Pembacaan kita hari ini bukan ayat yang saya pilih sendiri, melainkan ayat yang memang merupakan bacaan lectionary untuk Kalender Gereja 2024 Minggu Adven pertama. Saudara coba perhatikan nanti, apa isinya –atau lebih tepatnya: apa yang bukan isinya.
Saudara-saudara, “Selamat Tahun Baru”. Maksudnya apa? Ini adalah tahun baru Kalender Gereja. Kalender Gereja seluruh dunia bukan dimulai pada 1 Januari, dan juga bukan dimulai pada hari Natal atau Jumat Agung atau Paskah atau Pentakosta. Kalender Gereja seluruh dunia dimulai hari ini, minggu pertama Adven ini, di awal bulan Desember. Jadi ada satu hal ironis yang terjadi di sini, selagi dunia binatang bersiap-siap untuk hibernasi panjang, mulai menggali lubang di hutan atau membuat sarang di salju, Kalender Gereja malah dimulai. Selagi dunia manusia bersiap-siap untuk menutup tahun, menutup buku, mulai liburan ke sana kemari, Kalender Gereja malah dimulai. Kenapa bisa seperti ini, apa alasan di baliknya?
Alasan yang pertama, yang pasti kita diingatkan –dan diingatkan melalui Kalender Gereja berarti bukan cuma diingatkan melalui teologi otak tok, tapi melalui liturgi, melalui ritme jasmani/badani Gereja– bahwa Gereja memang berada di dunia ini, tapi juga bukan berasal dari dunia ini. Jadi tidak heran kita melihat Gereja memulai tahunnya bukan dengan panen, melainkan dengan musim penantian. Itulah Adven.
Adven adalah masa penantian. Kata ‘adven’ berarti kedatangan, kehadiran, the coming, masa persiapan/penantian kita akan kehadiran Kristus. Gereja memulai tahunnya dengan hal ini; mengapa?Karena Gereja memulai tahunnya sebagaimana kita memulai Kebaktian, yaitu bukan atas dasar usaha/kekuatan manusia. Kebaktian Kristen tidak dimulai dengan nyanyian pujian, Kebaktian Kristen dimulai dengan undangan/votum untuk kita datang beribadah; kalau bukan karena undangan Tuhan, kita tidak sanggup datang kepada Tuhan. Demikian juga Gereja memulai tahunnya. Dunia insist bahwa satu-satunya cara untuk memulai tahun yang baru adalah dengan semangat tahun baru, dengan kekuatan manusia, dengan satu visi yang baru, dengan satu janji yang baru, dst., tapi Gereja tidak memulai tahunnya dengan semangat manusia seperti itu, Gereja bahkan tidak memulai tahunnya dengan semangat Natal. Poin yang paling penting untuk kita ingat mengenai Adven, yang sudah kita bicarakan sejak tahun lalu waktu pertama kali kita mengingat Adven, adalah bahwa Adven bukanlah Natal –dan khotbah hari ini setengah curcol bahwa pohon Natal di ruang kebaktian ini harusnya belum boleh muncul.
Dalam empat Minggu Adven, tema-tema yang dibahas adalah tema-tema mengenai kematian, penghakiman, neraka, surga; dan ini di desain sedemikian rupa sehingga pembahasan mengenai neraka jatuh pada minggu terakhir sebelum Natal. Ini bukan kebetulan, dan nanti kita akan bicarakan alasannya. Namun sekali lagi, Adven bukanlah Natal. Tahun Baru Kristen dimulainya dengan Adven, yang adalah kegelapan, sebagaimana lilin Adven yang Saudara lihat di depan ini menyalanya pelan-pelan, satu demi satu demi satu, tiap minggu nyala satu lagi dan satu lagi, dst. Ini berarti Adven dimulai dalam kegelapan.
Gereja tidak memulai tahunnya dengan membicarakan misi, mandat penginjilan, mandat budaya, pekerjaan-pekerjaan besar; Gereja memulai tahunnya dalam kegelapan, dalam masa penantian. Kita menanti Raja kita datang. Itu sebabnya pembacaan ayat hari ini adalah seperti yang kita baca tadi; dan itu adalah teks yang bukan cuma dibaca hari ini di tempat ini saja, teks tadi dibaca di semua gereja yang mengingat dan memasuki Musim Adven. Ayat 36: “Berjaga-jagalah senantiasa sambil berdoa, supaya kamu beroleh kekuatan untuk luput dari semua yang akan terjadi itu, dan supaya kamu tahan berdiri di hadapan Anak Manusia.” Penantian, berjaga-jaga, itulah Adven.
“Wait, wait, wait, Pak, Raja kita ‘kan sudah datang. Kristus sudah datang, Yesus sudah membawa Kerajaan Allah hadir di dunia ini meskipun belum dalam kepenuhannya; tapi Kristus sudah dipatahkan di kayu salib, dan dengan demikian Dia mematahkan maut, Dia sudah mencurahkan Roh-Nya kepada Gereja. Jadi kenapa kita harus masuk ke dalam Musim Penantian setiap tahun, seakan-akan Yesus belum datang? Kita menanti apaan??” Saudara, justru inilah kita perlu musim Adven, justru inilah alasannya kita perlu waktu secara khusus untuk merenungkan dan membicarakan tema penantian ini.
Yang pertama, alasannya Adven dirayakan setiap tahun, adalah karena Kekristenan bukan hanya percaya Yesus datang satu kali. “O, ya, ya, tentu saja Yesus bukan cuma datang satu kali yaitu dalam inkarnasi-Nya, Yesus akan datang kedua kali nanti dalam kemuliaan-Nya.” Sesungguhnya Kekristenan percaya Yesus datang tiga kali. “Apa?? Ajaran bidat dari mana ini??” Kedatangan Yesus yang pertama adalah dalam inkarnasi-Nya; yang dalam teologi Adven dinamakan Adventus Redemptionis, kita menanti keselamatan/redemption dari Tuhan. Kedatangan Yesus yang kedua adalah yang Alkitab sebut sebagai kedatangan Yesus pada hari-hari yang terakhir, kedatangan Yesus dalam kemuliaan-Nya, yang disebut Adventus Glorificamus. Lalu ada lagi kedatangan yang ketiga, yaitu kehadiran-Nya dalam masa sekarang, dalam keseharian kita, melalui firman, melalui sakramen, melalui kehadiran dan pekerjaan Roh Kudus; yang disebut Adventus Santificationis, datangnya pengudusan dalam kehidupan kita sehari-hari. Kalau kita melihatnya seperti ini, maka berarti Adven merayakan kehadiran Kristus dalam ketiga masa tersebut secara bersamaan, yaitu dalam masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Dengan demikian, bisakah Saudara melihat dan mulai mengerti kenapa Kalender Gereja dimulai dengan Adven, kenapa tahun baru Kristen dimulai dengan penantian? Karena inilah sesungguhnya yang memenuhi kehidupan Kristiani dari awal sampai akhir: bukan penggenapan melainkan penantian. Inilah esensi hidup Kristisni, hidup yang menanti.
Saudara lihat sekarang, kenapa Gereja —escpecially gereja modern di zaman kita hari ini– sangat membutuhkan hal ini, yaitu karena kita ini orang-orang action, kita ini man of action. Kita tidak menunggu lampu penyebarangan jalan jadi hijau lalu baru jalan, kita melihat ideal hidup adalah hidup yang dipenuhi kesibukan, kita senang dengan orang-orang yang making things happened, yang get things done! Kita tidak suka dengan sikap pasif. Kita tidak suka menunggu. Kita tidak suka menanti. Inilah pentingnya Musim Adven.
Musim Adven adalah musim yang bersifat sangat paradoks, karena Musim Adven mencampuradukkan past-present-future, karena Musim Adven merupakan praktika dari Gereja kuno namun ternyata sangat urgent untuk kita hari ini hidupi. Kalender Gereja sebenarnya selalu ada sifat paradoks seperti itu, karena kalender Gereja –yang berarti lewat waktu, lewat bulan, tahun, hari– kita malah diajak memasuki kekekalan; kita diajak untuk mengingat cerita yang kekal itu, tapi dengan cara melalui waktu. Melalui kita di sini mengingat Adven atau Natal atau Paskah atau Pentakosta, kita sedang diajak untuk menembus keterbatasan ruangan ini, untuk bersama-sama dengan semua umat beriman di seluruh bumi dan bahkan sepanjang zaman. Jadi ada sifat paradoksnya; kita melalui waktu, merenungkan kekekalan. Dan especially dalam Musim Adven inilah segala hal yang kontras dalam kehidupan Kristen itu dipertemukan bersama. Ada kegelapan, tapi juga cahaya lilin. Membicarakan kematian dan penghakiman, tapi juga lilin-lilin Adven itu melambangkan pengharapan. Adven adalah masa di mana Gereja bukan stuck pada masa lalu, tapi juga bukan masa di mana Gereja sedang hidup di masa depan. Adven adalah masa di mana Gereja sedang menanti sesuatu dari masa depan, yang dijanjikan dari dulu, tapi belum kunjung tiba di masa sekarang. Itulah penantian. Itu sebabnya Adven, hasilnya adalah ketegangan. Gereja yang menghidupi Adven, dia menghadapi kehidupan yang ditarik dari berabagai arah pada saat yang sama. Kenapa harus seperti ini? Karena ini membongkar kepada kita, bahwa itulah kehidupan Kristen.
Kehidupan Kristen itu isinya penantian; dan penantian itu tegang, penantian itu bukan comfort zone. Kita tidak mau seperti itu; dan itulah sebabnya kita perlu Adven. Adven adalah momen di mana kita diingatkan dan diyakinkan, bahwa inilah mode normal hidup orang Kristen di dunia ini. Kapan sih orang Kristen tidak sedang menanti?? Inilah yang Adven mau beritahukan kepada kita; dulu kita menanti inkarnasi Kristus, sekarang kita menanti pengudusan oleh Roh Kudus yang masih terus berjalan, dan kita masih akan terus menantikan Yesus datang kembali. Jadi, kapan orang Kristen tidak sedang menanti dalam hidup ini?? Itu sebabnya Fleming Rutledge mengatakan, dalam Musim Adven-lah sebuah Gereja paling menghidupi ke-Gereja-annya, bahwa inilah Gereja, umat yang hidup dalam ketegangan penantian. Itulah esensi menjadi orang Kristen, menjadi umat yang hidup di zaman perantaraan, menjadi serial TV yang sudah tahu akan berakhir di musim keenam tapi musim kelimanya sekarang tidak keluar-keluar. Itulah Adven, itulah Gereja, itulah lkehidupan Kristen.
Hari ini ada Baptisan. Kita tidak khotbah spesifik mengenai Baptisan, tapi in some sense khotbah Adven hari ini sangat pas untuk kita semua mengingat kembali makna dari baptisan kita, bahwa kita masuk ke dalam suatu umat, Tubuh, yang bukan sedang rileks dan ongkang-ongkang kaki; kita adalah sebuah umat yang sedang menanti. Seluruh hidup kita adalah menanti. Siapkah Saudara menjalani kehidupan seperti ini? Ingatkah Saudara bahwa inilah kehidupan Kristiani?
Saya baru mendengar kesaksian dari dua orang pemuda kita dalam momen yang cukup berdekatan. Yang satu bergumul dan akhirnya meninggalkan gereja kita, pindah ke gereja lain; yang satu lagi bertahan di sini. Saya di sini bukan sedang pro dengan yang satu atau kontra dengan yang lain, dsb. Saya justru heran, dan baru sadar, bahwa mereka berdua sesungguhnya tidak beda –dan ini mewakili kita– yaitu bahwa yang pergi, adalah karena dia menemukan gereja lain yang dia katakan: “Inilah gereja yang saya tunggu-tunggu, inilah jawaban dari doaku di hadapan Tuhan”; sementara yang bertahan mengatakan: “Tadinya saya pindahan dari gereja lain karena saya merasa di sinilah jawaban doa saya dari Tuhan”, lalu honeymoon period berakhir, lalu mulai lihat banyak kerusakan, lalu ingin pindah lagi, namun pada akhirnya bertahan karena: “Saya tidak bisa menuntut orang lain doang, saya sendiri belum ngapa-ngapain, jadi saya bertahan di sini.” Menurut Saudara mana yang lebih oke? Buat saya, dua-duanya sama naifnya. Dua-duanya mengira bahwa kehidupan umat Tuhan adalah kehidupan di mana kita pada akhirnya bisa mendapatkan akhir dari penantian kita di sini dan sekarang. Yang satu pergi karena dia merasa di tempat lain dia bisa berhenti menanti; yang satu lagi kepingin pergi karena merasa di sini koq cuma menanti tok, tapi ya sudahlah, jangan menuntut orang lain, harus tuntut diri sendiri juga. Pertanyaannya, tuntut diri sendiri untuk ngapain, Saudara? Untuk menciptakan Gereja sempurna, yang mengakhiri penantian itu? Jadi, yang satu mencari akhir penantian di luar sana; yang satu lagi mencari akhir penantian di sini. Apa bedanya? Itu bukan Gereja. Gereja paling menjadi Gereja, justru ketika Gereja hidup dalam penantian, karena memang Gereja hidup seperti itu, masa lalunya, masa sekarangnya, dan masa depannya —already but not yet. Itulah sebabnya kita butuh mengingat Adven setiap tahun.
Kita akan coba membuka tiga aspek penantian dalam Adven; dan kita akan coba melihat apa yang sedang diundangkan bagi kita untuk kita rindukan, harapkan, dan nantikan. Tiga aspek adven tersebut adalah: 1) kehadiran Kristus dalam inkarnasi; 2) kehadiran Kristus dalam dalam kehidupan sehari-hari, yaitu lewat pekerjaan Roh Kudus, lewat firman dan sakramen, lewat Gereja; 3) kehadiran Kristus dalam hari-hari terakhir, akhir zaman.
Hari ini kita akan membahas aspek yang pertama: Apa maksudnya kita menanti Kristus dalam inkarnasi-Nya? Ini aspek adven yang paling familiar, yaitu Adven sebagai masa kita mempersiapkan Natal, menantikan kehadiran Kristus di dunia dalam inkarnasi-Nya. Meski demikian, boleh dibilang ini juga aspek yang paling tidak masuk akal, atau paling membingungkan, karena kita hidup pada zaman Yesus sudah berinkarnasi, sehingga what’s the point?? Saudara, poinnya adalah: ini mengingatkan kepada kita, bahwa orang Kristen tidak pernah dipanggil sekadar sebagai penonton cerita dan kisah keselamatan; kita dipanggil menjadi peserta, untuk masuk ke dalam kisah tersebut. Tidak hanya menjadi penonton (spectator) di luar, tapi menjadi pemainnya di dalam.
Adven adalah musim di mana kita secara sengaja akan memasukkan kaki kita ke sepatu-sepatu saudara-saudara seiman kita pada era Perjanjian Lama yang masih menanti dengan setia akan kedatangan Mesias. Kita sengaja menanggalkan kacamata modern kita lalu memakai kacamata mereka, mengambil sikap tubuh mereka. Kita dengan sengaja mengambila peran orang yang merindukan dan menantikan Raja mereka, meskipun hari ini kita sudah tahu kisah Natalnya seperti apa. Kita coba membayangkan apa rasanya masuk dalam kebingungan, kefrustrasian, ketegangan penantian, yang dirasakan orang Israel tahun demi tahun demi tahun, generasi demi generasi demi generasi.
Pendeta Budi Setiawan pernah menceritakan pengalamannya waktu disuruh mementaskan satu drama Jumat Agung, tapi dia diberikan peran yang bukan sebagai Yesus, bukan sebagai Petrus, melainkan sebagai perwira yang menusukkan tombaknya ke lambung Yesus setelah Yesus mati. Ketika diberi peran seperti itu, dia protes karena dia pendeta, hamba Tuhan, koq diberikan peran kayak begini, jelek banget. Namun ketika pada akhirnya dia menjalani peran ini dan dia menusukkan tombaknya, dia baru sadar satu hal, dia merasakan sesuatu sebagai pemain dan bukan sebagai spectator, bahwa memang kitalah yang menusuk Yesus, bahwa karena kitalah Ia ditusuk, darah dan air mengalir dari lambung-Nya. Ada sesuatu yang lain, Saudara, ketika kita bukan cuma menonton sebuah drama tapi masuk dan menjadi pemain di dalamnya.
Saudara, inilah sebabnya kita mempersiapkan Natal harusnya bukan dengan membuat pohon terang satu bulan di muka, tapi justru dengan menunggu di jalan-jalan yang gelap di kota Betlehem. Mata kita memicing, berusaha keras mendeteksi cerahnya fajar yang tidak kunjung tiba itu. Itu sebabnya Adven dimulai dengan kegelapan. Omong-omong, kami sudah membicarakan dalam rapat pengurus dua minggu lalu, bahwa tahun depan pohon Natal di gereja tidak akan dibuat sampai pada minggu terakhir sebelum Natal, karena ini satu hal yang penting.
Dalam liturgi Adven Gereja Abad Pertengahan, ada satu liturgi doa yang identik dengan masa Adven, yang disebut “O Antiphons” (antiphons artinya doa yang dibacakan secara berbalas-balasan). Kenapa disebut “O Antiphons”? Karena doa ini adalah rangkaian tujuh doa yang semuanya dimulai dengan “O”:
yang pertama: “O Wisdom”
yang kedua: “O Adonai”
yang ketiga: “O Root of Jesse” (Taruk Isai)
yang keempat: “O The Key of David” (Kunci Daud)
yang kelima: “O The Light of the World” (Terang Dunia)
yang keenam: “O The King of the Nations” (Raja Bangsa-bangsa)
yang ketujuh: “O Emmanuel”.
Ini menarik, karena semua titel tersebut memberitahu kepada kita nama-nama Mesias dalam Perjanjian Lama, tanpa pernah menyebut nama Yesus secara langsung. Doa ini sengaja memakai kacamata Perjanjian Lama. Doa ini sengaja memakai nama-nama yang diatributkan kepada Mesias yang akan datang, yang belum tahu nama “Yesus” itu. Tradisi ini sudah banyak hilang dalam gereja hari ini, tapi Saudara masih bisa melihat jejak kakinya, misalnya dalam salah satu hymn Adven yang kita sering nanyikan, “O Come, O Come, Emmanuel”.
Apa tujuan kita membicarakan liturgi ini? Sebagaimana sudah kita katakan berkali-kali, setiap kali kita melihat ada liturgi tertentu, itu bukan karena gereja yang menjalankan liurgi tersebut ingin mengekspresikan sesuatu dari dalam ke luar; liturgi fungsinya adalah sebaliknya, liturgi ingin memahatkan sesuatu dari luar ke dalam hati kita. Jadi, apa yang dipahatkan lewat kita mendoakan karakter-karakter Mesias tadi? Doa-doa ini, ingin memahatkan ke dalam hati Gereja suatu penantian, suatu kerinduan dan pengharapan akan Mesias. “O Wisdom”, Gereja perlu diingatkan bahwa kita semua butuh bijaksana Tuhan yang datang langsung dari atas. “O Adonai”, kita sangat membutuhkan Adonai, nama Tuhan yang di-identikkan dengan Allah yang membawa Isarael keluar dari perbudakan. “O Root of Jesse”, kita sangat membutuhkan Taruk Isai, karena akar itu sumber kekuatan, kekokohan, dan sumber makanan bagi si pohon. “O The Key of David”, kita sangat membutuhkan Kunci Daud untuk melepaskan belenggu-belenggu yang memenjarakan kita. “O The Light of the World”, kita sangat membutuhkan Terang Fajar yang bisa menerangi kebutaan kita. “O The King of the Nations”, kita membutuhkan Raja atas segala bangsa, yang sesungguhnya adalah kerinduan hati kita untuk dunia ini. “O Emmanuel”, kita membutuhkan Imanuel, Allah beserta kita. Seandainya kita dan orang lain tidak mengenal nama Yesus pun, kita tetap butuh semua ini, yang Yesus datang untuk berikan.
Liturgi “O Antiphons” seperti ini mengingatkan kepada Gereja bahwa inkarnasi Kristus tidak boleh di-taken for granted, bahwa signifikansi dan bobotnya bukan cuma ada di masa lampau. Kita sedang diajak untuk kembali mengenakan sepatu orang-orang Perjanjian Lama. Kenapa? Karena memang sampai hari ini –demikian Paulus katakana– ciptaan masih mengerang. Tragedi dan kesengsaraan dalam sejarah manusia sebelum Kristus datang, masih ada sampai hari ini pada zaman kita. Orang-orang Perjanjian Lama belum pernah mendengar nama ataupun kisah Yesus; dan sama juga, hari ini ada miliaran orang di dunia yang belum pernah mendengar nama dan kisah-Nya. Dan juga, hari ini ada miliaran orang di dunia yang sudah mendengar, bahkan sudah percaya, namun masih sering menemukan diri kita diikat oleh ketakutan, ketidakpercayaan, dosa, kesengsaraan. Oleh karena inilah, kita mengingat mereka, orang-orang Perjanjian Lama yang menantikan Yesus. Itu sebabnya kita ikut serta dengan mereka setiap tahun, untuk menceritakan bahwa Dialah yang menjawab segala kekosongan hati manusia, dan adalah hasrat dari segala bangsa. Adven harus dimulai dari sini.
Kalau pun Saudara mau melihat Adven sebagai waktu untuk mempersiapkan diri merayakan Natal –ini aspek yang pertama–perhatikan bagaimana mempersiapkan dirimu untuk bisa benar-benar merayakan Natal. Kita ini terlalu familier dengan berita Natal, dengan domba-domba kecilnya, gembala-gembalanya, bintang-bintangnya, dengan kaos-kaos kakinya dan fake snow-nya, dengan lagu-lagu christmas carol yang semuanya enak-enak itu, sehingga kita sangat mudah lupa akan segala kesakitan, kekacauan, bahaya, dan kegelapan dunia, yang kepadanya Yesus terlahir. Berteriak, “O Wisdom!” berarti mengakui dunia itu bodoh. Berteriak, “O Adonai!” berarti mengakui dunia pada hari ini butuh keselamatan. Berteriak, “O Taruk Isai!” berarti mengakui hari ini kita tidak berakar. Berteriak, “O Kunci Daud!” berarti menyadari kita terbelenggu. Dan seterusnya. Kita sering kali lupa dengan ini, karena yang kita hidupi liturgi Natal dunia. Liturgi Natal dunia, mewajibkan kita untuk be jolly, “It’s the best time of the year… “. Sangat mudah untuk kita jatuh ke dalam eskapisme Natal gulali, kalau kita gagal untuk terlebih dahulu melihat kegelapan dalam dunia dan dalam jiwa kita. Inilah salah satu tujuannya ada Adven sebelum Natal.
Tujuannya ada Adven sebelum Natal, bukanlah to make Christmas great again. Tujuan adanya Adven sebelum Natal, adalah untuk membuat Christmas weird again, shocking again, surprising again. Kenapa Adven berusaha untuk menunda Natal, adalah justru untuk kita bisa benar-benar mengalami sukacita Natal ketika waktunya tiba. Saya kutip kembali khotbah saya tahun lalu supaya Saudara ingat saya sudah pernah mengatakannya: Kita justru melihat makna dan signiffikansi Natal jadi sangat murahan, jika kita tidak sudi menghadapi kegelapan yang ada dan datang sebelum Natal.
Saudara ingat, tahun lalu saya menceritakan tentang seorang pendeta Anglikan yang cerita, waktu dia masih kecil, dia bingung karena teman-temannya sudah menghias pohon Natal, mal-mal sudah banyak pohon Natal, tapi di rumahnya ada satu kebiasaan, yaitu mamanya melarang mereka menghias pohon Natal dan memasang dekorasi Natal apapun, sampai pada hari malam Natal. Kenapa? Mamanya mengatakan, Natal harusnya datang secara tiba-tiba, surprising. Natal itu tidak kurang dari intervensi Allah terhadap dunia yang gelap, yang tidak punya harapan sama sekali, yang satu-satunya kemungkinan jalan keluar hanyalah sesuatu yang datang dari luar, dari atas, yang datang secara tidak disangka-sangka, yang datang dengan tidak dikenal, yang datang pada malam yang gelap, yang datang masuk ke dalam sebuah palungan di kandang binatang. Jadi Saudara lihat, ada sesuatu yang signifikan di balik keengganan untuk merayakan Natal terlalu cepat; dii balik keinginan untuk menunda Natal, itu bukanlah karena Gereja mau menunda Natal, melainkan karena untuk kita bisa merayakan Natal dengan tepat, kita perlu penantian ini, kita perlu perenungan akan masa gelap ini, kita perlu disadarkan akan ketidakmampuan dan ketidakberdayaan manusia.
Semangat Natal yang otentik tidaklah memalingkan muka dari kegelapan; semangat Natal yang otentik justru memandang lurus langsung kepada kegelapan. Semangat Natal yang otentik tidak hanya membahas nyanyian para malaikat dan hadiah orang majus, dan lupa akan pembantaian bayi-bayi umur dua tahun ke bawah di Betlehem oleh tangan Herodes. Coba Saudara pikirkan, bukankah ini alasannya Natal dunia terasa palsu, murahan, dangkal?? Yaitu karena mereka hanya mengambil sisi terang dari Natal, dan menolak untuk memandang dan menatap muka pada kegelapan sebelum Natal, kegelapan yang membutuhkan Natal. Itu sebabnya komunitas Kristen yang sejati menolak penghiburan yang dangkal dan kebahagiaan yang isinya cuma sentimental belaka. Selagi kota-kota di dunia dipenuh terang lampu-lampu “Natal”, Gereja justru memulai Adven dalam kegelapan.
Saya ingin Saudara hari ini belajar akan hal itu, saya ingin kita sekali lagi diperkenalkan kembali dengan tradisi Adven; dan ini tidak selesai dalam satu tahun. Tahun lalu kita sudah mengatakan yang persis sama ini, tapi ‘gak ngaruh; baru ngaruh kalau kita mengulangi ini terus, tahun demi tahun demi tahun, karena secara itulah juga Saudara terpengaruh oleh liturgi dunia. Omong-omong, ini bukan polemik terhadap pohon Natal di ruangan ini, bukan juga karena saya anti terhadap acara-acara gathering yang Saudara sangat sukai itu, bukan juga karena gembalamu ini introvert –meski ke-introvert-an saya inilah mungkin yang menyebabkan saya bisa melihat banyak hal yang Saudara-saudara tidak lihat. Ini bukan mengenai itu semua; saya mengatakan soal pohon Natal berkali-kali tadi, karena saya pikir tahun lalu kita sudah bicara mengenai hal ini maka harusnya tahun ini sudah diperbaiki. Sekali lagi, tujuan kita bukan saling menyalahkan, karena kalau hal ini salah seseorang, itu salah saya juga; saya terfokus habis urusan tema ordinary time, saya tidak terpikirkan urusan pohon Natal, dan baru sadar waktu urusan ini diumumkan. Kalau Saudara mau menyalahkan seseorang, ini salah saya juga, karena saya tidak wanti-wanti dari awal. Jadi tujuannya bukan itu, Saudara tidak usah ambil hati urusan ini; tujuannya adalah supaya kita sebagai Gereja, sekali lagi menyadari teologi yang benar tidaklah cukup kalau liturgi kita terus saja menjalani yang salah, tujuannya supaya kita menyadari betapa kita bisa percaya hal-hal yang gerejawi tapi ritme-ritme kehidupan kita masih terus saja mengikuti tanpa mikir dan tanpa sadar liturgi-liturgi duniawi.
Kembali lagi, itulah sebabnya kita perlu liturgi Adven, karena liturgi ini sedang membawa kita masuk ke dalam kisah besar sejarah keselamatan, supaya kita merasakan kebutuhan kita akan keselamatan, kebutuhan kita akan Seorang Penyelamat, lagi dan lagi dan lagi, setiap tahun. Itu sebabnya kita perlu belajar untuk menghapus salju-salju bohongan, gembala-gembala papan kayu, dan mulai menginjakkan kaki pada derita serta erangan alam ciptaan yang sedang menantikan Penciptanya.
Dalam Kalender Gereja, setiap masa perayaan selalu didahului dengan masa persiapannya. Sebelum Paskah, ada Jumat Agung dan Lent, demikian juga sebelum Natal ada Adven, karena tujuannya untuk mempersiapkan hati, pikiran, dan tubuh kita untuk menerima berita baiknya. Sebelum kita merayakan berita baik kelahiran, kita perlu mengingat erangan sakit persalinannya. Hari ini banyak ibu sudah tidak bersalin secara natural lagi, banyak yang pakai cara caesar. Namun tidak masalah persalinannya, itu “cuma” fase terakhirnya, tapi kalau Saudara pernah menemani seorang ibu yang mengandung, Saudara tentu tahu penderitaan besarnya adalah pada ordinary time-nya, pada masa 9 bulannya, bukan pada special moment persalinannya. Masa semibilan bulan itu jelas dampaknya besar sekali terhadap sukacita dan kasih yang muncul di hati sang ibu ketika bayinya akhirnya lahir. Bukankah demikian?
Kalau Saudara perhatikan narasi-narasi manusia, kadang-kadang ada film yang menceritakan cerita utopia, membayangkan masyarakat idaman, masyarakat yang ideal; dan juga ada cerita-cerita distopia, membayangkan masyarakat yang hancur lebur. Yang menarik, biasanya ada dua mode manusia menceritakan cerita distopia. Yang pertama, masyarakat hancur karena bumi kena malapetaka, misalnya dihajar asteroid, atau kena wabah penyakit, dsb. Mode yang kedua –ini menarik– cerita distopia yang terjadi di tengah-tengah masyarakat yang kelihatan seperti utopia, di mana tidak ada lagi yang menderita kekurangan, segala aspek hidup manusia sudah di-otomatisasi; dan ceritanya biasanya membongkar apa harga sesungguhnya yang harus dibayar manusia demi mendatangkan mimpi utopia tersebut, yang pada akhirnya malah mendatangkan kehancuran. Yang menarik, cerita-cerita yang menghadirkan dunia distopia yang seolah-olah seperti utopia ini, salah satu elemen yang berkali-kali saya lihat adalah cerita yang menggambarkan proses kelahiran manusia yang sudah diceraikan dari proses kehamilannya. Dunia dengan teknologi yang sudah berkembang begitu keren –utopia–sehingga kalau mau melahirkan tidak perlu lagi lewat semua penderitaan itu, proses kelahiran diceraikan dari proses kehamilan. Jadi pada masa seperti itu, manusia dikatakan ‘no longer born, we are grown’, manusia itu ditumbuhkan, seperti ditanam, seperti ada farm-nya, tidak perlu lagi tubuh manusia untuk itu, tidak perlu lagi penderitaan, tapi kemudian malah yang hilang bukan cuma penderitaannya, ada something else yang juga hilang.
Saudara, merayakan Natal tanpa menghadapi kegelapan yang datang sebelum Natal, itu seperti menceraikan kelahiran dari kehamilan. Sebelum kita menerima fajar, kita perlu menghadapi kegelapan malamnya. Dan inilah yang justru membawa kita bisa menerima Natal dalam segala keutuhannya, bukan versi gulali yang ditawarkan dunia. Jadi ingat Saudara, tidak ada pohon Natal sebelum waktunya. Ini penting. Jangan pikir saya sensi banget dengan hal yang remeh kayak beginian, bukan itu. Sekali lagi, ordinary time, hal-hal yang remeh itu, hal-hal yang sehari-hari itu, itulah yang berdampak. Saudara sering mengatakan “jangan cuma teori tok, khotbah harus ada aplikasi”, dan inilah aplikasinya; jangan cuma teologinya tok yang engkau mengangguk-angguk tapi liturginya tidak kau jalankan.
Sekali lagi, itu sebabnya Adven bukan membicarakan Natalnya sendiri; Adven membicarakan dan mengajak kita untuk menyadari kebutuhan kita akan Natal. Dan kalau Saudara pikir baik-baik, itu sebabnya tema-tema dalam Adven tidak pernah hal-hal yang berbau positif. Bicara kebutuhan, selalu akan bicara mengenai kekurangan –makanya butuh. Bicara kebutuhan, selalu akan bicara mengenai dosa –makanya butuh keselamatan. selalu akan bicara mengenai kegelapan –makanya butuh terang. Ringkot Ordinary Time ke-6 silakan Saudara baca lagi, kita membahas di situ bahwa Injil tidak cuma matahari, tapi juga salju. Injil yang sejati tidak cuma mengatakan “Allah telah turun bagimu”, tapi selalu juga mengatakan “Allah harus turun ke dunia gara-gara kamu”. Itulah yang membuat Injil jadi berita baik. Kalau Saudara bertemu orang di atas jembatan, ‘gak tahu siapa orang itu, tiba-tiba dia mengatakan, “Aku mengasihimu, aku mau mati bagimu”, lalu dia lompat dari jembatan dan mati tenggelam; apa yang Saudara rasakan? Apa Saudara merasa terharu?? Tidak ‘kan. Saudara akan merasa itu orang gila. Tapi kalau dia harus lompat dari jembatan gara-gara kamu, itu lain, herannya adalah ini gara-gara kamu tapi dia rela melakukannya. Di sini jadinya Saudara merasa apa? Saudara merasa campur aduk, Saudara merasa ditarik dari arah-arah yang berlainan, ada ketegangan. Itulah Adven.
J.S. Bach menulis sebuah resitatif dalam sebuah kantata yang tidak terlalu terkenal, tapi buat saya itu salah satu musik yang sangat spesial. Dia menulis dialog antara jiwa kita dengan Yesus; dan dia menceritakan ini adalah momen ketika Yesus mengatakan: “Aku pergi sekarang menuju Yerusalem untuk disalibkan.” Si jiwa, yang mewakili kita, kemudian Bach tulis berseru: “Jangan! Jangan pergi! Di Yerusalem hanya akan ada kematian, hanya akan ada kesengsaraan bagi-Mu, jangan pergi, Tuhanku… “. Namun suara jiwa ini terhenti sebentar, lalu mengatakan dengan lirih: “Tapi kalau Engkau tidak pergi ke sana, maka aku yang harus pergi ke sana; kalau Engkau tidak mati, aku yang harus mati.” Saudara rasakan ketegangan ini? Rasa ditarik dari berbagai arah, tidak ingin Yesus mati, tapi ingin Yesus mati. Itulah adven. Itulah kehidupan Gereja yang senantiasa penuh dengan ketegangan. Dan, kita perlu senantiasa diingatkan akan hal ini karena kita tidak sudi menanti, kita ingin kehidupan yang doa kita senantiasa terjawab, kita ingin Kerajaan Allah hadir dengan segera. Tentu saja sudah ada karunia yang Tuhan bawa masuk ke zaman ini dari masa yang akan datang itu, tentu saja Roh Kudus sudah dicurahkan, tapi pada saat yang sama Yesus belum datang dalam kemuliaan-Nya, kita masih menanti itu. Itu masih belum tiba; already but not yet. Dan, itu sebabnya Kalender Gereja dimulai dengan Adven; dan itu sebabnya Adven selalu dimulai dalam kegelapan.
Lilin Adven, sebagaimana Saudara lihat, menyalanya satu demi satu. Jangan Saudara cuma pikir aspek positifnya yang makin lama makin terang; Saudara perlu menyadari bahwa kalau lilin dinyalakan gradual, satu demi satu, makin lama makin terang, berarti Adven selalu dimulai dalam kegelapan. Inilah kehidupan Gereja. Kehidupan Gereja dihidupi dalam Adven, di antara kedatangan Kristus yang pertama dan yang kedua, di dalam ketegangan antara yang ‘what is’ dengan yang ‘what ought’, di dalam ketegangan antara realitas dunia sebagaimana adanya tapi juga pengharapan akan dunia sebagaimana seharusnya. Sebagai orang Kristen, kita tidak terjebak di hari ini tok, dengan segala kehancurannya dan tanpa harapan, tapi kita juga belum masuk ke dalam dunia yang akan datang itu di mana segala sesuatu dipulihkan. Kita berada di sini sekarang, ditarik dari dua arah pada saat yang bersamaan. Inilah masa Adven. Di sinilah Gereja –Saudara dan saya–menghidupi hari-hari kita.
Hari ini bersyukurlah bukan karena engkau diangkat dari realitas dan masuk ke dalam alam mimpi; hari ini bersykurlah karena engkau disadarkan akan realitas hidup gerejawi yang sejati. Ini pun pekerjaan Tuhan –pekerjaan Tuhan yang sangat kita butuhkan. Selamat Tahun Baru.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading