Kebaktian hari ini judulnya perayaan Natal, dan tentu saja kita ada candle light, menyanyi Malam Kudus, dsb.; tapi khotbah hari ini tetap membahas Adven –paling tidak, kita akan melihat Natal dalam kacamata yang sangat adven. Alasannya, pertama-tama, karena hari ini masih masa Adven, Minggu Adven yang ke-4, sebelum gereja seluruh dunia merayakan malam Natal tanggl 24 Desember nanti. Alasan yang kedua, GRII secara sinodal akan merayakan Natal pada tanggal 24 juga, maka saya pikir adalah baik juga dalam perayaan Natal gereja-gereja cabang membahas bukan Natal itu sendiri melainkan penantian akan Natal, kebutuhan akan Natal. Dalam hal ini, kalau Saudara rasa tidak puas, itu baik, karena Saudara perlu belajar bahwa Gereja Tuhan bukan cuma yang ada di dalam tembok-tembok gerejamu, Gereja Tuhan tidak cuma orang-orang di depan-belakang-kiri-kanan yang engkau kenal ini, Gereja Tuhan lebih besar daripada itu. Dengan demikian, kalau setiap cabang sudah klimaks dengan Natalnya masing-masing, tidak ada hasrat lagi merayakan Natal secara lebih luas, lebih sinodal, akhirnya masing-masing cabang jadi kerajaannya masing-masing, bukan menjadi Kerajaan Allah. Namun ada alasan yang ketiga, dan ini yang paling penting, sebagaimana sudah berminggu-minggu kita ambil waktu untuk merenungkannya, bahwa tema adven/penantian tidak akan mengurangi “ke-Natal-an” perayaan Natal kita, tapi justru akan menambah dan memurnikan perayaan Natal-nya. Mengambil waktu untuk Adven, itu bukan akan membuang Natal melainkan malah akan membantu kita untuk melihat kembali apakah Natal yang sejati itu. Jadi, setelah kita membahas Adven dalam aspek pertama dan aspek kedua dalam minggu-minggu sebelumnya, hari ini kita akan mengakhiri tema Adven dengan aspek yang ketiga/terakhir.
Aspek yang pertama dan kedua, yaitu Adven sebagai penantian akan kehadiran Kristus lewat inkarnasi di masa lalu, dan lewat pengudusan Gereja di masa sekarang. Aspek yang ketiga adalah penantian akan kedatangan Kristus dalam kemuliaan-Nya pada hari-hari terakhir. Omong-omong, ini tidak berarti kita akan membicarakan tentang hari kiamat, dengan tanda-tandanya yang mengerikan. Pembicaraan mengenai akhir zaman yang digoreng menjadi cerita teror untuk menakut-nakuti orang supaya rajin ke gereja, itu bukan fokus yang kembali ke Alkitab; berita mengenai kedatangan Kristus pada hari-hari terakhir, di Alkitab merupakan good news, bukan teror. Yesus yang dalang kembali di dalam Alkitab, menurut kitab Wahyu, datang bukan lagi sebagai bayi yang rentan bahaya melainkan sebagai seorang raja yang sangat berkuasa, hakim yang adil, yang akan menaklukkan dosa dan maut, serta membawa datangnya langit dan bumi yang baru. Maut akan dimatikan, air mata akan dihapus, ingatan akan pohon pengetahuan yang membawa kejatuhan manusia di halaman-halaman pertama Alkitab akan dijawab dengan kehadiran pohon kehidupan yang daun-daunnya menjadi kesembuhan bagi bangsa-bangsa. Itu semua adalah good news, itu bukan bad news. Doktrin “akhir zaman” pada aslinya, itu membawa pengharapan bagi Gereja, bukan membawa rasa takut.
Sekarang kita akan coba melihat dalam Adven aspek yang terakhir ini, bagaimana penantian akan Kristus yang akan datang kembali, membawa kita untuk lebih mengerti apa artinya Kristus yang telah datang pada Natal.
Kitab Yesaya penuh dengan nubuat-nubuat yang mendeklarasikan suatu zaman di depan, yang dibawa oleh seorang raja, seorang mesias, yang akan memulihkan segala sesuatu. Kita sebagai orang Kristen, percaya bahwa raja/mesias itu adalah Yesus Kristus, yang kelahiran-Nya dirayakan pada hari Natal. Jadi kita akan coba menelaah nubuat mengenai Mesias yang datang ini dari kitab Yesaya, karena ini mungkin akan membuat kita lebih bisa menerima secara lebih total dan lebih limpah apa artinya Natal, membuat kita menyadari siapa sesungguhnya yang lahir di palungan itu.
Pertama-tama kita akan menelusuri teksnya terlebih dulu, yaitu ayat 1 dan 2, mengenai apa yang dikatakan nubuat ini. Di situ dikatakan tentang padang gurun, padang kering, padang belantara, akan bersorak-sorak dan berbunga, kemuliaan Libanon diberikan kepadanya, semarak Karmel dan Saron, mereka akan melihat kemuliaan Tuhan, semarak Allah kita. Ketika dikatakan ‘padang gurun, padang kering, padang belantara, akan bersorak-sorak dan berbunga’, ini berarti tidak akan ada lagi padang gurun. Ini suatu bahasa yang maksudnya mengungkapkan perubahan –perubahan yang sangat riil dalam dunia. Dalam hal ini, gambaran Libanon, Karmel, dan Saron sangat menarik, karena orang-orang di zaman itu sangat tahu tempat-tempat ini seperti apa. Ini tempat-tempat yang punya karakteristik masing-masing yang sedikit berbeda satu dengan lainnya, yaitu Libanon adalah tempat penghasil kayu aras, Karmel adalah gunung yang cukup tinggi dipenuhi pohon-pohon rindang, Saron adalah dataran rendah padang rumput yang sangat cocok untuk kawanan domba. Meski karakteristiknya berbeda-beda, di sini Saudara bisa melihat satu hal yang mirip, yaitu semuanya merupakan tempat-tempat yang sangat subur, dan itu sebabnya sangat indah. Kalau Saudara google foto-foto tempat-tempat tersebut, Saudara akan kaget betapa ternyata ada tempat-tempat sesubur, serindang, dan serimbun itu, di Timur Tengah yang Saudara biasanya identikkan dengan kekeringan. Jadi, ketika dikatakan padang gurun akan berubah jadi tempat seperti itu, gambarannya sama seperti kita mengatakan hari ini bahwa pantai Ancol akan berubah jadi seperti Bunaken atau Labuan Bajo, Kelapa Gading yang panas terik tapi banjir akan menjadi seperti Cisarua yang adem namun waktu hujan airnya mengalir ke bawah, tidak bertahan jadi banjir.
Yesaya mengatakan, tempat-tempat tersebut akan diubahkan sedemikian rupa, kita akan menerima langit dan bumi yang akan diperbarui, yang dalam bagian kitab Yesaya yang lain digambarkan sebagai tempat singa bisa duduk berbaring bersama domba. Jadi, ini suatu gambaran yang kita tahu belum hadir bahkan pada hari ini; ini suatu langit dan bumi yang baru di masa depan.
Ayat 3 dan 4, menceritakan bagaimana dunia ini akan datang, apa yang jadi pembawanya. Dikatakan di situ: Kuatkanlah tangan yang lemah lesu dan teguhkanlah lutut yang goyah; Katakanlah kepada orang-orang yang tawar hati: “Kuatkanlah hati, janganlah takut!”. Kenapa? Karena: “Lihatlah, Allahmu akan datang dengan pembalasan dan dengan ganjaran Allah. Ia sendiri datang menyelamatkan kamu!” Jadi, Yesaya mengatakan bahwa yang bisa membuat semua ini jadi realitas –yang bisa membuat pasir abu-abu Ancol jadi pasir putuh Bunaken– adalah karena Allah sendiri akan datang ke dunia ini. Maksudnya apa, ya?? Bukankah Allah memang mahahadir? Ya, Dia sekarang ini hadir, tapi Dia hadir secara tidak kelihatan; dan itu sebabnya mungkin hari ini Saudara melawan dia, kita mungkin memberontak terhadap kehadiran-Nya. Tapi di sini Yesaya sedang bicara mengenai hari di mana Allah hadir secara sangat kelihatan dan jelas, hadir dengan kuasa-Nya yang tidak lagi dapat dilawan; ketika semua kejahatan, kerusakan, dan segala sesuatu yang rusak/jelek akan diakhiri dan diselesaikan.
Berikutnya, ayat 5 dan 6 menggambarkannya dengan sangat terkenal, bahwa dengan demikian: Pada waktu itu mata orang-orang buta akan dicelikkan, dan telinga orang-orang tuli akan dibuka. Pada waktu itu orang lumpuh akan melompat seperti rusa, dan mulut orang bisu akan bersorak-sorai; sebab mata air memancar di padang gurun, dan sungai di padang belantara.
Penggambaran ini dilanjutkan terus, lalu di bagian akhir pasal ini, ayat 9 dan 10 mengatakan tentang siapa yang akan berjalan-jalan di tempat ini, yaitu mereka yang ditebus, mereka yang telah diselamatkan, “dan orang-orang yang dibebaskan TUHAN akan pulang”. Inilah yang akan kita lihat bersama-sama pada hari ini: pulang. Istilah ‘pulang’ di sini bukan maksudnya pulang ke surga. Istilah pulang ini artinya dalam Perjanjian Lama adalah kembali; dan istilah kembali dalam Perjanjian Lama merujuk pada kembalinya bangsa Israel dari pembuangan.
Salah satu tema besar di Alkitab yang kita sebagai orang Krsiten kurang peka, yaitu exile dan homecoming, pembuangan/keterasingan dan kepulangan. Kalau Saudara membaca Perjanjian Lama dari awal, maka pada dasarnya Saudara akan membaca lagi dan lagi mengenai pembuangan dan kepulangan, exile dan return, yang berkali-kali muncul. Israel pernah terbuang ke Mesir, lalu dikembalikan Tuhan ke tanah leluhur mereka. Berikutnya Israel terbuang ke Babel, lalu dikembalikan Tuhan ke tanah Palestina. Kemudian di zaman Perjanjian Baru ketika orang Israel berada di bawah Perjanjian Romawi, mereka melihat diri mereka masih di dalam pembuangan, karena meskipun mereka tinggal di tanah mereka sendiri, mereka diperbudak dan ditindas di situ, dijajah di negeri sendiri. Itu berarti rumah tidak lagi bisa menjadi rumah, mereka belum benar-benar pulang.
Kalau Saudara tarik lebih mundur lagi, Saudara bisa menyadari bahwa bukan cuma Israel yang mengalami kisah seperti ini, kisah Israel ini simply mencerminkan kisah dari seluruh umat manusia. Di awal kitab Kejadian, kita melihat Adam dan Hawa diberikan rumah, yaitu Taman Eden. Namun mereka kemudian jatuh dalam dosa, mereka melanggar perintah Tuhan, maka mereka kehilangan rumah mereka. Mereka diciptakan bagi Taman Eden –tidak cuma Taman Eden yang diciptakan bagi mereka– tapi karena mereka memberontak terhadap Allah, maka mereka kehilangan rumah itu.
Kalau Saudara lompat ke akhir Alkitab, pasal-pasal terakhir kitab Wahyu, Saudara menemukan bahwa itu sebabnya Allah akan membawa kembali Eden yang baru, kota Yerusalem yang baru, turun dari surga. Kota ini digambarkan penuh dengan fitur-fitur yang membuat kita kembali memikirkan Eden, karena dikatakan ada sungai yang mengalir di tengah-tengah kota tersebut, ada pohon-pohon –dan khususnya pohon kehidupan yang ada di tengah-tengahnya. Poinnya apa? Poinnya, bahwa tema home – exile ini begitu besar di dalam Alkitab, karena Alkitab sedang mengajarkan bahwa setiap manusia sesungguhnya sedang ada dalam pembuangan; kita ini adalah orang-orang yang homeless, gelandangan, di dunia ini. Maksudnya apa? Kita akan explor lebih lanjut.
Untuk mengerti makna Alkitab mengenai exile, kita harus mengerti dulu apa makna dari kepulangan; untuk mengerti artinya keterasingan, kita perlu mengerti apa artinya rumah. Apa maksudnya ketika kita bisa pulang ke rumah? Apa artinya rumah?
Belum lama ini saya baru pindah rumah, maka saya merasakan banget istilah yang orang suka katakan, bahwa house tidak otomatis jadi home. Saya pindah rumah kali ini adalah yang kedua kalinya. Dulu waktu saya dan Dorothy pertama kali merenovasi rumah kami, kami juga pindah, ke suatu rumah kontrak yang tidak terlalu besar, selagi rumah kami dibangun. Namun waktu itu kami cuma berdua, belum punya anak, jadi kami cari rumah kontrak yang murah saja, kecil pun tidak masalah, sehinga sejak awal kami memang tidak expect untuk bisa terlalu nyamanlah dengan rumah tersebut, lagi pula cuma temporer doang. Kali ini, kami renovasi untuk kedua kalinya karena mau membuat kamar-kamar tambahan, mengantisipasi kebutuhan kalau suatu hari anak-anak sudah besar. Jadi kami pun kali ini cari rumah lagi; dan karena sudah ada anak-anak dan berbagai pasukannya, maka kali ini kami cari rumah kontrak yang lebih besar. Setelah 15-20 unit kami lihat, akhirnya kami dapat satu rumah kontrak yang guedee sekali dan buaguss sekali, karena entah bagaimana harganya jauh di bawah pasar –entah bagaimana bisa dapat jackpot seperti itu. Jadi budget yang untuk rumah kontrak semi-furnished lain biasanya dapat ukuran sekitar 120 m2, kami bisa mendapatkan rumah tersebut yang hampir 300 m2 dengan harga yang sama. Meski sempat ada urusan pompa dsb., rumah kontrak yang sekarang ini jauh lebih baik keadaannya daripada yang dulu. Jadi ini rumah yang sangat luas –rumah paling luas yang pernah saya tinggali– rumah yang sangat bagus dan mewah, jauh melampaui budget kami tapi entah kenapa bisa dapat harga segitu. Ketika masuk, saya sempat berpikir ‘celaka nih tinggal di rumah kayak begini, kalau saya sudah terbiasa di tempat begini, susah juga ya, waktu balik ke rumah lama’, karena kalau rumah saya selesai direnovasi nanti pun kayaknya tidak sebagus rumah ini. Tapi tahukah Saudara apa yang terjadi? Yang terjadi adalah: tidak sampai dua minggu, saya sudah tidak tahan, ingin pulang. Bukan lagi karena urusan pompa, bukan karena ada hal lain yang rusak lagi, tapi karena simply rumah itu bukan rumahku.
Saudara, butuh waktu yang cukup lama ternyata kalau Saudara pindah ke tempat baru untuk bisa menjadikan tempat itu jadi sebuah rumah. Atap memang sudah ada dari awal –bukan maksudnya kita perlu bikin atap atau mendatangkan kasur untuk tidur, semua itu sudah ada– dapur sudah ada untuk masak, meja sudah ada untuk makan, tapi ternyata yang namanya rumah, sebuah home, tidak cuma itu. Setelah dua minggu di rumah kontrak itu, saya akhirnya sadar bahwa saya sebenarnya tidak mau tinggal di rumah sebesar itu. Ini bukan rumah bagi saya, ini tidak bisa jadi home bagi saya. Kenapa? Kerena saya ini control freak, saya ingin mengerjakan segala sesuatu sendiri; dan semakin besar sebuah rumah, kita tidak bisa lagi maintain rumah itu sendirian, harus bergantung pada banyak orang lain –dan ini membuat saya kesal karena saya paling benci bergantung pada orang lain, saya ingin segala sesuatu bisa saya kerjakan sendiri. Inilah manusia.
Rumah, tidak tentu karena lebih mewah dan lebih bagus, otomatis jadi sebuah home bagi kita ternyata. Ini membuat kita berpikir, jadinya apakah rumah itu, apakah home itu, ketika apakah suatu tempat bisa menjadi suatu rumah? Jawabannya basically adalah: rumah merupakan suatu tempat yang segala sesuatu pas denganmu; segala sesuatu berada di tempat yang memang Saudara sudah tentukan, segala sesuatu pas dengan dirimu. Bahkan ini tidak tentu pas dengan gambaranmu, karena bayangan-bayangan kita mengenai kenyamanan, kemewahan, dsb. itu, begitu kita dapatkan, kita baru sadar ‘ternyata saya tidak pas di situ’.
Saya pernah melayani di Perth beberapa waktu ketika GRII Perth pernah kosong hamba Tuhan. Beberapa orang bergantian dikirim ke sana, tinggal di sana selama tiga minggu; dan saya pernah dua kali ke sana. Waktu saya baru sampai di sana, saya merasa wow! Perth ini sepi banget, enak banget, karena saya orangnya tidak suka kebisingan. Saya pikir bisa cocok tinggal di Perth, karena sepi banget. Namun itu cuma gambaran saya; satu malam tinggal di sana, saya sudah tidak tahan, ingin pulang, karena ternyata Perth itu terlalu sepi, bahkan buat saya. Saya juga sempat tanya beberapa teman hamba Tuhan yang lain yang pernah dikirim ke sana, mereka pun merasakan yang sama. Ternyata, kita orang Jakarta sudah terlalu terbiasa dengan hiruk-pikuk bunyi klakson, sehingga rasanya susah untuk tinggal di tempat sesepi itu. Keheningan di tempat itu tidak lagi menenangkan, keheningan di tempat itu sudah berubah jadi keheningan yang mencekam. Kalau bicara kualitas udaranya, makanannya, pemerintahnya, masyarakatnya, pendidikannya, sudah jangan tanya, di sana pasti lebih bagus, tapi somehow memang house tidaklah otomatis jadi home.
Home adalah tempat di mana somehow kita bisa nge-pas di situ. Jadinya make sense kenapa kita merasa capek kalau kita bepergian. Waktu kita pergi, di sana tempat tidur tetap ada, tempat makan tetap ada, tapi itu bukan tempat tidurmu, itu bukan dapurmu, itu bukan rumahmu! Rumah adalah tempat yang engkau susun sendiri; dan itu sebabnya rumah bisa menjadi pelabuhan yang teduh, rumah bisa menjadi tempat pemulihan, rumah adalah tempat yang tidak mengurasmu, rumah adalah tempat engkau bisa di-recharge, diisi, karena rumah itu nge-pas dengan dirimu.
Konsep yang mirip, yaitu tanah air (homeland). Tanah air tentunya bukan tempat di mana tidak ada pergumulan, tapi setidaknya kita tidak bergumul untuk mengerti bahasa orang-orangnya, kita tidak bergumul untuk menelan makanan-makanannya. Tanah air merupakan tempat di mana budaya dan gaya hidupnya sedikit banyak masuk akal buat kita. “Ah, enggaklah, Pak, saya juga sering geleng-geleng kepala sama orang Indo, apalagi di jalanan!” Tunggu saja Saudara, sampai Saudara tinggal di luar negeri. Saya pernah bilang kepada Saudara, kalau di Indonesia, orang Indonesia curiga pada orang Indonesia, tapi kalau di luar negeri Saudara bertemu dengan sesama orang Indonesia, ada perasaan kehangatan yang anehnya tidak dirayakan di negara sendiri, karena itu adalah taste of home. Jadi, kalau inilah artinya rumah, home, maka homelessness, keterasingan, ketidakpunya-rumahan, adalah sesuatu yang brutal.
Tidak punya rumah, tidur di jalan, itu destruktif, menghancurkan hidup manusia, dehumanisasi. Jadi, waktu Alkitab mengatakan bahwa sesungguhnya semua dari kita mengalami ini, bukan cuma para gelandangan, maksudnya apa? Saudara bahkan tidak perlu sampai ke Alkitab untuk mengerti ini, seorang filsuf Jerman bernama Martin Heidegger pun mengerti hal ini. Heidegger mengatakan, umat manusia menderita apa yang disebut dengan istilah unheimlichkeit, yaitu kondisi homelessness tadi, kita hidup dalam suatu dunia yang tidak pas dengan kita, kita hidup dalam suatu dunia yang tidak bisa mengisi kita, kita terasing di dunia ini, kita terbuang di dunia ini. Saudara, kenapa bisa demikian? Mazmur 90 mengatakan, karena Allah-lah yang harusnya jadi tempat tinggal kita turun temurun. Lagu dari Isaac Watts, “O God, our help in ages past, and our eternal home”, itu diambil dari Mazmur 90. Alkitab mengatakan, Allah-lah tempat tinggalmu, maksudnya mengatakan bahwa manusia pada awalnya didesain untuk melayani Tuhan, untuk mengasihi Tuhan, dan melakukan semua ini hanya demi Tuhan dan bukan berdasarkan apa yang kita bisa dapat dari Tuhan. Itulah desain awal kita, maka ketika kita melakukan sesuatu yang berbeda dan melenceng dari desain awal ini, hasil akhirnya adalah kita tidak pas.
Kita bisa saja percaya Tuhan, tapi ketika kita hidup bukan demi Dia, ketika kita hidup untuk apapun selainTuhan, jika karirmu atau hartamu atau keluargamu atau pencapaianmu atau pengakuan orang lain bagimu lebih penting daripada Tuhan, maka kita sedang memaksakan sesuatu yang seharusnya tidak layak jadi rumah, menjadi tempat tinggal. Kita melakukannya karena kita pikir ini lebih mewah, ini lebih besar, ini lebih bagus, tapi ternyata itu tidak pas dengan kita, ternyata semua itu tidak sanggup menopang bobot dari jiwamu. Itu seperti tinggal di Perth, bagi saya; Perth kota yang bagus, tapi it’s not home.
Saudara, karena Dia tidak jadi pusat hidup kita, karena Dia bukan hal yang terpenting bagi kita, sedangkan kita diciptakan untuk Dia, maka kita mengalamiunheimlichkeit tadi; dan ini bukan cuma satu kondisi di dalam secara psikologis, dunia ini pun tidak lagi menjadi rumah kita. Kitab Kejadian mengatakan, umat manusia diciptakan bagi Eden, tapi ketika kita memutuskan untuk jadi tuan atas hidup kita sendiri, kita memutuskan jadi juruselamat bagi diri kita sendiri, kita ingin jadi kapten yang mengemudikan hidup kita sendiri, maka kita kehilangan rumah itu. Ini tidak aneh, karena kalau Saudara melanggar suatu relasi, apa hukumannya, yaitu exile, dikeluarkan dari relasi tersebut. Saudara mengkhianati seseorang, Saudara menggunakan mereka demi keuntunganmu, maka apa yang terjadi, yaitu Saudara dibuang dari relasi tersebut, Saudara diasingkan, Saudara kehilangan tempatmu dalam relasi tersebut. Itu sebabnya Alkitab mengatakan, dunia yang sekarang ini tidak lagi jadi tempat yang sama yang dulu Allah desain/ciptakan. Cara Alkitab menggambarkan hal ini, terutama dengan memperlihatkan betapa dunia yang sekarang ini ada maut.
Kita tidak diciptakan bagi dunia dengan maut di dalamnya. Kita tahu itu. Hari ini banyak orang sekuler berusaha untuk menormalisasi maut sebagai just a part of life, kematian itu bagian dari hidup. Lion King menyanyikan itu, “The circle of life … “; seems harmless, sampai aborsi pun sebisa mungkin di-normalisasi sebagai just a part of life. Saudara, kita tidak diciptakan bagi maut, kita tidak diciptakan bagi dunia di mana ada penyakit, kebutaan, kelumpuhan. Dalam sense seperti inilah kita mengatakan: “Dunia yang fana, itu bukan rumahku”. Dunia seperti sekarang ini, tidak pas dengan diri kita. Itu sebabnya setiap dari kita in exile, kita terbuang, kita terasing, baik secara jiwa maupun tubuh, secara internal maupun eksternal. Inilah Adven.
Adven sengaja mengajak kita melihat kegelapan dunia seperti ini. Adven, ketika membahas mengenai kedatangan Kristus dalam kemuliaan-Nya, harus sampai pada kesimpulan ini. Jikalau Kristus masih akan datang, membawa dunia yang sebegitu fit dengan diri saya, maka kesimpulannya adalah: dunia hari ini belum dan bukanlah rumah-ku. Dari sini, barulah sekarang kita bisa membalik halaman ke Natal. Sebagaimana tema keterasingan, exile, masuk begitu banyak dalam kisah-kisah Perjanjian Lama, maka dalam setiap halamannya Perjanjian Lama juga menjanjikan Mesias yang ngapain? Dalam hal ini barulah Saudara bisa menangkap make sense-nya Natal, yaitu kedatangan Mesias itu sebagaimana dijanjikan Perjanjian Lama, akan membawa kita pulang.
Kali pertama Ia datang, Ia memulai pekerjaan yang akan menyembuhkan keterasingan kita; dan pada akhirnya ketika Ia datang untuk kedua kalinya, Ia akan memulihkan dunia ini dengan segala keseluruhannya, menjadi rumah bagi kita lagi. Kenapa Dia bisa melakukan itu? Jawabannya: karena Natal.
Sekarang kita mulai masuk ke Natal; apa yang kita lihat di dalam Natal, setelah kita mulai dengan masuk melalui jalan kegelapan Adven? Kita baru sadar, betapa salah satu tema besar dalam Natal adalah keterasingan, homelessness, exile, rejection.
Saudara, untung ya, di gereja Kelapa Gading ini kita cuma bikin pohon Natal, kita tidak bikin nativity scene dengan gembala, Maria, Yusuf, dan Bayi Yesus. Dan biasanya, karena di gereja orang mendirikan ini untuk anak-anak, maka adegan-adegan Natal yang dihadirkan dalam nativity scene ini disensor supaya bisa memenuhi lembaga sensor Natal. Adegan kandang binatangnya jadi begitu terang, bersih, wangi; Bayi Yesus dikelilingi dengan berbagai binatang berbulu lembut dan fluffy, lalu mungkin sekalian juga ada Yusuf yang bicara ke Maria, “Wah, untung banget ya kita ‘gak dapat hotel, karena kandang ini jauh lebih nyaman lho, ternyata.” Pause videonya, Saudara, karena itu bukanlah kisah Natal! Tahukah Saudara kisahnya seperti apa?
Pertama-tama, yang pasti Natal menceritakan bahwa Yesus lahir pada waktu mereka sedang bepergian, mereka sedang di jalan, mereka tidak di rumah. Mereka harus pergi ke Betlehem karena ada sensus penduduk. Bukan cuma mereka tidak di rumah, Yesus juga tidak terlahir di rumah apapun, karena tidak ada tempat bagi mereka. Maria melahirkan di kandang binatang. Jadi ceritanya pintu-pintu tertutup, tidak ada tempat bagi mereka, lalu Maria, lalu tiba-tiba Maria merasakan sesuatu. “Yusuf, Yusuf! Bayinya sudah mau keluar ini”, dan Yusuf mengatakan, “What?? Sekarang? Di sini??” lalu, “Oke, oke, di sini ada kandang binatang.” Lalu dalam kegelapan, dalam dingin, anak gadis yang baru berumur empat belas tahunan pada waktu itu, melahirkan Bayi Yesus di tengah-tengah pipis kambing dan kotoran. Hari ini, kalau Saudara membawa anakmu ke kebun binatang, dokter akan memberi peringatan untuk jangan membiarkan anakmu menyentuh mulut binatang-binatang tersebut, karena ada ini dan itu dalam air liur binatang-binatang itu, atau ada kutu di bulunya yang bisa bikin begini begitu, yang buat orang dewasa tidak masalah tapi buat anak kecil sangat berbahaya, bla, bla, bla … . Jadi, adegan-adegan Natal hari ini sudah kita sterilkan habis-habisan, namun realitasnya Bayi Yesus lahir di tempat yang paling tidak steril! Lagu Natal mengatakan, “Look the little Lord Jesus asleep on the hay …”, tapi hai, jangan lupa, ada teriakan-teriakan persalinan, ada keringat, ada darah, tidak ada epidural, tidak ada sarung tangan medis. Not to mention, Saudara tahu gadis umur empat belas yang melahirkan itu, seluruh warga desa tahunya dia hamil sebelum nikah, maka dia tertolak bukan cuma di Betlehem tapi juga mungkin akan tertolak seumur hidupnya –dan mungkin itu salah satu alasannya dia harus melahirkan di tengah-tengah pipis dan pupuk. Saudara, kisah Natal itu tidak ada sweet-sweet-nya. Kisah ini seharusnya menghancurkan hatimu. Kisah ini harusnya membuat air mengalir di pipimu. Kisah ini melambangkan kekerasan dunia, melambangkan keterasingan yang kita rasakan dari dunia ini. This world is not my home.
Yesus bukan cuma terlahir di perjalanan, jauh dari rumah, tapi bahkan Dia tidak lahir dalam rumah manapun. Dan Saudara lihat, kenapa Natal ternyata begitu brutal? Saudara baru menyadari ini ketika Saudara melihatnya lewat kacamata yang tepat. Saudara baru menyadari kenapa Natal begitu brutal, kenapa kita harus melihat segala penolakan ini, adalah karena inilah alasannya Yesus datang, inilah bagaimana Sang Mesias membawa keselamatannya. Natal itu cuma permulaan, karena ini cuma bayang-bayang dari sesuatu yang akan terus mewarnai sisa kehidupan Yesus. Apakah sisa kehidupan-Nya? Yesus mengatakan, “Serigala punya liang, burung punya sarang, tetapi Anak Manusia tidak memiliki tempat untuk meletakkan kepala-Nya”. Ia lahir tanpa rumah, Ia hidup tanpa rumah, dan diakhir hidup-Nya Ia naik ke atas kayu salib. Tahukah engkau, apa yang terjadi di atas kayu salib? Ia tidak cuma mengatakan, “Allah-Ku, Allah-Ku, sakit … sakit … “; Ia mengatakan: “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Meninggalkan, apa artinya? Keterasingan, exile.
Di kitab Imamat, dalam hari raya Yom Kippur (‘Day of Atonement’), hari di mana Israel mengakui dosa mereka dan minta pengampunan Tuhan, mereka meletakkan tangannya di atas kepala seekor kambing dan mengaku dosa mereka. Ini cara mereka secara simbolis mentransfer dosa-dosa mereka kepada kambing scapegoat tersebut. Apa yang kemudian terjadi dengan kambing tersebut? Kambing tersebut tidak dikurbankan kepada Tuhan, itu adalah kambing bernoda, kambing hitam; dan Israel tidak mempersembahkan kambing bernoda kepada Tuhan, Israel hanya mempersembahkan binatang yang terbaik. Jadi kambing itu diapakan? Kambing itu diseret keluar, dibuang, di-exile, diasingkan keluar tembok kota, di luar pagar perkemahan orang Israel, sekali lagi karena penalti dari pelanggaran relasi selalu adalah exile, pembuangan, pengasingan. Ketika Saudara melakukan kesalahan terhadap seseorang, melukai, mengkhianati mereka, mengeksploitasi mereka, maka Saudara dikeluarkan dari komunitas tersebut, dibuang. Hukuman mati, dalam kacamata orang Israel, sesungguhnya dilihat dalam perspektif ini. Bagi orang Israel, hukuman mati bukanlah suatu hukuman yang lebih parah dibandingkan hukuman pembuangan; hukuman mati adalah hukuman pembuangan, hukuman mati bukanlah cuma urusan terputusnya nyawa seseorang secara individual. Kalau Saudara perhatikan bahasa orang Israel, hukuman mati itu dikatakan sebagai “turun ke dunia orang mati”, yang berarti mereka dikeluarkan dari komunitas dunia orang hidup, dibuang, di-exile. Itulah kematian yang sesungguhnya.
Saudara, karena kita memalingkan muka dari Tuhan, kita dibuang, kita homeless, namun Yesus lalu turun ke dunia, menjadi homeless, mengalami unheimlichkeit, dan pada akhir hidupnya Dia naik ke atas kayu salib, lalu apa yang Ia alami di sana? Ia sedang dibuang. Ia mengalami keterasingan. “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Ia dibawa keluar tembok kota, Ia disalibkan di sana. Ia lahir di luar tembok, dan Ia mati di luar tembok juga. Yesus itulah The True Scapegoat.
Ia menerima keterasingan dalam skala kosmis, supaya kita bisa dibawa masuk. Ia meninggalkan rumah-Nya di surga dalam kemuliaan-Nya untuk datang ke dalam kegelapan dan kedinginan, supaya kita dibawa ke dalam terang. Ia mengalami keterasingan dari Tuhan, supaya kita bisa menerima kasih Tuhan yang tidak akan pernah bisa hilang. Kenapa? Karena Allah datang ke bumi dengan pembalasan dan ganjaran, demikian kata Yesaya; hanya saja, ternyata Allah membayar keadilan tersebut dengan diri-Nya sendiri, Ia mengambil hukuman yang harusnya jadi milik kita, kutukan yang harusnya jadi bagian kita. Saudara coba renungkan lagi ayat ini, “Lihatlah, Allahmu akan datang dengan pembalasan dan dengan ganjaran Allah. Ia sendiri datang menyelamatkan kamu!” Bagaimana bisa Allah datang dengan pembalasan dan ganjaran, namun kemudian menyelamatkan kita? Bagaimana mungkin kita tidak hancur di tangan Allah yang membalas dan mengganjar itu? Adalah karena mereka yang percaya kepada-Nya, percaya pada apa yang Dia lakukan dalam Natal dan dalam Salib, percaya bahwa Ia menjadi terasing supaya kita bisa pulang, percaya bahwa Ia menjadi kutuk supaya kita bisa diampuni, itulah kuncinya. Pada hari-hari yang terakhir Ia bisa datang untuk mengakhiri kejahatan tanpa harus mengakhiri kita juga, karena Ia telah mengambil pembalasan dan ganjaran itu. Dan itulah sebabnya kita diselamatkan. Itulah Natal.
Terakhir, kita akan membahas apa dampaknya hal ini bagi hidup kita. Jika Natal bukanlah sweet-sweet, jika Natal sesungguhnya –sebagaimana telah dibukakan kepada mata kita sekarang– adalah brutal, jika Natal adalah Allah menjadi terasing sedemikian rupa supaya kita bisa dibawa pulang, maka what now? Yaitu Yesus Kristus menyelamatkan Saudara dan saya bukan dalam kekuatan, tapi justru dengan menjadi lemah, dengan menjadi terasing, dengan menyerahkan hak akan kemuliaan-Nya, bahkan hak untuk menentukan kemudi hidup-Nya. Bukankah ini yang Dia lakukan? Filipi 2 mengatakan, “Yang walaupun dalam rupa Allah, Ia menganggap kesetaraan dengan Allah sebagai milik-Nya yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, mengambil rupa seorang hamba, menjadi sama dengan manusia”. Inilah yang Allah kerjakan. Allah tidak menyelamatkan kita dengan cara menjadi bos, Allah tidak menyelamatkan kita dengan cara terus-menerus mempertahankan kemudi di tangan-Nya; Allah menyelamatkan kita dengan cara menjadi hamba, dengan meletakkan hak-Nya, dengan menyerahkan kemuliaan-Nya. Dengan cara itulah Dia menyelamatkan kita; dan kalau seperti itulah cara-Nya menyelamatkan Saudara dan saya, maka tidak heran itulah juga caranya kita bisa dicangkokkan ke dalam keselamatan tersebut.
Agama-agama lain di dunia mengatakan, kalau kamu mau diselamatkan, kamu harus mengerahkan semua kekuatanmu, dan hidupilah hidup yang baik, maka Allah akan memberkatimu. Natal memberitahu kepada kita, bahwa dalam Kekristenan justru amat sangat terbalik: kita tidak bisa naik, Allah yang harus turun. Dia yang harus turun dan melakukan apa yang tidak bisa kita lakukan sendiri. Ia turun, menjadi lemah; dan hanya lewat penolakan, keterasingan, brutalisasi, itulah caranya Ia menyelamatkan kita. Dengan demikian, jangan heran jikalau jalan untuk engkau dan saya bisa masuk ke dalam keselamatan itu adalah melalui cara yang sama, yaitu yang disebut dengan pertobatan.
Pertobatan dan iman dalam Kekristenan, itu bukanlah mengerahkan segala kekuatanmu lalu bisa menghidupi hidup yang lebih baik lalu Tuhan akan memberkatimu; bukan itu. Pertobatan adalah mengakui betapa engkau lemah, betapa engkau bangkrut secara spiritual; mengatakan bahwa engkau adalah pendosa, dan bahwa engkau tidak punya pengharapan selain diberikan belas kasihan. Saudara pikir ini gampang? Atau mungkin terlalu gampang? Saudara, ini adalah justru yang paling sulit untuk dilakukan. Mudah koq, tinggal mengakui dosa lalu diselamatkan oleh Tuhan. Ya, benar, mudah mengakui dosa ketika istilahnya cuma “dosa” tok, dosa generik; memang gampang mengakui dosa dalam arti seperti itu. Tapi bagaimana kalau dosa itu di-detail, bagaimana kalau Saudara diberikan sikat gigi dan odol, bagaimana kalau Saudara diberikan deodorant sebagai hadiah Natal? Itulah pertobatan di hadapan Tuhan, brutal rasanya. Namun itulah caranya; dan jangan heran dengan itu.
Saudara, dunia tempat kita hidup ini urusannya senantiasa adalah membangun self-esteem. “Yang penting pe-de, ‘gak apa-apa, lakukan sendiri saja, pokoknya kamu coba, salah atau ‘gak salah itu urusan belakangan”, itulah yang senantiasa dikatakan di tengah-tengah kita. Dan, tentunya urusan kayak begini sangat dimudahkan dengan IG dan TikTok. Sekarang bahkan kita tidak perlu Photoshop, karena filter-filter dengan otomatis membuang secara cepat semua bintil yang kita tidak mau lihat. Pertobatan adalah mengakui semua itu. Pertobatan adalah mengakui semua bintil-bintil dalam kehidupan kita, menamakannya, dan mengutarakan semua bagian bintil yang kita tidak mau lihat. Orang sering mengatakan, ada beberapa level hal yang kita mau akui dalam hidup ini; ada hal-hal yang kita bongkar untuk semua orang lihat, ada hal-hal yang kita keep untuk sebagian orang saja yang lihat, ada hal-hal yang kita keep hanya bagi diri kita sendiri, dan ada hal-hal yang kita bahkan tidak mau lihat, bahkan kita sendiri pun mau melupakannya. Tapi pertobatan adalah mengakui semua itu. Menjadi orang Kristen berarti harus mengakui semua hal ini kalau engkau mau dimasukkan ke dalam keselamatan Yesus Kristus, sehingga tidak heran di dalam mata dunia, bertobat, mengakui keberdosaan, meletakkan hak atas kemudi hidup kita sendiri, itu brutal. Dan memang benar ini brutal; saya tidak mau membuat kita tidak menyadari hal ini. Apa yang dikatakan dunia dan apa yang dikatakan Alkitab, itu benar, memang ini brutal, tapi ini brutalitas pembedahan.
Saudara tidak bisa datang kepada seorang ahli bedah dengan mengatakan, “Saya ada penyakit, saya perlu disembuhkan, tapi saya tidak mau dipotong ya, saya tidak mau sama sekali ada urusan darah dan segala macam.” Tidak bisa seperti itu. Dokter bedah akan mem-brutalisasi engkau, tapi mereka melakukan brutalitas ini dengan sangat ahli, mereka mem-brutalisasi hanya pada derajat yang diperlukan untuk Saudara bisa disembuhkan, diselamatkan. Pertobatan adalah seperti itu. Pertobatan itu brutal; dan jangan Saudara pernah pikir tidak demikian, karena Yesus sendiri di- brutalisasi. Yesus sendiri diperlakukan begitu kasar untuk Dia bisa menyelamatkan kita; dan jangan pernah pikir, dalam Gereja, dalam keselamatan kita, kita tidak perlu mengalami hal yang sama. Kita pikir, masuk ke dalam Kekristenan berarti kita bisa dielus-elus, kita bisa dikelilingi binatang-binatang berbulu lembut dan fluffy. Tapi tidak demikian, itu penipuan dunia akan Natal, itu bukanlah caranya keselamatan dibawa masuk, itu bukanlah caranya keselamatan dibeli oleh Allah kita. Natal memberitahu kepada kita akan hal ini. Jadi, apa yang perlu kita akui dan kita perlu bertobat darinya?
Kalau Saudara melihat Jakarta, sekarang ini sudah lebih banyak taman, ada taman jogging, ada taman ini dan itu, di Kelapa Gading ada, di tempat-tempat lain juga ada. Namun satu hal yang menyebalkan mengenai taman, adalah ketika Saudara melihat ada orang-orang yang tidur di taman, yang mulai tinggal di taman. Di tempat saya yang baru, saya mengajak anak-anak pergi ke salah satu tamannya. Anak-anak melihat tempat dengan perosotan, dan mereka ingin main di situ. Kami lalu datang ke sana, tempatnya sepertinya cukup oke. Namun ketika mendekati tempat tersebut, kami baru sadar bahwa di bawah perosotan itu ternyata menjadi tempat pekerja-pekerja menaruh alat/mesin pemotong rumput, yang tentunya bukan barang aman bagi anak-anak. Dan ternyata memang setiap pagi waktu datang bekerja, mereka menaruhnya di situ. Ini penyalahgunaan taman, basically.
Taman adalah tempat yang wonderful, yang sangat baik, namun taman tidak bisa digunakan untuk orang melakukan hal-hal semacam tadi. Orang tidak boleh tinggal di situ, taman hanyalah untuk orang lewat sementara –tapi tidak boleh tinggal di sana. Taman tidak bisa menerima beban dari seluruh kehidupanmu. Taman tidak bisa menjadi tempat engkau taruh pekerjaanmu. Taman tidak bisa menjadi tempat engkau makan dan minum, tidur, mandi, dan buang kotoran. Taman adalah tempat yang sangat baik, tapi tidak pernah didesain untuk menjadi rumah. Itu sebabnya ketika orang-orang yang homeless tinggal di taman, ada dua hal yang terjadi: yang pertama, mereka merusak taman; yang kedua, taman itu merusak mereka –karena bagaimanapun juga taman tidak bisa menjadi rumah bagi mereka. Orang-orang yang tinggal di taman, cepat atau lambat akan sakit, akan hancur, rusak. Jadi, apa yang kita perlu pertobatkan di hadapan Tuhan?
Saudara mungkin percaya kepada Tuhan, Saudara mungkin orang yang baik-baik, tapi apakah rumah-mu itu dalam hidup ini? Apakah hal yang utama itu dalam hidupmu, yang memberikan engkau makna dalam hidup ini? Apakah sumber dari signifikansimu, starusmu, srasa amanmu? Apakah kariermu? Atau bank account-mu? Atau performamu, pencapaianmu? Apakah mimpimu untuk mendapatkan seseorang? Atau orang yang memang sudah kaudapatkan yang engkau tidak mau kehilangan, apapun harganya? Apakah itu keluargamu? Atau anakmu? Apapun itu, jikalau ada sesuatu yang kita cintai lebih daripada Tuhan, jikalau ada sesuatu yang lebih penting dibandingkan Tuhan, maka itu adalah seperti tinggal di taman; taman itu baik, but it’s not your home, itu bukan rumahmu,dan itu tidak akan sanggup untuk menahan-menanggung-menopang seluruh bobot jiwamu. Tamanmu akan menjadi padang gurun. Taman-taman itu akan mengecewakanmu. Taman-taman itu akan mengosongkanmu. Saudara akan menjadi seperti Kain, mengembara sepanjang hidupnya, tidak pernah di rumah; hanya Adven dan tanpa Natal.
Namun Natal berarti Allah yang besar itu, Yesus Kristus, telah menjadi homeless, supaya Dia bisa menjadikan dunia ini sebuah home bagi kita; dan pada akhirnya Dia akan melakukannya. Langit dan bumi yang baru. Singa duduk bersama-sama dengan domba. Padang gurun, padang kering, dan padang belantara akan menjadi tempat yang bersorak-sorai, tempat yang berbunga. Tapi hanya orang-orang yang ditebus, yang akan berjalan di sana; orang-orang yang dibebaskan Tuhan akan pulang, dan masuk ke Sion dengan sorak-sorai.
Kiranya kita pada hari ini menyadari akan makna Natal; kiranya pada hari ini kita menyadari apa yang Tuhan lakukan bagi kita, siapa Tuhan yang kita nantikan itu, dan bagaimana kita bisa dicangkokkan ke dalam keselamatan-Nya.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Indonesia Injili Kelapa Gading