Dalam Natal kita sudah mengkotbahkan bukan cuma Tuhan yang menyertai kita, tetapi juga panggilan untuk kita menyertai Tuhan, mendekat kepada Tuhan. Menyertai Tuhan merupakan satu hal yang mungkin kita agak bingung, mungkin kita punya gambaran-gambaran sendiri, mungkin kita berbeda-beda persepsi, mungkin kita punya pengertian-pengertian sendiri, yang sudah dicemari oleh pengertian-pengertian penyertaan Tuhan di zaman ini yang melenceng dari Alkitab. Jadi dalam seri kotbah ini, kita mau melihat cerita-cerita ketika seorang tokoh Alkitab mendekat kepada Tuhan; apa yang terjadi, seperti apa Tuhan yang digambarkan dalam Alkitab, ketika mereka bertemu langsung dengan Dia. Bulan lalu kita sudah membahas tokoh Yakub, kali ini tokoh Ayub, dan nantinya beberapa tokoh lain lagi.
Ayub adalah seseorang yang dulu mendengar mengenai Tuhan, tapi sekarang matanya sendiri telah melihat Tuhan; dia telah bertemu dengan Tuhan. Kita tahu, bertemu langsung dengan Allah adalah satu hal yang merupakan makanan keras; dan ini harusnya membuat kita mempertanyakan orang-orang Kristen –atau juga tidak harus Kristen—yang ingin punya pengalaman rohani, karena dua hal. Pertama, jalan yang Ayub tempuh untuk akhirnya mengalami Tuhan adalah jalan penderitaan yang tidak kira-kira beratnya. Ketika kita menggunakan istilah ‘pengalaman rohani’ atau ‘bertemu Tuhan’, gambaran yang ada di otak kita paling jauh mungkin keadaan berlutut, suasana khusyuk, berdoa. Tapi ternyata tidak seperti itu di dalam Alkitab, sama sekali lain. Bukan cuma dalam kasus Ayub, tapi dalam hampir semua kasus sepanjang Alkitab, kita melihat ketika orang bertemu dengan Tuhan, jalannya selalu penderitaan dan kesengsaraan. Yang kedua, pertemuan itu sendiri hampir tidak pernah suatu pertemuan yang nyaman. Dalam seri 1 tentang kisah Yakub jelas sekali, bertemu dengan Tuhan berarti bergelut sampai pagi dan ujungnya terpelecok seumur hidup. Ketika Tuhan yang sejati muncul, gambarannya jauh sekali dari versi kartu ucapan Hallmark yang indah-indah, duduk manis, ada malaikat, ada cahaya menembus lewat kaca-kaca mosaik katedral, dsb.
Jadi, mari kita menelusuri pertemuan Ayub dengan Tuhan; dan harapan saya, setelah mendengar kotbah ini Saudara kecewa berat, karena itu berarti ada harapan. Kekecewaan tidak selalu jelek, bisa ada kekecewaan yang rohani, ketika gambaran kita yang error dibenturkan dengan gambaran Alkitab yang asli. Kita akan mempelajari cerita Ayub ini, dan mungkin akan ada 4 kekecewaan kita dari pembahasan ini.
Pertama-tama kita coba melihat apa yang terjadi menjelang pertemuan yang klimaks antara Tuhan dan Ayub. Di pembukaan kitab ini, Ayub digambarkan sebagai orang yang takut akan Allah dan menjauhi kejahatan. Dia seorang yang hidupnya lurus, rohani, dan juga sangat kaya. Allah mengizinkan Iblis menyerang dia, meski dalam 2 kali serangan tersebut Allah tidak pernah memberi semua yang setan mau, ada yang boleh dan ada yang tidak boleh. Maka suatu hari Ayub ditemui hambanya satu per satu; pelayan pertama mengatakan bahwa ternaknya dirampok dan para pekerjanya dibunuh, yang kedua mengatakan bahwa domba-domba beserta gembala-gembalanya disambar petir dan mati semua, yang ketiga mengatakan hal yang kurang lebih sama mengenai unta-untanya. Ini berarti habislah semua harta Ayub beserta alat transportasinya. Hamba yang keempat mengatakan bahwa angin ribut datang dan merubuhkan tempat semua anak-anaknya –7 anak laki-laki dan 3 anak perempuan– sedang makan bersama, sehingga semuanya mati.
Dalam serangan Iblis yang pertama, Ayub dikatakan tidak berdosa; dia mengoyakkan jubahnya, mencukur kepalanya, lalu sambil menyembah dia mengatakan satu kalimat yang luar biasa: "Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!" (Ayub 1:21). Ayub tetap bisa mengendalikan diri. Dia terbukti tetap bisa menghadapi situasi ini dengan teologis. Ayub seakan mengatakan kepada dirinya, ‘Come on, Ayub, be reasonable, toh kita masuk ke dalam dunia ini tanpa sehelai benang, jadi kita juga akan meninggalkan dunia dengan cara yang sama; tentu saja kita semua berusaha memakaikan banyak hal pada badan kita –baju, rumah, harta, dst.—tapi toh semuanya tidak akan bertahan, jadi tidak ada bedanya, ini sesuatu yang normal.’ Seandainya seseorang memberikan kepada saya mobil secara cuma-cuma, lalu 3 tahun kemudian dia minta balik mobil tersebut, tentu orang yang rasional akan mengatakan: “Sudah bagus saya bisa pakai mobil 3 tahun, harusnya tidak bisa sama sekali; tadinya saya telanjang tanpa mobil, lalu ada yang kasih mobil, dan sekarang dia ambil kembali, ya, sudah, terpujilah nama orang tersebut.”
Dalam hal ini, mungkin kekecewaan yang pertama adalah karena kisah Ayub tidak berhenti di sini. Seandainya kisah Ayub selesai di sini, maka Kitab Ayub akan jadi salah satu kitab yang paling berguna untuk menghadapi penderitaan. Ini akan jadi kitab yang sesuai dengan keinginan banyak orang, karena memberikan satu-dua poin praktis yang masuk akal dan mudah diingat tentang bagaimana menghadapi penderitaan, yaitu: telanjang aku datang, telanjang aku pergi.
Tapi kitab ini tidak berhenti di situ; datang serangan Iblis yang kedua yaitu serangan terhadap kesehatan Ayub. Dia ditimpakan barah yang busuk dari telapak kaki sampai batu kepalanya. Ayub mengambil sekeping beling untuk menggaruk-garuk badannya, sambil duduk di tengah-tengah abu. Dan istrinya sendiri mengatakan: “Sudah cukuplah, apa gunanya kesalahanmu itu, kutuki TUHAN, dan mati sana!” Dalam serangan kedua ini pun, Ayub tidak ada tanda-tanda bergeser atau menyeleweng. Teologi “telanjang datang, telanjang pergi” sepertinya masih cukup kuat untuk menopang Ayub menghadapi semua ini. Saudara juga lihat pengendalian diri Ayub yang luar biasa; waktu istrinya mengutarakan kalimat tadi, Ayub mengatakan, “Engkau bicara seperti perempuan gila” –bukan gila, tapi seperti perempuan gila. Ini pengendalian diri yang luar biasa. Jadi dalam semua ini pun Ayub lulus, dia tetap bisa menahan diri.
Tapi sekali lagi ceritanya tidak berhenti di situ; datanglah hal yang terakhir. Dan hal yang terakhir inilah yang kelebihan bagi Ayub. Ironisnya, hal yang terakhir ini tidak disebutkan siapa yang mengirim –tidak juga disebutkan Iblis yang kirim– yaitu: datanglah tiga sahabatnya, para penghibur-penghibur sialan itu. Inilah yang akhirnya membuat Ayub meletus.
Di sini kita membandingkan dulu pendekatan yang dipakai istri Ayub dengan pendekatan yang dipakai sahabat-sahabat Ayub. Istrinya mengatakan “kutukilah Allah”, sementara sahabat-sahabatnya pada dasarnya mengatakan “kutukilah dirimu”. Istrinya mempersalahkan Allah, dan pada dasarnya mengatakan: “Allah itu jahat, kamu kutukilah Dia dan bencilah Dia, usirlah Dia dari hidupmu, Dialah sumber segala kemalangan dan penderitaan ini, lalu kamu matilah.” Sedangkan sahabat-sahabatnya –Elifas, Bildad, dan Zofar—mengatakan: “Saya tidak pernah lihat orang yang benar, lalu menderita, seperti kamu. Mana pernah ada orang yang jujur dipunahkan. Kamu pasti ada kesalahan; Tuhan itu tidak bersalah, jadi Dia tidak mungkin melakukan ini kecuali kamu ada salahnya. Kamu harus menemukan kesalahan itu, dan bertobatlah.” Jadi yang satu mengatakan ‘salahkanlah Allah’; yang lain mengatakan ‘salahkanlah dirimu’ –di sinilah Ayub meledak.
Lalu dari pasal 3 sampai 30 mereka berdebat sana sini, panjang lebar. Ayub mengatakan: “Aku mengutuk hari kelahiranku; mengutuk malam ketika mereka mengatakan, it’s a boy!” Selanjutnya, dia mengatakan: “Mengapa aku tidak mati waktu aku lahir, atau binasa waktu aku keluar dari kandungan? Mengapa pangkuan menerima aku; mengapa ada buah dada, sehingga aku dapat menyusu?” –miris sekali puisinya. Ayub berteriak berkali-kali, yang pada dasarnya mengatakan 2 hal. Yang pertama, bahwa dirinya seorang innocent sufferer, dirinya seorang benar yang menderita. Berkali-kali, khususnya pasal 29-30, dia memberikan kesaksian hidupnya, bahwa dia bukan cuma beres secara pribadi –moral beres, relasi beres, kehidupan seks beres—tapi juga beres secara kehidupan sosial masyarakat, menjunjung keadilan, membela hak-hak orang miskin, dst. Yang kedua, Ayub mengatakan bahwa dirinya terputus dari Allah, Allah tidak mau menemuinya. Di pasal 23 dia mengatakan: “Ah, semoga aku tahu mendapatkan Dia, dan boleh datang ke tempat Ia bersemayam. Maka akan kupaparkan perkaraku di hadapan-Nya, dan kupenuhi mulutku dengan kata-kata pembelaan” (ayat 3-4). Di ayat 8-9 dia mengatakan: “Sesungguhnya, kalau aku berjalan ke timur, Ia tidak di sana; atau ke barat, tidak kudapati Dia; di utara kucari Dia, Ia tidak tampak, aku berpaling ke selatan, aku tidak melihat Dia.”
Jadi 2 hal yang Ayub terus katakan, yang pertama: aku tidak bersalah tapi aku menderita; dan yang kedua: Allah meninggalkan aku. Selanjutnya Allah muncul. Dalam diskursus yang terakhir (pasal 38 dst.) dikatakan bahwa Allah muncul di dalam badai, angin ribut; dan mungkin di sini kita menemukan kekecewaan kita yang kedua dan ketiga.
Kekecewaan yang kedua adalah ketika Allah muncul, Allah tidak memberikan penjelasan apapun kepada Ayub. Dan herannya, Saudara dan saya sebagai pembaca, mendapatkan penjelasan tersebut sejelas-jelasnya, yaitu adanya percakapan antara Allah dengan Iblis di bagian depan yang membuktikan dalam semua ini Allah ada rencana, Allah ada perhitungan, tetapi semua hal itu tidak diberikan sedikit pun bagi Ayub. Tiga puluh pasal lebih Ayub berteriak “mengapa, mengapa, mengapa”, lalu ketika Allah akhirnya muncul dan bertemu dengan dia, tidak ada jawaban, tidak ada penjelasan.
Kekecewaan yang ketiga, Allah bukan cuma tidak menjelaskan tapi juga tidak menghibur sama sekali. Bahkan yang ada adalah Allah mencecar Ayub habis-habisan. Mencecar bukan mengamuk atau teriak-teriak; mencecar adalah mengutarakan satu hal yang sama tapi berulang-ulang, dengan kalimat yang berbeda-beda, seakan-akan orang yang dikasih tahu saking gobloknya sampai tidak bisa mengerti. Saudara lihat di sini, yang Tuhan katakan sampai berpasal-pasal kepada Ayub, sebenarnya ujungnya cuma satu hal yang sama tetapi pakai kalimat-kalimat yang banyak sekali, berulang kali, dengan cara yang berbeda-beda, seperti tusuk sana tusuk sini; beratus-ratus kalimat Tuhan pakai untuk mengulang-ulang hal yang sama. “Di manakah engkau, ketika Aku meletakkan dasar bumi? … Siapakah yang telah menetapkan ukurannya? Bukankah engkau mengetahuinya? … Siapa telah membendung laut dengan pintu? … Engkaukah yang turun sampai ke sumber laut, atau berjalan-jalan melalui dasar samudera raya? … Apakah engkau mengerti luasnya bumi? Nyatakanlah, kalau engkau tahu semuanya itu. … Tentu engkau mengenalnya, karena ketika itu engkau telah lahir, dan jumlah hari-harimu telah banyak! … Apakah engkau mengetahui hukum-hukum bagi langit? atau menetapkan pemerintahannya di atas bumi?” –‘Ayub, Ayub, lu itu bijak banget ya?? pasti geledek dan halilintar lapor ke kamu ‘kan, kamu pasti tahu semua ini, ‘kan?? Karena kamu tahu banyak sekali tentang bagaimana hidupmu harus berjalan, arah apa yang harus diambil alam semesta!’ Itu baru sebagian kecil dari pasal 38 saja.
Ini benar-benar mencecar, buktinya di akhir pembicaraan Tuhan yang pertama (pasal 38-40), Ayub sudah keok; Maka jawab Ayub kepada TUHAN: "Sesungguhnya, aku ini terlalu hina; jawab apakah yang dapat kuberikan kepada-Mu? Mulutku kututup dengan tangan.” Dan tahukah Saudara apa yang datang berikutnya? Apa Allah berfirman “Bagus!” ? Tidak. Yang berikutnya adalah Allah berfirman: “Eh, Gua belum selesai!” lalu Dia melanjutkan mencecar lagi, sekarang soal keadilan, soal orang benar versus orang fasik –“ayo, kamu katakan Aku tidak adil, sekarang silakan kamu yang mengadili!” Lalu Dia cerita tentang kuda nil, buaya, dan seterusnya.
Kekecewaan yang keempat, dan mungkin yang paling mengerikan buat Saudara dan saya, bahwa Allah bukan cuma tidak memberi penjelasan dan tidak memberi penghiburan, tapi berikutnya yang terjadi sebagai hasilnya adalah Ayub berubah total. Ayub berhasil diubah oleh semua itu. Di bagian terakhir pasal 42 Ayub berkata: “Firman-Mu: Siapakah dia yang menyelubungi keputusan tanpa pengetahuan? Itulah sebabnya, tanpa pengertian aku telah bercerita tentang hal-hal yang sangat ajaib bagiku dan yang tidak kuketahui. Firman-Mu: Dengarlah, maka Akulah yang akan berfirman; Aku akan menanyai engkau, supaya engkau memberitahu Aku. Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau. Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu.” Badai yang Tuhan berikan, ternyata meredakan badai di dalam hati Ayub. Kemarahan Ayub sirna. Rasa pride Ayub direndahkan. Bahkan kita bisa mengatakan Ayub bukan cuma diubah, tapi dipuaskan.
Semua orang yang sedang menderita lalu membaca Kitab Ayub, kekecewaannya adalah mereka menemukan Allah datang kepada Ayub, lalu Dia melakukan semua hal yang salah terhadap Ayub. Tetapi justru semua itulah yang akhirnya menolong Ayub. Itulah kekecewaan yang keempat, dan terakhir. Dan di akhir kisah, Allah menutup bagian ini dengan berkali-kali mengatakan “hamba-Ku Ayub”; “Kamu tidak berkata benar tentang Aku seperti hamba-Ku Ayub … baiklah hamba-Ku Ayub meminta doa untuk kamu … “, dsb. –menunjukkan bahwa semua itu justru berhasil.
Itulah ceritanya. Lalu apa yang bisa kita pelajari dari semua ini? Apakah salah kalau di dalam penderitaan kita beralih kepada Kitab Ayub, mencoba untuk mencari solusi? Tentu tidak salah; saya percaya salah satu tujuan ditulisnya kitab ini, untuk membuat kita mampu menghadapi penderitaan. Namun demikian, lewat kekecewaan-kekecewaan yang saya ajak Saudara lihat, kita harus menyadari bahwa problemnya bukanlah ketika kita datang kepada Alkitab untuk mencari solusi; problemnya adalah ketika kita hanya mau cari solusi yang kita anggap sebagai solusi, kita hanya mau menemukan apa yang kita mau temukan, karena solusi yang Tuhan berikan ternyata sangat berbeda dengan yang kita lihat sebagai solusi.
Solusi apa yang Tuhan berikan? Solusi pertama, ketika Saudara menderita, yang Saudara perlukan bukanlah didengar oleh orang lain, Saudara perlu mendengar perkataan Allah. Mendengar yang dimaksud tentu bukan cuma ‘hear’ tapi ‘listen’. Dalam bahasa Ibrani tidak ada istilah khusus untuk kata ‘mendengar’, hanya ada istilah untuk kata ‘taat’, dan istilah inilah yang dipakai untuk kata ‘mendengar’; taat dan mendengar adalah 2 hal yang sama dalam bahasa Ibrani.
Kalimat Tuhan yang pertama kepada Ayub, waktu Dia meresponi Ayub adalah: “Jangan menyelubungi keputusan-Ku tanpa pengetahuan.” Dengan kata lain, Tuhan mengatakan: ‘Jangan coba-coba menerka diri-Ku dan kehendak-Ku, padahal kamu tidak tahu apa-apa; jangan mencemari kehendak-Ku dengan kebodohan’. Ini hal yang sepertinya sederhana, tapi sebenarnya makanan keras; yaitu supaya kita menyadari bahwa tidak ada netralitas di sini, yang kita perlu bukan Tuhan mendengar kita melainkan kita mendengar Tuhan, dalam arti entah kita yang kompeten untuk menghakimi Tuhan atau Tuhan yang kompeten untuk menghakimi kita, tidak ada yang di tengah-tengah sama sekali. Dalam hal ini Allah mengatakan kepada Ayub, “Alasan kamu mengalami kesulitan dan semua hal ini, adalah karena kamu berasumsi dirimu bisa mengerti semua hal ini. Ya, tidak mungkinlah. Memangnya kamu yang ciptakan geledek?? Memangnya kamu yang ciptakan salju?? Memangnya kamu yang meletakkan dasar-dasar bumi?? Lalu kamu mau menilai arah sejarah dunia, ya, mana bisa??”
Tuhan terkesan sangat sadis, tapi yang Dia katakan adalah “Ayub, ayo be reasonable. Tadi pasal pertama kamu cukup reasonable, cobalah be reasonable sekarang. Entah ada Tuhan dan berarti Tuhan itu pasti jauh lebih bijaksana dan lebih tahu daripada kamu mengenai segala sesuatu, atau kamu yang lebih bijaksana daripada Tuhan sehingga berarti lebih tahu daripada Tuhan dan kamu berhak menghakimi Tuhan; yang mana yang benar?? Kamu komplain kepada Saya, tentu karena kamu percaya Saya besar; kamu tidak akan komplain sama Saya kalau diri Saya tidak ada efeknya. Kamu komplain kepada Saya karena kamu merasa Saya cukup berkuasa untuk menghentikan semua penderitaan ini, bukankah begitu?? Kalau kamu percaya Saya cukup besar, sehingga Saya punya kuasa yang sebesar itu, mengapa kamu tidak bisa percaya bahwa Aku cukup besar untuk punya alasan-alasan di balik itu?? Kalau kamu percaya Aku mahakuasa, mengapa sulit sekali bagimu untuk percaya bahwa Aku juga mahabijaksana??” Inilah pertanyaan yang pertama.
Dalam hal ini, untuk orang yang condong ke ateisme, kita bisa menarik lebih panjang dengan mengatakan: “Kalau Saudara tidak percaya ada Tuhan, ya, untuk apa Saudara komplain mengenai penderitaan, penindasan, pemerkosaan, pembunuhan, dan hal-hal yang lain?? Tidak ada poinnya.” Memang sulit untuk percaya kepada Tuhan ketika ada penderitaan, tapi lebih sulit untuk tidak percaya Tuhan dalam penderitaan, karena kalau Saudara tidak percaya Tuhan, tidak ada dasar sama sekali untuk komplain, terima saja, memang cuma ada itu. Kembali ke isu kita; kalau kamu percaya Tuhan, Tuhan itu mahakuasa, tentu berarti Dia mahabijak, lalu mengapa juga komplain mengenai penderitaan?? Kamu percaya Tuhan mahakuasa, Tuhan mahabaik, Tuhan mahabijak, Tuhan maha segala sesuatu, lalu mengapa komplain?? Bukankah Dia yang tahu dan kamu yang tidak tahu?? Inilah problem kita terhadap penderitaan.
C. S. Lewis membandingkan orang-orang zaman dulu dengan orang-orang zaman sekarang. Dia mengatakan, orang zaman dulu cenderung datang kepada Tuhan sebagai pihak yang dihakimi, pihak yang tertuduh/ terdakwa, dan Tuhan hakimnya; sedangkan zaman Modern terbalik sama sekali, kita yang duduk di kursi Hakim, Allah yang duduk di kursi Terdakwa –inilah sumber penderitaan di dalam penderitaan. Yaitu karena kita tidak mau menerima bahwa Dia lebih tahu daripada kita, kita tidak mau menerima bahwa kita tidak sanggup dan tidak pantas untuk menentukan arah alam semesta. Itulah yang pertama; apakah Saudara kecewa?
Solusinya bukan cuma untuk menyadarkan status kita di hadapan Tuhan, dan untuk kita mendengar, taat, menyadari perkataan Tuhan jauh melampaui di atas perkataan kita; ada solusi yang kedua. Saudara lihat, di bagian terakhir Tuhan mendeklarasikan perkataan “hamba-Ku Ayub” berulang kali. Ini bukan kebetulan, karena di bagian depan, istilah itulah yang membuat Iblis gatal. Kalau Saudara perhatikan pasal pertama, sebenarnya yang cari gara-gara adalah Tuhan, bukan Iblis. Tuhan yang pamer-pamer, mengatakan: "Apakah engkau memperhatikan hamba-Ku Ayub? Sebab tiada seorangpun di bumi seperti dia, yang demikian saleh dan jujur, yang takut akan Allah dan menjauhi kejahatan." Lalu jawab Iblis kepada TUHAN: "Apakah dengan tidak mendapat apa-apa Ayub takut akan Allah?” –beneran Tuhan dia hambamu? Atau dia semata hanya hambanya berkat-berkat-Mu?! Coba kuserang semua berkat-berkat-Mu, nanti Kamu akan lihat dia mengutuki-Mu. Dan sekarang di bagian akhir Allah kembali mendeklarasikan “hamba-Ku Ayub, hamba-Ku Ayub, hamba-Ku Ayub, hamba-Ku Ayub”; apa maksudnya? Apa yang hendak dikatakan kepada kita?
Ini berarti: rencana/ strategi Iblis adalah: lewat penderitaan, Iblis mau membongkar Ayub sebagai hamba palsu, bahwa dia bukan menghambakan diri kepada Tuhan melainkan cuma kepada berkat-berkatnya Tuhan. Dan rencana Tuhan adalah: lewat penderitaan, Tuhan membuat Ayub menjadi hamba yang sejati. Dan Allah berhasil. Allah mengalahkan Iblis, melalui rencana Iblis.
Mengapa Allah mengizinkan ada kejahatan, penderitaan, dan ketidakadilan dalam hidup kita? Sampai hari ini masih beredar argumen yang mengatakan ‘Allah tidak mungkin mahabaik dan mahakuasa, buktinya tetap ada kejahatan, penderitaan, dan penindasan; jadi entah Dia mahabaik saja tapi tidak mahakuasa buktinya Dia tidak cukup berkuasa untuk membuang kejahatan, atau Dia mahakuasa tapi tidak mahabaik karena Dia tidak mau membuang kejahatan –dua-duanya tidak mungkin bisa ada pada saat yang sama’. Tetapi lihat bagaimana Alkitab menghadirkan Allah.
Pertama, Dia mahakuasa; itu pasti, buktinya di bagian ini semua yang Iblis lakukan harus lewat izin Allah. Ada satu catatan biblika yang menarik dalam hal ini. Kalau Saudara perhatikan percakapan Allah dengan Iblis di pasal 1 dan 2, di situ selalu dipakai istilah-istilah yang menunjukkan bahwa percakapan ini antara seorang atasan dengan bawahan, antara seorang superior dengan inferior. Contohnya, selalu ditulis Allah yang bicara lebih dulu, tidak pernah Iblis yang memulai. Waktu Allah bicara duluan, dipakai istilah ‘bertanyalah Allah kepada Iblis’ –jadi sifatnya interogatif, Allah yang pegang kontrol. Kalimat Allah yang pertama: “Iblis, dari manakah kamu?” Selanjutnya dikatakan ‘Iblis menjawab’. Menariknya, di situ Iblis sebenarnya bukan menjawab melainkan bertanya, “Apakah Ayub beneran hamba-mu, Tuhan?”, tetapi Alkitab selalu membingkainya dengan ‘Iblis menjawab’. Tidak pernah dikatakan ‘bertanyalah Iblis kepada Tuhan’, selalu ‘bertanyalah Tuhan kepada Iblis’. Dan berikutnya waktu Allah menjawab Iblis, tidak pernah dikatakan ‘Allah menjawab Iblis’ –istilah tersebut hanya dikenakan pada Iblis—selalu dikatakan ‘berfirmanlah Allah kepada Iblis’, yang sebenarnya merupakan jawaban. Jadi, kalau Saudara perhatikan baik-baik, selalu dikatakannya ‘firman Allah kepada Iblis’, ‘bertanyalah Allah kepada Iblis’, dan di sisi lain ‘Iblis menjawab’, ‘Iblis menjawab’, dst.; ada gaya bahasa yang sangat jelas di pasal 1 dan 2 untuk menunjukkan Allah kita itu mahakuasa.
Dan, satu catatan menarik, di kitab Ayub ini ada satu kali dipakai istilah ‘Allah menjawab’, yaitu bukan kepada Iblis melainkan Ayub. Ketika Allah akhirnya muncul di pasal 38 ke belakang, dikatakan: ‘Dari dalam badai TUHAN menjawab Ayub.’ Memang kalimat-kalimat berikutnya sadis, tapi itu bukan kalimat yang diberikan Tuhan untuk melampiaskan amarah, itu adalah kalimat-kalimat konseling. Dan itu diberikan bagi Ayub. Allah menempatkan diri-Nya setara dengan Ayub, seakan mereka saling menjawab –Ayub bertanya, Allah menjawab. Terhadap Iblis tidak seperti itu. Ini side note saja untuk membuat kita sadar.
Alkitab menghadirkan Allah sebagai Allah yang mahakuasa; semua yang setan mau lakukan, harus lewat Dia, tidak boleh tanpa izin Dia. Kembali ke isu yang kita hadapi, memang Allah mahakuasa itu jelas, tapi bagaimana dengan mahabaik? Tentu saja Allah mahabaik. Tapi mengapa Dia mengizinkan serangan Iblis, bukankah itu berarti Dia sumber kejahatan? Tidak. Hal itu datang dari Iblis, bukan dari Dia. Lalu mengapa Dia mengizinkan Iblis menyerang, dan Dia tetap bisa disebut mahabaik? Saudara harus melihat tujuannya. Alasan Dia mengizinkan evil adalah untuk mengalahkan the very intention of evil. Alasan Dia mengizinkan kejahatan adalah justru untuk mengalahkan tujuan awal dari kejahatan, lewat kejahatan itu sendiri. Iblis mau menyerang nama baik Ayub lewat penderitaan dan segala macam lainnya, tetapi justru lewat serangan Iblis inilah Allah mengharumkan nama baik Ayub berkali-kali lipat, sehingga hari ini siapa yang tidak tahu nama Ayub?? Dan ini bukan cuma dalam Kekristenan. Kita bukan cuma mau bicara soal nama baik Ayub; bukan itu yang terutama. Tadi kita sudah mengatakan, bahwa tujuan Iblis membawa penderitaan adalah untuk membongkar kehambaan palsu Ayub, tetapi lewat penderitaan ini Allah membuat Ayub jadi hamba yang sejati. Ini pembalikan yang tidak bisa lebih tajam lagi. Itu sebabnya Dia mahabaik dan Dia mengizinkan adanya kejahatan.
Saudara, tuduhan Iblis itu menghantui kita, karena sedkit banyak tuduhan tersebut benar. Memang seringkali kita bukan hamba-hamba Allah, kita seringkali tidak sadar justru sedang berusaha memperhamba Allah supaya Dia memberikan kepada kita hal-hal yang benar-benar kita sembah. Alasan kita jadi meletus seperti Ayub dalam hidup ini, adalah kita kecewa ketika hal-hal tersebut tidak ada.
Waktu saya di Melbourne selama 4 tahun, tahun pertama mobil saya pakai asuransi komprehensif, tapi ternyata tidak terpakai karena lalu lintas di sana begitu teratur dan aman, kecelakaan hampir tidak mungkin terjadi. Tahun kedua tetap tidak terpakai, dan tahun ketiga saya tidak pakai asuransi sama sekali. Lalu terakhir di tahun keempat, empat bulan terakhir sebelum saya harus pulang, saya menabrak. Waktu itu yang mengerem mendadak sebenarnya mobil yang ada di depannya mobil saya, lalu mobil depan saya mengerem juga, dan saya menabrak mobil ini. Mobil depan saya itu Subaru Impreza WRX STI, sementara mobil saya Lancer butut yang sudah sekian belas tahun. Memperbaiki mobil di sana lebih mahal daripada beli mobil baru, tapi bagaimanapun harus diperbaiki, dan juga mengganti perbaikan mobil yang saya tabrak. Habislah uang saya, sampai makan pun jarang. Waktu itu papa saya menegur dengan kalimat yang menusuk, “Kamu itu tidak hidup sepantasnya pengantin Kristus hidup.” Itulah yang terjadi; dan saya tidak mau membebani papa saya lagi. karena saya bisa sekolah di sana pun bukan karena papa saya kaya luar biasa. Mobil saya akhirnya selesai diperbaiki dan saya harap terjual. Tapi tidak ada yang mau. Sampai akhirnya Pendeta Budi Setiawan waktu itu baru masuk GRII Melbourne, dan satu hari tiba-tiba dia mau membeli mobil saya. Saya langsung merasa “inilah tangan Tuhan!” Satu malam kami akhirnya close deal lewat telepon, besok tinggal antar mobilnya. Tutup telepon. Saya lompat-lompat seperti orang gila, “terima kasih Tuhan”. Tidak sampai 5 menit telepon bunyi lagi, Pak Budi di seberang sana, nada bicaranya sudah tidak enak. Dia bilang, “Jet, setelah bicara sama istri, sepertinya belum saatnya untuk beli mobil; kamu tidak apa-apa ‘kan…” Ini sebenarnya bukan penderitaan hebat, tapi saya langsung tanya dalam hati, “Apa-apaan Tuhan, di mana Engkau dalam semua ini??”
Kita harus mengakui, kita bisa meletus dalam hidup ini. Mengapa? Karena kita seringkali bukan menyembah Allah, melainkan sedang memperhamba Allah untuk mendapatkan hal-hal yang bukan Allah. Alasan kita meletus seperti Ayub dalam hidup ini, adalah karena kita menemukan kenyataan bahwa hal-hal itu tidak ada.
Jadi, bagaimana Allah bisa membuat kita jadi hamba-hamba yang sejati? Bagaimana saya bisa diubah oleh Allah, menjadi orang yang lebih menghambakan diri kepada Tuhan? Ya, lewat kejadian seperti tadi. Lewat hal itulah Saudara –bukan cuma saya—bisa belajar apa artinya kehambaan yang sejati. Lewat penderitaan dan kekecewaan itulah saya bisa dibentuk Tuhan jadi orang yang lebih mengerti tujuan saya ada di dunia ini. Bukan untuk bel Tuhan supaya Dia datang menolong saya, karena sayalah hambanya, bukan Dia.
Sekali lagi Saudara melihat, bagaimana Allah melakukan semua ini? Yaitu lewat penderitaan dan kekecewaan; cara yang persis Iblis mau pakai untuk membongkar kepalsuan kehambaan kita. Ini berarti, setiap derita yang terjadi dalam hidup kita adalah mengenai perhambaan. Setiap derita yang Allah izinkan dalam hidup kita, baik karena kesalahan kita ataupun bukan, adalah momen Allah sedang mengalahkan Iblis sedikit demi sedikit, dan membawa kita sedikit demi sedikit menjadi hamba yang sejati, yang akhirnya bisa mengatakan, “Bukan saya yang harusnya menanyai Engkau, Tuhan; bukan saya tuannya dan Engkau hambanya, bukan tempat saya untuk menyuruh Engkau datang, tapi sayalah hambanya dan Engkaulah majikannya.” Itulah kemerdekaan Kristiani. Itulah solusi biblikal terhadap penderitaan. Bukan kemerdekaan dari penderitaan, tapi kemerdekaan untuk merdeka melalui penderitaan. Kemerdekaan dari perhambaan yang palsu. Apakah ini kabar baik buat Saudara? Kecewakah saudara mendengar ini? Waktu saya mengalami peristiwa tadi, saya kecewa berat, tapi sekarang saya tidak kecewa sama sekali di hadapan Tuhan.
Bukan cuma Saudara perlu melihat Firman Tuhan di atas perkataanmu (solusi yang pertama), dan bukan cuma perlu menyadari siapa hamba dan siapa tuannya, dan semua penderitaan yang diberikan Tuhan bukan karena Dia tidak mahabaik, tidak mahakuasa, melainkan justru karena Dia mahabaik, mahakuasa, dan mahabijak sehingga mengizinkan penderitaan untuk mengalahkan tujuan Iblis memakai penderitaan (solusi yang kedua), masih ada solusi yang ketiga. Solusi yang ketiga adalah: Saudara perlu melihat lebih jauh dari Ayub, kepada siapa Ayub menunjuk. Di bagian terakhir tadi kita membaca bahwa Allah menyuruh sahabat-sahabat Ayub bertobat, lalu Ayub ditunjuk untuk berdoa syafaat bagi mereka, memediasi mereka di hadapan Tuhan. Saudara tentu langsung sadar, ini menunjuk kepada siapa.
Ayub berkali-kali mengatakan “aku tidak bersalah, aku orang benar yang menderita, aku telah diputuskan dari hadirat Tuhan”. Di sini kita bisa mengatakan, “Tidak, bukan kamu orangnya, Ayub. Kamu menunjuk kepada Orang itu, karena hanya ada satu Manusia yang sungguh benar namun ditimpakan penderitaan yang Dia tidak patut menerimanya. Hanya ada satu Manusia yang mengasihi Allah dengan segenap hati namun akhirnya nasib-Nya diputuskan dari hadirat Allah. Orang itulah yang sampai hari ini bersyafaat, menjadi pengantara antara kita dengan Allah.” Ibrani 7: 25 mengatakan: Sebab Ia hidup senantiasa untuk menjadi Pengantara mereka.
Dan 2 Korintus 5:21 mengatakan: Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosakarena kita, supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah. Apa artinya? Artinya, bahwa di atas kayu salib, Tuhan Yesus telah membuktikan Elifas salah. Elifas bertanya, “Siapa binasa dengan tidak bersalah?” Jawabannya: Yesus Kristus. Elifas bertanya, “Di mana orang yang jujur dipunahkan?” Jawabannya: Yesus Kristus. Elifas berkata, “Yang telah kulihat ialah bahwa orang yang membajak kejahatan dan menabur kesusahan, ia menuainya juga.” Tapi tidak; Yesus Kristus menuai apa yang Saudara dan saya tabur. Kita menabur dosa, Kristus yang menuainya. Jadi, Tuhan Yesus-lah Ayub yang sejati, the Only Innocent Sufferer.
Tadi kita mengatakan, lewat setiap momen penderitaan kesusahan, Iblis memakai untuk membongkar kehambaan palsu kita, tetapi juga pada saat yang sama Tuhan pakai untuk menjadikan kita hamba yang sejati. Tapi bukan cuma itu cara yang Tuhan pakai untuk menjadikan Saudara dan saya hamba-hamba yang sejati. Tuhan membuat kita jadi kita hamba-hamba-Nya yang sejati, bukan cuma dengan memakai penderitaan kita; ujungnya, cara Tuhan untuk memenangkan hati Saudara dan saya, untuk membuat kita mempertuan Diri-Nya dengan sukarela, untuk kita benar-benar jadi hamba yang sejati, adalah lewat penderitaan-Nya.
Ketika menderita, Saudara perlu kembali mengingat dan mengatakan: “Saya diselamatkan oleh karena penderitaan dari Seseorang, yang tidak patut menderita. Itu sumber keselamatan saya. Dia melakukan itu bagi saya; bukan saya tuannya, Dialah Tuannya; bukan Dia hambanya, sayalah hambanya. Tapi Tuan saya ini telah menderita bagi saya, ini yang menjadikan saya mau setia dalam penderitaan saya, bagi Dia.”
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading