Ketika kita mempelajari tentang Abraham, salah satu yang paling unik dalam narasinya adalah bahwa panggilan Tuhan kepada Abraham mempunyai tempat yang sangat sentral. Dalam seluruh cerita mengenai Abraham (pasal 12-25), ada 12 kali Tuhan memanggil Abraham, dan setiap kali panggilan tersebut muncul, ada detail atau penekanan yang bertambah ataupun berbeda. Adakalanya panggilan itu untuk Abraham melihat apa yang Tuhan mau lakukan, adakalanya juga panggilan untuk Abraham yang harus melakukan sesuatu, misalnya keluar meninggalkan sanak saudaranya, pergi ke tanah yang Tuhan mau tunjukkan, dsb. Jadi, waktu kita mempelajari tentang Abraham, kita mau melihat seperti apa hidup yang dibentuk oleh panggilan Tuhan (the call of God); itu juga yang kita mau lihat melalui bagian ini.
Dalam bagian ini ada 2 karakter, Lot dan Abraham; di sini kita mau melihat problemnya Lot dan problemnya Abraham. Pertama kita melihat problemnya Lot. Dalam bagian ini dikatakan bahwa Abraham sedang bersama-sama dengan Lot. Mereka punya banyak harta, secara mayoritas hartanya berbentuk ternak. Semakin seseorang punya banyak ternak, dia perlu banyak gembala, perlu kemah-kemah, sumur dan sebagainya bagi para gembala; intinya perlu tanah yang lebih luas lagi. Di zaman itu peluang seseorang bertambah secara harta, sangat dibatasi oleh peluang atas tanah yang bisa dia miliki; harta dan tanah dekat sekali hubungannya. Mereka sampai di Kanaan, dan pada saat itu Kanaan belum jadi tempat yang berlimpah susu dan madunya, bahkan di pasal sebelumnya (pasal 12) baru saja terjadi kelaparan yang hebat di situ. Jadi Kanaan bukanlah tempat yang seluruhnya bagus, cuma ada beberapa daerah yang subur. Dan saat itu mereka sudah mentok, tidak bisa berkembang lagi hartanya kalau mereka tetap bersama-sama, mereka harus berpisah dan pindah ke tanah yang lebih luas, baru harta mereka bisa bertambah. Oleh sebab itu di bagian ini ada pilihan yang harus diambil –“kalau engkau ke kiri, aku ke kanan”.
Kemudian Abraham membawa Lot naik ke satu tempat di antara Betel dan Ai. Secara geografis itu adalah tempat yang cukup tinggi, dan persis setelahnya mulailah bagian yang menurun, sedikit curam, sehingga dari situ kita bisa melihat jauh ke depan, daerah-daerah yang kering dan gersang, tapi juga satu lembah Sungai Yordan yang sekelilingnya terlihat hijau, ada air, rumput-rumputan, dsb. Lot melayangkan pandangannya, dan tentu saja dia langsung melihat tempat yang paling bagus itu, satu-satunya tempat yang ada kemungkinan bisa berlipat ganda omzetnya.
Alkitab kemudian mengatakan bahwa Lot akhirnya pindah ke sana dan berkemah dekat Sodom –kita tahu belakangan dia betul-betul masuk ke kota Sodom. Di bagian ini kita seringkali berpikir inilah problemnya Lot, bahwa saking mengejar harta, Lot mulai main dekat-dekat api, dan akhirnya terbakar. Tapi itu bukan signifikansi utama teks ini. Perlu diketahui, batas Tanah Kanaan yang diberikan Tuhan adalah kota Sodom; maka waktu dikatakan Lot berkemah dekat Sodom, signifikansinya bukanlah soal Lot berkemah dekat kota yang jahat melainkan bahwa demi mengejar harta –yaitu lembah Sungai Yordan—Lot menempatkan dirinya di pinggir dari janji Tuhan. Janji Tuhan hanya sampai Tanah Kanaan, tapi ini tempat yang sudah di pinggirannya, dan belakangan dia betul-betul melangkah keluar dari situ. Jadi signifikansi problem Lot, fokusnya bukan dia “main api”, melainkan tentang Sodom sebagai batasannya, bahwa dia berkemah dekat Sodom, dekat untuk keluar dari janji Tuhan, dan akhirnya betul-betul dia keluar. Jadi, pada dasarnya yang kita lihat di bagian ini adalah bahwa Lot punya ambisi akan uang dan harta yang begitu tinggi, sampai-sampai uang, harta, dan kemakmuran itu lebih penting daripada memegang janji Tuhan –dan mungkin juga karena janji Tuhan sepertinya tidak masuk akal.
Apa sebenarnya janji Tuhan dan panggilan Tuhan kepada Abraham? Yaitu dia disuruh keluar; keluar dari tempat yang sudah nyaman, tampat yang jelas-jelas didiami banyak orang sehingga banyak fasilitas, dsb., lalu datang ke tempat yang gersang, yang tidak banyak didiami orang. Lalu setelah keluar dari tempat yang nyaman dan masuk ke tempat yang tidak nyaman ini, Tuhan bilang “tunggu Aku di sana, Aku akan memberkati kamu”. Ini janji yang tidak masuk akal. Kalau kita mau bersimpati sedikit terhadap Lot, dia sudah lumayan karena waktu mereka dipanggil dari Ur Kasdim ke Kanaan, ketika sampai Haran semua keluarga Abraham yang lain menetap di situ, sedangkan Lot satu-satunya yang masih ikut dengan Abraham sampai ke tempat yang tidak masuk akal ini. Tetapi di bagian ini, ketika diperhadapkan dengan kemakmuran dan harta, Lot memilih itu dibandingkan bertahan dalam batasan janji Tuhan. Di sini kita bisa refleksi sebentar, apakah salah kalau kita menginginkan perkembangan dalam hal finansial/ harta? Atau sebaliknya kita mungkin mengatakan ‘saya tidak seperti itu, saya tidak seperti Lot, jadi bagian ini tidak terlalu relevan buat saya’? Dua pertanyaan ini akan dijawab pakai jawaban yang sama. Di ayat 10 kita lihat bagaimana Alkitab menjawab pertanyaan-pertanyaan ini: Lalu Lot melayangkan pandangnya dan dilihatnyalah, bahwa seluruh Lembah Yordan banyak airnya, seperti taman TUHAN, seperti tanah Mesir, sampai ke Zoar.
Robert Alter, seorang ahli narasi Yahudi, mengatakan bahwa dikatakan di ayat ini ‘Lot melayangkan pandangannya lalu melihat’, maka deskripsi di ayat ini mengenai Lembah Yordan bukanlah deskripsinya narator Alkitab, bukan deskripsinya Tuhan, melainkan deskripsinya Lot. Inilah ayat kuncinya; bahwa Lot melihat Lembah Yordan itu seperti taman Tuhan, seperti taman Eden. Kalimat ini bukan cuma tambahan-tambahan atau semacam bunga-bunganya saja, tapi di sini mau disampaikan bahwa Lot melihat Lembah Yordan bukan hanya satu cara untuk tambah kaya, melainkan ada sesuatu yang lebih dalam dari itu –dia melihat taman Tuhan di balik itu semua. Kalau kita ingat taman Tuhan/ taman Eden dalam Alkitab, kita langsung mendapatkan gambaran keindahan tapi juga pencobaan; itulah tema taman Eden. Dari sini kita bisa merefleksikan satu hal, bahwa problem Lot sepertinya bukan bahwa dia mengejar harta, melainkan bahwa dia justru mengejar sesuatu yang lebih daripada sekedar harta. Problem Lot sepertinya bukan bahwa dia mengejar perkembangan finansial, bukan itu yang terutama, tapi dia mengejar perkembangan finansial untuk sesuatu yang lebih daripada itu. Dia mengejar perkembangan finansial sebagai sesuatu yang lebih daripada itu, dia melihat Lembah Yordan bukan hanya sebagai lembah Sungai Yordan tapi sebagai taman Tuhan. Ada satu lubang dalam hatinya yang dia rasa bisa diisi dengan itu.
Saya share sedikit tentang video game. Video game itu untuk have fun; lalu banyak orang Kristen berpikir itu salah, kita tidak boleh main game demi main game, kita tidak boleh have fun demi have fun, kalau mau main game harus ada tujuan di balik itu, misalnya untuk edukasi. Saya tidak setuju dengan pemikiran ini, karena bagi saya bersenang-senang dan menikmati hidup tidak masalah sama sekali, Kekristenan tidak melawan itu. Problem mengenai game bagi saya, justru karena banyak orang menggunakan game bukan hanya sekedar untuk bersenang-senang. Di berita-berita tentang orang yang kecanduan game, tentang orang-orang yang mati di warnet sedang main game, yang mengabaikan bayinya sampai mati karena si orangtua main game, dsb., problemnya bukan karena mereka menggunakan game untuk cari kesenangan, bukan karena mereka main game demi main game, tapi karena mereka main game untuk mencari sesuatu yang lebih dari sekedar main game itu, sesuatu yang lebih dalam bahkan mungkin bersifat spiritual. Itulah yang membuat semua hal lainnya sampai dilupakan. Waktu kita mengejar sesuatu, seringkali problemnya bukan di ‘sesuatu’ tersebut; kita mengejar hal itu untuk sesuatu yang lain. Masalahnya bukan di lembah Sungai Yordan-nya, melainkan ketika kita melayangkan pandangan ke lembah Sungai Yordan itu, kita melihatnya seperti taman Tuhan –sesuatu yang lebih dalam dari sekedar keindahan lembah Sungai Yordan.
Ada beberapa contoh lain yang hampir selalu muncul dalam kehidupan kita. Misalnya seorang wanita merasa ada cowok yang suka pada dia, sering kasih perhatian, dsb. Tapi lama-kelamaan itu membuat dia insecure, lalu dia mendahului si cowok, mengatakan: “Sebenarnya hubungan kita ini mau ke mana, kamu bisa kasih saya kepastian atau tidak?” Setelah itu, si cowok yang awalnya memang mau, malah jadi mundur. Si cewek, karena mengejar kepastian malah kehilangan kepastian. Pertanyaannya, mengapa penting sekali untuk seseorang mendapatkan kepastian itu, yang kadang-kadang malah membuat cintanya jadi buyar? Kita mengatakan diri kita mengejar cinta, tapi mungkin bukan sekedar cinta, ada sesuatu yang lebih dalam dari cinta yang sedang kita kejar. Kita melihat lembah Sungai Yordan, tapi bukan cuma itu yang kita lihat; kita melihat sesuatu yang lebih dalam, dan itulah yang sebenarnya kita kejar. Dalam hal wanita tadi, waktu seorang wanita mengatakan dirinya mengejar cinta, sebenarnya mereka mengejar satu pengakuan/ afirmasi bahwa dirinya dicintai; dan ini sesuatu yang lebih dalam daripada sekedar mengejar cinta. Begitu juga halnya dengan uang, karir, game, atau apapun yang lain.
Saya sempat nonton di TV satu film, “Journey to Mysterious Island”; ceritanya mereka sedang berpetualang di satu pulau misterius. Di situ ada karakter seorang cewek dan seorang cowok, keduanya masih muda dan lajang. Si cowok berulang-kali melakukan hal-hal yang konyol karena dia berusaha menunjukkan dirinya itu mampu, kuat, bisa melakukan ini dan itu, bertanggung-jawab, dsb. kepada si cewek. Inilah seringkali yang masalah bagi para cowok, yaitu mereka mengejar pengakuan bahwa dirinya sanggup untuk mencintai, kuat, mampu jadi orang yang bisa diandalkan, dsb. Lalu dalam film itu, ketika bapaknya si cewek hilang dan si cewek mau mencarinya, si cowok yang habis jatuh dan keseleo kakinya itu tetap bilang, “Tunggu, aku akan pergi dengan kamu”, padahal berjalan saja tidak bisa. Seperti itulah cowok, katanya mengejar cinta, tapi sebenarnya di balik itu dia mengejar sesuatu yang lebih dalam, bahwa ‘saya ini sanggup mencintai, saya ini sanggup caring sama cewek, saya ini bisa diandalkan, saya ini sanggup jadi superhero bagi dia, dsb.’; dan pada akhirnya malah membuat si cewek jadi sebel. Wanita dan pria bukan sekedar mengejar cinta, ada sesuatu yang lebih daripada itu –ini bukan sekedar Lembah Yordan tapi ada yang lebih daripada itu– yaitu pengejaran akan satu pengakuan/ afirmasi.
Waktu kita merefleksikan bagian tentang Lot ini dalam hidup kita, mungkin kita harus mengakui bahwa ketika kita mengatakan “yang paling penting dalam hidup saya adalah mencapai A atau B, sukses dalam hal X atau Y”, baik itu karir, keluarga ataupun yang lain, baik itu hal yang bermoral ataupun yang amoral, seringkali perkataan itu tidak benar, tidak jujur, ada sesuatu yang lebih dalam daripada itu. Kita seringkali bukan mengejar hal-hal itu melainkan mengejar sesuatu yang lebih dalam dari itu semua, sedangkan hal-hal tadi cuma jalannya saja. Ada satu lubang dalam hati manusia yang membuat manusia ingin kejar itu terus, yang seringkali bahkan kita tidak tahu itu apa. Kegalauan inilah yang Alkitab mau ungkapkan lewat bahasa “taman Eden”.
Taman Eden adalah suatu situasi, yang di sana kita tahu siapa diri kita, tahu bahwa diri kita bernilai karena kita berjalan bersama Tuhan, kita aman karena ‘ada yang mencintai saya, yaitu Tuhan’. Pengakuan itu sudah didapat di sana, sehingga taman Eden itu tempat kita merasa aman dan nyaman sekali. Dan ketika kita akhirnya melakukan dosa lalu diusir keluar dari taman Eden, kita kehilangan perasaan ini. Kita kehilangan perasaan kenyamanan dan keamanan, kita kehilangan jawaban atas pertanyaan ‘siapa saya’, dan kita berusaha untuk meraihnya kembali; dalam bahasa Alkitab: kita ingin kembali ke taman Eden. Maka dalam hidup ini kita mengatakan ‘kalau saya punya ini dan itu, kalau saya dicintai orang ini, kalau saya bisa mencintai orang itu, kalau saya bisa mencapai ini atau mencapai itu dalam karir saya, maka hidup saya yang dipenuhi peluh dan semak berduri ini akan kembali berubah jadi taman Eden.’
Jadi, waktu kita bertanya ‘bagian ini bicara apa tentang mengejar kekayaan’, satu hal yang bisa kita jawab adalah kita harus belajar apa yang Alkitab bicarakan di sini, yaitu untuk kita tahu ketika kita menghadapi keinginan hati akan harta atau hal-hal lain, kita menyadari bahwa keinginan akan hal-hal tersebut bukanlah masalah utamanya, yang masalah adalah keinginan di balik keinginan itu, hal di balik hal itu, tujuan di balik tujuan itu. Dengan demikian, meski kita mengatakan ‘saya tidak cari harta, saya tidak seperti Lot, ini bagian yang tidak relevan buat saya’, sebenarnya tetap relevan buat kita semua karena kita semua melakukan yang Lot lakukan, hanya saja bentuknya lain-lain, tidak harus Lembah Yordan.
Intinya, Lot bukan hanya menginginkan kekayaan; kekayaan bukanlah problem Lot, problem Lot adalah dia menaruh harapannya pada kekayaan. Lot menempatkan hatinya di kekayaan, sedemikian rupa sampai dia percaya bahwa mendapatkan kekayaan akan membuat dirinya lengkap, utuh, shalom –damai karena utuh, lengkap, lubang di dalam diri terpenuhi. Problemnya bukan pada kekayaan itu sendiri, melainkan bahwa Lot menaruh hatinya di sesuatu yang bukan Tuhan, dan menempatkan hal itu di tempatnya Tuhan. Itu sebabnya pesan Alkitab dalam bagian ini universal; kalaupun kita tidak kecanduan uang, bukan berarti bagian ini tidak untuk kita. Ironisnya, ketika dalam hidup kita mengejar hal-hal itu, justru hidup kita kehilangan semua itu, karena hamartia/ salah tempat/ meleset. Ketika Lot menaksir lembah Sungai Yordan seperti taman Eden, kita bisa merasakan mungkin narator sedang tertawa ‘Lot, lu gak tahu taman Eden itu kayak apa, kalau lu sudah pernah lihat taman Eden, lu ‘gak bakal pikir Lembah Yordan yang ecek-ecek kayak gitu sebagai taman Eden’. Ini seperti Saudara lihat orang yang mupeng lihat tas LV yang KW-4 atau KW-5, lalu Saudara bilang ke dia, “Itu bukan tas LV, kalau lu tahu tas LV, lu ‘gak bakal tertarik sama yang itu”.
Semakin kita mengejar hal-hal yang sebenarnya bukan taman Eden, tapi kita kira taman Eden, itu justru membuat kita makin jauh dari taman Eden. Semakin mengejar arti hidup, semakin hidup itu meaningless. Semakin mengejar kepastian cinta, seperti si cowok atau cewek dalam contoh tadi, semakin jauh dari cinta. Semakin mengejar fun dalam main game –yang sebenarnya bukan fun itu tapi lebih dalam dari itu– semakin mengejar permainan game, semakin dipermainkan oleh game. Itulah ironisnya. Mengapa bisa seperti itu? Karena kita menempatkan beban yang terlalu berat, yang tidak terbatas, di atas sesuatu yang terbatas. Saudara menaruh truk 3 ton di atas jembatan yang cuma 1 ton, sudah pasti jembatan itu rubuh.
Dan yang paling konyol, itu semua terjadi karena Lot –dan juga kita—ingin kembali ke taman Tuhan, tanpa Tuhannya. Lot menginginkan Lembah Yordan karena seperti taman Tuhan, dan justru ketika dia berjalan ke sana, dirinya sedang meninggalkan janji serta kehadiran Tuhan dalam hidupnya. Itulah yang terjadi di Kejadian 3. Itu juga yang terjadi pada Abraham di pasal 15, ketika dia mau anak, mau berkat Tuhan, tapi tanpa melibatkan Tuhan, tanpa menunggu janji Tuhan, pakai cara manusia, pakai Hagar dan seterusnya, sehingga pada akhirnya lebih jauh lagi dari janji Tuhan. Di Kejadian 3, kita –Adam dan Hawa– ingin seperti Tuhan. Ironisnya, sebenarnya waktu Tuhan menciptakan mereka Dia sudah mengatakan: “Marilah Kita menciptakan manusia menurut gambar dan rupa Kita”, manusia memang diciptakan seperti Tuhan, itu suatu kodrat yang sudah sejak awalnya. Dengan demikian waktu dikatakan bahwa mereka ingin jadi seperti Tuhan, dosanya bukanlah ‘ingin jadi seperti Tuhan’, melainkan kita ingin jadi seperti Tuhan tanpa melibatkan Tuhan, di luar karya Tuhan, tidak bergantung pada Tuhan, tamannya Allah tanpa kehadiran Allah. Itulah Lot, dan itulah kita. Di sini saya ajak Saudara merenungkan sebentar, betapa kita kagum terhadap Alkitab/ bahasa Alkitab, yang lewat satu kalimat sederhana –‘Lot melayangkan pandangnya dan dilihatnyalah, bahwa seluruh Lembah Yordan banyak airnya, seperti taman TUHAN’– bisa membawa kepada satu pengertian yang begitu dalam, pengertian yang begitu menusuk hati kita dan membongkar kehidupan kita.
Sekarang kita masuk ke problemnya Abraham. Abraham juga mengalami problem, tapi problemnya sangat berbeda; lalu solusinya adalah Abraham memberikan pilihan kepada Lot, “jika engkau ke kiri, maka aku ke kanan, jika engkau ke kanan, maka aku ke kiri”. Kita mungkin hari ini sudah biasa memberikan seorang anak pilihan; dari kecil kita juga tanya ke mereka, “kalau sudah besar mau jadi apa?”, agak jarang kita mengatakan, “kalau sudah besar, ikuti Papa, jadi ini, jadi itu.” Tapi pada zaman Abraham tidak seperti itu; senioritas dan umur berarti segalanya pada waktu itu. Ini bukan hanya tradisi, tapi juga tradisi yang sangat dijunjung tinggi. Hari ini pun dalam diskusi dengan sesama orang Kristen masih bisa muncul kalimat “tapi kita ini orang Timur!”, seakan-akan identitas sebagai orang Timur lebih di atas daripada identitas sebagai umat Allah. Abraham ini hidup dalam satu kultur yang lebih kental lagi ke-timur-annya dibandingkan kita, maka waktu dia memberikan pilihan kepada Lot, itu satu hal yang mengagumkan. Mengapa Abraham bisa seperti itu?
Kita akan menelusuri lebih dalam ke cara berpikir Abraham. Dalam bagian ini pada dasarnya ada 3 hal yang Abraham miliki dan dia sadar dirinya tidak bisa mempertahankan semua. Dia harus pilih salah satu untuk dikorbankan dari 3 hal ini: relasinya dengan Tuhan, relasinya dengan Lot, relasinya dengan hartanya. Opsi yang pertama, Abraham keluar dari Kanaan bersama Lot; berarti dia menjaga relasi dengan uangnya dan relasi dengan Lot, tapi mengorbankan relasinya dengan Tuhan. Keluar dari Kanaan bersama-sama dengan Lot, berarti dia tidak berpisah dari Lot dan mereka berdua akan dapat tempat lebih luas untuk bisa mengembangkan usaha masing-masing, melipat-gandakan uang mereka, tapi mengorbankan relasinya dengan Tuhan karena Tuhan suruh dia tinggal di Kanaan.
Opsi yang kedua, Abraham bilang kepada Lot, “Saya ini yang tua, saya penentunya, jadi kamu yang ikut saya, dan jangan lupa itu sesuatu yang logis!” Dalam hukum primogenitor (hukum senioritas) zaman itu, anak sulung diberikan mayoritas dari harta bapanya. Alasannya bukan pilih kasih, melainkan karena satu-satunya cara untuk bertahan hidup di zaman itu –yang tidak ada asuransi atau jejaring keselamatan sosial– adalah kalau tetap melekat pada keluarga. Dan kalau sebuah keluarga mau bertahan untuk tetap menyatu, berarti seorang ayah tidak bisa membagi-bagikan harta kepada anak-anaknya secara sama rata, melainkan harus pilih satu orang menjadi penerus, dan dialah yang akan mewarisi mayoritas harta sehingga anak-anak yang lain mau tidak mau harus bergantung pada si kakak sulung ini, dengan demikian terjadilah kesatuan. Kalau kita punya harta 100M lalu dibagikan ke 10 anak masing-masing 10M, nantinya musuh yang punya 50M bisa mematikan kita, sedangkan kalau kita bersama-sama bergantung pada 100M, musuh yang 50M itu tidak bisa melakukan apa-apa. Itu logis, dan Abraham bisa mengatakan seperti itu kepada Lot, bahwa Lot harus ikut dia demi alasan-alasan untuk bertahan hidup. Jadi dalam pilihan yang kedua ini relasi dengan Tuhan terjaga –karena tidak keluar dari Kanaan—dan relasi dengan harta pun terjaga, tapi relasi dengan Lot yang hancur.
Opsi yang ketiga, yaitu yang Abraham lakukan di pasal ini. Abraham menyuruh Lot memilih lebih dulu, “jika engkau ke kiri, maka aku ke kanan, jika engkau ke kanan, maka aku ke kiri”. Abraham bukan orang bodoh, jadi tentunya dia juga sudah tahu Lot bakal pilih yang mana, tapi mengapa Abraham melakukan ini? Karena Abraham memilih untuk mempertahankan relasinya dengan Tuhan –tidak keluar dari Kanaan—dan juga relasinya dengan Lot yang meskipun nanti berpisah tapi relasi mereka terjaga; yang Abraham korbankan adalah relasi dengan hartanya. Inilah pilihan yang Abraham ambil, mirip dengan the Golden Rule “kasihilah Allahmu, kasihilah sesamamu”. Ada Allah, ada Lot, ada uang; dan bagi Abraham Allah adalah yang pertama, keluarga yang kedua, lalu uang yang terakhir. Ini pilihan yang sangat bijaksana karena di bagian ini disebutkan secara sepintas bahwa di situ tinggal suku Kanaan dan suku Feris, yang adalah suku-suku musuh, sehingga sangat penting bagi Abraham untuk tidak bakar jembatan antara dirinya dengan Lot. Mereka ini pendatang di negeri yang baru, kalau sampai terjadi apa-apa, mereka hanya bisa mengandalkan satu dengan yang lain. Ini terbukti di pasal 14, Abraham pergi perang untuk menyelamatkan Lot. Jadi ini memang pilihan yang sangat bijaksana, namun Lot tidak berpikir sejauh itu.
Bukan saja bijaksana, pilihan Abraham ini adalah pilihan yang kreatif karena dia berpikir secara out of the box. Dia punya solusi yang dilakukan dengan cara memutar-balik tradisi budaya, dengan memberikan kesempatan orang yang lebih muda untuk memilih. Abraham bebas dari kungkungan budaya, yang seringkali dalam hidup membuat kita enggan atau tidak mampu mengikuti kebenaran karena kita kurang kreatif mencari cara untuk keluar dari kungkungan tersebut. Dan yang pasti dalam keputusannya ini, kita tahu bahwa Abraham tidak punya problem seperti yang Lot maupun kita alami; Abraham tidak ada perasaan insecurity itu, dia tidak ada kegalauan yang membuat dirinya harus mencari sesuatu yang lebih dari sekedar hal tersebut demi mengisi bolong dalam hidupnya. Bagi Abraham, uang adalah uang, tidak lebih daripada itu.
Pertanyaannya: mengapa Abraham bisa mendapatkan bijaksana seperti itu, bagaimana caranya bisa punya ketenangan yang luar biasa itu, bagaimana bisa begitu kreatif berpikir di luar kungkungan budaya seperti itu? Jawabannya adalah: karena Abraham dipanggil oleh Tuhan. Itu kuncinya. Saudara sebenarnya tidak perlu terlalu kaget dengan apa yang Abraham lakukan, kalau Saudara benar-benar mengerti artinya dipanggil oleh Tuhan. Semua yang Abraham lakukan hanyalah konsekuensi logis dari seseorang yang dipanggil Tuhan.
Apa itu panggilan Tuhan? Apakah panggilan Tuhan berarti ‘dulu saya hidup seperti ini, sekarang saya hidupnya lain’, ‘dulu saya pakai kitab hukum yang seperti ini, sekarang saya ganti kitab hukum yang lain’? Bukan. Tentu saja itu semua termasuk dalam pengertian seseorang yang dipanggil Tuhan, bahwa dia sekarang punya arah hidup yang berbeda, punya cara hidup yang berbeda, tapi itu bukan esensinya; dipanggil oleh Tuhan bukan berarti mendapat seperangkat peraturan baru dalam hidup kita. Dalam Ibrani 11: 8-10 kita melihat deskripsi penulis Ibrani mengenai Abraham: ‘Karena iman Abraham taat , ketika ia dipanggil untuk berangkat ke negeri yang akan diterimanya menjadi milik pusakanya, lalu ia berangkat … .Sebab ia menanti-nantikan kota yang mempunyai dasar, yang direncanakan dan dibangun oleh Allah’ –sebab Abraham menanti-nantikan kota yang pondasinya, perencana dan pembangunnya adalah Allah. Panggilan Tuhan adalah panggilan untuk kita itu punya pondasi yang lain.
Panggilan Tuhan adalah untuk ganti pondasi, untuk mengganti apapun itu yang kita rasa tidak sanggup kalau harus kehilangan hal tersebut. Panggilan Tuhan adalah untuk kita mengganti hal yang kita lihat sebagai taman Eden itu pondasi dalam melihat segala sesuatu. Panggilan Tuhan adalah untuk kita berhenti mencari rasa aman dan identitas diri di dalam hal-hal yang tadi itu, dan menjadikan kasih Tuhan, pengakuan Tuhan, misi Tuhan, Kerajaan Tuhan, sebagai harta kita, sebagai misi kita, sebagai kisah hidup kita, sebagai meaning of life kita. Kalau Saudara melihat inilah arti panggilan Tuhan, yaitu untuk ganti pondasi, maka tidak heran Abraham bisa mendobrak semua kungkungan budaya tadi. Dia tidak terusik urusan hartanya bahwa prospek akan berkurang, dia tidak terjebak melakukan pilihan-pilihan yang tidak bijaksana demi kesuksesan jangka pendek, yaitu karena dia dibebaskan untuk punya pondasi yang lain. Jadi logis Abraham melakukan semua yang dia lakukan itu, karena inilah konsekuensinya dipanggil Tuhan.
Tapi tidak segampang itu ganti pondasi. Bagaimana Abraham bisa sampai seperti itu, dapat kita lihat dari bagian sebelumnya. Kita coba lihat bagian awal Kejadian 13 ini, ayat 1-4, yang mungkin terlewatkan begitu saja karena kita pikir tidak penting. Mengapa di bagian ini harus dicatat bahwa Abraham dari Mesir pergi ke Tanah Negeb, lalu ke antara Betel dan Ai tempat mezbah yang dibuatnya dulu? Ini bukan satu catatan yang remeh. Ini adalah satu catatan yang para komentator katakan sebagai ‘journey of repentance’. Di pasal sebalumnya, pasal 12, Abraham baru saja hengkang ke Mesir, keluar dari janji Allah. Dan kalau Saudara perhatikan baik-baik, di pasal 13 ini waktu Abraham kembali, dia pergi ke tempat mula-mula kemahnya berdiri; dia sedang menelusuri kembali jejaknya yang dulu. Ini perjalanan yang bisa kita katakan ‘berbalik arah’. Mengapa Abraham di pasal ini ke Tanah Negeb? Karena di pasal sebelumnya, Tanah Negeb adalah titik tempat dia ambil keputusan untuk pergi ke Mesir. Jadi Abraham menelusuri kembali semua itu; ini bahasa simbolis suatu perjalanan metanoia, perjalanan pertobatan (metanoia artinya membalik arah/ haluan).
Kita tahu, ada satu dosa besar yang Abraham lakukan di pasal sebelumnya. Di pasal 12 Abraham dipanggil dengan janji yang luar biasa itu, dipanggil untuk keluar dari keluarganya, pergi ke tempat yang dia tidak tahu, untuk bukan hanya dapat berkat tapi jadi saluran berkat. Itu ayat-ayat yang sangat penting dari pasal tersebut, dan Abraham melakukannya, dia pahlawan iman; tapi itu cuma di ayat 1 sampai 9. Keseluruhan pasal 12 ada 20 ayat, maka separuh cerita dari pasal ini juga mencatat kegagalan Abraham. Dimulai dari ayat ke-10, keindahan janji Allah semuanya sirna karena ternyata negeri yang dijanjikan itu tertimpa kelaparan, dan Abraham langsung kabur ke Mesir. Perlu diingat, pembaca pertama kitab ini adalah orang Israel pada zaman Musa, dan mereka mengerti motif ‘pergi ke Mesir’ mempunyai satu arti tertentu karena mereka sendiri waktu itu merengek mau kembali ke Mesir; dan Abraham melakukan itu.
Di bagian yang tadi, Lot melayangkan pandangannya dan melihat Lembah Yordan itu seperti taman Tuhan, seperti tanah Mesir; dan Abraham baru saja di pasal sebelumnya melakukan yang Lot lakukan, bahkan lebih parah. Lot di pasal 13 hanya menjalani hal yang Abraham sudah jalani lebih dulu di pasal 12, yaitu Abraham tidak percaya janji Tuhan, atau lebih tepatnya tidak percaya janji Tuhan itu lebih besar daripada problem yang dia hadapi. Abraham mendasari solusinya dengan usaha, dia pikir barangkali Tuhan butuh bantuan, karena bagaimana mungkin saya bisa jadi bangsa yang besar kalau mati kelaparan, bagaimana mungkin saya bisa jadi saluran berkat bagi bangsa lain kalau bertahan hidup saja saya tidak bisa, lalu dia membuat keputusan-keputusan yang logis –taman Tuhan tanpa Tuhan. Dia mengatakan kepada Sara, “Kita mengaku saudara saja, kalau tidak nanti dibunuh; sedangkan kalau saya calon kakak iparnya Firaun, siapa berani sentuh saya. Ini bukan masalah cinta atau tidak cinta, tapi ini lagi kelaparan, ini masalah survival!”. Selanjutnya, persis seperti Lot dan kita, pilihan Abraham yang mengejar taman Eden ini, justru makin menjauhkan dia. Abraham, bapa orang beriman itu, kalimat yang dia katakan kepada istrinya bukanlah ‘Sara, aku akan berlaku seperti ini supaya engkau tidak dibunuh’, melainkan ‘Sara, berlakulah seperti ini supaya aku tidak dibunuh!’. Suami macam apa seperti ini; dan bukan cuma suami, bapa orang beriman bisa seperti ini. Akhirnya Abraham bukan jadi saluran berkat tapi jadi kutuk. Waktu Tuhan mengangkat Abraham dari lubang yang dia gali sendiri, dikatakan bahwa Tuhan melakukannya dengan cara menimpakan tulah yang hebat kepada Firaun. Itukah berkat bagi bangsa lain?? Sama sekali tidak.
Setelah Tuhan menolong Abraham dari masalah yang dia bikin sendiri, yang dilakukan Abraham adalah berbalik arah, suatu journey of repentance. Abraham menapaki kembali jalan yang dia tinggalkan, ke Tanah Negeb, ke Betel, ke mezbah yang dulu dia dirikan, di situlah dia memanggil nama Tuhan. Apa turning point-nya Abraham yang menjadikan dia bisa begitu bijaksana, begitu kreatif melampui zamannya? Bukan bahwa Abraham menderita lalu dalam penderitaan itu Tuhan menguatkan, lalu dengan kekuatan itu dia bisa keluar dari penderitaannya, lalu dia bisa mengangkat orang-orang lain yang dalam penderitaan. Itu mimpi orang Kristen, mimpi jadi superhero. Cerita Abraham tidak ada keren-kerennya sama sekali. Abraham gali lubang sendiri, Abraham jatuh sendiri, dan tidak sanggup untuk keluar sendiri; itulah ceritanya. Dan Tuhan akhirnya menyelamatkan dia lewat anugerah. Itu cerita yang tidak ada kerennya sama sekali, tapi inilah titik baliknya yang mengubah Abraham jadi orang yang begitu tenang, begitu bijaksana, begitu kreatif, begitu secure.
Kalau tidak ada kegagalan di pasal 12, kita tidak bisa melihat ini di pasal 13. Dan inilah pola cerita yang Saudara lihat terus-menerus dalam kehidupan Abraham. Dalam setiap pasal yang Saudara lihat Abraham melakukan tindakan iman begitu hebat dan luar biasa, coba Saudara lihat pasal sebelumnya, yaitu kegagalan, kegagalan, dan kegagalan. Saya pernah melihat satu grafik yang dibikin seorang profesor mengenai ceritanya Abraham; grafiknya itu turun, naik, turun, naik, turun, naik, turun, naik, begitu seterusnya. Ini berarti, panggilan Tuhan bukanlah panggilan untuk kita lalu jadi orang yang lebih baik, the better person, the better husband, the better wife, dsb.; panggilan Tuhan adalah panggilan untuk kita menyadari kebobrokan diri, lalu beristirahat dalam anugerah Tuhan. Tes untuk seseorang benar-benar dipanggil Tuhan atau tidak, bukanlah soal apakah kita sanggup menghadapi penderitaan, melainkan apakah kita sanggup menghadapi kegagalan, apa yang jadi respon ketika kita dibongkar kegagalannya dan kelemahannya, seperti Abraham.
Contoh sederhana, waktu saya mengajak untuk ikut choir, berapa banyak yang respon pertamanya ‘saya tidak bisa menyanyi, saya gagal, tidak mungkin saya bisa’. Itulah fenomenanya, ketika kita menyadari ketidak-mampuan, ketidak-layakan, kehancuran diri, kita lalu tidak mau ikut pelayanan, tidak mau maju. Itu bukan respon Abraham. Respon Abraham adalah menerima kegagalan itu, dia berjalan balik, dia mengandalkan Tuhan, beristirahat pada Tuhan. Tapi kalau kita terus mengatakan ‘saya tidak mau karena saya tidak mampu, saya tidak layak, saya hancur’, berarti pondasinya adalah Saudara melayani bukan karena anugerah, Saudara melayani bukan karena dipanggil, Saudara melayani karena merasa bisa, mampu, oke; dan tipe seperti ini adalah tipe yang pelayanannya paling hancur.
Anugerah punya 2 sisi dan kita tidak boleh melupakan salah satunya. Sisi yang pertama, anugerah siap menerima kita apa adanya, anugerah datang kepada Saudara apa adanya. Anugerah itu tidak mengandalkan kita. Maka, misalnya Saudara mendapat anugerah untuk ikut choir –salah satu contoh, dan ada banyak yang lain—berarti Saudara dipanggil untuk ikut bukan karena Saudara mampu, tapi karena anugerah itu siap menerima Saudara apa adanya. Itu berarti kalau Saudara datang kepada Tuhan karena Saudara bisa, karena Saudara ada bakat ini dan itu, maka Saudara tidak beroperasi atas dasar anugerah. Sisi yang kedua, anugerah tidak pernah meninggalkan Saudara apa adanya. Anugerah tidak pernah rela membiarkan Saudara bertahan apa adanya. Analogi singkatnya begini: ada sepasang cowok dan cewek dikejar monster, lalu si cewek tersandung, jatuh, kakinya luka. Dia bilang kepada si cowok, ”Pergi saja, tinggalin gua”, tapi si cowok mengatakan “Tidak, apapun yang terjadi ayo maju, gua tidak peduli kakimu sakit, kita harus jalan sekarang”. Si cowok siap menemui wanita ini apa adanya, tapi kemudian cowok itu mengangkat, memapah si cewek, memaksa dia untuk berdiri, bergerak, berjalan, lari. Demikian juga anugerah; anugerah tidak akan rela dan tidak akan pernah mau meninggalkan kita di tempat kita apa adanya. Kita melihat ini dalam cerita Alkitab.
Anugerah datang kepada Abraham, bukan karena Abraham hebat. Abraham itu mati secara jasmani –mandul, tidak punya anak– dan mati secara rohani –dia menyembah berhala sebelum Tuhan datang kepadanya. Dalam cerita Daud dan Saul, anugerah Allah datang bukan karena Daud lebih hebat daripada Saul, anugerah Allah datang meskipun Daud sama hancurnya dengan Saul, bahkan kadang lebih parah. Tapi apakah Abraham, Daud, dan yang lain-lain dibiarkan Tuhan bertahan dalam level yang itu-itu saja? Dalam fenomena kita melayani, ada kecenderungan dua hal ini: yang pertama, ‘saya jangan jadi ini, jangan jadi itu’ karena ‘saya tidak mampu’, dan itu berarti tidak berdasarkan anugerah. Kecenderungan yang kedua, ‘okelah saya ikut, tapi jangan tuntut saya’, itu berarti Saudara kehilangan sisi yang kedua dari anugerah yang tidak pernah rela meninggalkan Saudara apa adanya. Saudara diterima dengan segala keterbatasan Saudara, tapi Tuhan juga tidak mau membiarkan Saudara bertahan dalam keterbatasan itu. Itulah anugerah. Dalam cerita Alkitab, dua-duanya selalu ada. Bagaimana kita meresponi hidup ini, ketika kita berhadapan dengan ketidak-layakan diri, kehancuran, kegagalan? Respon Saudara itu yang membuktikan di atas pondasi apa hidup Saudara selama ini berada.
Terakhir, kita tidak bisa melakukan ini atas usaha kita juga. Ganti pondasi? Sip! Oke! –itu tidak bisa. Saudara harus melihat kepada yang ditunjuk oleh Abraham. Di bagian terakhir, setelah Lot berpisah dari Abraham, berfirmanlah Tuhan kepada Abraham: "Pandanglah sekelilingmu dan lihatlah … sebab seluruh negeri yang kaulihat itu akan Kuberikan kepadamu dan kepada keturunanmu untuk selama-lamanya. Dan Aku akan menjadikan keturunanmu seperti debu tanah banyaknya,… ” (ayat 14-17). Dan beberapa abad kemudian, ada Seorang yang lain dibawa ke tempat yang tinggi dan ada yang berkata juga “semua ini akan kuberikan kepada-Mu”. Tapi bedanya, Abraham akan diberikan sesuatu yang bukan haknya, sedangkan Kristus dijanjikan sesuatu yang sudah hak-Nya. Pencobaannya bukan ‘akan dapat atau tidak’ melainkan ‘lewat cara apa’; Iblis mengatakan “aku berikan semua ini kalau Engkau menyembah aku” –tidak usah lewat salib, tidak usah lewat penderitaan, kau akan mendapatkan taman Tuhan tanpa harus ikut Tuhan. Tetapi Kristus menolak karena Dia memang datang untuk ditolak, untuk menderita, untuk kehiangan segalanya, termasuk Bapa-Nya.
Abraham menolak mempertahankan hartanya demi menjaga relasinya dengan Lot. Kristus menolak untuk menerima apa yang memang milik-Nya demi mendapatkan relasi dengan kita. Kalau Saudara mau berfokus pada Tuhan, kalau Saudara mau mempunyai pondasi yang lain itu, maka Saudara harus melihat kepada Tuhan, bukan melihat pada diri Saudara sendiri. Ketika Saudara ikut choir, nyanyian yang paling bagus adalah ketika Saudara tidak ingat mengenai diri Saudara yang di panggung, Saudara ter-overwhelmed oleh keindahan karunia ini, keindahan musik dan kata-katanya, sehingga tidak ada ruang tersisa dalam pikiran untuk diri. Inilah keindahan ketika Saudara menyadari, diri Saudara paling indah justru waktu Saudara melihat dan terfokus kepada Yang Paling Indah itu. Hal ini hanya bisa terjadi kalau Saudara pelayanan –tidak harus berupa choir, tapi itu salah satunya– Saudara bukan hanya belajar mendengar anugerah Tuhan, tapi menghidupi anugerah Tuhan dalam hidup Saudara.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading