Kita sedang membahas satu seri kotbah mengenai pertemuan dengan Tuhan; bahwa panggilan orang Kristen bukan cuma untuk disertai Tuhan tapi juga untuk menyertai Tuhan. Apa artinya ‘menyertai Tuhan’, inilah yang kita bahas dengan melihat dari Alkitab beberapa contoh kasus ketika ada orang-orang yang bertemu Tuhan secara langsung. Gambaran dalam Alkitab mengenai ‘bertemu Tuhan’ ini, jangan-jangan jauh berbeda dari gambaran-gambaran yang ada di kepala kita.
Kita sudah membahas mengenai Yakub, Ayub, dan hari ini mengenai Yosua. Pembahasan mengenai Yosua, hampir selalu fokusnya pada pertempuran di Yerikho; itulah yang kelihatannya paling klimaks, paling berkesan. Tetapi sebenarnya bagian yang kita baca tadi sangat penting, bahkan mungkin lebih penting daripada pertempuran itu sendiri, karena bagian inilah yang menjelaskan kepada kita, tentang apa yang dibawa masuk ke dalam pertempuran tersebut, agenda siapa yang mendasari semua ini, apakah cuma agenda Yosua sebagai seorang imperator yang menindas orang-orang Kanaan atau agenda siapa?
Setiap kali kita membahas cerita-cerita mengenai ‘bertemu dengan Tuhan’, kisahnya tidak pernah mulai dari momen tokoh utamanya bertemu dengan Tuhan, selalu ada latar belakang cerita yang lumayan panjang di awalnya. Waktu membahas Yakub bertemu dengan Tuhan di Pniel, Ayub bertemu Tuhan dalam badai, selalu ada latar belakang yang panjang yang kita perlu bahas, karena jika tidak, kita tidak bisa mengerti arti pertemuan ini. Sama halnya dengan pembahasan kali ini, ada satu latar belakang dari pertemuan ini yang perlu kita bahas sebelum kita menarik pelajaran dari bagian ini.
Di ayat 13, dikatakan mereka sudah berada dekat Yerikho. Ketika itu Yosua memimpin bangsa Israel yang telah keluar dari perbudakan Mesir berabad-abad untuk masuk ke Tanah Kanaan. Dan jangan lupa, Kanaan bukan tempat yang sama sekali baru bagi mereka, bahkan boleh dibilang Kanaan justru tempat asal mereka, karena Abraham, Ishak, dan Yakub tinggalnya di Kanaan. Mereka pergi ke Mesir semata-mata karena ada kelaparan hebat di Kanaan, lalu selanjutnya mereka diperbudak di Mesir sampai ratusan tahun. Hal ini tidak mengubah fakta bahwa Kanaan adalah tempat lahirnya bangsa Israel. Selagi mereka diperbudak di Mesir beratus-ratus tahun, Kanaan kemudian ditempati berbagai macam pendatang; sekarang Allah memimpin mereka kembali ke Kanaan, tanah yang memang adalah hak mereka — yang sudah dibeli oleh Abraham. Namun sekarang Kanaan sudah ditempati banyak orang, maka hal ini tidak bisa terjadi tanpa pertempuran. Dan pertempuran pertama yang harus dihadapi bangsa Israel yaitu dengan Yerikho, sebuah kota yang sangat besar, kota yang bertembok dan berkubu, yang boleh dibilang tidak mungkin diatasi orang Israel.
Di sini Saudara bisa menebak apa yang kira-kira terbersit dalam pikiran Yosua, ketika dia akhirnya sampai ke Yerikho. Hal pertama, Yosua pasti ingat peristiwa yang pernah terjadi sebelumnya, karena ini bukan pertama kalinya dia sampai ke Yerikho. Empat puluh tahun silam Yosua sempat datang ke Yerikho, sebagaimana dicatat Bilangan 13-14. Ketika itu bangsa Israel sudah dekat sekali dengan Kanaan, Musa mengirim 12 orang pengintai, masing-masing dari tiap suku; di antara mereka adalah Kaleb dari suku Yehuda dan Yosua dari suku Efraim. Setelah masuk ke kota-kota Kanaan –salah satunya Yerikho—mereka kembali dengan mengatakan, “Ini benar-benar tanah yang berlimpah susu dan madu”. Mereka membawa hasil buah-buahan sebagai buktinya, namun mereka juga mengatakan betapa kota-kotanya begitu besar, bertembok dan berkubu. Hanya ada 2 orang –Kaleb dan Yosua—yang kemudian mengatalan, “Itu sebabnya kita harus masuk ke sana, mengambil tanah itu; kita pasti bisa karena Tuhan menyertai kita”; sementara 10 pengintai lainnya membuat cerita hoax yang jadi viral di antara orang Israel, bahwa negeri itu memangsa orang-orangnya (tanahnya penuh bahaya sehingga orang-orang yang tinggal di situ akan mati) –tapi anehnya, mereka juga mengatakan bahwa yang tinggal di sana raksasa-raksasa yang hebat.
Akhirnya rakyat mulai bersungut-sungut, “Lebih baik kita mati di Tanah Mesir; buat apa kita mati konyol di tangan orang Kanaan??”; mereka mengangkat seorang pemimpin untuk membawa pulang ke Mesir. Di situ Yosua dan Kaleb mengoyak pakaiannya, berargumentasi dengan orang-orang Israel ini: “Jangan memberontak kepada Tuhan, Tuhan menyertai kita, kita pasti bisa.” Waktu itu mereka hampir dilempari batu oleh rakyat; tapi sebelum batu yang pertama melayang, tiba-tiba kemuliaan Tuhan turun di tengah-tengah mereka. Tuhan berfirman kepada Musa: “Berapa lama lagi bangsa ini menista Aku? Berapa lama lagi mereka tidak mau percaya kepada-Ku sekalipun sudah ada segala tanda mujizat yang Kulakukan di tengah-tengah mereka?” Musa berdoa mohon pengampunan bagi bangsa Israel, dan Tuhan mengampuni. Tapi Tuhan juga bersumpah bahwa generasi itu, yang sudah melihat semua pekerjaan Tuhan yang dahsyat di padang gurun namun tetap tidak percaya dan tetap pengecut, tidak satupun yang bisa masuk ke tanah perjanjian, kecuali Yosua dan Kaleb. Ketika mendengar ini, bangsa Israel begitu berduka, lalu pindah dari satu ekstrim ke ekstrim lainnya; mereka langsung mau maju berperang meski Musa mengatakan, “Jangan, pasti Tuhan tidak menyertai kamu”, dan mereka terpukul kalah habis-habisan. Allah lalu membawa mereka berputar-putar mengembara selama 40 tahun di padang gurun, sampai setiap orang dari generasi tersebut –khususnya 10 pengintai tadi—meninggal, kecuali Yosua dan Kaleb.
Kita tidak tahu berapa usia Yosua di pasal yang kita baca ini, tapi dikatakan Kaleb berumur 85 tahun, maka berarti Yosua kira-kira berumur sekitar itu juga. Inilah saatnya setelah penantian yang begitu lama sesudah peristiwa 40 tahun silam, Yosua, jendral berumur 80 tahun-an, berada di pinggir kota Yerikho; dan bayangkan apa yang ada dalam pikirannya! Saya rasa –ini spekulasi—setidaknya dia akhirnya mengakui perkataan 10 pengintai lainnya itu ada benarnya; bahwa memang diri mereka bangsa budak, orang-orang tertindas, tidak ada yang berpendidikan waktu di Mesir, tidak ada yang punya kepemimpinan, tidak ada yang punya keahlian dalam militer, tidak ada yang punya keahlian teknologi –tidak ada harapan untuk bisa menyerang kota ini dan berharap menang! Mereka ini masuk ke tanah yang baru, butuh satu base, satu tempat yang aman yang bisa mereka katakan sebagai miliknya. Kalau tidak menyerang Yerikho dan menjadikannya sebagai foodhold yang pertama, mereka tidak akan mungkin bisa menyerang kota-kota berikutnya. Jadi, menyerang pasti mati, tapi tidak menyerang pun pasti mati; lagipula manna sudah berakhir, mereka harus mencukupi kebutuhannya sendiri.
Di sisi lain, Yosua pasti ingat respons Allah terhadap orang-orang yang berpikiran seperti itu, mereka dipunahkan. Dia juga pasti ingat dirinya bersama Kaleb waktu berhadapan dengan orang Israel, mereka bukan mengatakan ‘jangan takut’ –kalimat itu tidak pernah muncul dari mulut mereka—melainkan: “Jangan memberontak kepada Allah”. Normalnya, kita tidak menghubungkan kepengecutan dengan pemberontakan; orang yang memberontak, baik dalam arti positif maupun negatif, image-nya selalu seorang yang berani, atau bonek, tidak ada orang yang memberontak karena pengecut. Namun itulah yang Yosua dan Kaleb katakan ketika orang-orang itu ketakutan, bahwa itu berarti memberontak kepada Tuhan. Ini bukan cuma ada dalam konsep Kaleb dan Yosua, dalam Wahyu 21:8 terdapat daftar orang-orang di akhir zaman yang dilempar ke api, yaitu orang-orang yang tidak percaya, orang-orang keji, pembunuh, sundal, tukang sihir, penyembah berhala, pendusta; dikatakan: “… mereka akan mendapat bagian mereka di dalam lautan yang menyala-nyala oleh api dan belerang; inilah kematian yang kedua." Tapi di sini saya sengaja melewatkan satu tipe orang yang termasuk dalam daftar tersebut, yang justru disebut pertama kali, yaitu ‘orang-orang penakut’. Orang-orang penakut –para pengecut ini– disebut pertama kali, bahkan mendahului kategori ‘orang-orang yang tidak percaya’, masuk ke dalam lautan api.
Kembali ke ceritanya, Yosua sudah sampai pada momen yang ini, sekarang bagaimana dia akan maju? Bagaimana dia akan bisa melawan Yerikho? Bagaimana dia akan bisa menjaga dirinya serta orang-orangnya untuk tidak jatuh ke dalam kepengecutan, dan dengan demikian jadi memberontak kepada Tuhan? Inilah yang mungkin ada dalam pikiran Yosua ketika dia melayangkan pandangnya di dekat kota Yerikho.
Di tengah-tengah semua itu, tiba-tiba dia melihat seorang pria berdiri di depannya dengan pedang terhunus. Bagi kita yang bukan ada dalam budaya warrior, pedang mungkin cuma buat main-main, tetapi di zaman itu seorang yang membawa pedang terhunus berarti ada maksud yang sangat serius. Di komik-komik samurai, ke mana-mana membawa pedang itu hal yang biasa; tapi satu hal yang membuat orang teriak-teriak adalah ketika seorang sudah menghunus pedangnya; ‘pedang terhunus’ merupakan satu gaya bahasa yang sangat jelas maksudnya bahwa peperangan dimulai. [Di bagian lain, dalam 1 Tawarikh 21 ada cerita yang mirip sekali; dikatakan: Ketika Daud mengangkat mukanya, maka dilihatnyalah malaikat TUHAN berdiri di antara bumi dan langit, dengan di tangannya pedang terhunus yang diacungkan ke atas Yerusalem; dan respons Daud: Lalu dengan berpakaian kain kabung sujudlah Daud dan para tua-tua.]
Jadi, ketika orang ini datang di hadapan Yosua, menghunus pedang, berarti peperangan sudah dimulai. Di sini tidak ada netralitas; cuma ada 2 kemungkinan: dia itu kawan atau lawan –dan itulah yang Yosua lakukan; dalam Alkitab LAI dikatakan ‘Yosua mendekati orang itu’, tetapi bahasa aslinya memakai istilah ‘halak’ yang artinya berjalan langsung menghadapi orang tersebut, bukan mendekati perlahan-lahan. Yosua berjalan langsung ke hadapan orang itu, Yosua mungkin juga memegang pedangnya lalu langsung menarik garis di tanah, menantang orang ini: “Kamu kawan atau lawan –tidak ada netralitas di sini, kamu ikut agendaku atau kamu mau melawan agendaku, jawab!” Tokoh misterius ini mengatakan: "Bukan, tetapi akulah Panglima Balatentara TUHAN. Sekarang aku datang." Dengan kata lain, Figur ini mengatakan: ‘Yosua, pertanyaanmu salah; isu utamanya bukanlah apakah Aku kawanmu atau lawanmu, melainkan kamu sendiri –kamu kawan-Ku atau lawan-Ku, kamu menjalankan agenda-Ku atau kamu menjalankan agendamu sendiri’. Di situ Yosua langsung sujud menyembah dengan mukanya ke tanah, lalu mengatakan: "Apakah yang akan dikatakan tuanku kepada hambanya ini?" Dengan kata lain, pada dasarnya Yosua langsung mengatakan ‘aku hamba-Mu, aku di bawah perintah-Mu’. Dan tahukah Saudara perintah yang kemudian keluar? Perintahnya adalah: "Tanggalkanlah kasutmu dari kakimu, sebab tempat engkau berdiri itu kudus" –lepaskan kasutmu, kasutmu itu kotor, tempatmu berdiri itu terlalu suci dan tidak layak mendapatkan debu kasutmu. Apa sebenarnya yang terjadi di sini?
Pertama kita perlu jelaskan identitas dari figur tersebut. Banyak orang mengatakan ini adalah malaikat Tuhan. Isu tentang malaikat selalu menarik bagi orang Kristen, tapi seringkali karena alasan-alasan yang salah. Seorang teolog pernah diwawacarai mengenai malaikat, dan wawancara tersebut amat sangat membosankan, bukan karena pertanyaannya yang membosankan tapi jawabannya yang ‘membosankan’. Teolog itu –seorang teolog Reformed– kembali ke Alkitab, dan hampir semua jawabannya seperti ini: “kita tidak tahu, Alkitab tidak kasih tahu, Alkitab bicara sedikit sekali mengenai malaikat”. Kalau Saudara membuka Alkitab, di setiap halamannya mungkin Saudara menemukan tentang Allah, kuasa-Nya, anugerah-Nya, atau mengenai dosa dan keselamatan; tetapi setiap kali ‘malaikat’ muncul –dan memang jarang—mereka selalu adanya di pinggiran cerita, tidak pernah terlalu dijelaskan, sehingga kita tidak pernah benar-benar tahu tentang mereka karena memang tidak ada informasinya di dalam Alkitab. Hanya sedikit sekali yang diberitahukan Alkitab mengenai malaikat, tapi ada satu hal yang Alkitab beritahukan mengenai malaikat, yang sangat jelas, dan sangat penting, yaitu malaikat tidak untuk disembah.
Di akhir Kitab Wahyu, dicatat Yohanes sujud menyembah di kaki seorang malaikat yang telah menunjukkan semua penglihatan itu; Dan aku, Yohanes, akulah yang telah mendengar dan melihat semuanya itu. Dan setelah aku mendengar dan melihatnya, aku tersungkur di depan kaki malaikat, yang telah menunjukkan semuanya itu kepadaku, untuk menyembahnya (Why. 22:8). Dan apa reaksi malaikatnya? Ayat 9: Tetapi ia berkata kepadaku: "Jangan berbuat demikian! Aku adalah hamba, sama seperti engkau dan saudara-saudaramu, para nabi dan semua mereka yang menuruti segala perkataan kitab ini. Sembahlah Allah!" Kalau Saudara perhatikan detail perkataan malaikat ini, yang sangat menghangatkan hati kita adalah seorang malaikat mengatakan dirinya tidak berbeda dari kita. Dia tidak berbeda dari Yohanes, dia tidak berbeda dari para nabi, dia tidak berbeda dari semua mereka yang hidup menuruti Firman Tuhan –semua umat Allah. Kita selalu berpikir malaikat itu beda dari kita, lebih tinggi dari kita, dsb., tetapi mungkin bagi malaikat sendiri ‘memang saya lebih kuat daripada kamu, saya lebih agung daripada kamu, tapi itu bukanlah perbedaan-perbedaan yang masuk hitungan; cuma ada satu perbedaan yang masuk hitungan: ciptaan atau Pencipta, dan saya bukan pencipta, saya ciptaan, maka saya sama dengan kamu, jangan sembah saya, sembahlah Allah!’
Kembali kepada cerita Yosua. Apa yang terjadi setelah Yosua bertemu figur misterius ini? Dia sujud, lalu menyembah. Dan apa yang figur tersebut lakukan? Bukan panik melarang Yosua menyembah, tapi Dia mengatakan, “Itu masih kurang, Yosua. Tidak cukup kamu cuma sujud lalu menyembah, lepaskan alas kakimu, karena tempat kamu berdiri itu kudus.” Hal ini berarti: pertama, Figur ini tidak menolak penyembahan Yosua; kedua, Figur ini memakai gaya bahasa yang hanya diperuntukkan bagi Tuhan.
Di dalam bagian-bagian Alkitab ada barang-barang yang dikuduskan bagi Tuhan –dan cuma ada pengudusan barang-barang bagi Tuhan, tidak pernah ada barang-barang dikuduskan bagi seseorang yang lain ataupun bagi tujuan yang lain; semua barang yang dikatakan ‘jadi kudus/ dikuduskan’, selalu hubungannya kepada Tuhan. Dan bagian ini tentunya memakai gaya bahasa yang mirip sekali dengan peristiwa semak belukar menyala-nyala yang ditemukan Musa. Ketika itu Musa disuruh melepaskan kasutnya, karena ‘kamu berdiri di tempat yang kudus’. Apa maksudnya? Apa yang membuat tempat jadi kudus? Mengapa tempat itu dikuduskan? Yaitu karena ada Tuhan di sana –“Sadarilah kamu ada di mana, ada di hadirat Siapa; kurang kalau kamu cuma sujud menyembah, lepaskan alas kakimu karena engkau ada di hadapan Sang Kudus yang tidak dicipta!”
Jadi inilah yang biasa disebut Teofani, yaitu penyataan/ penjelmaan Allah ke dalam dunia. Bahkan Luther menyebut kejadian ini sebagai Kristofani, bukan cuma penjelmaan Allah Tritunggal tapi penjelmaan Pribadi Kedua Allah Tritunggal, Anak Allah, sebelum Dia datang dalam bentuk Yesus Kristus. Bagaimana Luther bisa yakin ini adalah Anak Allah? Pertama, karena fungsi/ peran-Nya, yaitu menjembatani antara Yosua dengan Allah; seandainya Allah datang dengan segala kemuliaan-Nya, Yosua pasti mati. Dengan demikian, Figur ini berarti adalah Allah –Dia menerima penyembahan, Dia berbicara sebagaimana Allah berbicara—tetapi Dia seakan bisa dibedakan dari Allah yang itu. Kehadiran-Nya tidaklah membunuh kita, kehadiran-Nya me-mediasi antara manusia dengan diri Allah dalam kemuliaan-Nya yang penuh itu, namun Dia tetap Allah. Jadi siapakah ini, yang adalah Allah, tapi juga adalah jalan kepada Allah? Itu sebabnya Luther mengatakan inilah peran seorang pribadi yang kita kenal sebagai Pribadi Kedua Allah Tritunggal, Pribadi Anak Allah, Pribadi Firman Allah yang menghubungkan satu pribadi dengan Pribadi yang lain –menghubungkan manusia dengan Allah.
Bukti lain yaitu nubuatan mesianik dalam Maleakhi 3: “Lihat, Aku menyuruh utusan-Ku, supaya ia mempersiapkan jalan di hadapan-Ku! Dengan mendadak Tuhan yang kamu cari itu akan masuk ke bait-Nya!” Utusan yang mempersiapkan jalan di hadapan Tuhan ini diidentifikasikan kitab Injil sebagai Yohanes Pembaptis; yang setelah dia, akan datang Tuhan secara tiba-tiba masuk ke dalam bait-Nya. Yang menarik, lanjutan dari kalimat di Maleakhi 3 tadi mengatakan bahwa Tuhan yang masuk tiba-tiba tersebut, digambarkan dengan titel “Malaikat Perjanjian”. Dengan demikian, dari bagian Alkitab yang lain ini kita bisa mengenali bahwa figur Pribadi Kedua Allah Tritunggal, Anak Allah, punya titel ini, dan titel tersebut pantas karena memang Dia seringkali datang sebagai Malaikat [dengan huruf besar].
Jadi, identitas Figur ini sudah lebih jelas, yaitu Pribadi Kedua Allah Tritunggal, Anak Allah –dan itu sebabnya bagian ini masuk dalam seri kotbah kita karena memang benar-benar mmenceritakan tentang bertemu dengan Allah, bukan bertemu dengan konco-nya Allah.
Sekarang kita masuk ke dalam implikasinya; apa yang bisa kita pelajari dari semua ini? Yakub bertemu dengan Tuhan, dan dia menemukan seorang pegulat. Ayub bertemu dengan Tuhan, dan dia menemukan satu badai. Di sini Yosua bertemu dengan Tuhan, dan dia menemukan seorang jendral, panglima balatentara perang dengan pedang yang terhunus. Apakah Saudara bisa menangkap polanya? Lalu bagaimana pola-pola ini ketika dibandingkan dengan pola-pola yang ada di kepala kita mengenai pertemuan dengan Tuhan, pengalaman rohani, dsb.?
Hal yang bisa kita tarik langsung adalah: bahwa yang justru ditekankan dan muncul dalam setiap pertemuan ini, bukanlah atribut kasih Allah atau kelemahlembutan Allah –meskipun itu juga ada—melainkan kekudusan dan keagungan Tuhan, bahkan boleh dibilang kekudusan yang mengancam. Ada satu ilustrasi untuk lebih mengerti hal ini. Immanuel Kant pernah bicara mengenai keindahan [dalam pembicaraan tentang seni]; menurut dia keindahan ada 2 macam. Yang pertama, keindahan yang kita sebut ‘beauty’; keindahan yang Saudara bisa pegang, keindahan yang ‘barangnya’ lebih kecil daripada Saudara, keindahan yang Saudara bisa kontrol, keindahan yang Saudara bisa bawa ke sini ke sana, keindahan yang bisa Saudara kagumi; intinya ini keindahan yang tidak mengancam. Musik Mozart itu salah satu keindahan musik yang tidak mengancam –termasuk dalam beauty– karena lagunya sederhana, beautiful, sama sekali tidak mengancam. Tapi ada jenis keindahan yang kedua, yang Immanuel Kant namakan ‘sublime/ sublimity’, yaitu keindahan yang memang indah tapi mengancam, keindahan yang kita tidak bisa kontrol, keindahan yang kita tidak bisa pegang di tangan kita, keindahan yang lebih besar daripada diri kita, keindahan yang bisa melalap kita hidup-hidup.
Ada satu pengalaman berkaitan dengan keindahan ‘sublime’ ini, yaitu ketika saya masih kecil, bermain ombak di Pelabuhan Ratu. Satu kali habis main ombak saya berjalan ke arah pantai, lalu orangtua dan kakak saya dari arah sana teriak-teriak sambil menunjuk-nunjuk kepada saya. Saya tidak mengerti maksudnya, saya cuma melambaikan tangan. Tapi waktu saya menengok ke belakang, tiba-tiba ada ombak yang luar biasa besar, begitu besarnya, dan segera akan menghantam saya sesaat lagi. Terasa mengancam sekali, dan juga seketika membersit perasaan “wow!”, sebelum akhirnya saya tergulung-gulung dalam ombak itu dan akhirnya terkapar di pantai, dan T-shirt yang saya pakai hilang lepas entah ke mana. Itulah pengalaman akan sesuatu yang indah, luar biasa, mengagumkan, tapi kekaguman yang ada ancamannya; satu keindahan yang mengancam.
Ketika kita melihat pertemuan-pertemuan antara manusia dengan Tuhan, yang mau diberitakan di sini adalah bahwa hal tersebut bukan cuma ‘beauty’ –meskipun juga ada– melainkan yang lebih ditekankan, yang selalu muncul, yang mendominasi gambarannya adalah yang ‘sublime’ tadi, yaitu kekudusan-Nya –bukan cuma kasih-Nya– kekudusan yang mengancam, pedang yang terhunus. Walter Brueggemann, seorang pakar Perjanjian Lama, menulis buku dan dia mengatakan: “The heart of the Bible is the unsettling God” –inti jantung Alkitab adalah Allah yang mengguncang, Allah yang mengancam, Allah yang tidak akan membuat kamu tenang. Maka satu hal yang bisa kita tarik adalah: kalau Saudara mau tahu apa artinya bertemu dengan Tuhan, itu adalah saat ketika Saudara akhirnya melihat kekudusan-Nya, dan bukan cuma kasih-Nya.
Ketika Allah mendeskripsikan diri-Nya, memang Dia pernah mengatakan “Allah adalah kasih” –perkataan yang terkenal sekali—tetapi ketika Dia memberi nama Roh-Nya, atribut/ kata sifat yang Dia tempelkan di situ adalah: Roh Kudus –kekudusan-Nya. Apa itu kekudusan? Kekudusan bukan sekedar soal seberapa higienis, seberapa pure, tapi tentang seberapa hal tersebut khusus, unik, berbeda. Dengan kata lain, kekudusan Allah itulah yang membuat Dia tidak terbandingkan dengan apapun yang lain. Dan ketika kita melihat kekudusan yang seperti ini, ini adalah kekudusan yang mengancam, kekudusan yang unsettling, kekudusan yang traumatis. Mengapa? Karena begitu Saudara melihat sesuatu yang tidak terbandingkan, otomatis Saudara langsung membandingkan, mau tidak mau Saudara langsung melihat diri rusak di depan Dia, semua kejelekan kita langsung keluar –dan yang pasti, segala ketergantungan kita langsung nyata, ini yang orang berdosa paling benci karena orang berdosa ingin merdeka dari Tuhan.
Saya baru baca berita tentang seorang juara baru dalam figure skatting di Amerika. Dia seorang anak kecil umur 13 tahun, Alysa Liu, menang mengalahkan orang-orang yang lebih tua darinya. Saudara bayangkan perasaan para kompetitor yang mungkin sudah berumur 15 tahun, 16 tahun, melihat anak umur 13 tahun menang dengan skor yang jauh di atas mereka, itu sangat tidak enak, traumatis. Memang ada ‘wow’-nya, tapi juga ada ancaman yang jelas sekali. Dan inilah yang berkali-kali diberikan oleh Alkitab. Dia kudus, dan kekudusan-Nya itu membuat kita nyadar kita tidak kudus, kekudusan-Nya itu juga membuat kita sadar diri kita harusnya kudus. Allahmu kudus maka kuduslah kamu seperti Allah, Bapamu di surga sempurna maka kamu juga harus sempurna; tapi serta-merta langsung menyadari bahwa kita memang tidak kudus, tidak sempurna –ini hal yang menyebalkan sekali.
Dalam katekisasi pertanyaan yang paling tricky adalah: “Apakah kamu sungguh-sungguh orang Kristen atau bukan”; dan biasanya supaya lebih gampang menjawabnya kita pakai kalimat ini: “coba ceritakan kapan kamu mulai jadi orang Kristen”. Saya pernah membaca seseorang menjawab begini: “Maksud Bapak, kapan saya mulai serius mempelajari Kekristenan, atau kapan saya mulai rutin ke gereja, atau kapan saya dibaptis –yaitu umur 12 tahun dan saya percaya Tuhan pada waktu itu, saya yakin Dia ada, Dia menyelamatkan saya, dsb.—atau Bapak mau mendengar mengenai hari ketika terjadi sesuatu yang klik, yaitu sekitar 3-4 tahun yang lalu [dia waktu itu sudah setengah baya], ketika tiba-tiba saya menyadari selama ini sudah percaya kepada Dia, tapi baru hari itu sadar bahwa sebenarnya tempat-Nya dalam hidup saya bukan sebagai pembantu –kalau meminjam kalimat Abraham Kuyper: ‘Tidak ada satu inci pun dalam hidupku yang adalah milikku sendiri, seluruhnya harusnya jadi milik Dia; dan ini sesuatu yang begitu ajaib, tapi amat sangat menyulitkan.’” Dan tentunya pendeta minta dia menceritakan hari yang itu. Saudara, orang ini sebelumnya sudah percaya Tuhan, tapi baru sekarang dia menyadari kekudusan Tuhan –seberapa Tuhan itu tidak terbandingkan dengan hal-hal yang lain, dan oleh karena itu, Tuhan ini tidak boleh ada rival dalam hidup saya.
Tidak semua dari kita bisa menyebut kapan kita menyadari hal itu, tentu banyak dari kita menyadarinya secara bertahap, tidak cuma sekali seumur hidup –orang tadi pun tentu demikian, hanya saja dia mungkin memilih momen ketika lompatannya lumayan besar. Tapi bukan itu poinnya; poinnya adalah: yang terjadi pada diri seseorang yang bertemu dengan Tuhan, bukanlah saat dia menyadari betapa Tuhan mengasihi dirinya, melainkan saat orang tersebut mendengar Tuhan berkata: “Kurang! Tanggalkan kasutmu! Sadarilah engkau berada di hadapan Siapa!” –itulah momennya.
Bagi Tim Keller, seorang pendeta yang sangat terkenal, momen ini adalah ketika dia mendengar dalam sebuah retreat, si pemimpin retreat menceritakan tentang jarak dari bumi ke matahari adalah 150 juta kilometer, jarak yang ditempuh cahaya selama 8 menit. Lalu kalau diibaratkan jarak bumi ke matahari itu setipis kertas, maka jarak matahari ke bintang terdekat adalah kertas ditumpuk setinggi 21 meter. Itu baru jarak dari matahari ke bintang terdekat; dan bintang-bintang ini berada dalam satu galaksi yang diameternya sebesar kertas ditumpuk 500 Km –itu kira-kira 3 ½ kali jarak Kelapa Gading sampai Alun-alun kota Bandung kalau lewat Cipularang. Dan galaksi kita yang sebesar itu hanyalah setitik debu di tengah-tengah sekitar 100 milyar galaksi, itupun hanya di dalam alam semesta sejauh yang hari ini kita bisa lihat padahal kita tidak tahu seberapa jauh ujungnya! Pemimpin retreat tadi kemudian mengatakan, dalam Ibrani 1 dikatakan “Anak Allah menopang semua yang ada –semua itu tadi– dengan kuasa Firman-Nya”; lalu dia bertanya: Apakah kamu akan meminta Allah yang seperti ini untuk masuk ke dalam hidupmu, menjadi pembantumu?
Saudara, hampir semua dari kita datang kepada Tuhan Yesus seperti Yosua, datang dengan agendanya masing-masing: Tuhan, Kamu itu kawan atau lawan? Kamu mau membantu saya dalam agenda saya, atau tidak? Coba pikirkan, bukankah kalimat yang paling klasik waktu kita datang kepada Tuhan adalah seperti ini: “Tuhan, saya punya problem relasi, saya ada problem finansial, saya ada problem keluarga, saya ada problem ini dan itu, saya butuh pertolongan dari-Mu untuk bisa hidup sebagaimana saya harus hidup” –maksudnya: ‘saya butuh pertolongan dari-Mu untuk saya bisa hidup sebagaimana saya pikir seharusnya saya hidup’? Intinya, kita mengatakan kepada Tuhan: “Tuhan, Kamu di pihak siapa, Kamu kawan atau lawan? Agenda saya ini penting”. Kemudian Tuhan seperti ini kita proyeksikan kepada Gereja Tuhan, sehingga tujuan adanya Gereja dengan para pengurus, majelis, dan hamba Tuhan-nya adalah untuk membantu Saudara dengan problem-problem tadi. Dan itu sebabnya bagi Saudara, kotbah yang beres adalah kotbah-kotbah yang mendarat, penuh dengan kiat-kiat untuk mencapai hidup yang ‘baik’ itu; maka tidak heran kita hidup seperti ini di Gereja, karena “tuhan” kita adalah tuhan yang pembantu.
Saudara jangan lupa, di atas kayu salib ada 2 penjahat di kiri-kanan Tuhan Yesus. Yang satu penjahat yang bertobat, dan satunya lagi yang tidak bertobat. Penjahat yang tidak bertobat mengatakan: “Jika Engkau Anak Allah, turunkan kami” –saya percaya lho, ayo turunkan saya dong, saya mau hidup, saya mau survive, Kamu ‘kan Anak Allah. Tetapi penjahat yang satunya lagi mengatakan: “Itu tidak penting, yang penting Engkau mengingatku, Tuhan; yang penting penyertaan-Mu.” Penjahat yang tidak bertobat seakan mengatakan ‘Kamu kawan atau lawan?’, sedangkan penjahat satunya lagi menyadari bahwa isunya bukan itu melainkan ‘saya ini kawannya Dia, atau lawannya Dia’. Kita yang mana? Ketika kita mengatakan “Tuhan, Engkau kawan atau lawan?”, berarti kita tidak menyadari dengan Siapa kita bicara! Itulah problemnya. Jika kita menyadari Dia adalah Panglima Balatentara Allah, tidak mungkin kita bicara seperti itu. Satu-satunya alasan kita hidup memperlakukan Dia sebagai pembantu, adalah karena kita belum bertemu dengan Dia. Ini mengerikan.
Dalam satu wawancara peserta katekisasi, seorang bertanya begini: “Pak, sepertinya kalau kita melihat dari Alkitab, jumlah yang diselamatkan lebih sedikit dibandingkan yang binasa; bukankah jadinya seakan-akan Allah kalah dibandingkan kuasa dosa dan maut?” Lalu dia pakai analogi seperti ini: Seandainya tim bola Indonesia melawan tim bola Jerman, kita sudah tahu standarnya paling tidak tim Jerman menang 5-0; kalau tim Indonesia bisa menang 1-0 saja, berarti tim Jerman gagal. Allah itu luar biasa mahakuasa, lalu mengapa manusia yang katanya mahkota ciptaan, yang diselamatkan cuma begitu sedikit, dan dibiarkan begitu banyak yang binasa? Mengapa bisa seperti ini, bukankah jadi berarti Allah kalah terhadap kuasa dosa dan maut? Bagaimana menjawab pertanyaan seperti ini?
Bisa saja kita jawab dengan menghindari pertanyaannya: “Kamu tahu dari mana yang diselamatkan lebih sedikit?” –meski memang pertanyaan dia tadi bukan tanpa dasar karena di Alkitab ada dikatakan ‘jalan yang benar itu sempit’, ‘banyak yang dipanggil, sedikit yang dipilih’, dsb. Atau bisa juga menjawab dengan mengatakan: “Pokoknya itu kehendak Tuhan, kedaulatan Tuhan, semuanya berdasarkan yang Tuhan mau dan pasti benar; kamu itu siapa tanya-tanya seperti ini?” Tapi keduanya itu bukan jawaban yang memuaskan. Di sini saya bergumul; dan lewat pertanyaan orang itu, saya jadi menyadari bahwa misi Tuhan di atas dunia ini memang bukan terutama untuk menyelamatkan manusia. Mengapa? Karena kalau misi-Nya adalah menyelamatkan manusia, benar Dia gagal; bahkan jangankan jumlahnya lebih kecil, fifty-fifty-pun gagal karena kuasa Allah dengan kuasa dosa-maut itu tidak sebanding, sehingga kalau ada 1 orang saja yang binasa, berarti Allah gagal, harusnya dengan segala kesempurnaan-Nya Allah bisa menyelamatkan semua orang. Jadi kalau memang itu misinya, berarti Allah adalah Allah yang tidak becus.
Jadi jawaban pertanyaan tadi sederhana saja: itu bukan misi-Nya –dan memang demikian. Lalu apa misi Tuhan di atas dunia ini? Misi Tuhan di atas dunia ini adalah membawa Kerajaan-Nya turun ke bumi seperti di surga. Misi Tuhan di atas dunia ini bukanlah terutama untuk menyelamatkan Saudara dan saya; keselamatan Saudara dan saya hanya satu alat/ jalan yang Tuhan pakai untuk tujuan akhir-Nya, yaitu mendatangkan Kerajaan-Nya di atas dunia ini, memulihkan kembali ciptaan-Nya. Dengan demikian, Saudara bisa melihat pertanyaan tadi dengan kacamata yang berbeda, bahwa memang benar jumlah orang yang Tuhan selamatkan dalam Kerajaan-Nya lebih sedikit, tetapi itu justru berarti kemenangan yang sangat mutlak, karena melalui jumlah yang sedikit dari orang-orang yang dipilih-Nya itu –yang bukan orang-orang ‘pilihan’ dalam arti orang-orang yang ‘bagus’ melainkan orang-orang yang hina, yang tidak ada apa-apanya, yang tidak lebih baik—Allah berhasil mendatangkan Kerajaan-Nya pada akhirnya, menang atas kerajaan Iblis, dosa, dan maut yang jumlahnya lebih banyak. Di sini ‘tim Indonesia’-nya bukan Iblis, dosa, dan maut; ‘tim Indonesia’-nya justru Yesus, Kristus dan Kerajaan-Nya yang ‘menggilas tim Jerman 8-0’.
Pertanyaan orang tadi membongkar habis kita, bahwa sangat penting untuk kita menyadari Tuhan itu Raja, dan bukan cuma Juruselamat! Kalau Dia terutama adalah juruselamat, kalau pembicaraan kita 90% tentang ‘dosa, keselamatan, caranya saya tidak masuk neraka’, bagaimana mungkin kita bisa menjawab pertanyaan ‘mengapa yang diselamatkan begitu sedikit’, bahkan kita juga tidak bisa menjawab ‘mengapa ada 1 orang yang binasa’!
Orang dalam katekisasi tadi juga bertanya 1 pertanyaan yang lebih klasik: “Bagaimana saya bisa tahu saya selamat atau tidak?” –atau kalau menurut kacamata pembahasan kita barusan: ‘bagaimana saya bisa tahu saya bagian dari Kerajaan Allah atau bukan?’ Biasanya dijawab dengan: “Ya, itu kamu dan Roh Kudus yang tahu; kamu bisa jujur di hadapan Tuhan, kamu percaya atau tidak”; atau seperti Pak Tong katakan: “Bahwa kamu mau selamat, itu sudah membuktikan Roh Kudus bekerja dalam hatimu”. Ini bukan jawaban yang salah. Tapi masalahnya –sebagaimana dikatakan Jonathan Edwards—orang bisa menginginkan keselamatan demi motivasi yang salah, orang bisa tertarik akan cinta Allah karena motivasi yang salah, orang bisa tertarik dengan keselamatan karena mereka tidak mau masuk neraka!
Bagaimana kita bisa membedakan antara orang yang benar-benar mencari Allah demi Allah, dengan orang yang mencari Allah demi selamat, demi tidak masuk neraka? Bagaimana mungkin kita bisa membedakan kalau kriterianya hanyalah ‘kamu percaya atau tidak bahwa kamu diselamatkan’, ‘kamu percaya tidak Allah mengasihimu’, kamu percaya tidak Tuhan Yesus sudah mati jadi Juruselamat bagimu’; kalau cuma itu pertanyaan kriterianya, kita tidak bisa tahu. Kalau cuma urusan ‘Tuhan sebagai Juruselamat’, kita tidak bisa benar-benar yakin, karena berapa banyak sih orang yang harapannya mau masuk neraka?? Tetapi, kalau urusannya adalah menerima ‘Tuhan sebagai Raja-nya’ –yang berarti menerima otoritas Tuhan atas hidupnya, menerima dirinya tidak bisa lagi mengatur waktu demi agendanya sendiri, menerima dirinya tidak bisa lagi mengatur uang sesuai agendanya sendiri, menerima bahwa menjadi warga Gereja bukanlah berarti menjadi konsumer/ warga layanan masyarakat, menerima bahwa mendengar kotbah bukanlah untuk menuntut kotbah yang mudah ditangkap dan menyentuh kehidupan sehari-hari serta mendarat, menerima bahwa jadi hamba Tuhan tidak bisa mengharapkan dapat jemaat yang sudah dewasa atau siap dipimpin, menerima bahwa hidup kita bukanlah untuk dilepaskan dari kesulitan ataupun penderitaan melainkan bahwa Tuhan seringkali maunya bekerja melalui kesulitan dan penderitaan, menerima bahwa jadi orang Kristen bukan berarti mendapatkan Tuhan yang akan menambal bolong-bolong hidup kita melainkan mendapatkan raja yang akan menyuruh kita menambal bolong-bolong dalam Kerajaan-Nya –jika orang bisa menerima kabar seperti ini sebagai kabar baik, sebagai Injil, maka saya akan katakan, itu pekerjaan Roh Kudus.
Jonathan Edwards juga mengatakan, ada satu atribut Allah, yang orang tidak mungkin tertarik kecuali karena pekerjaan Roh Kudus. Atribut apakah itu? Bukan cinta-Nya, bukan kasih-Nya, bukan kelemahlembutan-Nya, bukan kuasa-Nya, bukan keadilan-Nya. Bukan semua itu, tapi kekudusan-Nya! Tidak ada orang yang bisa tertarik dengan kekudusan Allah, kecuali hatinya diubah oleh Tuhan, karena kekudusan-Nya adalah atribut yang paling mengancam! Pertanyaannya, bagaimana dengan Saudara dan saya? Seberapa semua ini kabar baik buatmu? Sudahkah kita bertemu dengan Allah Alkitab, Raja Alam semesta? Ataukah selama ini Saudara bertemu dengan ilah palsu buatan manusia?
Terakhir, mengapa pertemuan dengan Tuhan harus selalu menekankan kekudusan-Nya, dan keagungan-Nya, dan keterancaman diri kita di hadapan Dia? Karena tanpa kekudusan, kasih-Nya tidak ada artinya buatmu. Kita tadi membaca bagian ini tidak mulai dari pertemuan Yosua dengan Sang Panglima melainkan dari peristiwa sebelumnya, yaitu mereka merayakan Paskah. Mengapa setelah perayaan Paskah, datang Sang Panglima dengan pedang terhunus, tapi pedangnya itu tidak jatuh ke kepala Yosua –yang ternyata tidak berbeda dari kita– sebaliknya malah untuk Yosua berperang menghadapi musuhnya? Mengapa bisa seperti itu? Jawabannya: karena ada domba Paskah –domba yang disembelih demi bangsa Israel—yang menunjuk kepada Kristus yang tubuh-Nya dipecah-pecahkan dan darah-Nya dicurahkan demi kita.
Apa itu karya Tuhan Yesus di atas kayu salib? Kita seringkali merasa itu ekspresi kasih-Nya bagi kita. Memang benar Tuhan Yesus sendiri mendeskripsikan karya-Nya itu dengan memakai kata ‘kasih’–“tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang menyerahkan nyawanya bagi sahabat-sahabatnya”—tetapi dalam kitab Injil ada satu kali Tuhan Yesus mendeskripsikan karya-Nya ini dengan kata sifat yang lain, yang bukan ekspresi kasih saja. Yoh. 17:19 dalam doa-Nya Dia mengatakan: “Aku menguduskan diri-Ku bagi mereka, supaya merekapun dikuduskan dalam kebenaran.” Kita sudah membahas bahwa ‘kekudusan’ berarti ‘lain, tidak terbandingkan, khusus’ –kalau kita memakai kata tersebut bagi Allah. Tapi dalam Alkitab ada juga kata ‘kudus’ yang dipakai bukan bagi Allah melainkan barang-barang yang dikuduskan demi Allah; di sini artinya jadi sedikit lain. Barang-barang yang dikuduskan bagi Tuhan, berarti barang-barang yang eksklusif; dalam hal ini lawan kata ‘kudus’ bukan ‘berdosa’, melainkan ‘biasa, bisa dipakai untuk apa saja’. Waktu Tuhan Yesus mengatakan “Aku menguduskan diri-Ku bagi mereka”, berarti ada periode bahwa sebelumnya Dia belum dikuduskan; dengan demikian istilah ‘kudus’ di sini tidak mungkin dalam arti yang pertama tadi karena Dia memang sudah kudus sebagai Allah. Kalau begitu, berarti ini istilah ‘kudus’ dalam pengertian yang kedua; artinya Tuhan Yesus sedang mengatakan: ‘pekerjaan-Ku di kayu salib adalah memberikan diri-Ku secara eksklusif untuk tujuan ini’; eksklusif bukan soal bermoral atau etika –yang pastinya Dia sempurna—melainkan Dia memberikan hidup-Nya dan mati-Nya khusus demi hal ini, yaitu untuk naik ke atas kayu salib. Dia memberikan semuanya itu, khusus untuk menerima pedang keadilan Tuhan, ganti engkau, ganti saya, ganti Yosua.
Saudara tanya, bagaimana saya bisa tertarik dengan kekudusan Allah, apa yang bisa menggerakkan saya untuk punya ketertarikan jadi orang yang hidup kudus, tapi bukan ketertarikan demi kelancaran hidup atau alasan-alasan egois yang lain? Caranya: hanya jika Saudara bertemu dengan Allah yang terlebih dahulu menguduskan diri-Nya bagimu. Kalau hal ini nyata buatmu, maka Saudara menguduskan dirimu untuk-Nya adalah sesuatu yang sudah harusnya seperti itu, tidak ada tambahan-tambahannya, tidak ada beban-bebannya. Karena, mau cara apa lagi untuk meresponi Orang yang telah memberikan diri-Nya mutlak, total, bagi Saudara, kecuali dengan Saudara memberikan dirimu secara mutlak, total, eksklusif baginya??
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading