Kita melanjutkan pembahasan tema “The Hard Sayings of Jesus” (Ucapan-ucapan Tuhan Yesus yang sulit). Hari ini kita membahas ucapan sulit yang ke-5, yang jarang dibicarakan, tapi waktu merenungkannya kita akan mendapatkan satu pengenalan yang sangat penting tentang Tuhan kita.
Dalam bagian ini, kita melihat berita mengenai pertentangan. Ada 2 bagian besar yang akan kita bahas; pertama, tentang ucapan “melemparkan api ke bumi”; dan kedua –yang lebih menohok– ucapan “Aku tidak datang untuk membawa damai, Aku datang untuk membawa pertentangan”. Kalimat ini mungkin paling cocok dibahas setelah kotbah Natal, karena pada saat Natal kita banyak sekali mendengar lagi-lagu maupun kotbah-kotbah yang mengatakan ‘Tuhan Yesus lahir, damai di bumi’, tapi di sini Tuhan Yesus mengatakan ‘itu sangkaanmu saja; Aku datang bukan untuk membawa damai melainkan pertentangan, Aku datang untuk membawa pemisahan, bahkan anggota-anggota keluarga pun akan bertikai gara-gara Aku’.
Sebelum masuk lebih lanjut ke pembahasan, satu disclaimer yang kita perlu bicarakan sejak awal, pertentangan ini adalah pertentangan yang datang dari Tuhan Yesus, dari pemberitaan Injil, bukan pertentangan yang datang dari keegoisan manusia. Ada bahaya ketika membaca bagian ini sementara kita sendiri pun selama ini dicap sebagai ‘trouble maker’, baik oleh orang-orang sekitar kita maupun oleh gereja-gereja lain, lalu kita jadi merasa menemukan ayat yang membuktikan orang Kristen memang benar harus jadi ‘trouble maker’. Itu cara baca yang ngawur sekali, karena yang dimaksud bagian ini adalah pertentangan yang dihasilkan bukan karena manusia, bukan karena dosa, melainkan oleh diri Yesus sendiri serta Injil yang Dia beritakan.
Pertama, kita akan membahas mengenai pertentangan ini (ayat 51 dan seterusnya); mengapa Injil dan diri Tuhan Yesus bisa menghasilkan pertentangan seperti ini? Jawaban singkatnya, yaitu karena natur ajaran/ perkataan Tuhan Yesus sangat bersifat self-centered. Kita bukan mengatakan Tuhan Yesus-nya yang self-centered, melainkan ajaran atau perkataan Tuhan Yesus banyak sekali yang bersifat self-centered, dan inilah yang membawa pertentangan. Apa maksudnya? Bukankah self-centered itu negatif? Kita akan telusuri hal ini.
Dari kalimat jawaban singkat tadi, kita bisa menyadari betapa Tuhan kita sangat unik dibandingkan pendiri-pendiri dan pengajar-pengajar agama di seluruh dunia sepanjang sejarah. Kalau kita perhatikan ajaran pendiri-pendiri agama lain, penekanannya bukan pada diri mereka melainkan pada ajaran yang mereka bawakan. Mereka hampir selalu mengatakan “jangan lihat kepada saya, bukan saya yang paling penting; yang paling penting adalah ajaran yang saya bawa”. Sedangkan Yesus mengatakan “Akulah kebenaran itu, Akulah Allah, Akulah jalannya, Aku ini yang terutama”. Saudara dapat melihat di sini kontrasnya; pendiri-pendiri agama lain seakan mengatakan ‘pendapatmu mengenai aku tidak terlalu penting’ tapi Tuhan Yesus mengatakan “apa pendapatmu mengenai Aku, menurutmu Aku itu siapa –itu yang paling penting”.
Bukan cuma kontras antara Yesus dengan pendiri-pendiri agama lain, tapi bahkan juga kontras antara Tuhan Yesus dengan para nabi, para rasul, dan semua pengajar-pengajar Alkitab yang lain. Yohanes Pembaptis mengatakan “biar aku semakin berkurang”, tapi Tuhan Yesus mengatakan “Anak Manusia harus dimuliakan”. George Withfield mengatakan “biarlah nama Withfield mati diinjak-injak, selama nama Kristus dimuliakan”. Pendeta Dr. Stephen Tong mengatakan “jangan lebih mencintai GRII, jangan lebih mencintai Stephen Tong, dibandingkan mencintai Allah”. Para raksasa iman dalam Kekristenan merasa diri mereka kecil, remeh, dan rapuh, tidak ada artinya, bahkan juga tidak menghiraukan orang lain menganggap diri mereka apa –dan inilah yang justru menjadikan mereka raksasa-raksasa iman. Sedangkan Tuhan Yesus terus-menerus menekankan ‘kamu menganggap Saya apa, itulah hal yang paling penting, itulah yang akan menentukan hidup-matimu’, Dia selalu menanyakan kepada orang: “Menurutmu, siapa Aku ini?”
Kita yang sudah lama jadi orang Kristen mungkin sudah terbiasa dengan model seperti ini, kita tidak menyangka betapa ini sebenarnya agak aneh dan menohok. Kita mungkin mengatakan, “Ya, lumrahlah Yesus mengatakan seperti itu, karena Dia memang Anak Allah.” Itu memang betul, tapi Dia juga Anak Manusia, Dia juga seorang manusia. Seandainya Saudara bertemu dengan Yesus –Manusia itu– secara muka dengan muka, maka Saudara tidak akan menganggap Dia lumrah dan wajar, melainkan Dia ini seorang Manusia yang sepertinya sangat terobsesi dengan diri-Nya sendiri. Kita akan coba telusuri beberapa kasus dalam Alkitab tentang hal ini.
Seorang anak muda yang kaya bertanya kepada Yesus, “Guru, apa yang harus kulakukan untuk mendapatkan hidup kekal?” Tuhan Yesus menjawab, “Jual hartamu, bagikan ke orang miskin, ikut Aku.” Di sini pada dasarnya Tuhan Yesus sedang mengatakan: ‘kamu coba bayangkan dalam hidupmu tidak ada lagi uang, tidak ada lagi barang, tidak ada lagi kuasa, tidak ada lagi apapun, yang ada hanya Aku; mau tidak?’ Berhadapan dengan orang yang mengatakan seperti ini, Saudara mau bicara apa?? Nikodemus, datang malam-malam kepada Tuhan untuk diskusi teologi, dan tidak sampai 5 menit, Tuhan Yesus memotong dengan kalimat yang pada dasarnya mengatakan: ‘sudah cukup bicara teologi, sekarang bicara mengenai Saya; kamu percaya Saya atau tidak? kalau kamu tidak percaya Saya, kamu binasa’. Di bagian lain, Tuhan Yesus mengatakan: ‘kalau matamu membuat engkau jauh dari Aku, yang dibuang mata; kalau tangan dan kakimu membuat kamu jauh dari Aku, yang dipotong tangan dan kaki; kamu harus makan Aku, minum Aku, Aku harus jadi satu-satunya yang paling penting atas hidupmu, Aku harus jadi satu-satunya pendorong kehidupanmu’. Maka tidak heran pada saat itu orang-orang mengatakan ‘siapa yang bisa menerima kalimat sekeras ini’. Bayangkan kalau Saudara mau berteman atau berkencan dengan seseorang, dan baru 5 menit mengobrol, dia mengatakan, “Sudah cukup bicara mengenai kamu, sekarang bicara mengenai saya; menurut kamu, saya ini siapa, saya ini bagaimana, saya mulia ‘kan, saya agung ‘kan; kalau kamu mencintai apapun lebih daripada mencintai aku, hidupmu tidak ada artinya”; lalu apakah Saudara akan mengatakan ‘wow, ini orang keren banget, gua pengen ketemu dia lagi’? Pasti tidak. Saudara tidak akan mengatakan ‘enak lho bicara dengan dia, karena kita tidak perlu bicara apa-apa, kita lepas dari beban harus cerita mengenai diri kita, karena dia terus nyerocos mengenai dirinya, kehebatannya, dsb.’ Kita tidak akan berespons seperti itu; tapi seperti itulah kira-kira Yesus menghadirkan diri-Nya. Tidak ada yang wajar, dan tidak ada yang lumrah dengan kelakuan seperti ini.
Tadi kita mengatakan, bahwa pendiri-pendiri agama tidak ada yang seperti Yesus, tapi sebenarnya ada satu macam yang seperti ini, yaitu pendiri sekte; mereka itulah yang bicaranya tentang diri dan diri. Mereka mengatakan ‘aku ini yang paling penting, aku ini jalannya yang harus kamu turuti, kamu jangan menurut orangtuamu tapi harus menurut aku, itu akan menentukan situasimu dalam kekekalan’. Tapi lihatlah, pendiri-pendiri sekte seperti ini kita tidak tahu namanya siapa, mereka ditertawakan, mereka dibuang, mereka tidak tahan lama, nama mereka lenyap ditelan zaman dan orang tidak ingat lagi, semua nasibnya hanya masuk dalam catatan sejarah –atau bahkan juga tidak. Anehnya, nama Tuhan Yesus, yang juga “megalomania” seperti itu, bertahan ribuan tahun.
Satu hal yang lebih aneh, ketika kita mempertimbangkan bahwa Yesus yang ‘ge-er tingkat dewa’ ini sangat populer di antara orang-orang yang di bawah, orang-orang akar rumput, orang-orang kusta, orang-orang miskin, orang-orang kecil, para pelacur, anak-anak. Sementara yang membenci Tuhan Yesus adalah para pemuka agama, orang-orang yang di atas, yang berkedudukan, yang pegang kuasa dalam masyarakat. Ini aneh kalau dibandingkan dengan yang terjadi dalam masyarakat kita hari ini. Biasanya orang yang selalu bicara mengenai diri, temannya adalah para pejabat politik; mereka itulah para selebriti. Sedangkan golongan akar rumput, orang-orang yang dibawah, biasanya sangat peka dan sangat menghina orang-orang yang megalomania, mereka tidak tertarik dengan orang-orang yang palsu dan cari perhatian seperti itu. Dari sini kita bisa menarik satu hal, bahwa dalam diri Tuhan Yesus memang ada unsur “megalomania”, tapi di sisi lain ada kemurnian, kerendahan hati, belas kasihan, teladan hidup, yang membuat rakyat jelata datang berbondong-bondong kepada Dia dengan segala permasalahan mereka, sakit penyakit mereka, untuk mendengarkan Dia berbicara.
Dalam sejarah dunia hanya ada 2 macam pendiri agama. Pertama, yang mengatakan ‘jangan lihat saya, yang penting ajaran saya’, mereka ini adalah orang-orang yang punya karakter hidup sebagai teladan, dan orang-orang kagum kepada mereka sehingga agama mereka bertahan sampai hari ini, tetapi mereka tidak megalomania. Di sisi lain, ada pendiri agama yang megalomania, yang mengatakan ‘akulah yang penting’, namun tidak ada isinya dan mereka dibuang, ditertawakan, lalu namanya tertelan dalam sejarah. Tetapi, dalam diri Tuhan Yesus dua kualitas ini jadi satu, koq bisa?; kita tidak pernah melihat yang seperti ini. Itulah sebabnya, Dia membawa pertentangan.
Waktu melihat Tuhan Yesus, tidak secara otomatis semua orang mengagumi Dia, tidak juga secara otomatis semua menertawakan Dia. Waktu orang berhadapan dengan Tuhan Yesus, mereka bingung ‘ini siapa’. Waktu Dia hadir, figur Tuhan Yesus ini mendobrak laci-laci kategori manusia yang sempit, karena Tuhan Yesus tidak bisa dimasukkan ke salah satu laci tersebut. Waktu orang bertemu Dia, seakan ada badai menerpa diri mereka, ‘ini Siapa sebenarnya??’ Lalu dari situ, mulailah terkutub dan terpisah-pisah. Ada yang mengatakan “Dia Anak Allah”, ada yang mengatakan “Dia anak setan”. Ada yang mengatakan “Dia guru moral yang tinggi”, ada yang mengatakan “Dia pendusta dan penipu”. Tidak ada yang di tengah-tengah. Itu sebabnya Tuhan Yesus mengatakan diri-Nya datang membawa pertentangan; dan kita justru harus melihatnya sebagai hal positif.
Seandainya Dia tidak membawa pertentangan, seandainya Dia masuk dengan rapi ke dalam laci-laci manusia, mungkin itu berarti Dia bukan Allah. Tapi justru karena Dia Allah, kita merasa seperti kontradiksi, aneh, dan di luar pemikiran kita. Itulah justru penghiburannya, karena Allahmu adalah Allah yang sangat unik, tidak seperti yang lain. Namun ada hal lain yang lebih penting, yaitu bahwa dari sini kita bisa berefleksi demikian: kalau Saudara dan saya mendapati diri sanggup bersikap netral dan biasa-biasa saja terhadap Tuhan Yesus, bahwa mengenal Tuhan Yesus tidaklah membuat diri kita jadi tidak nyaman, bahwa mengenal Tuhan Yesus tidaklah mengancam hidup kita, mungkin itu berarti –menurut Alkitab– Saudara dan saya belum bertemu Tuhan Yesus yang sesungguhnya dan jangan-jangan selama ini kita hanya melihat dengan kacamata kita sendiri.
Sekarang kita masuk ke bagian yang lebih awal, yaitu ayat 49-50, "Aku datang untuk melemparkan api ke bumi dan betapakah Aku harapkan, api itu telah menyala! Aku harus menerima baptisan, dan betapakah susahnya hati-Ku, sebelum hal itu berlangsung!” Apa maksud kalimat-kalimat ini?
Pertama kita membahas ayat 49 "Aku datang untuk melemparkan api ke bumi dan betapakah Aku harapkan, api itu telah menyala!” Api bisa mempunya beberapa arti, tapi secara umum dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, api berarti penghakiman, murka Allah, pembalasan. Di Perjanjian Lama, Yesaya 66: 15 “Sebab sesungguhnya, TUHAN akan datang dengan api, dan kereta-kereta-Nya akan seperti puting beliung, untuk melampiaskan murka-Nya dengan kepanasan dan hardik-Nya dengan nyala api.” Di Perjanjian Baru, 2 Tes. 1: 7-8 “ … Tuhan Yesus dari dalam sorga menyatakan diri-Nya bersama-sama dengan malaikat-malaikat-Nya, dalam kuasa-Nya, di dalam api yang bernyala-nyala, dan mengadakan pembalasan terhadap mereka yang tidak mau mengenal Allah dan tidak mentaati Injil Yesus, Tuhan kita” –api dihubungkan dengan murka dan pembalasan. Luk. 3: 16-17 Yohanes menjawab dan berkata kepada semua orang itu: "Aku membaptis kamu dengan air, … Ia akan membaptis kamu dengan Roh Kudus dan dengan api. Alat penampi sudah di tangan-Nya untuk membersihkan tempat pengirikan-Nya dan untuk mengumpulkan gandum-Nya ke dalam lumbung-Nya, tetapi debu jerami itu akan dibakar-Nya dalam api yang tidak terpadamkan" –api dinyatakan sebagai alat pemisahan, alat penghakiman, alat pelampiasan murka. Alat penampi adalah alat berbentuk seperti garpu besar, yang ditusukkan ke tumpukan jerami lalu dilempar ke belakang, sehingga gandumnya terlempar ke belakang sementara debu jeraminya hilang berterbangan; jadi ini alat untuk pemisah, dipakai sebagai metafor penghakiman. Maka di sini jelas gambarannya, yaitu api yang menghakimi, yang memisahkan, yang mendatangkan pengkutuban di antara manusia.
Kita biasa menyanyikan ‘Tuhan Yesus seperti gembala’, ’Makin dekat Tuhan’, ‘Janji yang manis kau tak Kulupakan’, itu diri Tuhan Yesus yang kita mengamininya; tapi di sini Tuhan Yesus mengatakan “Aku akan melemparkan api ke dalam dunia!” Bagaimana bisa seperti itu, di mana konsistennya? Saudara tidak perlu terlalu bingung, karena motif ‘penghakiman’ dalam Alkitab bukanlah sesuatu yang negatif. Kita akan melihat buktinya dalam beberapa hal.
Yang pertama, penghakiman dalam Alkitab itu sesuatu yang positif karena penghakiman dengan menggunakan gambaran api, berarti bukan cuma menghakimi dan memisahkan tapi juga membersihkan dan memurnikan. Ini satu unsur penghakiman yang tidak boleh hilang dari gambaran, waktu Tuhan Yesus mengatakan bahwa Dia akan membawa api ke bumi dan Dia tidak sabar untuk api itu segera datang.
Yang kedua, api dalam kehidupan kita sehari-hari memang adalah alat pembersih tetapi bukan pembersih untuk barang-barang yang remeh. Kalau taplak meja kotor, Saudara tidak membersihkannya dengan api –taplak meja itu tidak akan lulus—karena taplak meja bukan barang berharga. Saudara hanya menggunakan api untuk membersihkan ketika barang tersebut adalah barang yang ada nilai kekekalan, berkualitas tinggi, dan berharga sekali. Kalau Saudara menambang bijih besi atau emas, Saudara akan memasukkannya ke perapian karena di situlah akan dipisahkan yang sampah dan yang bijih besi/ emas. Mengapa menggunakan api? Karena ini adalah barang-barang yang berharga, bernilai tinggi, ada nilai kekekalannya. Oleh karena itu, waktu Tuhan mengatakan bahwa Dia akan menghakimi bumi dan manusia dengan api, ini bukan gambaran yang cuma menyatakan satu penghakiman yang mengerikan, tapi juga gambaran yang menyatakan seberapa Allah memandang berharga bumi dan manusia. Kalau Dia tidak memandang kita berharga, Dia tidak akan pakai api untuk memurnikan dan membersihkan kita..
Berikutnya, kita bisa melihat positifnya penghakiman, karena siapapun yang berpengertian –tidak harus orang beragama, bahkan tidak harus orang Kristen—akan mengamini kalimat Tuhan Yesus “Aku harap api itu segera tiba”, yaitu bukan hanya melihat penghakiman sebagai hal positif tapi juga mengharapkan itu segera datang. Kevin Costner, bintang film Amerika, seorang yang ateis, bukan orang Kristen, pernah diwawancara majalah TIME. Dia mengatakan, “Saya tidak percaya akhirat, saya tidak percaya surga dan neraka, saya tidak percaya kehidupan setelah kematian. Alasannya, karena saya tidak merasa hal-hal seperti itu dibutuhkan oleh umat manusia untuk bisa hidup dengan baik. Tapi ada satu hal yang saya rasa umat manusia butuh, yang tanpa hal itu dia tidak akan bisa hidup dengan baik, bahkan dia tidak akan bisa hidup, yaitu bahwa semua manusia perlu kepastian adanya penghakiman yang terakhir.” Entah bagaimana maksud dia bisa ada penghakiman terakhir tanpa surga dan neraka; itu konsep dia. Tapi kalau Saudara merenungkan sebentar, Saudara akan meyakini hal ini, bahwa kita tidak akan sanggup menghadapi hidup ini, yang sekarang ini, jikalau kita tidak percaya suatu hari akan ada penghakiman yang terakhir. Mengapa?
Penghakiman terakhir itu berarti semua yang jahat suatu saat nanti akan mendapatkan ganjaran yang setimpal. Penghakiman terakhir itu berarti tidak masalah apa yang terjadi saat ini, karena pada akhirnya semua orang yang difitnah akan mendapatkan nama baik mereka kembali. Jadi, kalau Saudara tidak mengamini adanya penghakiman, Saudara tidak akan punya harapan untuk hidup. Ketika Saudara menghadapi dunia dengan segala kerusakannya, segala ketidak-adilannya, segala penindasannya, Saudara akan mengatakan “memang dunia dari ujung sampai ujung seperti ini, tidak ada pengharapannya, tidak ada gunanya juga kita mengusahakan keadilan, karena toh memang seperti ini”. Apa Saudara bisa hidup seperti itu?
Bukan saja Saudara tidak akan punya kekuatan untuk hidup, tapi Saudara juga tidak akan bisa tahu apa yang adil dan apa yang bukan, jikalau tidak ada penghakiman yang terakhir. Mengapa? Karena penghakiman yang terakhir berarti penghakiman yang universal, semua orang akan kena dengan standar yang sama, standar yang mengatasi semua standar manusia. Jikalau tidak ada standar yang terakhir yang mengatasi semua manusia ini, berarti semua yang Saudara katakan sebagai ‘adil dan tidak adil’, ‘benar dan tidak benar’, itu hanyalah pendapat kita masing-masing, tidak ada dasar yang menyatakan hal itu berlaku bagi orang lain. Inilah celakanya relativisme. Waktu orang mengatakan ‘saya freethinker, saya tidak mau ada dasar apa-apa yang mengikat manusia’, artinya dia juga tidak ada hak untuk mengatakan apa yang benar dan apa yang salah, karena bagaimana bisa memakaikan standar tertentu kepada orang lain, sementara diri sendiri tidak mau standar orang lain dipakaikan kepada diri?? Ini mengerikan, karena ini berarti kalau Saudara hari ini menghadapi kenyataan ada orang-orang baik yang ditimpa bencana, orang-orang baik yang kalah sementara para penjahat terus menang, Saudara tidak boleh mengatakan ‘aduh, koq kayak gini, harusnya tidak begini’. Kalau Saudara tidak percaya ada standar yang mengatasi seluruh dunia, maka tidak ada standar sama sekali untuk mengatakan apa yang benar dan apa yang salah.
Itu sebabnya, berita penghakiman bukan berita yang negatif bagi orang Kristen; itu memang harus ada, dan kalau tidak ada maka manusia tidak bisa hidup. Masalahnya, penghakiman bukan cuma berita yang positif. Banyak orang yang menghindari tema ini, banyak orang yang ingin jadi freethinker dan relativis, karena penghakiman adalah pedang bermata dua, yang bukan cuma menusuk orang-orang yang berbuat jahat kepadamu tapi juga akan menusuk engkau jika engkau berbuat jahat kepada orang lain.
Aldous Huxley, seorang penulis berkebangsaan Inggris dan juga seorang filsuf abad 20, yang pernah 7 kali dinominasikan untuk Nobel Prize bidang literatur, pernah mengekspresikan dilema manusia. Di satu sisi dia mengatakan: “Saya tidak percaya standar penghakiman universal, karena saya mau hidup bebas. Saya tidak mau dikungkung dengan aturan-aturan mengenai seks, mengenai moral. Saya ingin bebas hidup semau saya, maka saya menolak percaya adanya standar yang kekal, yang abadi.” Lalu Huxley juga mengatakan: “Tapi itu berarti, harga yang harus dibayar adalah: kamu tidak akan hidup dengan makna sama sekali, karena siapa yang bisa membuat suatu makna? siapa yang bisa mengatakan apa yang bagus dan apa yang tidak? Tidak ada. Dan kamu akan hidup dengan putus asa kalau kamu tidak percaya standar penghakiman.” Setelah itu, apakah Huxley lalu beralih jadi percaya standar penghakiman yang terakhir? Tidak. Huxley tetap mengatakan: “Saya juga tidak mau yang ini, karena kalau saya percaya adanya standar penghakiman itu, berarti saya akan dihakimi menurut standar itu; seumur hidup saya akan merasa bersalah, saya akan dibebani dengan rasa ‘not good enough’, karena siapakah yang bisa menjalankan standar yang universal itu??”
Ilustrasi dari Francis Schaeffer, menunjukkan bukan cuma standar universal, yang kita tidak sanggup lakukan, tapi bahkan standar diri pun, kita tidak sanggup. Dia mengatakan, ibaratnya waktu lahir semua orang dikalungi tape recorder yang secara selektif hanya merekam kalimat-kalimat yang Saudara ucapkan untuk menilai orang lain ‘orang seharusnya begini, seharusnya begitu’. Lalu pada hari terakhir sebelum Saudara meninggal, rekaman diputar ulang, dan hidup Saudara dinilai berdasarkan standar itu –bukan dinilai berdasarkan Hukum Taurat tapi berdasarkan standar Saudara sendiri. Di sini Francis Schaeffer bertanya, seandainya hal itu dijalankan atas dunia ini, siapa yang bisa lewat?? Tidak usah bicara standar kekal yang mengatasi seluruh manusia, siapa yang bisa lulus menghadapi standar diri mereka sendiri?? Tidak ada. Inilah dilema dalam penghakiman.
Memang benar kalau kita tidak percaya standar penghakiman, hidup jadi putus asa, tidak ada makna. Melihat orang yang ditindas, kita tidak bisa berbuat apa-apa, tidak bisa bilang apa-apa; paling tidak, kita tidak bisa konsisten dengan pendirian seperti ini. Tapi kalau kita setuju ada standar penghakiman, maka berarti ‘saya ada di bawah penghakiman itu dan saya tidak akan bisa melepaskan diri saya dari rasa bersalah’. Inilah dilemanya. Atau dengan kata lain, di satu sisi, kalau tidak ada penghakiman, berarti apa harapannya bagi dunia? Di sisi lain, kalau ada penghakiman, pertanyaannya adalah apa harapannya bagi jiwaku? Hanya inilah dua alternatif yang menjadi pilihan bagi manusia, jikalau tidak ada Kristus.
Waktu Tuhan Yesus mengatakan kalimat mengenai penghakiman ini, kalimatnya bukan cuma “Aku ingin ada penghakiman, Aku ingin menurunkan api, dan Aku tidak sabar kapan api itu datang!”, tetapi ada kalimat berikutnya yang sangat aneh, Dia mengatakan “sebelum semua itu terjadi, Aku harus menerima baptisan, dan ini membuat Aku susah hati luar biasa”. Maksudnya apa?
Pertama, kata ‘baptisan’ yang dimaksudkan di sini bukan baptisan Yohanes; Tuhan Yesus mengatakan ini setelah Dia dibaptis oleh Yohanes. Kalau begitu, baptisan apa? Petunjuknya dapat kita lihat dari bagian Alkitab yang lain, misalnya Markus 10 ketika Yakobus dan Yohanes minta untuk jadi orang yang di sebelah kanan dan kirinya Tuhan Yesus. Ketika itu jawaban Tuhan Yesus “Kamu tidak tahu apa yang kamu minta. Dapatkah kamu meminum cawan yang harus Kuminum dan dibaptis dengan baptisan yang harus Kuterima?" Kita tahu artinya cawan Tuhan –yang disebut di kalimat ini—kita tahu peristiwa Getsemani, kita tahu itu menyatakan tentang murka Tuhan. Dan sepertinya, penggunaan istilah ‘cawan’ dan ‘baptisan’ di sini menunjuk pada satu hal yang sama. Jika demikian, baptisan yang Tuhan Yesus mau terima itu adalah a baptism of fire –baptisan penghakiman Allah, baptisan api dari Allah. Dengan kata lain, kalau mengambil ayat 49 dan 50 bersamaan, Saudara akan menemukan kalimatnya seperti ini: “Aku hendak melemparkan api ke bumi dan Aku tidak sabar menunggu itu terjadi. Tetapi sebelum itu terjadi, api itu harus terlebih dahulu dilemparkan kepada diri-Ku, dan itu membuat Aku susah hati.”
Peristiwa Taman Getsemani signifikansinya bukan soal keringat darah, ciuman Yudas, daun telinga hamba Imam Besar yang terpotong, murid-murid yang tidur, melainkan –sebagaimana dikatakan Jonathan Edwards—“signifikansinya adalah saatnya Bapa memberikan semacam cicipan kepada Sang Anak tentang yang akan terjadi di kayu salib.” Perkataan Jonathan Edwards ini ada dasar Alkitabnya. Kita ingat cerita tentang anak muda yang kaya, waktu Tuhan Yesus tanya kepada dia: ‘coba bayangkan, misalnya semua uangmu hilang, semua hartamu hilang, tinggal sisa Aku, engkau mau tidak?’, lalu yang terjadi adalah orang muda ini berbalik pergi dengan hati yang sedih. Kata ‘sedih’ di situ adalah paleo; dan kata paleo ini muncul lagi dalam perkataan Tuhan Yesus di Taman Getsemani. Ketika Tuhan Yesus tiba di situ bersama murid-murid-Nya, Dia mengatakan: “Hatiku sangat sedih –paleo—seperti mau mati rasanya. Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah dengan Aku” (Mat. 26:38). Maka kita dapat mengatakan bahwa kesedihan yang Tuhan Yesus alami di Taman Getsemani adalah kesedihan yang satu pola/ satu kategori –meski bukan dalam level yang sama—dengan kesedihan si orang muda kaya tadi. Kesedihan seperti apakah yang orang muda kaya ini alami? Pada dasarnya adalah kesedihan ketika dia membayangkan dalam hidupnya, hal yang paling dia cintai, paling dia hargai, paling dia pegang erat, semua harus dibuang dan sisa cuma Tuhan Yesus. Ituah yang membuat orang muda kaya ini paleo. Maka itu berarti yang terjadi di Taman Getsemani, kemungkinan besar Bapa di surga mengatakan kepada Sang Anak: ‘sekarang Anak-Ku, coba bayangkan jikalau dari hidup-Mu, yang Kau pegang erat, yang Kau paling rasa berharga, yang adalah hidup mati-Mu, itu direnggut daripada-Mu, Engkau mau atau tidak?’
Apakah yang paling berharga bagi Tuhan Yesus? Bukankah segala sesuatu sudah Dia lepaskan waktu Dia turun ke dunia? Dia melepaskan kemuliaan-Nya, Dia melepaskan keindahan-Nya, Dia mengambil kehinaan; tetapi selama 33 tahun Tuhan Yesus hidup di dunia, ada satu hal yang Dia masih pegang erat dan tidak lepaskan, satu hal yang paling berharga yang tidak boleh hilang. Apakah itu? Apa yang Bapa minta untuk Dia serahkan di Taman Getsemani? Yaitu relasi-Nya dengan Bapa.
Di Taman Getsemani, seakan Bapa mengatakan: ‘hal yang Kau paling cintai, yang melebihi segala kemuliaan-Mu dan keindahan-Mu yang sudah Kau buang itu, hal yang paling berharga bagi-Mu, yaitu hubungan-Mu dengan Aku, Aku mau Kau membayangkannya besok semua ini akan hilang; Engkau mau atau tidak? Kalau Engkau tidak mau, mereka akan binasa. Kalau Engkau mau, Engkau yang akan terbuang dari hadapan-Ku’. Maka di situ Tuhan Yesus mengatakan, “Bapa, kalau boleh, cawan ini lewat saja.” Tetapi kita tahu, pada akhirnya Tuhan Yesus mengatakan, “Ya, Saya akan mengambil cawan itu –Saya akan menerima baptisan api itu.” Tuhan Yesus bisa saja mengatakan ‘tidak bisa, Bapa, itu satu hal yang paling berharga; semua yang lain sudah Aku berikan, yang ini tidak bisa diambil’. Tuhan Yesus bisa saja mengatakan, ‘Aku tidak mau; mati bagi mereka tidak masalah, ini bukan masalah hidup mati melainkan kehilangan relasi dengan-Mu, dan itu tidak worth untuk menyelamatkan tiga orang ini, umat manusia ini, yang untuk berjaga-jaga dengan Aku saja mereka tidak bisa, yang tidur terus meski ini saatnya Aku paling membutuhkan dukungan mereka; buat apa Aku menyerahkan hak yang paling berharga itu.’ Tapi Tuhan Yesus menerima cawan itu.
Hal yang kita bisa pelajari di sini, yaitu hal keempat yang menunjukkan berita penghakiman itu bukan negatif melainkan positif sekali, adalah karena dalam berita penghakimanlah baru kita mengerti seperti apa kasih Allah. Di sini kita menyadari, sebesar inilah kasih Tuhan kepada Saudara dan saya, yaitu kasih yang bertahan di hadapan api penghakiman Tuhan. Coba Saudara renungkan, api Tuhan, api yang bisa menghanguskan segala sesuatu, tapi ternyata api itu tidak sanggup menghanguskan cinta Tuhan kepada Saudara dan saya. Inilah berita positif penghakiman. Inilah indahnya penghakiman.
Banyak dari kita, orang Kristen, tidak mau menginjili dengan memberitakan mengenai penghakiman. Itu salah besar, karena penghakiman yang diberitakan Alkitab justru menjadi satu tolok ukur untuk Saudara bisa mengetahui sebesar apa kasih Tuhan kepada diri Saudara. Kalau Saudara mau mengabarkan Injil tanpa penghakiman, mengabarkan Gereja tanpa penghakiman, menceritakan Kekristenan tanpa penghakiman, itu berarti Saudara juga sedang mengabarkan Kekristenan tanpa kasih, mengabarkan Gereja tanpa kasih, mengabarkan Tuhan yang cuma ngomong doang bahwa Dia mengasihi kita tapi toh pada saat yang paling penentuan, Dia mundur. Namun bukan demikian Allah kita. Justru lewat berita penghakimanlah Saudara dan saya mengerti seberapa jauh, lebar, tinggi, dan dalam kasih Tuhan akan kita. Tidak ada kasih Allah tanpa murka Allah. Itu sebabnya keduanya harus kita pegang bersamaan.
Terakhir, seperti apakah hidupnya orang yang sungguh melihat hal ini? Kalau Tuhan telah menerima penghakiman atas diri kita, itu berarti sebagaimana Alkitab katakan, mereka yang sudah di dalam Kristus, tidak lagi ada di bawah penghakiman –kita percaya hal ini, kita tahu hal ini, tapi sebenarnya artinya apa sih? Seperti apakah hidup yang benar-benar tidak lagi di bawah penghakiman?
Kalau kita mau bagi secara umum, di dalam ruangan ini, di dalam gereja kita, di dalam seluruh umat manusia, di dalam seluruh umat Kristen/ umat Allah, ada 2 macam orang. Yang pertama, orang-orang yang lari kepada Tuhan, mendapati Tuhan, karena takut api Tuhan jatuh atas mereka; ini orang-orang yang masih di bawah penghakiman. Saya musti berbuat baik, saya musti rajin ke gereja, saya musti kasih perpuluhan, karena saya takut kalau saya tidak melakukannya maka api Tuhan akan jatuh atas diri saya –ini orang-orang yang datang kepada Tuhan tapi bukan orang Kristen sejati. Yang kedua, orang Kristen sejati adalah orang-orang yang juga datang kepada Tuhan, juga melakukan perbuatan baik, juga melakukan pekerjaan baik, tapi mereka melakukannya bukan karena takut api akan jatuh atas mereka, melainkan karena mereka menyadari api Tuhan sudah dilemparkan kepada diri Kristus. Inilah orang-orang yang tidak lagi hidup di bawah penghakiman.
Seperti apa beda kehidupan antara dua macam orang ini? Satu contoh yang paling gampang, kalau kita sungguh seorang yang hidup mendekati Tuhan karena sudah melihat Tuhan dilemparkan api penghakiman itu, dan kita tidak lagi hidup di bawah penghakiman, maka paling tidak akan mempengaruhi bagaimana kita mengampuni orang lain. Kalau kita masih sulit mengampuni, berarti kita masih di bawah penghakiman. Seperti apa maksudnya tidak mengampuni? Yaitu ketika kita mengatakan dalam hati, ‘orang ini harusnya tidak pantas dapat A atau B, orang ini harusnya dapat X atau Y!’ Itulah artinya tidak mengampuni; dan itu berarti kita masih di bawah penghakiman.
Kalau kita sungguh melihat bahwa Allah kita sudah terlebih dulu menerima penghakiman diri kita, kalau Saudara bisa mengatakan ‘Allahku itu satu-satunya yang boleh menghakimi dan pantas menghakimi, tapi ketika Ia dijahati, Ia tidak menuangkan cawan-Nya kepada kita melainkan Dia meminumnya sendiri’, kalau Saudara sungguh bertemu dengan Allah yang seperti ini, maka tidak mungkin Saudara melemparkan api kepada orang lain. Saudara tidak bisa, tidak mungkin, dan tidak pada tempatnya melakukan itu; Saudara akan bisa mengampuni. Mengapa? Cuma ada 2 kemungkinan. Kemungkinan pertama, karena ‘orang ini, yang menjahati saya –dan mungkin juga belum minta maaf—orang ini dosanya diampuni Tuhan Yesus oleh karena anugerah, sama dengan saya; maka saya tidak ada hak apa-apa untuk menuntut pembalasan, kami sama-sama pelaku kriminal dan kami sama-sama dibayar dengan harga yang sama, dan yang membayar bukan kami melainkan Tuhan’. Maka di sini Saudara tidak perlu tunggu orang itu minta maaf untuk bisa mengampuni. Kemungkinan yang kedua, kalau orang itu bukan orang Krsten/ belum di selamatkan, tetap saja kita bisa mengampuni, karena kita tahu ada penghakiman yang terakhir, ada penghakiman yang akan datang, ‘ada Hakim yang adil itu, dan Hakimnya bukan saya; kalau dosa orang ini tidak dibayar oleh Kristus, maka dosa ini akan dibayar dirinya sendiri pada akhirnya, maka saya tidak perlu membalas hari ini, saya tidak perlu menghakimi dia hari ini, karena toh satu hari nanti semua yang bengkok, semua yang rusak, akan dibereskan’. Inilah hidup pengampunan orang yang tidak lagi di bawah penghakiman.
Namun itu bukan berarti orang Kristen tidak ada standar keadilan. Standar keadilan sangat ada, karena kita percaya ada penghakiman yang terakhir. Kita bisa marah terhadap ketidak-adilan, kita bisa berontak terhadap ketidak-adilan, kita bisa protes, dan kita bisa memperjuangkan keadilan, tetapi ketika bertemu dengan pelaku-pelaku ketidak-adilan itu Saudara tidak akan mampu dan mungkin untuk mengadili mereka dengan warna membunuh, dengan main hakim sendiri, Saudara akan menyerahkan kepada Tuhan. Saudara akan datang menyatakan keadilan, menyatakan apa yang benar dan apa yang salah, dan Saudara menyatakannya sebagai sesama kriminal.
Ada satu cerita yang sangat indah dari Miroslav Volf. Dia bertanya, seandainya Saudara seorang bapak yang anaknya diperkosa dan mati dibunuh, dan pelakunya tertangkap, lalu Saudara membawa senjata pergi ke kantor polisi untuk menembak mati pembunuh dan pemerkosa ini, apa yang bisa dikatakan kepada Saudara untuk bisa mengurungkan niat ini? “Membunuh dia tidak akan mengembalikan anakmu” atau “kalau kamu membunuh dia, kamu sendiri akan dibunuh polisi”; perkataan itukah? Kalau anakmu yang dibunuh kalau anakmu yang diperkosa, apakah itu akan mengurungkan niat Saudara? Tidak. Volf mengatakan, “hanya satu kemungkinannya, yaitu kalau oleh karena anugerah, bapak ini menyadari satu hal, ada Hakim yang akan membalaskan ketidak-adilan, ada Hakim yang akan membereskan semua yang bengkok, dan hakimnya bukan kamu, hakimnya bukan aku. Tambahan lagi, harapannya adalah ketika bapak ini menyadari bukan cuma orang itu yang telah membunuh seorang anak, tapi dirinya sendiri juga, hanya saja, yang dia bunuh bukanlah seorang anak manusia melainkan Anak Allah. Sebab oleh karena dirinya, Anak Allah harus mengambil dan menerima api penghakiman yang turun dari Bapa.”
Kalau bapak ini menyadari hal itu, apakah dia jadi tidak bisa menyatakan yang adil dan yang benar? Tidak. Dia tetap bisa datang kepada si pelaku, mengatakan “yang kamu lakukan itu salah, itu hal yang keji”, tapi kalimat selanjutnya “aku mengampuni kamu, karena bukan cuma kamu pembunuh, aku juga pembunuh, dan aku adalah pembunuh Anak Allah; aku mengampuni kamu, maukah kamu bertobat?” Kuasa pengampunan ini adalah kuasa yang bisa mengubah bahkan seorang pembunuh dan pemerkosa. Cara apa lagi yang bisa selain cara ini?? Seperti inilah harusnya kita, Gereja Tuhan, yang melihat Allah yang menghakimi. Aneh, tapi inilah keajaiban Allah kita. Inilah sebabnya Allah kita itu di luar pemikiran kita. Inilah sebabnya Allah kita itu membawa pertentangan, yaitu karena Dia Allah yang unik. Mari kita bersyukur karena Dia adalah Allah kita.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading