Perikop yang sudah kita baca, ayat 28 dst ini tidak bisa dimengerti tanpa perumpamaan tentang uang mina, kenapa? Salah satu alasannya adalah seperti biasa Lukas memakai motif perjalanan, perjalanan kemana? Ya ke Yerusalem karena itu adalah tujuan terakhir dari Yesus Kristus selama Dia berada di dalam dunia. Tetapi setelah kita baca ayat 29 tanpa dimulai pembacaan perumpamaan tentang uang mina maka orang akan mudah salah mengerti tentang eskatologis, inilah saatnya, apalagi Yesus sudah betul-betul ada di situ, di bukit Zaitun. Tetapi sudah dikoreksi dalam perumpamaan sebelumnya bahwa yang lebih penting itu bukan Yesus sedang ada dimana dan kapannya, bukan, tapi kepada kesetiaan para murid, kesetiaan orang-orang percaya di dalam mengelola apa yang Tuhan percayakan di dalam kehidupan mereka. Itu pengharapan eskatologis yang keliru, bisa membawa orang kepada satu sikap hidup yang sangat tidak realistis, baik dulu maupun di dalam zaman kita sekarang dan itu juga bukan fenomena baru, dari dulu juga sudah ada persoalan seperti itu, misalnya Paulus pernah melayani satu jemaat yang karena punya kesadaran eskatologis yang sangat kuat, Yesus mau datang, Yesus mau datang, akhirnya mereka mengaplikasikan di dalam satu gaya hidup. Mereka tidak bekerja lagi, sampai Paulus mengeluarkan satu kalimat, yang tidak kerja tidak usah makan, urusan Kerajaan Allah itu perlu makan, makanya di dalam doa Bapa kamu dikatakan, berikanlah kepada kami makanan kami yang secukupnya, itu urusan Kerajaan Allah. Kita tida bisa megatakan orang yang sudah menantikan Kerajaan Allah tidak perlu makan dan kerja, maka Paulus mengoreksi persoalan seperti itu di dalam jemaat yang sedang dia layani, resepsi seperti itu indeed betul-betul hadir, bukan sesuatu yang dikuatirkan secara paranoid oleh penulis PB, tetapi betul-betul terjadi dan bukan hanya terjadi pada saat itu, sampai saat ini pun terjadi seperti itu.
Lukas mengarahkan pembacanya kepada satu sikap penantian eskatologis yang benar, bahkan itu akan dinilai oleh Tuhan sendiri bagaimana kita mempertanggungjawabkan apa yang Tuhan percayakan selama kita masih berada di dalam dunia ini. Bukit Zaitun yang menjadi satu motif eskatologis, ini sudah didahului dengan satu peringatan supaya kita setia dengan apa yang Tuhan percayakan di dalam keseharian kita, itu penantian eskatologis yang benar, bukan dengan satu sikap mimpi, mimpi, mengharapkan Yesus datang, lalu kemudian tidak terlibat apa-apa dan tidak mengerjakan apa-apa, itu bukan ajaran kekristenan, lagi pula kita juga dipanggil menjadi garam dan terang di dalam dunia yang sekarang ini.
Judul yang diberikan dalam bacaan kita adalah Yesus dieluk-elukkan, kita boleh membayangkan ini perjalanan Yesus masuk ke Yerusalem, prosesi Rajawi, masuk ke Yerusalem sebagai Raja. Kalau raja masuk satu kota biasanya dibuatkan satu boulevard, seperti di kota-kota Eropa, selalu ada boulevard-nya untuk royal procession, misalnya waktu raja baru selesai perang dan menang, maka dia akan lewat boulevard yang paling penting itu, penting sekali jalan seperti itu. Biasanya dibagian akhir atau awal boulevard itu diberikan semacam victory gate, semacam pintu gerbang kemenangan, lalu gerbang kemenangan itu tradisi di atasnya diberikan yang namanya quadriga yaitu gambaran dewi kemenangan yang menunggang biasanya empat binatang, bisa kuda atau singa, itu adalah gambaran yang menyatakan kemenangan dari seorang raja yang kemudian dirayakan. Tapi Yesus naik keledai, tidak masuk sama sekali gambaran seperti ini dan ini bukan hanya tradisi di Eropa, ini tradisi yang sudah cukup lama, itu gambaran the lord of the animals, itu demikian dihayati bukan hanya di Israel, tetapi juga di negara tetangga yang percaya kepada dewa-dewa mereka, mereka punya kepercayaan, allah yang menguasai binatang, ditaklukkan dibawahnya. Gambaran Tuhan yang menaklukkan binatang-binatang, tapi harus binatang buas dong, kalau keledai begitu, gimana? Harusnya Yesus masuk ke Yerusalem menunggangi binatang yang sangat buas, itu baru menakutkan, semua orang akan tunduk, tetapi Dia naik keledai.
Consistently di dalam teologia salib, ini belum di salib, belum di salib pun tetap berada di dalam hiddenness, di dalam spirit theology of the cross menurut Martin Luhter, itu justru gambaran kemuliaan yang tidak dipahami oleh dunia. Kalau kita bandingkan dengan tradisi quadriga tadi, kuda, singa dsb., itu gambaran dunia, tetapi Yesus, bukan empat, hanya satu dan keledai. Gambaran seperti ini tidak promising, tetapi berbahagia kalau kita bisa melihat kemuliaan di dalam gambaran yang tidak bisa dilihat dunia. Selalu ada benturan antara kemuliaan yang disajikan oleh dunia dengan kemuliaan yang disajikan dari sorga melalui Yesus Kristus ini, naik keledai di dalam kesederhanaan, tetapi sebenarnya indeed itu true royal procession, ini tidak kalah mulia dengan Napolen waktu masuk ke kota, bahkan kemuliaan Napoleon yang jauh dari kemuliaan Yesus. Ini satu gambaran yang tersembunyi bagi mata banyak orang, sehingga waktu kita melihat di sini ada certain kelompok orang yang bisa melihat kemuliaan itu, ya meskipun kita harus menambahkan, sepertinya pengertian mereka belum komplit. Kita pasti pernah mendengar tafsiran bahwa orang-orang yang teriak Hosana, Hosana setelah itu hanya berbeda beberapa hari, mereka teriak salibkan Dia, salibkan Dia, sebetulnya perspektif itu tidak betul-betul guaranteed dalam perspektif Lukas. Lukas tidak pernah menulis seperti itu, bahwa ini adalah kelompok orang yang sama yang teriak Hosana, Hosana lalu mereka teriak salibkan Dia, salibkan Dia, tidak ada dukungannya di dalam versi Lukas.
Tetapi mungkin kita boleh asume memang ini adalah kelompok orang-orang percaya yang betul nanti memang harus akan diuji, tetapi ini bukan kita sebut sebagai kepercayaan yang palsu. The crowd, orang banyak di sini kita boleh asumsikan bahwa mereka adalah orang-orang percaya yang diberkati dan mempunyai certain keyakinan bahwa Yesus-lah yang memang dijanjikan, tetapi betul juga, mereka adalah orang-orang yang tidak mengerti sepenuhnya Yesus itu habis ini mau apa? Sulit untuk mencerna bahwa Mesias itu harus menderita, harus mati, itu bukan di dalam pikiran mereka, itu bukan sesuatu yang mereka bayangkan. Tapi sebetulnya sudah cukup bahagia waktu mereka bisa melihat Yesus yang sebagai Raja tetapi naik keledai dan mereka tetap bisa memberkati Dia dengan mengatakan bahwa ini yang datang adalah orang yang diberkati, datang sebagai Raja, kata mereka, ayat 38, ini bukan suara Bapa di sorga, lalu langit terbelah dan mengatakan kalimat dalam ayat 38, bukan, ini perkataan mereka. Lukas mencatat kata mereka, ayat 38 ini kalimat yang betul, tetapi bahkan kalimat itu pun kedalamannya mereka tidak mengeri sepenuhnya apa arti kalimat itu.
Yesus naik keledai, hanya orang-orang tertentu yang bisa melihat kemuliaan seperti ini, coba kita bayangkan kalau seorang pembesar jalan naik keledai, itu tidak lucu kan ya? Kuda dan keledai itu sudah kontras, sebenarnya keledai itu binatang yang tidak layak untuk royal procession, tetapi dipakai oleh Yesus dan berbahagia orang yang bisa melihat tetap tidak terganggu dengan gambaran keledai, karena pada dasarnya bukan keledainya, tetapi Yesus yang ada di atasnya. Dan Yesus tidak mau dibuat kendaraan yang tinggi atau binatang yang tinggi, karena Dia sudah cukup tinggi, Dia datang dari sorga, mau tinggi kemana lagi? Justru demonstrasinya adalah Dia Raja diatas segala raja bisa merendahkan diri, ini adalah Raja yang datang dari sorga justru bisa turun ke tempat yang paling rendah, bukan demonstrasi bagaimana mencapai posisi tinggi. Kita sudah bahas tentang Zakeus, banyak orang seperti Zakeus memiliki spirit orang cebol, selalu ingin tinggi, selalu mau naik-naik ke atas, ingin panjat pohon seperti anak kecil, kok orang dewasa panjat-panjat pohon, itu kan tidak lucu. Karena dia sudah dewasa, dia bisa melihat perspektif dari atas, untuk anak kecil sesuatu yang lucu panjat pohon karena dia bisa dapat horison yang lain, itu pergumulan Zakeus, tetapi itu bukan pergumulannya Yesus, karena Yesus sudah pernah punya perspektif itu, dari sorga Dia bisa lihat ke bawah, untuk apa pengalaman itu lagi? Justru demonstrasinya adalah bagaimana saya melihat orang dari bawah ke atas dan kita semua sebagai orang-orang kristen juga dipanggil untuk mengikuti jalan Raja yang sama, bukan melihat dari perspektif atas ke bawah.
Tetapi bagaimana mengendarai keledai juga, maksudnya metaforik, mengendarai keledai di dalam pengertian mencoba untuk melihat kesulitan orang-orang yang di bawah dan itu hanya mungkin dari perspektif bawah, bukan dari perspektif atas, karena itu juga Yesus berinkarnasi turun dan menjadi manusia. Di dalam pribadi Yesus selalu ada paradoks seperti ini, satu sisi kelemahlembutanNya, kerendahan hatiNya, ketersembunyianNya, tetapi sisi yang lain, Dia juga exercise authority, misalnya waktu Dia katakan, Dia mau memakai keledai muda, ini kan hal yang sama waktu Dia berbicara kepada Zakeus, Zakeus, Saya mau makan di rumahmu, begitu kan ya? Kalau pendeta bicara seperti ini, jemaatnya mulai curiga, kita harus hati-hati terhadap pendeta ini, awalnya minta makan, kemudian pinjam uang, lalu datang lagi minta maaf karena tidak bisa mengembalikan uangnya, dst., jadi pendeta hampir tidak mungkin bisa bicara seperti itu, tetapi Yesus bisa bicara seperti itu. Saya mau makan di rumahmu dan tidak ada orang yang curiga, Zakeus menerimaNya, di sini juga, Saya mau pakai keledai itu, lepaskan talinya karena Tuhan memerlukannya. Siapa berani seperti ini, kita bisa membayangkan kalau di dalam posisi murid bisa ada argumentasi, nanti kalau ditolak bagaimana? Kalau seandainya tidak boleh bagaimana? Harus ada rencana B, harus ada uang juga, kalau ditolak kita beli saja keledai, begitu kan ya? Tetapi pembicaraan seperti itu tidak ada sama sekali, so secure bahwa Yesus akan mendapatkannya, dari sisi Yesus pasti Dia akan mendapatkannya, tetapi berbahagia orang yang bisa dipakai seperti ini.
Sangat mungkin 100% ini adalah seorang murid, kenapa kita bisa mengatakan dia juga adalah seorang murid? Highly unlikely kalau Yesus memakai keledai dari orang yang tidak percaya kepada Dia, sebetulnya Yesus tidak perlu siapa-siapa kok, kan seluruh dunia ini milikNya, meskipun Dia berhak? Tetapi Dia memberikan kesempatan kepada orang yang memberikan hatinya kepadaNya. Kita tidak bisa membayangkan Yesus memakai keledai orang asing yang tidak tahu menahu tentang Dia, yang tidak mengenal Dia lalu langsung bicara seperti ini, kemudian ketika siapapun murid yang bicara lalu bicara dengan divine authority sedemikian rupa, sampai semua orang gemetar, akhirnya melepaskan keledainya juga, setelah melepas keledai, dia menyesal, kenapa saya lepaskan? Seperti banyak orang di dalam zaman ini, memberikan persembahan ke gereja karena terbawa emosi, memberikan persembahan, persembahan lalu setelah memberi menyesal, tidak bisa ditarik lagi karena sudah menjadi milik Tuhan, dsb., ooh bukan cerita seperti itu. Tetapi yang ada adalah kemungkinan besar ini adalah seorang murid yang diberikan kesempatan oleh Yesus Kristus untuk berbagian di dalam jalan kemuliaan ini, prosesi Rajawi.
Orang yang diutus oleh Tuhan tidak perlu minder, tidak perlu terlalu banyak memikirkan perspektifnya manusia, nanti kalau ditolak bagaimana? Kalau dia tersinggung bagaimana? Kalau dia sakit hati bagaimana? Kalau dia pindah gereja bagaimana? Begitu kan ya, itu belum ada clear conscience, orang terlalu banyak mempertimbangkan manusia, akhirnya kita bukan memikirkan dari perspektif dignitas ilahi, tetapi dari pertimbangan pemikiran manusia. Dalam kumpulan khotbah-khotbah di Jerman, saya mencoba cari Lukas yang sudah kita baca ini, lalu menemukan salah satu khotbah di dalam bahasa Jerman yang sepertiga dari khotbanya menjelaskan bahwa dalam bagian ini bukan dimaksudkan meskipun akhirnya kota Yerusalem menolak Yesus lalu setelah itu akhirnya mendapat hukuman. Kita tahu tahun 70 Yerusalem diporak-porandakan, susah payah menjelaskan bahwa ini bukan berarti antisemit, ini bukan anti Yahudi, memakai sepertiga khotbah untuk menjelaskan bagian itu, setelah membaca commentary itu saya langsung turn off. Ini apa ya, kenapa sibuk memikirkan ketersinggungannya orang Yahudi waktu membahas bagian ini? Mungkin certain ada trauma juga kali ya, dulu kan Hitler pernah menganiaya? Setiap kali berbicara tentang Yahudi, yang menyalibkan Yesus dsb., yang dibahas di situ adalah ini bukan berarti orang Yahudi yang salah, ini waktu mengatakan ini kita anti semit, begitu kan ya? Benci terhadap Yahudi, hanya putar-purar di situ saja. Bagaimana bisa mengkhotbahkan firman Tuhan kalau terjebak di dalam trauma seperti ini? Yang menjadi poinnya adalah kita tidak bisa bersaksi dengan leluasa kalau kita terlalu considering manusia, whether itu perasaannya, mukanya atau well being-nya, dst., tidak bisa bersaksi dengan leluasa. Kadang-kadang orang harus membicarakan kebenaran itu dan waktu didengar ya memang tidak enak, sangat menyakitkan, tetapi ya harus terjadi seperti itu di dalam kehidupan manusia.
Murid-murid memiliki clear conscience waktu mereka diutus oleh Yesus, mereka tahu bahwa yang mengutus itu adalah Yesus dan mereka bicara dengan wibawa yang disertakan oleh Yesus kepada mereka, dan betul, sewaktu kita membaca ternyata murid yang satu itu punya keledai, tidak menolak dan membiarkan keledainya dipakai oleh Tuhan Yesus. Kita juga bisa memperhatikan di sini bahwa itu adalah keledai yang belum pernah ditunggangi, apa maksudnya? Ini satu persembahan yang terbaik, yang baru, yang diberikan kepada Tuhan. Ada orang-orang kristen, waktu mereka mau mendukung pekerjaan Tuhan, mereka memberikan yang bekas, mereka memberikan yang mereka sendiri tidak mau pakai di rumah. Barang-barang yang menurut mereka sudah tidak layak lagi untuk dipakai di rumah, lalu mereka kasih ke gereja, siapa tahu gereja mau pakai, tidak sesuai dengan prinsip ini kan ya? Tidak sesuai dengan gambaran ini, karena ini adalah keledai yang baru, yang belum pernah ditunggangi, supaya Tuhan adalah yang pertama yang menggunakan keledai itu. Dan itu adalah permintaan dari pada Yesus sendiri, berarti betul-betul Tuhan menghendaki spirit seperti ini di dalam kehidupan pelayanan kita, bukan sisa-sisa waktu dsb., ini bukan hanya berbicara tentang hal material, juga tentang tenaga kita, tentang perasaan kita, aplikasi sederhana adalah waktu doa kita, ini berkaitan dengan prinsip memberi keledai yang baru. Waktu kita berdoa kepada Tuhan, kita memakai waktu apa, prime time atau waktu sisa-sisa saja, waktu yang sedang ngantuk-ngantuknya, waktu yang sedang capek sekali lalu dipakai untuk berdoa? Tetapi justru kita memakai prime time kita untuk hal-hal yang lain.
Kalau kita membaca ayat 38, diberkatilah Dia yang datang sebagai Raja di dalam nama Tuhan, damai sejahtera di sorga dan kemuliaan di tempat yang maha tinggi, saya tertarik menyoroti bagian ini, sebetulnya ini kan bahasa Lukas “damai sejahtera dan kemuliaan”. Kalau kita membaca beginning gospel of Luke, damai sejahtera, sebenarnya kemuliaan dulu, kan ada tradisinya juga di dalam misa Roma Katolik, kita menyanyikan lagu gloria in excelsis deo lalu setelah itu at in terapax, pax in tera, tapi ini bukan pax in tera, ini pax di sorga bukan damai sejahtera di bumi, menarik pergeseran ini. Kemuliaan di tempat yang maha tinggi, sama, persis seperti pengumuman waktu Yesus lahir, tapi kemudian kan at in tera pax, damai sejahtera di bumi kepada manusia yang berkenan kepadaNya, tetapi dalam bagian ini damai sejahtera di sorga. Kenapa di sorga? Saya percaya karena di sini orang Yerusalem tidak mengerti apa yang ditawarkan kepada mereka, ini seperti semacam kalimat nubuatan tanpa mereka sengaja atau tanpa mereka mengerti sepenuhnya. Sebenarnya kalau konsisten akan dibicarakan kalimat yang sama dengan motif yang preciously the same yaitu damai sejahtera di bumi dan di bumi itu kan di Yerusalem, itu maksudnya kan, karena Yesus paling dekat di sana?
Tetapi tidak ada damai sejahtera di bumi, tidak ada damai sejahtera di Yerusalem, yang ada adalah setelah itu kalimat penghukuman. Sayang sekali, padahal Yesus datang untuk menawarkan damai sejahtera, tetapi ditolak, tidak digubris, waktunya dilewatkan, kita paling takut dengan orang-orang yang waktu mereka ada kesempatan mendengar firman Tuhan, tetapi mereka selalu merasa bahwa saatnya selalu ada ditangan mereka, kapan mereka mau percaya, mau mengikut Yesus, itu semua ada di dalam keputusan mereka. Tidak sadar bahwa ini adalah kairos, bukan selama-lamanya dan itu ada di dalam tangan Tuhan. Tidak ada damai sejahtera di bumi, tetapi bukan tidak ada damai sejahtera ada, tapi di sorga dan tentu saja di bumi kalau masih ada manusia yang berkenan kepadaNya. Tapi Yerusalem menolak kedatangan dari pada Mesias ini, mereka tidak percaya, di sini direpresentasikan oleh orang-orang Farisi yang gusar waktu the crowd itu meneriakkan “diberkatilah Dia yang datang sebagai Raja”, mereka gusar, “guru tegurlah murid-muridMu itu”.
Sekali lagi, ini kan konfirmasi, bahwa betul-betul memang kelompok itu agaknya adalah kelompok murid, bukan kelompok yang teriak-teriak salibkan Dia, salibkan Dia, sebetulnya itu interpretasi yang tidak ada dukungannya dari versi Lukas. Tapi ini adalah murid-murid whether di dalam pengertian yang 12 murid atau di dalam pengertian yang lebih besar, sepertinya bukan hanya 12 orang lah ya, tetapi lebih besar. Murid-murid ini yang menyatakan kalimat kebenaran tetapi ditolak oleh orang-orang Farisi, tidak terlalu jelas apa alasannya, bisa berbagai macam. Tetapi sekali lagi, Lukas tidak memberitahu kepada kita sebetulnya ketakutannya ada dimana? Bisa ada beberapa kemungkinan, karena di situ Yesus disebut sebagai Raja dan pasti ada orang-orang Romawi juga yang ada sekitar Yerusalem, wah kalau kedengaran lalu dilaporkan ke kaisar, akhirnya bangsa Yahudi jadi dalam persoalan. Nantinya yang rugi itu orang-orang Farisi, karena mereka yang dapat keuntungan dengan persahabatan yang cukup mulus dengan penjajah Romawi, karena orang Farisi cukup lihai di dalam menjaga posisi mereka, disenangi di kalangan bawah dan juga kalangan atas orang Romawi. Dan kehadiran Yesus yang disenangi oleh banyak orang sangat mengganggu sekuritas posisi mereka yang disukai oleh semua lapisan masyarakat atas dan bawah, seharusnya Yesus seperti itu. Apapun alasannya, iri hati, sempit hati, takut dengan hubungan Romawi yang sudah mulus akan bisa dirusak hanya gara-gara istilah Raja, apapun alasannya, yang pasti di sini mereka boleh ditempatkan di dalam kelompok bukan orang-orang yang percaya, orang-orang yang tidak bisa menerima Kerajaan Kristus.
Tetapi kemudian Yesus mengatakan, kalau mereka ini diam, batu ini akan berteriak, apa maksudnya? Kesaksian yang benar itu bukan hanya bergantung kepada murid-murid ini, Tuhan itu adalah Tuhan, Dia adalah Tuhan atas seluruh ciptaan, kalau manusia berhenti menyaksikan kemuliaan Tuhan, Tuhan bisa pakai batu, pelangi, gunung, sungai dll. untuk menyatakan kekuasaanNya, untuk menyatakan kemuliaanNya, tidak usah memakai saudara dan saya. Kita tidak usah geer diciptakan sebagai mahkota ciptaan yang paling sempurna, mempermuliakan Tuhan karena kita ini moral being, ada free will dst., kita tidak usah geer. Justru ketaatan kita dibandingkan dengan ketaatan bulan, bintang dan matahari, itu incomparable di dalam pengertian mereka tidak pernah tidak taat, mereka selalu sempurna memancarkan kemuliaan Tuhan, tidak ada discussion, tetapi manusia, Tuhan memang menciptakan kita resiko ini, ya kan? Kadang-kadang tidak setuju, bisa argue, bisa marah-marah, bisa malas, bisa tidak tertarik, bisa tidak tergerak dsb., tetapi Tuhan masih mau memakai mahluk yang namanya manusia seperti ini.
Tapi dalam bagian ini dikatakan lagi, ini seperti relatifisasi kepentingan manusia, kalau manusia berhenti bersaksi menyaksikan kemuliaan Tuhan, menyaksikan kemuliaan Kristus, maka Tuhan akan memakai ciptaan yang lain. Tuhan tidak perlu bergantung kepada manusia, Tuhan bisa pakai, ya ini not even gunung, hanya batu, itu ciptaan yang rendah sekali, yang diinjak-injak, karena batu itu kan di bawah. Batu-batu kerikil itu apa sih artinya, yang kecil-kecil seperti itu bisa dipakai Tuhan untuk menyatakan kemuliaanNya. Mungkin bukan kebetulan juga, yaitu ada motif batu keluar lagi pada waktu Yerusalem akhirnya di hancurkan dan Lukas kan mengkaitkan ini dengan penolakan akan Kristus, karena Yerusalem menolak Kristus, maka datang penghukuman, persis seperti yang ada di dalam PL, menolak nabi-nabi yang diutus oleh Tuhan, akhirnya Yerusalem pun jatuh ke dalam tangan penjajah Babilonia. Kembali dalam bagian ini, kita mendapati motif batu, dimana tidak ada satu batu pun tinggal terletak di atas batu yang lain, itu adalah runtuhnya bait suci Yerusalem yang dibangun dari batu-batu. Batu yang juga menyaksikan kemuliaan Tuhan, tetapi di dalam cara yang negatif, betul-betul Tuhan memakai batu, batu untuk menyatakan kemuliaan penghakiman Tuhan. Jangan kita berpikir penyataan kemuliaan Tuhan itu hanya melalui kasih, pertolongan, damai sejahtera, itu ya pasti termasuk di dalamnya, tetapi juga melalui murka, itu penyataan kemuliaan Tuhan.
Waktu Tuhan mendemonstrasikan murkaNya kepada bangsa Mesir yang ditenggelamkan, itu penyataan kemuliaan Tuhan, bersyukur Israel memang pihak yang diselamatkan, tetapi itu penyataan kemuliaan Tuhan. Kemulaian Tuhan bukan hanya kemuliaan yang menyelamatkan, tetapi juga kemuliaan yang menghancurkan. Di dalam teologi reformed injili khususnya, kita konsisten men-sharing-kan ini sebisa mungkin secara balance, karena ada jenis kekristenan yang hanya berbicara tentang kasih Tuhan, love of God dan waktu bicara tentang kemuliaan Tuhan, membatasi kemuliaan itu hanya ada kaitannya dengan keselamatan dan kebaikan Tuhan, tetapi tidak ada kaitannya dengan kemarahan Tuhan. Tapi dalam bagian ini kita membaca, batu-batu ini betul-betul dipakai untuk teriak menyatakan kemuliaan Yesus yang adalah Raja, sayang sudah terlambat, Yesus sudah pernah datang kesana, tetapi tahun 70 akhirnya betul-betul dinyatakan, batu-batu itu berteriak menyatakan, ini loh, kamu yang sudah menolak Yesus Kristus akhirnya ini yang kamu tuai dari pada apa yang kamu tabur. Saya pikir, di dalam kekristenan atau spiritualitas yang sehat kita perlu ada waktu contemplate tentang murka Tuhan, termasuk juga bagi orang-orang percaya, karena dikotomi yang sangat tidak menjanjikan itu, saya orang percaya berada dalam dikasihi Tuhan, mereka tidak percaya murka Tuhan, begitu kan ya, sepertinya mudah sekali? Murka itu untuk siapa? Untuk orang yang tidak percaya, saya sudah percaya, tidak ada lagi murka, saya hanya ada di dalam dekapan kasih Tuhan, jadi apapun selalu dalam dekapan kasih Tuhan. Ada kebahayaan di dalam teologi yang pincang seperti ini, karena Tuhan sendiri menghajar, mendidik orang-orang yang dikasihiNya.
Di dalam salah satu PA, Pdt. Agus Marjanto mengatakan, hukuman Tuhan kepada manusia seringkali yang kita mengerti adalah kalau kita sakit, kita kecelakaan, kita bangkrut dll., itu mungkin hukuman Tuhan supaya kita berbalik kepada Dia, begitu kan ya? Tetapi kemudian disambung, sebetulnya hukuman Tuhan yang sangat mengerikan itu bukan manusia sakit, kecelakaan, bangkrut, tetapi hukuman Tuhan yang paling menakutkan itu adalah ketika Tuhan berhenti bericara. Waktu Tuhan tidak berbicara lagi kepada kita itu hukuman paling menakutkan, kalau kita salah masih kena hajar, masih ada tongkat yang memukul kita, lalu menarik kita, kita bersyukur, berarti itu domba yang masih mau diselamatkan, tetapi kalau Tuhan sudah tidak berbicara lagi dan yang lebih bahaya lagi adalah Tuhan sudah tidak berbicara, orang itu sendiri tidak sadar bahwa dia sudah tidak menerima suara Tuhan, bahwa Tuhan sudah tidak tertarik lagi untuk mengkoreksi kehidupannya. Dia tidak sadar bahwa dia kehilangan suara Tuhan, dia kehilangan saat-saat dimana Tuhan menyapa dia, dia tidak ada kepekaan itu lagi, dia berpikir, masih sama juga tuh seperti tahun-tahun yang lalu, akhirnya pelan-pelan dia tergeser dan terbuang. Dan akhirnya yang berbicara adalah batu-batu pada saat penghukuman, bukan lagi di dalam satu saat yang menyelamatkan, kairos menyelamatkan itu sudah pernah ada, tetapi orang ini lewat dari pada kairos itu. Seperti Yerusalem juga pernah ditawarkan damai sejahtera, tetapi mereka menolak, akhirnya Tuhan pakai batu-batu untuk menyadarkan. Betul-betul batu berteriak, karena engkau tidak mengetahui saat bilamana Allah melawat engkau.
Mungkin Lukas satu-satunya yang melihat bait Allah itu bukan secara negatif, kita boleh bandingkan tulisan Paulus, Matius atau Markus, semuanya itu berusaha untuk merelatifisasi temple dengan alasan teologis yang tentu saja sangat reasonable, karena Jesus is the true temple, Dia adalah the true tabernacle. Kehadiran Allah di tengah umatNya itu adalah Yesus, maka temple itu sudah dihentikan, tirai bait suci itu terbelah waktu Yesus menghembuskan nafasNya yang terakhir dst. Tetapi di dalam tulisan Lukas, the beginning of the gospel of Luke, kita membaca mulai dengan Zakaria yang ada di temple dan ditutup dengan murid-murid yang ada di temple juga, lalu Kisah Para Rasul memulai dengan cerita murid-murid yang beribadah di temple. Nah ini perspektif unik dari Lukas, ingin membicarakan kontinuitas history of salvation, redemptive history dari PL sampai kepada PB, jadi bukan gambaran break begitu, bukan gambaran yang direlatifisasi, bukan gambaran yang berusaha untuk membatalkan Torah, tetapi justru gambaran kontinuitas. Maka di dalam bagian ini kita juga melihat bagaimana (meskipun betul karena ini juga peristiwa historis) Yesus memberikan satu teguran yang keras, Dia mengusir pedagang-pedagang yang di situ, tetapi kalau kita membandingkan dengan perspektif Matius atau Yohanes, ini adalah tulisan yang paling pendek tentang penyucian bait Allah dan bukan kebetulan ini ditulis oleh Lukas, karena Lukas justru ingin menekankan kontinuitas tabernacle theology, temple dengan kehadiran Yesus Kristus yang menggenapi, Torah, the fulfillment of the Torah.
Tetapi betul juga di sini dikatakan, bait Allah itu perlu disucikan, bait Allah itu sendiri ada dosanya, gereja sendiri juga perlu disucikan oleh Tuhan. Gereja itu bukan berarti bebas dari dosa, bebas dari keserakahan uang, kalau manusia berdosa bisa jatuh di dalam keserakahan, maka gereja juga bisa jatuh, tidak ada yang immune, gereja juga bisa jatuh ke dalam ketidaktaatan terhadap firman Tuhan, maka gereja tetap harus taat terhadap prinsip firman Tuhan, bukan karena dia gereja lalu gereja pasti sama dengan Tuhan, tidak. Nah ini self criticism yang penting, kalau kita tidak ada self criticism untuk hal seperti ini, gereja sangat mungkin masuk ke dalam satu spiritualitas self righteousness, kalau orang sudah memakai kata gereja, orang sudah malas untuk discuss lagi, begitu kan ya? Oooh ini uang untuk gereja, orang langsung takut semua, karena gereja langsung connected sama Tuhan, tetapi kalau perusahaan saya sepertinya so sekuler, kalau family saya tidak langsung connected sama Tuhan, begitu kan? Jadi gereja perlu disucikan oleh Tuhan, kalau kita membaca perkataan firman Tuhan, pertama yang akan dihakimi itu adalah bait suci, itu adalah gereja, bukan kumpulan orang-orang yang belum mengenal Yesus Kristus, tetapi yang pertama-tama yang dihakimi adalah orang-orang kristen, itu prinsip firman Tuhan.
Maka sekali lagi, kalau kita kembali kepada ajaran Yesus Kristus, kita harus menempatkan institusi gereja dengan benar, karena Tuhan datang akan menguduskan umatNya, yang bukan umatNya tidak akan dikuduskan oleh Tuhanm, mereka sudah disiapkan untuk kebinasaan, demikian menurut surat Roma. Tetapi Tuhan tertarik untuk menguduskan umatNya yaitu saudara dan saya, berbahagia kita kalau dalam kehidupan ini kita tidak menjadi lelah waktu Tuhan mengkoreksi kita, waktu Tuhan membentuk, waktu Tuhan menegur kita, waktu Tuhan membersihkan kita seperti membersihkan bait Allah, karena indeed kita adalah orang-orang yang berdosa. Kiranya Tuhan memberkati kita semua. Amin.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (AS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Jemaat Kelapa Gading