Injil Markus secara umum diantara banyak sarjara dipercayai berakhir pada ayat 8a ps 16. Sebuah akhiran yang aneh mengingat ayat ini tidak terlalu cocok dalam kacamata Holywood kita untuk dijadikan ending sebuah cerita yang kita sukai. Para murid diam karena takut (16:8a); bukankah hal ini sangat bertolak belakang dengan panggilan Injili yang selama ini kita kenal, yaitu menjadi saksi memberitakan Injil hingga ke ujung bumi. Entah Injil ini memang ditulis sedemikian, atau oleh perkenanan Allah bagian yang diberikan Allah untuk dimiliki oleh gereja memang dibiarkan untuk hanya sampai disana, kita tetap bisa membaca akhiran ini dengan pesan tertentu. Jika kita perhatikan dengan seksama; dibandingan dengan kedua Injil sinoptik yang lain, Markus tampak kurang tertarik dengan detil peristiwa, termasuk berbagai profil tokoh-tokoh serta deskripsi maupun perkembangan karakter mereka. Tokoh-tokoh yang dimunculkan adalah tokoh nyata (bukan fiktif) namun diceritakan sedemikian rupa sehingga kita bisa membacanya sebagai sebuah archetype yang mana kita bisa memainkan peran mereka. Berbeda dengan Lukas yang berusaha untuk menyusun sebuah catatan detil mengenai hal-hal yang terjadi seputar Yesus; Markus lebih tertarik untuk menyusun narasinya sedemikian sehingga mengundang pendengarnya mempersonifikasikan baik diri maupun komunitas mereka dengan tokoh-tokoh dalam ceritanya. Menurut seorang penafsir, disini keunikan Injil Markus; ceritanya seperti belum selesai, dan para pendenganya yang diarahkan untuk mengambil peran dalam kisah inilah yang harus melanjutkan kisah yang belum selesai tersebut dalam kehidupan mereka sendiri.
Injil Markus bisa kita bagi menjadi drama 3 babak dimana pelayanan di Galilea sebagai pembukaannya, dilanjutkan dengan perjalanan menuju Yerusalem, setelah itu bagian finalnya adalah pelayanan di Yerusalem. Sebelum pelayanan di Galilea kita melihat ada prolog cerita yang memberikan padang gurun sebagai setting lokasi. Ada Yohanes Pembaptis yang berseru di padang gurun dan setelah itu kita melihat narasi pembaptisan Tuhan Yesus. Dalam peristiwa pembaptisan, kita melihat ada langit terkoyak dan muncul deklarasi bahwa Yesus adalah Anak Allah. Ini merupakan gambaran yang sangat penting dalam Injil Markus. Deskripsi ini diulang secara sangat mirip dalam peristiwa kematian Yesus Kristus diatas kayu salib dimana ada tabir bait suci yang terbelah (dalam bahasa Yunani, kata yang dipakai untuk terkoyaknya langit dan terbelahnya tabir memakai kata yang sama) dan seorang kepala pasukan yang berkata bahwa Yesus adalah Anak Allah (15:38-39). Deklarasi kedatangan Anak Allah sangat penting bagi orang-orang Yahudi yang mengharapkan kedatangan Mesias. Hal tersebut mudah untuk kita mengerti ketika kita melihat dalam Mzm 2. Dalam “Mazmur Raja” tersebut kita melihat gambaran Allah yang perkasa, Allah dan Mesias-Nya akan berjaya dan mengalahkan para musuh. Allah mendeklarasikan Anak-nya dan diikuti dengan janji ditaklukkannya bangsa-bangsa (Mzm 2:7-9). Bagi orang Israel yang telah lama berada dibawah kekuasaan asing, terkhusus mereka yang terus setia mendambakan janji Allah dalam perkataan para nabi tentang pemulihan melalui Mesias; penantian akan hadirnya Anak Allah adalah hal yang sangat sentral dalam hidup mereka. Dan hal inilah yang menjadi “kabar baik”, inilah Injil.
Langit terkoyak; dalam kosmologi yang mereka percayai, langit adalah semacam tirai pemisah antara wilayah Allah dengan wilayah manusia. Demikian juga tabir bait suci (yang memisahkan ruang kudus dan maha kudus). Yudaisme mempercayai bahwa ruang maha kudus adalah ruang yang mana Allah berkenan untuk berdiam. Memang mereka percaya bahwa Allah ada di sorga, langit sekalipun tidak sanggup untuk memuat Allah; namun bagaimanapun juga, ruang maha kudus tetap merupakan ruang khusus dimana Allah berkenan untuk berdiam. Dalam hal ini kita melihat bahwa koyaknya langit (pemisah antara wilayah Allah dan manusia) memiliki konsep yang sama dengan terbelahnya tabir bait suci. Hal ini dikuatkan dengan keluarnya sebuah deklarasi bahwa Yesus adalah Anak Allah di kedua kejadian tersebut. Inilah Injil Yesus Kristus (Mesias), Anak Allah (1:1), yaitu bahwa kehadiran Allah kini akan memenuhi umat-nya. Dalam kitab Yehezkiel (ps 10) kita melihat bahwa Allah telah pergi meninggalkan bait suci, meninggalkan umat Israel, namun suatu hari Dia akan kembali. Kembalinya Allah hadir diantara umat tersebut sangat mereka harapkan, mereka berdoa sekian lama untuk hal tersebut, dan kita mendapati jawabannya hadir dipermulaan Injil Markus ini. Namun yang menjadi ironi adalah pernyataan Anak Allah, kisah terbelahnya tabir, cerita tentang kehadiran Allah yang telah demikian lama diharapkan tersebut ternyata oleh mayoritas masyarakat Yahudi pada waktu itu sangat ditentang, ditolak dan puncaknya sampai pada pembunuhan Yesus, sang Anak Allah sendiri diatas kayu salib. Ironis, mereka yang mungkin setiap hari berdoa tentang kedatangan sang Anak Allah, besar kemungkinan ketika merayakan Hanukah, mereka mengaitkan keperkasaan keluarga Makabe dengan pengharapan akan Anak Allah, dan tentu dalam perayaan akbar Paskah mereka akan sangat mengaitkan kehadiran sang Mesias, sang Anak Allah; mereka menantikan Allah kembali bekerja dengan hebatnya, kembali menjadi raja di Sion (Yes 52:7). Dan kini kita melihat sebuah deklarasi besar bahwa Allah sudah kembali datang dalam Yesus sang Anak Allah, dan hal tersebut diresponi dengan pembunuhan Yesus, sang Anak Allah. Apa yang terjadi disini, apakah mereka bodoh, atau justru mungkin itu adalah hal yang sama yang akan kita lakukan dan sebenarnya dalam derajat yang berbeda sedang kita lakukan pada masa kita???
Dalam beberapa bulan ini gereja kita banyak merenungkan tentang kehadiran dan ketidak hadiran Allah. Kita merayakan, kita berdoa, kita berharap akan kehadiran Allah; kita takut ditinggalkan Allah. Hal tersebut persis dengan masyarakat Yahudi pada masa Yesus. Namun mendambakan Allah seperti mereka ternyata berujung pada penolakan keras akan Diri Allah sendiri dalam Yesus Kristus. Untuk itu kita perlu melihat sebenarnya bagaimana kita memandang kerinduan akan kehadiran Allah. Dalam Alkitab, kita mengenal beberapa tokoh yang sangat mempedulikan akan kehadiran Allah. Alkitab mencatat beberapa tokoh seperti Musa yang merindukan melihat kehadiran dan penyertaan Tuhan, kita melihat Daud yang sangat juga berhasrat akan kehadiran Allah (dalam tabut Allah), demikian juga Elia yang dalam keadaan tertekan berat berlari ke gunung Horeb untuk bertemu dengan Allah. Namun Alkitab bukan hanya mencatat tokoh-tokoh yang merindukan kehadiran Allah seperti mereka; Alkitab juga mencatat bagaimana masyarakat luas menolak kehadiran Allah yang berbicara dengan mereka karena ketakutan (Kel 20:18-21). Ini menjadi satu kunci yang sangat penting; orang-orang Yahudi pada zaman Yesus sangat mendambakan kehadiran Allah namun hanya dalam gambaran Allah yang sesuai dengan pengharapan mereka. Allah yang akan memenuhi pengharapan yang dikonstruksi oleh penindasan dan sakit hati mereka akan orang asing, kebencian mereka terhadap orang asing, orang lumpuh, kusta, pemungut cukai (dan orang-orang lain yang mereka anggap terkutuk). Namun Allah bukan terutama datang untuk memenuhi keinginan mereka; Allah datang sebagai Raja. Raja adalah Dia yang mengatur segalanya, Raja yang merekonstruksi pengharapan-pengharapan, mimpi-mimpi mereka; bukan memenuhinya. Saat ini sebagai gereja kita banyak berdoa untuk meminta kehadiran Allah, kita berdoa Allah bekerja dengan hebatnya dalam hidup kita. Pertanyaannya adalah Allah macam apa; Allah yang adalah raja atau Allah yang memenuhi pengharapan kita. Sebelum kita kembali meminta dengan sangat akan kehadiran Allah sebaiknya kita terlebih dahulu memikirkan tentang reputasi Allah yang dinyatakan oleh Alkitab.
Allah yang kita kenal dari Alkitab adalah Allah yang mengasihi, Allah yang mulia, Allah yang setia. Allah sedemikianlah Allah yang kita harapkan; Allah yang mengampuni dosa, Allah yang menerima kembali orang-orang biasa dan bahkan berdosa seperti kita. Namun Alkitab bukan hanya memiliki gambar manis sedemikian tentang Allah. Alkitab mencatat perjalanan pahit hubungan Allah dengan umat-Nya. Allah adalah Allah yang membantai tanpa ampun seluruh mahluk di dunia dengan beberapa pengecualian minor saja pada zaman Nuh. Ketika kita melihat film tentang pembalasan dendam, atau film tentang perang dimana terjadi pembunuhan yang kejam kita biasa mengrenyitkan dahi; membacanya sebagai kekejaman yang bersifat sangat negatif. Meskipun jelas berbeda motif; namun kita melihat apa yang dilakukan Allah dalam jangkauannya jelas lebih masif; seluruh bumi (dengan beberapa pengecualian) dibunuh dengan air bah yang sangat dahsyat. Kita juga mengingat bagaimana Allah membombardir kota Sodom dan Gomora dengan api dari langit yang mematikan semua penduduknya dengan Lot plus dua anaknya sebagai pengecualian karena kejahatan mereka. Allah pernah menjatuhkan tulah sehingga 24.000 orang israel dihukum mati, dan murka Allah surut setelah Pinehas menombak seorang Israel bersama perempuan Midian (Bil 25). Kita juga mengingat peristiwa Nadab dan Abihu disambar Tuhan hingga mati, Harun dan miryam yang dihukum Allah; demikian pun musa yang tidak diijinkan Allah menyeberang karena dosa mereka; dalam Perjanjian Baru kita melihat kisah Ananias dan Safira yang juga dibunuh Allah setelah perbuatan dusta mereka terhadap Roh Kudus. Sayangnya gambaran Allah yang dideskripsikan Alkitab sebagai Allah yang keras seperti ini sudah agak lenyap dalam kekristenan kita.dan jika kita bertanya dengan jujur; maukah kita meminta kehadiran Allah yang seperti ini??? Sejujurnya kita mungkin lebih akan mengikuti masyarakat luas Israel yang lebih memilih untuk bertemu dengan hamba Tuhan (Musa) ketimbang dengan Tuhan; dan jika Tuhan yang adalah Raja benar-benar datang dalam hidup kita, mungkin kita lebih memilih untuk menyingkirkannya seperti para tetua Yahudi pada zaman Tuhan Yesus.
Tuhan yang kita harapkan untuk tinggal, untuk diam diantara kita adalah Tuhan yang jinak. Tuhan yang mungkin mulia, namun jinak, dalam pengertian tidak kita ijinkan untuk membuat banyak intervensi dalam kestabilan hidup kita. Seperti anjing pudel yang manis, menyenangkan, menghibur, namun bisa kita tendang kala kita bosan; atau seperti mobih mewah yang sangat bagus, kita berkorban untuknya dengan memberikan berbagai asesori yang mahal, namun tetap diri kita yang memegang kontrol terhadapnya. Ini tuhan yang kita mau, yang bersiap untuk menghibur kita, namun akan rela kita tendang ketika kita sedang asik dengan urusan kita. Namun Allah dalam Injil Markus sama sekali tidak mirip pudel ataupun mobil mewah. Allah datang sebagai raja, Dia datang dan mengambil kontrol atas keseluruhani hidup kita. Perjumpaan-perjumpaan dengan tuhan Yesus dalam Injil markus menjadi perjumpaan yang seringkali mengubah secara drastis kehidupan orang-orang yang dijumpai-Nya. Mulai murid-murid yang meninggalkan pekerjaan mereka sebagai nelayan, berbagai upacara dan peraturan keagamaan Yahudi diterobos dan diatur oleh Tuhan Yesus. Para tetua Yahudi menganggap bahwa bersentuhan dengan orang kusta, menyentuh mayat pasti berakibat kenajisan, namun Yesus menyatakan bahwa Dia adalah Allah yang mengatur, Dia adalah Allah atas peraturan; Dia menyentuh orang kusta, orang mati, disentuh oleh perempuan yang sakit perdarahan, namun bukannya terinfeksi dan menjadi najis namun Dia menjadikan mereka tahir. Bagaimana Yesus memberikan interpretasi otoritatif tentang Sabat juga sangat mengagetkan banyak orang Yahudi dan yang terbesar mungkin adalah bagaimana aksi-aksi-nya didalam dan terhadap bait suci yang sangat keras. Jika kita mengharapkan kehadiran Allah; kita perlu mengingat bahwa Allah Alkitab sama sekali bukan Allah yang jinak, Allah yang mengerti dan toleran. Namun itulah yang kita inginkan, kita lebih suka Allah yang berdiri jauh-jauh dari kestabilan kita. Allah yang akan baik-baik saja jika kita sedikit berdosa, Allah yang akan mengerti kalau kita datang terlambat pada waktu ibadah, mengobrol atau tidak serius ketika menyanyi; Allah yang akan mengerti jika Minggu ini kita ada janjian kontrak kerja; Allah yang akan menunggu kita untuk beribadah sore jika pagi kita malas bangun dan Allah yang akan tetap toleran jika udara sore membuat kita menangguhkan niat untuk beribadah. Jika dalam ibadah kita setiap orang yang terlambat tidak boleh masuk ruang ibadah dan harus beribadah dengan menggunakan televisi di lt 1 tentu kita sangat merasa tidak nyaman; seperti Allah sangat tidak toleran. Injil Markus menyatakan kepada kita bahwa Allah bukanlah Allah yang jinak, yang hanya akan menurut kepada peraturan kita dan memenuhi mimpi kita; Allah adalah Raja dan ketika Dia datang, Dia datang dan memimpin.
Setelah deklarasi bahwa Yesus adalah Anak Allah; Roh membawa Yesus ke padang gurun. Gurun memiliki berbagai nuansa di dalamnya. Pertama adalah nuansa positif; padang gurung mengingatkan akan penyertaan Allah kepada bangsa Israel dipadang gurun selama 40 tahun (bdk dengan Yesus yang berada dipadang gurun 40 hari); Yohanes Pembaptis juga mengawali beritanya dengan setting padang gurun. Namun disini kita juga mendapati nuansa lain; yaitu pencobaan Yesus. Tidak seperti dua catatan Injil Sinoptik yang lain, Markus tidak menaruh perhatian terhadap beberapa pencobaan yang terlihat mencolok, namun kisahnya memberikan indikasi bahwa Yesus mengalami pencobaan secara konstan selama 40 hari tersebut. Hal ini akan menjadi gambaran bagaimana dalam perjalanan Galilea-Yerusalem dalam perjalanan pelayanan Yesus juga secara konstan Dia terus dicobai. Ini menjadi gambaran yang nyata akan kehadiran sang Anak Allah, yaitu peperangan terhadap kuasa setan. Demikian bagi orang percaya; Allah yang datang bukan memberikan kepada kita bulan madu dengan tanah yang penuh susu dan madu; namun membawa kepada kita pengalaman padang gurun dengan peperangan yang berkesinambungan melawan kuasa setan. Terkadang kita hanya memahami peperangan rohani dalam sudut pandang peristiwa-peristiwa besar tertentu; KKR, KPIN, Kebaktian Natal, Seminar dsb. namun jika kita mendekati pencobaan dalam Injil Markus ini kita melihat bahwa kehadiran Allah dalam hidup kita berarti kita bersiap untuk secara konstan mengalami pencobaan; terkadang pencobaan besar yang cukup mudah kita kenali, namun terkadang peperangan rohani yang bahkan tidak kita sadari. Kita menyadari peperangan rohani dalam KKR besar, namun kita tidak menyadari peperangan rohani dalam persekutuan doa sebulan sebelum KKR. Kita tidak menyadari peperangan rohani dalam interaksi kita dengan sesama, dengan pekerjaan, ketika kita dikuasai emosi dan kemarahan dsb. Kita perlu menyadari ketika Allah menjadi datang sebagai Raja; Dia menempatkan kita didalam peperangan menghadapi kuasa setan.
Setelah itu kita mendengar seruan Yesus akan pertobatan di Galilea. Seruan untuk percaya kepada injil; percaya bahwa Allah telah hadir dan kehadiran Allah adalah kehadiran yang mengubah kehidupan kita. Perubahan hidup ini seringkali tidak bisa kita nyanyikan dengan riang perubahan ajaib terjadi dalamku sejak Yesus dihatiku… namun perubahan yang diiringi dengan pergumulan hebat ketika zona-zona aman kita diobrak abrik Allah. Kehadiran Raja yang disambut pada puncaknya dengan siasat para tetua yang menghadirkan kayu salib, atau disisi sebaliknya memaparkan Simon yang menyangkal dengan lebih cepat ketimbang kokokan ayam (menyangkal 3x selagi ayam berkokok 2x), atau para murid lain yang telah terlebih dahulu tunggang langgang ketika Yesus ditangkap (14:50). Benarkah kita menginginkan kehadiran Allah; Allah yang adalah Raja yang mengatur kita, yang akan membawa perubahan dalam hidup kita??? Kita mengakhiri cerita Injil Markus dengan ketakutan, ketidaksiapan, pergumulan; sejujurnya inilah yang mungkin kita alami. Namun setelah kebangkitan Yesus; ada berita khusus bagi para murid dan Petrus (16:7); mereka harus kembali ke Galilea. Galilea, tempat awal dimana kita akan mendengarkan kembali seruan menantang Juruselamat kita Bertobatlah, percayalah kepada Injil. Percaya bahwa Allah telah hadir, dan siap untuk memimpin; kita, gereja Tuhan masa kini akan menapaki kembali babak-babak hidup kita dengan dipimpin oleh Allah; kiranya Allah menguatkan kita dalam menghidupi apa yang telah kita doakan; datanglah kerajaan-mu, jadilah kehendak-Mu.
GOD be praised!!!
Ringkasan khotbah ini sudah diperiksa oleh pengkhotbah (KK)