Hari ini Minggu Adven ke-3, kita melanjutkan seri perenungan devosional mengenai apa artinya Kristus datang ke dalam hidup kita. Dalam Minggu Adven ke-1 kita membicarakan mengenai Yesus datang untuk melayani, dan seperti apa pelayanan-Nya itu; di Minggu Adven ke-2 kita berbicara mengenai Yesus adalah sebuah hadiah, dan seperti apa yang namanya hadiah itu. Kalau Saudara melihat polanya, waktu kita membicarakan mengenai Yesus, ternyata Yesus selalu lebih mengerikan daripada yang kita pikir, dan selalu lebih indah daripada yang kita bayangkan. Kedua hal ini selalu ada. Mengerikan, karena dengan melihat bagaimana Yesus melayani, itu mengungkapkan seberapa bobrok pelayanan kita selama ini. Mengerikan, karena dengan kita melihat Yesus adalah sebuah hadiah, maka menerima hadiah berarti menerima anugerah, dan berarti harus menelan ketidakmampuan diri. Di sisi lain, Dia juga lebih indah daripada yang kita bayangkan, karena waktu Yesus datang untuk melayani, Dia bukan melayani untuk jadi standar pelayanan yang menghakimi kita; Dia datang untuk melayani kita, para pelayan yang bobrok banget pelayanannya dan tidak pernah akan bisa membalas pelayanan-Nya–dan Dia tetap datang untuk kita. Yesus juga jauh lebih indah daripada yang kita pikir, karena meskipun Dia adalah hadiah yang membongkar ketidakberdayaan kita dan memaksa kita untuk mengakuinya, Dia juga adalah hadiah yang sangat berharga, melampaui apapun yang bisa kita bayangkan.
Hari ini kita akan memikirkan satu lagi natur dari Yesus Kristus sehubungan dengan arti kedatangan-Nya, dan hari ini kita akan melihat Yesus yang datang sebagai Raja. Mungkin ini adalah khotbah yang paling mengerikan, karena Dia sebagai Raja atas hidup kita, itu artinya punya kuasa yang tidak terbayangkan; namun demikian Dia juga adalah Raja yang terbaik yang bisa kita punya. Berharap hari ini kita bisa melihat kedua hal itu.
Ketika kita membicarakan mengenai Tuhan Yesus sebagai Raja, Teologi biasanya membagi 2 aspek, yaitu pertama, menjadi Raja atas alam semesta (level kosmis) –kita tidak membiacarakannya hari ini; dan yang kedua, menjadi Raja atas hati serta hidup kita, menjadi Raja atas umat-Nya. Bagian kedua inilah yang akan jadi fokus pembahasan hari ini; kita akan melihatnya dari surat Paulus, 2 Korintus 10:1-6. Bagian ini menceritakan kepada kita, seperti apa artinya Yesus menjadi Raja atas hidup kita. Di sini istilah ‘Raja’ tidak muncul –terlepas dari titel ‘Kristus’ atau ‘Mesias’ yang hampir selalu adalah titel raja juga–tapi ada sesuatu yang Paulus ceritakan secara implisit waktu dia mengatakan setiap pikiran ditawan serta ditaklukkan kepada Kristus. Ini bukan cuma melabelkan Yesus sebagai Raja, tapi menceritakan kepada kita seperti apa kuasa ke-raja-an Raja ini.
Saudara bisa merenungkan hal ini misalnya dengan membayangkan satu skenario sbb.: tetangga datang tergopoh-gopoh ke rumah Saudara, minta gula atau garam karena dia kehabisan, lalu Saudara menolak, dan Saudara bisa jadi dibilang pelit, tidak punya belas kasihan, dilabelkan “tetangga jahat”, dsb.; tapi satu hal yang pasti, Saudara tidak bisa dikatakan ‘membangkang’. Kita hanya bisa dikatakan membangkang atau ngeyel, ketika kita menolak memberikan sesuatu yang memang adalah hak orang tersebut. Tetangga tadi tidak berhak minta garam sebenarnya, dan urusan itu hanya berdasarkan belas kasihan saya, maka kalau saya menolak memang saya bisa dikatakan pelit, tapi tidak bisa dikatakan saya membangkang; saya baru dikatakan membangkang, kalau saya menolak membayar utang, membayar sesuatu yang merupakan hak orang lain. Jadi, ketika Paulus mengatakan Yesus adalah yang kepada-Nya semua pikiran harus ditaklukkan –bukan hanya Sebagian– itu berarti Paulus sedang menempatkan Yesus pada posisi yang paling tinggi, posisi yang paling berhak atas segala sesuatu, posisi seorang Raja. Ambil contoh, Saudara harus taat pada polisi, tidak boleh membangkang, karena itulah aturan main menjadi seorang warganegara, polisi memiliki semacam hak atas hidup kita; tetapi polisi memiliki hak tersebut secara terbatas, polisi tidak bisa masuk ke dalam ranah seperti misalnya menentukan kita musti menikah dengan siapa. Polisi mempunyai hak atas kita sebatas aturan lalu lintas dan hukum; dan dalam area itulah kita harus taat kepada polisi, tidak semua hal kita harus taat kepada polisi. Contoh lain, dalam relasi informal, misalkan kita utang budi pada seseorang. Ada orang yang pernah berkorban demi kita atau pernah membantu kita yang sangat kita perlukan, sehingga karena itu kita sadar bahwa orang tersebut seperti ada hak atas kita. Hal seperti ini tidak tertulis secara formal, tidak ada hukumnya, tapi semua orang bisa mengenalinya. Kalau ada orang yang pernah membantu bayar uang kuliah semester terakhir Saudara sehingga Saudara bisa lulus, maka ketika orang ini datang minta gula kepada Saudara, tidak punya gula pun Saudara akan merasa perlu pergi mencarinya buat dia. Dan dalam hal ini, kalau kita menolak, berarti kita bukan sekadar pelit tapi ada semacam pembangkangannya, karena ada suatu hak yang dia punya atas diri kita dan kita ada semacam utang kepada dia.
Menarik bahwa ketika kita merenungkan mengenai ketaatan dan pembangkangan, ini selalu bicara mengenai kasus orang yang punya hak atas orang lain; lalu bagaimana dengan Kristus? Hak Kristus jauh melampaui semua itu, melampaui polisi, melampaui orang yang pernah berbuat budi kepada kita. Yesus tidak dikatakan cuma menuntut kita datang kepada-Nya pada hari Minggu, atau cuma menuntut kehendak kita tok, atau cuma menuntut kita menjalankan Sepuluh Hukum; Paulus mengatakan di sini: “semua pikiran harus ditawan dan ditaklukkan kepada Kristus” –semua pikiran, every taught captive. Mungkin Saudara pernah mendengar kalimat yang mengatakan ‘raja tiran cuma bisa menuntut tubuh seseorang, tapi tidak bisa mengontrol pikiran mereka’, tapi Saudara lihat Raja yang satu ini, semua pikiran Dia tuntut ditaklukkan kepada-Nya. Ini monarki yang paling absolut, jauh lebih absolut dari monarki-monarki tiran yang dunia pernah lihat. Yang lebih mengerikan lagi, kalau kita pikirkan lebih dalam, Yesus memang berhak punya klaim seperti ini atas hidup kita.
Kita bisa memikirkannya seperti ini: Saudara dicipta atau hasil kecelakaan? Cuma ada 2 opsi, tidak ada yang di tengah-tengah. Saudara diciptakan oleh Seseorang yang berakal budi dengan ada tujuan dan dengan ada sebab, atau jika tidak, maka Saudara adalah hasil kecelakaan; tidak ada apapun yang berada di tengah-tengah dua hal tersebut. Ambil contoh, suatu hari Saudara jalan-jalan di sebuah pabrik. Di situ banyak mesin-mesin, conveyor belt, dsb., dan salah satunya yang bertugas menuang logam panas ke cetakan, lalu setelah dingin keluarlah suatu produk atau bagian produk tertentu. Setiap kali mesin itu bergerak menuang, ada sedikit logam panas yang tumpah ke lantai pabrik, sampai lama-kelamaan terbentuklah sesuatu yang bentuknya ‘gak jelas –dan ini namanya ‘kecelakaan’. Waktu Saudara melihat tumpukan genangan logam panas yang sudah membeku itu, yang bentuknya ‘gak jelas itu, yang bentuknya aneh sekali, Saudara tidak akan tanya, “Ini fungsinya apa? Ini tujuannya apa, ya?” Waktu Saudara diajak tour di pabrik tersebut, Saudara bisa saja tanya, “Mesin yang ini fungsinya apa, benda yang itu fungsinya apa?”, dan ada jawabannya, tapi ketika melihat benda ‘gak jelas yang menempel di lantai tadi, Saudara akan tahu tidak ada gunanya tanya benda ini fungsinya apa; ini kecelakaan (accident). Lebih menariknya lagi, barang-barang yang terbentuk tidak disengaja, yang ‘gak jelas kayak begini, adalah barang-barang yang bahkan tidak bisa dibilang rusak. Katakanlah Saudara angkat benda tersebut lalu tiba-tiba bendanya terbelah dua tanpa sebab, lalu jatuh yang sebelah dan satunya lagi masih di tangan, di situ Saudara tidak akan mengatakan, “Yah, rusak, deh..”. Mengapa? Karena ‘rusak’ bukanlah kategori yang valid dalam hal ini, barang tersebut tidak bisa dikatakan ‘rusak’ karena memang sejak awal sudah ‘gak jelas, tidakada fungsinya, tidak ada tujuannya, tidak ada gunanya. Kalau setelah itu, Saudara mau pakai benda itu jadi ganjalan pintu, ya silakan saja, tapi benda itu tidak dibuat dengan tujuan sebagai ganjalan pintu, semata-mata hasil kecelakaan; dan yang namanya hasil kecelakaan, kita tidak bisa mengatakan barang tersebut rusak karena memang sejak awal tidak ada tujuannya.
Kembali kita ke pertanyaan awal: kita ini hasil dicipta, atau hasil kecelakaan? Jikalau kita adalah hasil kecelakaan, hasil dari reaksi-reaksi kimia yang kebetulan saja menghasilkan manusia, maka berarti hidup ini tidak ada tujuan, tidak ada benar atau salah, tidak ada makna; dan yang paling penting, berarti yang namanya hidup itu tidak bisa dikatakan ‘rusak’. Kita pada hari ini mungkin merasa depresi, mungkin merasa ada something wrong, tapi Saudara lihat dari contoh tadi, tanpa Seorang Pencipta maka tidak ada yang bisa mengatakan hidup ini rusak. Kenapa depresi adalah sesuatu yang rusak? Kenapa kita berpendapat bahwa manusia tidak seharusnya depresi? Dasarnya apa, jikalau tidak ada Pencipta? Dan, jikalau tidak ada Pencipta maka berarti tidak ada tujuan, lalu tahu dari mana depresi itu suatu kerusakan?? Tentu tidak bisa bilang demikian. Inilah sebabnya C.S. Lewis mengatakan, orang yang tidak percaya Tuhan, dia kehilangan satu kemampuan yang sangat penting, yaitu kemampuan untuk protes terhadap kejahatan/penderitaan, karena apa itu kejahatan/penderitaan jikalau Saudara tidak percaya Pencipta?? Siapa yang berhak menentukan apa yang jahat? Bahkan tidak ada yang bisa mengatakan sesuatu adalah jahat, sama seperti benda hasil tumpahan di pabrik tadi yang tidak bisa dibilang rusak/jahat wong itu ‘gak dicipta, itu hasil kecelakaan. Jadi, jika hidup ini adalah hasil kecelakaan, tidak ada yang bisa protes terhadap kejahatan, karena siapa yang bisa bilang sesuatu adalah jahat, siapa yang bisa bilang sesuatu adalah penderitaan, jikalau tidak ada Pencipta. Itu logikanya. Banyak orang mengatakan tidak ada Tuhan, mengatakan bahwa kita ini tidak diciptakan, namun Saudara dapat melihat orang-orang seperti ini sebenarnya sedang hidup dengan iman bahwa ada Pencipta, bahwa ada sesuatu dalam diri mereka yang dibuat dengan suatu desain, karena jika tidak, mereka tidak bisa protes lagi terhadap kejahatan, mereka tidak bisa lagi mengatakan “saya rusak, saya depresi, saya something wrong”.
Di sini kita mungkin angguk-angguk kepala dan mengatakan itulah sebabnya kita adalah orang-orang Kristen, kita ‘kan percaya kita ini dicipta, kita ini bukan hasil kecelakaan, kita ‘gak seperti mereka orang-orang ateis yang tidak konsisten, yang hidup sebagai ateis tapi juga percaya ada makna dalam hidup ini, ada penderitaan dan ada juga kesukacitaan. Lalu, ngapain khotbah seperti ini? Saudara, banyak orang ateis yang tidak benar-benar memikirkan secara mendalam konsekuensi dari ideologi mereka, ideologinya ateis tapi praktisnya percaya bahwa mereka dicipta, buktinya mereka tetap melawan sakit-penyakit, depresi, kematian, penderitaan, kekerasan, ketidakadilan. Tapi, poinnya di sini memang bukan berkhotbah kepada mereka, ini berkhotbah kepada kita, untuk kita jangan cepat-cepat merasa diri superior terhadap mereka, karena bagaimana dengan kita sendiri yang katanya teistik, percaya Tuhan, apakah kita konsisten, atau jangan-jangan kita juga sama seperti mereka? Mereka ideologinya ateis, tapi praktisnya hidup sebagai orang yang percaya Tuhan, percaya ada desain, percaya ada tujuan (purpose); bagaimana dengan kita? Kita perlu refleksi. Jangan-jangan kita ideologinya teis, percaya Tuhan, tapi praktisnya kita hidup seakan-akan hidup ini milik kita sendiri.
Saudara, ini mengerikan. Kalau tidak ada Tuhan, Saudara tidak bisa mengatakan ada yang benar dan ada yang salah. Saudara tidak ada hak untuk mengatakan seperti itu. Saudara tidak ada hak untuk melawan penderitaan. Saudara tidak ada hak untuk menjauhkan diri dari kecelakaan. Tapi celakanya, kalau ada Pencipta, itu berarti hidup kita ini mirip siapa? Katakanlah Saudara menggunakan seluruh talentamu, menuang segala kreatifitasmu, segala usahamu, keringatmu dan darahmu, menjadi sebuah musik yang begitu indah, tapi sayangnya sebelum Saudara mempublikasikan musik tersebut atas namamu, ada orang yang mengambil dan mempublikasikannya lebih dulu, mangaku sebagai penciptanya, lalu mendapat uang banyak –dan urusan ini karena kebodohan kita sendiri yang tidak cepat-cepat mematenkan hak cipta atas musik tersebut. Dalam hal ini, secara hukum/legal tidak ada dasar untuk kita mengatakan lagu tersebut milik kita, kita tidak punya posisi untuk klaim hak cipta; tetapi secara moral/hati, kita merasa tetap berhak. Kalau mengalami ini, Saudara tidak mungkin mengatakan, “Ya, sudahlah, dia sudah duluan, memang dia pintar dan gua bego”, sebaliknya Saudara akan mengatakan, “Tidak bisa! Saya yang berhak dong, karena gara-gara sayalah musik tersebut bisa eksis.” Jadi ini satu hal yang intuitif, dan tidak ada yang melawan hal ini. Tentu tidak berarti kita lalu mengatakan, “Karena saya penciptanya, maka saya berhak total, saya tidak mau share ke orang lain untuk dinikmati”, tapi kita tahu ‘karena saya penciptanya, maka pokoknya hak ultimat atas barang itu ada pada diriku’. Saudara, inilah konsekuensi logisnya punya Seorang Pencipta. Sebesar-besarnya usaha yang tertuang atas sebuah barang atau lagu atau apapun, itu sama sekali ‘gak level dengan energi yang di pakai untuk menciptakan umat manusia; dan jika demikian, berarti setiap pikiran, setiap momen, setiap dimensi dan aspek hidup kita, adalah hak dari Sang Pencipta, yang memang jika bukan karena Dia maka tidak ada semuanya itu. Dari sini Saudara bisa mengerti ketika Paulus mengatakan semua pikiran harus ditawan dan ditaklukkan kepada Kristus, maka meskipun di sini tidak pakai label ‘Raja’, ini adalah klaim bahwa Yesus Kristus adalah Pencipta dari segala sesuatu, dan itu sebabnya Dia adalah Raja yang paling berhak untuk mengontrol dan mengendalikan semua itu. Semua. Semua pikiran harus ditawan dan ditaklukkan kepada Kristus.
Kita sekarang jadi mengerti kenapa banyak orang memilih jadi ateis. Silakan saja Saudara memilih jadi ateis, tapi tolong jadilah seorang ateis yang konsisten dengan segala konsekuensinya, yaitu bahwa hidupmu tidak bermakna, hidupmu tidak bertujuan, hidupmu tidak lebih dari sekadar residu tetesan mesin-mesin di pabrik yang ‘gak jelas itu apa. Saudara juga harus berani hidup dengan konsekuensi bahwa tidak ada yang namanya benar atau salah. Saudara harus menerima jika hidupmu hancur dan tertindas, karena Saudara tidak ada lagi dasar untuk mengatakan, “Harusnya ‘gak begini, lho”, karenatahu dari mana harusnya tidak kayak begitu kalau Saudara tidak percaya ada Seorang Pencipta. Tetapi, pada saat yang sama, jika kita mengatakan memilih untuk percaya Tuhan, jadilah seorang believer yang konsisten dengan segala konsekuensinya. Itu berarti hidup kita dengan seluruh dimensinya, seluruh bagiannya, bahkan seluruh pikiran kita, itu bukanlah cuma urusan hari Minggu yang dikembalikan kepada Tuhan. Bukan cuma ujung kepala atau ujung jari, tapi seluruhnya adalah milik dari Penciptamu, yaitu Rajamu. Tidak ada opsi lain di antara dua opsi ini. Mengerikan ya.
Satu cara lain untuk melihat hal ini, misalnya seperti perkatan seorang penulis Kristen, Rebecca Pippert. Dia menulis buku mengenai penginjilan, “Out of the Salt Shaker”; bukan buku penginjilan seperti traktat tapi tentang bagaimana membawa kehidupan Kristus kepada orang lain. Dalam salah satu bagiannya, Pippert mengatakan kalau kita bertemu dengan orang yang maunya bebas, tidak perlu menaklukan diri kepada Seorang Raja, maka caranya menginjili mereka adalah dengan mengingatkan pada mereka bahwa semua orang punya raja, semua orang punya majikan. Pippert mengingatkan, bahwa bagi orang yang hidupnya mencari kuasa berarti dia sedang melayani kuasa, kuasa sedang menguasai dia dan memerintah hidupnya. Orang yang sedang mengejar pengakuan dari orang lain, maka orang tersebut sedang diatur hidupnya berdasarkan image atau apa yang orang pikir akan dirinya. Demikian juga orang-orang yang mengejar uang/harta atau mengejar apapun yang lain. Bahkan orang yang mengaku dirinya, “Saya tidak begitu ya, saya ini independen, saya tidak mengejar apapun”, bagi Pippert dia tetaplah juga orang yang dikuasai sesuatu, karena itu berarti dia adalah jenis orang yang ketika semua ke kiri maka dia harus ke kanan, ketika semua ke kanan maka dia harus ke kiri, bukan karena benar-benar lebih suka kiri atau lebih suka kanan tapi hanya untuk menunjukkan bahwa dia tidak ikut-ikutan orang lain –dan itu sendiri pun sebuah pengejaran, sebuah pengabdian, sebuah penyembahan, di atas mezbah kebebasan kamu sedang diperbudak. Jadi, kata Pippert, sesuatu selalu sedang jadi rajamu, kamu tidak pernah bisa hidup terlepas dari seorang majikan.
Saudara, inilah sebabnya berita ‘Yesus sebagai Raja’ sungguh-sungguh adalah kabar baik. Tapi kabar baiknya bukan kabar baik seperti yang kita bayangkan, karena perhatikan yang Kekristenan tawarkan bukanlah begini: “Hai, kamu sekalian bebas ya selama ini, kamu selama ini hidup seenak jidat, kamu selama ini hanya melayani dirimu sendiri, itu ‘gak bener ya, egois ya; jadi ayo sini, layani Kristus” –bukan demikian. Itu bukan Kekristenan. Kekristenan tidak menawarkan itu. Yang Kekristenan tawarkan adalah: “Kamu sebenarnya tidak bebas, kamu sedang melayani sesuatu, pikiranmu sedang ditawan dan ditaklukan kepada sesuatu, tidak ada seorang pun yang bebas; jadi, berhenti melayani majikan-majikan palsu yang menindasmu itu dan mulailah hidup melayani satu Raja ini, Raja yang sejati, Raja yang sepatutnya.” Itulah yang ditawarkan ole Kekristenan. Menjadi orang Kristen bukan berpindah dari ‘bebas’ menjadi ‘budak’; menjadi orang Kristen adalah justru dari ‘budak’ menjadi ‘bebas’, karena kebebasan bukanlah berarti hilangnya semua majikan. Tidak ada yang namanya lepas dari semua majikan, lepas dari segala raja; kebebasan justru terjadi ketika kita menemukan Raja yang sejati. Contoh yang paling simpel, kalau Saudara hari ini menyetir mobil ikut aturan Google Maps, Saudara akan bebas dari ketersesatan, bebas dari kemacetan, bebas dari buang-buang waktu, dsb., karena Saudara ikut aturan yang benar. Kebebasan bukanlah ketika kita lepas dari segala aturan, karena tidak ada orang yang bisa lepas dari segala aturan, lepas dari segala majikan, lepas dari segala raja.
Kebebasan adalah ketika kita menemukan Raja yang sejati. Itu sebabnya ketika Saudara membaca kitab Keluaran di Perjanjian Lama, jangan berhenti pada selesainya kisah exodus tersebut. Saudara perhatikan, orang-orang yang bikin film mengenai kitab Keluaran, mereka berhenti pada momen ketika air laut terbelah dan orang Israel berjalan melewati, lalu orang-orang Mesir datang dan airnya kembali lagi, Firaun mati, orang Israel bersorak-sorak di tepi pantai –dan filmnya selesai. Tapi itu baru pasal 17 dari 40 pasal kitab Keluaran, jadi masih ada lanjutannya. Kita tidak tertarik dengan lanjutannya karena lanjutannya tidak ada special effect; special effect seperti 10 tulah dsb. itu keren, menarik. Tapi itu bagian awalnya, lalu kalau ditanya pasal 20-40 kitab Keluaran isinya apa, banyak orang Kristen tidak tahu. Apa isinya, Saudara? Isinya menarik. Waktu di awal orang-orang Israel diperbudak, mereka disuruh membangun dua kota, dan nama kotanya adalah Raamses dan Pitom (nama-nama Firaun); mereka diperbudak oleh Firaun, untuk membangun kota atas nama Firaun, bagi Firaun. Dan lihat, turning point-nya di pasal 20, kira-kira di tengah-tengah kitab ini, yaitu turunnya Sepuluh Hukum dan setelah itu mereka disuruh membangun tabernakel (kemah suci), membangun “kota” yang baru atas nama Yahweh. Perhatikan, mereka tidak dipindahkan dari kerajaan Firaun lalu sekarang break time, free time, boleh ngapa-ngapain aja terserah; tidak demikian, karena kalau orang Israel itu dibiarkan begitu saja berkeliaran di padang gurun, mereka cepat atau lambat akan diperbudak oleh bangsa lain pastinya. Satu-satunya cara untuk mereka tidak diperbudak, untuk mereka bisa hidup bebas, adalah dengan mereka menyembah Raja yang baru, Raja yang akan melindungi mereka dari perbudakan atau penindasan yang lain. Siapa Raja yang baru ini? Kenapa Raja yang baru ini mewakili kebebasan? Karena Raja yang baru ini adalah Raja yang sejati, Raja yang seharusnya.
Tidak ada orang yang bebas dari melayani majikan; Saudara melihat hal itu dengan jelas. Kekristenan bukanlah cerita bahwa Saudara tadinya bebas lalu sekarang jadi budak, melainkan justru tadinya Saudara diperbudak dan sekarang Saudara dibebaskan karena Saudara masuk ke dalam hidup melayani Raja yang baru. Namun Saudara harus sadar, klaimnya adalah total. Saudara mau masuk ke dalam Kerajaan yang baru ini, Saudara mau masuk ke dalam kerajaan yang bebas ini, caranya bagaimana? Yaitu klaimnya total; bahkan semua pikiranmu harus ditawan dan ditaklukkan kepada Kristus.
Berikutnya, teks ini bukan cuma memberitahu kita bahwa Yesus adalah Raja, tapi juga memberitahu kita bagaimana sesungguhnya Dia menjadi Raja atas kita; dan bahasa yang dipakai Paulus di bagian ini makin mengerikan. Kalau Saudara perhatikan, cara Paulus mengatakan bagaimana Yesus menjadi Raja atas pikiran orang, adalah dengan memakai bahasa penaklukan, bahasa pertempuran. Di ayat 4 dan 5, Paulus mengatakan bahwa Ia datang dengan kuasa Allah, Ia datang sebagai serdadunya Allah; dan kuasa Allah ini adalah kuasa yang dapat meruntuhkan benteng-benteng, merubuhkan kubu-kubu, menawan, menaklukan, dst. Ini berarti Tuhan Yesus menjalankan kerajaan-Nya di atas hidup kita karena Dia ingin merebut hati kita, di mana ada sesuatu yang lain yang sedang bertakhta di situ. Tapi lihat, caranya merebut hati kita adalah dengan mengepungnya seperti tentara mengepung benteng. Jadi di satu sisi ada bahasa pertempuran, ada bahasa penaklukan, ada bahasa peruntuhan; dan di sisi lain, tentu saja ini bukan maksudnya Yesus memakai kekerasan fisik atau penindasan, karena di ayat 1, Yesus menurut Paulus adalah Yesus yang sangat lembut dan ramah. Menarik. Sekali lagi, ketika melihat hal ini, Saudara lihat bahwa dalam Kekristenan, bagaimanapun juga orang yang dibawa kembali kepada Kristus, penggambarannya pakai bahasa penaklukan seperti ini.
Kita bisa melihat bagaimana Tuhan Yesus melakukannya melalui metafora penaklukan/ pengepungan benteng pada zaman dulu. Orang kalau mengepung kota tentu ada strateginya. Seorang jendral tidak bakal sekadar bilang ke tentaranya, “Oke, kita sudah berhasil mengelilingi kota ini, jadi sekarang silakan serbu dari mana saja terserah, dan mau pakai senjata apapun silakan saja”. Tentu tidak demikian. Seorang jendral atau raja yang cakap berperang, dia akan menentukan kapan dan di bagian tembok mana mulai menyerang. Dalam hal ini, Saudara lihat di ayat 5 ada dua fokus serangan Tuhah Yesus dalam menaklukkan seseorang. Dua hal ini dalam Alkitab bahasa Indonesia memakai istilah ‘siasat manusia’ dan ‘kubu yang dibangun oleh keangkuhan’. Mungkin agak sulit kita mengertinya, tapi dalam bahasa Inggris banyak yang menerjemahkan hal pertama tadi sebagai arguments (argumentasi) karena istilah aslinya logismous yang berarti reasoning/argumen; yang kedua, bahasa aslinya adalah hypsōma, yang kalau diterjemahkan lebih harfiah adalah hal-hal yang tinggi atau pretension –dalam hal ini terjemahan LAI cukup baik, maksudnya kubu-kubu yang tinggi, hal-hal tinggi yang dibanggakan manusia, yang kita pakai untuk menolak pengenalan akan Tuhan, yang dibangunnya dari keangkuhan manusia (pretension-nya manusia). Intinya, Paulus menyatakan bagaimana Kristus merebut hati manusia dengan mengalahkan dua hal. Yang pertama: argumen-argumen orang tersebut; ini perlawanan yang bersifat intelektual, menghadapi keberatan rasional seseorang. Yang kedua: keangkuhan manusia; ini perlawanan yang lebih bersifat personal. Jadi ada peruntuhan hal-hal yang lebih bersifat intelektual, dan ada peruntuhan hal-hal yang lebih bersifat personal. Kita akan melihatnya satu per satu.
Yang pertama. Tuhan Yesus, dan Paulus yang adalah serdadu-Nya, ketika mau menaklukkan seseorang kepada Tuhan, selalu mengejar argumentasi. Saudara, adalah penting untuk mengingat hal ini, karena hari ini kita berada dalam tradisi yang penginjilannya mungkin timpang ke arah argumentatif, ke arah doktrinal, ke arah alasan-alasan rasional, sehingga kita kayaknya sudah agak capek dan mungkin sedikit muak dengan penginjilan gaya begini, penginjilan yang ujungnya mengalahkan argumentasi. Kita ada kecenderungan kepingin penginjilan yang ada pendekatan alternatif, ‘sudahlah, jangan terlalu banyak ngomongin doktrin, musti didukung dengan memperlihatkan bagaimana kamu hidup’. Namun kita selalu perlu hati-hati, jangan sampai kita jadi reaksi pendulum ke arah sebaliknya; jangan sampai karena pernah salah belok ke kiri, lalu akhirnya tiap persimpangan langsung ke kanan. Tidak bisa kayak begitu. Di dalam surat Korintus ini, bagaimanapun juga Saudara lihat ternyata bagi Yesus Kristus, dan juga bagi Paulus, ada aspek yang sangat penting dalam menaklukkan seseorang, yaitu mengalahkan argumentasinya. Sudah jelas bagi Paulus pasti bukan cuma itu, tetapi hal itu tetap ada ruangnya. Jelas kita tidak mau penginjilan kita ujungnya debat kusir atau didominasi oleh doktrin, tetapi penting untuk kita ingat bahwa bagaimanapun juga Kekristenan bukanlah agama mistik. Ini sebabnya di dalam Gereja, yang namanya pengajaran adalah amat sangat penting.
Dalam arti tertentu, kita bisa mengatakan bahwa untuk menolak Kekristenan, itu tidak bisa tanpa ‘berpikir’. Saudara kalau mau menolak Kekristenan, Saudara harus berpikir dengan dalam, karena Kekristenan punya dasar rasional yang cukup kuat. Banyak orang kira mereka tidak harus ‘berpikir’, untuk menolak Kekristenan; mereka bilang, “Ya, ‘kan Kekristenan itu iman, sedangkan kalau sains barulah main otak, main mikir. Kamu ‘kan percaya Tuhan atas dasar iman, kamu tidak bisa membuktikan bahwa Tuhan ada ‘kan, jadi lain dong. Kekristenan itu iman, bukan urusan mikir, mana bisa menolak Kekristenan harus dengan mikir; ‘gak harus mikir-lah ya.” Menghadapi kasus seperti ini, seorang apologet Kristen akan membalas: “Oke, katakanlah saya percaya ada Tuhan dan saya tidak bisa membuktikannya; meski demikian saya mempertaruhkan hidupku di atas iman bahwa Tuhan itu ada. Tapi jangan pikir kamu berada dalam posisi yang berbeda, kamu dalam posisi yang persis sama; kamu tidak bisa membuktikan Tuhan tidak ada, namun kamu juga mempertaruhkan hidupmu atas dasar iman bahwa tidak ada Tuhan itu. Jangan pikir yang beriman hanya orang-orang beragama, kamu pun beriman, kamu pun mendasarkan hidupmu atas sesuatu yang kamu tidak bisa buktikan; bukankah itu berarti semua orang beriman? Sekarang coba kita diskusikan iman mana yang lebih bertanggung jawab, yang lebih tepat menjelaskan realitas, yang harapan membentuk masyarakat yang beres.”
Saudara lihat di sini, Kekristenan tidak bisa ditolak tanpa berpikir secara dalam. Saudara melihat hal ini dengan jelas dari banyak karya para apologet Kristen. Tapi sekali lagi, fokus khotbah hari ini bukan kepada orang-orang freethinker, kita sedang berkhotbah kepada Saudara, orang-orang yang sudah menerima Yesus, yang ada di dalam Gereja. Saudara juga harus diingatkan akan aspek rasional dari iman, karena jika menolak Kekristenan haruslah dengan berpikir dan tidak bisa tidak berpikir, maka menerima Kekristenan juga harus berpikir, Saudara harus belajar berpikir secara dalam. Dalam Kerajaan Kristus, Saudara tidak bisa hanya mau cari damai, connect dengan Tuhan, jalan-jalan bersama Tuhan di tepi sungai mengalir sambil menikmati penyertaan Tuhan hingga hidup Saudara bisa ditangani, dst. Bagaimana Yesus me-raja-kan diri-Nya di atas hidup kita, itu bukanlah tanpa argumentasi, bukanlah tanpa membuat Saudara berpikir. Yang tidak mau berpikir itu bukan cuma orang-orang ateis, sering kali banyak orang Kristen tidak mau berpikir, inginnya iman yang gampangan. Tapi lihat, cara kerja Tuhan Yesus adalah melalui meruntuhkan argumentasi. Memang benar iman kita bukan didasarkan pada rasio, tapi iman kita punya pertanggungjawaban secara rasional; dan kita tidak boleh lupa akan hal ini. Kekristenan bagaimanapun juga ada aspek argumentasi ini, diruntuhkan dan ditawan kepada Tuhan –dan aspek ini sangat penting.
Yang kedua. Hal kedua yang jadi sasaran tembak ke-raja-an Kristus adalah pretension, kubu-kubu yang dibuat atas dasar keangkuhan manusia. Ini penting, karena di balik banyak keberatan dan argumentasi-argumentasi rasional, ada keangkuhan manusia yang juga perlu dibereskan. Argumentasi adalah hal-hal yang membuat kita tidak bisa menerima Kekristenan; sementara pretension adalah hal-hal yang membuat kita tidak mau menerima Kekristenan. Contoh sederhana: misalnya Saudara punya anak umur 10, dia lagi main game, lalu Saudara mengatakan kepadanya, “Nak, mama memanggilmu, cepat ke sana.” Lalu si anak bilang, “Tidak mau; setiap kali mama memanggil, dia selalu suruh aku melakukan yang aku ‘gak mau lakukan.” Anak kecil mengatakan dengan jujur, sedangkan kita yang sudah dewasa biasanya mencari alasan supaya kelihatan logis, ada argumentasinya. Tapi kita tahu, di balik keberatan-keberatan logis, ada pretension; memang di dalam hati kita ada sesuatu yang mengakar dengan dalam yang membuat kita tidak mau mengakui hak Yesus atas hidup kita.
Ada sesuatu yang membuat kita tidak rela kehilangan kontrol. Ada sesuatu yang mengatakan ‘harusnya tidak ada seorang pun berhak menyuruh saya harus ngapain’. Ketika Sang Raja ini datang dan menaklukan hati manusia, Dia melakukannya dengan tentu saja pertama-tama membereskan argumentasi kita, membuat kita berpikir; tapi selanjutnya ini berarti ketika Yesus datang meruntuhkan hati kita, menaklukkan hati kita, Dia juga perlu melakukan sesuatu terhadap keangkuhan (pride) ini. Seperti apa caranya? Inilah yang mungkin bikin Saudara lebih kesal lagi, yaitu dengan cara mengirimkan ke dalam hidup kita segala jenis pengalaman yang humbling, yang membuat kita terdorong sampai ke ujung tanduk. Itulah sering kali cara Tuhan menghancurkan dan meruntuhkan keangkuhan dalam hidup manusia. Saudara coba cari satu saja orang Kristen yang hidupnya menerima Tuhan, yang hatinya sungguh ditaklukkan Tuhan, yang sungguh bertemu dengan Tuhan, dan tanya kepada dia apakah itu karena dalam hidupnya tidak pernah ada pengalaman berada di ujung tanduk, apakah itu karena dalam hidupnya tidak pernah ada pengalaman yang humbling? Dia akan menjawab, “Justru saya seperti ini karena ada pengalaman-pengalaman seperti itu.”
Kalau dalam poin pertama tadi kita melihat Perjanjian Lama di kitab Keluaran, dalam bagian ini kita melihat dasar Alkitabnya dari Mazmur. Seorang teolog, Walter Brueggemann (kita tidak menerima semua pemikiran dia tapi dia punya insight yang sangat bagus), menyelidiki kitab Mazmur secara keseluruhan dan membaginya jadi 3 tipe besar. Tipe pertama adalah mazmur-mazmur yang digubah ketika hidup seseorang sedang dalam masa yang stabil (equilibrium), masa-masa ketika orang merasa aman, secure. Ini mazmur-mazmur yang kalau dibaca, ada sedikit bau-bau Amsal-nya, misalnya Mazmur 37. Kalau dipikir-pikir orang yang bisa ber-amsal biasanya hidupnya sedang stabil, status quo; kalau Saudara sedang diombang-ambing badai besar, saya berani jamin Saudara tidak ber-amsal. Inilah mazmur-mazmur yang Brueggemann sebut sebagai mazmur orientasi, mazmur yang ditulis ketika masa hidup kita masih terarah (oriented), teratur, logis, dan sedikit banyak bisa ditebak. Amsal adalah seperti itu; Amsal mengatakan ‘kalau begini, maka begitu’. Inilah mazmur-mazmur orientasi. Lalu ada tipe kedua, yaitu mazmur-mazmur yang digubah pada saat hidup orang justru sedang mengalami dis-orientasi, fase di mana dulu hidup kita stabil lalu ada sesuatu yang terjadi yang kita tidak sangka, yang menggoncang kita, yang kita tidak siap menerimanya. Ini fase hidup di mana kita baru sadar bahwa kita tidak tahu apa-apa akan hidup ini. Ini fase hidup kita di mana kata yang paling sering keluar dari mulut kita adalah: “why?” Mazmur jenis ketiga yaitu mazmur re-orientasi –yang tidak terlalu relevan dengan diskusi kita hari ini tapi tetap kita sebutkan– yaitu fase di mana setalah mengalami dis-orientasi lalu kita diangkat oleh Tuhan masuk ke dalam situasi stabil yang baru. Bukan kembali ke kestabilan yang awal tadi, yang semu, melainkan ditaruh ke dalam tempat yang lebih tinggi, tempat di mana kita menyadari, “O, ternyata alam semesta jauh lebih limpah daripada yang saya pikir, ternyata hidup tidak bisa saya tebak”. Ini suatu kestablian yang baru, dan biasanya bahasa yang dipakai adalah bahasa-bahasa surprise, kaget, “saya tidak menyangka”, “Tuhan ternyata melakukan ini dan itu”, dst. Ini biasanya mazmur-mazmur pujian dalam kitab Mazmur.
Menurut Saudara, dari ketiga tipe mazmur ini kira-kira mana yang lebih banyak jumlahnya dalam kitab Mazmur? Brueggemann memperlihatkan bahwa mazmur-mazmur jenis pertama, mazmur orientasi, yang tipenya seperti amsal, yang bicaranya stabil, ternyata amat sedikit sekali. Dalam kitab Mazmur, yang paling banyak justru tipe yang kedua, mazmur dis-orientasi, mazmur-mazmur ratapan, mazmur-mazmur orang yang sedang diombang-ambing. Mazmur pujian juga banyak, tapi jangan lupa, keberadaan mazmur pujian mengasumsikan bahwa orang-orang yang memuji itu pernah mengalami dis-orientasi, itu sebabnya bahasa-bahasanya menyatakan kekagetan, surprise, ‘gak nyangka, “tetapi Tuhan mengangkatku”, dsb. Mazmur re-orientasi mengasumsikan adanya dis-orientasi. Brueggemann lalu mengambil kesimpulan yang mengerikan, yang kita susah telan meskipun kita tahu ini benar, bahwa ini berarti bagi kitab Mazmur –kitab doa umat Allah– fase kehidupan yang stabil tidaklah menarik, tidak menghasilkan doa-doa yang agung, tidak relevan bahkan bagi kehidupan doa.
Hari ini banyak orang bingung bagaimana caranya berdoa, baik karena tidak tahu harus mengatakan apa, ataupun karena yang dikatakan jadi itu-itu lagi sekadar hafalan yang tidak keluar dari dalam hati. Omong-omong, bermazmur bukanlah curcol tidak keruan; bermazmur berarti Saudara belajar menyusun kalimat-kalimat dan kata-kata dalam doa. Mazmur-mazmur adalah karya seni, bukan celotehan. Mazmur-mazmur ada keanggunannya, bukan cuma raungan-raungan kesakitan. Tapi pertanyaannya, di mana Saudara dilatih untuk bisa bermazmur seperti ini, dalam fase hidup seperti apa? Dan, Saudara tidak bisa kabur dari jawaban ini, yaitu: justru melalui fase dis-orientasi. Ternyata, masa dis-orientasi adalah justru masa manusia malah memproduksi dengan subur kata-kata kepada Tuhan, eloquency dalam berdoa. Hari ini kita maunya mengejar situas-situasi aman, seimbang, stabil, tapi ternyata dalam mata kitab Mazmur situasi-situasi seperti itu tidak menarik dan juga tidak berguna. Malah sebaliknya, situasi-situasi kehidupan di ujung tanduk, yang sering kali kita pikir akan membinasakan kita, dalam kacamata kitab Mazmur justru membawa kehidupan, ke dalam hidup doa manusia.
Kembali lagi, bagaimana cara Kristus menggempurmu untuk menaklukkan hatimu? Paulus mengatakan, Dia akan membereskan soal argumentasi. Itu benar, tapi tidak bisa cuma di situ, karena ada yang perlu dilakukan terhadap keangkuhan-keangkuhan kita untuk bisa menaklukkan diri kita kepada Sang Raja. Dua hal ini selalu ada bersamaan. Kecuali ada sesuatu yang terjadi dalam hidup kita, yang menunjukkan bahwa kita tidak mampu, tidak berdaya, tidak kompeten untuk memegang kemudi hidup ini —yang adalah fase dis-orientasi— maka kita tidak akan pernah menyerahkan diri kita kepada-Nya. Tambah mengerikan, Saudara? Inilah Raja Kristus.
Omong-omong jangan berpikir bahwa Tuhan itu jahat; di Ratapan 3 ada bagian yang mengatakan, “Karena walau Ia mendatangkan susah, Ia juga menyayangi menurut kebesaran kasih setia-Nya. Karena tidak dengan rela hati Ia menindas dan merisaukan anak-anak manusia.” Menarik bahwa kalimat ini, “He doesn’t willingly afflict the sons of men”, adalah kalimat yang keluar dalam kitab Ratapan, kitab yang mengingat kembali kehancuran Yerusalem di tangan Babilonia, pengalaman traumatis habis-habisan bagi bangsa Israel –namun juga keluar kalimat seperti itu. Kita mungkin bingung maksudnya apa; apakah kalau Tuhan tidak willingly melakukan ini, berarti ada will yang lebih besar daripada Tuhan? Bukan, Saudara. Maksudnya, kita yang terbatas saja bisa campur aduk perasaannya ketika menghukum anak. Di satu sisi kita menyayangi anak itu, kita tidak dengan rela hati menghukum anak kita, tapi kita harus melakukannya, karena walaupun kita menyayangi anak tersebut, kita juga membenci si pembohong, si pemalas, yang ada dalam anak tersebut. Itu sebabnya kasih tidak pernah berlawanan dengan kemarahan. Kasih dan murka, tidak pernah berlawanan; kasih berlawanan dengan sikap tidak peduli. Apa Saudara inginnya dibiarkan saja dalam fase hidup orientasi, menghidupi kebohongan? Tidak bisa. Murka Allah datang dari sumber yang sama dengan kebaikan-Nya dan kasih-Nya.
Hal terakhir yang bisa kita bahas dalam bagian ini, di satu sisi kita melihat Tuhan Yesus yang menjalankan Kerajaan-Nya atas hidup manusia itu seperti tentara raja yang sedang menaklukkan, merebut, mengepung laksana tentara mengepung benteng. Kita lalu bingung, bukankah selama ini Yesus itu gambarannya selalu lemah lembut, buluh yang terkulai tidak akan dipatahkan-Nya, dst.? Bahkan kalau Saudara baca ayat 1 dalam 2 Korintus 10 ini, Paulus mengatakan Yesus itu sangat lembut dan ramah; namun juga Paulus mengatakan bagaimana Tuhan ini akan merebut dan meruntuhkan; lalu bagaimana kita merekonsiliasi dua bahasa ini? Kita perlu memikirkan, kapankah seseorang yang lembut itu menaklukkan dan meruntuhkan; kapan penaklukkan dan peruntuhan bisa datang dalam cara yang lembut dan ramah? Ini adalah gaya bahasa yang kita pakai sehari-hari, Saudara; ini jauh lebih dekat dari yang kita sangka, ini adalah bahasa tentang seorang pria yang menaklukkan hati seorang wanita. Contohnya: “dia berhasil merebut hatinya”, “dia meruntuhkan pertahanan-pertahanannya”. Lucu ya, pakai istilah-istilah pertempuran untuk sesuatu yang dilakukan dengan begitu gentle. Tapi memang inilah realitasnya. Kita memang ada kecenderungan memakai bahasa-bahasa perang untuk membicarakan cinta –mungkin secara hiperbola, tapi memang begitu. Ini bukan cuma warna mengenai cowok terhadap cewek, justru sering kali wanitalah yang banyak mengatakan seperti ini, “Wah, aku tidak tahan, dia telah merebut dan meruntuhkan hatiku.” Mengapa demikian? Karena memang ada sesuatu yang sifatnya seperti pertempuran, di dalam cinta.
Saudara, mungkin ini sebabnya di ayat 3 dan 4 Paulus mengatakan, ‘jangan salah sangka, kami memang serdadu-serdadu bagi Kristus, kami memang terlibat dalam pertempuran –tidak kurang dari itu– tapi senjata yang kami pakai bukanlah senjata kami tapi senjata Ilahi’. Ini bukan berarti Paulus seorang teroris yang pakai kekerasan fisik atas nama agama, sebaliknya dia sedang berjuang dengan perjuangan yang bukan perjuangan duniawi; dia sedang meruntuhkan dengan senjata yang bukan senjata manusia. Penaklukan yang Paulus lakukan sebagai tentara Kristus adalah penaklukan yang lembut dan ramah, penaklukan hati manusia. Ini sebabnya yang ditargetkan Sang Penakluk ini adalah pikiran-pikiran. Dengan demikian, cara Kristus merebut kita bukanlah dengan memaksa, bukan dengan membuat kita jadi budak-budak, bukan dengan menindas kita untuk melakukan hal-hal yang kita tidak inginkan; Dia ingin merebut hati kita, melunakkan hati kita –yang jadi target adalah pikiran. Every thought.
Contoh di dalam Alkitab, kita bisa lihat dalam Mazmur 119, mazmur yang super panjang. Saudara bisa membuka di bagian manapun mazmur ini untuk melihat contoh hati yang telah ditaklukkan oleh Allah, tapi saya akan membacakan ayat 97 dst.: “Betapa kucintai Taurat-Mu! Aku merenungkannya sepanjang hari. Perintah-Mu membuat aku lebih bijaksana dari pada musuh-musuhku, sebab selama-lamanya itu ada padaku. Aku lebih berakal budi dari pada semua pengajarku, sebab peringatan-peringatan-Mu kurenungkan. Aku lebih mengerti dari pada orang-orang tua, sebab aku memegang titah-titah-Mu. Terhadap segala jalan kejahatan aku menahan kakiku, supaya aku berpegang pada firman-Mu. Aku tidak menyimpang dari hukum-hukum-Mu, sebab Engkaulah yang mengajar aku. Betapa manisnya janji-Mu itu bagi langit-langitku, lebih dari pada madu bagi mulutku.” Saudara, ini bahasa apa? Bahasa hati yang telah ditaklukkan. Ini bukan seorang yang sekadar Kristen sejak kecil. Tahu dari mana, apa bedanya orang yang ditaklukkan oleh Kristus dengan orang yang sekadar sejak kecil dibesarkan dalam keluarga baik-baik? Salah satunya adalah mengenai apa yang menjadi insentif untuk orang tersebut melakukan kebaikan.
Dalam mempelajari Teologi, ini salah satu poin yang orang paling sulit mengerti, bahwa orang yang sudah disatukan dengan Kristus tidak lagi berada di bawah ancaman penghakiman sama sekali (Roma 8:1, “Demikianlah sekarang tidak ada penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus Yesus”). Orang lalu mengatakan, “Enak banget ya, orang Kristen, berarti begitu diselamatkan, begitu bersatu dengan Kristus, tidak lagi perlu berbuat baik.” Inilah cikal bakal munculnya kesan bahwa orang Kristen itu begitu selamat, dia bisa hidup seenaknya dan tetap mendapatkan hidup kekal. (Saya harap Saudara sudah tahu bahwa Alkitab tidak pernah membuang urusan perbuatan baik dalam hidup seorang Kristen, Alkitab hanya menukar urutannya. Jika agama lain menekankan Saudara berbuat baik dulu baru diselamatkan, Kekristenan mengatakan Saudara diselamatkan dulu baru kemudian ada kemungkinan berbuat baik, karena Saudara tidak bisa berbuat baik kalau Saudara tidak diselamatkan; itu juga sebabnya konsepnya adalah ‘buah Roh’, bukan ‘benih Roh’). Menariknya, hal ini sangat sulit ditangkap oleh banyak orang yang baru mendalami Kekristenan. Mereka bolak-balik kembali ke keberatan yang sama, “Jika seseorang sudah pasti mendapatkan hidup kekal dalam Tuhan terlepas dari perbuatan mereka, lalu apa yang jadi insentif untuk mereka melakukan perbuatan baik?” Tapi ini pertanyaan ngawur, karena ini berarti jika seseorang tidak lagi perlu takut terhadap murka Allah, tidak lagi perlu takut terhadap penghakiman Allah, maka menurut orang-orang ini tidak ada lagi insentif untuk berbuat baik. Problem dari pemikiran ini adalah: ini berarti satu-satunya insentif untuk berbuat baik hanyalah rasa takut. Ini insentif negatif, moralitas negatif. Ini berarti orang datang ke gereja, ke persekutuan doa, ke pelayanan, hanyalah karena jika mereka tidak melakukannya, hati nuraninya mengganggu. Itu saja. Orang-orang seperti ini bisa punya reputasi sebagai orang yang rajin, namun semata-mata didasarkan oleh rasa takut. Ini bukanlah cara Tuhan menaklukkan hati kita; target Tuhan Yesus adalah lebih dalam dari itu.
Waktu membaca Mazmur 119 tadi, Saudara lihat pemazmur bicara mengenai Firman Tuhan sebagai taurat, perintah, hukum, titah –pemazmur memakai bahasa-bahasa ke-raja-an, Firman Tuhan adalah perkataan Rajanya– namun Saudara perhatikan, efek dari semua perintah dan taurat tersebut adalah: “aku mencintai taurat-Mu”, Your laws are my delight. Di ayat 131 lebih mengerikan lagi, dia mengatakan, “Mulutku kungangakan dan megap-megap, sebab aku mendambakan perintah-perintah-Mu.” Ini bukan bahasa seseorang yang melakukan perintah atas dasar rasa takut, ini bahasa bayi yang sedang cari susu. Ini adalah bahasa seseorang yang hatinya sudah ditaklukkan kepada Tuhan, karena Saudara lihat dia mengangakan mulutnya untuk perintah-perintah Tuhan.
Mazmur yang lain, dikatakan di Mazmur 1 tentang orang yang godly, yaitu: “yang kesukaannya ialah Taurat TUHAN, yang merenungkan Taurat itu siang dan malam”. Ini bukan orang yang sekadar Saat Teduh pagi-pagi; ini orang yang merenungkan, mengunyah pelan-pelan, yang hobinya adalah baca Alkitab, yang menghabiskan semua rasa manisnya sebelum ditelan. Contoh yang baik dalam hal ini tentang seorang atlet. Di dalam tenis, salah satu raising star-nya yaitu Emma Raducanu, yang sempat menang dan mengagetkan semua orang karena masih sangat muda. Setelah itu performanya menurun, dan dia gonta-ganti pelatih entah berapa kali. Mengapa? Karena dia dan tim-nya merasa pelatih-pelatih ini tidak bisa membawa keluar semua kemampuannya, jadi tidak optimal. Sekarang Saudara bayangkan kalau suatu hari ada pelatih baru yang masuk, memberikan latihan yang lebih keras, aturan yang lebih banyak, lalu si atlet tadi merasa mulai bisa memukul bola lebih keras, lompat lebih tinggi, lebih jago membaca pertandingan, badannya lebih bisa melakukan banyak hal yang sebelumnya dia tidak bisa. Ini berarti bebas, bukan? Bebas bermain karena taat pelatih. Sekarang Saudara bayangkan, bagaimana kira-kira si atlet tersebut melihat perintah-perintah pelatihnya? Inilah perintah-perintah yang lebih manis daripada madu, yang kita menganga dan megap-megap mendambakannya. Inilah yang seharusnya terhadi pada seorang yang percaya; hati dan pikiran yang ditaklukkan dan ditawan seperti ini.
Itu sebabnya Dalam Kekristenan, waktu Saudara melihat gambaran Tuhan, Saudara mengingat siapa Yesus yang datang ke dunia, yang datang kepada kita itu; waktu kita melihat Dia adalah Raja kita, kita bisa memikirkan, “Dia Raja; apakah segala pikiran saya sungguh tertawan dan tertaklukkan kepada-Nya?” –karena Dia berhak untuk itu. Demikian juga saya berharap setiap kali kita dipertemukan dengan-Nya, kita selalu kaget, terkejut, karena memang Dia lebih mengerikan daripada yang kita pikir, tapi juga lebih mengasihi dan lebih indah dibandingkan yang kita bayangkan. Dia menaklukkan hatimu seperti seorang pria sedang menaklukkan hati seorang wanita; dan respons kita adalah juga mengatakan, “aku telah direbut hatinya oleh Dia.” Pertanyaannya: apakah ini sudah terjadi pada kita atau belum? Kita perlu meminta ini senantiasa kepada Tuhan.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading