Minggu lalu sudah dibahas bahwa di dalam banyak hal perumpamaan yang ketiga ini memberikan satu klimaks terhadap dua perumpamaan yang sebelumnya, kita bisa bahas beberapa hal, mungkin salah satunya yang sudah pernah kita bicarakan di dalam minggu yang lalu yaitu adanya satu klimaks di dalam keterhilangan waktu pertama dikatakan di situ hilang 1% lalu menjadi 10% dan akhirnya hilang 100% atau hilang kedua-duanya. Tetapi ini bukan satu-satunya klimaks, kita bisa melihat juga gambaran klimaktik yang lain waktu kita membandingkan ketiga perumpamaan ini, tetapi dalam perumpamaan yang ketiga, Yesus include di dalam tokoh yang ada dalam perumpamaan ini adalah yang terhilang manusia dan bukan barang atau ciptaan yang lebih rendah seperti domba. Saya percaya gambaran ini satu gambaran yang melengkapi bahkan menciptakan satu klimaks di dalam perenungan orang-orang yang berdosa seperti pemungut cukai atau pelacur, tetapi terlebih juga ditujukan kepada orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat.
Kita punya kecenderungan di dalam kehidupan kita sebagai manusia yang berdosa terlalu lebih mengasihi barang dari pada mengasihi manusia, mungkin kita berkata, ooh tidak juga, saya lebih mengasihi istri, suami, anak saya kok dari pada saya mengasihi uang atau harta saya dsb., mungkin saja, tetapi itu belum membuktikan bahwa kita lebih mengasihi manusia dari pada mengasihi barang. Karena yang kita katakan kita lebih mengasihi manusia itu hanya sebatas anggota keluarga saya, jadi tekanannya adalah ada pada saya (kita sudah pernah bahas bagian ini). Manusia memiiki awareness, memiliki kepekaan lebih terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan dirinya, waktu dia mengatakan saya mengasihi istri, suami dan anak saya, dsb., kita boleh tanya lebih jauh sedikit, mertua kamu bagaimana? Pasti mulai lain, karena itu keluarga sudah agak jauh, begitu kan ya? Kalau papa, mama ok, mertua tidak, mulai lain kan ya?
Belum lagi kalau kita bandingkan antara apa yang menjadi milik kita di dalam pengertian harta, lalu dibandingkan dengan jiwanya orang lain yang bukan anggota keluarga saya. Di situ di dalam banyak hal kita akan melihat bahwa toh memang betul yang dikatakan, kita lebih mengasihi barang dari pada manusia, maka di dalam perumpamaan yang ketiga ini Yesus menghadirkan tokoh manusia, keterhilangan manusia, bukan hanya keterhilangan barang. Ini satu approach yang mulai dari bawah, karena banyak manusia berpikir perasaan keterhilangan itu terutama pada dombanya, keledainya, uangnya dsb., ini lebih mudah untuk mengerti, tetapi Yesus mau mengajar sampai pada tahap yang lebih tinggi, ini pendekatan yang dari bahwa di dalam pengajaran Yesus untuk memahami perasaan keterhilangan dari hati Bapa waktu memperhatikan ada orang-orang yang hidup di dalam dosa.
Kita mau diajak untuk mengerti isi hati Tuhan di dalam perasaan keterhilangan waktu menyaksikan orang-orang yang hidup di dalam dosa, berusaha untuk keluar dan meninggalkan hadirat Allah. Kita mengerti melalui apa? Mengerti melalui bagaimana kalau kita kehilangan uang, kita kan sedih, ya memang sedih, lalu kita akan berusaha mencari, lalu Yesus mengajak kita untuk naik kelas, mari sekarang juga kita belajar, pikirkan bagaimana Tuhan juga punya perasaan keterhilangan waktu menyaksikan orang yang hidup di luar kasih karunia, orang yang seperti berusaha hidup di luar hadirat Tuhan, meskipun sebetulmya manusia tidak bisa hidup di luar hadirat Tuhan. Manusia tidak bisa menjauhi, tidak bisa mencari satu tempat dimana Tuhan tidak ada.
Kalau kita melihat di dalam bagian ini, ini satu perumpamaan yang cukup padat meskipun di sini kita tidak harus melakukan alegorisasi dan kita percaya perumpamaan anak yang terhilang ini termasuk salah satu perumamaan yang sangat kaya di dalam poin-poin yang bisa kita pelajari di dalamnya tanpa kita harus melakukan alegorisasi, tapi kita bisa mempelajari melalui adanya prinsip-prinsip yang diberikan di sini.
Saya pikir gambarannya cukup jelas, ada satu bapak yang mempunyai dua anak laki-laki, dua ini menggambarkan dua kelompok, seperti tipologi dua kelompok, kelompok orang berdosa (pemungut cukai, pelacur dll.) dan kelompok orang Farisi, ahli Taurat (orang-orang yang dipenuhi jiwa self righteousness, lebih baik daripada orang lain dst.), dan yang akhirnya dua-duanya terhilang. Hari ini kita konsentrasi mempelajari keterhilangan yang pertama, yaitu dari perspektif keterhilangan anak bungsu.
Sangat menarik kalau kita membaca dalam ayat 12, kita bisa mengamati di situ bagaimana proses kejatuhan atau keterhilangan ini terjadi. Kita berbahagia kalau di dalam kehidupan kita sebelum ada penyakit masuk di dalam diri kita, kita sudah tahu, sehingga pencegahan bisa lebih awal, tidak usah sampai stadium akhir baru kita sadar kalau kita sudah terkena penyakit itu. Kita melihat di sini gambaran sederhana, anak bungsu itu berkata kepada ayahnya, bapak berikan kepadaku bagian harta milik kita yang menjadi hakku. Di sini ada kontradiksi, dari “kita” lalu “ku”, masalahnya dia tidak puas dengan satu kepemilikan komunal, kita tahu di dunia ini ada yang namanya toilet umum, kalau toilet umum saya memang bisa masuk, tetapi saya harus share dengan orang lain, saya perlu di dalam kehidupan ini sesuatu yang private, sesuatu yang eksklusif, hanya milik saya, manusia ada jiwa seperti itu.
Nah ini menjadi sesuatu yang aneh waktu kita membaca seolah-olah dia merasa terusik kepemilikan bersama dengan bapaknya, kita tahu di dalam alkitab, gambaran bapak ini kan gambaran dari Allah Bapa sendiri. Ini Bapa yang sempurna, yang memberikan apa yang Dia miliki juga sebagai milik anakNya, bisa sama-sama menikmati, sama-sama memiliki. Tetapi buat dia tidak cukup, tidak mau seperti itu, dia mau menikmati sendiri, tidak perlu ada bapakku, itu baru betul-betul menjadi hakku. Manusia berusaha untuk mau hidup sovereign, hidup berdaulat, hidup independent dari Tuhan, ini pertanyaan yang sangat mengherankan, apa yang dilakukan oleh bapak sampai dia merasa terganggu dengan kehadiran bapaknya? Melakukan kejahatan apa bapaknya itu, sampai dia mau melarikan diri seperti ini? Ini kan aneh ya? Kita tahu ini adalah gambaran Bapa yang sempurna, karena ini menggambarkan Allah sendiri.
Mengapa kehadiran bapak bisa sangat mengusik anak bungsu ini sampai dia mau pergi? Jawabannya cuma satu yaitu sudah terpendam satu keinginan untuk berbuat dosa dari anak bungsu ini, kalau tidak kenapa dia bisa begitu terganggu dengan kehadiran bapak? Kalau ada maling hadir, kita terganggu, karena kita terancam, begitu kan ya? Ini bapaknya melakukan apa? Kan tidak melakukan sesuatu yang jahat, justru melakukan sesuatu yang baik? Tetapi kenapa dia justru terganggu? Mengapa kehidupan manusia, kehidupan saudara dan saya seringkali terganggu kalau ada kehadiran Tuhan? Karena kita merasa diawasi, diamati, mata Tuhan melihat, kita tidak bisa dengan bebas melampiaskan dosa kita, kapan manusia jatuh ke dalam dosa? Waktu dia tidak lagi gubris kehadiran Tuhan, ini bukan bicara tentang theoritically, theoritically mungkin tetap bagaimanapun menurut statistik orang yang percaya adanya Tuhan mungkin juga bukan minoritas, cukup banyak, meskipun bukan mayoritas sekali, kita tahu semakin lama semakin turun jumlah orang yang percaya pada personal God.
Yang mau saya katakan adalah orang yang memproklamirkan dirinya ateis, dia menolak untuk mengakui keberadaan Allah, sebetulnya yang ada di dalam pikirannya adalah dia mau hidup independent, sovereign, hidup berdaulat, lepas dari semua kontrol Allah dan kalau perlu, dia tidak perlu disaksikan, diketahui oleh Tuhan, karena ada satu perasaan menakutkan waktu orang mau melampiaskan kehidupan yang berdosa, tetapi dia harus menghayati di dalam saat yang sama ada Allah yang melihat, itu sama sekali tidak enak. Lebih enak berpikir adalah saya melakukan apa yang saya mau dan tidak ada satu orang pun tahu, dan bahkan Tuhan pun juga tidak tahu, dan karena itu akhirnya orang memutuskan untuk menjadi ateis. Atau kalau tidak mau dibilang ateis teoritis, at least ateis praktis. Kita jangan salah mengerti, ada orang-orang kristen secara teoritis mereka bukan ateis, tetapi secara praktis mereka sebenarnya menjalankan kehidupan ateis, mereka merasa Tuhan sebetulnya tidak ada di dalam kehidupannya, mereka tidak takut melakukan dosa. Mereka membuat satu dualisme di dalam kehidupannya, ada berbagai macam value yang mereka tidak hidupi secara integratif di dalam kehidupan, simply karena tidak ada hati yang takut akan Tuhan atau karena tidak mempedulikan kehadiran Tuhan.
Keterhilangan ini adalah keterusikan adanya kehadiran Tuhan, karena bapaknya lalu dia merasa seperti kurang bebas, ini mitos kebebasan, banyak orang berpikir bebas itu adalah saya bisa hidup sendiri, menentukan hidup sendiri, saya sudah dewasa dan terutama seperti yang dikatakan di sini, saya memiliki hak. Waktu manusia terus membicarakan haknya itu proses dari kejatuhan, hak apa? Hak ahli waris, saya kan anak, kita harus hati-hati dengan jenis kekristenan yang terus-menerus berbicara bahwa kita anak, kita ini ahli waris, kita harus mendapatkan hak, hak berkat Tuhan itu adalah hak saya sebagai ahli waris. Persis seperti cerita anak bungsu, kita berpikir sedang menghayati our sonship, keanakan kita, bukan, sebetulnya itu adalah proses kejatuhan. Ini adalah anak kurang ajar, yang tidak tahu diri, itu bukan bagian dari pada satu penghayatan yang betul, bukan, jangan tertipu dengan spiritualitas yang hanya sekedar memakai istilah, tetapi di dalamnya sebenarnya ada spirit yang melawan Tuhan.
Kalau boleh kita perluas di dalam aplikasi mengenai hak ini, kita juga bisa melihat itu di dalam kehidupan kita, orang yang terus-menerus membicarakan haknya, very self centre, itu orang egois. Di dalam keluarga bukan hanya dari sisi anak, mungkin dari suami atau istri juga, yang terus membicarakan hak, membicarakan dirinya terus, hak yang seharusnya dia dapatkan, dia belum mengerti apa artinya menjadi anak Allah. Karena terlalu banyak bicara tentang hak, kalau Yesus mau berbicara tentang hak, kita semua pasti ke neraka, Dia punya hak untuk dihormati, Dia punya hak untuk disembah, kita tidak berhak menyalibkan Dia seperti itu, tidak ada hak kita.
Anak ini membicarakan hak, dia pikir bapak ku ini pelit, dia hatinya sempit, tidak mau share warisan, padahal dia tidak tahu bahwa dia belum siap, mendahului Tuhan, membicarakan hak mendahului Tuhan, nanti Tuhan yang akan memberi pada waktuNya, tetapi orang ini tidak sabar, langsung minta sekarang. Menarik waktu kita membaca di dalam bagian ini, ayahnya tidak menahan permintaan itu dan bagian ini menakutkan, dia membagi-bagikan harta kekayaan diantara mereka, saya percaya meskipun alkitab tidak menulis, dia membagi-bagikannya dengan hati yang sedih, dia tahu setelah itu anak ini akan rusak. Walaupun dia sudah tahu bahwa nanti akan proses kerusakan, tetapi dia tetap membagi-bagikan harta kekayaan itu, kenapa? Karena Tuhan tidak memperlakukan kita sebagai robot, kita bisa memaksakan sesuatu dan akhirnya Tuhan bisa seperti seolah-olah “give up”, akhirnya diberikan.
Seperti perjalanan bangsa Israel setelah dipimpin Tuhan keluar dari Mesir, lalu mereka mulai menginginkan daging yang ada di Mesir, mereka bosan dengan manna, mereka tidak cukup dengan kehadiran Tuhan, lalu mereka meminta daging seperti waktu mereka di Mesir, akhirnya Tuhan berikan daging. Sebetulnya mereka tidak siap makan daging, karena mereka terlalu rakus, terlalu greedy, serakah, waktu Tuhan berikan burung puyuh, mereka pesta pora, setelah itu mereka mati puluhan ribu orang. Itu berkat menjadi curse, kutukan di dalam kehidupan orang Israel pada waktu itu, karena mereka tidak tahu apa yang mereka minta. Kita jangan lupa, kita diciptakan sebagai moral being, itu diberikan pilihan, saudara bisa liar, Tuhan memberikan kemungkinan kepada kita untuk liar, Tuhan tidak akan jaga sampai kita tidak jatuh sama sekali, itu bukan Tuhan yang kita kenal di dalam alkitab.
Seringkali orang salah mengerti Tuhan, apalagi katanya menurut ajaran teologi reformed, Tuhan menetapkan segala sesuatu sampai detail, kalau begitu Tuhan itu diktator, lebih jahat dari pada Hitler, saya tidak bisa bergerak sama sekali, coba baca bagian ini, itu salah, itu karikatur tentang teologi reformed. Kembali pada bagian ini, Tuhan juga di dalam kedaulatanNya pun memberikan kemungkinan kepada manusia untuk memilih jalan hidupnya sendiri, Tuhan bisa memberikan kemungkinan itu, saya mau minta bagian yang menjadi hakku, Tuhan berikan harta kekayaan. Sebetulnya dia tidak ada hak meminta seperti ini, bapaknya juga belum mati kok, dia mau mendahului waktu Tuhan, tetapi yang tidak berhak pun Tuhan juga bisa kasih, tetapi anak ini tidak sadar, dia pikir, setelah ini dia akan hidup merdeka, dia menjauhi kehadiran Tuhan.
Dan betul ketika dia pergi, akhirnya di sana dia mulai memboroskan harta miliknya dengan hidup berfoya-foya. Seorang anak yang tidak tahu kerja keras, terima begitu saja, lalu begitu terima bisa dengan sangat mudah memboroskannya, karena dia pernah merasa berbagian, yang tidak berbagian mudah sekali memboroskan. Tidak ada pendidikan berbagian di dalamnya dan sebetulnya orang tuanya sedang mengerjakan pendidikan seperti ini di dalam diri anak tersebut, tetapi anak itu tidak mau dididik, dia belum partisipasi di dalam air mata, sudah mau partisipasi di dalam cara pakai, begitu kan ya? Hati-hati kalau kita diberikan satu kehidupan yang katakanlah memiliki resources lebih dari pada yang lain, lalu bagaimana kita melakukan pendidikan terhadap keluarga kita? Ada orang yang sayang sekali sama anaknya, anak diberikan semua fasilitas (seperti cerita bagaimana cara Yakub memperlakukan Yusuf, berbeda dengan cara Tuhan memperlakukan Yusuf, ini sudah pernah kita bahas).
Anak ini menolak dibentuk, dia mau langsung, instant, yang menjadi hak saya dan karena dia tidak mampu mengelola kekayaan, akhirnya ini berubah menjadi curse, kutukan di dalam kehidupannya. Sebetulnya lebih baik dia tidak punya, lebih baik dia tidak kaya, dia jauh lebih dekat kepada Tuhan, dari pada kaya akhirnya hidupnya hancur seperti ini. Dia tidak bisa mengelola hartanya, dia memboroskankannya dengan hidup foya-foya dan akhirnya setelah itu alkitab menceritakan gambaran sederhana, dihabiskan semuanya, timbul bencana kelaparan.
Pengkhotbah mengatakan, hidup manusia itu seperti musim, seperti roda yang bergerak ke bawah, ke atas lalu ke bawah lagi, tetapi ada orang yang naif berpikir, ooh tidak, saya di atas terus kok, tidak akan putar ke bawah, hal seperti itu tidak ada, itu bukan order of creation, Jakarta tidak mungkin banjir selama-lamanya atau tidak akan pernah banjir, tidak mungkin seperti itu, musim winter tidak selam-lamanya, tapi musim spring juga tidak selama-lamanya, akan masuk musim winter, orang yang tidak mempersiapkan diri untuk masuk musim winter, dia akan mengalami celaka waktu musim winter datang. Orang yang tidak mempersiakan diri, waktu rodanya berputar, bergerak ke bawah, ia terus hidup dengan life style di atas terus, begitu keadaan berubah, maka dia akan seperti orang yang kebanting. Karena terlalu biasa di atas, waktu di bawah, dia susah sekali, menderita sekali, padahal di depannya sudah ada empat menu, masih rasa menderita, sangat pikul salib, kenapa? Karena biasanya lima belas menu, padahal untuk orang lain ada tiga menu sudah sangat bersyukur sekali, tetapi orang ini tidak bisa menerima, dia tersiksa sekali.
Orang mengatakan bijaksana roda, ini bijaksana umum, tidak sampai kepada bijaksana alkitab, ooh kalau tidak mau ikut berputar bagaimana? Ya tinggal dekat poros, begitu kan ya? Paling bagus tinggal dekat poros, tidak putar sama sekali, itu bijaksana dunia kan ya? Sebenarnya bijaksana seperti ini ada di dalam alkitab, dalam PB kita mengerti poros yang pasti adalah Kristus sendiri, orang yang berakar di dalam Yesus Kristus tidak terkena putaran itu dan di dalam teologi kitab Pengkhotbah dalam tradisi Salomo dikatakan, apa sih itu hidup dekat poros? Salomo mengatakan, orang yang hidupnya moderate itu hidup dekat poros, orang yang moderate hidupnya, waktu hidup dalam kelimpahan dia tidak terus hidup foya-foya seperti ini, dia tetap mencukupkan diri dengan contented, dan waktu keadaan paceklik, dia juga tidak kebanting, karena sudah biasa hidup contented, karena sudah biasa hidup sederhana, jalan tengah adalah hidup dekat dengan poros.
Tetapi anak bungsu ini tidak, mumpung ada resources kapan lagi, ya dia habiskan semua, dia tidak sadar kalau setelah itu akan ada kairos yang lain, segala sesuatu ada saatnya, ada kairosnya kata Pengkhotbah, buat dia kairosnya ada di tangannya karena di atas terus, tidak, hidup manusia tidak seperti itu, ada perputarannya. Mungkin kita berkata, tidak juga, ada satu dua orang yang saya lihat di dalam kehidupannya, dari miskin dia berjuang, lalu kaya dan kaya terus sampai mati, tidak ada putaran lagi di dalam kehidupannya. Ada orang seperti itu, sepertinya Pengkhotbah itu salah, kalau melihat hidup manusia hanya dari aspek finansial saja, itu konyol sekali, itu hanya salah satu aspek dalam hidup manusia, ada begitu banyak aspek dalam hidup manusia, mungkin saudara tidak berputar di dalam aspek finansial, tetapi mungkin saudara keputar di dalam aspek kesehatan. Saya mendapati banyak sekali orang kaya yang waktu masa tuanya sakit-sakitan, akhirnya kekayaannya juga untuk membayar dokter, bukan untuk dirinya, keluarganya sendiri juga tidak bisa menikmati, dll.
Kitab Pengkhotbah tidak mungkin salah waktu membicarakan tentang musim kehidupan manusia itu seperti musim, itu pasti tidak salah karena itu adalah order of creation. Tuhan tidak menetapkan satu musim terus selama 100 tahun, lalu baru masuk musim yang lainnya, tidak seperti itu. Maka sekali lagi, anak bungsu ini tidak mengantisipasi bahwa akan ada datang musim paceklik, dia habiskan semua, itu satu life style, menurut dia masih ada resources kok, masih ada modal untuk itu, kenapa tidak, ini juga berkat Tuhan, tapi dia lupa akan datang bencana kelaparan dan setelah bencana kelaparan datang, karena dia tidak prepare untuk itu, dia melarat.
Tadi dia berpikir kehadiran bapakku itu terlalu menganggu untuk saya, saya akan menikmati diri saya sendiri tanpa kehadiran Allah, tanpa kehadiran bapak, akhirnya dia harus bukan saja tetap menerima kehadiran orang lain, tetapi akhirnya dia diperbudak oleh kehadiran majikan yang baru. Kalau bapaknya bukan memperbudak dia kan? Kan tidak diperbudak, kok dia merasa kurang bebas, dia merasa kurang seperti anak, yang namanya anak harus mendapatkan hak, itu baru anak, dia tidak sadar, setelah pergi dengan apa yang menjadi “haknya” itu, akhirnya dia justru masuk, bukan kepada kebebasan seperti yang dia cita-citakan, malah dia masuk ke dalam perbudakan. Dia pergi dan bekerja pada seorang majikan, di sini literally diperbudak, jadi budak, mana freedom-nya? Tidak ada, yang ada adalah perbudakan.
Ini adalah gambaran dosa, selalu datang dengan gambaran kebebasan, kamu jangan ikut gereja-lah, kamu jangan terlalu ikut orang tuamu yang terlalu kolot itu, jangan terlalu ikut ajaran-ajaran alkitab, itu membelenggu kamu punya kebebasan, coba berani ekspresikan dirimu sendiri, itu baru kebebasan. Datang dengan gambaran kebebasan, setelah itu mencekik, setelah itu memperbudak, persis seperti keadaan anak bungsu ini, tadinya tawaran dengan kebebasan, kekristenan itu membatasi kebebasanmu, kamu dikekang, ini tidak boleh, itu tidak boleh, semuanya tidak boleh, coba baca alkitab, semua isinya jangan, jangan. Kita maunya boleh, bukan jangan, jangan, itu terlalu banyak larangan. Sangat menarik, proses kejatuhan manusia di dalam dosa juga di provoke oleh setan di dalam kata “jangan”, ini kan sama sekali tidak fair, padahal buah di dalam taman eden jauh lebih banyak yang boleh dimakan, hanya satu yang “jangan”, tetapi orang bisa konsentrasi, zoom yang “jangan”, ini kan keterlaluan.
Mungkin saudara pernah melakukan kebaikan kepada satu orang berulang-ulang kali, tetapi sekali saudara tidak melakukan kebaikan, yang diingat justru yang itu, kan keterlaluan orang seperti ini? Dia lima belas kali kesusahan dan kita muncul empat belas kali, yang diingat adalah kenapa kamu satu kali tidak muncul, orang seperti ini evil ya? Ya memang beginilah gambaran manusia, seperti saudara dan saya juga begini, yang diwakili oleh Adam dan Hawa, Tuhan katakan, semuanya boleh kamu makan, malah dia konsentrasi pada yang “jangan”, kenapa yang ini jangan ya? Semuanya boleh dimakan kecuali satu, kan memang ini ujiannya? Coba kalau Tuhan berikan 100 buah, 99 jangan dimakan, hanya satu yang boleh, apa tidak lebih berat lagi ujiannya? Hanya satu ini loh yang jangan dimakan, tetapi dia justru konsentrasi yang dari setan, mengkonsentrasikan pada yang satu, setan tidak katakan, semuanya boleh dimakan, hanya satu ini jangan, tidak, setan justru katakan, semua tidak boleh dimakan. Mengkonsentrasikan kepada ketidakadaan kebebasan dalam kehidupan manusia.
Ini trik yang sudah sangat tua, sampai sekarang somehow masih efektif, mitos kebebasan, tapi sebenarnya yang terjadi di sini adalah waktu dia jatuh di dalam keberdosaannya, dia terikat, dia terbelenggu, dia diperbudak. Anak bungsu ini diperbudak, dia diberikan pekerjaan yang begitu rendah, menjaga babi, satu binatang yang dianggap haram pada saat itu. Dia kehilangan kebebasannya, kehilangan persekutuan dengan bapaknya, tetapi juga dengan orang-orang yang ada disekitar bapaknya dan dia juga kehilangan dignitasnya sebagai manusia. Dia berusaha untuk mengisi perutnya dengan ampas dari makanan babi, tetapi tidak ada satu orang pun yang memberikan kepadanya, dianggap lebih rendah dari pada babi. Gambaran yang lebih masuk akal adalah itu makanan babi, kita manusia tidak memakan makanan babi, babi tidak boleh makan makanan manusia, karena dia babi, tetapi di sini terbalik, itu makanan babi, bukan untuk makanan kamu, jadi biarlah babi memakan makanannya. Kamu jangan makan makanan babi, karena kamu tidak layak makan makanannya babi, keadaan seperti ini tidak bisa lebih rendah lagi.
Mau bicara tentang hak, hakku, ini pemiliknya bilang, itu haknya babi, kamu tidak ada hak di situ, silahkan kerja menjaga babi, jangan ambil yang menjadi haknya babi. Dia bicara tentang hak, dia berbicara tentang apa yang menjadi porsinya dan dia harus learn the hard lesson, yang kamu mau ambil itu bukan porsimu, itu porsinya babi, silahkan menghargai dunianya babi, kamu ada di luarnya, ada di bawahnya itu, silahkan jangan sentuh, itu sama sekali bukan bagianmu. Ini adalah bagian yang sangat-sangat kasihan, pitiful, yang menarik adalah di dalam keadaan seperti ini justru kemudian kita membaca, (dalam terjemahan bahasa Indonesia) dia mulai menyadari keadaannya. Dalam salah satu terjemahan bahasa Inggris dikatakan, came to himself, dia datang kepada dirinya sendiri, dia mulai mengenal dia itu siapa, apa maksudnya?
Selama ini dia tidak datang kepada dirinya sendiri, karena dirinya terlalu banyak asesoris, kehidupan saudara dan saya, kita juga memiliki banyak asesoris. Banyak orang kepingin kaya, takut sakit, mungkin kalau kita analisa di dalamnya, bukan hanya sekedar takut miskin karena nanti kalau miskin tidak bisa belanja seperti orang kaya atau nanti bisa sakit, tetapi bisa lebih dalam dari pada itu, kenapa? Karena waktu kita sakit, waktu kita tidak kaya, waktu kita di dalam keadaan pas, kita dipaksa untuk melihat diri kita apa adanya, tanpa asesoris. Manusia itu mudah sekali melihat dirinya, kamu itu siapa? Oooh ini nih tahu tidak gedung ini saya punya, apakah itu identitasnya dia? Manusia mengkaitkan identitasnya dengan apa yang dia capai, berapa income-nya satu bukan, itu identitasnya dia, certain orang pikir, dia itu siapa, yaitu kecantikan mukanya dst., itu bukan identitas manusia. Kenapa orang takut waktu miskin? Karena dia takut di dalam keadaan yang telanjang seperti itu dia terpaksa harus melihat dirinya apa adanya. Dia harus datang kepada dirinya dan itu sangat-sangat tidak mengenakkan.
Kan lebih enak melihat diri kita memaki jas bukan, dari pada telanjang tidak memakai apa-apa? Ya manusia memang seperti itu. Manusia itu suka dilihat bukan hanya oleh orang lain, bahkan dirinya sendiri pun lebih suka melihat dirinya dengan berbagai macam asesoris, dia ingin melihat dirinya juga seperti itu, dengan semua tempel-tempelan itu, itu bukan identitas dia. Waktu semua ditanggalkan, dia baru tahu, ini loh keadaan kamu, sebetulnya kamu adalah seperti ini, malang, miskin, buta dan telanjang dihadapan Tuhan. Sulit untuk masuk ke dalam keadaan sepeti ini, tetapi kita bersyukur ada momen di dalam kehidupan kita, entah itu mungkin melalui sakit penyakit, kegagalan finansial, kegagalan relasi, dsb., lalu di dalam keadaan seperti itu kita mulai menyadari keadaan kita. Tuhan mulai membawa kita masuk, ini loh, kamu itu ini sebetulnya, bukan dengan jas yang kamu pakai itu, bukan dengan gedung yang kamu punya, itu bukan kamu, itu bukan yang membentuk identitasmu, sebenarnya kamu ini yang di dalam keadaan telanjang ini, seperti yang saya lihat. Dan sekarang kamu lihat juga bersama dengan Tuhan yang melihat, dia menyadari keadaannya.
Masuk ke dalam self knowledge, pengalaman painful karena dia tidak memiliki apa-apa lagi, yang ada adalah keadaan yang paling bawah, justru dari perspektif ini dia mengenal dirinya. Tadinya dia tidak sadar dia itu siapa, akhirnya dia mulia recall, betapa banyaknya orang upahan bapakku, berlimpah-limpah makanannya, menarik, di dalam keadaan ini dia mau punya perspektif tentang orang lain. Waktu dia di dalam keadaan foya-foya, dia kelihatan seperti punya banyak teman, banyak temannya, dia even tidak melihat temannya sebagai teman, dia melihat bayang-bayang dirinya sendiri, saya suka melacur, oh ada orang juga yang suka melacur, kamu adalah teman saya, kenapa? Karena sama-sama suka melacur, karena dia melihat dirinya sendiri di dalam diri orang lain, tetapi di sini, mana teman-temannya? Tidak ada, dia melihat dirinya sendiri dan justru di dalam keadaan seperti ini, how beautiful, itu kan bisa menggerakkan dia mulai melihat orang upahan bapaknya yang berlimpah-limpah, tadinya tidak bisa melihat perspektif ini.
Di dalam keadaan ini dia baru sadar bahwa tidak ada satu orang pun yang sudi memberikan makanan kepadanya. Tadinya, waktu bersama dengan bapaknya, bukan saja dia dilayani, dia selalu ada makanan, malah kurang, harusnya saya dapat warisan, begitu kan? Tapi di dalam bagian ini kita membaca dia baru sadar siapa itu manusia, kekejamannya manusia, kedinginan hati manusia, mana teman-temannya yang kelihatan seperti ada persekutuan waktu dia masih hidup foya-foya? Ternyata mereka semua bukan teman, hati-hati, ada orang-orang yang berteman kepada kita bukan betul-betul berteman karena dia mau membangun satu personal relationship, tapi mungkin karena kita punya jabatan, mungkin karena kita kaya dll. Tahu darimana? Begitu keadaan berubah, orang itu satu per satu meninggalkan kita, memang orang-orang itu tidak pernah tertarik dengan kita, tidak pernah, mereka hanya tertarik dengan uang kita, dengan muka kita, dengan power kita dst., sangat kasihan orang-orang seperti ini.
Anak bungsu ini mungkin juga bisa bepikir saya punya banyak teman, tetapi sebetulnya tidak ada satu orang pun teman dan dalam keadaan tidak ada satu orang pun yang peduli memberikan kepada dia makanan yang dia betul-betul butuh, dalam perspektif seperti ini sekali lagi, baru dia mulai bisa lihat, kebahagiaan dari pada orang upahan bapaknya, dikatakan, berlimpah-limpah makanannya. Sebelumnya dia tidak ada komparasi karena dia tidak pernah hidup miskin, tidak pernah kelaparan, dia selalu dalam keadaan yang di atas, tidak bisa melihat kebahagiaan dari pada orang lain, tetapi di dalam keadaan seperti ini dia baru sadar betapa baiknya bapaknya, yang memberikan pemeliharaan bukan hanya kepada dia, bahkan kepada orang-orang upahannya.
Ini kelihatan kontras, termasuk juga secara literally, kalau kita membaca di sini, kan dia sedang bekerja pada satu majikan, yang diperbudak, tetapi dia pikir dia sedang bebas, padahal dia diperbudak. Tapi sebenarnya ada orang-orang yang bekerja kepada bapaknya sebagai budak, tetapi sebenarnya mereka justru bisa hidup berlimpah-limpah makanannya, jadi ini siapa sebetulnya yang hidup di dalam kelimpahan? Yang hidup di dalam kelimpahan adalah yang menjauhi hadirat Tuhan atau yang berada di dalam hadirat Tuhan? Tentu jawabannya yang berada di dalam hadirat Tuhan. Tetapi dia tidak pernah melihat perspektif ini, dia selalu melihat satu keterkekangan, ayah saya membatasi saya, Tuhan membatasi saya dengan berbagai macam rule, commandment dst., sehingga tidak bisa mengekspresikan kebahagiaan diri saya sendiri. Banyak orang yang salah mengerti kekristenan sebagai agama yang seperti ini. Mereka konsentrasi kepada yang tidak boleh, ooh ajaran kekristenan itu semuanya harus suppressed desire, semua keinginan harus disangkal, ditekan dan akhirnya manusia menjadi totally self less, dan mereka mengajarikan self denied, ini salah sama sekali. Kekristena bukan agama pitiful seperti itu, tapi agama yang bebas, agama yang memberikan satu pengertian apa artinya hidup di dalam kelimpahan yang sesungguhnya, di dalam perspektif Tuhan, bukan di dalam perspektif manusia.
Ayat 19, akhirnya dia mengambil keputusan, saya akan bangkit dan pergi kepada bapaku, menarik, another klimaks kalau boleh kita bandingkan perikop ini dengan dua perumpamaan sebelumnya dan saya percaya ini bukan berbenturan dengan theology of grace seperti yang seringkali diajarkan dalam theologi reformed, karena di sini tekanannya ada kepada tanggung jawab manusia, ayat ini sama sekali tidak berbenturan, mungkin saudara berpikir, di sini kok dia semuanya yang inisiatif? Katanya kalau di dalam theologi reformed Tuhan yang memanggil, Tuhan yang memilih, di sini dia sendiri yang memutuskan, sebenarnya ini juga reformed di dalam pengertian bahwa reformed meresepsi bagian seperti ini, karena kita ingin balance antara kedaulatan Allah, sovereignty of God, tetapi juga tanggung jawab manusia dan bagian yang di zoom khususnya di dalam perumpamaan ini adalah tanggung jawab manusia.
Kita melihat di situ bagaimana Tuhan memberikan ruang waktu manusia mau menjadi sesat, Tuhan memberikan kemungkinan itu. Justru ini keluasan hati Tuhan, kalau kita bandingkan dengan manusia, kita lebih suka punya pegawai yang tidak ada argumentasi, yang tidak membantah, kita senang sekali karena tidak menghabiskan energi. Jadi Tuhan itu memberikan kemungkinan manusia mau melawan Dia, justru ini bagian keluasan dari hati Tuhan. Kalau kita mau belajar kepemimpinan dari Tuhan, ya yang seperti ini, bukan kepemimpinan seperti orang-orang Timur, mau kontrol semua, setiap hari menelepon, tidak sadar bahwa dia sudah mencekik orang lain. Di dalam gambaran seperti ini, meskipun Tuhan tahu akan terjadi kejatuhan, tetapi mengijinkan proses itu terjadi juga untuk kebaikan dari pada anak bungsu ini. Yang pergi kan anak bungsu ini? Tuhan kan tidak menghalangi? Saya percaya Tuhan tidak menghalangi juga bukan di dalam pengertian melepas dan berkata kamu mau berbuat apa terserah, mau mati, mau masuk sumur, mau rusak bye, bye, bukan, Tuhan bukan gambaran seperti itu.
Tetapi Tuhan masih care, saya percaya, waktu Tuhan melepas, Dia melepas dengan hati yang penuh dengan duka cita, tetapi Tuhan yang tahu bahwa akan terjadi kerusakan sekaligus adalah Tuhan yang tahu bahwa ini satu saat akan kembali. AnakKu suatu saat akan kembali di dalam penglihatan Tuhan, tapi waktu kita membaca di dalam perumpamaan ini, bagian kemahatahuan Allah dsb., itu bukan yang di zoom, yang di zoom di sini adalah dari sisi anak bungsuNya, dari sisi yang terhilang. Dia sendiri yang memutuskan untuk meninggalkan ayahnya dan di sini dicatat, dia sendiri juga yang memutuskan untuk bertobat, yang percaya kepada Yesus Kristus itu siapa, ya orang ini, manusia yang berdosa, bukan Yesus bertobat kembali kepada Yesus, bukan, tetapi manusia yang berdosa yang kembali kepada Yesus.
Dan di sini kita melihat ada satu bagian dalam perumpamaan ini yang membicarakan perspektif dunia manusia, bukan dari perspektif kedaulatan Allah, ini tetap betul dan selalu betul, tapi perikop ini tidak sedang menekankan bagian itu, tetapi menekankan bagaimana manusia itu harusnya berespon. Termasuk kalau dia salah berespon, kalau dia kemudian memilih untuk menjadi sesat, menjadi liar dan akhirnya dia sendiri juga yang harus kembali, dia bangkit pergi kepada bapaknya, berkata kepada bapaknya, aku telah berdosa terhadap bapak dan terhadap sorga, aku tidak layak lagi disebut anak bapak, jadikan aku sebagai salah seorang upahan bapak. Sangat menarik, justru bagian ini adalah pemulihan dia punya keanakan, identitas anaknya itu justru dipulihkan dengan turning point ini.
Sekali lagi ini pengajaran paradoks, orang yang terus bicara saya anak, saya berhak, sebetulnya justru yang paling tidak berhak, tapi orang yang merasa saya hamba, hanya budak, Tuhan yang berhak, ini yang justru anak. Tapi sekarang ada ajaran yang membalik, orang yang terus berkata budak, hamba belum mengenal kasih karunia, dia mempunyai mentalitas budak, ini adalah pengajaran setan, karena terbalik 180, kita tidak mendapati pengajaran seperti ini di dalam alkitab, kita mendapati justru orang-orang yang mengerti keanakannya adalah orang-orang yang tidak merasa layak menjadi anak. Dia tidak mau klaim lagi bahwa dia adalah anak dan berhak menjadi ahli waris, tidak, justru dia mau menjadi upahan dan merasa bahagia, dan tidak akan mati kelaparan even sebagai hamba.
Waktu dia masih jauh, ayahnya telah melihatnya dan dia tergerak oleh belas kasihan, sangat kontras dengan teman-temannya, orang-orang tempat dia bekerja yang tidak ada seorang pun memberikan makanan kepadanya, manusia yang dingin dan hati bapak yang penuh belas kasihan. Dari jauh ayahnya sudah melihat, apa maksudnya? Ini bagian yang agak minor, tapi sebetulnya ayahnya itu menunggu, kalau tidak, dia tidak akan melihatnya bukan? Ayah yang menunggu dengan sabar, proses kejatuhan itu diberikan waktu oleh Tuhan, mau jatuh, mau sesat, mau minta daging saya kasih dengan pedih, dengan dukacita, kamu tidak bisa handle itu, tapi tetap minta, tidak peduli bisa atau tidak bisa meng-handle-nya kasih saya, akhirnya Tuhan kasih, setelah dikasih, jatuh.
Tapi ayahnya menanti sampai akhirnya kembali, kembali kepada bapak, puji Tuhan kita membaca di dalam cerita ini akhirnya dia betul-betul kembali, dia melihat keadaannya yang miskin, telanjang, keadaan yang memalukan itu. Ternyata kehadiran bapak bukan kehadiran yang menyiksa, yang disturbing, tetapi kehadiran yang memberkati, dia diterima, ayahnya berlari, merangkul dan mencium dia. Bagaimanapun cerita ini sangat dramatis, tetapi kalau kita membaca di dalam perumpamaan ini, tetap fokusnya sebetulnya bukan kepada anak bungsu, walaupun cerita anak bungsu lebih panjang dari cerita anak sulung, ini cuma mengatakan, sharing isi hati Allah yang dipenuhi belas kasihan kepada orang-orang Farisi, ahli Taurat, apakah ada resonance waktu mendengar anak bungsu kembali? Zoom sebetulnya bukan pada anak bungsu, tetapi pada anak sulung, waktu mendengar cerita ini bagaimana?
Kita tahu, saudara dan saya ada pada posisi anak bungsu, karena kita juga sudah jatuh di dalam dosa dan akhirnya Tuhan menerima kita, cerita tidak berhenti sampai di sini, setelah kita diselamatkan ada orang-orang yang juga menempati posisi anak bungsu ini, kita ada resonance atau tidak ya, seperti hati bapak yang juga ada belas kasihan, bukan nyukurin orang yang jatuh di dalam dosa, bukan judgemental orang yang ada di dalam dosa, bukan, tetapi belas kasihan. The sharing of God heart untuk kita semua dan kita diundang untuk memiliki kehidupan yang seperti ini di dalam kehidupan kita, ada beda orang kristen dengan orang yang non kristen, salah satunya seharusnya adalah memiliki hati yang penuh dengan belas kasihan untuk orang yang jatuh dalam dosa, orang gagal dst., kiranya Tuhan memberkati kita semua. Amin.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (AS)