Hari ini kita masuk dalam 1 perikop yang baru dari pasal 10, dalam hal ini baik terjemahan bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia sama; mulai ayat 22 ini LAI memberi judul “Yesus ditolak oleh orang Yahudi”; sementara terjemahan ESV memberi judul “I and the Father are one”, maksudnya Anak dan Bapa adalah satu. LAI lebih berkonsentrasi pada kekerasan bangsa Yahudi yang menolak Yesus, sementara ESV tampaknya lebih mau menekankan tentang kesatuan Bapa dan Anak.
Waktu membicarakan kesatuan Bapa dan Anak, dalam sejarah pemikiran para Bapa-bapa Gereja, khususnya ayat 30 –“Aku dan Bapa adalah satu”—biasa ditafsir dalam pengertian satu substansi Ilahi yang sama, kesatuan yang eksklusif antara Bapa dan Anak, yang tidak ada pada yang lain. Jadi sebagaimana Bapa memiliki substansi Ilahi, demikian juga Anak memiliki substansi Ilahi; dan substansi Ilahi yang dimiliki baik oleh Bapa maupun Anak, adalah substansi yang sama. Dengan demikian dalam bahasa teologisnya memakai istilah consubstantial –satu substansi yang sama. Kita tidak menyangkali hal ini, tapi waktu membaca bagian ini, arahnya bukan ke sana. Bahwa Bapa dan Anak substansinya satu, itu ajaran ortodoks dan ajaran yang dipercayai Teologi Reformed maupun aliran-aliran teologi lain yang penting, tetapi kalau kita melihat secara biblikal, pembicaraan “Aku dan Bapa adalah satu” di sini, sebetulnya bukan ke arah sana. Maka waktu kita melakukan eksegese secara lebih rapi, kita bisa memperoleh kekayaan penggalian dari perikop-perikop ini. Tetapi sebelumnya, kita akan mulai membicarakan ayat-ayat yang lebih awal dari bagian ini.
Di bagian awal, bicara tentang hari raya Pentahbisan Bait Allah (Feast of Dedication). Ini satu peringatan yang dilakukan di Israel, yaitu memperingati pembersihan yang dilakukan oleh Yudas Makabeus (purging of the temple), ketika sebelumnya Bait Suci telah dicemari dan altarnya dijadikan altar pengorbanan kafir, yang merupakan kekejian bagi Israel. Yudas Makabeus membereskan hal tersebut, mengembalikan ibadah kepada Yahweh, altar kafir disingkirkan dan diganti dengan mezbah untuk mempersembahkan korban kepada Tuhan. Hal ini dirayakan di Israel, dan memang jatuh pada musim dingin; dalam tafsiran dikatakan kemungkinan dirayakan waktu winter solstice [winter solstice terjadi ketika matahari bersinar paling pendek, lalu dalam hari-hari itu setelah kegelapan yang paling gelap, terjadi pembalikan dan cahaya matahari bersinar makin lama makin panjang; titik baliknya disebut winter solstice]. Natal dalam tradisi Barat –khususnya di belahan Utara—berkaitan dengan winter solstice ini, tapi sebelumnya, orang Israel merayakan hari raya Pentahbisan Bait Allah juga dalam masa winter solstice, sehingga secara tradisi ini sangat nyambung dengan perayaan Natal.
Tetapi sebagaimana dalam Natal seringkali banyak orang merayakan, belanja-belanja, reuni keluarga, dsb., namun tidak tentu ada kaitannya dengan Anak Allah yang inkarnasi turun ke dalam dunia, demikian pula ada kemiripan di bagian ini. Ini adalah hari raya Pentahbisan Bait Allah; Bait Allah yang dinajiskan itu sudah dibebaskan oleh Yudas Makabeus, dan orang Israel memperingatinya, tetapi sepertinya mereka tetap berada dalam “winter” di hatinya. Waktu Yohanes memakai istilah-istilah seperti ini dalam tulisannya, seringkali dia mau masuk ke dalam pengertian rohani –meskipun di bagian ini memang tidak terlalu dikembangkan juga. Misalnya waktu dia bicara tentang ‘terang’, yang dimaksudkan bukan cuma terang dalam pengertian terang fisik atau terang yang dari matahari melainkan ‘terang rohani’; waktu dia bicara tentang ‘air’, bukan betul-betul soal air yang dari sumur melainkan ‘air hidup’; demikian juga waktu kita membaca bagian ini.
Bukan kebetulan bahwa bagian ini bicara tentang hari raya Pentahbisan Bait Allah, karena yang betul-betul menyucikan Bait Allah sebetulnya Yesus, bukan Yudas Makabeus –di dalam hal ini, Yudas Makabeus melakukan secara parsial dan terbatas. Sayangnya, hati orang Israel tetap di dalam ‘musim dingin’, tetap beku, tetap sangat dingin terhadap Yesus yang sedang mengunjungi. Itulah yang dimaksud ketika di bagian ini dicatat “ketika itu musim dingin”, karena Alkitab bukan novel yang tertarik untuk menggambarkan secara deskriptif bahwa ketika itu musim dingin, pohon-pohon gugur daunnya, dsb. Di dalam novel banyak penggambaran semacam itu, tapi di dalam Alkitab sangat minim, bahkan boleh dikatakan tidak ada. Tidak selalu Alkitab memberi keterangan tentang musim dalam peristiwa-peristiwanya; misalnya waktu Nikodemus bertemu dengan Yesus, waktu Yesus bicara dengan perempuan Samaria, tidak disebut musim apa. Maka waktu Alkitab –khususnya Yohanes—bicara “ketika itu musim dingin”, pasti ada yang mau dia sampaikan, yaitu suatu ironi: Yesus berjalan-jalan di Bait Allah, di serambi Salomo, tapi keadaan hati orang Israel seperti musim dingin, mereka tidak terlibat sama sekali.
Saya memakai perbandingan dengan Natal, yang memang winter solstice juga. Dalam Natal, Saudara seringkali melihat gambaran seluruh keluarga berkumpul, lalu –kalau Rembrandt yang melukis– ada cahaya terang, menggambarkan ada kehangatan. Atau Saudara melihat foto-foto orang yang merayakan Natal di rumah, ada perapian, ada lilin –gambaran kehangatan– sementara di luar musim dingin begitu gelap. Di sana seharusnya Yesus ada, memberikan kehangatan yang sesungguhnya di tengah-tengah musim dingin; tapi yang terjadi adalah orang-orang yang hatinya dingin.
Bukan cuma hatinya dingin, di ayat 24 dikatakan ‘orang-orang Yahudi mengelilingi Dia’; mengelilingi bukan untuk minta tanda tangan atau foto bersama, tapi mengelilingi karena mau menyerang. Mereka mengelilingi Yesus bukan dalam pengertian admirasi atau kekaguman, bukan karena sudah lama tidak bertemu Yesus lalu ingin bertemu Dia dari dekat, melainkan mengelilingi untuk menuduh; “Jikalau Engkau Mesias, katakanlah terus terang kepada kami." Kalimat ini dalam bahasa Indonesia tidak jelas arahnya mau ke mana, dan kita baru tahu setelah membaca ayat-ayat selanjutnya. Apa maksud kalimat ini? Maksudnya, Yesus diminta untuk mengatakan “Akulah Mesias”, selesai; tapi mereka tidak mendapatkan itu –menurut mereka.
Kalimat mereka ini bukan satu kalimat yang diutarakan dalam sikap yang mau belajar, dalam kerendahan hati, dsb., melainkan justru menyatakan prasangka yang sangat dalam, tidak bisa percaya lagi kepada Yesus, lalu memaksa Yesus menyebut dirinya sebagai Mesias, supaya mereka bisa punya alasan untuk menyelesaikan Orang ini. Yesus memang betul-betul Mesias; tetapi dalam pikiran mereka, kalau mesias hadir, dia akan membebaskan orang Israel dari penjajahan Romawi, dan dia ini berarti raja Israel. Dengan demikian, kalau Orang ini mengaku mesias, berarti Dia adalah raja, dan kalau begitu berarti Dia pemmberontak, jadi tinggal dilaporkan saja kepada pemerintah Romawi, selesailah sudah Orang ini. Kita tidak usah repot-repot lagi dengan Orang ini, kita pakai cara politik sedikitlah, suruh Dia sendiri mengaku dari mulut-Nya dan nanti orang Romawi yang menyelesaikan persoalan ini.
Jadi mereka bukan mau belajar dengan rendah hati tapi mengharapkan terus terangnya Yesus untuk menjebak Dia, karena selama ini Yesus mengatakan “I am the bread of life, I am the light of the world, I am the good shepherd, I am the door” –dan tidak mungkin orang ditangkap karena mengatakan “I am the door”, paling banter dikirim ke psikiater. Menurut orang-orang Yahudi ini, kalimat-kalimat Yesus itu tidak terlalu jelas, sehingga tidak cukup bukti untuk menuduh Dia menyatakan diri-Nya raja orang Israel. Di dalam injil-injil yang lain Yesus bahkan memakai perumpamaan-perumpamaan, yang bahkan lebih tidak jelas lagi karena perumpamaan bisa ditafsir apa saja. Dan waktu Yesus kemudian menjelaskan –misalnya dalam Matius—seringkali bukan kepada banyak orang melainkan hanya kepada murid-murid-Nya, jadi orang-orang Yahudi itu tetap tidak mendengarnya. Yesus bicara dalam perumpamaan; perumpamaan itu multi tafsir, jadi sulit di dalam hal ini, untuk menjebak Yesus, memang belum waktunya; dan kalau sudah waktunya, itu akan terjadi, Dia akan naik ke atas kayu salib.
Ayat 25, Yesus menjawab mereka: "Aku telah mengatakannya kepada kamu, tetapi kamu tidak percaya.” Perhatikan kalimat ini: "Aku telah mengatakannya kepada kamu, tetapi kamu tidak percaya”; sebetulnya Yesus tidak pernah mengatakan secara langsung, tetapi bagi Yesus, dengan Dia mengajarkan perumpamaan, dengan Dia memberi tanda, dengan Dia mengadakan mujizat, dengan Dia menunjuk kepada Pribadinya sendiri dalam pengertian rohani, itu sudah cukup untuk suatu penyataan, itu adalah suatu pewahyuan. Waktu Yesus mengatakan tentang hati manusia, “tetapi kamu tidak percaya”, Dia tidak mungkin salah, itu berarti memang mereka tidak percaya. Tidak ada diskusi dalam hal ini. Yesus adalah kebenaran; waktu Dia bilang kalimat ini, berarti itu betul-betul menyatakan keadaan hati manusia yang tidak percaya.
Jadi yang terjadi di sini, mereka dengan kalimat tadi mengharapkan Yesus menyatakan diri-Nya dengan terus terang –yang sebenarnya menurut Yesus pewahyuan itu sudah terjadi—mengatakan “Saya Raja Israel, Saya Raja orang Yahudi”, supaya kalimat itu bisa dipakai untuk menuduh Dia dan Dia ditangkap; sederhana saja. Bukan untuk masuk ke dalam pengenalan akan siapa itu Yesus. Kalau orang sudah menyalah-gunakan agama, itu bahaya sekali; dia bisa tanya satu kalimat untuk dipakai menyerang yang lain, bukan untuk satu pengenalan akan Allah. Motivasi orang Yahudi bukan untuk mengenal Allah yang menyatakan diri dalam Yesus Kristus, tapi sebaliknya untuk menghantam Yesus.
Sementara bagi Yesus –di ayat 25– pewahyuan itu cukup; "Aku telah mengatakannya kepada kamu, tetapi kamu tidak percaya; pekerjaan-pekerjaan yang Kulakukan dalam nama Bapa-Ku, itulah yang memberikan kesaksian tentang Aku”. Saudara, waktu kita belajar Injil, pertama membuat kita tahu tentang Yesus sendiri secara historis, Yesus dan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan-Nya. Tetapi yang kedua, fakta bahwa Yohanes menulis bagian ini, adalah untuk kita bisa merekonstruksi dan merefleksikan keadaan komunitasnya Yohanes, yang dituju oleh Injil ini. Dan yang ketiga, tentang posisi Saudara dan saya, yang seharusnya juga mengalami ini –kalau kita adalah murid Kristus. Maksudnya begini: waktu di sini dikatakan bahwa Yesus tidak dipercaya, demikian juga jemaat yang dilayani Yohanes yang bagi mereka Yohanes menulis Injil ini, eksistansinya di dalam dunia juga tidak dipercaya –sama seperti Yesus. Sebagaimana Yesus mengalami hal itu, demikian juga jemaat yang mengikuti Kristus akan sama mengalami hal itu. Saudara jangan heran atau kecil hati waktu bersaksi dan tidak dipercaya, karena di dalam Gereja mula-mula mereka sudah mengalami hal itu, dan Yesus sendiri pun mengalami.
Di dalam Yesus kita mengalami hal-hal seperti ini. Lalu apa apologia-nya kalau tidak dipercaya? Di sini kita musti melihat kehidupan Yesus; kalau menurut Yesus adalah: “pekerjaan-pekerjaan yang Kulakukan dalam nama Bapa-Ku, itulah yang memberikan kesaksian tentang Aku”. Bisakah Saudara merasa cukup dengan kesaksian seperti ini waktu kita dituduh atau mungkin difitnah? Yesus tidak memberikan argumentasi yang lain di dalam bagian ini. Yesus tidak lalu mengadakan mujizat, mendatangkan kilat dari langit ala Thor dengan palunya, dsb. Yang seperti itu bukan Yesus; Dia tidak membuktikan ke-Anak-Allah-annya dengan cara seperti itu, tetapi “hanya” dengan melakukan pekerjaan di dalam nama Bapa-Nya. Kalau Gereja mau menyatakan bahwa ada kehadiran Tuhan dalam kehidupannya, bahwa Tuhan ada di pihaknya, Gereja menyatakannya dengan cara seperti apa? Bukan dengan cara mengesankan pada dunia ini berapa banyak pengikutnya –itu cara kemegahan dunia—melainkan menurut ayat ini yaitu dengan melakukan pekerjaan di dalam nama Allah Bapa. Itulah panggilan kita.
Lalu setelah melakukan itu, apakah ada jaminan bahwa pasti dunia percaya? Saudara baca di ayat 26: “tetapi kamu tidak percaya” –tetap tidak percaya juga. Setelah Yesus melakukan pekerjaan di dalam nama Bapa-Nya –dan itu yang seharusnya memberi kesaksian tentang Yesus—mereka tetap tidak percaya. Mengapa mereka tidak percaya? Apakah karena pekerjaannya kurang berkuasa? Atau pekerjaannya kurang mengesankan? Atau kurang cocok dengan ekspektasi mereka? Yesus bilang: “karena kamu tidak termasuk domba-domba-Ku”. Ini bicara tentang pilihan di dalam Injil Yohanes, yaitu ‘karena kamu tidak termasuk domba-domba-Ku’.
Kalau Saudara perhatikan bagian ini, Yesus ini sedang berbicara kepada orang-orang yang tidak termasuk domba-domba-Nya, tetapi tetap Dia memberikan penjelasan yang begitu panjang, sabar luar biasa. Kalau Saudara bandingkan dengan ketika Dia berada di hadapan Herodes, di situ Dia tidak keluar satu kalimat pun; ini bukan berarti Yesus mood-nya berubah, melainkan Dia dengan tepat mengetahui mana yang masih harus bicara –termasuk kalimat-kalimat penghakiman dan teguran ini—yang orang ini masih boleh mendengar, dan saat-saat orang tidak bisa dengar sama sekali, total silence. Jadi ada nuansa Yesus menjawab dengan sabar dan mengatakan dengan terus terang “kamu tidak termasuk domba-domba-Ku, karena itu kamu tidak percaya, dan karena itu juga kamu tidak bisa melihat pekerjaan-pekerjaan yang Kulakukan di dalam nama Bapa”.
Gereja dipanggil untuk mempersaksikan kesaksian yang sederhana ini, yaitu dengan terlibat di dalam pekerjaan Allah. Gereja yang terlibat di dalam pekerjaan Allah, itulah Gereja yang seperti Kristus; dan kesaksian itu cukup, menurut perikop ini. Tidak perlu kesaksian yang lain, tidak perlu apologetika yang rumit-rumit apalagi sampai mempermalukan orang yang non Reformed atau non Kristen karena mereka kalah logika atau lebih tidak tajam pikirannya, dsb. –itu semua cara dunia, bukan cara Alkitab. Cara Alkitab adalah melakukan pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan di dalam nama Allah Bapa.
Kalau kita terlibat dalam pekerjaan Allah, itu sudah kesaksian bagi Gereja, dan itu cukup. Yesus yang adalah Anak Allah, Dia mencukupkan diri dengan kesaksian yang seperti ini. Maka Saudara dan saya dipanggil untuk mengikuti Kristus, di tengah-tengah ketidakpercayaan manusia. Lalu kalau orang tidak percaya, bagaimana? Secara daging, kita ingin membuktikan diri, ingin menjelaskan, apalagi kalau Saudara sendiri sudah hidup benar dan tulus tapi orang salah mengerti dan menuduh Saudara sebagai orang fasik. Tapi makin menjelaskan, makin tidak ada poinnya, makin buang-buang waktu, makin distracted, dan kita tidak bisa mengerjakan pekerjaan Allah karena kita jadinya bukan memberitakan Kristus, malah menjelaskan “saya bukan orang fasik”, dsb. Yang seperti ini, bisa jadi satu tipuan setan yang membuat kita terdistraksi dari mengerjakan pekerjaan-pekerjaan Allah, kita sibuk membela diri sendiri, atau –mungkin sedikit lebih mulia– bukan membela diri sendiri tapi membela gereja sendiri. Tetapi kalau kita melihat bagian ini, yang dilakukan Yesus Kristus –kesaksian yang paling powerful– adalah ketika Sang Anak ini melakukan pekerjaan Bapa-Nya, dan hanya melakukan pekerjaan Bapa-Nya saja. Kalau Saudara bisa terlibat di sini, itu adalah satu kesaksian, yang dilihat oleh Bapa, disaksikan oleh Allah Tritunggal, dan Allah Tritunggal yang akan mengkonfirmasikan bahwa kita adalah Gereja yang berkenan kepada Tuhan.
Kesaksian-kesaksian yang lain itu tidak ada poinnya, dan mendistraksi orang dari melakukan pekerjaan Allah. Di sini Saudara mungkin tanya, apa itu pekerjaan Allah? Saudara lihat, apa pekerjaan Allah yang dilakukan oleh Yesus. Yesus, waktu di dalam dunia; Dia membuka pengenalan akan Allah yang sejati –itulah pekerjaan Allah. Yesus memberikan pewahyuan/ penyataan supaya orang yang tidak mengenal Allah yang sejati, bisa mengenal Allah yang sejati, itulah pekerjaan Allah. Orang-orang yang di Bait Allah, Yerusalem, itu beribadah, tetapi mereka tidak bisa beribadah dengan benar; dan Yesus membuka kemungkinan ini, yaitu beribadah dengan benar. Orang yang hidup di dalam “musim dingin”, hatinya dingin, tidak ada cinta kasih, penuh dengan ketidakpercayaan, kecurigaan, dsb., lalu Yesus memberikan kehangatan di dalam kebenaran dan di dalam cinta kasih. Inilah pekerjaan Allah.
Saudara jangan salah tangkap bahwa pusatnya adalah Yesus melakukan mujizat –itu salah. Memang di dalam Injil Yohanes bukan tanpa mujizat –itu betul—tetapi mujizat dalam bahasa aslinya memakai istilah ‘tanda’. Mujizat itu tanda, dan gol-nya bukan tanda melainkan yang ditunjuk oleh tanda; yang ditunjuk oleh tanda adalah pengenalan manusia akan siapa sebetulnya Pribadi Yesus. Waktu Yesus melakukan mujizat mengenyangkan 5000 orang lebih itu, sebetulnya bukan mujizatnya yang mau dinyatakan, tapi gol dari pekerjaan Allah-nya adalah supaya mereka mengenal bahwa Yesus adalah Roti Hidup, bukan bahwa Yesus bisa melakukan mujizat itu. Hal seperti itu sudah diselesaikan dalam Injil Yohanes; ada orang yang mau mengikut Yesus karena mereka kenyang, karena mereka mau dapat mujizat itu terus-menerus, dan Yesus kecewa terhadap mereka, Yesus tidak mau mempercayakan diri-Nya kepada mereka, karena gol sebetulnya adalah supaya mereka, melalui mujizat mengenyangkan ribuan orang dengan roti, boleh datang kepada pengenalan bahwa Yesus-lah Roti Hidup. Tetapi mereka tidak tertarik dengan itu, mereka tertariknya dengan roti jasmani yang setelahnya dibuang di jamban itu.
Ayat 26, “tetapi kamu tidak percaya, karena kamu tidak termasuk domba-domba-Ku.” Yang tidak termasuk domba, dia tidak tertarik, tidak percaya, tidak menggubris meski dijelaskan bagaimanapun, karena dia memang bukan domba. Tetapi Saudara lihat di sini, Yesus masih memberikan penjelasan; mengapa? Ada 2 kemungkinan: pertama, masih ada kemungkinan/ undangan untuk bertobat; dan kedua, ini adalah kalimat penghakiman bagi mereka. Seandainya bukan kalimat penghakiman, berarti mungkin masih ada orang pilihan di antara mereka yang akan kembali. Atau dalam konteks penulisan Yohanes, di antara yang membaca pasti ada domba-domba –termasuk Saudara dan saya yang membaca bagian ini– supaya tahu juga bagaimana Yesus berurusan dengan yang bukan domba-domba. Tetapi waktu saat itu Yesus berbicara kepada orang-orang yang mengelilingi Dia, mungkin saja tidak ada domba sama sekali dan semuanya serigala, namun toh bagian ini dalam pimpinan Roh Kudus juga ditulis oleh Yohanes.
Ayat 27: “Domba-domba-Ku mendengarkan suara-Ku dan Aku mengenal mereka dan mereka mengikut Aku” –ini sebetulnya satu pengulangan cerita ‘gembala yang baik’. Ayat 26 kalau kita baca secara sederhana adalah kalimat penghakiman, tetapi kemudian diikuti ayat 27 ini. Seandainya mereka itu semua serigala lalu mengapa Yesus mengatakan kalimat ayat 27 ini? Di sini ada 3 lapis, yang kita musti membedakannya: pertama, ketika Yesus sendiri berada dalam kejadian tersebut; kedua, waktu Yohanes mencatat, dan dia punya kepentingan untuk mengajar jemaatnya; ketiga, waktu Saudara dan saya membaca catatan ini.
Sudah pasti ayat 27 ini menjadi penghiburan yang besar bagi jemaat yang dituju oleh Yohanes waktu dia menulis Injil ini –“Domba-domba-Ku mendengarkan suara-Ku dan Aku mengenal mereka dan mereka mengikut Aku.” Tanda orang pilihan, tanda orang yang betul-betul di-predestinasi-kan untuk percaya dan menerima keselamatan di dalam Kristus, salah satu yang amat sangat penting yaitu: mendengarkan suara Kristus. Ada orang yang ikut kebaktian tapi dia tidak pernah tertarik mendengar suara Kristus; itu orang yang betul-betul dalam keadaan bahaya sekali. Saya tidak tahu waktu Saudara mendengar Firman Tuhan bagaimana sikapnya, saya tidak mahatahu, tapi Tuhan mahatahu, Tuhan meihat keadaan hati Saudara. Memang kita tidak boleh tertipu dengan fenomena; kadang orang mendengar Firman Tuhan seperti gelisah, seperti tidak mendengarkan, tetapi bisa jadi dialah orang yang mendengarkan; sebaliknya, yang diam-diam, bisa jadi sedang melamun. Secara fenomena kita bisa salah melihat, tapi Tuhan melihat sampai kedalaman hati. Kalau seseorang adalah orang pilihan, betul-betul domba yang dipilih, maka dia mendengar suara Kristus. Sedangkan yang serigala, sama sekali tidak tertarik. Dia bisa saja datang ke gereja, sopan, tidak teriak-teriak, tapi ini bukan cuma soal manner melainkan sikap hati yang mau dilihat oleh Tuhan.
Ayat tadi mengatakan: “mendengarkan suara-Ku dan Aku mengenal mereka” –Tuhan itu mengenal. Si pembuat-pembuat kejahatan itu, di dalam Injil Matius dikatakan: “Enyahlah engkau pembuat kejahatan, Aku tidak mengenal engkau.” Tuhan mengenal, atau Tuhan tidak mengenal; kalau Tuhan mengenal, berarti ada relasi cinta dengan orang itu, sedangkan kalau Tuhan tidak mengenal, berarti orang ini objek murka Allah. Yang mengenal, dikasihi; dan tanda bahwa mereka dikasihi yaitu: mereka diberikan hati yang baru untuk suka mendengar suara Tuhan. Tandanya bukan konfirmasi-konfirmasi yang lain. Banyak orang salah, merasa seperti diberkati Tuhan, ada kesehatan, anak pintar-pintar, secara ukuran dunia juga relatif kaya, lalu dia menipu dirinya sendiri, ini ‘kan berkat Tuhan, orang lain hidupnya susah tapi saya keluarganya baik-baik saja, rumah saya juga bagus, anak saya pintar-pintar, orang lain kena kanker tapi saya sehat, bukankah ini berarti Tuhan berkenan kepada saya?? Kalau Tuhan berkenan kepada saya, pasti saya orang pilihan dong, buktinya berkat Tuhan mengelilingi saya.
Tapi kalau Saudara baca dalam Injil Yohanes pasal 10, bukan itu. Orang pilihan bukan orang yang dikelilingi dengan kesehatan, kekayaan, anak-anak yang pintar; sama sekali bukan. Orang fasik yang dikelilingi itu semua pun banyak. Yang menjadi tanda orang pilihan bukan keadaan yang mujur itu, yang seperti diberkati Tuhan. Saya ambil contoh: orang Israel pernah diberi “berkat”, yaitu dikelilingi burung puyuh dari langit, sedangkan biasanya tidak ada burung puyuh, tidak ada daging, cuma makan manna. Hari itu, mereka terus bersungut-sungut minta daging, dan akhirnya Tuhan memberikan daging luar biasa melimpah. Di situ bisakah kita mengatakan, “Wah, hari ini kita luar biasa diberkati Tuhan, karena biasanya cuma manna, kurang diberkati, tapi hari ini ada burung puyuh dari Tuhan –Alkitab mengatakan ‘dari Tuhan’, bukan ‘dari setan’—inilah hari berkat Tuhan”? Ini seperti mengatakan, “Sekarang saya kaya, dulu saya miskin, sekarang saya sehat, anak pintar-pintar, inilah berkat Tuhan”; Saudara yakin itu berkat Tuhan? Dalam peristiwa burung puyuh tadi, ribuan orang Israel mati karena daging-daging itu, karena mereka tidak bisa menguasai lidahnya. Mereka mati karena dosa kerakusan. Jadi lebih baik mana, mereka tetap makan manna dan tidak mati karena dilindungi dari kemungkinan melampiaskan dosa kerakusannya, atau Tuhan memberikan daging seperti yang mereka mau lalu mereka mengumbar nafsu kerakusannya dan ribuan orang mati karena Tuhan murka? Mana yang lebih mengeluarkan berkat, ada daging atau tidak ada daging?
Tuhan itu mahabijaksana. Keadaan kesehatan kita, ekonomi kita, semuanya di dalam bjaksana Tuhan, kita jangan bersungut-sungut. Ini bukan berarti Saudara tidak boleh maju, tetapi kita musti bisa menerima keadaan kita hari ini, bahwa itu di dalam bijaksana Tuhan. Kalau kita diberikan resources lebih, kemungkinan fasilitas lebih, mungkin kita jadi orang-orang yang liar; dan Tuhan sudah melihat itu, maka Tuhan membatasi. Itulah cara Tuhan mengasihi kita dan memelihara kehidupan kita.
Kembali ke bagian ini; tanda dari orang pilihan bukanlah berkat-berkat jasmani yang di sekelilingnya itu, melainkan terutama adalah: mereka bisa mendengar dan merespons suara Tuhan, dan Tuhan mengenal mereka, dan mereka mengikut Kristus. Gereja yang ada tanda ini –tanda yang terpenting—adalah Gereja yang mengikut Kristus. Gereja yang gedungnya besar, rapi bangunannya, atau bisa ekspansi terus, dsb., itu bukan tanda. Tanda kalau Tuhan betul-betul memberkati Gereja, yaitu bahwa Gereja itu mengikut Kristus, tidak peduli gerejanya ada di tempat kumuh sekalipun atau di tempat yang bagus.
Ayat 28, Yesus mengatakan: “Aku memberikan hidup yang kekal kepada mereka dan mereka pasti tidak akan binasa sampai selama-lamanya dan seorangpun tidak akan merebut mereka dari tangan-Ku.” Menurut Injil Yohanes, definisi hidup kekal adalah mengenal Allah, mengenal Dia yang mengutus Yesus Kristus, mengenal Anak yang diutus oleh Bapa. Hidup kekal itu isinya adalah relasi, bukan durasi. Durasi memang termasuk, tapi pengertian hidup kekal terutama adalah isinya, yaitu pengenalan/ relasi dengan Allah. Ini lebih penting daripada konsep hidup yang tidak ada habisnya. Kalau Saudara mendengar istilah ‘hidup kekal’ pengertian kita pertama-tama adalah ‘hidup yang selama-lamanya’. Ini tidak salah. Tapi terutama bukan soal ‘selama-lamanya’, karena orang fasik pun selama-lamanya di neraka, demikian juga setan, lalu apakah ini hidup yang kekal? Mungkin Saudara jawab “itu bukan hidup kekal tapi kematian kekal”, namuan bagaimanapun juga itu adalah selama-lamanya. Jadi pengertiannya bukan dalam hal durasi ‘selama-lamanya’, tekanan utamanya ada dalam kata ‘hidup’ –hidup yang kekal—dan hidup itu maksudnya adalah relasi. Kalau kekal tapi mati kekal, untuk apa??
Di dalam konsep Israel, hidup maksudnya adalah relasi. Oleh sebab itu waktu Adam dan Hawa dikatakan “kalau kamu makan, kamu akan mati”, tapi kita orang Modern bilang: “Apanya yang mati, buktinya dia tetap bisa jalan-jalan?? Jadi benar setan dong yang bilang ‘kamu tidak akan mati’, buktinya setelah makan ternyata tidak mati.” Itu salah mengerti istilah “hidup” dan “mati”, karena konsep kita tentang mati dan hidup terutama soal biologis –belum lagi teori biologis pun dalam hal ini ganti-ganti terus, antara soal nafas berhenti, soal jantungnya, brain-death, dsb. Tetapi di dalam Alkitab, di dalam pemahaman kepercayaan Ibrani, yang dimaksud “mati” adalah tidak ada relasi. Orang kusta itu mati. Orang yang sakit, paling kasihan bukan terutama karena penyakit atau rasa sakitnya melainkan karena dia jadi miskin relasi; dan kita musti memerangi hal itu karena itu adalah cicipan kematian. Waktu Yesus di atas kayu salib, Dia teriak, “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” –itulah rusaknya relasi. Itulah yang paling berat. Di situ Dia mengalami siksaan neraka.
Jadi, waktu di bagian ini bicara “Aku memberikan hidup yang kekal”, berarti mulai di sini dan sekarang, kita sudah bisa mengenal Allah Trituggal –mengenal Bapa, mengenal Anak, mengenal Roh Kudus—yang menyatakannya kepada kita, dan itu adalah hidup yang kekal. Meskipun pengenalan ini masih parsial, belum sempurna, tapi makin hari kita makin mengenal Tuhan. Orang yang makin mengenal Tuhan, hidupnya diubahkan. Ada orang sudah bergereja bertahun-tahun tapi tidak ada perubahan. Sekarang ini ada “ten years challenge”; coba Saudara ikut ten years challenge ala Reformed: your Christ likeness ten years ago itu –karakter, kesabaran, cinta kasih, penguasaan emosi, pengenalan akan Firman Tuhan– Saudara lihat hari ini bagaimana dibandingkan 10 tahun lalu. Kalau lihat di foto, kita bangga tidak berubah dari 10 tahun lalu, masih tetap muda juga; tetapi kalau dibandingkan 10 tahun lalu, hari ini pengenalan Firman Tuhan saya sama, kesabaran saya juga sama, emosi saya juga sama, berarti Saudara gagal di dalam kehidupan. Sepuluh tahun lalu dan sekarang koq sama? Koq tidak ada pertumbuhan? Koq tidak makin dewasa? Berarti ada yang salah. Orang ini datang terus ke gereja, bukannya 4 tahun absen misalnya, tiap Minggu selalu datang, tapi mengapa dia tidak berubah? Yaitu karena dia tidak bertumbuh di dalam pengenalan akan Allah. Tidak ada encounter dengan Allah, tidak ada relasi dengan Allah. Kalau tidak ada, ya, bagaimana bisa berubah. Psikologi sekuler tidak akan mengubah manusia. Ajaran-ajaran moralisme dan sebagainya itu cuma mengingatkan saja, sementara kita tetap di situ terus karena pada dasarnya tidak ada perubahan karakter, tidak ada perubahan hati, berhubung memang tidak pernah disentuh bagian tersebut.
Orang tidak tertarik mendengarkan Firman, suara Tuhan, bagaimana mungkin bisa ada perubahan? Akhirnya hidup sama terus, terus-menerus begitu. Keadaan ini bahaya sekali. Gereja yang seperti ini juga bahaya sekali, tidak pernah bertumbuh. Manusia bisa mencari dalil untuk menutupi ketidakbertumbuhan ini; dan di sini justru bahayanya. Dalam hal ini daftarnya bisa panjang sekali, tapi saya sebutkan salah satu saja: Saudara bisa menutupinya dengan kesibukan. Saya dibilang tidak bertumbuh? Nanti dulu, saya sibuk lho, saya rajin lho, saya ikut ini, ikut ini, ikut ini, dst. Dia menilai pertumbuhan dari ikut kegiatan-kegiatan, tapi tetap tidak bertumbuh sebetulnya Saya bukan mengatakan bahwa ikut kegiatan itu sama sekali tidak ada artinya –bukan itu poinnya—poin saya adalah: kalau kita tidak bertumbuh, lalu kita ikut kegiatan-kegiatan, ya, mungkin tetap tidak bertumbuh juga. Bukan berarti orang yang bertumbuh tidak perlu ikut kegiatan, tetapi poinnya adalah kita bisa pakai segala macam cara untuk menutupi bahwa sebenarnya tidak bertumbuh.
Bisa juga Saudara tidak bertumbuh, tapi Saudara selalu memberi persembahan. Lalu waktu orang bilang “Lu ‘gak bertumbuh”, Saudara jawab, “Nanti dulu, lu lagi bangun gereja, siapa yang kasih persembahan??” –memberi uang persembahan dipakai untuk menutupi ketidakbertumbuhan. Di sini juga sama, saya bukan mau membuat Saudara salah mengerti bahwa uang persembahan tidak penting –bukan itu poinnya. Poinnya adalah: kita bisa menutupi keadaan diri yang tidak bertumbuh dengan ini dan itu, bahkan mungkin dengan senyum, dan dengan macam-macam cara lainnya, tapi sebetulnya tidak bertumbuh.
Kembali ke bagian ini, waktu seseorang bertumbuh, dia diberikan hidup kekal; dan hidup kekal adalah mengenal Allah. Waktu kita mengenal Allah, mengenal Kristus, berarti ada relasi dengan Kristus; dan orang yang berelasi dengan Kristus, pasti berubah kehidupannya. Tidak ada orang yang berjumpa dengan Kristus, yang kemudian tidak ada efek apa-apa. Termasuk juga orang-orang Yahudi ini; meskipun mereka tidak percaya, tapi kebencian mereka makin lama makin dalam –artinya berubah juga. Tidak ada orang yang berjumpa dengan Kristus, lalu selanjutnya tidak engage –baik engage di dalam cinta, ibadah, tersungkur, ataupun engage di dalam prasangka yang makin lama makin benci dan makin dalam makin dalam kebenciannya. Yesus bukanlah pribadi kategori ‘gak penting yang Saudara bisa lihat sepintas saja, “Ooo, Yesus, lagi ada di sini, okelah” –Dia bukan pribadi semacam itu. Kalau Saudara berjumpa dengan api, Saudara pasti engage; api bukan suatu barang yang Saudara bisa bilang “Ooo, begini rasanya, ya” –itu bukan perjumpaan dengan api. Perjumpaan dengan Tuhan apalagi, itu tidak mungkin tidak menghanguskan; entah kita terbakar di dalam pengertian positif, atau kita terbakar hangus –maksudnya binasa. Tidak ada perjumpaan yang doesn’t matter, sekedar “Ooo, begini toh perjumpaan dengan Tuhan, okelah, tambah satu pengalaman, bagus juga, ini 1 of ‘100.000 things that you have to experience before you die’, yang salah satunya adalah berjumpa dengan Tuhan”. Perjumpaan dengan Tuhan bukan sekedar menambah kekayaan pengalaman, ini adalah antara hidup atau mati.
Terakhir, ayat 29-30: “Bapa-Ku, yang memberikan mereka kepada-Ku, lebih besar dari pada siapapun, dan seorang pun tidak dapat merebut mereka dari tangan Bapa. Aku dan Bapa adalah satu." Mengenai hal ini, dalam introduksi tadi saya mengatakan bahwa Bapa-bapa Gereja sering menafsir konsubstansialitas; tetapi dalam Injil Yohanes, kalimat “Aku dan Bapa adalah satu”, pertama berarti kesatuan aksi, bahwa Anak selalu mengerjakan pekerjaan Bapa-Nya, dalam hal ini Bapa dan Anak satu. Ada kesatuan karya di sini; dan hal ini bukan eksklusif tapi dibuka untuk Gereja. Waktu Gereja melakukan hanya pekerjaan Bapa, Gereja dan Allah itu satu. Waktu Saudara dan saya sebagai orang berdosa menerima pengampunan dan keselamatan di dalam Yesus Kristus, lalu kita mengerjakan pekerjaan Allah, di situ kita dan Bapa satu seperti Anak dan Bapa satu. Ini bukan bicara konsubstansialitas yang eksklusif yang tidak bisa ditembus siapapun, ini bicara tentang kesatuan karya. Mengapa kita tidak menikmati kesatuan dengan Allah? Yaitu karena kita tidak tertarik mengerjakan pekerjaan Allah, lebih tertarik mengerjakan pekerjaan kita sendiri. Tetapi waktu kita terlibat, berpartisipasi di daam pekerjaan Allah, kita bisa menikmati artinya perkataan Yesus, “Bapa di dalam Aku, Aku di dalam Bapa”, dan di dalam Kristus kita bisa bilang “Bapa-dan-Anak di dalam kita, dan kita di dalam Bapa-dan-Anak”. Ini suatu kesatuan Tritunggal yang dibuka menjadi berkat untuk manusia. Di dalam Yohanes 17 Saudara akan mendapati doa Kristus: “supaya mereka juga di dalam Kita”.
Yang kedua, di dalam konteks yang lebih dekat, Bapa dan Anak itu satu di dalam kekuatan memelihara orang-orang pilihan-Nya, sebagaimana dikatakan di sini “tidak akan direbut oleh siapapun” (ayat 29). Kalimat di ayat 30, “Aku dan Bapa adalah satu” ini, segera menyusul ayat 29 yang dikatakan: “Bapa-Ku yang memberikan mereka kepada-Ku (kepada Sang Anak), Dia lebih besar dari siapapun, dan seorang pun tidak dapat merebut mereka dari tangan Bapa”. Orang-orang pilihan dipelihara oleh tangan Bapa yang mahakuasa itu, orang-orang yang diberikan kepada Anak, yang kemudian Anak mengatakan “Aku –yang menerima orang pilihan dari tangan Bapa– dan Bapa –yang memberikan domba-domba/ orang pilihan ini ke tangan-Ku– adalah satu; dan Kami akan memelihara orang-orang itu sehingga tidak ada satu orang pun –tidak ada apapun—yang bisa merebut mereka dari tangan Kami”; itulah sebetulnya arti “Aku dan Bapa adalah satu” di sini. Ini bukan bicara satu kesatuan abstrak, atau kesatuan ontologis, atau kesatuan filosofis, atau apapun istilah lainnya, melainkan bicara dalam konteks pemeliharaan yang amat sangat praktis dan sangat ada kaitan dengan kehidupan Saudara dan saya.
Bapa dan Anak itu satu di dalam kesatuan memelihara kehidupan Saudara dan saya, sehingga Saudara dan saya yang adalah orang-orang pilihan, akan terus dipeliharakan supaya kita bisa terus mendengar suara Tuhan, supaya kita boleh terus mengikut Kristus, supaya kita boleh terus mengerjakan pekerjaan Allah. Bapa dan Anak satu, dan akan memastikan itu semua terjadi dalam kehidupan kita. Berbahagia kalau kita sebagai Gereja, kita taat, kita memberi diri dipimpin dan menikmati persekutuan/ persatuan itu, yang dibuka bagi kita. Inilah pergumulan hamba Tuhan; waktu hal ini semakin terjadi di dalam kehidupan jemaat, di dalam kehidupan Gereja, di situlah kebahagian seorang hamba Tuhan; dan saya harap, kebahagiaan Saudara juga. Dan itu pasti juga kebahagiaan Tuhan.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading