Mazmur 25 ini sebuah mazmur yang sangat beragam isinya, sehingga memang tidak gampang memberikan satu judul untuk mazmur yang sangat limpah seperti ini. Kalau Saudara membaca Alkitab versi Bahasa Indonesia, di situ diberi judul “Doa Mohon Ampun dan Perlindungan” –dan kita pasti bisa melihat mazmur ini dari perspektif tersebut. Namun saya mengikuti perspektif yang lain, yaitu sebagaimana judul yang diberikan Alkitab terjemahan bahasa Inggris (ESV), “Teach Me Your Path” (“Ajarlah Aku Jalan-Jalan-Mu”). Jadi, kita mau membaca Mazmur 25 dari perspektif ini, yang merupakan topik sentralnya, yaitu doa untuk diajar oleh Tuhan.
Ayat 1 dimulai dengan kalimat “Kepada-Mu, ya TUHAN, kuangkat jiwaku” (“I lift up my soul”). Mungkin gestur secara fisik yang seringkali kita pakai waktu berdoa adalah ‘kuangkat tanganku’ (‘I lift up my hand’) –berdoa dengan mengangkat tangan. Kita di dalam gereja Reformed mungkin kurang dalam hal gestur fisik (bodily gesture), dan saya percaya salah satu alasannya adalah karena gestur fisik tidak selalu mengekspresikan yang di dalam hati. Di dalam spiritualitas Reformed seperti ada kecurigaan secara umum terhadap ibadah yang sifatnya didominasi dengan hal-hal eksternal; maksudnya, bisa saja mengangkat tangan ke atas tapi hatinya tidak betul-betul bergantung kepada Tuhan, sehingga gestur tersebut seperti tidak ada gunanya. Saya percaya, itu sebabnya di Mazmur ini bukan cuma dikatakan “kuangkat tanganku” –mengangkat tangan itu satu hal– tapi di sini dikatakan “kuangkat jiwaku”. Memang tidak salah kalimat “kuangkat tanganku” –di mazmur yang lain ada juga kalimat seperti itu—tapi penulis Mazmur 25 ini menyadari bahwa urusannya bukan cuma mengangkat tangan tapi juga mengangkat hati kita, karena ibadah bukan cuma urusan eksternal saja tapi juga internal (dari dalam hati).
Kalimat ayat 1 ini sebetulnya boleh juga diterjemahkan dengan agak bebas, dan juga merupakan sinonimnya, bahwa istilah “kuangkat jiwaku” berarti kita percaya kepada Tuhan –seperti dikatakan di ayat 2. Orang yang mengangkat jiwanya kepada Tuhan, dia adalah orang yang juga percaya kepada Tuhan. Atau seperti dikatakan di ayat 20 “aku berlindung pada-Mu”, yang dalam hal ini sinonim dengan “aku percaya kepada Tuhan”.
Sebelum seseorang berdoa kepada Tuhan, dia musti percaya. Orang yang berdoa tapi bukan dilandasi kepercayaan kepada Tuhan, jadi seperti berdoa secara eksternal saja; mulutnya komat-kamit tapi mungkin lebih merupakan ekspresi kepanikan daripada doa yang benar. Tuhan Yesus mengatakan dalam Injil Matius, “kamu berdoa jangan seperti orang yang tidak mengenal Tuhan; mereka berdoa bertele-tele”. Bertele-tele ini artinya bukan sekedar mengulang atau repetisi; tapi mengapa orang bisa berdoa bertele-tele, yaitu karena dia sendiri tidak percaya. Jadi ini suatu ekspresi yang penuh kekuatiran, yang membuat doanya bertele-tele, seperti mengulang-ulang dan mengulang-ulang seakan Tuhan harus terus diingatkan lagi, dan lagi, dan lagi.
Kehidupan doa kita akan berubah kalau kita percaya bahwa Tuhan itu tertarik untuk memberkati kita lebih daripada kita tertarik diberkati Tuhan. Doa menjadi sesuatu yang sangat membebaskan, karena kita percaya Tuhan tertarik terhadap kehidupan kita, lebih daripada kita sendiri tertarik akan kehidupan kita. Sebaliknya doa akan berat sekali kalau kita berpikir (presuposisi-nya) adalah ‘saya peduli sekali dengan kehidupan saya, tapi Tuhan kayaknya kurang memperhatikan’; waktu kita berdoa dengan pikiran seperti itu, doa jadi terasa sesuatu yang berat sekali. Salah satu gambaran yang menarik dalam perumpamaan “Anak yang Hilang”, sebelum anak bungsu itu kembali kepada bapanya, bapanya sudah menunggu. Jadi, dalam hal ini yang membuat ringan adalah kalau kita tahu bahwa sebelum kita berdoa, Tuhan sudah menunggu kita berdoa. Itu sebabnya, berdoalah dengan kepercayaan, datang kepada Tuhan; bukan sekedar menaikkan keinginan kita, melainkan kita percaya bahwa Tuhan memang tertarik dengan kehidupan kita. Dari sisi Tuhan, Dia tertarik pada kita; dari sisi kita, kita tertarik apa dari Tuhan? Kalau kita membaca dari Mazmur ini, “Teach Me your Path”, yang kita tertarik seharusnya adalah pengajaran-pengajaran yang dari Tuhan.
Istilah “instruction” sebenarnya adalah salah satu istilah yang dipakai untuk menerjemahkan “torah” (taurat); yang dalam Mazmur ini dikatakan “beritahukanlah jalan-jalan-Mu” (ayat 4). Kita perlu mempunyai ketertarikan terhadap divine instruction itu, termasuk waktu kita membaca di ayat 3 “Ya, semua orang yang menantikan Engkau takkan mendapat malu; yang mendapat malu ialah mereka yang berbuat khianat dengan tidak ada alasannya”. Menurut para ahli Perjanjian Lama, bahasa seperti ini tipikal dari zaman pembuangan; maksudnya, ini adalah doa orang Israel waktu mereka terbuang dari hadapan Tuhan. Kita tahu, dalam keadaan seperti itu mereka mendapat malu, karena bangsa Israel sebagai bangsa pilihan yang Allah-nya adalah Yahweh, tidak seharusnya kalah dalam peperangan. Namun waktu mereka kalah, mereka introspeksi, ‘mengapa kita bisa kalah, mengapa sampai dipermalukan seperti ini, yang pastinya bukan karena Yahweh kurang berkuasa’, lalu mereka sadar, bahwa itu karena mereka tidak mengindahkan divine instruction. Itu sebabnya bagian ini adalah kotbah kepada diri sendiri, waktu di situ dikatakan “semua orang yang menantikan Engkau takkan mendapat malu”; maksudnya, ‘kita jangan seperti nenek moyang kita yang tidak taat kepada Tuhan, sehingga akhirnya mengalami pembuangan seperti ini’.
Dalam kalimat “semua orang yang menantikan Engkau takkan mendapat malu” ini, istilah “menantikan” juga tidak kalah penting. Kita perlu sabar terhadap pemulihan yang Tuhan kerjakan. Waktu orang Israel di zaman pembuangan bertobat, mengaku salah, itu bukan berarti besoknya sudah langsung bebas. Pekerjaan Tuhan seringkali tidak instan seperti itu. Ada saatnya seseorang bertobat dari kesalahannya lalu memperhatikan divine instruction, tapipemulihan Tuhan masih di depan sana. Dalam hal ini, orang-orang percaya perlu tetap dengan sabar menantikan pemulihan yang dari Tuhan.
Beberapa waktu lalu Bapak Kenny Ruben share pemikiran dari Henry Nouwen yang membahas tentang pentingnya theology of waiting; intinya, di dalam kehidupan ini kita seringkali tidak sabar menantikan Tuhan. Kita bahkan lupa bahwa Tuhan kita sendiri penuh dengan penantian. Seandainya ada yang tidak perlu menunggu, itu seharusnya adalah Tuhan. Coba Saudara lihat orang-orang besar yang berkuasa itu, mereka kena macet pun tidak mau menunggu, mereka harus tetap jalan, sementara kita –orang-orang yang tidak terlalu penting—yang harus menunggu. Orang-orang “besar”, ditandai dengan “mereka tidak perlu menunggu”; yang menunggu, yang mengantri, itu adalah orang-orang kecil, orang-orang biasa. Jadi kalau mengikuti logika ini, yang paling tidak perlu menunggu sudah pasti adalah Tuhan, karena Dia the most powerful. Tetapi ternyata bukan. Alkitab tidak membicarakan Tuhan yang seperti itu. Tuhan yang tidak mau menunggu karena dia the most powerful, bukanlah Tuhan yang ada di Alkitab.
Keindahan dari Tuhan yang ada di dalam Alkitab adalah justru karena Dia sabar menunggu. Seperti cerita perumpamaan “Anak yang Hilang”, di situ bapanya sabar menunggu, menunggu, dan menunggu, sampai dia kembali. Dan, Tuhan mengundang Saudara dan saya untuk juga seperti Dia yang juga sabar menunggu. Kalau Saudara melihat kehidupan Kristus selama Dia mengajar, Dia juga sangat sabar menunggu pertumbuhan murid-murid-Nya. Murid-murid-Nya sulit untuk memahami perkataan Kristus, mereka seperti ‘gak ngerti-ngerti, tapi Yesus dengan sabar mengajar mereka. Pada akhirnya, kita, orang-orang percaya, juga diajak untuk berbagian dalam kesabaran Ilahi ini, yaitu dengan menantikan.
Kita bertobat, kita memperbaharui kehidupan kita, tapi itu bukan berarti besoknya kita langsung pulih dan berada di atas lagi; kita musti menantikan Tuhan. Bahkan, kalau melihat konsep yang kita terima baik dalam Mazmur 25 maupun mazmur-mazmur yang lain, kita akan mendapati bahwa ada saatnya satu generasi bertobat, tapi yang kemudian menikmati adalah generasi berikutnya; kita yang memperbaiki, lalu yang menikmati adalah anak-anak kita. Menunggu adalah bagian dari ekspresi keluasan hati kita, hati yang tidak egois, karena kalau saya sudah menunggu, bukan berarti saya harus mendapat benefit-nya. Mungkin saja saya yang menunggu, dan yang mendapat benefit-nya adalah keturunan saya. Berbahagialah kalau kita ini seperti Tuhan, yang punya sikap penantian dengan segala kesabaran. Kapan Tuhan akan memulihkan, itu ada di dalam waktu Tuhan, di dalam kedaulatan Tuhan, dan kita musti sabar dalam menantikan itu. Bisa menantikan, itu juga termasuk dalam divine instruction tadi, karena Tuhan mau supaya kita belajar menunggu.
Di bagian ini, bahwa instruction –atau dalam Alkitab bahasa Indonesia, “jalan-jalan-Mu”– adalah sesuatu yang sentral, Saudara bisa mendapatinya di ayat 4 dan 5. Ini adalah isi permohonan pemazmur, yaitu “beritahukanlah jalan-jalan-Mu kepadaku, tunjukkan jalan-jalan-Mu kepadaku, bawalah aku berjalan dalam kebenaran-Mu, ajarlah aku”. Inilah permohonan pemazmur.
Lalu bagaimana pemazmur menggambarkan Tuhan di dalam pasal ini? Di ayat 8-10, Saudara membaca “TUHAN itu baik dan benar; … Ia menunjukkan jalan kepada orang yang sesat” –deskripsinya adalah Tuhan yang menunjukkan jalan. “Ia membimbing orang-orang yang rendah hati menurut hukum, … Ia mengajarkan jalan-Nya” –inilah gambaran pemazmur tentang Tuhan.
Ayat 12-14 pun sentral-nya adalah instruction. Apakah ajaran hidup berbijaksana itu? Jawabannya yaitu orang yang takut akan Tuhan, yang kepadanya Tuhan menunjukkan jalan yang harus dipilihnya. Selanjutnya ayat 13, ini sedikit kembali pada hal yang tadi kita bicarakan, yaitu “Orang itu sendiri akan menetap dalam kebahagiaan dan anak cucunya akan mewarisi bumi”. Sekali lagi, kita yang sabar menantikan Tuhan, mungkin kita tidak langsung menuai, tetapi seperti dikatakan di sini, “anak cucunya (generasi berikutnya) akan mewarisi bumi”. Namun intinya adalah kalau kita sendiri memelihara diri berdasarkan hukum Tuhan (divine instruction).
Apa yang dapat kita pelajari dari kaitan antara doa dengan taurat (divine instruction)? Kita bisa melihat di situ, bahwa aspek belajar dengan rendah hati adalah bagian yang sangat penting dari doa. Waktu kita berdoa, bukan tidak boleh mengatakan kebutuhan atau kesedihan Saudara –itu termasuk doa juga pastinya—tetapi doa menjadi tidak komplit kalau kita tidak minta Tuhan mengajarkan kepada kita jalan-jalan-Nya. Salah satu aspek yang sangat penting di dalam doa adalah bagaimana kita meminta Tuhan mengajar kita. Hal itu juga menyatakan ketertarikan kita akan Tuhan, sehingga kita mau mengetahui jalan-jalan-Nya, kita mau mengetahui kehendak-Nya. Orang yang berdoa tapi dia hanya memberitahu kesulitannya, pergumulannya, dsb., sedangkan dia sendiri tidak tertarik untuk mengetahui jalan Tuhan, bagaimana bisa ada pemulihan?? Bukankah dikatakan, seringkali doa mengubah si pendoa itu sendiri?
Saya beberapa kali sharing kepada Saudara, dari pengalaman konseling seringkali ada orang yang cerita pergumulannya, bicara dan terus bicara, dia harap hamba Tuhan bisa mengerti dirinya, tetapi dia sendiri tidak tertarik mendengarkan nasehat kami. Ada juga orang yang suka sekali menasehati orang lain, menikmati sekali waktu menasehati orang lain, berkotbah kepada orang lain, mengajar orang lain, dsb., tapi dia sendiri tidak bisa mendengarkan pengajarannya orang lain. Dia sendiri tidak pernah bisa dinasehati siapa pun, tapi dia suka sekali menasehati orang lain. Kacau orang seperti ini. Apa yang hilang di sini? Seperti yang dikatakan tadi, waktu berdoa kepada Tuhan, tidak minta supaya Tuhan mengajar dirinya. Maka saya tekankan sekali lagi, salah satu subjek di dalam doa kita, harusnya adalah tentang bagaimana kita belajar untuk mengenal jalan-jalan Tuhan. Barulah di situ kita betul-betul bisa jadi orang Kristen yang bertumbuh, karena ini bukan cuma tentang diri kita dan kebutuhan kita melainkan tentang Tuhan dan jalan-jalan-Nya, yang harusnya kita tertarik untuk mengetahuinya, mengalaminya, dan menaatinya dalam kehidupan kita.
Dengan penekanan instruction sebagai topik sentral, hal kedua yang kita bisa lihat yaitu adanya relasi dialektis antara pemberian Tuhan (the gift of God) dengan tanggung jawab kita. Saya kasih contoh supaya kita bisa memahaminya dengan lebih sederhana; misalnya, di ayat 14 dikatakan: “TUHAN bergaul karib dengan orang yang takut akan Dia, dan perjanjian-Nya diberitahukan-Nya kepada mereka”; jadi kalau dari ayat ini, orang yang punya sikap hati takut akan Tuhan, Tuhan akan memberitahukan perjanjian-Nya. Juga ayat 10 dikatakan: “Segala jalan TUHAN adalah kasih setia dan kebenaran bagi orang yang berpegang pada perjanjian-Nya dan peringatan-peringatan-Nya”; jadi, kalau kita berpegang pada perjanjian dengan Tuhan, Tuhan akan menunjukkan jalan-Nya kepada kita. Tetapi, kita sudah membaca dalam ayat-ayat di atasnya, bahwa doanya pemazmur justru supaya Tuhan mengajarkan kepadanya jalan-Nya. Justru yang diminta oleh pemazmur adalah supaya dirinya punya hati yang takut akan Tuhan, supaya dirinya bisa memelihara perjanjian dengan Tuhan. Inilah relasi yang saling memengaruhi itu.
Ayat 10 dan ayat 14 mengatakan, barangsiapa yang berpegang pada perjanjian dengan Tuhan, barangsiapa yang takut akan Tuhan, Tuhan akan menunjukkan jalan-Nya. Tidak mudah untuk mengatakan mana yang lebih dulu, mana yang jadi penyebab (cause) dan mana yang jadi akibat/efeknya (effect); kita tidak bisa mengatakannya dalam hal ini. Saya mengambil perbandingan yang lain, yaitu kalimat yang terkenal dari Katekismus Westminster, “tujuan hidup manusia yang paling puncak adalah memuliakan Tuhan dan menikmati Dia selama-lamanya”. Dalam hal ini, kita sulit memutuskan, apakah kita memuliakan Dia dulu lalu baru bisa menikmati, atau kita menikmati Dia kemudian kita memuliakan Dia. Ini adalah relasi dialektis antara memuliakan dan menikmati Tuhan. Orang yang memuliakan Tuhan, dia semakin menikmati Tuhan; orang yang menikmati Tuhan, dia semakin memuliakan Tuhan. Kita tidak perlu ambil keputusan yang mana lebih dulu, kita bisa mulai dari mana saja.
Sama seperti itu, waktu Mazmur 25 bicara tentang divine instruction, pemazmur berdoa kepada Tuhan “Tuhan tunjukkan jalan-Mu, beritahukan jalan-jalan-Mu kepadaku, berikan kepadaku hati yang takut kepada-Mu, yang mencari Engkau; tolong supaya aku bisa memelihara perjanjian dengan Engkau”, tapi kemudian di ayat 10 dan 14 dikatakan bahwa hal itu diberikan kepada orang-orang yang memegang perjanjian dengan Tuhan. Saudara lihat, ini mungkin seperti “kucing-kucingan” jadinya. Tapi ini bukan kucing-kucingan, melainkan keduanya saling mempengaruhi. Semakin kita sadar bahwa kita ini tidak bisa tertarik dengan jalan-jalan Tuhan, lalu kita memohon kepada Tuhan supaya kita mendapatkan itu, maka semakin kita mendapatkan. Itu juga sebabnya di dalam mazmur ini Saudara mendapati berkali-kali disinggung tentang pengampunan, tentang dosa-dosa kita, dsb.; maksudnya, pemazmur sadar bahwa dia tidak punya ketertarikan tadi sebetulnya, maka dia memohon anugerah Tuhan. Ini perkataan orang yang rendah hati. Ini bukan perkataan orang yang merasa benar sendiri (self-righteous), bukan perkataan orang yang merasa bahwa dialah satu-satunya yang mementingkan jalan Tuhan sementara orang lain tidak ada satu pun yang mencari jalan Tuhan –yang seperti itu bukan pemazmur. Kalau Saudara membaca taurat, akan jelas bahwa taurat mengundang/membawa kita untuk menaati Tuhan, sembari juga menyadari kekurangan dan kelemahan kita, serta kebergantungan kita terhadap belas kasihan dan anugerah Tuhan.
Kita paling kuatir dengan kerohanian yang keliru, yang waktu membaca perintah-perintah Tuhan lalu dihayati dengan “kitalah orang yang bisa melakukan itu”. Betapa celaka penghayatan seperti ini. Misalnya ada perintah “berdoalah senantiasa”, lalu dihayati dengan “kita inilah yang berdoa senantiasa” –itu salah baca namanya. Waktu kita mendengar perintah “carilah wajah Tuhan”, lalu kita menganggap “kitalah itu, yang mencari wajah Tuhan, orang-orang yang lain tidak”. Lalu waktu kita mendengar perintah “beritakanlah Injil”, kita juga menganggap “kitalah yang memberitakan Injil, yang lainnya kurang memberitakan Injil”. Merasa benar sendiri seperti ini sangat berbahaya. Orang-orang Farisi berpikirnya seperti itu. Yesus pernah memberikan perumpamaan, ada dua orang yang sama-sama pergi ke Bait Allah, yang satunya bicara tentang pencapaian keagamaan (religious achievement) dirinya, satunya lagi datang kepada Tuhan mengaku kebangkrutan rohaninya. Lalu Tuhan Yesus mengatakan, yang terakhir itu, yang datang dengan kebangkrutan rohani, pergi dengan dibenarkan oleh Tuhan, sedangkan yang pertama tidak.
Dengan demikian, waktu kita menekankan instruction (taurat), ini sebetulnya adalah hal yang termasuk karunia keselamatan. Kalau kita bisa dididik oleh Tuhan, kalau kita mau mencari jalan-jalan Tuhan, itu pun adalah kasih karunia Tuhan. Tuhan memberikan Taurat, hukum-hukum-Nya, instruksi-instruksi-Nya, itu adalah bagian dari rencana keselamatan Allah. Dan, karena kita bicara tentang rencana keselamatan Allah, maka dalam hal ini juga termasuk bicara anugerah Tuhan. Di dalam ayat-ayat seperti mazmur ini, kita melihat integrasi yang tidak terpisahkan antara pembenaran (justification) dan pengudusan (sanctification). Orang Israel mendapatkan anugerah Tuhan justru juga melalui Taurat, karena Taurat mengajarkan bahwa kita perlu pengampunan dosa. Pemahaman seperti ini, seharusnya mengajar Gereja untuk senantiasa berdoa minta Roh Kudus membawa kita untuk hidup bukan dengan kekuatan kita sendiri, melainkan kekuatan yang dari Tuhan.
Kita menghidupi kehidupan Kekristenan kita ini bukan berdasarkan ketekunan-kesalehan-kestabilan (perseverance) kita sendiri, melainkan karena kuasa Allah dan belas kasihan Ilahi. Kalau kita betul-betul mengerti konsep anugerah seperti ini, maka salah satu tanda yang hadir adalah kita ini jadi orang yang bisa diajar (teachable). Orang yang mengenal kasih karunia Tuhan, yang betul-betul mengerti apa itu anugerah, dia itu bisa dididik. Sebaliknya, orang yang tidak bisa diajar, yang keras kepala (stubborn), yang sulit tunduk, dst., mereka itu sebetulnya orang-orang yang tidak mengenal konsep anugerah, karena anugerah membawa kita kepada sikap bisa dididik.
Di dalam Calvin Scholarship ada perdebatan tentang bagaimana sebenarnya cerita pertobatan Calvin; sementara cerita pertobatannya Luther, “Tower Experience”, banyak sekali dibahas, dan penjelasan Luther sendiri cukup jelas. Calvin adalah seorang yang tidak terlalu tertarik bicara tentang dirinya sendiri, biografinya juga sulit didapat karena dia sendiri tidak bicara. Dia memang pernah menulisnya, tapi cuma satu-dua kalimat yang pendek sekali, dan kita seperti disuruh tafsir sendiri apa maksudnya. Dalam kalimatnya, dia memakai istilah “sudden conversion” (pertobatan yang tiba-tiba) dan dikatakan di situ “sudden conversion ad docilitatem” (bahasa Latin). Lalu orang berusaha menerjemahkan, “docilitatem” itu apa maksudnya. Istilah tersebut bisa diterjemahkan dengan “keterpelajaran”; maka satu tafsiran mengatakan bahwa maksudnya Calvin bertobat dari suatu keadaan yang takhayul, ignorance, lalu jadi terpelajar, jadi mengerti mengerti Firman Tuhan. Tafsiran ini seperti cocok untuk orang-orang Reformed yang sangat menekankan pembelajaran, bahwa orang Reformed harus banyak mengerti, pengetahuannya harus jelas, dsb. Tapi saya tertarik dengan tafsiran yang lain, yang menafsir “ad docilitatem” bukan dengan “keterpelajaran”, melainkan dengan “teachableness” (sikap hati yang mau diajar). Ini berarti bahwa sebelumnya Calvin keras kepala, sombong –memang dia pintar—tapi kemudian pertobatan membawa dia jadi orang yang rendah hati, dia akhirnya jadi mau diajar (teachable). Kalau kita menerima tafsiran ini, maka salah satu ciri khas orang Reformed seharusnya justru adalah “bisa diajar”. Tapi orang-orang Reformed yang tahunya cuma mengajar, menasehati, menggurui, dsb., saya pikir orang itu salah belajar tradisi Reformed. Tidak cocok dengan cerita hidupnya Calvin, dan lebih lagi, tidak cocok dengan Mazmur 25 ini.
Kita ini tidak mahatahu, tidak mahabijaksana, maka selama kita masih ada di dalam dunia, jangan berhenti belajar. Jangan berhenti rendah hati untuk terus berdoa kepada Tuhan, minta Tuhan menujukkan kepada kita jalan-jalan-Nya. Kiranya Tuhan menolong kita. Kadang-kadang ada saat-saat kita mengalami semacam pembuangan (exile), tapi saat-saat seperti itu menolong kita untuk introspeksi, untuk jadi rendah hati. Dan harga yang dibayar itu pantas, karena Tuhan mau memenangkan kita untuk jadi orang yang bisa diajar. Intinya bukan soal penderitaannya, kesulitannya, pembuangannya, melainkan bagaimana menjadikan umat-Nya sebagai umat yang bisa diajar.
Kiranya Tuhan memberikan kepada kita kehidupan yang sedemikian.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading