Salah satu hal yang patut membuat kita cukup terganggu dari pengakuan iman yang kita miliki adalah tentang Firman Tuhan. Gereja kita memberikan penekanan tentang doktrin Alkitab; Alkitab kita tidak bersalah dalam hal apapun yang diajarkannya dalam naskah aslinya; baik secara keilmuan, sejarah, ataupun hal apapun juga. Doktrin ini disebut sebagai ineransi; Alkitab kita bebas dari eror. Doktrin ini secara logis mengikuti pandangan klasik kita akan pewahyuan; yaitu bahwa Akitab adalah wahyu Allah; diinspiiirasikan oleh Roh Kudus sehingga pasti 100% bebas kesalahan. Yang mengganggu kita terutama bukanlah pernyataannya; namun dampaknya. Bila teks ini adalah inspirasi Roh Kudus yang tanpa salah maka apa dampaknya buat kita SEKARANG???
Banyak sekali sarjana Akitab, baik mereka yang berkomitmen bahwa Alkitab bersifat Ilahi, ataupun mereka yang menganggap Alkitab adalah tulisan manusia belaka yang layak untuk kita teliti berbicara dan menulis ratusan halaman mengenai Alkitab. Dalam dunia ini ada banyak sekali tulisan atau teks yang pernah memberikan signifikansi besar buat perubahan zaman; beberapa kalimat dari Komunis Manifesto pernah membawa perubahan yang dahsyat; tak kurang kita bisa mendaftarkan perkataan-perkataan Hegel, Gandhi, Lao Tze ataupun yang lain yang telah kita saksikan membawa perubahan yang sangat drastis dalam hidup umat manusia. Kita mungkin sering mendengarkan khotbah orang-orang yang berusaha untuk mengkritik konsep-konsep tersebut; menyatakan bahwa konsep tersebut kafir, ataupun salah disini dan disana. Setelah itu dengan getol dan semangat yang berapi-api menyatakan bahwa Alkitab lebih unggul dari segalanya. Namun setelah ditanya lebih lanjut, apa dampaknya??? Kita mulai tersipu-sipu malu. Demikian masih perlukah kita teriak tentang sola scriptura???
Teks yang kita baca saat ini mengingatkan kita akan hal ini. Raja-raja, besar kemungkinan ditulis oleh orang Yahudi pada masa pembuangan untuk menunjukkan bagaimana mereka bisa dibuang. Dari banyaknya kutipan dari kitab Ulangan kita dapat tarik kesimpulan bahwa penulis cukup piawai dalam bagian kitab tersebut khususnya berkaitan dengan hukum Tuhan. Dalam hal ini penulis memberikan penjelasan dalam kacamata historis dalam terang hukum dan perjanjian. Dia menyatakan bagaimana nasib bangsa sangatlah dipengaruhi bagaimana sikap para raja Israel (Utara dan Selatan) berkenaan dengan Firman Tuhan. Penulis tidak tertarik dengan berbagai pencapaian militer mereka, ataupun berbagai detail penting dalam hidup seorang dalam masa tertentu. Untuk detail kisah, seringkali penulis memberikan referensi kepada kitab-kitab lain (kitab sejarah Raja-raja Yehuda ataupun Israel). Yang menarik bagi mereka adalah bagaimana sikap bangsa tersebut terhadap Firman Allah; apakah mereka menunjukkan bakti dan kesetiaan kepada Allah seturut Firman-Nya ataukah mereka melakukan penyelewengan.
Omri, sebagai satu contoh, menilik pentingnya tindakan militer dan politiknya, salah satu yang tercemerlang adalah ketika dia membuat Samaria menjadi ibukota Israel Utara, namun demikian penulis hanya rela menuliskan 6 ayat utuk berbicara tentang dia; pun demikian dengan Yerobeam 2 (bin Yoas), seorang raja yang mana dalam kepemimpinannya Israel memperoleh popularitasnya yang paling tinggi dibanding pada masa raja-raja lain (setelah Daud dan Salomo), Alkitab tidak mencatat detail kejadian-kejadian penting dalam pemerintahan dan tindakan militernya. Demikian maka kitab ini mengusung pentingnya peran kenabian (yang membawa Firman Allah). Hal ini tercermin dengan beberapa kali (setidaknya 11 kali) pernyataan bahwa perkataan nabi tergenapi. Sekali lagi; kitab ini menceritakan bagaimana bangsa tersebut terbuang; yaitu karena mereka melakukan penyelewengan terhadap berita Firman Allah, berbalik dan membelakangi-Nya bertolak-tolakan dengan pandangan kenabian. Mari kita lihat dengan diri kita; sekumpulan umat yang gemar mendengung-dengungkan pentingnya Firman Allah, doyan berseru-seru sola scriptura dan bangga atas jargon-jargon setengah keren seperti ineransi. Adakah kita telah giat meneliti Firman Allah, adakah kita mendengarkan apa yang tertera didalamnya; ataukah dengan iman setengah hati kita menghadiri perkumpulan tiap minggu dan bersabar mendengarkan seorang penginjil ngomel diatas mimbar selama 45 menit, dan dalam basa basi (yang mulai basi) kita berkata Firmannya bagus tanpa berani menantang diri, bagus apanya, apa dampaknya, mau saya apakan??? Raja-raja memberikan teguran pahit; sebuah bangsa dibuang Tuhan karena ketidaktaatannya, karena respon negatif terhadap Firman Tuhan. Adakah Raja-raja ini masih Firman Tuhan; masaihkah kita bilang bahwa kitab ini memiliki penjelasan nan berkuasa seperti ketika itu dituliskan; ataukah perkataan Tuhan ini telah expired karena terlalu tua???
Berkenaan dengan tema diatas; cukup mudah dimengerti bahwa salah satu raja yang dicatat dengan perhatian khusus adalah Ahab. Ahab bukanlah seorang dengan pencapaian militer yang sangat perlu ditanggapi dengan serius; namun penulis sengaja memasukkan kisah Ahab secara cukup detail karena perannya yang sangat penting didalam keruntuhan Israel. Dalam satu episode kitab Raja-raja pada zaman Ahab kita melihat dimana suatu hari seorang nabi TUHAN berhadapan dengan 450 nabi Baal. Dan hari itu, dengan sangat dramatis dibuktikan bahwa perkataan Elialah yang benar; karena dia merupakan perwakilan Allah, nabi TUHAN yang sejati. Ketika dia menyatakan kering, maka kering, ketika dia meminta api maka turun api, dan ketika dia meminta hujan, maka hujan turun. Perkataan Firman Allah, yang diteruskan kepada umat melalui nabi Tuhan yang setia menjadi kenyataan; dan ironisnya, realita selanjutnya adalah Elia dikejar-kejar untuk dibunuh.
Dalam kisah yang kita baca saat ini kita melihat kejadian yang mirip. Masih dengan Ahab sebagai langganan tokoh antagonis; dihadapannya ada seorang nabi TUHAN yang sejati dan 400 nabi palsu. Mereka sama-sama bernubuat namun menubuatkan yang berbeda. Dan akhirnya sama saja yaitu bahwa nabi TUHAN tersebut akhirnya ditangkap dan dianiaya. Mereka tidak menyadari bahwa Firman TUHAN adalah Firman TUHAN. Ini bukanlah sekedar perkataan Elia, Mikha. Seringkali tidak terlalu mudah mengerti hal ini; ada Raja Israel, Raja Yehuda, 400 nabi, dan ada seorang Mikha yang bersuara sumbang dan minor; namun sekali lagi, ini bukan sekedar suara mikha, ini adalah Firman TUHAN yang pasti terlaksana. Cukup mudah bagi kita untuk melihat Firman hanyalah sekedar tumpukan buku bersampul hitam terbitan LAI yang berharga beberapa puluh ribu rupiah saja; atau mendengarkan khotbah sebagai perkataan orang belaka. Bukankah kita sering memperkatakan khotbah si anu bagus, khotbah si anu rada membosankan. Terkadang kita mulai kehilangan kesadaran bahwa Allah sedang memakai itu untuk berbicara, membicarakan Firman TUHAN.
Inilah yang terjadi, para nabi peliharaan Ahab berbicara menurut apa yang menyenangkan raja. Firman merupakan barang dagangan, sebuah komoditas yang akan menjual jabatan para nabi demi periuk nasi mereka. Disini kita melihat ada penurunan standar dalam skala yang sangat besar. Firman TUHAN, yang dalam skema kitab Raja-raja ini menjadi satu hal yang mana kehidupan bangsa bergantung daripadanya, kini terjun bebas menjadi barang dagang murahan yang dipakai untuk para nabi berkoar-koar seperti badut untuk menyenangkan pendengar (dalam hal ini raja). Inilah kecelakaan besar pertama, yaitu bahwa nabi telah menurunkan standar Firman Tuhan. Bukankah secara memilukan ini menjadi realita yang tidak berbeda dengan zaman kita saat ini. Betapa banyaknya “penguasa” yang doyan dengan berita yang menyenangkan telinga. Memang penguasa disini tidak harus raja; pada zaman kita penguasanya adalah pendengar, banyaknya pendengar menghasilkan oplah yang banyak dan hal ini menyebabkan omzet (persembahan) naik.
Hal ini akan menjadi jaminan bagi periuk nasi para nabi sementara kantong para pendeta membengkak dijejali oleh hasil kerja umat (warga gereja) yang terhibur dengan perkataan manis para nabi (pendeta) palsu ini. Bukankah ini persis dengan kisah yang kita baca; seorang yang semestinya menyandang peran nabi; alih-alih sibuk melakukan eksegesis bertekun dalam doa memohon Allah menyatakan kehendak-Nya justru berusaha menjadi badut yang beratraksi diatas panggung; mengundang decak dan tepuk tangan banyak orang yang pada gilirannya membayar karcis hiburan tersebut dengan nama persembahan sambil dalam hatinya berharap dapat “lotre rohani” 10x lipat dari yang telah diberikannya.
Bagaimana dengan gereja kita??? Mirip; hanya saja kita cukup mengenal pasar; pangsa pasar GRII bukanlah orang yang ketagihan berkat, namun dengan adanya kesuksesan yang sangat besar; GRII ketagihan dengan pengkhotbah yang “sophisticated”, ataupun pengkhotbah yang gemar menegur dengan tajam. Orang yang ketagihan teguran seperti orang yang makan sambal; rasanya pedas namun terus dicari; dan para pengkhotbah cukup mengenal pasar. Maka dengan melakukan rentetan teguran pengkhotbah-pengkhotbah mengesankan diri sebagai hamba Tuhan yang layak menyandang gelar “hamba Tuhan yang tegas dan berani” dan dengan bualan beberapa nama asing plus dibumbui sedikit perkataan bahasa Yunani dan Ibrani boleh menyandang nama sebagai “pengkhotbah tajam dan pintar”.
Bukankah ini mirip badut; ada yang memakai bedak warna putih ada yang merah, ada yang perut buncit ada yang badan kurus; semua disesuaikan dengan pangsa pasar; yang penting dapat oplah. Maka ketimbang serius menggali Firman Allah, para pengkhotbah lebih sibuk memikirkan performanya diatas panggung; menarik tidak menariknya atraksinya, dan yang paling ditunggu adalah sambutan meriah, tepuk tangan penonton yang menyatakan khotbahnya baguuus sekali, anda sangat terpelajar dan pintar, saya sungguh terberkati.
Lagi-lagi identitas hamba Tuhan turun standar jauuh, dari Pemberita Firman yang mana seluruh bangsa bergantung nasibnya, menjadi sekedar perebutan pengakuan yang diarahkan untuk menjadi modal dagang, daya jual pengkhotbah demi periuk nasinya. Ini merupakan sebuah realitas menyedihkan yang agaknya jauh lebih mudah kita amati ketimbang kita sikapi. Kita hidup dalam zaman yang merajakan konsumen; apapun keinginan kita bisa di customize (asal berani bayar); mau makanan jenis apa, mau kendaraan seperti apa, bahkan mau rupa seperti apapun kita bisa dapatkan sekarang. Maka membawa sebuah pesan dimana kita harus menurut Firman ketimbang membawa Firman mengkonfirmasi kemauan kita sungguh tidak gampang.
Mikha menolak untuk bergabung dalam kumpulan para nabi yang mengecilkan arti Firman tersebut. Alkitab mencatat bagaimana Mikha memeragakan dengan sangat baik tentang bagaimana seorang hamba TUHAN yang sejati hidup, dengan segala kerendahan hati dia berdiri dihadapan tahta Allah, dan dengan segala ketegasan, kepastian, dan keberanian dia berdiri dihadapan tahta manusia. Tidak dengan rayuan yang berfokus kepada keamanan dirinya, namun dalam segala ketegasan dia menyampaikan kalimat penghakiman yang paling keras, yang paling tidak disukai oleh penguasa waktu itu. Mikha bahkan memperolok para nabi palsu dan kegemaran gila Ahab akan firman palsu dengan menirukan para nabinya. Responnya kita lihat bagaimana raja langsung menjatuhkan penghakiman. Ini menjadi poin kedua yang sangat gawat, yaitu bahwa penguasa telah sangat terkorup, sehingga telinganya hanya mau mendengarkan apa yang dia mau dengar, apa yang disenanginya.
Sekali lagi mari kita lihat pada masa dan gereja kita; penguasa saat ini bukanlah manusia tunggal yang bergelar raja; kini massa/umat/ jemaat yang memiliki peran dalam “kuasa” tertentu. Jemaat (khususnya dalam gereja presbiterian) memiliki peran yang cukup sentral; jemaat bisa menentukan diteruskan atau tidaknya seorang hamba Tuhan. Dan akan sangat celaka bila jemaat mulai bergeser, lebih suka dengan kepintaran, kemenarikan, atau yang lebih menyedihkan lebih suka pada kesan menarik, kesan pintar, dan terkesan berani ketimbang kesetiaan penggalian Firman Tuhan dan perjuangan pembentukan diri oleh kuasa Firman. Dua poin diatas bila dipadukan akan menjadi kecelakaan besar; jemaat menghendaki khotbah yang “menarik” menurut pandangan mereka, sementara hamba Tuhan juga berusaha seperti badut menjadi mahluk yang “menarik” dengan banyak kata-kata ajaib diatas mimbar gereja; dimana dua hal ini memimpin pada kerusakan fatal yang ketiga, yaitu Firman Tuhan menjadi jarang.
Pada masa Ahab kita melihat bahwa korps para nabi didominasi oleh nabi palsu, dengan Firman palsu. Korps para nabi ini sudah sepakat untuk berkata-kata yang menyenangkan hati penguasa. Disini Firman Allah yang benar menempati posisi yang sangat minor dalam hidup umat Allah. Firman Tuhan yang sejati justru disingkirkan, dan diingkari dengan ancaman Ahab yang menahan Mikha hingga dia pulang dengan selamat. Firman Tuhan menyatakan bahwa dia akan mati terbunuh, namun dia mengingkarinya dengan menyatakan bahwa dia akan pulang dengan selamat. Sang nabi Tuhan tidak mampu digentarkan oleh ancaman sedemikian, dia sekali lagi menegaskan bahwa Firman Tuhan pasti terjadi (dan kita melihat bagaimana akhirnya Ahab tewas terbunuh).
Mari kita renungkan satu hal; Ahab telah melihat dalam peristiwa Elia dan para nabi Baal sebuah peragaan yang menyatakan siapa TUHAN, siapa nabi TUHAN, dan apa Firman TUHAN; namun dalam kebebalannya dia mengesampingkan itu semua dan kini secara aktif menentang Firman Allah. Ahab masih hidup dan berharap Firman melalui Mikha salah; dan kita lihat akibatnya dimana Ahab terbunuh; lebih jauh lagi kita melihat dalam bangsa Yehuda, dimana mereka akhirnya dibuang TUHAN karena mengesampingkan Firman TUHAN ini. Kini dalam zaman kita, kita telah melihat jauh lebih banyak dari yang dilihat Ahab; kita melihat bagaimana Ahab mati terbunuh dan Firman sekali lagi tergenapi (Ahab belum melihatnya ketika dia hidup tentunya), kita melihat bagaimana bangsa itu dibuang. Untuk kita yang telah melihat jauh lebih banyak, jauh lebih lengkap; bahkan kita kini bisa melihat seluruh Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, kini apa kira-kira upah setimpal yang harus kita terima bila dalam anugerah sebesar ini kita masih berani mengabaikan Firman???
Kita mungkin merasa saat ini bahwa di gereja kita hal ini tidak terjadi kok. Pertama, Alkitab mudah didapat dan kapanpun saya mau saya BISA membacanya. Kedua, kita ini ada di GRII; PA melimpah, khotbah pun banyak, panjang-panjang lagi. Mari kita bertanya bersama; seberapa banyak yang tercerna, termeditasi, terhidupi dengan baik??? Bahkan sebelum kesana, seberapa banyak kita peduli dan berhasrat untuk menghidupinya??? Firman Tuhan jarang bagi kita, meski agaknya fasilitas melimpah namun sudah mulai jarang. Seberapa jauh kita membiarkan diri kita terbenam dalam pembacaan Alkitab sederhana kita setiap hari, dalam hasrat besar untuk menghidupinya ditengah situasi Jakarta yang diwarnai oleh nuansa buru-buru ini??? ketika Firman TUHAN mulai menjadi jarang bagi kita; kita perlu meminta dengan serius untuk Allah sudi berfirman bagi kita. Kitab Raja-raja sangat jelas menyatakan hal ini; mulai dari Saul yang ditinggalkan oleh Firman, hingga kisah penolakan Ahab terhadap Firman ini.
Hal keempat yang bisa kita renungkan adalah ketika kita menolak perkataan Firman, kita mengabaian penggenapan Firman, yang terjadi adalah penggenapan Firman yang menghakimi. Ahab menghitung dengan cermat bagaimana dia harus berperang; dia menyamar sebagai prajurit biasa yang memang tidak dijadikan target pasukan Benhadad. Namun kita melihat sekali lagi Firman TUHAN adalah Firman TUHAN. Penghakiman benar-benar terjadi; prosesnya sederhana; telinga Ahab ditebalkan untuk tidak mendengar perkataan Firman, hal tersebut terjadi supaya pada akhirnya penghakiman benar-benar dijatuhkan. Seorang yang memanah dengan sembarangan saja membidikkan panahnya dan mengenai sambungan baju perang Ahab. Apa yang difirmankan Allah tentang penghakiman bagi Ahab benar-benar terjadi. Ahab salah satu tokoh antagonis penting dalam kitab Raja-raja; membangun berbagai istana megah, dan terakhir dengan dibaringkan dalam kubur nenek moyangnya; darahnya dijilat anjing dimana disana juga dipakai untuk mandi para pelacur. Adapaun itu adalah telaga yang dibangun Omri, seorang raja jahat lain yang digambarkan dalam kitab ini.
Kisah ini menjadi sebuah peringatan keras, sekaligus kesaksian pahit bagi umat Allah yang mengabaikan Firman-Nya. Kini adakah kita, baik hamba Tuhan, baik jemaat, semua dari kita; adakah kita ingin memainkan kembali peran kebebalan Ahab dan skema kitab Raja-raja, ataukah dalam tetesan air mata dan dalam penyesalan pilu kita berseru lirih: Tuhan kasihanilah kami, berikan kami Firman-Mu, karuniakan keberanian bagi kami untuk merenungkan dengan serius dan mentaatinya???
GOD be praised!!!
Ringkasan khotbah ini sudah diperiksa oleh pengkhotbah (EA)