Bagian yang sudah kita baca merupakan bagian yang sangat penting dan sangat terkenal, kita melihat di situ dicatat di dalam semua injil, tidak ada satu injilpun yang melewatkan bagain ini, baik Matius, Markus maupun Yohanes. Nah Lukas tentu saja memiliki versinya sendiri sebagaimana biasa sering kita membaca, waktu kita melihat di dalam bagian ini ada keunikan-keunikan yang ditonjolkan oleh Lukas yang tidak ada pada injil yang lain. Sebelum masuk ke sana, kita akan memikirkan topik tentang penyangkalan yang menciptakan satu kontras dengan kehidupan mengikut Kristus yaitu pengakuan. Jadi pengakuan atau penyangkalan, either seseorang mengaku bahwa Yesus itu adalah Tuhan, Juruselamat di dalam kehidupannya, mengaku dia adalah seorang percaya atau dia menyangkalinya. Kenyataannya, waktu kita merenungkan bagian ini gambaran bukan hitam putih begitu, bukan sesederhana either or, meskipun kita tahu sih ceritanya ya memang Petrus menyangkal dan bukan mengaku, tetapi sebetulnya waktu kita membaca, di situ ada certain ambiguitas, satu gambaran yang antara ya dan tidak kalau kita membaca bagian ini, karena sebetulnya Petrus punya pilihan untuk tidak pergi ke sana kan ya? Maksudnya duduk disekitar situ, dia bisa berada ditempat lain, dia bisa melarikan diri kemana saja kalau dia betul-betul takut, tetapi ada semacam keberanian juga yang membawa Petrus itu tetap ada disekitar dimana Yesus diadili, meskipun betul juga disitu waktu kita membaca kan tetap tidak ada kejauhan, dicatat seperti itu khususnya di dalam ayat 54, Petrus mengikut tetapi dari jauh.
Gambaran ini ambivalen, nah ini menggambarkan kehidupan saudara dan saya yang juga ada di dalam saat-saat kehidupan kita antara ya dan tidak, dibilang tidak percaya, ya percaya juga, kalau dibilang sepenuhnya menyangkal, mungkin tidak juga, karena kita juga masih datang ke gereja, tetapi dibilang sepenuhnya mengikut, ya tidak juga, karena somehow mengikutnya dari jauh, begitu kan ya? Ini menggambarkan keadaan saudara dan saya, keadaan kita, pengikutan yang ambivalen, mengikut dari jauh, nah gambaran-gambaran seperti ini menolong kita untuk melihat kelemahan di dalam diri kita sendiri dan kalaupun Petrus juga tidak kebal dengan kegagalan di dalam mengakui Yesus, kita sendiri pun juga bisa gagal mengakui Yesus di dalam keseharian kita.
Pengakuan itu satu hal yang seringkali dianggap manusia seperti wajar, kalau kita sudah percaya ya memang harus mengaku, tetapi kita tahu di dalam kehidupan ini kita ada saat-saat dimana kita bisa takut seperti Petrus, kita merasa berada di dalam satu keadaan bahaya kalau kita terlalu banyak bicara tentang kekristenan kita, tentang siapa yang kita percaya, kita katanya bijaksana, bijaksana yang keliru atau mencoba untuk lincah, menyembunyikan identitas kita supaya kita bisa lebih mudah masuk ke kanan, ke kiri dsb., orang tidak terlalu kenal kita ini siapa, dunia menyediakan sistem yang seperti itu. Sistem yang kita tidak perlu mengakui identitas kita, tidak perlu mengatakan dengan jelas kita ini siapa, lebih aman juga kali ya, kalau kita hidup tidak sempurna, orang lain tidak perlu tersandung juga kan ya, saya juga tidak akan mempermalukan Tuhan, karena saya tidak pernah mengaku Tuhan saya siapa, siapa yang malu kan jadi saya sendiri? Wah sepertinya banyak sekali keuntungan kalau kita tidak menyatakan identitas kita apa adanya di dalam kehidupan ini dan selalu ada pencobaan itu, ini bukan hal yang baru.
Hari ini kita akan membaca dan merenungkan bagian ini di dalam konteks seperti ini, bukan di dalam pengertian penyangkalan yang sangat mengerikan, seperti di sini di dalam arti ya saya tidak pernah melakukan seperti Petrus ini, apalagi di dalam injil-injil yang lain mengatakan sampai yang ketiga, Petrus malah mengutuki, dia bersumpah bahwa dia tidak pernah kenal orang itu, kalau saya mana pernah bersumpah sampai mengutuki bahwa saya tidak kenal Yesus, saya tidak pernah seperti itu. Tetapi menarik di dalam versi Lukas, gambarannya seperti “diperlunak” dibandingkan dengan injil yang lainnya, di situ tidak ada catatan dia bersumpah ketiga kalinya, lalu sampai mengutuki bahwa sesungguhnya aku tidak mengenal orang itu, itu catatan injil yang lain, tetapi bukan catatan Lukas. Jadi gambaran Lukas ini kejatuhannya seperti “lebih simple” dan justru gambaran yang seperti ini memiliki kekuatannya sendiri, karena bisa lebih berbicara juga di dalam kehidupan kita, mungkin kita tidak pernah mengutuki Tuhan juga sampai mengatakan saya tidak kenal Yesus, tidak pernah, tetapi di dalam pengertian kita tidak betul-betul jujur mengatakan atau mengakui identitas kita, itu pada dasarnya adalah persoalan penyangkalan. Sekali lagi, waktu di dalam kehidupan ini kita takut, kita merasa terpojok, kita merasa di dalam bahaya waktu kita mengakui identitas kita, sebetulnya kita sudah berada di dalam persoalan penyangkalan, sama dengan Petrus.
Waktu kita membaca di dalam cerita ini secara manusia ya cukup understandable mengapa dia menyangkal, alasan sih selalu ada, begitu kan ya? Seperti di dalam kehidupan kita, alasan untuk tidak menyatakan dengan jelas identitas kita dihadapan banyak orang, kalau kita mau pikir-pikir juga selalu ada, tadi kita menyebutnya dengan istilah bijaksana dst., alasan itu selalu ada di dalam kehidupan kita untuk tidak mengatakan kita ini siapa. Di dalam catatan ini sampai tiga kali, memang betul waktu Yesus mengajar orang banyak, tentu saja sering melihat orang-orang yang ada disekelilingnya dan setiap kali melihat Yesus, selalu yang disebelahnya adalah Petrus, lama-lama orang jadi tahu bahwa dia pengikut Yesus yang setia. Seperti dituliskan di dalam ayat 56, tetapi Petrus menyangkal karena afiliasi dengan Yesus akan membawa keadaan Petrus sangat bahaya juga, maka di sini dia play save. Demikian juga di dalam kehidupan kita, seringkali yang membuat kita takut untuk mengakui identitas kita, itu karena kita mau play save, kita mau lebih aman supaya tidak mengalami bahaya-bahaya yang tidak perlu. Petrus mempunyai ketakutan seperti ini, padahal dalam cerita sebelumnya dicatat bagaimana confidence-nya Petrus, meskipun mereka semua akan meninggalkan Engkau, aku akan tetap mengikut Engkau bahkan sampai mati, memang ada betulnya juga kalimat itu, tidak sepenuhnya salah. Karena sekali lagi, di sini Petrus kan mengikut juga?
Sekali lagi, sebetulnya memang tetap ada pilihan untuk dia tidak usah datang ketempat itu sama sekali, tetapi tidak kan? Gambarannya bukan seperti itu, gambarannya ambivalen, antara mengikut dan tidak mengikut, dari jauh tetapi mengikut juga dan dia menyangkal. Memang mengikut sih mengikut, tetapi ada batasnya mengikut, ada batasnya, tidak boleh sampai jor-joran, ada batasnya, ada bijaksananya, kalau orang mendesak terus, kita harus tahu kapan kita stop, gambaran seperti ini menarik. Saya tidak mau membaca perikop ini dalam pengertian gagal atau lulus, mengakui tidak mengakui, karena kalau hanya sekedar mengakui dan tidak mengakui. Saya melompat ke ayat terakhir, ini kan penggambaran secara literally, sangat menarik waktu digambarkan di situ bagaimana Petrus tidak mengakui, menyangkal Yesus, lalu dalam ayat 70 Yesus mengatakan, kamu sendiri mengatakan Akulah Anak Allah, orang itu mengakui bahwa Yesus adalah Anak Allah, tetapi sebetulnya itu pengakuan yang tidak menerima. Jadi pengakuan itu apa? Sekedar mengatakan di dalam kalimat, kan pasti tidak? Karena kalau mau mengatakan seperti ini, Petrus gagal total, yang lebih berani mengaku Yesus Anak Allah adalah orang-orang yang mau menyalibkan Yesus, picture seperti ini kan kacau, ya kan? Ya memang bukan itu, tetapi kita melihat di sini bukan hanya sekedar cerita kegagalan, yang betul-betul gagal, sama sekali gelap, hitam, lalu setelah itu kita mulai ramai-ramai menyalahkan Petrus dst.
Tetapi sebetulnya gambarannya adalah antara ya dan tidak, mengikut Yesus ya, di sini tidak ada catatan yang terlalu jelas, 10 murid Yesus yang lain dimana? Tidak terlalu jelas dicatat, ada kemungkinan mereka tidak ada di sini, jadi bagaimanapun waktu Petrus mengikut, meskipun dari jauh, tetap ada certain konsistensi yang dia katakan kepada Yesus, kalau mereka semua meninggalkan Engkau, aku akan tetap mengiring Engkau sampai mati, memang sampai matinya tidak kejadian pada saat itu, tetapi dia betul-betul mengikut sampai kepada tempat dimana mengalami trial tersebut. Tetapi sekali lagi, ada batasnya, jangan didesak terus, saya sudah bagus mengikut sampai sini, saya korban sampai sini itu sudah bagus, coba lihat murid yang lain, tidak ada yang mengikut seperti saya. Saya sudah korban banyak sekali, jadi jangan desak-desak terus, mau apa tanya saya apakah saya kenal Dia dsb.? Jangan tanya kalimat itu, ini hubungan saya dengan Tuhan sudah cukup vertikal saja, kamu tidak perlu tahu saya itu siapa dsb. Kata kunci dalam bagian yang kita baca adalah pengenalan Petrus yang tidak jujur akan Yesus itu sebetulnya siapa, terutama Yesus itu siapa bagi Petrus, itu yang disoroti di dalam bagian ini. Dan ini konsisten dengan penggambaran Lukas di dalam perikop berikutnya yang sudah kita baca, kalau kita bandingkan dengan injil yang lain tekanannya di situ lebih kepada Yesus itu siapa, siapakah Yesus itu? Jadi inti Kristologi, kalau kita membaca injil yang lain, itu ada isu misalnya, orang ini katanya mau merubuhkan bait Allah, ada isu bait Allah, di dalam Lukas sama sekali tidak ada isu bait Allah dan juga tidak ada isu misalnya, secara eksplisit bahwa Yesus itu menghujat, tidak terlalu muncul di dalam bagian ini, tetapi seluruh pembicaraan itu trial berkonsentarasi kepada sebetulnya Yesus ini siapa? Di sini dicatat bahwa Dia Mesias, Anak Allah, itu yang menjadi tekanan dari trial Yesus, ini pararel dengan penyangkalan Petrus karena Petrus menyangkal Yesus itu siapa, padahal sebetulnya dia bukan tidak tahu. Dia mengenal Yesus siapa, tapi karena tekanan terlalu banyak dari orang yang ada disekitarnya, maka dia berpura-pura tidak mengenal Yesus.
Tuduhan yang kedua, engkau juga seorang dari mereka, Petrus berkata, bukan, aku tidak, lalu ada satu jam lagi, jadi diberikan satu waktu, bukan langsung bertubi-tubi tiga orang serentak bertanya, tetapi Lukas mencatat ada selang satu jam di dalam. Dalam satu jam, certain sebetulnya ada kesempatan kalau Petrus mau introspeksi dan mengkoreksi dsb., tetapi tidak, dia tetap berada di dalam ketakutan itu. Tapi tuduhan yang ketiga, sungguh orang ini juga bersama-sama dengan Dia, sebab ia juga orang Galilea, tetapi Petrus tetap mengatakan, bukan, aku tidak tahu apa yang engkau katakan. Sebetulnya Petrus tahu apa yang dikatakan orang itu, bukan tidak tahu, tapi dia pura-pura untuk tidak tahu, menyembunyikan identitasnya, sekaligus juga menyembunyikan identitas diri Yesus yang seharusnya bisa disaksikan oleh Petrus, intinya pengakuan kan itu? Waktu kita mengaku, waktu kita menyaksikan siapa Yesus Kristus, kan itu kita memberitakan identitas Yesus kepada orang lain? Tetapi yang terjadi di sini adalah penyembunyian identitas diri dan akhirnya juga bersamaan dengan itu, ini yang sentral, menyembunyikan identitas Yesus. Seseorang yang tidak mengaku, yang tidak menyaksikan Kristus, itu menyembunyikan identitas Yesus itu sebetulnya siapa? Dan ironinya adalah justru agama-agama yang mengatakan Yesus itu siapa, seharusnya Petrus yang mengatakan, Yesus itu adalah Anak Allah, Mesias, persis seperti yang pernah dia katakan di dalam dorongan Roh Kudus. Tetapi di sini dia menyembunyikan identitas Yesus, yang ada adalah orang-orang yang tidak layak ini malahan justru mengatakan Yesus adalah Anak Allah, memang tentunya di dalam ketidakpercayaan, memang mereka sinis waktu mengatakan kalimat ini, bukan sincere, tulus dari dalam hati, tetapi mengatakan dengan ejekan, sembari mereka tidak percaya, itu sendiri sudah diantisipasi oleh Yesus.
Di dalam cerita penyangkalan Petrus ini ada satu kalimat yang sangat khusus dicatat oleh Lukas, satu adegan yang sangat touching dan moving yaitu ayat 61 “lalu berpalinglah Tuhan memandang Petrus”, ada pandangan, kita percaya ini pandangan pengampunan, bukan pandangan judgment, sangat berbeda dengan yang terjadi di dalam kehidupan kita ya? Kalau kita pernah kasih tahu seseorang bahwa dia akan jatuh di sana, lalu dia betul-betul jatuh, apa yang akan kita katakan kepada dia? I told you already, I told you before, saya sudah kasih tahu kan? Dengan mata yang agak melotot begitu. Unthinkable Yesus waktu melihat itu, I told you before, lalu setelah itu Petrus pergi ke luar dengan sedihnya, very unlikely, bukan itu, tapi pandangan yang sudah siap mengampuni Petrus, pandangan yang mengampuni Petrus. Alangkah indahnya bagian ini, Yesus sendiri sudah memprediksi kalau Petrus akan jatuh, Yesus mengatakan, Aku sudah berdoa agar setan menampi engkau, tapi Aku berdoa bagimu, Yesus sendiri berdoa bagi Petrus, apa maksudnya? Petrus di dalam over confidence, dia bahkan tidak sanggup untuk berdoa bagi dirinya sendiri, orang yang over confidence tidak bisa bergantung lagi kepada Tuhan dan karena itu tidak bisa mendoakan dirinya sendiri, karena itu perlu doa syafaat, kenapa kita berdoa syafaat? Karena ada orang-orang yang sulit untuk berdoa bagi diri sendiri, sehingga perlu orang lain mendoakan dia, itu namanya doa syafaat. Doa syafaat berdoa bagi orang-orang yang entah kenapa tidak bisa berdoa, mungkin terlalu over confidence, terlalu kecewa atau terlalu sedih dsb., sehingga kita perlu mendoakan mereka dan Yesus mendoakan Petrus. Petrus bahkan tidak berdoa untuk dirinya sendiri, dia yakin sekali bahwa dia akan menang di dalam pencobaan waktu semua meninggalkan Yesus, kenyataannya tidak.
Berbahagia kalau kita bisa mendapatkan pandangan ini, tapi bukan hanya mendapatkan pandangan ini, bisa juga seperti Yesus yang melontarkan pandangan ini, kalau kita hanya sekedar mendapatkan pandangan ini, siapa yang tidak mau, begitu kan ya? Pandangan pengampunan, tetapi kita sendiri bagaimana? Kita cenderung kecewa, kalau kita pernah menasehati seseorang dan kita tahu bahwa itu betul-betul salah, tetapi orang yang dinasehati tetap ndableg begitu ya, tetap tidak mau dengar, tetap jalan terus, tidak peduli, lalu setelah itu akhirnya gagal, bagaimana kita menghadapi kegagalan orang itu? Kita cenderung sangat discourage lalu kita tidak mau tahu lagi, ah percuma saja, ini namanya buang mutiara kepada babi, tetapi Yesus tidak seperti itu. Yesus merestorasi Petrus, kita tahu cerita itu, Yesus selalu ada harapan, orang-orang yang gagal seperti ini, Yesus bukan membuang ala oportunistik culture, sudahlah Petrus sampai di sini saja, kamu ternyata bukan murid yang paling baik, saya bisa ganti kamu dengan siapa saja, kamu tahu tidak, kamu itu fully disposable. Kemudian Yesus menggantikan Petrus, ya itu mungkin gambaran saudara dan saya, yang tahunya hanya maju cepat-cepat, lalu kita tidak mau ketinggalan, karena mengejar apa juga tidak jelas, kita hanya mau disertai oleh orang-orang yang cepat saja, begitu kan ya?
Tetapi Yesus menanti Petrus, Yesus memandang Petrus, penerimaan pengampunan, pandangan yang penuh penerimaan, itu mengerjakan pertobatan yang sejati di dalam kehidupan Petrus. Penerimaan, padahal yang menolak kan Petrus, Petrus yang menyingkirkan Yesus, sebetulnya is just right kalau Yesus menyingkirkan orang yang menyingkirkan Dia kan? Tetapi Yesus tidak melakukan itu, bukan kalimat itu yang kita baca di dalam alkitab, yang kita baca adalah Yesus memandang Petrus dan Petrus kemudian menangis dengan sedihnya. Menarik, di dalam penggarapan literally itu banyak paradoks, Petrus pergi ke luar, sebetulnya dia bukan pergi ke luar, dia pergi ke dalam hati Yesus, pergi ke luar secara geografi iya, tadi mengikut meskipun dari jauh, tetapi sekaligus juga dari jauh karena takut secara hati, dari jauh tidak pernah betul menempel. Waktu di sini dikatakan Petrus pergi ke luar dan menangis dengan sedihnya, justru point ini dia kembali kepada Yesus, dia masuk ke dalam hati Kristus yang siap menerima. Petrus ke luar, kenapa ke luar? Dalam catatan injil waktu pertama kali perjumpaan Petrus dan Yesus, lalu bagaimana di situ Yesus memberkati Petrus di dalam usahanya menangkap ikan, sampai kemudian Petrus terusungkur dan dia merasa tidak layak, dia mengatakan, Tuhan pergilah dari padaku sebab aku ini orang berdosa. Satu pengenalan yang sangat tepat, pergilah dari padaku, sepertinya tidak nyambung kan ya? Kita kan maunya persekutuan meja, tetapi Petrus mengatakan pergilah dari padaku, aku ini orang berdosa.
Mirip dalam bagian ini, dia pergi ke luar dan menangis dengan sedihnya, kenapa? Karena Petrus sadar, dia orang yang berdosa, bukan seperti yang dia katakan, meskipun mereka semua meninggalkan Engkau, aku akan tetap menyertai Engkau, sampai sedekat mungkin, sampai mati dsb., bukan itu, yang ada adalah di sini Petrus pergi ke luar, mendapati dirinya itu tidak layak dihadapan Tuhan yang maha kudus. Pertobatan yang sejati melalui kuasa penerimaan, kadang-kadang kita tercobai, tempted untuk berpikir bahwa jusru tusukan-tusukan yang lebih keras akan membawa orang untuk bertobat, justru kalimat-kalimat yang lebih menusuk akan membawa orang kepada pertobatan yang lebih tuntas, kita tidak boleh terlalu lunak, kita harus selalu keras dengan orang lain supaya orang itu betul-betul bertobat. Saya kuatir dengan model pendekatan yang satu sisi ini akhirnya menciptakan orang-orang yang tuli, kenapa? Karena terus-menerus diteriaki, orang yang terus-menerus diteriaki, kalau orang biasa bicara tidak teriak akhirnya tidak didengar, karena orang pikir dia bisanya selalu teriak dan waktu dia teriak itu maksudnya itu normal, begitu loh ya, jadi over stimulasi, tidak ada pembicaraan yang tenang, teriak-teriak itu namanya normal.
Kembali ada bagian ini, Yesus melakukan apa sih? Yesus hanya memandang Petrus, di sini tidak dicatat ada kalimat yang ke luar, hanya pandangan saja cukup, itu betapa subtle-nya, mata yang memandang sampai ke dalam hati yang menggerakkan Petrus untuk bertobat. Satu pandangan saja, pandangan yang penuh dengan kuasa pengampunan membuat Petrus menangis dengan sedihnya, masuk ke dalam pertobatan yang sejati. Indah kalau kita melihat di dalam kehidupan seperti ini, pertobatan dan pengampunan itu kan satu paket, tapi seringkali kita maunya order-nya bertobat dulu, baru pengampunan saya, memang tidak sepenuhnya salah, tetapi itu kan Tuhan, bertobat lalu pengampunan, memang secara logis, urutan ordo of salvation, pertobatan lalu pengampunan, itu betul, tapi terutama itu kan manusia dihadapan Tuhan, kita sendiri juga kan perlu pengampunan Tuhan dan sudah diampuni, sebetulnya kita bisa menawarkan pengampunan terlebih dahulu, di sini Yesus mendahului pertobatan Petrus dengan pengampunan-Nya, seperti terbalik kalau bicara dari sisi sistematik teologi, ya inilah kekayaan alkitab, tidak bisa disempitkan hanya dengan urusan pembahasan sistematik seperti yang kita baca dalam buku-buku teologi.
Sebetulnya yang mana lebih dahulu, pertobatan atau pengampunan? Semestinya bertobat dulu baru diampuni, dalam perspektif teologi reformed orang bisa bertobat karena ada gerakan dari Roh Kudus dan gerakan dari Roh Kudus itu sendiri sudah termasuk dalam rangka untuk mengampuni itu tadi dan kita membaca dalam bagain ini, pengampunan Tuhan mendahului pertobatan Petrus, tetapi seringkali kita berpikir sebaliknya, kita memutlakkan order itu tadi, yang sebetulnya harusnya dihadapan Tuhan, tapi kita terapkan untuk kita sendiri, dia harus bertobat dulu baru saya menerirma, dia harus menyatakan perbaikan dulu, pertobatan yang jelas, baru nanti saya akan pikir-pikir apakah saya masih mau menerima dia? Yesus tidak seperti itu, Yesus menyalurkan pandangan pengampunannya terlebih dahulu, setelah itu disusul dengan pertobatan Petrus, di dalam gambaran ini, ini yang paling powerful.
Perikop selanjutnya menceritakan kontras dengan perikop ini, meskipun betul juga di sini gambaran Petrus betul-betul gagal, menyangkal Yesus, gagal untuk mengakui Yesus, tetapi di dalam bagian ini meskipun kita mendapati orang-orang yang sepertinya mengakui Yesus adalah Anak Allah, tetapi sebetulnya mereka adalah orang-orang yang tidak percaya. Dalam ayat 67-68 Yesus mengatakan, “Sekalipun Aku mengatakannya kepada kamu, namun kamu tidak akan percaya dan sekalipun Aku bertanya sesuatu kepada kamu, namun kamu tidak akan menjawab”, coba kita perhatikan, kalaupun Yesus mau menyatakan diriNya itu siapa, mereka juga tidak akan percaya dan kalau Yesus mau membawa mereka kepada pengenalan diri mereka, bertanya sesuatu kepada kamu, membawa supaya mereka ini bisa mengenal diri dan akhirnya mengenal Yesus, kamu juga tidak akan menjawab, jadi di sini tidak ada point berkomunikasi yang berguna. Kalau kita melihat pasal 23, Yesus dihadapan Herodes, betul-betul tidak ada komunikasi, memang dalam ayat 70 masih ada komunikasi, kamu sendiri yang mengatakan, Aku Anak Allah, begitu kan ya? Ada percakapan, tetapi percakapan seperti dalam dua level yang berbeda, yang mereka sendiri tidak bisa mengenal siapa diri Yesus dan juga tidak tertarik, dan Yesus juga tidak terlalu tertarik untuk mengatakan kepada mereka siapa Dia sebenarnya? Makanya ayat 70 dikatakan, kamu sendiri mengatakan bahwa Aku Anak Allah, ini maksudnya mau mengatakan bahwa Yesus tidak memperkenalkan diriNya sebagai Anak Allah kepada mereka, mereka sendiri yang tebak-tebak, kalaupun tebakan mereka betul, tetapi tetap bukan dengan sikap hati yang percaya, jadi tidak ada point.
Kebahayaan di dalam orang-orang yang mengenal cerita tentang Yesus, tahu bahwa Yesus itu somehow dipercaya sebagai Mesias, Tuhan, Juruselamat dsb., tetapi di dalam hati sebetulnya tetap tidak percaya, seperti orang-orang ini bisa mengatakan Yesus adalah Anak Allah, tetapi tidak terlibat. Memang betul Petrus gagal, Petrus jatuh di dalam dosa, tetapi diakhiri dengan satu cerita pertobatan, dia pergi ke luar dan menangis dengan sedih. Kalau kita membaca cerita ini, orang yang bersama-sama terus dengan Yesus di dalam, Petrus ke luar, ini orang di dalam terus bersama dengan Yesus, tetapi yang sama sekali di luar Kerajaan Allah, tidak pernah berbagian di dalam Kerajaan Allah, padahal mereka ada di dalam bersama dengan Yesus, sementara Petrus pergi ke luar, pergi ke luar dengan pertobatan yang sejati, tetapi orang yang di dalam tidak ada pertobatannya. Menakutkan kalau membaca ironi-ironi seperti ini, ada kemungkinan orang terhilang di dalam, seperti anak sulung itu, dia pikir dia sedang melayani Tuhan, tetapi sebetulnya dia sendiri terhilang di dalam, dia sendiri perlu pertobatan meskipun dia di dalam. Salah satu point perjamuan kudus adalah kembali memperteguh pengenalan kita akan siapa Yesus dan bukan hanya siapa Yesus saja secara obyektif dari jauh, yang ada distance, pengetahuan yang obyektif itu adalah pengetahuan yang berjarak. Dunia modern mirip seperti Petrus, mengikut dari jauh, bukan, tetapi ini satu persekutuan yang real, dipikiran para reformator, kita percaya khususnya Luther dan Calvin, akan kehadiran yang real waktu kita berbagian di dalam perjamuan kudus, ada persekutuan, ada kedekatan, bukan dari jauh, bukan melihat dari zona netral, lalu kita menimbang-nimbang, Yesus itu sebetunya siapa, tidak. Tetapi orang yang bersekutu dengan Yesus, yang bisa mengenal siapa Yesus yang sesungguhnya, kiranya Tuhan memberkati kita. Amin.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (AS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Jemaat Kelapa Gading
