Hari ini adalah Minggu Jubilate menurut kalender Gereja. Jubilate adalah “bersukacitalah, bersorak-soraklah, bagi Tuhan”. Kita merenungkan dari Injil Yohanes, perikop yang terkenal, pasal 15: 1-12, sedikit kaitan dengan tema Jubilate.
Bagian ini adalah “Seven Great I AM” yang terakhir dalam Injil Yohanes, “Akulah pokok anggur yang benar dan Bapa-Ku lah pengusahanya”. Waktu Yesus memberitakan diri-Nya “I am …”, identifikasi yang dipakai adalah hal-hal yang ada dalam kehidupan sehari-hari sehingga pemberitaan ini sederhana, dan terutama menjawab kebutuhan manusia yang paling dasar. Yesus tidak pakai istilah yang muluk-muluk, konsep yang tinggi, filosofi, dsb., sehingga orang tidak bisa langsung mengerti, perlu diterjemahkan, seperti dalam ajaran Gnostik misalnya. Bidat mula-mula sangat khas dalam pengajarannya yang selalu ada meaning behind the text, sehingga orang harus menggali lebih dalam, dan yang bisa mengerti hanya kelompok elit seperti ahli Taurat, teolog, dsb., bukan orang biasa. Satu kelebihan yang tidak dapat dipungkiri, bahwa Yesus menggunakan bahasa sehari-hari sehingga orang sesederhana apapun bisa mengerti. Yesus tidak berusaha “mengesankan” pendengar-Nya, Dia pintar, logos, yang paling tinggi, sehingga orang-orang harus berusaha “naik” ke ketinggian tsb., sebaliknya sejak pasal pertama Injil Yohanes, kita mendapati Logos itu “turun”, Logos itu ber-inkarnasi. Waktu Yesus menyebut diri-Nya “pokok anggur”, jelas metafor sederhana ini bisa dimengerti semua orang zaman itu.
Mengapa Yesus menyebut diri-Nya pokok anggur? Kita percaya waktu Yesus memberikan pengajaran, pastinya adalah yang Dia terima dari Bapa, yang supranatural; tapi di sisi lain ada dimensi konteks. Maka waktu Yesus mengajarkan kalimat ini, sebenarnya developing tradisi apa?
Ada beberapa penafsiran. Dalam New Testament Scholarship ada satu cabang yang disebut Studi “Historical Jesus” (Yesus Sejarah); memang studi ini biasa dikembangkan orang-orang Liberal, kita tentu tidak harus mengikuti semua konklusinya, tapi ada banyak yang insightful. Menurut studi ini ada beberapa fase, dan saya hanya akan menyebut 2 fase terakhir, salah satunya yang dikembangkan oleh teolog Rudolf Bultmann. Bultmann berusaha menyelidiki konteks Yohanes dalam kaitan dengan agama-agama di sekitar pada saat itu, khususnya Gnosticism. Dalam zaman Bultmann, banyak orang berusaha menggali kedekatan/ kemiripan Injil Yohanes dengan Gnosticism, dan indeed ada kemiripan. Ada satu kutipan dari Mandaean literature, yang kira-kira seperti ini: “I am a tender vine … and The Great Life (maksudnya Allah) was my planter “. Dan satu lagi: “We are a vine of life, a tree on which there is no lie … from the odour of which each man receives life.” Saudara lihat, bagian pasal ini mirip sekali dengan ajaran dalam Gnosticism. Tentu Saudara tidak perlu masuk pada kesimpulan bahwa Yohanes mengambil ajaran dari Gnosticism, lalu dicocok-cocokkan dengan kehidupan Yesus; itu pandangan liberal yang kita tidak mungkin terima. Tapi secara positif, seandainya studi ini bisa diterima, maka gambaran yang oleh dunia/ kepercayaan lain dianggap sebagai certain mitos, ternyata itu menjadi kenyataan dalam pribadi Yesus. Orang boleh saja mengatakan “I am apa”, tapi itu ajaran Gnostik yang cuma mitos, sedangkan Yesus mengatakan bahwa Dia-lah pokok anggur yang sesungguhnya. Ada banyak paralel lain, salah satunya waktu Yesus di Kana dan mengubah air menjadi anggur, ini ada kecocokan dengan mitos Dionysios yang gambarannya juga tentang anggur. Jadi di sini ada kepentingan misiologis, Yesus menyatakan diri-Nya sebagai The True Dionysios. Bagian lain yang paling jelas yaitu pasal 1 tentang firman/ logos. Ancient Greek Philosophy sudah bicara tentang logos dari kapan-kapan, tapi Yohanes menggunakan istilah “logos” ini sebagai logos yang menjadi daging. Logos mereka tidak pernah menjadi daging, cuma ada di dunia pikiran/ ide; sedangkan Logos yang diberitakan Yohanes adalah Logos yang diam bersama-sama dengan Allah dan menjadi daging, inkarnasi. Maka kalau kita menerima tafsiran Bultmann ini, waktu dikatakan “Akulah pokok anggur yang benar dan Bapa-Ku lah pengusahanya”, artinya ada certain counter terhadap Gnosticism, redeeming konsep yang sudah disajikan oleh Gnosticism.
Tafsiran lain yang lebih biblikal melihat kontinuitas antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru; dalam studi Historical Jesus yang paling akhir, mereka mencari ke-yahudi-an Kristus. Jika pada zaman Bultmann mereka mencari kaitan dengan agama yang ada di sekitar, maka dalam zaman yang paling up dated ini mereka mencari kaitan Yesus dengan Yudaisme, Second Temple Judaism, Old Testament, dsb. Memang kalau kita membaca dalam Perjanjian Lama, Israel seringkali digambarkan sebagai kebun anggur atau anggur (Hos 10, Yes 5, Yer 2, Yeh 15, dan beberapa ayat lainnya), yang sedang digarap oleh Yahweh.
Dalam tradisi Perjanjian Lama, seringkali yang dinyatakan tentang Israel sebagai kebun anggur adalah kalimat-kalimat penghakiman. Tuhan menuntut Israel berbuah, tapi tidak berbuah, lalu Tuhan memberikan penghakiman. Tapi dalam Yohanes 15, pengertian sentral-nya lebih pada keselamatan daripada penghakiman. Yesus menyebut diri-Nya sendiri sebagai pokok anggur; Yesus seperti “The True Israel”. Yesus mengganti konsep “Israel” dengan “diri-Nya” sendiri. Gambaran ini tidak asing dalam Injil, misalnya ketika Yesus dicobai di padang gurun 40 hari, itu jelas paralel dengan Israel 40 tahun berada di wilderness, dicobai, lalu gagal. Yesus seperti Israel yang dicobai, Dia taat, sehingga Dia digambarkan sebagai The True Israel. Maka waktu Dia menyebut diri-Nya “Akulah pokok anggur yang benar dan Bapa-Ku lah pengusahanya”, Yesus yang adalah Anak Allah yang tunggal, sementara Israel disebut anak-anak Allah/ children of Jahweh di dalam Perjanjian Lama, ada kaitan tipologi Israel dan Yesus. Dan dalam bagian yang kita renungkan hari ini, kalimat-kalimatnya adalah undangan untuk percaya, tinggal di dalam Kristus; meskipun toh masih ada elemen penghakimannya.
Ayat 2: “Seperti ranting pada-Ku yang tidak berbuah, dipotong-Nya dan setiap ranting yang berbuah, dibersihkan-Nya, supaya ia lebih banyak berbuah”, di sini ada 2 kemungkinan: kita berbuah atau tidak berbuah. Yang tidak berbuah, dipotong; yang berbuah, dibersihkan supaya lebih banyak berbuah. Dalam kekristenan tidak ada keadaan “mandek”, yang ada adalah kita merosot atau bertumbuh. Keadaan yang stuck –tetap dalam posisi– tidaklah realistis, karena dunia ini so powerful menggeser kita. Saya pernah ada pengalaman nyasar di bandara. Karena buru-buru sudah terlambat, salah turun eskalator masuk satu ruangan lalu tidak ketemu eskalator yang balik naik ke atas. Tidak tahu juga pintu keluar di mana karena terlalu panik. Akhirnya saya bersama papa saya, terpaksa balik ke atas lewat eskalator yang turun, melawan arah. Betul-betul setengah mati, karena eskalator itu turun dan kita naik, seperti fitness level atas, lagipula sambil bawa koper. Terakhir saya sudah tidak kuat dan mulai terbawa ke bawah, lalu saya teriak-teriak kepada orang asing yang di atas –itu di Jerman– yang kelihatan sudah jengkel sekali lihat saya naik eskalator terbalik, “Tolong terima koper saya!” Dengan jengkel dia terima kopernya dan saya berhasil sampai di atas. Papa saya mulanya lumayan bisa naik, tapi sampai tengah mulai “break even”, dia tidak naik tidak turun karena kecepatannya kira-kira sama, jadi jalan di tempat, setelah itu dia mulai tergeser ke bawah, makin turun makin turun dan sampai di bawah kembali. Dia tidak mau coba lagi; ternyata di bawah ada pintu keluar yang kita tidak lihat tadi. Mempertahankan “break even” dalam kehidupan spiritual hampir tidak mungkin, kalau pun bisa, ya seperti pengalaman eskalator tadi, satu menit saja, setelah itu tergeser turun, karena “eskalator dunia” yang turun ke bawah jauh lebih deras daripada kemampuan kita untuk naik ke atas. Kecuali kita dengan kekuatan Tuhan, baru bisa melawan arus. Kalau dengan kekuatan sendiri, tidak mau tinggal di dalam Kristus, kita akan terbawa ke bawah. Tidak ada kekuatan. Manusia, either berbuah bertumbuh, atau tidak berbuah dan makin lama makin turun, tidak akan mempertahankan status quo; tidak akan mempertahankan keadaan yang “nantilah, sekarang masih belum waktunya bertumbuh jadi sementara saya di sini dulu”, karena nyatanya tidak “di situ dulu” tapi turun terus, yang tidak berbuah makin lama makin turun dan makin turun. Yang berbuah juga tidak bisa stuck, tapi dibersihkan Tuhan sendiri sehingga berbuah lebih banyak, gambaran berbuah yang tetap segitu terus juga tidak realistis menurut Alkitab. Yang berbuah akan berbuah lebih banyak, yang tidak berbuah akan semakin tidak berbuah. Keadaan statis tidak berubah itu tidak ada dalam Alkitab.
Yesus mengatakan dalam ayat 3, kalimat yang positif ini: “Kamu memang sudah bersih karena firman yang telah Kukatakan kepadamu.” Tadi Yesus membicarakan tentang yang berbuah dibersihkan sehingga lebih banyak berbuah; yang membersihkan adalah firman. Firman yang diterima, direnungkan, dan dilakukan, itulah yang membuat orang bertumbuh.
Ayat 4: “Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku.” Bahasa sangat khas dalam kosakata Yohanes, yaitu “tinggal”, dwelling. Yesus seperti dwelling place, dan kita tinggal di dalam-Nya. Bahasa ini juga dipakai antara Sang Anak dan Sang Bapa, Bapa tinggal di dalam Anak dan Anak tinggal di dalam Bapa; mutual indwelling between The Father and the Son ini dibuka bagi kita dalam perkataan “Tinggalah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu”. Seperti Bapa tinggal di dalam Anak dan Anak tinggal di dalam Bapa, maka kita yang adalah murid-murid Kristus, tinggal di dalam Kristus dan Kristus di dalam kita. Manusia membutuhkan ruang; ruang dalam pengertian literal tapi juga dalam pengertian kehidupan, yaitu ruang untuk bergerak. Dalam mazmur ratapan, waktu pemazmur bicara tentang ketersesakan pasti pengertiannya bukan berdesak-desakan, tapi gambaran metaforik yang meminjam istilah ruang untuk menggambarkan kehidupan yang tidak bisa gerak, tidak bisa move on, tidak bisa lanjut, stuck dalam keadaan tersesak. Ketersesakan perlu solusi: ruang gerak. Yesus digambarkan sebagai “ruang”, kita bisa tinggal di dalam Dia dan Dia tinggal di dalam kita, ini metafor yang menyatakan “saling”. Kita tinggal di dalam Yesus artinya Yesus adalah ruang gerak kita, kita bisa bergerak dan mengalami kebebasan yang sejati di dalam Dia. Di luar Kristus kita tidak menikmati kebebasan itu, meski kelihatannya bebas padahal tidak bebas, kita ditipu Iblis seperti kejatuhan dalam Kejadian 3 yang sebenarnya satu pembalikan.
Si ular tua mengatakan bahwa kalau kamu makan, matamu akan terbuka/ opened; tapi kenyataannya justru blinded, by sin, buta bukan terbuka, dalam pengertian spiritual. Dan di situ Setan mengubah konsep tentang Allah dengan gambaran Allah yang narrow hearted, narrow minded; kalimat pertama yang dikatakannya: “Bukankah Allah mengatakan, kamu tidak boleh makan semua dari pohon di dalam taman ini, kan?” Allah mengajarkan: “Semua boleh makan kecuali satu”, tapi setan mengatakan “semua tidak boleh makan”. Ini bukan sekedar mengajarkan pembalikan, tapi pembalikan yang mau merusak God’s picture, merusak pengertian akan Allah, bahwa Allah itu hati-Nya sempit, tidak memberikan kebebasan tapi memberikan penjara kepada manusia. Coba lihat, Allah tidak kasih kamu makan semuanya, ‘kan? Semuanya tidak boleh ‘kan dalam kekristenan? Kamu diberikan jalan yang sempit sekali ‘kan? Ketersesakan untuk kamu ‘kan? Tidak ada ruang untuk gerak ‘kan? Ya itulah Allahmu. Dibalik semuanya, agama “tidak boleh”, ini lebih mirip ajaran setan daripada ajaran Alkitab.
Yesus adalah ruang, karena kita bisa tinggal di dalam-Nya, “tinggallah di dalam Aku”; dan “Aku di dalam kamu”; bukan cuma tinggal di dalam Yesus dan Yesus sebagai ruang gerak, tapi Yesus sendiri juga masih bisa bergerak di dalam kita karena kita juga dwelling place Yesus. Paulus mengatakan bahwa kita ini bait Roh Kudus, temple of God, kita ditinggali oleh Allah sendiri. Waktu “kita tinggal di dalam Allah”, kita bisa merenungkan bahwa di dalam Allah saya bisa bergerak, saya bisa berkarya, saya bisa melakukan kehendak-Nya, saya menikmati kebebasan yang sejati, dst.; tapi waktu dibalik “Tuhan tinggal di dalam kita”, apakah kita hospitable enough terhadap Tuhan? Kita menyediakan ruang atau tidak? Lagu himne klasik yang biasa dinyanyikan waktu Natal, mengatakan bahwa Yesus waktu lahir, Maria dan Yusuf tidak mendapatkan ruang, kemudian dikatakan “mari kita menjadikan hati kita ruang supaya Tuhan bisa tinggal”. Indah sekali lagu itu, mengontraskan Yesus waktu datang ke dunia tidak ada ruang, nobody is hospitable; kemudian kita seharusnya menyediakan diri kita sebagai ruang supaya Yesus bisa tinggal. Dan sungguh kontras, sementara waktu Yesus datang ke dunia tidak ada ruang untuk Dia, tapi dalam Yoh14 Yesus mengatakan, “Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal. Aku pergi ke situ menyediakan tempat bagimu.” Kita bergerak di dalam Tuhan, tapi Tuhan juga bergerak di dalam kita.
“Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku”, gambaran yang dipakai cukup jelas, kalau ranting tidak tinggal dalam pokoknya, dari mana bisa mendapat nutrisi, akan makin kering, patah. Sekali lagi, tidak ada gambaran yang statis. Orang yang semakin menjauhi Tuhan, tidak ada selera rohani, makin lama pasti makin kering. Manusia tidak akan tahan kekeringan. Lalu waktu tidak mendapatkan air hidup yang sejati, dia akan mencari air di tempat lain, akhirnya mendapatkan air yang palsu dari sumber-sumber palsu yang seperti memberi kesegaran dan kesejukan, tapi justru membuatnya lebih haus dan lebih kering lagi karena tidak mendapatkan kepuasan yang sesungguhnya. Kecuali ia kembali kepada Tuhan.
Ayat 5: “Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa.” Yohanes bukan memberikan kalimat “kalau kamu tidak tinggal di dalam Aku, kamu tidak terlalu efektif”, Yohanes juga bukan pakai istilah “kalau kamu tidak tinggal di dalam Aku, kehidupanmu kurang maksimal”. Yohanes pakai istilah yang tegas sekali: kalau tidak tinggal di dalam Kristus, kamu tidak dapat berbuat apa-apa. Kita bisa keberatan dengan kalimat itu, “Masa sih orang tidak tinggal dalam Yesus tidak bisa berbuat apa-apa? Buktinya ada banyak orang tidak percaya juga sukses tuh kehidupannya”. Dari perspektif surga, itu sama sekali nothing, karena yang tidak dibangun bersama Tuhan, itu nothing. Menara Babel itu seperti something –bagi mereka everything– tapi di hadapan Tuhan nothing. “Bangunan” manusia, yang tidak dibangun bersama Tuhan, yang Tuhan tidak share di dalamnya, itu totally useless, suatu saat akan hancur dan tidak ada gunanya.
Waktu kita baca ayat 6: “Barangsiapa tidak tinggal di dalam Aku, ia dibuang ke luar seperti ranting dan menjadi kering, kemudian dikumpulkan orang dan dicampakkan ke dalam api lalu dibakar”. Di bagian ini biasa timbul pertanyaan: Apakah maksudnya keselamatan bisa hilang? Orang yang sudah percaya bisa dibuang lagi kalau tidak berbuah? Atau ini dimengerti secara komunal, membicarakan tentang Israel? Kita tidak perlu terlalu menyelidiki bagian ini secara dikarenakan ada istilah “api” lalu kita kaitkan dengan neraka, karena itu sudah masuk ke dalam tafsiran alegoris. Simply enough untuk mengatakan bahwa ini gambaran ranting yang useless, tidak berguna. Sangat realistis ketika orang menggarap kebun anggur, ranting yang tidak berbuah betul-betul akan dipotong karena tidak ada gunanya, menarik nutrisi tanpa menghasilkan apa-apa, sementara ranting-ranting yang berbuah harus share nutrisi dengan yang tidak berbuah itu; dan ranting itu dipotong, dicampakkan ke api, dibakar. Artinya, simply uselessness, tidak berguna, menerima anugerah dengan cuma-cuma tapi tidak ada yang dihasilkan, tidak berbuah.
Anugerah itu cuma-cuma, tapi bukan berarti yang menerima tidak perlu bayar. Ini logika yang sepertinya tidak masuk sepenuhnya, “Katanya gratis, setelah saya pegang disuruh bayar, ini namanya munafik dong.” Sebanarnya Tuhan tidak pernah minta kita membayar, tapi yang menerima harusnya tahu diri, itu namanya bersyukur. Waktu sepuluh orang kusta disembuhkan, Yesus tidak pernah pesan, “Lu nanti kalau sembuh, jangan lupa bilang terima kasih”. Tidak perlu, orang harus tahu sendiri untuk bilang “terima kasih” kecuali anak kecil. Sayangnya, yang 9 orang betul-betul “anak kecil”, mereka tidak berterima-kasih, hanya 1 yang kembali kepada Yesus dan memuliakan Allah. Terima kasih tidak perlu diajarkan, orang yang tahu diri akan tahu berterima-kasih. Sama dengan itu, orang yang menerima anugerah, gratis, harus tahu diri bahwa anugerah yang diberikan cuma-cuma itu harus dibayar kembali; yang memberi anugerah tidak perlu kasih tahu. Tapi “perlu bayar” ini bukan artinya kepura-puraan, seolah tidak tulus memberinya, gratis tapi ternyata tidak gratis juga. Tetap gratis, dalam pengertian bahwa yang kita bayar tetap tidak setimpal dengan pengorbanan yang Tuhan lakukan untuk kita. Masih selalu lebih besar pengorbanan Tuhan, tapi perasaan berhutang membuat kita membayar yang tidak harus dibayar itu. Itulah orang-orang yang sangat diberkati.
“Dicampakkan ke dalam api lalu dibakar” artinya orang-orang yang menerima anugerah dan tidak menghasilkan apa-apa, memang lebih baik dipatahkan ranting-ranting itu. Konsep hidup manusia sebagai alat yang dipergunakan, tidak tentu menyenangkan semua orang. Banyak orang tidak ingin jadi pegawai, inginnya jadi enterpreneur. Menjadi pegawai seperti merasa di-instrumentalisasi, saya ‘kan bukan instrumen; tapi giliran jadi bos, dia yang meng-intrumentalisasi orang lain. Akhirnya tidak lepas dari filosofi instrumentalisasi, hanya persoalannya “siapa” yang di-instrumentalisasi. Inilah keadaan manusia yang berdosa. Tapi yang saya mau katakan adalah: hidup manusia di hadapan Tuhan, justru kehidupan yang paling dignified ketika ia di-instrumentalisasi Tuhan, secara positif. Kalau menolak bagian ini, ya, Saudara musti gumulkan bagaimana caranya jadi tuhan. Manusia adalah manusia, karena dia bukan Tuhan, lalu dalam kaitan ini: Tuhan yang memakai kita bukan kita yang memakai Tuhan, kita tidak mungkin meng-instrumentalisasi Tuhan. Orang yang dipakai oleh Tuhan itu bahagia. Kalau kita menolak digunakan oleh Tuhan, “saya pikir, kayaknya saya ada karakter enterpreneur, di hadapan Tuhan saya enterpreneur juga; saya bukan pegawainya Tuhan, saya bukan hamba, saya ini rekan atau sesama bos, partner dagang dengan Tuhan, sama level”, maka ya sudah, berarti kita tidak berguna seperti ranting yang menerima anugerah gratis, tapi tidak bisa dipakai lalu dibuang, dibakar, dalam pengertian tidak bisa dipakai oleh Tuhan.
Ayat 7: “Jikalau kamu tinggal di dalam Aku dan firman-Ku tinggal di dalam kamu, mintalah apa saja yang kamu kehendaki, dan kamu akan menerimanya”, karena orang yang seperti ini akan mempunyai passion, desire, yang pastinya untuk Kerajaan Allah, bukan untuk menyenangkan dirinya tapi seturut dengan kehendak Tuhan. Maka yang didoakan seturut kehendak Tuhan itu pasti dikabulkan, karena Tuhan sendiri menghendakinya. Kita tidak mengatakan bahwa begitu berdoa langsung Tuhan kabulkan, karena ada saatnya, bahkan frequently, kita perlu perseverance termasuk juga dalam hal kehendak Tuhan yang pasti dikabulkan. Intinya, permintaan kita menjadi permintaan yang tidak sia-sia karena meminta menurut isi hati Tuhan. Rahasia doa yang selalu dikabulkan, yaitu waktu kita tinggal di dalam Kristus, firman Kristus juga tinggal di dalam kita. Suatu kebahagiaan kalau kita bisa meminta yang pasti dikabulkan Tuhan. Ada satu penulis tentang doa, mengatakan satu kalimat yang menghibur: Alkitab memang mengatakan bahwa sebelum kita doakan, Tuhan sendiri sudah tahu; tapi, waktu kita berdoa sesuai kehendak-Nya, sesuatu yang betul-betul yang akan Dia berikan kepada kita, sesuatu yang betul-betul adalah kebutuhan kita, Tuhan sendiri jauh lebih passionate untuk mengabulkan doa kita, melebihi keinginan kita mendapatkan yang kita doakan itu.
Tuhan sudah siap mencurahkan berkat-Nya lebih daripada passion kita mendoakan hal itu. Tapi dalam kenyataan, kita seringkali berpikir “Koq nggak begitu ya, dalam hidup saya? Saya minta terus tapi Tuhan bilang ‘nanti’, setiap kali begitu. Tuhan kayaknya dingin sekali, selalu mau melatih saya untuk menunggu, lalu ada jawaban yang ‘tidak dikabulkan’ dsb.“ Dan seperti Hawa, gambaran kita tentang Tuhan pelan-pelan mulai rusak. Ada istilah delayed gratification, artinya satu kesenangan yang di-pending dengan harapan ketika mencapai titik klimaks, kepuasannya melampaui kalau hal itu diberikan terlalu early; misalkan Saudara ingin makan, ditahan-tahan sampai lapar sekali, lalu waktu makan terasa enak sekali. Dalam kekristenan mungkin orang konsepnya seperti ini juga, bahwa Tuhan memberikan pengalaman delayed gratification –yang bisa dijelaskan juga secara teologis– Tuhan mau menunggu sampai titik klimaks; tapi masalahnya, tidak klimaks-klimaks dan justru antiklimaks. Dalam kehidupan saya, saya tidak makin klimaks makin ingin, tapi saya malah makin loyo, saya tidak tertarik lagi mendoakan hal itu, bolak-balik ditolak oleh Tuhan, ini nggak boleh itu nggak boleh, ditunggu-tunggu tapi semuanya delayed gratification atas nama pembentukan, proses, dsb. Akhirnya kita jengkel kepada Tuhan. Ini keliru. Gambaran yang lebih benar dalam Alkitab adalah Tuhan lebih siap memberikan yang Dia memang mau berikan kepada kita. Persoalannya, yang tidak siap itu kita, bukan Tuhan. Bangsa Israel putar-putar terus selama 40 tahun tidak masuk-masuk Kanaan, yang menurut perhitungan harusnya 8 -11 hari perjalanan sudah sampai. Bisa bayangkan, perjalanan 10 hari jadi 40 tahun, itu apa-apan? Alkitab mengatakan bahwa Tuhan melatih mereka karena mereka tidak siap, bukan Tuhan yang tidak siap.
Maka waktu dikatakan “orang yang tinggal di dalam Kristus dan firman-Nya tinggal di dalam dia, dia boleh minta apa saja, akan diberikan Tuhan kepadanya”, alangkah indahnya kehidupan seperti ini. Doa apa yang dikabulkan selalu? Adalah doa yang menurut firman Tuhan. Saudara baca firman Tuhan dan bisa mendoakannya. Misalkan dari Yoh 15:2, kita bisa mendoakan supaya kita bisa menjadi ranting yang tinggal di dalam Tuhan, supaya Tuhan memberikan kita kehidupan yang berbuah, supaya kita ditinggali oleh Kristus dan tinggal di dalam Dia. Doa seperti ini tidak mungkin tidak dikabulkan karena ini firman Tuhan. Tuhan tidak mungkin tidak mengabulkan firman-Nya. Tapi kita tidak mendoakan firman Tuhan, kita berdoa hal-hal yang tidak jelas yang adalah God’s sovereign will bukan God’s revealed will. Menurut kita, kurang asyik mendoakan kehendak Tuhan yang dinyatakan. Kita lebih suka berdoa: Tuhan, saya jatuh cinta sama orang itu, tolong berikan kepada saya. Itu tidak ada di Alkitab, tidak ada yang tahu apakah saya musti menikah dengan orang itu, itu God’s sovereign will, God’s mysterious will. Tapi kita lebih tertarik mendoakan yang tidak jelas itu daripada mendoakan yang sudah dinyatakan seperti: Tuhan, berikan kepada saya kekudusan; kemiskinan rohani supaya saya mengerti Kerajaan Allah, kelemah-lembutan supaya saya memiliki bumi, dst. Orang lebih tertarik mendoakan God’s sovereign will, yang bisa ditolak, disuruh tunggu, dsb. sehingga tidak heran perjalanan kehidupan kita begitu, lama-lama malas berdoa. Doa yang tidak mungkin ditolak, pasti dijawab oleh Tuhan, pasti dikabulkan, yaitu berdoa menurut firman Tuhan, karena ayat ini mengatakan: “kamu akan menerimanya”. Persoalannya bukan apakah kita akan menerima atau tidak, tapi apakah kita berdoa menurut firman Tuhan atau tidak?
Termasuk dalam pengertian “berbuah banyak”, yaitu prinsip misiologis: orang yang sudah percaya, dia menyaksikan Kristus, membawa orang untuk percaya kepada Kristus. Tapi berbuah banyak juga dalam pengertian “kasih”. Ayat 9: “Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu; tinggallah di dalam kasih-Ku itu.” Orang yang berbuah adalah orang yang tinggal di dalam kasih. Kasih, menurut Alkitab, adalah yang paling tinggi, lebih tinggi daripada iman, daripada pengharapan, daripada semua Christian virtue yang lain. Orang yang tinggal di dalam kasih, dia tinggal di dalam Kristus. Kasih, termasuk di dalamnya adalah pengampunan. Kasih, termasuk di dalamnya kita memeluk orang lain, yang ternyata berduri, membuat luka, perkataannya tajam, karena itu manusia berdosa. Tapi sebaliknya, orang lain yang memeluk kita juga sama, kita juga berduri dan orang yang memeluk kita juga akan luka. Yesus memeluk orang-orang seperti itu, memeluk kita. Kita yang memakukan Dia, kita yang menusukkan tombak pada lambung-Nya, kita yang melakukan penyiksaan itu. Waktu Yesus memeluk kita, Dia penuh luka, mati, itulah kasih. Kasih dalam kekristenan adalah kehidupan yang berkorban, yang senantiasa berada dalam sacrificial spirit.
Terakhir, ada kaitan antara kasih dan perintah. Dalam pemikiran dunia ini dianggap 2 hal yang bertentangan; orang yang mengasihi, tidak banyak memberi perintah ke orang yang dikasihi. Tapi Alkitab asing dengan konsep yang men-dualisme-kan kasih dan perintah. Sebaliknya, Alkitab mengatakan bahwa yang mengasihi akan menaati perintah. Kekristenan bisa terbagi 2 ekstrim yang sama-sama keliru. Ada yang menekankan kasih, tidak ada perintah dan hukum sama sekali, semua pembicaraan tentang perintah dianggap legalisme. Ekstrim lain adalah legalisme; persoalan legalisme bukan karena mengajarkan perintah-perintah, tapi mengajarkan perintah-perintah yang tidak ada kasih di dalamnya. Bidat Antinomianisme dan bidat Legalisme ini, keduanya hadir dalam gereja mula-mula. Tapi kekristenan yang asli mengaitkan kasih dan perintah, “mereka yang mengasihi Tuhan, menuruti perintah Tuhan” (ini dalam hal ordo yang lebih rendah). Sama seperti Yesus mengasihi Bapa, dengan Dia menuruti perintah Bapa, dalam hal ini Dia tinggal di dalam kasih Bapa. Tidak ada dualisme antara kasih dan perintah, itu menjadi kesatuan yang indah.
Dan baru setelah kita melakukan itu semua, “sukacita Kristus itu ada di dalam kamu, dan sukacitamu menjadi penuh”, jubilate, bersorak-soraklah, bersukacitalah! Karena apa? Karena ayat 1, 2, 3, sampai 11 tadi. Sukacita yang sejati tidak bisa dipisahkan dari yang kita bicarakan sejak ayat pertama. Kiranya Tuhan menolong kita menjadikan kita orang-orang yang berbahagia seturut dengan yang dinyatakan dalam firman-Nya.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading