Kita melanjutkan devotional Advent, merenungkan mengenai kedatangan Kristus dan apa artinya bagi kita. Hari ini aspek yang akan jadi fokus kita dalam hal kedatangan Kristus, adalah suatu tema yang jadi gaungan dari setiap ayat-ayat yang kita baca sbb.:
- Roma 8:32, “Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia?”
- Yesaya 9:5, “Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang: Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai.”
- Yohanes 3:16, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.”
Apa tema yang sama/mirip dari setiap ayat tersebut? Dalam Alkitab LAI memang agak kurang jelas karena LAI pakai istilah yang berbeda-beda —menyerahkan, memberikan, mengaruniakan— tapi semua istilah tersebut sebenarnya lebih tepat diterjemahkan sebagai ‘memberi’ atau ‘menghadiahkan’. Yesaya 9 tadi bicara ‘bagi kita seorang anak dilahirkan, bagi kita seorang anak diberikan’; Yohanes 3 mengatakan, ‘karena begitu besar kasih Allah, maka Allah memberikan Anak Tunggal-Nya’; dan Roma 8, ‘Ia yang telah memberikan Anak-Nya, Ia juga akan memberikan bersama-sama dengan Anak tersebut segala sesuatu’. Di dalam Alkitab, Tuhan Yesus digambarkan dalam berbagai metafora, Dia adalah Anak Domba Allah, Dia adalah Singa Yehuda, Dia adalah gembala, sahabat, raja; tapi mungkin hal inilah, sebagaimana kita baca tadi, salah satu metafora yang jadi penyebab kenapa masa Natal itu identik dengan pemberian hadiah.
Saudara, mungkin kita curiga dengan urusan kado-kadoan dalam masa Natal, karena zaman sekarang sudah terlalu konsumeristis; dan inilah sebabnya masa Natal laku dirayakan oleh seluruh dunia, khususnya oleh sektor retail. Saudara tidak melihat mal-mal sebegitu antusiasnya dengan Hari Raya Jumat Agung atau Kenaikan Tuhan Yesus, atau bahkan dengan Hari Proklamasi 17 Agustus. Mengapa? Karena event-event tersebut kurang bisa di-komersialisasi, tidak ada pemberian hadiah-nya, sedangkan Natal banyak banget urusan kado-kadoan. Ini menarik, karena kita jadi menyadari bahwa ternyata tradisi kado-kadoan sebenarnya tidak berasal dari sektor retail, mereka cuma menggunakannya saja; tradisi ini memang ada, karena pada mulanya pemberian kado dalam masa Natal merupakan sesuatu yang dipakai orang Kristen untuk mendaratkan suatu makna Natal yang sentral. Waktu kita merayakan Natal, itu sebenarnya bukan cuma urusan merayakan kelahiran Seseorang, karena kalau kita cuma merayakan Yesus yang bermula pada kelahiran-Nya, kita tahu jelas dalam Alkitab bahwa Anak Allah sedah eksis sebelum kelahiran-Nya di dunia. Natal sebenarnya adalah merayakan bahwa Kristus telah diberikan bagi kita –bukan cuma dilahirkan.
Hari ini kita mau merenungkan lebih dalam mengenai hal ini, apa artinya bahwa Tuhan Yesus adalah sebuah pemberian/hadiah –apa arti hadiah sesungguhnya, sebuah hadiah seharusnya mengandung esensi apa, dan bagaimana kita mengerti Tuhan Yesus dengan lebih baik ketika kita melihat Dia melalui lensa ’hadiah’. Ada 3 hal yang akan kita bahas dalam hal ini.
Yang pertama, sebuah hadiah mengandung elemen ‘kejutan’ (surprise). Tentu saja tidak semua hadiah bersifat surprise, tapi hadiah-hadiah yang terbaik sebenarnya punya elemen surprise. Elemen surprise ini bukan seperti misalnya Saudara pulang ke rumah, ruangan gelap, lalu tiba-tiba lampu menyala dan Saudara diteriakin orang sekampung, “SURPRISE!!” –ini menyebalkan bagi beberapa orang, dan bahkan bahaya, bisa bikin jantungan. Surprise yang dimaksud di sini adalah bahwa kita tidak menyangka-nyangka; entah kita tidak menyangka orang ini memberi kita hadiah, atau kita tidak menyangka orang ini kasih hadiah yang kita tidak sangka-sangka, atau juga bahkan kita tidak menyangka bahwa kita butuh barang yang dia beri itu. Saya tahu sih ada barang ini, tapi saya ‘gak rasa perlu, saya ‘gak cari dan ‘gak kepingin juga, tapi setelah barangnya ada di tangan baru saya sadar ini saya butuhkan. Jadi ada elemen surprise dalam sebuah hadiah. Memang tidak semua hadiah ada elemen seperti ini, tapi Saudara bisa lihat bahwa faktor surprise ini sangat menambah nilai dari sebuah hadiah. Sebaliknya, ketika sebuah hadiah tidak ada lagi eleman surprise-nya, jadi terasa melempem banget.
Masa-masa saya baru punya anak sekarang ini, banyak banget yang memberi saya hadiah; saya dan istri tentunya sangat bersyukur dan berterimakasih untuk setiap Saudara yang memberikan. Hanya saja, entah bagaimana yang memberikan slow cooker banyak banget, ada 5 orang; dan celakanya, saya sudah punya barang itu di rumah, sehingga sekarang saya punya 6 slow cooker. Saudara bisa bayangkan, waktu orang terakhir memberikan saya slow cooker, yang sudah dibungkus rapi, dan ini orang yang cukup dekat dengan saya. Waktu menerimanya, saya pikir ini pasti hadiah yang sangat bermakna, saya buka di depan dia dengan penuh rasa ingin tahu, saya ingin mendapatkan surprise. Tetapi waktu sudah terbuka, “Oh, nooo… not another slow cooker… please lah… “ —sampai dia jadi ‘gak enakan dan bilang, “Ya sudah, dijual aja di Tokped atau bagaimanalah”.
Saudara, jika hadiah-hadiah yang terbaik itu ada elemen surprise-nya, maka menarik untuk merenungkan bahwa Kristus juga demikian. Sesungguhnya ini bahkan salah satu hal yang bisa dibilang paling membedakan antara seorang Kristen sejati, seorang yang sungguh-sungguh mengalami pertemuan dengan Kristus, dan seorang “Kristen” yang cuma agama resminya itu. Apa bedanya orang Kristen KTP dengan orang Kristen sejati? Orang Kristen KTP itu bukan berarti yang mabuk-mabukan; Saudara jangan pikir bedanya orang Kristen KTP dan orang Kristen sejati ada di urusan perbuatan. Sama sekali tidak. Orang Kristen KTP pun bisa hidup bermoral, bisa begitu baik, karena orang agama lain pun bisa dan banyak koq yang hidup bermoral. Kalau begitu, jadi apa perbedaannya? Mungkin banyak, tapi salah satunya bahwa orang-orang Kristen yang sungguh bertemu dengan Kristus adalah orang-orang yang merasa Yesus begitu mengejutkan, begitu surprising. Ada momen dalam hidup mereka yang mereka bisa ingat, entah itu bulan lalu, tahun lalu, sepuluh tahun lalu, atau bahkan bisa beberapa kali dalam hidup mereka, di mana mereka pikir sudah tahu mengenai Yesus, mereka pikir Yesus seperti begini, hanya untuk kemudian ketika mereka sungguh-sungguh bertemu dengan Yesus terjadilah satu turning point, ‘wah, saya ‘gak nyangka lho, ternyata Yesus seperti ini’—seperti judul bukunyaPhilip Yancey, “The Jesus I never knew”. Itu yang penting, Saudara.
Omong-omong, saya tidak sedang membicarakan pengalaman lahir baru orang-orang yang terlahir bukan di keluarga Kristen; kadang-kadang kita ada konsep seperti ini: ‘Pak Jethro, yang kamu bicarakan itu sepertinya pengalaman yang eksklusif bagi mereka yang lahir baru sebagai orang dewasa; sedangkan saya Kristen sejak lahir, saya berada di keluarga Kristen sejak lahir, jadi saya tidak ada pengalaman-pengalaman seperti itu.” Tapi tidak demikian, Saudara; pengalaman yang saya maksud tadi bukanlah pengalaman yang itu, justru pengalaman yang saya maksudkan itu lebih sering terjadi di antara orang-orang yang lahir sebagai orang Kristen. Orang-orang seperti ini, yang ke Sekolah Minggu sejak kecil bahkan dibaptis sejak bayi, mereka kemudian hidup dan bertumbuh dengan sedikit banyak merasa sudah tahu siapa itu Yesus, seperti apa Kekristenan itu wong seumur hidup mereka di Gereja, koq –dan suatu hari dalam hidupnya mereka sungguh-sungguh bertemu dengan Yesus. Ketika kita mengalami hal ini, kita mengatakan, “Kamu ternyata tidak seperti yang saya sangka; ternyata selama ini saya tidak benar-benar mengenal Allah yang kayak Kamu, tapi setelah Kamu muncul, saya sadar Engkaulah yang saya benar-benar butuhkan”. Surprise!
Kalau kita memperhatikan kitab Injil, sebenarnya baik orang-orang yang mengikut Yesus maupun orang-orang yang menolak Dia, mengalami hal ini, mereka kaget, ‘koq, modelnya ternyata kayak begini??’ Waktu mereka bertemu dengan Yesus, ekspektasi mereka terbentur dengan barang aslinya; dan ini menyebabkan beberapa orang mengikut Dia, dan banyak juga yang menolak Dia. Yohanes mengatakan, “Dia datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi milik kepunyaan-Nya menolak Dia”; mengapa? Karena Yesus mengegetkan, karena Yesus tidak sesuai ekspektasi! Perhatikan, dalam hidup Yesus, berkali-kali Dia menarik begitu banyak pengikut, makin lama makin banyak, hanya untuk kemudian pengikut-pengikut-Nya itu bubar. Ribuan berbondong-bondong mengikut Dia, diberi makan sampai sisa 12 bakul, namun yang bertahan setelah Dia bangkit dan naik ke surga hanya 120 orang yang kemudian menunggu turunnya Roh Kudus. Ini berarti dari sekian banyak orang yang pernah bertemu dengan Yesus, hanya segelintir yang menerima Dia, sementara sisanya menolak Dia. Mengapa? Karena Dia tidak cocok dengan ekspektasi orang mengenai Seorang Juruselamat. Mereka mengharapkan model mesias tertentu, dan ketika Yesus datang, Dia tidak pas dengan model tersebut. Mereka mengharapkan Yesus yang datang dengan kuasa politik, yang memimpin revolusi untuk menggulingkan Roma, yang mengembalikan kejayaan Israel seperti zaman Daud –dan yang mereka dapatkan hanyalah Yesus yang lahir sebagai bayi kecil di kandang binatang bagi keluarga miskin di daerah paling bontot terbelakang di seluruh negeri. Ini Yesus yang tidak pernah dapat koneksi politik apapun, malah kerjanya ribut melulu dengan orang-orang yang punya jabatan penting. Ini Yesus yang setelah KKR besar dan sukses dihadiri ribuan orang sampai ada mujizat roti yang ‘gak habis-habis, lalu bubar ditinggalkan dan sisa 12 murid tok, kenapa? Karena salah omong. Yesus mengatakan, “Jangan kejar roti yang terlihat ini, engkau harus makan tubuh-Ku dan minum darah-Ku” –ini isu sensitif bagi orang Yahudi, dan Dia ditinggalkan. Lalu yang paling ultimat, ini adalah Yesus yang ujungnya mati di atas kayu salib; bagaimana mungkin bisa jadi seorang mesias??
Saudara, bukan cuma orang zaman itu yang punya ekspektasi yang tidak cocok, tapi juga kita. Ambil contoh ekspektasi kita pada hari ini waktu kita melihat Yesus mengaku sebagai Juruselamat, sebagai Raja atas alam semesta, apa yang kita harapkan? Kita kepingin Yesus yang juga strong, yang jelas, yang tidak bisa disangkal oleh para peragu, Yesus yang kalau bangkit bukan dari Golgota situ tapi bangkit dari istana Kaisar, Yesus yang sebelum naik ke surga, panggil press conference biar direkam dengan video secara jelas kenaikan-Nya seperti apa sehingga tidak ada yang bisa menyangkali! ‘Kalau Dia benar-benar Tuhan, kenapa Dia bangkit diam-diam kayak begitu sih?? Gemes, tahu ‘gak?? Sebenarnya Duia mau orang selamat atau enggak sih??’ Bukankah demikian Saudara? Itu sebabnya alasan mereka menolak Yesus adalah karena mereka menolak dikejutkan, dikagetkan. Mereka menolak terima surprise. Mereka menolak menerima Yesus sebagai suatu hadiah, karena kalau Yesus adalah sebuah hadiah, maka untuk bisa menerima hadiah tersebut Saudara harus ada keterbukaan, harus ada semacam kemauan untuk dikejutkan dan dikagetkan.
Mungkin sekarang kita merasa jangan-jangan saya orang yang seperti itu; jangan-jangan selama ini saya sulit menerima Tuhan dengan segala keutuhannya karena saya menolak dikagetkan oleh Yesus, saya senantiasa berusaha memasukkan Dia ke dalam laci pengertian saya; jangan-jangan saya menolak dan bingung menerima Dia karena saya memaksakan model saya, bayangan saya tentang juruselamat, dan ketika Dia tidak cocok dengan model itu akhirnya saya kecewa. Kalau kita merasa seperti itu, maka justru ada pengharapan bagimu, karena itu berarti Yesus yang kau tolak selama ini bukanlah Yesus yang sesungguhnya. Dengan demikian, engkau belum sungguh-sungguh menolak Dia karena engkau belum sungguh-sungguh bertemu dengan Dia, engkau belum benar-benar mempertimbangkan siapa Dia sesungguhnya. Ini seperti kalau kita diberikan banyak kado lalu kita buka satu-satu. Kalau kita hanya dapat satu kado, kita akan fokus pada kado itu, tapi kalau misalnya Saudara diberi 12 kado, Saudara akan cenderung langsung lebih suka dengan barang-barang yang ‘ini gua perlu, ini oke, ini sesuai dengan apa yang gua inginkan’, sementara sisanya adalah barang-barang yang kita bingung untuk apa, rasanya tidak perlu, lalu kita taruh di samping dulu. Tetapi belakangan kita kembali ke kado-kado yang di samping itu, kita buka bungkusnya, kita perhatikan barangnya, kita mempelajari manual cara pakainya, dan tiba-tiba kita merasa ‘wah, ternyata keren barang ini, ternyata bisa kayak begini dan bisa kayak begitu, ‘gak sangka lho, karena boksnya kelihatan simpel banget’. Lalu setelah kita coba pakai, baru kita tahu ini barang ternyata berguna banget, ‘ini barang yang saya ‘gak tahu saya butuhkan’ –dan di momen itulah baru Saudara menerima barang tersebut sebagai hadiah, sebagai surprise. Jadi, kalau Saudara bingung dengan Tuhan Yesus, Saudara jangan pergi dari Gereja, masih ada pengharapan. Stay dan pelajari manual-nya; dan mungkin suatu hari dalam karunia Tuhan, Tuhan akan membuka hatimu.
Itulah yang pertama, bahwa hadiah ada elemen ‘surprise’-nya. Yang kedua, hadiah juga kadang-kadang mengandung elemen ‘penghinaan’. Tadi kita mengatakan kalau hadiah itu tidak selalu surprising, dan lebih jarang lagi kalau hadiah itu menghina, tetapi dalam sebuah hadiah sebenarnya kita bisa merenungkan elemen penghinaannya. Maksudnya apa? Bagaimana hadiah bisa menghina? Jawabannya: tergantung hadiahnya.
Bayangkan kalau Saudara seorang yang tidak tepat waktu lalu dibei hadiah jam weker, rasanya bagaimana? Mungkin itu masih mending, tapi seandainya Saudara diberi hadiah, lalu waktu dibuka ternyata isinya obat kumur; dan lebih celaka lagi kalau hadiahnya sabun mandi! Atau satu contoh yang absurd banget, coba Saudara bayangkan dalam masa Natal tiba-tiba bos bilang, “Biasanya ‘kan kami bayar kamu satu bulan sekian, tapi untuk bulan ini kami akan berikan yang sekian itu sebagai hadiah buat kamu”, maksudnya ini gaji seperti biasa, tidak ada tambahan, hanya saja karena bulan ini masa Natal maka gaji tersebut diberikan sebagai hadiah Natal bagi karyawan. Saudara tentu bingung, ‘Saya ‘kan kerja, saya berhak dapat gaji tersebut, lalu kenapa Bos bilang itu hadiah?? Absurd! Itu berarti saya tidak sepatutnya dapat gaji tersebut, apa maksudnya Bos mau menghina saya? Mau bilang bulan ini kerja saya tidak bagus?? Lalu uang sekian ini jadinya anugerah??’ Saudara lihat, ini elemen penghinaan dalam sebuah hadiah.
Kita mungkin mengatakan itu contoh yang absurd, siapa sih yang kayak begitulah, sepertinya tidak pernah ada yang kayak begitu di dunia. Memang benar, Saudara, tapi demikianlah sesungguhnya pemberian Allah kepada kita dalam diri Yesus Kristus. Pemberian ini bukan cuma surprise, tapi sebenarnya juga sebuah “penghinaan”. Kita semua tahu inti dari Injil, yaitu satu-satunya jalan kepada hidup kekal, satu-satunya jalan untuk bisa kembali kepada Tuhan, adalah bahwa ini diberikan sebagai hadiah, sebagai karunia, sebagai anugerah, tidak ada yang bsia mengupayakan hal ini, tidak ada yang patut menerimanya. Kita semua tahu itu, meski demikian hanya sedikit dari kita yang benar-benar menghidupinya atau bahkan mengerti signifikansinya. Coba kita renungkan hal ini: banyak orang di dunia hari ini yang terganggu dengan sifat Kekristenan sebagai sifat yang eksklusif; Tuhan Yesus mengatakan, “Akulah jalan, dan kebenaran, dan hidup; tidak ada yang datang kepada Bapa kecuali melalui Aku”, dan bagi dunia, ini terlalu eksklusif. Dunia ingin percaya bahwa siapa pun yang bermoral, yang hidup baik, yang setidaknya try their best, harusnya bisa mencapai Tuhan. “Jangan bicara yang ekslklusif kayak begitu, masa’ semua harus lewat Kristus sih, ‘gak harus dong, siapa pun bisa dong datang kepada Tuhan selama dia orang yang baik-baik, selama dia itu orang yang bermoral, selama dia itu orang yang berdisiplin, selama orang-orang ini adalah orang yang mengasihi”. Perkataan seperti ini kedengarannya bagus di atas kertas, tapi sebenarnya justru pemikiran seperti inilah yang amat sangat eksklusif, karena kalau yang bisa mencapai Tuhan adalah orang-orang yang baik, lalu bagaimana dengan kita yang tidak baik?? Kalau yang bisa mencapai Tuhan adalah orang-orang yang able, bagaimana dengan kita yang disable? Bagaimana dengan kita yang tidak bisa disiplin? Bagaimana dengan kita yang tidak wonderful? Bagaimana dengan kita yang tidak bisa mengasihi? Bagaimana dengan kita yang hidupnya hancur dan berantakan? Kedengarannya di atas kertas seperti oke, bahwa tidak cuma yang percaya Kristus, siapa pun yang baik bisa connect; lalu bagaimana dengan kita yang tidak baik?
Itu sebabnya kita melihat Kekristenan berdiri sendiri di atas semua filsafat dan ajaran agama lain, serta mengatakan “tidak”; bahwa yang namanya jalan menuju Tuhan, itu hanyalah karena pemberian, karena karunia. Dalam 1 Korintus 1:30-31 Paulus mengatakan: ‘Tetapi oleh Dia kamu berada dalam Kristus Yesus, yang oleh Allah telah menjadi hikmat bagi kita. Dia membenarkan, Dia menguduskan, Dia menebus kita –semuanya dari Dia— Karena itu seperti ada tertulis: ”Barangsiapa yang bermegah, hendaklah ia bermegah di dalam Tuhan –bukan dalam diri.”’ Kenapa Paulus mengatakan seperti ini? Ini berarti Paulus sedang mau mengatakan bahwa semuanya itu, dari membenarkan, menguduskan, menebus –semuanya itu, tidak cuma satu– adalah pekerjaan Kristus, bukan pekerjaanmu. Rapormu itu, sebenarnya rapornya Dia.
Sebagai orang Kristen, waktu mendengar ini, sering kali kita mengatakan ‘sudah tahu’. Di satu sisi kita mengatakan, “Puji Tuhan”, karena memang inilah yang kita mau, bahwa akhirnya ada jalan kepada Tuhan yang tidak eksklusif hanya bagi orang-orang yang capable, ada jalan yang didasarkan atas pemberian/hadiah; dan karena ini hadiah, maka ini sungguh bisa bagi siapa pun, di mana pun. Tapi ada sisi gelap dari hal ini yang sering kali kita tidak sadari, ada sisi ‘penghinaan’ yang sering kali kita tidak lihat. Yaitu: jikalau Yesus sungguh adalah hadiah seperti ini, berarti untuk menerima ini Saudara harus membiarkan dirimu dihina, mengakui bahwa dirimu tidak bisa menerima Yesus kecuali engkau rela mengaku kehinaanmu, bahwa engkau butuh Dia, bahwa tidak ada andil apapun dalam hidupmu yang bisa dianggap cukup berharga untuk menaikkanmu sedikit saja di level mata Tuhan, sampai-sampai Dia harus turun ke levelmu menjemput engkau. Saudara, apakah ini yang kita hidupi? Ini lebih susah daripada yang kita bayangkan, karena semua orang dalam dunia ini sesungguhnya sedang berusaha untuk membeli jalan kita sendiri, mengusahakan jalan kita sendiri. Kita tidak gampang terima bahwa rapor kita sebegitu jeleknya sampai-sampai yang kita butuh bukan remedial melainkan rapor orang lain. Itulah Kekeristenan. Saudara, inilah sebabnya Yesus itu hadiah; dan kita perlu mengakui ini sampai kita menghina diri sejauh itu. Tapi apakah kita melakukannya?
Satu contoh, Pendeta Ivan Kristiono pernah cerita mengenai suatu hari dia berhadapan dengan seorang anak remaja yang dulu sekolah di tempat dia mengajar. Anak ini sudah lama mendengar tentang Kekrisetanan melalui pelajaran Agama dsb. Suatu hari dia datang dan mengatakan, “Pak Ivan, saya mau lebih belajar mengenai Kekristenan.” Pak Ivan jawab, “Oke, bagus, yuk kita berdoa, menerima Tuhan sebagai Juruselamat. “ Tapi si anak bilang, “Tunggu, tunggu sebentar, Pak; saya bukan ingin menerima Tuhan sebagai Juruselamat, saya mau belajar mengenai Kekristenan lebih dalam.” Kembali Pak Ivan mengatakan, “Oke, tapi kamu ‘kan selama ini sudah belajar mengenai Kekristenan, kamu sudah tahu dong belajar mengenai Kekristenan itu terpusat pada mengenal Kristus.” Si anak jawab, “Iya, Pak, saya tahu.” Pak Ivan melanjutkan, “Mengenal Kristus, itu berarti menjadi pengikut Kristus.” Kembali anak ini jawab, “Iya, Pak, saya tahu itu.” Pak Ivan melanjutkan, “Mengenal Kristus, berarti menerima Dia sebagai Juruselamat .” Si anak jawab, “Iya, Pak, saya tahu itu”, dan Pak Ivan bilang, “Puji Tuhan kamu tahu, kalau begitu, ayo kita sekarang berdoa minta Tuhan yesus jadi Juruselamatmu.” Tapi kemudian anak itu bilang, “Tidak, ‘gak bisa, Pak.” Pak Ivan tanya, “Lho, kenapa? Ada apa? Apa sih susahnya?” Dan mulailah anak ini mengatakan pikirannya, “Begini, Pak, saya ini orang Budha, dan dari kecil kami sudah diajarkan bahwa keselamatan itu tidak gampang. Kami sudah melakukan ini dan itu tapi tidak tentu bisa selamat, tidak tentu bisa masuk Nirwana; sedangkan orang Kristen koq gampang banget ya?? Cuma tinggal berdoa, ngomong menerima Tuhan Yesus, selesai urusan. Saya ‘gak bisa terima, Pak, yang seperti itu.” Lalu Pak Ivan menjawab, “Puji Tuhan kamu sudah tahu segampang itu. Ayo, kita sekarang berdoa minta Tuhan masuk ke dalam hatimu.” Kembali lagi si anak bilang, “Tidak bisa, Pak, saya sudah bilang ‘kan, itu terlalu gampang.” Akhirnya Pak Ivan mengatakan, “Terlalu gampang dari mana? Buktinya kamu menerima tok, tidak mau ‘kan? Tidak bisa, ‘kan? Ini sebabnya di dalam Kekristenan, menerima pun kita tidak mampu. “ Jangan bilang ‘menerima’ itu mudah; siapa yang mampu?? Ini karena menerima Yesus sebagai hadiah, berarti menempatkan diri serendah-rendahnya, cuma perlu minta tok, tidak bisa lebih dari itu. Siapa yang mau seperti ini, Saudara??
Itu sebabnya kita mengatakan, jikalau hal ini bukan hadiah, tidak mungkin seseorang menerima ini. Sadarkah Saudara bahwa Yesus itu hadiah, sesuatu yang kita tidak bisa beli? Sadarkah kita akan hal ini? Inilah elemen yang kedua. Yang namanya hadiah, bukan cuma ada elemen surprise-nya dan kadang-kadang ada penghinaannya; yang ketiga, yang namanya hadiah itu berharga, bermakna tinggi. Hadiah-hadiah yang terbaik adalah hadiah-hadiah yang waktu kita lihat, kita mengatakan, “Wiiihh, gile.. ini gua ‘gak akan beli sendiri buat diri gua, ini terlalu mahal”. Ini hadiah yang luar biasa, yang melihatnya saja kita sudah senang, tapi sekarang dengan punya jadi lebih bisa mengapresiasi betapa luar biasa indahnya. Itu sebabnya waktu hari ini kita bertanya seberapa harganya Yesus bagi kita, kita perlu tanya hal berikut ini: hadiah dari Allah tersebut, yaitu Yesus, seberapakah mengundang sukacita kita, seberapa kita menghargai hadiah ini?
Kita akan coba merenungkan hal ini dari satu istilah yang sering kali muncul dalam masa-masa Adven dan Natal, yaitu istilah ‘Imanuel’, Allah beserta kita, Allah hadir di tengah-tengah kita. Kalau Saudara mau tahu seberapa harganya yang namanya Imanuel, Saudara perlu tanya kepada satu orang, yaitu Musa, karena Musa adalah orang pertama yang meminta kehadiran Allah. Musa meminta Allah untuk medekat kepadanya. “Tuhan, aku tidak mau bawa orang-orang ini ke Kanaan jika Engkau tidak menyertai kami. Aku mau penyertaan-Mu. Aku mau kehadiran-Mu. Tunjukkan kemuliaan-Mu bagiku.“ Saudara lihat, kehadiran Tuhan ini berharga sekali bagi Musa, tapi sulit bagi kita hari ini melihatnya, maka kita perlu belajar dari Musa. Saudara perhatikan, ketika Musa meminta Allah untuk mendekat kepadanya, apa respons Allah? ‘O, kamu minta kehadiran-Ku? Oke, ‘gak masalah, ‘kan Saya memang Allah yang dari dulu suka nempel-nempel; sini Musa’ lalu Musa dipeluk; apakah begitu? Tidak, Saudara; yang Tuhan ketakan kepada Musa: “Tidak bisa, Musa. Kalau Aku hadir di depanmu, kamu akan mati.”
Saudara, kenapa ada nabi, asal-muasalnya dari mana? Jawabannya dimulai sejak Musa. Musa bisa dibilang nabi “resmi” Israel yang pertama, karena rakyat Israel mengatakan, “Aduh, jangan kami deh yang dekat-dekat dengan Tuhan; kami mau koq, taat pada Tuhan, tapi kami ‘gak mau lagi terulang peristiwa Gunung Sinai, waktu itu kami ‘gak mati, tapi kalau ada sekali lagi, kami pasti mati. Jadi biar kamu saja Musa yang bicara dengan Tuhan, lalu kamu bicara kepada kami, tapi kami tidak mau Tuhan bicara sendiri kepada kami”. Inilah fungsi ‘nabi’, pengantara. Jadi di satu sisi, Tuhan mengutus para nabi yang wujudnya manusia dengan suara Allah; pesannya dari Allah, perintahnya dari Allah, tapi wujudnya manusia. Supaya apa? Supaya bisa ada jembatan dan ada relasi antara manusia dengan Tuhan, karena tanpa itu tidak bisa ada relasi, manusia mati. Di sisi lain, inilah dilema Perjanjian Lama, ini ironis, karena relasi yang baru jalan selama ada pengantara seperti ini, bukanlah relasi yang seintim mungkin, bukan relasi yang sungguh-sungguh utuh. Inilah juga dilema sosmed; di satu sisi, katanya sosmed menghubungkan kita dengan banyak orang, yang tanpa sosmed tidak akan nyambung; tapi kita semua tahu bahwa relasi lewat sosmed itu bukanlah relasi yang benar-benar utuh –selama relasi itu hanya dilakukan via sosmed. Saudara bayangkan kalau suami istri hanya bisa berkomunikasi satu dengan yang lain lewat pengacara, ini berarti sudah mau cerai ‘kan. Itu sebabnya satu hal yang pasti seandainya Musa bisa melihat kita hari ini, dia akan jauh lebih sadar daripada kita betapa berharganya hadiah yang kita terima dalam Yesus Kristus, Sang Imanuel.
Hari ini kita sulit sekali mengerti hal ini karena kehadiran Yesus sering kali sudah jadi sesuatu yang sepele (trivial). “Yesus hadir”, “Allah hadir”, kalimat seperti ini sudah sering sekali dilempar ke sana kemari dan bahkan diharapkan. Tapi kalau Saudara lihat Perjanjian Lama, Saudara akan tahu setiap kali Allah hadir di tengah-tengah manusia, itu adalah kehadiran yang selalu mengancam. Orang-orang yang dekat dengan Tuhan di Perjanjian Lama, bagi mereka itu pengalaman yang traumatis. Saudara lihat Yesaya, Saudara lihat Daniel yang pingsan, lalu Yeremia sampai bengong 7 hari tidak bisa bicara. Kenapa? Karena bertemu dengan sesuatu yang sedemikian besar. Hari ini Saudara bisa sedikit mencicipi hal tersebut di dunia, misalnya ketika Saudara pergi ke Forbidden City. Pengalaman tersebut tidak bisa diwakili oleh sebuah foto. Kalau Saudara foto Forbidden City, Saudara hanya bisa melihat lapangan yang besar, tapi kalau Saudara hadir di situ, Saudara bukan hanya menyadari lapangannya besar, Saudara akan menyadari seberapa kecilnya Saudara. Itulah perasaannya. Bayangkan kalau zaman dulu orang mau ketemu Kaisar, dia harus masuk ke lapangan yang sebegitu besarnya, jalan sendirian pelan-pelan di tengah-tengahnya seperti semut, dan makin lama makin dekat ke istana Kaisar yang besar di depan Saudara itu, bakal jiper duluan –dan itu memang disengaja desainnya.
Saudara, jika sesuatu di dunia saja sudah bisa membuat kita merasa terintimidasi seperti itu, apalagi berhadapan dengan Tuhan. Kalau hari ini kita ketemu manusia –cuma manusia– yang relatif lebih kudus, lebih jago, lebih pintar, lebih sempurna, lebih excellent, itu saja kita sudah merasa terancam, apalagi kalau kita ketemu dengan Tuhan, dengan segala kemurnian-Nya, dengan segala kebesaran-Nya! Bertemu dengan Sang Kekal, kita akan merasa sangat fana. Bertemu dengan Tuhan yang begitu dalam, kita akan merasa sangat dangkal. Inilah satu hal yang Musa mengerti; ia mengerti kenapa Tuhan mengatakan, “Tidak bisa, Musa; kamu berhadapan dengan-Ku, kamu akan mati. Kamu cuma bisa lihat belakang-Ku doang.” Pertanyaannya: apakah kita mengerti hal ini? Bahwa inilah yang terjadi dalam masa Natal, yaitu ketika akhirnya Allah menjelma dalam Natal, Ia menjelma sebagai bayi new born.
Ketika Allah menampakkan diri-Nya di tengah-tengah manusia (teofani), Saudara coba daftarkan mulai dari awal Alkitab sampai ke masa Natal, teofani Tuhan itu seperti apa; dan Saudara akan menemukan suatu pola, bahwa hampir setiap kali Tuhan menampakkan diri-Nya di tengah-tengah manusia, Dia mengambil wujud yang begitu mengintimidasi. Dengan Abraham, Dia muncul sebagai suluh/obor yang menyala-nyala yang berjalan di tengah-tengah potongan-potongan badan binatang yang tersembelih dua –ini film horor, Saudara. Dengan Musa, semak belukar yang menyala-nyala tapi tidak terbakar; dan semak belukar yang terbakar, pada zaman itu berbahaya karena gampang sekali apinya menyulut benda-benda yang lain. Ayub, menemui Tuhan sebagai suara yang keluar dari tengah-tengah badai. Israel, melihat Tuhan sebagai tiang api dan tiang awan; yang ketika tiang awan tersebut turun memenuhi Kemah Suci, tidak ada seorang pun dari mereka yang bisa bergerak atau berdiri, semuanya rebah ke tanah. Namun ketika Ia datang pada waktu Natal, Ia muncul sebagai bayi new born. Tidak ada satu fase pun dalam sepanjang hidup manusia yang lebih terbuka, lebih accesible, dibandingkan seorang bayi new born.
Salah satu keindahan bayi new born, dia itu selalu terbuka. Bayi new born selalu bisa dipeluk, selalu terima ciuman Saudara. Bayi new born, kalau ada apa-apa selalu langsung curhat, “Oeee…, oeee… “ —curhat-nya ‘gak jelas tapi semua diceritain ke kita, tidak ada yang ditahan, sedikit terganggu maka langsung bersuara. Itu sebabnya orang-orang bilang ke saya, “Jeth, nikmatilah masa-masa new born anakmu, karena itu ‘gak bertahan lama.” Saya bingung apanya yang tidak bertahan lama, tapi setelah pikir-pikir, ternyata yang tidak bertahan lama adalah keterbukaannya ini, accesibility-nya ini. Mulai anak itu berumur 2-3 tahun, Saudara akan merasakan ada tembok-tembok pemisah yang muncul sedikit-sedikit, tidak bisa lagi seterbuka dulu, mereka mulai menjadi orang lain, mereka mulai menjadi diri mereka sendiri –yang memang adalah baik karena kita memang menginginkan itu, dan memang sudah seharusnya. Pada fase tersebut, mereka kalau ada apa-apa tidak selalu langsung ngomong, mereka tidak selalu bisa dipeluk, kalau kita ingin cium mereka maka tidak selalu mereka mau. Ini beda banget dengan waktu mereka new born, yang sangat accesible, sangat satu dengan Saudara. Belum lama ini ada orang yang sharing kepada saya; bapak ini mau menikahkan anaknya, dan dia kaget karena anaknya tidak diskusi apa-apa, cuma bilang mau menikah, tiba-tiba sudah menentukan tanggalnya, tempat nikahnya di mana, undang berapa banyak orang, bahkan semua kebutuhan uang pun mereka sendiri yang tanggung. Saya lalu menghibur bapak ini, “Ya, sebenarnya ’kan memang bagusnya begitu, anak mandiri; repot sekali kalau sudah mau nikah tapi semuanya masih bergantung pada orangtua, jadi Bapak harusnya bersyukur.” Tapi di sisi lain, karena saya juga baru punya anak, saya bisa mengerti perasaan Bapak ini; ada sesuatu yang hilang waktu anak sudah dewasa.
Kembali ke tema kita, ketika Allah berinkarnasi, Dia bukan memilih untuk menjelma jadi anak umur 12 atau anak umur 8 atau anak umur 6; Dia memilih berinkarnasi menjadi seorang bayi new born, yang begitu open, accesible, intimate –padahal teofani-Nya selama ini begitu mengerikan. Dan kita tahu keterbukaan ini tidak cuma kita temukan ketika Yesus masih new born, keterbukaan ini berakhir dengan harga yang harus dibayar, keterbukaan ini merenggut nyawa-Nya. Dia mati di kayu salib demi menjadi akses antara Allah dengan kita.
Saudara, waktu hari ini kita merenungkan kedatangan dan kehadiran Yesus pada waktu Natal, sadarkah Saudara seberapa berharganya kehadiran tersebut? Betapa ini satu hadiah yang Saudara tidak mungkin bisa beli sendiri. Ini terlalu berharga. Waktu Musa menghadap Allah lalu dia kembali kepada Israel, dia harus menutup mukanya dengan cadar; tetapi dalam Yesus Kristus tabir/cadar Bait Allah terbelah dua. Apakah kita sungguh mengerti nilai dari kehadiran Allah ini? Apakah hal ini sungguh memenuhi kepala kita, hati kita, perasaan kita, kehendak kita, sehingga mau tidak mau mencuat keluar dari mulut kita, meluap-luap dari tangan dan kaki kita? Apakah kita sungguh mengenal-Nya sebagai hadiah yang seberharga ini sehingga kita pada akhirnya mengatakan, “Ini tidak bisa cuma untuk saya, saya rindu orang lain pun bisa tahu akan hal ini” ? Saudara, hadiah-hadiah yang terbaik itu bukan saking berharganya sampai Saudara ingin simpan sendiri. Kalau Saudara ingin simpan sesuatu buat diri sendiri, sebenarnya berarti Saudara tahu harganya cuma sekian tok, terbatas, sehingga Saudara merasa tidak cukup; sedangkan hadiah-hadiah yang sebegitu berharganya, yang terlalu berharga, Saudara mau tidak mau mengatakan, “Saya harus share ini kepada orang lain.”
Seberapa Saudara melihat berharganya hadiah Allah dalam diri Yesus Kristus?
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading