar’ dan ‘salah’ dalam pengertian yang kaku dan dingin luar biasa, yang hitam-putih, tanpa ada pengertian.
Kalau dalam suatu penilaian kita tahunya cuma hitam-putih, tidak ada diferensiasi, tidak ada gradasi, misalnya ‘teologi ortodoks atau teologi sesat, benar atau salah’, dan tidak ada gradasinya, maka dalam konteks ini sepertinya kita belum punya spiritual discernment. Spurgeon mengatakan satu kalimat yang terkenal, bahwa discernment bukanlah tentang knowing the difference between right and wrong —kalau cuma unright and wrong, itu terlalu cetek, terlalu dangkal, hitam-putih, putih-hitam–melainkan knowing the difference between right and almost right (yang benar dan hampir benar). Dua-duanya seperti benar, lalu yang mana yang lebih benar, yang mana yang sungguh-sungguh benar, di situlah baru kita bicara spiritual discernment. Waktu kita bertumbuh, kita bisa menguji apa yang berkenan kepada Tuhan, di dalam konteks ini. Kita tidak bicara lagi soal perbuatan kegelapan –hal-hal tersebut kita sudah pasti harus tahu– ini kita bicara soal hal-hal yang secara tidak kentara (subtle) masuk meracuni, yang pakai bahasa-bahasa Kristen, yang pakai jargon-jargon teologi, tapi itu sebetulnya menipu, sebetulnya itu ideologi asing dan bukan Injil, kontra Injil, tidak sesuai dengan narasi Injil. Di sinilah, bagaimana kita discern hal-hal itu.
Waktu seseorang bertumbuh, dia berbuah kebaikan, keadilan, kebenaran; dan di sini dia bisa menguji apa yang berkenan kepada Tuhan. Ini tidak bisa tanpa mengaitkan dengan kebaikan, tidak bisa tanpa mengaitkan dengan keadilan, tidak bisa tanpa mengaitkan dengan kebenaran. Orang yang menguji apa yang berkenan kepda Tuhan, dia musti melakukan yang adil. Tanpa keadilan, bagaimana mungkin dia bisa menguji apa yang berkenan kepada Tuhan, karena bisa salah melihatnya, dan juga karena manusia paling pintar memanipulasi agama. Pendeta Stephen Tong pernah mengatakan, “Ahli hukum adalah orang yang belajar hukum, lalu entah bagaimana caranya supaya waktu dia melanggar hukum, dia tidak usah dihukum.” Kalau pakai definisi ini, yang lebih menakutkan daripada ahli hukum adalah ahli teologi/agama, karena ahli agama adalah orang yang belajar agama, tahu seluk-beluk agama, dan tahu bagaimana dia berdosa tanpa harus merasa salah. Tetapi orang yang bertumbuh dalam kehidupannya, dia bisa menguji apa yang berkenan kepada Tuhan, dia bisa membedakan, termasuk juga hal-hal yang tidak langsung kentara secara kontras hitam atau putih, yang perlu diferensiasi, yang perlu ada keputusan teologis, yang perlu ada pertimbangan multi-perspektif, yang perlu pemetaan teologis, dsb. Ini semuanya penting dalam kehidupan manusia, dalam menguji apa yang berkenan kepada Tuhan.
Perhatikan di bagian ini, waktu dikatakan tentang kita hidup/berjalan sebagai anak-anak terang, yang diubahkan oleh Tuhan adalah diri kita; kita dulu adalah kegelapan, sekarang kita adalah terang di dalam Tuhan. Waktu seseorang diubahkan oleh Tuhan (pertobatan yang sejati), yang diubah adalah kehidupan Saudara dan saya, bukan sekeliling kita; sekeliling kita tidak ada perubahan. Yang diangkat oleh Tuhan bukanlah kegelapan di sekeliling kita, tetapi kehidupan Saudara dan saya, dulu kegelapan lalu sekarang adalah terang. Dan, karena kita sekarang adalah terang, maka sekeliling kita seharusnya juga mendapatkan terang yang terefleksikan di sana. Tapi sering kali kita berpikirnya pasif, kita mengharapkan sekeliling kita diubahkan oleh Tuhan. Kekristenan kayak begini tidak menjanjikan, karena pasif. Kita mengharapkan sekeliling kita yang diperbaiki oleh Tuhan lalu kita jadi seperti lebih nyaman; ini seperti menciptakan kenyamanan, termasuk kenyamanan rohani, karena hidup dikelilingi yang terang.
Dalam cerita-cerita pekerjaan Tuhan, kebangunan rohani (revival) dsb., cerita tentang bagaimana pekerjaan-pekerjaan Tuhan dinyatakan dalam zaman yang lampau, Saudara mendapati satu pola yang terus-menerus, yaitu orang Kristen ditaruh di tempat yang bukan tempat nyaman tapi tempat yang kacau, yang tidak keruan, yang gelap, yang miskin, yang amburadul, dan disitulah kemudian dihadirkan misionaris, lalu dari situ ada pekerjaan Tuhan. Tuhan tidak taruh seseorang di dalam suatu keadaan yang sudah tidak terlalu perlu lagi diperbaiki, karena untuk apa. Kita malah jadi beban di dalam komunitas yang seperti itu; waktu kita masuk, kita jadi menarik orang lain ke bawah karena ada ‘saya’ yang musti dilayani.
Waktu kita bertumbuh, di sini disebut bahwa kita adalah terang, berarti fungsinya adalah di dalam kegelapan. Tentu saja di sisi lain boleh juga kita bicara soal persekutuan antara sesama terang; tapi secara sederhana, terang itu menjalankan fungsinya, terang itu penting, terang itu signifikan, terutama karena ada di dalam kegelapan. Karena itulah Tuhan tidak terlalu tertarik menciptakan sekitar kita yang kondusif untuk Saudara dan saya, yang lebih nyaman dsb. Kita maunya ‘Tuhan, tolong kasih kondisi sekitar yang lebih nyaman atau bagaimanalah, supaya saya bisa lebih bercahaya’; yakin demikian?? Saudara pernah bawa senter di tempat terang? Tidak terlalu kelihatan ‘kan, nyala atau mati lumayan sama saja, senter jadi tidak terlalu penting. Padahal, senter itu benar-benar terang, tapi jadi tidak terlau signifikan, ada atau tidak ada tetap tidak terlalu ada bedanya, karena sekelilingnya sudah terang. Apalagi kalau saudara bawa senter ke luar jam 12 siang, lalu misalnya diarahkan ke matahari, tidak mungkin ada perbedaan. Tapi, kalau ruangan betul-betul gelap lalu Saudara nyalakan senter, jadi lebih ada harganya, lebih ada signifikansinya. Saya bukan mengatakan signifikansi tergantung kepada kebobrokan; bukan itu poinnya, melainkan di dalam pengertian bahwa Tuhan memang menaruh terang itu di dalam keadaan yang kacau-balau, keadaan kegelapan, karena jika tidak ditaruh di sana lalu untuk apa fungsinya terang itu, di mana signifikansi terang di tempat yang sudah terang-benderang itu.
Ayat 11: “Janganlah turut mengambil bagian dalam perbuatan-perbuatan kegelapan yang tidak berbuahkan apa-apa”. Jelas di sini kontrasnya, kegelapan itu tidak berbuahkan apa-apa. Yang namanya buah, adalah dari terang; yang namanya perbuatan, adalah dari kegelapan. Di sini pakai kosakata yang tepat; dan harap ini bukan cuma tinggal di dalam urusan kosakata atau jargon saja, tapi mengerti apa sebetulnya konsepnya. Tidak ada yang namanya kegelapan bisa berbuah; yang bisa membuahkan, hanyalah terang, sedangkan kegelapan hanya bisa menghasilkan perbuatan-perbuatan.
Selanjutnya: “tetapi sebaliknya telanjangilah (expose) perbuatan-perbuatan itu.” Perbuatan apa? Perbuatan kegelapan; pertanyaannya: bagaimana menelanjangi perbuatan-perbuatan kegelapan itu. Saya tertarik dengan satu tafsiran, waktu di sini dikatakan di sini tentang exposing perbuatan-perbuatan kegelapan, tafsiran tersebut mengatakan yaitu dengan menghidupi gaya hidup (life style) yang saleh. Hidup di dalam terang, berjalan di dalam terang, itu sudah mengekspos kejahatan. Maksudnya begini, kita ini sering kali begitu menghakimi (judgmental), sampai kita sepertinya tidak rela kalau tidak membicarakan kesalahan; misalnya, kita bilang, “Tahu ‘gak sih, badan lu itu bau, jelas ‘gak apa artinya bau, dan tahu ‘gak ini berasal dari badan lu.” Ini metafora, maksudnya dalam hal teologi kita suka bicara seperti itu. Tentu bukan tidak ada waktunya untuk menegur, tapi orang yang menegur dan menegur, cuma menyatakan yang salah tapi sendirinya tidak ada model, lalu yang benar jadinya yang bagaimana?? Terang itu mengusir kegelapan, bukan dengan menyatakan kegelapan adalah kegelapan –yang seperti itu tidak ada, dan tidak perlu juga– tapi hanya dengan hadir saja, menyatakan bahwa terang itu berbeda dengan kegelapan. Orang yang menghidupi suatu life style yang saleh, itu sudah merupakan suatu khotbah yang menegur kejahatan. Tapi celakalah orang yang terus-menerus membicarakan kejahatan, tapi tidak ada modelnya; yang dibicarakan semuanya negatif, tapi lalu apa, yang positif lalu bagaimana, tidak ada modelnya. Saya kadang-kadang sedikit bergumul dalam hal musik. Kita bilang musik yang ini kurang, yang itu keliru, dsb., tapi saya merasa kita sendiri di sini belum maksimal menggarap musik yang bagus, sehingga modelnya seperti agak kurang juga, seperti apa musik yang benar, yang melimpah, yang menyentuh, yang membawa kita kepada sikap ibadah yang benar –dan menurut saya ini prosesnya masih panjang. Ini salah satu contoh saja; demikian juga dalam kehidupan spiritualitas.
Kita sudah pernah membahas dalam Matius 28, Yesus waktu mengatakan tentang Amanat Agung yang terkenal itu, Dia mengatakan: “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu” ; berarti Saudara dan saya dipanggil untuk mengajarkan orang lain melakukan. Saudara tahu bedanya mengajarkan orang melakukan dengan mengajarkan misalnya studi Alkitab atau khotbah? Dua-duanya memang mengajar, tapi mengajar orang melakukan, berarti Saudara musti memberi contoh. Mengajarkan orang melakukan main piano yang bagus, itu berarti Saudara musti beri contoh; Saudara musti perhatikan tangannya, Saudara musti beri dia kesempatan main, Saudara mungkin juga akan koreksi, dan Saudara sendiri main, lalu Saudara suruh dia main lagi, lalu koreksi lagi, Saudara main lagi, koreksi lagi. Itu namanya mengajarkan orang melakukan. Kalau mengajarkan saja, bukan mengajarkan orang melakukan, ya sudah, khotbah saja cukup, studi Alkitab tok cukup, setelah itu ya, terserah Saudara mau lakukan atau tidak, ‘kan saya sudah mengajar. Tapi itu bukan Amanat Agung. Amanat Agung itu duduk bareng sebetulnya. Amanat Agung itu memberi teladan, memberi contoh apa artinya melakukan ini, seperti apa melakukan ini, mendampingi. Itulah namanya pemuridan (discipleship).
Kembali ke konsep dalam Efesus; bukan cuma bicara soal apa yang salah —bicara apa yang salah, itu satu hal— tapi bagaimana kita menghidupi apa yang berkenan kepada Tuhan. Orang kalau pakai pakaian bersih, itu sudah akan mengoreksi orang yang pakaiannya kotor, tanpa harus banyak bicara. Kalau pakaian Saudara bersih, lalu foto bersama, dan orang di sebelah Saudara pakaiannya kotor, sudah langsung kelihatan kontras, Saudara tidak perlu lagi bicara, “Ini pakaian saya lebih bersih daripada kamu, kamu lebih kotor” –ini lebih bersih, itu lebih kotor, terlalu bertele-tele. Kadang-kadang teologi itu bertele-tele, kadang-kadang Gereja bertele-tele, kadang-kadang komunitas Kristen juga bertele-tele; tapi kenapa ya, koq suka bertele-tele? Saya pikir bukan karena kita dasarnya memang cerewet, tapi ada persoalan yang lebih inheren daripada itu, yaitu kita ini judgmental and self righteous, itu sebabnya kita suka menuding kesalahannya orang lain, tanpa kita sendiri menghidupi apa yang benar, yang saleh.
“Janganlah turut mengambil bagian dalam perbuatan-perbuatan kegelapan yang tidak berbuahkan apa-apa, tetapi sebaliknya telanjangilah (ekspos) perbuatan-perbuatan itu”. Sekali lagi, apa artinya menelanjangi perbuatan-perbuatan? Menelanjangi kelemahannya orang lain dan mempermalukannyakah? Ya, memang, di dalam kehidupan yang penuh dengan persaingan, kayaknya itu diperlukan. Saya bingung dengan orang yang bisa bersukacita atas kegagalannya orang lain, orang seperti itu seperti tidak mengenal Kristus. Orang yang bisa senang waktu orang lain jatuh, lalu kalau bisa dikomentari lagi dengan kalimat-kalimat negatif untuk mengafirmasi bahwa memang dia betul-betul jatuh, ini hubungannya dengan Kristus apa?? Ini sangat berhubungan dengan dunia kita yang kompetitif dan selalu mau menang sendiri; itu sebetulnya “injil”-nya. Itu sebabnya ketika ada orang yang jatuh, yang gagal, lalu ‘inilah kesempatannya, saya sebetulnya sudah dari dulu kepingin mengolok-olok dia, tapi dia kayaknya masih terlalu powerful; sekarang dia sudah di bawah, jadi saya ikut maki-maki’. Yang seperti ini, hubungannya apa dengan Injil Yesus Kristus yang kita percaya?? Tidak ada hubungannya. Ini berhubungan dengan injil palsu, injil kompetisi, injil yang selalu mau menang; itu sebabnya kita bersukacita kalau ada saingan/kompetitor yang jatuh, karena kita merayakan kemenangan di sana.
Dikatakan,‘…telanjangilah (ekspos) perbuatan-perbuatan kegelapan”; kalau kita sendiri di-ekspos oleh Tuhan, itu menakutkan, lalu bagaimana kita mengekspos perbuatan-perbuatan itu? Alkitab ada memakai istilah demikian: waktu orang berbuat kejahatan, lalu kita balas dengan kebaikan, itu seperti menaruh bara api di atas kepalanya. Inilah ekspos yang paling powerful. Tapi kita sering kali tidak suka cara begini. Kalau orang lain melakukan kejahatan, kita maunya membicarakan kejahatan dia; kita pikir dengan membicarakan dan mempropagandakannya, kita bisa lebih mengekspos kejahatan dia. Alkitab bilang, bukan itu cara mengekspos –kalau mau tetap pakai istilah ‘ekspos’; Alkitab bilang, waktu kamu berbuat kebaikan kepada dia, itulah cara terbaik untuk mengekspos, itu adalah bara api kamu taruh di atas kepalanya. Tapi yang kita mau adalah taruh bara apinya itu, ‘saya suka taruh bara api ke kepalanya orang lain, supaya dia kepanasan, gundul sekalian; yang saya ‘gak mau itu lho, caranya koq dengan berbuat kebaikan, itu ‘gak menyenangkan buat saya’.
Sekali lagi, ayat 11-12, “Janganlah turut mengambil bagian dalam perbuatan-perbuatan kegelapan yang tidak berbuahkan apa-apa, tetapi sebaliknya telanjangilah perbuatan-perbuatan itu. Sebab menyebutkan saja pun apa yang dibuat oleh mereka di tempat-tempat yang tersembunyi telah memalukan.” Terang itu sesuatu yang terpancar, sebagaimana Saudara baca prinsip yang sama di dalam Matius; dan ini tidak ada hubungannya dengan pamer (show off), tapi memang musti terpancar. Matius 5:15, “Lagipula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu.” Terang itu terpancar, bukan di bawah gantang; yang dibawah gantang, tersembunyi, itu adalah kegelapan. Yang tersembunyi, yang tidak boleh dilihat, yang memalukan, yang ditutup-tutupi, yang tidak ada transparansi, dst., dst., itu adalah kegelapan. Tetapi, di dalam terang ada transparansi, ada keterbukaan, dan sudah pasti ada kejujuran, ada integritas. Ayat 13, “Tetapi segala sesuatu yang sudah ditelanjangi oleh terang itu menjadi nampak, sebab semua yang nampak adalah terang.” Dalam terjemahan bahasa Inggris: “But when lanything is exposed by the light, it becomes visible”; visible=nampak, nyata, kelihatan. Adalah natur dari terang, bahwa sesuatu itu kelihatan. Kalau di dalam Mazmur, dikatakan: waktu terang itu menerangi, tidak ada yang bisa bersembunyi dari terang itu, segala sesuatu menjadi nampak (visible).
Sekali lagi, yang ditutup-tutupi, itu adalah kegelapan; yang disembunyikan, itu adalah natur dari kegelapan. Sedangkan natur dari terang adalah membuat segala sesuatu terlihat (visible), kehidupan yang transparan, integritas, dst. Baru setelah itu masuk ke ayat 14 ini: “Itulah sebabnya dikatakan: “Bangunlah, hai kamu yang tidur dan bangkitlah dari antara orang mati dan Kristus akan bercahaya atas kamu.” Dalam bahasa Inggris: “Awake, O sleeper, and arise from the dead, and Christ will shine on you.” Untuk memahami bagian ini, bisa pakai beberapa angle.
Di sini bicara ‘bangunlah, hai kamu yang tidur’. Kalau kita coba melihat ini dari perspektif teologi sistematika –langsung disclaimer saja– tidak terlalu menarik; urusannya ‘sebetulnya manusia itu mati atau tidur?’, lalu kalau dalam teologi Reformed katanya mati, tapi kalau di dalam Armenian katanya tidur atau sakit, jadi sebetulnya tidur atau mati, sih?? Lalu orang yang mau mengafirmasi teologi Reformed bilang, “Lu apa ‘gak lihat ayat setelah itu bicara tentang mati? Lu ‘gak lihat dibilang ‘bangkitlah dari antara orang mati?” Dan mungkin dibalas lagi, “Lu ‘gak lihat di bagian depannya bicara ‘tidur’?” Atau mungkin pakai tafsiran –ini skill-nya sedikit lebih tinggi– dan bilang, “Begini lho, dibilang ‘tidur’ itu ‘kan eufemisme, itu sesuatu yang sebetulnya bicara tentang kematian; waktu di sini bilang ‘tidur’, itu maksudnya mati, karena Alkitab suka pakai istilah ‘tidur’ untuk menggambarkan kematian, jadi ini ‘tidur’ yang bukan betul-betul tidur, yang dimaksud adalah mati, maka setelah itu bicara ‘bangkitlah dari antara orang mati’, jadi ini bicara tentang total depravity, mati rohani, bukan sakit rohani atau tidur rohani”. Saudara silakan saja kalau mau mengeksplorasi ke arah sana, tapi bagi saya somehow kurang menarik.
Yang mungkin lebih menarik sedikit, menurut banyak pakar, ayat ini setting in life-nya dipakai dalam Baptisan. Dalam hal ini kadang-kadang di dalam sakramen kita boleh lebih kaya secara kalimat-kalimat. Saudara bisa bayangkan waktu seseorang dibaptis, kemudian pada saat itu dikatakan kalimat ini, “Bangunlah, hai kamu yang tidur dan bangkitlah dari antara orang mati dan Kristus akan bercahaya atas kamu”, maka betapa powerful kalimat ini, karena Surat Roma membicarakan Baptisan adalah mati bersama dengan Kristus dan bangkit bersama dengan Kristus. Orang yang dibaptis itu mati bersama dengan Kristus dan juga bangkit bersama dengan Kristus; dan waktu orang dibaptis ada himne (nyanyian) seperti ini. Setiap kali orang dibaptis, lalu nyanyiannya seperti ini, “Bangunlah, hai kamu yang tidur dan bangkitlah dari antara orang mati dan Kristus akan bercahaya atas kamu”. Indah ya. Ini tafsiran yang lebih indah.
Tapi saya tertarik dengan tafsiran yang ketiga. Ternyata, ayat-ayat ini banyak sekali diresepsi di dalam khotbah kebangunan rohani (revival). Dalam hal ini kita go beyond teologi sistematika, meninggalkan urusan mati-atau-tidur, tidur-atau-mati, mati rohani atau tidur rohani, dsb.; itu bukan kategori yang penting lagi dalam revival. Revival itu tidak terlalu peduli dengan apakah orang ini sudah Kristen atau belum Kristen, sudah lahir baru atau belum lahir baru; itu bukan kategori yang dipentingkan di dalam revival. Revival adalah untuk semuanya, termasuk juga untuk orang Kristen yang sudah lahir baru, bukan mati rohani, tapi mirip orang tidur. Apa yang dimaksud ‘tidur’ di sini? Saudara bisa membaca di bagian bawahnya, apa maksudnya orang Kristen yang seperti orang tidur itu; yaitu: yang seperti orang bebal, yang tidak memperhatikan dengan seksama bagaimana mereka hidup, yang tidak mempergunakan waktu yang ada, yang tidak sadar bahwa hari-hari ini adalah hari yang jahat, yang tidak berusaha untuk mengerti kehendak Tuhan, yang mabuk oleh anggur dan mabuk oleh hawa nafsu, yang tidak dipenuhi oleh Roh Kudus.
Di sini tidak penting bicara Saudara sudah lahir baru atau belum lahir baru, sudah selamat atau belum selamat, dsb., tapi: “Bangun! Bangunlah, hai kamu yang tidur dan bangkitlah dari antara orang mati”. Kita tidak masuk ke perdebatan ‘saya ‘gak mati, lho, kenapa saya dibilang mati’ dsb.; pembicaraan seperti itu tidak menarik. Di dalam khotbah revival tidak ada orang yang khotbahnya berkata, “Hai, kamu yang belum lahir baru, bangkitlah dari antara orang mati; tapi kamu orang Kristen yang suam-suam kuku, bangunlah, karena kamu hanya tertidur”. Tidak pernah ada khotbah revival seperti itu, yang membedakan khotbah ke kanan lalu ke kiri, ke kanan lalu ke kiri, dsb. Khotbah seperti itu tidak menarik; tetapi di dalam teologi Injili sepertinya suka sekali melakukan kategori-kategori seperti ini. Injil itu untuk siapa? Panggilan ‘bangun/bangkit’ itu untuk siapa sebetulnya? Tentu saja untuk semua orang. Yang dipanggil, diundang untuk bertobat, itu siapa? Bukan cuma yang belum percaya, yang sudah percaya pun diundang untuk bertobat, pertobatan yang terus-menerus. Waktu dikatakan, “hendaklah kamu penuh dengan Roh (Roh Kudus)”, orang yang belum lahir baru pun boleh mendengar perintah ini –tentu tidak mungkin penuh dengan Roh tanpa kelahiran baru. Kalimat ini juga boleh, dan sangat cocok, untuk orang yang sudah dilahirbarukan oleh Roh namun dalam kehidupannya mendukakan Roh Kudus, memadamkan pekerjaan Roh Kudus; dan bukan cuma untuk orang yang belum lahir baru.
Kebangunan/kebangkitan (revival) itu apa artinya? Yaitu sebagaimana dikatakan dalam ayat 19: “berkata-katalah seorang kepada yang lain dalam mazmur, kidung puji-pujian dan nyanyian rohani.” Sederhana ya. Menarik kalau kita baca dalam cerita revival, pada masa itu banyak lagu digubah. Dan hal tersebut seperti natural, keluar begitu saja, bukan karena diusahakan seperti misalnya, ‘kita akan ada hari ulang tahun GRII Kelapa Gading, ayo dong karang lagu baru’ –ini mengarang lagu berdasarkan event namanya. Tapi dalam revival bukan demikian, melainkan itu adalah sesuatu yang karena dipenuhi oleh firman, dipenuhi oleh Roh, sehingga ada lagu-lagu baru; karena orang suka membicarakan tentang Tuhan, orang suka berkata-kata seorang pada yang lain tentang Tuhan. Mungkin pinjam istilah yang tidak terlalu tepat, orang seperti “mabuk” pembicaraan tentang Tuhan; dan ini bukan sesuatu yang dibuat-buat, bukan religious freak, melainkan seperti ada suatu kegairahan membicarakan tentang Tuhan, pekerjaan-Nya, sifat-Nya, karya-Nya, dst., dst. Ini betul-betul kebangunan rohani. Kita berharap terjadi seperti ini.
Yang dikatakan Paulus sederhana, orang berkata-kata seorang kepada yang lain dalam mazmur, kidung puji-pujian dan nyanyian rohani, bernyanyi dan bersorak bagi Tuhan dengan segenap hati. Lalu ayat 20 bicara tentang ucapan syukur; dan terakhir ayat 21 bicara tentang orang yang saling merendahkan diri seorang dengan yang lain (submit to one another). Kita tahu dalam ayat berikutnya bakal mengatakan bahwa istri musti submit terhadap suami, tapi dalam ayat 21 –kalau kita baca dalam perspektif kebangunan rohani–ketika kebangunan rohani terjadi, orang akan submit satu dengan yang lain, mengalah satu dengan yang lain. Lalu apa lawan-kata-nya? Yaitu seperti dalam dunia kompetitif, orang yang tidak mau kalah, orang yang bossy satu dengan yang lain; apapun opininya dia, harus diterima oleh orang lain karena dia ada ego-strength, detrminatif, tahu apa yang dia mau kerjakan, tahu bagaimana memimpin, dsb. Tapi itu bukan tanda kebangunan rohani. Kebangunan rohani, salah satunya ditandai dengan orang yang bisa submit satu dengan yang lain –dan ini sama sekali tidak berbenturan dengan ordo.
Kadang-kadang pembicaraan teologi yang rumit bisa tidak menarik; misalnya Saudara lalu tanya, “Kalau orang musti submit satu dengan yang lain, berarti siapa memimpin siapa dong??” Apa menyenangkan ya, debat seperti ini? “Kalau ada yang submit, berarti musti ada yang di-submit-i, tidak mungkin semuanya submit; kalau semuanya submit, siapa pimpin siapa, ordonya jadi siapa yang diatas dan siapa di bawah??” Sekali lagi, di dalam kebangunan rohani, ini pembicaraan yang sama sekali tidak menarik. Ini adalah hasil pikiran yang sudah berdosa, sukanya debat-debat yang ‘gak penting seperti ini. Saudara pikir apa tidak bisa jalan, kalau orang submit satu dengan yang lain? Harus ada satu yang tidak pernah submit kepada siapa pun barulah strukturnya bisa jalan? Tentu tidak. Saudara baca dalam Kitab Suci, “Roh Kudus mempermuliakan Kristus, Kristus mempermuliakan Bapa”; tapi tidak berhenti di sini, ada ayat mengatakan, “Bapa mempermuliakan Kristus”, jadi jalan koq, tidak merusak ordo koq. Saudara mungkin pernah membaca konsep ‘Yesus memberkati Bapa’, dan jalan koq konsep ini. Sepertinya salah ya, ordonya. Bukan cuma Yesus, ada juga ‘we bless the Lord’; koq kita memberkati Allah, harusnya Allah memberkati kita? Tapi jalan koq, tidak mengacaukan ordo dalam hal ini; lalu kenapa kita kesulitan??
Kita kesulitan karena kita terlalu rumit dengan pikiran kita sendiri. Kita kesulitan karena kita tidak bisa menghargai di dalam kebangunan rohani ada hal-hal sederhana –sangat sederhana. Apa itu? Ucapan syukur. “Ucaplah syukur senantiasa atas segala sesuatu dalam nama Tuhan kita Yesus Kristus”. Kita membaca dalam tulisan Paulus yang lain, salah satu tanda kekafiran adalah tidak tahu bersyukur (ingratitude), sebagaimana dikatakan dalam Surat Roma. Mereka itu tidak tahu bersyukur. Hidupnya tidak ada ucapan syukur. Dan di bagian lain dikatakan, Injil itu diberitakan, salah satu tujuannya supaya semakin melimpah ucapan syukur di dalam dunia ini. Tuhan menikmati ucapan syukur; dan waktu kebangunan rohani terjadi, orang itu bersyukur –dan tidak usah ditambahkan istilah ‘tok’. Bersyukur itu bukan ‘tok’, bersyukur itu bukan ‘saja’, bersyukur adalah salah satu tujuan Injil. Kenapa Injil diberitakan, Paulus mengatakan, “Supaya semakin melimpah ucapan syukur”.
Kita bilang diri kita orang Kristen, kita percaya Injil; pertanyaannya: berapa dalam, berapa sering ucapan syukur Saudara dan saya? Atau kita lebih banyak pengeluhan, kita lebih banyak ketidakpuasan, kita lebih banyak menggerutu, kita lebih banyak kemarahan, ucapan syukur jadi kayak sesuatu yang jarang sekali (rare jewel)? Tetapi, waktu orang bangun dari tidurnya, bangkit dari kematiannya, dan Kristus bercahaya dalam kehidupannya, Saudara mengharapkan apa? Paulus bilang, mereka akan mengatakan mazmur satu dengan yang lain, mereka akan saling menguatkan, ada kidung puji-pujian dan nyanyian rohani. Mereka akan bernyanyi dan bersorak bagi Tuhan dengan segenap hatinya, bukan dengan setengah hati tapi dari kedalaman hatinya. Dan, mereka akan bersyukur –kehidupan yang bersyukur.
True revival itu sederhana ya, gambarannya di sini; bukan yang muluk-muluk. Tapi kita, saking tidak tertariknya dengan hal-hal seperti ini, kita menciptakan tanda-tanda lain yang sebetulnya bukan tanda yang dibicarakan dalam Alkitab. Kita bicara revival, tapi orang tetap tidak bisa saling submit. Orang tetap bersikeras dengan pandangannya sendiri dan memaksa orang lain mengikuti dia. Orang selalu berbicara, dan suruh orang lain mendengar, tapi dia sendiri tidak bisa mendengar orang lain. Orang maunya perspektif dia diikuti orang lain, tapi dia sendiri tidak pernah bisa mengikuti perspektifnya orang lain. Mana ada revival?? Kebangunan rohani apa seperti itu?? Itu sepertinya masih tidur, tidur di dalam egonya manusia.
Kiranya Tuhan berbelaskasihan kepada kita, kiranya Tuhan menolong kita.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah(MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading