Dalam perayaan Natal minggu lalu kita sudah membicarakan ‘mengapa Yesus datang’; Dia datang mendekat bukan terutama demi keselamatan, juga bukan terutama demi ketaatan, tapi Dia menyelamatkan demi datang mendekat. Mendapatkan Allah yang mendekati kita, itu berarti juga kita mendekati Allah; disertai Allah, itu berarti juga kita menyertai Allah. Dari kisah hari ini, kita akan membahas apa artinya dan apa yang terjadi ketika kita datang mendekat kepada Allah.
Rudolf Otto, seorang teolog liberal, pakar studi banding agama-agama di dunia, menemukan satu hal yang paling universal dimiliki setiap agama, kepercayaan, keyakinan di dunia, yaitu bahwa mendekati Allah merupakan sesuatu yang tidak enak/ disturbing. C. S. Lewis pernah menggambarkannya sbb.: ada bedanya kalau kamu masuk ke ruangan dan diberitahu ‘di situ ada macan’, dibandingkan dengan diberitahu ‘di situ ada hantu’; dua-duanya menimbulkan ketakutan, tapi ketakutan yang berbeda. Ketakutan kepada macan adalah ketakutan atas apa yang bisa dilakukan macan itu terhadap kita; sedangkan ketakutan kepada hantu, bukan cuma soal apa yang bisa hantu lakukan terhadap kita, melainkan ketakutan terhadap diri hantu itu sendiri –dan mendekati Allah itu kira-kira demikian. Mendekati Allah berarti berhadapan dengan misteri. Mendekati Allah berarti mendekatkan diri kita dengan sesuatu yang tidak bisa kita prediksi, tidak bisa kita kontrol, dan kita bingung tidak tahu Dia bakal ngapain. Menurut C. S. Lewis, Alkitab lebih dekat gambarannya dengan gambaran dari Rudolf Otto dibandingkan gambaran-gambaran zaman sekarang ketika mendekat kepada Allah sudah kehilangan aspek kegentaran. Itu sebabnya kita perlu mempelajarinya lebih lanjut dari cerita-cerita tentang orang-orang yang mendekati Allah dalam Alkitab; hari ini kita mempelajari dari kehidupan Yakub.
Tadi kita membaca cerita yang sangat terkenal dari kehidupan Yakub, klimaks kehidupan Yakub, ketika Yakub akhirnya bertemu Tuhan. Yakub akhirnya benar-benar mendekat kepada Tuhan, dan dampaknya cukup familiar, yaitu Yakub berubah. Ini adalah kisah turning point dalam kehidupan Yakub, kisah ketika Allah mengubah namanya, kisah ketika Yakub akhirnya menyadari untuk apa hidupnya, kisah ketika Yakub hatinya diubahkan, dsb. Tapi hal yang tidak familiar bagi kita –mungkin juga membuat tidak nyaman—ketika Yakub mendekat kepada Tuhan, Yakub menemukan bahwa ternyata Tuhan adalah seorang petarung.
Kisah ini adalah klimaks kehidupan Yakub, maka ketika kita mau mepelajarinya, mau tidak mau kita harus mempelajari keseluruhan kehidupan Yakub. Bahkan kita sebenarnya tidak bisa memulai dari Yakub, karena untuk bisa mengerti Yakub kita harus mengerti tentang Ishak; kalau kita tidak mengerti problem/ dosa utama Ishak, kita juga tidak bisa mengerti problem/ dosa utama Yakub.
Cerita Abraham, Ishak, dan Yakub, pada dasarnya bermula dari Allah datang kepada Abraham dan mengatakan, “Inilah janji-Ku kepadamu, dunia ini hancur, rusak, maka Aku mau menyelamatkan dunia; dan Aku mau menyelamatkan dunia melalui keluargamu, melalui keturunanmu. Jadi, di setiap generasi keluargamu akan ada satu anak yang Kupilih, dari keturunannya akan ada satu anak lagi yang Kupilih, dari keturunannya akan ada satu anak lagi yang Kupilih, dan seterusnya sampai suatu hari dari lini ini lahirlah Sang Mesias.” Itu sebabnya para teolog menamakan Ishak, anak perjanjian. Abraham meneruskan janji yang sama kepada Ishak, bahwa anaknya akan jadi penerus garis mesianik tersebut. Selanjutnya lahirlah bagi Ishak dua anak kembar. Esau lahir lebih dulu, lalu adik kembarnya keluar memegang tumit Esau, si sulung. Adiknya ini dinamakan Yakub (dari bahasa Ibrani Yaakob; kata yang mirip sekali dengan aqeb, artinya tumit, karena dia memegang tumit). Tapi Allah mengirimkan nubuat kepada Ribka, ibu Esau dan Yakub –dan berarti ditujukan kepada seluruh keluarga Ishak– demikian: "Dua bangsa ada dalam kandunganmu, dan dua suku bangsa akan berpencar dari dalam rahimmu; suku bangsa yang satu akan lebih kuat dari yang lain, dan anak yang tua akan menjadi hamba kepada anak yang muda” (Kej. 25: 23). Ini berarti Allah sudah menyatakan kepada keluarga Ishak ‘Aku memilih Yakub, dan bukan Esau, sebagai anak perjanjian yang meneruskan garis mesianik’.
Setelah kedua anak ini dewasa, sepertinya Ishak tidak terlalu sreg dengan pilihan Tuhan. Esau itu sangat lelaki, banyak sifat maskulin yang ada pada dirinya yang baik maupun buruk; dia seorang yang impulsif, man of action, kasar, –dan mungkin sebagaimana banyak pria, dia juga dangkal. Ishak lebih melihat ideal dirinya pada diri Esau, sedangkan Yakub lebih disayang oleh mamanya. Jadi Ishak lebih memilih Esau; dan ada kemungkinan Ishak bisa lolos melawan nubuatan Allah yang jelas sekali, karena dia bersembunyi di balik tameng budaya zaman itu. Itu adalah zaman primogeitur, yang memang menempatkan si sulung sebagai yang terpilih mendapatkan hak kesulungan –sebagian besar harta dan aset keluarga– supaya status serta kekuasaan keluarga tidak terbagi-bagi dan tetap bisa bertahan. Ishak memakai tameng budaya setempat untuk melawan kehendak Allah, mengambil kontrol atas hidupnya dan atas garis mesianik tadi.
Dalam hal ini, dosa Ishak yang diperlihatkan Alkitab adalah dosa menghalang-halangi keselamatan Allah datang ke dunia dengan cara menolak anak pilihan Allah; bukan soal pilih kasih. Alkitab adalah wahyu yang mengupas sedikit demi sedikit cerita Allah mendatangkan keselamatan atas dunia; dan bagian ini salah satunya. Di sini kita bisa refleksi sedikit, bahwa menafsir Alkitab seenaknya bukan selalu berarti menafsir Yesus bukan Allah, atau jadi orang Kristen pasti makmur, dsb., tapi juga sewaktu orang memperlakukan Alkitab sebagai buku pedoman hidup, mencari-cari apa yang bisa didapatkan dari buku ini untuk membuat hidup saya dan keluarga saya lebih baik, lalu lupa arti sesungguhnya dari Alkitab yang merupakan pesan utamanya.
Kembali ke ceritanya. Suatu hari Ishak merasa sudah tua dan tiba saatnya untuk membereskan urusan hak kesulungan. Dia bukan mengatakan dirinya sebentar lagi mati –dia tidak tahu kapan mati– maka dia mau memberikan berkat hak kesulungan tersebut, seperti kalau kita merasa sudah saatnya menulis surat wasiat, membereskan urusan keluarga sebelum terjadi kematian. Jadi Ishak menyuruh Esau berburu, baru setelah itu secara resmi akan memberikan hak kesulungan itu kepadanya, menunjuk Esau sebagai pemimpin keluarganya. Yakub, yang tahu tentang nubuat Allah kepada ibunya, lalu menyamar dengan memakai baju Esau supaya bisa mendapatkan hak tersebut. Ishak agak bingung karena baunya, makanannya, dan semua lainnya, seperti Esau tapi suaranya Yakub, namun akhirnya memberikan janji hak kesulungan dan berkat itu. Setelah Yakub keluar, Esau masuk dan meminta berkat dari Ishak.
Di sini saya ingin menyoroti momen ketika Ishak mendengar Esau yang masuk dan berkata, “Bapa, inilah makanannya, silakan makan.” Di Kejadian 27 Ishak bukan cuma terkejut, Ishak gemetar dengan hebat (‘terkejut’ adalah kata yang dipakai terjemahan LAI, terjemahan dari bahasa aslinya adalah ‘trembled violently’). Esau menanyakan apa yang terjadi, sebaliknya Ishak bertanya, “Kalau kamu Esau, yang tadi itu siapa?” Dan mereka langsung tahu, ini pasti perbuatan Yakub. Esau marah kepada Yakub. Tapi yang aneh, sebagaimana semua pengacara tahu bahwa kontrak yang ditulis atas dasar penipuan pasti dengan mudah dibatalkan di pengadilan, di sini justru Ishak mengatakan: “Tidak bisa, kamu tidak bisa minta kepadaku berkat lagi –paling tidak, kamu tidak bisa minta berkat yang itu– karena aku sudah memberikannya; aku sudah memberkati adikmu, dan dia akan tetap memiliki berkat itu, berkat itu tidak akan dicabut daripadanya.” Ini membuat kita bingung. [Di sini orang-orang modern yang skeptis terhadap Alkitab mengatakan ‘inilah buktinya Alkitab itu urusan orang-orang kuno yang masih percaya takhyul, masakan berkat seperti ini saja tidak bisa ditarik, bukankah cuma perkataan saja, jadi kita tidak perlulah mendengarkan mereka, mereka orang yang sangat terbelakang’; tapi justru mereka yang tidak mengerti cara membaca Alkitab].
Tadi kita sudah membahas janji Tuhan kepada keluarga Abraham, Ishak, dan Yakub, serta bagaimana Ishak meresponi nubuat yang datang kepada Ribka; maka sekarang kita mengerti alasannya Ishak menolak membatalkan berkat tersebut. Ishak bukan gemetar hebat karena marah, tapi karena menyadari inilah kehendak Tuhan yang sejak awal sudah Tuhan tentukan. Ishak menyadari selama ini dia sedang melawan kehendak Tuhan dan berusaha untuk membelokkan rencana Tuhan, dan pada akhirnya dia sadar, dia tidak bisa melawan penetapan Tuhan. Seakan-akan Tuhan mengatakan: ‘Ishak, kamu pikir bisa melawan-Ku, tapi lihat, kehendak dan rencana-Ku tidak akan tergoyah’. Ishak menolak membatalkan berkat, bukan karena berkat tersebut sesuatu yang gaib, yang sudah tidak bisa masuk lagi, dsb., melainkan karena inilah momen Ishak bertobat — ‘saya menyadari yang saya lakukan selama ini memberontak dan melawan Tuhan, dan sekarang saya berhenti, saya tidak lagi melawan Tuhan, saya tidak lagi memberontak terhadap kehendak Allah’.
Ceritanya tidak selesai sampai di sini, karena memang Ishak bertobat namun Esau tidak terima, Esau bersumpah akan membunuh Yakub. Di sini Saudara perhatikan, bahwa semua yang terjadi adalah seturut dengan kehendak Allah, itu tidak membuat Yakub jadi tidak bersalah dalam hal ini. Di satu sisi, Yakub memang menyelesaikan kehendak Tuhan, tapi dia melakukannya dengan menipu ayahnya dan bukannya menunggu karunia Allah. Mungkin dia kesal dengan ayahnya, menganggap ayahnya tidak menuruti kehendak Tuhan sehingga dirinya tidak bisa menghormati ayahnya, dsb., lalu merasa harus mengerjakan menurut apa yang dirinya anggap benar dan baik. Saudara lihat di sini, Ishak mebuat Yakub kesal karena Ishak main hakim sendiri, memberontak terhadap Tuhan, melakukan apa yang baik di matanya sendiri; dan efeknya terhadap Yakub adalah Yakub juga melakukan yang sama. Hal yang membuat Ishak menyebalkan di mata Yakub, adalah hal yang akhirnya Yakub sendiri lakukan. Dan persis seperti Ishak, dengan turun tangan sendiri malah membuat Yakub akhirnya kehilangan hal yang dia inginkan. Dia mau berkat, posisi kepemimpinan dalam keluarga, harta, dsb.; dan oleh karena menipu, akhirnya dia harus kehilangan semua itu, dia harus kabur. Dia harus meninggalkan keluarga dan segala aset harta yang dia dambakan itu. Inilah ironinya –dan refleksi yang kedua bagi kita—bahwa kisah Yakub adalah kisah orang-orang yang berusaha melawan dan memberontak kepada Tuhan, memaksa mengambil alih kemudi hidupnya, ‘saya tidak bisa menunggu waktu Tuhan, saya tidak bisa pakai cara Tuhan, karena nanti saya akan rugi, kehilangan ini dan itu’, lalu ketika turun tangan sendiri akhirnya mereka benar-benar kehilangan hal yang mereka inginkan.
Ceritanya berlanjut. Yakub pergi kepada Laban di Haran. Di tengah perjalanan ia tertidur dan Allah menampakkan diri kepadanya dalam kisah Yakub melihat tangga yang naik sampai ke surga. Setelah itu Yakub mulai membangun satu relasi dengan Tuhan. Tapi perhatikan bagaimana dia membangun relasi tersebut, yaitu relasi yang berdasarkan kalkulasi untung rugi; dia mengatakan: "Jika Allah akan menyertai dan akan melindungi aku di jalan yang kutempuh ini, memberikan kepadaku roti untuk dimakan dan pakaian untuk dipakai, sehingga aku selamat kembali ke rumah ayahku, maka TUHAN akan menjadi Allahku” (Kej. 28) –seperti negosiasi bisnis. Tetapi Allah terus berkarya. Singkat cerita, Allah memakmurkan Yakub di tanah asing, Haran. Yakub diberikan keluarga dengan segala pergumulannya, diberikan harta, sehingga sekarang sudah jadi orang, sudah ada hasil, dan punya muka untuk kembali ke tanahnya Abraham. Ketika di awal Kejadian 31 Allah menyuruh Yakub pulang, maka Yakub mengatakan, ‘ini momen yang final, saya akan kembali pulang’. Yakub lalu mengumpulkan seluruh keluarganya, ternaknya, dan pembantu-pembantunya, lalu berangkat pulang.
Klimaks kehidupan Yakub bukanlah kisah di Betel waktu dia melihat tangga ke surga, bukan juga waktu Yakub berusaha meminang Rahel, melainkan inilah klimaksnya, ketika kisah hidupnya hampir merupakan satu lingkaran penuh –harta dan keluarga sudah diberikan Tuhan– cuma ada satu yang kurang, hal yang terakhir, ‘hak milikku, hak kesulungan, janji Tuhan bagiku, yaitu klan papaku, tanah papaku, bangsa papaku, itulah satu hal yang aku belum punya; dan satu juga yang menghalangi aku dari semua ini, yaitu Esau’. Maka kisah ini merupakan klimaks karena di sini juga Yakub akan menghadapi Esau. Esau-lah problem utama dalam hidup Yakub. Esau-lah problem yang paling final bahkan dari sejak awal hidup Yakub, dia penghadangnya, dia keluar duluan, dsb. –semua gara-gara Esau– dan sekarang akan dihadapi oleh Yakub. Inilah klimaksnya.
Ayat 3-21 dari pasal 32 –yang adalah separuh dari seluruh pasal 32—diceritakan persiapan Yakub untuk menghadapi Esau. Yakub sangat kalkulatif, dia bukan orang yang jalan tanpa mikir. Di ayat 7 dia membagi kelompok jadi dua, supaya kalau yang satu diserang, yang lain bisa melarikan diri. Ayat 13-15, dia membawa hadiah bagi Esau, yaitu 200 kambing betina dan 20 kambing jantan, 200 domba betina dan 20 domba jantan, 30 unta yang sedang menyusui beserta anak-anaknya, 40 lembu betina dan 10 lembu jantan, 20 keledai betina dan 10 keledai jantan. Ini bukan hadiah tapi sogokan. Dikirimnya pun tidak sekaligus melainkan dalam 7 gelombang, setiap gelombang dengan pelayan-pelayannya tersendiri; dan ketujuh pelayan tersebut bertugas mengatakan kalimat yang sama: “Inilah milik hambamu Yakub; inilah persembahan yang dikirim kepada tuanku Esau, dan Yakub sendiripun ada di belakang kami" –tujuh kali dikatakan ‘hamba’, ‘tuan’, hamba’, ‘tuan’, … dst. Di satu sisi Yakub menghujani Esau dengan hadiah, kata-kata manis, tetapi di belakangnya dia sama sekali tidak percaya pada Esau, dia ada back up plan, strategi.
Sekarang kita sampai di ayat 32. Setelah Yakub membagi dua semua miliknya, mengirim semua pemberian kepada Esau di depannya, membawa istri-istri dan anak-anaknya menyeberang Sungai Yabok, sekarang sisa dia sendirian, di malam hari, berdiri di pinggir sungai. Berada di batasan daerah, di malam yang gelap, sendirian, inilah saatnya untuk showdown yang terakhir, saatnya untuk akhirnya menemui Esau sendirian. Inilah momen yang paling klimaks, paling intens. Inilah musuhnya yang pertama dan yang terakhir, orang yang dengannya dia telah bergumul sepanjang seluruh hidupnya, dan ‘malam ini aku akan menemui dia, aku akan membereskan hal ini, sekali untuk selamanya!’
Dalam keheningan dan kegelapan itu, tiba-tiba Yakub menyadari ada seseorang. Dia tidak sendirian. Ada seorang tokoh berdiri dekat sana, dan tiba-tiba tokoh itu menyerangnya. Mereka bertempur, bergulat sampai pagi. Nama ‘Yakub’ aslinya adalah Yaakob, si pemegang tumit (aqeb); dan kata kerja dari aqeb adalah abag, istilah bahasa Ibrani untuk ‘bergulat’ (memegang tumit untuk membanting orang); maka di sini akhirnya ada yang bergulat dengan si pegulat. Ini berarti satu pertempuran yang luar biasa, bukan cuma intens tapi juga imbang, buktinya dikatakan mereka bergulat sampai pagi. Di sini, Yakub –dan juga kita sebagai pembaca—mungkin bertanya-tanya ‘siapakah ini??’, cerita Yakub sudah hampir season finale, sudah hampir bertemu musuh bebuyutannya, lalu tiba-tiba muncul tokoh baru yang tidak jelas dari mana dan mengganggu jalan ceritanya, merusak narasi yang sudah sedemikian rapi.
Selanjutnya kita sampai di ayat yang terkenal, ayat 25, ‘Ketika orang itu melihat, bahwa ia tidak dapat mengalahkannya, ia memukul sendi pangkal paha Yakub, sehingga sendi pangkal paha itu terpelecok, ketika ia bergulat dengan orang itu.’ Bagian seperti ini kalau dalam game namanya critical hit, pukulan yang begitu krusial sampai Yakub selanjutnya seumur hidup tidak lagi bisa berjalan normal; pertandingan langsung berakhir sampai di sini. Hal ini aneh, karena beberapa alasan. Keanehan pertama, sebelumnya mereka sangat imbang, mereka bergulat berjam-jam sampai pagi, lalu tiba-tiba jurus rahasia muncul dan pertandingan berakhir. Keanehan kedua, jurus rahasia tersebut bukan jurus yang begitu hebatnya; istilah Ibrani yang dipakai bukan ‘memukul’ (sebagaimana terjemahan LAI) melainkan naga, yang berarti menyentuh dengan sangat lembut (dalam kitab Imamat, kata naga dipakai untuk ‘mengoleskan minyak’). Ini membuat Yakub akhirnya sadar bahwa mereka bergulat sampai pagi bukan karena imbang, tapi semata karena tokoh misterius ini dengan sengaja menahan diri. Begitu menyadari hal itu, Yakub menyadari siapa Tokoh Misterius tersebut. Lebih daripada itu, Yakub menyadari bukan hanya dengan siapa dia bertempur dan bergulat saat itu saja, melainkan dengan siapa dia bertempur dan bergulat seumur hidupnya.
Yakub mengira tokoh yang paling berbahaya dalam hidupnya, yang dia geluti, yang jadi problem utama dalam hidupnya adalah Esau. Dia kira tantangan yang paling sulit adalah akhirnya menghadapi dan bertempur dengan Esau. Dan tiba-tiba plot twist, surprise ending, bukan. Bukan Esau ternyata. Seluruh hidupnya, dirinya sedang melawan Allah, mengendalikan Allah. Dia sedang bergulat dengan Allah seluruh hidupnya, inilah problem utama Yakub. Inilah pertempuran utama dalam hidup Yakub; momen yang sama yang pernah dihadapi Ishak 20 tahun silam ketika gemetar dengan hebat, menyadari yang selama itu terjadi dalam hidupnya.
Yakub menyadari, hidupnya terbolak-balik ke sana-sini bukanlah karena dia melawan Esau, melainkan karena dia melawan Allah. Allah menyatakannya dengan cara luar biasa; bisa dikatakan Allah membajak cerita Yakub pada momen yang paling pas, dengan cara yang paling tepat, yaitu bergulat. Seakan-akan Allah mengatakan: ‘Kamu pikir dia musuhmu selama ini, kamu pikir dia problem utamanya, kamu pikir kamu sedang bergumul dengan dia selama ini. Tidak. Bukan dia, tapi Aku. Engkau sedang melawan Aku selama ini’. Dan dampaknya, Yakub langsung putar haluan.
Tokoh ini, kemudian mengatakan: “Sekarang lepaskan aku, aku mau pergi, sebentar lagi matahari terbit.” Yakub menjawab: “Aku tidak akan melepaskanmu, kecuali kamu memberkati aku”; lalu Yakub bertanya: “Namamu siapa?” Saudara, kunci untuk mengerti hal ini adalah dengan mengingat satu episode Musa, yang berkata kepada Allah di Keluaran 34 minta melihat kemuliaan-Nya, dan Allah bilang ‘tidak bisa, nanti kamu mati’; lalu Allah menempatkan Musa di celah batu, Allah melewatkan kemuliaan-Nya untuk Musa bisa melihat belakang-Nya, dan Allah mendeklarasikan nama-Nya: “TUHAN, TUHAN, –Yahweh, Yahweh—Allah penyayang dan pengasih, panjang sabar, berlimpah kasih setia-Nya, … “. Dari sini kita bisa menarik poinnya, bahwa mendeklarasikan nama Allah berarti menunjukkan kemuliaan-Nya. Yakub minta diberkati, Yakub mau tahu nama-Nya, itu berarti Yakub minta melihat kemuliaan Allah. Si tokoh misterius menolak memperlihatkan mukanya, dia mengatakan ‘sebentar lagi matahari terbit’, maksudnya jika Yakub melihat muka-Nya, Yakub akan mati. Pada akhirnya tokoh tersebut memberkatinya, dan misteri ini dituntaskan di bagian terakhir, yang dikatakan Yakub menamai tempat itu “Pniel”, dari kata panim (=muka/ hadirat) dan el (=Allah) –Yakub menamai tempat itu “muka Allah”—sebab katanya: "Aku telah melihat Allah berhadapan muka, tetapi nyawaku tertolong!"
Dari semua ini, kita mau melihat apakah artinya mendekat kepada Allah. Kisah Yakub ini bukan satu-satunya model, ada banyak model lain yang bisa kita lihat mengenai menemui dan mendekati Allah. Tapi lewat kisah ini, paling tidak Saudara melihat bahwa mendekati Allah berarti bergulat dengan Allah. Ketika kita mendekati Allah, Allah akan menujukkan banyak hal, tapi salah satu yang Allah akan tunjukkan adalah: problem utama setiap kita, yaitu bahwa Saudara dan saya sedang bertempur melawan Tuhan.
Kita hari ini mungkin mengatakan problem hidup kita adalah pekerjaan –‘kenapa saya dapat bos kayak gini, bawahan kayak gini, gaji segini, situasi seperti ini’. Atau problem keluarga–‘kenapa saya dapat bapak kayak gini, ibu kayak gini, suami, istri, anak, dst.’—atau juga mungkin soal talenta, ‘kenapa saya dapat talenta ini, padahal saya ingin jadi orang seperti ini dan itu, dsb.’ Kita berpikir problem dalam hidup kita adalah ‘esau-esau’ itu; tetapi jika Tuhan beranugerah kepada kita, ketika kita mendekati Tuhan, Dia akan menunjukkan sesungguhnya dengan siapa kita sedang bergumul dalam seluruh hidup kita, yaitu dengan Dia. Sama seperti Ishak dan Yakub, kita selama ini melawan Dia. Itulah pertempuran yang utama, sumber dari semua pertempuran yang lain. Kita tidak percaya kepada Dia. Kita percaya Dia eksis, tentu saja, tapi kita tidak mempercayakan hidup kita kepada Dia. Kita tidak mau bergantung kepada cara-Nya, atau waktu-Nya, atau anugerah-Nya. Yang kita lakukan seumur hidup adalah berusaha mengambil alih kemudi seluruh hidup kita, karena kalau menunggu waktu atau cara Tuhan kita merasa bakal dirugikan. Persis sama seperti mereka.
Mungkin Saudara mengatakan, “Ah, saya mau koq ikut Tuhan, cuma saja Bapak khotbahnya tidak mendarat, tidak memberitahu kami hal-hal yang bisa kami lakukan.” Benarkah begitu? Bagaimana dengan memberitahu di mimbar ini bahwa Saudara perlu lebih banyak berdoa, perlu lebih banyak berdoa untuk orang lain, perlu mengasihi musuh-musuhmu? Bukankah kita sudah pernah mengatakan itu semua? Saudara tahu koq apa kehendak Tuhan, Saudara tahu koq waktu Tuhan, Saudara tahu koq cara Tuhan. Seperti Ishak dan Yakub, kita tahu koq apa yang Tuhan kehendaki, tapi kita berlindung di balik tameng-tameng kita –‘ah, itu cuma penafsiran pendeta ini, pendeta yang lain ngomongnya lain, ‘ah, itu tidak mutlak’, dsb.– semata untuk menyembunyikan hati kita yang mengatakan, “ikut Tuhan itu, ‘gak afdol”; itu saja.
Mendekati Tuhan berarti bertempur dengan Tuhan, bergulat dengan Tuhan. Apa artinya bergulat? Dari metafor ‘bergulat’ ada 3 hal yang bisa kita tarik. Yang pertama, bergulat menuntut fokus total. Kalau Saudara bergulat, hal itu menuntut seluruh perhatian Saudara, tidak bisa sambil cek HP, tidak bisa sambil mikir ‘saya mau makan apa’, apalagi curhat-curhat ke orang lain bahwa sedang bergulat. Bergumul dengan Tuhan mungkin membuat kita tidak ada waktu lagi untuk cerita ke orang lain; justru waktu sedang bergumul dengan Tuhan, kita tidak mau ada orang lain.
Yang kedua, bergulat adalah gerakan yang saling melawan, saling kontradiktif. Kalau Saudara berdansa, itu juga gerakan, tapi gerakan yang saling komplementer, saling mendukung. Dalam berdansa, arahnya bisa saja berlawanan, tapi di situ kita melawan untuk saling mengikuti. Sedangkan gulat, gerakannya bisa sama arah, tapi tujuannya untuk melawan; misalnya dalam aikido, waktu ditonjok ke arah kita, kita jangan tonjok balik lawan arah, tapi justru kita tarik tangannya untuk kemudian lempar ke sana. Intinya, dalam bergulat ada kontradiksi, ada penolakan.
Yang ketiga, bergulat itu membuat sengsara. Paling tidak, bergulat itu menghabiskan jiwa dan raga, semangat, kesehatan, dan semua lainnya; dan Yakub dikatakan bergulat sepanjang malam.
Kalau itu semua adalah gambaran, atau setidaknya salah satu gambaran, artinya bertemu atau mendekat dengan Tuhan, coba kita aplikasikan ketiga hal tersebut dalam bergulat dengan Tuhan. Yang pertama, tentang total fokus; bertemu atau bergumul dengan Tuhan berarti kebesaran diri Tuhan mendesak segala sesuatu yang lain keluar dari hidup kita. Kita total fokus; dan fokusnya bukan karena indah, nyaman, –tidak harus begitu—melainkan karena tidak ada ruang lagi untuk hal yang lain. Perhatian kita kepada Tuhan sebegitu krusialnya sehingga kita tidak bisa lagi memikirkan hal yang lain, bahkan mungkin kita tidak menyadari sedang bergumul dengan Dia. Yakub bergumul dengan Tuhan, jauh sebelum dirinya sadar sedang bergumul dengan Tuhan. Bergumul dengan Tuhan artinya bukan cuma Allah jadi yang paling penting, melainkan Dia jadi satu-satunya hal. Titik.
Yang kedua, tentang kontradiksi; kita tidak benar-benar bergumul dengan Tuhan kecuali kita merasa Dia melawan kita, tangan-Nya menekan kita, mendorong kita, menjauhkan kita, menolak kita. Ada banyak orang datang ke gereja dengan sudah memiliki akar dan batang, lalu minta Tuhan menumbuhkan daun; itu bukan bertemu dengan Tuhan. Tuhan tidak cuma akan memberi kita daun, Tuhan akan memberi kita akar yang baru. Pernahkah Saudara merasa dicabut sampai ke akar-akarnya? Itu menyakitkan.
Satu contoh, saya pernah pelayanan membimbing guru Sekolah Minggu. Satu kalimat yang biasa muncul waktu orang melayani yaitu “kami merasa tidak layak jadi guru Sekolah Minggu”; dari situ saya menanyakan bagaimana persiapannya, mengapa merasa tidak layak, dsb., lalu dia cerita. Dan akhirnya mulailah keluar kalimat-kalimat yang maksudnya masih ada orang lain yang lebih tidak layak lagi, seakan mengatakan, ‘saya memang tidak layak, tapi saya tidak seperti dia, dia benar-benar tidak layak; saya memang tidak sempurna, tapi saya lebih sempurna daripada orang itu’. Seringkali kita juga melakukan itu. Kita mengatakan “tidak layak melayani ini itu, tidak layak mendapat ini itu” tapi kalau jujur, selalu ada orang lain yang kita anggap lebih tidak layak lagi. Ini berarti, perkataan “saya tidak layak” itulah, ‘kelayakan’-mu di hadapan Tuhan, karena menurut Saudara ada orang-orang lain yang benar-benar tidak layak dan tidak merasa dirinya tidak layak pula, mereka itulah yang lebih tidak layak, sedangkan kita, memang tidak layak tapi paling tidak kita tahu diri tidak layak –dan inilah kelayakan kita. Ketika hal ini dibongkar, kita baru sadar bahwa justru itulah yang menjadikan diri tidak layak, lebih tidak layak daripada orang-orang yang tidak sadar tadi karena kita sadar dan kita menipu dengan mengatakan “saya tidak layak”. Pembongkaran seperti ini menyakitkan, tapi inilah artinya menjadi orang Kristen.
Jadi orang Kristen jangan harap bisa mengatakan ‘saya ada akar, ada batang, ada modal sedikit, memang sedikit tapi tolong tumbuhkan’; yang ada adalah: modal yang sedikit itu dicabut dan diganti yang baru. Itulah bergumul dengan Tuhan, merasa Tuhan menghancurkan kita. Ada gerakan yang kontradiksi, yang seperti berniat menghabisi; itu namanya bertemu dengan Tuhan. Dan inilah bukti bahwa relasi kita dengan Tuhan adalah relasi yang riil. Sama halnya dengan pernikahan; waktu dalam pernikahan kita berantem dengan pasangan, itu karena kelakuan dia tidak sesuai dengan gambaran yang ada di kepala kita, maka di situlah justru kita sedang berelasi dengan dia secara riil, mengenal dia secara riil, bukan berelasi atau mengenal dengan gambaran tentang dia yang ada di otak kita. Waktu mendengar kotbah, satu hal yang pasti, kotbah yang sesuai dengan pikiran Saudara adalah kotbah yang tidak akan mengubah hidup Saudara, karena Saudara sudah yakin, menerima, percaya, dan semuanya sudah sesuai dengan keinginan Saudara, jadi apa yang bisa diubah lagi?? Relasi kita yang riil dengan Tuhan adalah ketika kita bergumul, ketika kita merasa ada sesuatu yang berlawanan; itulah mendekati Tuhan.
Yang ketiga, tentang kesengsaraan. Hampir selalu –jika tidak dapat dikatakan ‘selalu’—kita dipelecok dulu oleh Tuhan untuk bisa menyadari hal itu. Yakub tidak sadar sampai Tuhan mempelecok dia. Ini berarti pincang yang dia terima sampai mati adalah lambang anugerah, bukan lambang kutuk. Mengapa anugerah? Karena pincangnya itu jauh lebih sedikit daripada yang sepatutnya dia terima.
Saya percaya, satu tanda orang Kristen yang sungguhan adalah mereka ini punya pincangnya masing-masing. Susahnya, ini bukan berita yang kita ingin dengar. Yang kita ingin dengar adalah ‘semua orang Kristen yang sungguhan, punya pincang-pincangnya sendiri yang disembuhkan oleh Tuhan’. Itu yang kita cari dalam kesaksian –“saya ada pincang begini begitu, tapi Tuhan menyembuhkan saya”. Saudara tidak mau dengar kesaksian orang yang mengatakan “saya orang Kristen sungguhan, buktinya saya pincang, sampai mati saya pincang”. Tapi kita lihat yang terjadi di kisah Yakub ini, Allah mempelecok Yakub, dan pincangnya bertahan sampai mati. Bukan saja sampai mati, dikatakan bahwa orang Israel sampai hari ini sengaja tidak memakan daging yang menutupi sendi pangkal paha untuk tetap mempertahankan ingatan akan realita kepincangan itu dalam hidup mereka, meskipun tubuh mereka tidak betul-betul pincang; mereka membawa tanda luka itu dalam kehidupannya, dalam ritual keagamaannya. Apa pincangmu? Apa luka-luka anugerah dalam hidupmu? Adakah atau tidak? Itu luka dari Seorang Sahabat. Amsal mengatakan ‘seorang sahabat itu memukul, sedangkan yang suka mencium itu musuh’.
Lalu, mengapa harus pakai harus pakai kesengsaraan? Yaitu karena Tuhan menghormati ciptaan-Nya. Satu analogi yang bagus tentang ini, yaitu ketika kita jadi orangtua. Waktu anak-anak beranjak remaja dan mulai melakukan hal-hal yang bodoh, kita geleng-geleng kepala, anak-anak itu tidak bijaksana sama sekali dan yang dilakukannya bakal bikin hidupnya tambah sulit. Di situ kita, manusia yang terbatas, pikir ingin jadi tidak terbatas seperti Tuhan supaya bisa langsung klik, download pengertian yang benar ke otak mereka, dan anak langsung oke. Tetapi Tuhan, yang tidak terbatas, waktu mendidik anak-anak-Nya, Dia tidak pernah pakai cara seperti itu, cara-Nya adalah lewat penderitaan. Itu seperti kita mengatakan ‘anak saya ini goblok banget, dan ini akan membawa banyak problem dalam hidupnya; sayangnya, satu-satunya cara dia bisa sembuh dari kegoblokan ini memang adalah kalau dia mengalami akibatnya sendiri’. Kita baru tahu ketika kita menghadapi akibat dan kesengsaraannya; dan justru itulah yang menjadikan kita lebih bijaksana. Sebagai orangtua, di satu sisi kita kasihan dengan anak dan kita ingin rantai dia supaya jangan sampai celaka; tapi di sisi lain kita juga tahu, kalau tidak lewat ini, bagaimana dia belajar, bagaimana dia bisa mengerti dan bijak.
Tuhan melakukan hal yang sama kepada kita, lewat kesengsaraan dan penderitaan. Itulah cara yang tepat, karena Saudara dan saya bukan komputer. Tuhan tidak pernah menciptakan kita sebagai robot. Ada sesuatu dalam natur hidup kita, dalam hati manusia, yang tidak bisa diprogram; kita ini gambar dan rupa Allah. Dan Allah menghormati gambar dan rupa ini. Allah menghormati natur ciptaan yang Dia ciptakan. Allah menghormati dignitas dan keagungan manusia seperti ini. Itu sebabnya Dia menghormati aturan main yang Dia sendiri bikin; Dia tidak melanggar aturan tersebut.
Bahwa kita menjadi lebih bijaksana setelah pergumulan, jangan pikir ini hasil dari dosa. Di Taman Eden, sebelum manusia jatuh ke dalam dosa, sudah ada pergumulan. Adam bisa mengatakan kalimat yang demikian indah kepada Hawa, karena ada pergumulan. Adam tidak langsung diberikan Hawa, Adam diajak jalan-jalan oleh Tuhan, –ada simpanse, singa, ikan-ikan di laut, ‘ada tidak yang bisa jadi penolongmu?’ yang ini bagus tapi kurang itu, yang itu bagus tapi kurang ini, coba tinggal dengan gajah tapi tetap tidak bisa– akhirnya Adam stres, kelelahan, tertidur. Barulah Tuhan mengambil tulang rusuknya dan menciptakan Hawa. Barulah di situ Adam bisa mengerti “inilah tulang dari tulangku, daging dari dagingku” –inilah akhirnya aku menemukan dia aku menemukan diriku, aku menemukan diriku aku menemukan dia. Pergumulan sudah ada di Taman Eden jauh sebelum dosa ada. Memang kesengsaraan kita dilipatgandakan setelah dosa hadir, tapi jangan pernah mengatakan kita diciptakan tanpa pergumulan; itu tidak benar sama sekali. Logikanya sederhana, allah yang tidak bisa meng-kontradiksi kita adalah allah yang tidak bisa mengubah kita. Jikalau Saudara pikir gol jadi orang Kristen adalah semakin lancar hidupnya, itu bukan Kekristenan Alkitab.
Apa yang terjadi pada Yakub? Dia berubah. Kisah ini adalah turning point hidupnya. Dalam narasinya, ketika dia harus kabur ke Haran, di Kejadian 28 narator mengatakan ‘matahari terbenam’, dan sesudahnya tidak pernah dituliskan ‘matahari terbit’. Tentu bukan berarti matahari tidak terbit, tapi itulah cara narator mengungkapkan bahwa hidup Yakub selama 20 tahun di Haran adalah malam tenggelam yang begitu panjang; dan perhatikan narator menulis ‘matahari terbit’ adalah di pasal 32 ini. Ketika Yakub habis bergumul dengan Allah, tokoh misterius itu, dia berjalan, pincang, dan dikatakan dia melihat matahari terbit. Inilah cara narasi Ibrani memperlihatkan ada perubahan yang amat sangat jelas –turning point.
Apa yang berubah? Yang pasti, tujuan hidup Yakub berubah. Seumur hidupnya dia mengejar berkat hak kesulungan dari papanya, yang dimiliki Esau, dari Laban, dsb., tetapi sekarang bukan itu, dia mengatakan: “Aku tidak akan membiarkan engkau pergi, sampai engkau memberkati aku” –gol-nya berubah, bukan berkat orang-orang itu tapi berkat “Mu”, yang selama ini dia cari tapi dia tidak sadar. Ada perubahan yang jelas; ketika itu matahari sebentar lagi terbit dan kalau dia melihat wajah Tuhan, dia bisa mati, tapi bagi Yakub tetap ‘lebih baik saya mati daripada tidak diberkati Engkau, berkat-Mu lebih penting daripada kehidupanku’.
Yang kedua, strateginya dalam mendapatkan gol tersebut juga berubah. Yakub bertahan memegangi Tuhan dan tidak mau melepaskan, ini dilakukan setelah sendinya terpelecok. Orang yang sendinya lepas, sakit bukan main; jadi boleh dikatakan inilah saat Yakub paling lemah, dan dia justru mendekat dan memegang erat Tuhan. Memegang dalam kelemahan; bertahan bukan lewat kekuatan, kalkulasi, tipu daya, dan segala macam lainnya, tapi dalam kelemahan. Ini jauh lebih sulit, jauh lebih menuntut. Dia bukan berjuang untuk melawan Tuhan, tapi untuk mendapatkan Tuhan. Dia bukan berjuang demi kemerdekaan, tapi berjuang lewat kelemahan demi ketergantungan, keterikatan.
Meresponi anugerah, sama sekali bukan pasif. Orang yang meresponi anugerah, mungkin terlihat sama sekali tidak berubah secara fenomena luar; Yakub ini masih sama saja menggelendoti Tuhan seperti ketika sedang bergumul, hanya saja tadi bergumul untuk menjauhkan, sekarang bergumul untuk menahan tidak boleh lepas. Berbeda sekali arah dan strateginya. Itu sebabnya di ayat 28 Allah mengatakan: "Namamu tidak akan disebutkan lagi Yakub, tetapi Israel, sebab engkau telah bergumul melawan Allah dan manusia, dan engkau menang.” Menang dari mana? Menang lewat kelemahan, menang dalam kekalahan; inilah perubahannya.
Siapa yang menang? Dalam konteks tersebut, Yakub menang dalam kelemahan, Allah juga menang dan lewat kelemahan juga. Tuhan bisa saja menggunakan kuasa-Nya, datang dalam kekuatan-Nya, tapi jika demikian, Dia bukan cuma akan menang tapi juga akan kehilangan Yakub –kalau Tuhan pakai seluruh kekuatan-Nya, yang copot bukan cuma sendi. Dan lihat, justru lewat kelemahan, lewat kesengsaraan, lewat cara pergumulan dalam mendidik Yakub, itulah yang menjadikan Yakub bertobat. Dengan demikian, Allah bukan cuma menang tapi juga memenangkan Yakub. Ini kemenangan yang jauh lebih indah daripada kemenangan hasil re-programming ala robot.
Cerita Abraham, Ishak, dan Yakub adalah kisah mengenai lini Mesianik; dan perhatikan di bagian ini Allah menyentuh Yakub di pangkal pahanya. Ujung pangkal paha adalah kemaluan; maka ini satu tindakan yang juga simbolik, karena pangkal paha dalam kultur Ibrani melambangkan keturunan. Waktu Abraham menyuruh pembantunya mencarikan istri bagi Ishak, Abraham menyuruh dia bersumpah dengan meletakkan tangannya di pangkal paha. Jadi jelas artinya, bahwa menyentuh pangkal paha berarti menyentuh sesuatu yang berhubungan dengan keturunan/ anak. Dan di sini Saudara bisa melihat mengapa Allah bisa memberikan kita –yang melawan Allah– hanya sentuhan anugerah yang membangunkan, menghidupkan, dan menyadarkan sehingga kita jadi lebih bijaksana, dan kita tidak harus mendapatkan sentuhan yang mematikan itu, yaitu karena keturunan Yakub, yang telah disentuh oleh Allah, yaitu Mesias akan datang suatu hari, lahir dengan nama Yesus. Tentang-Nya, Yesaya mengatakan ‘sesungguhnya penyakit kitalah yang ditanggung-Nya, kesengsaraan kitalah yang dipikul-Nya’. Yakub cuma menerima sedikit saja dari bobot kuasa Allah, tapi itu adalah sentuhan yang menjadikan berkat baginya. Yesus-lah yang menerima keseluruhan dari bobot kekuatan murka Allah. Yesus-lah yang digelut dan dibanting oleh Allah, dan Yesus juga tidak mau melepaskan salib itu. Dia bertahan pada salib itu, bukan sampai Allah memberkati Dia, tapi sampai Allah memberkati saudara dan saya.
Satu-satunya alasan Allah bisa memberkati kita, yang harusnya Dia kutuk, adalah karena Dia telah mengutuk Orang yang harusnya Dia berkati. Allah yang sungguh mahakuat adalah Allah yang telah menjadi lemah, mengosongkan diri-Nya dari kekuatan kuasa-Nya, rela turun ke dunia dan menjalani hidup sebagai hamba dan mati di atas kayu salib. Yakub belum melihat semua itu; Saudara dan saya sudah. Apa respons kita?
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading