Kita sudah membahas bagian tentang pengusiran setan dari ayat 14-23, lalu Yesus yang dituduh mengusir setan dengan kuasa Belzebul, lalu dalam bagian ini Yesus menyambung dengan satu diskursus yang kurang lebih mirip yaitu tentang roh jahat. Saya pikir bagian ini bisa menjelaskan dirinya sendiri, self explaining, intinya adalah di situ Tuhan memberikan kepada kita pengajaran tentang keadaan satu orang yang setelah roh jahat keluar dari dirinya, tetapi dia tidak pernah mengalami satu pertobatan yang sejati. Dalam bagian ini kita disajikan satu prinsip sederhana yaitu bahwa mengalami kuasa atau bahkan mungkin kuasa yang asli dari Tuhan, tetapi tidak memiliki satu pengalaman pertobatan yang sesungguhnya, itu tidak akan membawa orang tersebut kemana-mana, malah alkitab mengatakan, keadaannya akan lebih jelek, lebih buruk daripada keadaan yang semula. Jadi kekristenan bukan soal setan diusir, bukan sekedar penaklukan dari kuasa jahat saja, tetapi Yesus mati di atas kayu salib dan Dia bangkit, terutama karena mau memberikan diriNya, memberikan satu persekutuan yang hidup kepada mereka yang percaya kepadaNya, jadi bukan sekedar mengalahkan kuasa jahat.
Ada kekristenan yang sangat berkonsentrasi untuk mengalahkan kuasa jahat, tetapi bersamaan dengan itu tidak terlalu peka dengan bagaimana melayani jiwa manusia dengan compassion dsb., seperti hidup di dalam satu pertempuran yang tidak habis-habis dengan kuasa supranatural. Waktu Yesus mengusir setan, konsentrasinya bukan pada setan-nya tetapi kepada orang yang dirasuk tersebut, orang yang kemudian dilepaskan daripada ikatan tersebut, seperti dalam perikop yang sudah kita bahas minggu lalu, orang yang tidak bisa berkata-kata, akhirnya dia bisa berkata-kata, bisa mempermuliakan Tuhan dst., padahal sebelumnya bisu. Itu menjadi higher goal dari pada sekedar setan yang ditaklukkan, jadi kita harus hati-hati dengan distorsi seperti ini dalam kekristenan dan bahkan juga dalam kehidupan agama-agama yang lain, karena mengalihkan perhatian pelayanan kepada manusia itu sendiri menjadi satu demonstrasi, semacam tanda mengalahkan kuasa-kuasa supranatural.
Di dalam bagian yang cukup pendek ini memberikan satu prinsip yang cukup sederhana yaitu waktu roh jahat meninggalkan dia, mencari tempat-tempat tandus, tidak mencari perhentian, dia akhirnya berpikir untuk kembali lagi kepada orang yang sama dan ternyata dia mendapati bahwa orang itu di dalam satu keadaan yang belum memiliki satu persekutuan yang hidup dengan Tuhan. Kekristenan bukan sekedar memberikan satu perasaan simpati kepada banyak orang akan betapa mulianya agama kristen, bukan, ada banyak orang yang seperti ini, yang kagum sekali dengan pengajaran kristen atau bahkan dengan pengajaran Yesus. Tetapi pertanyaannya adalah apakah kita memiliki satu hubungan pribadi dengan Tuhan? Apakah kita membawa orang tersebut, orang yang kita layani memiliki hubungan pribadi dengan Tuhan?
Kalau boleh kita perluas bagian ini, memang di sini kita percaya, pengertiannya literal, harfiah, betul-betul dirasuk roh jahat, tetapi keluar dari diri manusia, likely di dalam keadaan seperti itu, itu lebih menyambung dengan ayat sebelumnya yang juga tentang seorang yang dari dalam dirinya diusir satu setan. Tetapi kita bisa melihat kerusakan pikiran manusia yang juga ada kaitan dengan pekerjaan daripada roh jahat, maksudnya adalah bukan harus di dalam arti bahwa dia dirasuk setan, kerasukan dsb., tetapi kita melihat kadang-kadang ada fenomena betapa sulitnya menyampaikan firman Tuhan kepada orang yang ideologinya sudah terlalu jauh, melawan injil, berseberangan dengan injil, seperti ada selaput yang tidak bisa keluar daripada matanya, sehingga dia tidak bisa melihat kemuliaan Kristus. Orang-orang seperti ini mungkin adalah orang-orang yang cukup tinggi moralnya, bahkan bisa saja mengetahui ajaran Yesus, bisa mengutip sana sini dsb., tetapi mereka seperti jauh sekali daripada Kerajaan Allah, seperti pekerjaan setan menutupi mereka untuk bisa mengerti kemuliaan Kristus. Kita harus menangkap momen-momen waktu orang itu sudah dekat sekali dengan Kerajaan Allah, lalu mulai terbuka, jangan kita melewatkan kesempatan tersebut, karena waktu seseorang tidak ditangkap di dalam kuasa injil, yang terjadi di dalam kehidupannya adalah dia hanya menjadi orang yang semakin lama semakin buruk menurut gambaran bagian ini (ini dalam pengertian yang lebih luas).
Jangan kita lupa bahwa ada kejahatan-kejahatan umat manusia yang simply unthinkable, tanpa dikaitkan dengan pekerjaan roh jahat, saya pikir orang seperti Nero, Hitler dsb., ada satu riset yang mengkaitkan antara Hitler dengan okultisme, itu bukan hanya pekerjaan manusia, tetapi ada pekerjaan supranatural. Kita tidak mengatakan Hitler dirasuk setan, bukan, tetapi satu jenis, karena pekerjaannya itu so evil, sampai kita tidak bisa memikirkan dari perspektif kemanusiaan, itu sesuatu yang unthinkable. Ada pekerjaan iblis, ada pekerjaan roh jahat yang membutakan bukan hanya seorang manusia, tetapi hampir seluruh bangsa dan bagaimana dia memiliki satu kekuatan karismatis untuk mempengaruhi, kalau bisa seluruh dunia dan banyak orang tercengang, dan mengikuti dia. Di dalam keadaan seperti ini, waktu seseorang dilepaskan dari satu roh jahat tersebut, tetapi tidak pernah dibangun satu pengenalan yang jelas akan Yesus Kristus, kita hanya menciptakan orang-orang yang dipengaruhi secara culture mandate kekristenan, tetapi tidak ada hubungan yang sejati dengan Tuhan. Saya pikir kita harus seimbang dalam melakukan keduanya, antara evangelical mandate dan culture mandate, mandat injil dan mandat budaya.
Kita harus menekankan dari pengaruh struktural dari iman kristen, termasuk juga di dalam kemungkinan kalau akhirnya orang tidak bertobat. Tetapi kita sudah menabur spirit kristen (seperti kerendahan hati, kejujuran, pengampunan, belas kasihan dst.), kalau orang di bangun dalam spirit seperti itu, entah pada akhirnya dia percaya atau tidak percaya, kita sudah memberikan kemuliaan kepada Tuhan. Tetapi ini tidak berarti lalu kita mengalihkan perhatian atau kita tidak mementingkan saat-saat dimana Tuhan membuka kepada kita satu kemungkinan untuk memberitakan injil, khususnya bagi mereka yang sudah dibuat Tuhan menjadi receptive, orang yang terbuka, lalu kita memberitakan Yesus Kristus di dalam kehidupannya. Itu menanam sampai kepada kekekalan jiwa seorang manusia yang akhirnya beroleh keselamatan yang sejati. Ini adalah satu dorongan bagi saudara dan saya, waktu kita memiliki teman di dalam kehidupan kita, baik dalam pekerjaan, tetangga dsb., tidak cukup hanya dengan membuat mereka tidak anti kristen atau bahkan sangat simpati dengan kekristenan, itu tidak cukup. Kan mirip seperti dalam bagian ini, roh jahatnya sudah keluar, tetapi orang ini mungkin akan diganggu lagi dengan tujuh roh jahat yang lain yang akan membuat mereka pada akhirnya tidak bisa mengerti tentang Yesus Kristus. Jadi tidak cukup, apalagi kalau Tuhan menggerakkan, oleh karena itu kita perlu memberitakan injil, supaya dia mengalami persekutuan yang sejati dengan Tuhan, lalu menikmati hidup di dalam realita Kerajaan Allah, satu tema yang terus-menerus diberitakan oleh Yesus Kristus.
Kita masuk dalam perikop berikutnya satu isu yang menarik, salah satu ayat yang bahkan juga seringkali menjadi sandungan bagi orang-orang di dalam budaya Timur, khususnya waktu mereka tidak bisa menerima. Kenapa Yesus memberikan satu pengajaran yang sepertinya anti mengasihi keluarga seperti ini? Di dalam budaya Timur kita sangat menekankan kasih mengasihi sesama anggota keluarga, lalu Yesus mengatakan kalimat yang sangat dingin dan seperti sangat tidak compassionate, malah di dalam pikiran orang Timur, jangan-jangan berbunyi seperti agak kurang ajar seperti ini. Tetapi justru persoalannya adalah bukan pada Yesus, tetapi pada konsep budaya Timur yang keliru tentang keluarga. Yesus tidak mungkin salah dalam mengatakan kalimat ini, kalau kita dengan rendah hati menerima ini, ya cukup, ini adalah wahyu Allah, ini adalah kebenaran firman Tuhan. Tetapi kenapa ayat-ayat seperti ini berbicara offensive untuk kita, di dalam culture kita, seperti menimbulkan ketidakmengertian dsb., justru dalam saat-saat seperti ini menyatakan bahwa culture yang kita hidupi ini sedang berbenturan dengan prinsip yang diberitakan oleh Yesus Kristus. Pada waktu tidak ada benturan, ya ayat ini tidak terlalu offencive, mungkin kita bisa menerima, oh iya iya kita juga mengerti seperti itu. Tetapi kalau ada kalimat-kalimat yang berbau provokatif untuk budaya kita, kita percaya, ada sesuatu yang perlu kita benahi dari culture kita dan perkataan Yesus tidak perlu dibenahi.
Ini adalah satu gambaran yang sederhana, seorang ibu yang kita percaya setelah dia mendengarkan Yesus berkhotbah, lalu seperti membayangkan, wah…. mungkin alangkah indahnya kalau saya ini adalah Maria, sebagai ibu yang terkenal sekali dari pembicara massal, pasti ada kebanggaan dong ya kan? Mungkin anaknya si ibu tidak seberhasil Yesus, lalu dia pikir-pikir wah senang sekali ya jadi Maria, punya anak yang terkenal dan berhasil. Kita kan juga begitu bukan? Kalau memiliki saudara yang terkenal (bukan keburukannya), biasanya kita juga ikut bangga sebagai keluarga, dst., itu kan satu pikiran yang wajar. Lalu si ibu ini mencoba untuk menempatkan diri dalam posisi Maria, “berbahagia ibu yang mengandung Engkau, susu yang telah menyusui Engkau”, satu perkataan yang seperti wajar, tetapi Yesus kemudian seperti menjawab dengan satu kalimat yang menyiram dengan air dingin, “yang berbahagia adalah mereka yang mendengarkan firman Allah dan memeliharanya”.
Kita percaya, kalimat ini mungkin tidak terlalu menyakitkan ibu ini sebagaimana menyakitkan Maria, memang tidak terlalu ditulis di dalam bagian ini Maria ada atau tidak. Mungkin ada, mungkin tidak, kita tidak tahu, alkitab tidak memastikan 100% tapi ada ayat yang dicatat di dalam firman Tuhan bahwa akan ada tusukan masuk ke dalam hati Maria, itu dicatat di dalam alkitab, apakah bagian ini salah satunya, ya mungkin saja, kita tidak tahu. Yang pasti Maria sebagai ibu Yesus mengalami satu pergumulan yang tidak mudah di dalam kehidupannya, termasuk juga kalau seandainya dia ada di dalam catatan dari perikop ini. Coba kita bayangkan seseorang yang membesarkan secara lahiriah, kita tahu Yesus memang bukan hanya manusia, tetapi Dia juga adalah Tuhan sepenuhnya, tetapi manusianya juga 100% dan Dia dibesarkan secara manusia, Tuhan sih tidak perlu dibesarkan manusia, tetapi sebagai manusia Dia dibesarkan oleh Maria, lalu Dia menjawab kalimat seperti yang sudah kita baca. Maria bisa kecewa luar biasa, lalu mungkin masuk ke dalam satu keadaan self pity, ini anak kok tidak tahu diri, saya sudah membesarkannya.
Dalam bagian ini yang perlu kita pelajari adalah apa yang dikatakan oleh Yesus Kristus, jatuh seperti satu bom yang mengkoreksi budaya Timur termasuk juga budaya Yahudi pada saat itu dan juga budaya kita yang ada di sini. Budaya apa? Budaya kedekatan dengan keluarga sampai tidak reasonable lagi, kita tahu ada kecenderungan seperti ini bukan? Mungkin dalam budaya Barat bisa juga ada, tetapi maksudnya adalah yang disebut keluarga, anak, suami, istri itu dalam keadaan konflik apa pun mereka selalu benar. Kenapa? Karena dia adalah anak saya, mama saya, suami saya, adik saya dst. dalam keadaan apa pun selalu benar, jadi kita tidak perlu lagi mengkaji tentang persoalannya, apa sih sebetulnya yang terjadi? Tidak bisa, ini keluarga saya, ini adik saya, dst., saya dipanggil untuk membela mereka mati-matian, lalu kita tidak bisa lagi memilah, hal ini wajar menurut dunia.
Apa kira-kira yang membuat Yesus mengeluarkan kalimat tersebut? Salah satunya tadi sudah disebut berbenturan dengan budaya Timur, saya percaya sebetulnya bukan hanya itu, tetapi seolah-olah di sini digambarkan seperti seseorang yang sangat berhutang kepada Maria si ibu yang memang mengadung dan juga menyusui ini. Yesus sudah mengatakan yang ada di sini bukan hanya sekedar seorang manusia, tetapi juga adalah yang sepenuhnya Ilahi dan itu tidak bergantung kepada susu dan kandungannya Maria. Prinsip seperti ini mirip waktu kita baca, waktu Yesus mengkoreksi Maria dalam peristiwa perjamuan pernikahan di Kana, Dia me-rebuke Maria, “hai perempuan, waktuKu belum tiba”, Yesus bukan jadi sensitif diatur-atur, di budaya Timur sepertinya tidak pas sekali kan ya? Karena budaya Timur sebisa mungkin anak selalu menyenangkan orang tua, pokoknya kalau orang yang tidak banyak bicara, bicara apa langsung terjadi, nah inilah yang ideal para pengikut budaya Timur baik dalam keluarga, perusahaan, gereja atau dalam konteks apa pun seperti yang lebih menyenangkan. Tetapi Yesus kemudian menjawab kalimat seperti ini, “women, perempuan waktuKu belum tiba”, Yesus mau mengkoreksi, kamu jangan pikir karena kamu adalah ibuKu, lalu Saya Anak, kemudian dalam seluruh aspek Saya adalah Anak, bukan, Saya juga adalah Tuhanmu dan Juruselamatmu, dan engkau harus menempatkan diri di dalam posisi yang benar dihadapan Tuhan dan Juruselamatmu.
Dalam bagian ini persoalnnya bukan ada pada Maria, tetapi ada pada ibu yang memuji ini kan ya? Yesus seolah-olah mau mengatakan, Saya bukan sepenuhnya bergantung pada Maria yang sudah mengandung dan menyusui, seolah-olah jasanya semuanya diletakkan pada Maria, inilah ibu yang sudah berjerih payah mendidik seorang Anak sampai berhasil, bisa melakukan begitu banyak pekerjaan Tuhan dst. Yesus mau mengatakan, ini pekerjaan Tuhan dengan atau tanpa Maria, ini ada di dalam kedaulatan Tuhan, di dalam penetapan Tuhan, bukan jasa daripada Maria. Sekali lagi dalam budaya Timur kalau boleh kita lihat benturannya, kita selalu bersukacita kalau ada orang berhasil dan kita berbagian di dalamnya, ya kan? Lalu berharap nama kita juga disebut, sedikitnya dalam biografinya atau yang lainnya, lalu kita sedikit jengkel kalau nama kita tidak masuk, padahal utangnya terhadap saya banyak sekali, dst. Ini budaya Timur, tanam jasa, kelihatan seperti melayani orang lain, kelihatan seperti mau memberi berkat kepada orang lain, tetapi sebenarnya yang dilakukan adalah pengejaran image, citra diri sendiri, ini narsisistik.
Saya bukan mau against budaya Timur, bukan, justru karena kita orang Timur makanya kita harus membicarakan banyak hal seperti ini, kita mengikuti Yesus, Dia kan lebih banyak mengkritik budaya Yahudi daripada budaya Babilonia, Amerika, Rusia dll., karena Dia memang melayani Yahudi. Self criticism is always good, kritik kanan, kiri, depan dsb., itu sometimes menunjukkan ketidakdewasaan, just confirm betapa baiknya saya, betapa baiknya kita, tapi kita tidak masuk ke sini. Kembali dalam bagian ini, benturan dengan budaya Timur yang biasa berpikir, ini ada seorang tua yang sedang menanamkan jasa harus dibalas, harus dihargai, dst. Lalu Yesus mengatakan, “berbahagialah mereka yang mendengarkan firman Allah dan memlihara”, di sini Yesus sedang memberitakan firman Allah, lalu Dia menyatakan otoritasNya, yang berbahagia bukan orang yang menjadikan Saya berhasil seperti ini, bukan, ini bukan urusan itu. Di sini jangan campur dengan kemuliaan Tuhan, jangan dicampuradukkan dengan pekerjaan Tuhan yang mulia, jangan masuk yang namanya kemuliaan manusia, termasuk kemuliaan seorang ibu yang betul-betul mulia yaitu Maria, tidak usah dicampuradukkan. Kita tidak layak untuk masuk mencampuri kemuliana Tuhan yang ada di sini. Siapa sih yang betul-betul berbahagia? Yaitu mereka yang taat mendengarkan firman Allah, ini loh yang Saya ajarkan, yang Saya ucapkan, waktu seseorang taat, seseorang memelihara, ini adalah orang-orang yang betul-betul berbahagia, bukan orang yang pernah tanam jasa di dalam kehidupan Saya.
Bagian ini bukan mau mengatakan bahwa Yesus adalah seseorang yang tidak tahu membalas jasa, tidak. Kita sangat terharu waktu di kayu salib, pengalaman yang begitu klimaks, salah satu kalimat yang diucapkan adalah bagaimana Dia memikirkan Maria. Kepada Yohanes dikatakan, “inilah ibumu, ibu inilah anakmu”, bagaimana Dia memikirkan karena Dia akan segera kembali kepada bapaNya yang di sorga. Yesus bukan type orang yang kurang ajar, lalu karena kalimat ini Dia menjadi anti keluarga atas nama pekerjaan Tuhan, tidak. Tetapi kenapa bagian ini penting tetap dikatakan oleh Yesus Kristus? Karena di sini ada pembedaan yang perlu, karena Yesus sebagai manusia sepenuhnya dan Yesus sebagai Allah yang sejati, yang bukan bergantung dan hutang jasa kepada siapa pun.
Kita seringkali mengatakan di dalam iman kristen, kita percaya banyak hal itu harus terjadi secara asimetris dalam pengertian waktu kita berhutang jasa kepada orang lain, ya sebaiknya kita yang berhutang itu mengingat, tetapi orang yang membagikan jasa kepada orang lain ya sebaiknya dia melupakan jasanya, ini namanya asimetris. Tetapi yang terjadi adalah persis sebaliknya, yang ditolong melupakan, dia lupa kalau ditolong, lalu memakai kalimat firman Tuhan, jangan kita memakai paradigma tanam jasa, sayangnya dia dalam posisi yang ditolong, bukan posisi yang menolong. Tetapi di sisi yang lain, orang yang menolong juga cenderung ingat-ingat, walaupun sudah berganti tahun, tetap update di dalam agendanya, tahun 2001 saya menolong si X dalam hal ini dan itu, wah ingat terus, paradigma tanam jasa, ironi, ini asimetris juga, tetapi yang terbalik. Yang ditolong lupa, yang menolong tidak lupa-lupa, kok bisa ya menolong tidak lupa-lupa, orang yang menolong dan tidak lupa-lupa itu biasanya orang yang sepertinya kurang banyak menolong, sampai bisa ingat terus (ya mungkin dia menolong hanya 15 tahun sekali). Tetapi orang yang terus-menerus menolong, ya dia pasti lupa, karena begitu banyaknya dia menolong orang lain, sampai tidak bisa mengingat lagi.
Nah ini menjadi satu gambaran waktu kita melihat pada bagian firman Tuhan, sekali lagi, Yesus mendobrak relativisasi paradigma tanam jasa, meskipun yang mengatakan bukan Maria, seorang ibu yang lain, tapi tetap pikiran seperti ini perlu dikoreksi dan ada sesuatu yang merelativisasi kedekatan hubungan antar keluarga. Kalimat yang dikatakan oleh Yesus, kalau kita baca di dalam kitab Kisah Para Rasul dan kitab injil, kita tahu bahwa Yesus sendiri juga ditolak, bahkan oleh anggota keluargaNya sendiri, ya kan? Salah satu saudara Yesus yaitu Yakobus, dia baru percaya belakangan, waktu kita membaca di dalam injil Yohanes, Yesus ketika itu mau pergi kemana, bahkan anggota keluarganya sendiri menyindir. Kita percaya kalimat ini pasti juga ditujukan kepada mereka, yang berbahagia, mereka yang mendengarkan firman Allah dan memeliharanya, jadi isu ini bukan hanya untuk Maria, karena Yesus juga tidak jadi personal dengan Maria, bukan, tetapi juga kepada seluruh anggota keluarga yang lain. Jangan pikir karena kamu anggota keluarga, lalu kamu pasti akan berbahagia karena berbagian di dalam pekerjaan Tuhan yang sedang terjadi di dalam kehidupanKu. Yesus sepenuhnya melakukan pekerjaan Tuhan, lalu orang-orang menganggap, wah… berbahagia ya seluruh keluargaMu yang juga bisa menikmati kepopuleranNya, Yesus bilang, tidak, yang berbahagia adalah mereka yang melakukan firman Tuhan dan memeliharanya.
Ada certain distance di dalam bagian ini, distance bahkan dengan keluargaNya sendiri, kita percaya bukan karena Yesus sakit hati terhadap anggota keluargaNya, karena tidak mendukung Dia, kekanak-kanakan kalau Yesus seperti itu. Tetapi di sini berbicara sesuatu yang substansial, siapa sih yang betul-betul berbahagia? Yang berbahagia itu bukan ketika ada kedekatan-kedekatan fisik seperti ini, kedekatan fisik kadang-kadang merupakan satu kejauhan spiritual yang luar biasa gap-nya tanpa kita ketahui. Seperti Yudas, dia dekat sekali secara fisik dengan Yesus, seorang pengikut yang physically begitu present, tetapi spiritually selalu absen dari Yesus Kristus. Maka kalimat yang sama siapa yang berbahagia? Jangan pikir orang yang tinggal serumah dengan saya, orang yang tinggal serumah tidak tentu mengikuti pekerjaan Tuhan, tidak tentu mengerti isi hati Tuhan, tidak tentu mendengarkan firman Allah dan melakukannya, bukan mereka yang berbahagia, tetapi yang melakukan dan memelihara firman Tuhan.
Yesus sedang membangun satu konsep dalam kategori keluarga, keluarga dalam pengertian yang lebih luas, merelativisasi kedekatan keluarga secara fisik, yang juga Tuhan hadirkan di dalam kehidupan kita, wah…. sangat berat untuk menghayati hal seperti ini. Karena tidak cocok dengan kebudayaan Timur, budaya Timur itu cenderung sangat eksklusif di dalam persoalan keluarga, coba kita perhatikan pernikahan keluarga budaya Timur yang masih sangat kuat, ada foto bareng keluarga, keluarga yang langsung dan tidak langsung, dst. Jadi dalam budaya Timur itu luar biasa sensitif, mana yang urusan layer dalam, mana yang luar dan mungkin juga mana yang musuh, itu sangat penting sekali untuk kebudayaan Timur. Tetapi Yesus mendobrak bagian ini, siapa sih yang berbahagia? Seolah-olah kalau mau tetap mempertahankan kalimat layer dalam, siapa yang betul-betul layer dalam? Ini loh… mereka yang mendengarkan dan memelihara firman Tuhan, itu yang circle dalam, bukan mereka yang lahir bersama dengan Saya atau tinggal seatap dengan Saya, ini non issue di dalam Kerajaan Allah.
Ada isu yang jauh lebih penting yaitu kedekatan seseorang akan firman Tuhan, yang seharusnya merelativisasi hubungan kita dengan anggota keluarga, sekali lagi, kalimat ini memang berat. Saya sendiri menyaksikan ada orangtua-orangtua yang anaknya sudah salah bagaimanapun terus saja dibela, terus berusaha dimengerti, akhirnya anak itu sendiri juga tidak kemana-mana, tidak bisa maju. Karena seharusnya mengalami disiplin, mengalami teguran yang keras, tetapi terus dimengerti, jadi ini bias orangua terhadap anaknya sendiri, tapi mungkin juga bias seorang anak terhadap orangtuanya sendiri. Yesus merelativisasi bagian tersebut, yang mendengarkan dan memelihara firman Tuhan, dia adalah keluarga yang sesungguhnya, keluarga yang kita berelasi dekat dengan mereka dan bukan sekedar orang-orang yang pernah mengandung atau menyusui, betapapun ini hubungannya sangat dekat, seorang ibu dan anak.
Kita akan masuk dalam ayat 29-32, satu perikop yang mengangkat topik tentang tanda, karena dalam perikop Minggu lalu dikatakan, ada yang meminta tanda dari sorga kepada Yesus untuk mencobai Dia. Dan Yesus sudah mengusir satu setan yang membisukan, tetapi ada orang yang tetap berusaha untuk minta tanda, seperti tanda yang lain, kalau bisa tanda yang lebih besar (ayat 16). Maka di sini Yesus elaborate lagi persoalan tentang tanda, Yesus mengatakan, ini angkatan yang jahat, angkatan yang menghendaki suatu tanda. Yesus mengatakan, orang yang mencari tanda adalah orang yang jahat, wah… kalimat seperti ini membuat kita jadi bingung, kalau begitu, waktu saya mencari pergumulan tentang kehendak Tuhan, saya tidak boleh minta tanda, karena banyak juga yang mengajarkan kita harus minta tanda supaya mengenal apakah ini kehendak Tuhan atau bukan dsb. Di dalam firman Tuhan, istilah tanda, khususnya dalam bahasa Yohanes berkaitan dengan mukjizat, mukjizat yang dibuat Yesus itu adalah tanda. Ketika berbicara tentang tanda, tanda itu kan penunjuk, ada sesuatu yang ditunjuk oleh tanda tersebut, itu namanya tanda, misalnya kalau ada tulisan toilet, lalu ada panahnya kearah kanan artinya jangan buang air di tanda itu, karena ini bukan toiletnya, kalau ada orang yang buang air di situ, artinya orang itu tidak mengerti tanda.
Nah ada banyak orang yang tidak mengerti, seperti orang tadi yang buang air di situ, karena mereka confuse antara tanda dengan yang ditunjuk oleh tanda tersebut. Tanda itu menunjuk kepada realita yang ditunjuk, yang lebih tinggi oleh tanda tersebut, realita yang lebih tinggi itu apa? Yaitu Yesus sendiri, kehidupan dan pribadi Yesus, pengenalan orang akan Yesus, itu yang seharusnya ditunjuk oleh tanda, tetapi ada generasi, bahkan sampai sekarang, ada orang yang lebih menyukai tanda dari pada realita yang ditunjuk oleh tanda tersebut. Nah ini sesuatu yang aneh, yang tidak wajar, kalau ada tanda, ya ini menjadi satu penunjuk supaya kita menuju kesana, tetapi ada orang yang berkanjang, berkeras hati di dalam tanda, menikmati realita tanda, lalu tidak peduli dengan yang ditunjuk oleh tanda tersebut. Berapa banyak orang-orang yang seperti ini, memperlakukan agama sebagai sekedar tanda, lalu Allah bahkan Yesus jadi semacam instrumen belaka, menjadi semacam sarana saja, lalu mereka lebih suka menikmati pengalaman tanda daripada pengalaman berjumpa dengan yang ditunjuk oleh tanda itu yaitu Yesus sendiri.
Yesus kan sebenarnya sudah melakukan tanda, tetapi menurut mereka tidak cukup tanda mengusir satu setan, ini kan satu penyataan Yesus adalah logos, membuat orang yang bisu, yang tidak bisa ber-logos, akhirnya bisa ber-logos, lalu Yesus yang adalah logos, itu sebenarnya yang ditunjuk dengan peristiwa ini, ya kan? Tetapi orang tidak masuk kepada pengenalan Yesus adalah logos, tidak, orang mau menuntut tanda yang lain, sepertinya di sini mau pameran tanda, jangan hanya bisu dapat berkata-kata, saya mau tanda yang lain. Tetapi sekali lagi, Yesus seperti against, menyiramkan air dingin kepada orang-orang yang minta tanda ini, bukan karena Yesus tidak compassionate, tetapi karena mereka perlu di rebuke, perlu ditegur, perlu dimarahi, Yesus mengatakan, tidak ada tanda yang lain selain tanda Yunus, tanda untuk orang Niniwe yaitu Yunus. Perspektif Lukas sedikit berbeda dengan kitab yang lain seperti Matius, dalam Matius dijelaskan apa tanda Yunus itu, yaitu seperti Yunus yang ditinggal di perut ikan selama tiga hari, demikian Anak Manusia akan tinggal diperut bumi tiga hari, itu dijelaskan, tetapi bagian ini tidak muncul di dalam injil Lukas. Artinya ini bukan pengertian tanda di dalam perspektif Lukas, tetapi kalau kita memperhatikan Yunus menjadi tanda untuk orang Niniwe, tanda apa ya?
Perkataan Yunus tidak banyak dicatat, hanya kalimat pendek, kalimatnya apa? Sebenarnya kalimatnya adalah kalimat penghukuman, kalimat penghakiman, kalau kita baca, bahkan tidak ada panggilan pertobatan di dalam kalimat Yunus, at least yang dicatat, kita tidak tahu actual-nya bagaimana. Tetapi at least yang dicatat oleh firman Tuhan kalimatnya begitu pendek, begitu brief, “sesungguhnya Niniwe akan ditunggangbalikkan dst.”, ini kan kalimat penghukuman, kalimat penghakiman, nah Yunus menjadi tanda bagi Niniwe. Demikian juga Yesus, itu tanda bagi generasi yang menghendaki tanda ini, maksudnya apa? Yesus akhirnya datang dengan satu kalimat penghakiman, karena orang-orang ini tidak lagi menerima berita kasih karunia (kita sudah pernah membahas bagian ini di pasal 10), bagaimana orang-orang yang diutus oleh Yesus seharusnya memberitakan Kerajaan Allah, Kerajaan Allah datang bagimu, tetapi untuk orang-orang yang menolak, akhirnya berubah menjadi satu kalimat, sesungguhnya Kerajaan Allah sudah dekat, tetapi tidak ada lagi bagimu, bukan kepadamu, bagian itu di omit. Meaning dari satu pemberitaan kasih karunia menjadi satu pemberitaan penghakiman.
Dan di sini dikatakan, Yesus seperti Yunus, datang di dalam injil belas kasihan, injil kasih karunia, tetapi ditolak oleh orang-orang yang keras hati ini, tidak mengerti kasih karunia, akhirnya Yesus menjadi tanda penghakiman, seperti Yunus bagi Niniwe. Celakanya, Yesus menubuatkan, Niniwe bertobat, tetapi angkatan ini tidak bertobat dan karena itu orang-orang Niniwe akan bangkit bersama dengan angkatan ini dan menghakimi mereka, orang-orang yang tidak menerima Yesus sebagai tanda, karena Yesus lebih besar dri pada Yunus.
Injil, waktu kita membicarakannya di dalam teologi injil, seperti kita terima di dalam firman Tuhan, seperti pedang yang bermata dua, bukan hanya aspek kasih karunia saja, tetapi juga ada aspek penghakiman, ada aspek murka Allah dan bukan hanya aspek belas kasihan Tuhan. Gereja yang hanya menekankan satu aspek saja misalnya hanya aspek kasih karunia, cinta kasih saja dst. tidak akan mengerti kelimpahan daripada injil yang sesungguhnya. Dalam bagian ini kita melihat bahwa Yesus tidak memberikan tanda yang lain, kecuali tanda penghakiman, akhirnya kalimat kasih karunia yang diucapkan, yang menyelamatkan, yang menyegarkan, yang menghidupkan menjadi kalimat yang mematikan. Seperti yang dikatakan oleh Paulus, berita injil itu sesuatu bau-bauan yang harum untuk mereka yang percaya, untuk yang tidak percaya, itu bau kematian, seperti bau yang menyengat, padahal itu adalah berita injil.
Kita hadir di dalam pelayanan, hadir di dalam dunia, di dalam keseharian kita, juga dengan dua sisi pedang ini dan bukan hanya dari satu sisi saja, comparable dengan Yunus, di sini juga dikatakan, “yang ada di sini melebihi Salomo dengan segala hikmatnya”. Tadi kita sedikit menyinggung persoalan tentang tanda, kita percaya perikop ini memang tidak khusus membicarakan hal tersebut, tetapi saya percaya, kalau boleh kita kaitkan di dalam aplikasi tentang pencarian kehendak Tuhan. Di dalam spiritualitas reformed kita tidak terlalu menekankan tanda, karena kita lebih membangun pencarian kita akan kehendak Tuhan, dari pengenalan kita akan hikmat atau bijaksana Kristus. Ini bicara tentang hikmat Salomo yang merelativisasi tanda dan bahwa Yesus mempunyai hikmat bijaksana yang lebih tinggi daripada Salomo, yang juga seharusnya merelativisasi tanda, karena tanda itu bisa dibuat tidak lagi berlaku kalau orangnya sudah ada di situ. Kalau kita sudah di depan toilet, kan tidak perlu tanda lagi bukan? Tanda itu sesuatu yang tidak mutlak, tetapi juga bukan tidak boleh, ya boleh saja, maka Yesus mengadakan mukjizat, ya boleh. Ada orang yang percaya melalui pengenalan akan mukjizat, mungkin karena dia mengalami kesembuhan atau hal yang lain, ya boleh saja, bukan tidak boleh, ya kita juga jangan terlalu critical dengan spiritualitas yang seperti ini. Tetapi kapan mulai menjadi critical? Ya waktu seseorang itu mulai mengabaikan apa yang ditunjuk oleh tanda tersebut.
Waktu tanda dijadikan realita tertinggi, yang coba untuk terus-menerus dialami di dalam kehidupan manusia, akhirnya menjadi persoalan. Waktu seseorang mulai menolak akan realitanya sendiri dan lebih mementingkan tanda itu sendiri, nah ini yang menjadi persoalan di dalam kekristenan. Tetapi adakalanya kita percaya Tuhan memang memakai tanda, seperti waktu Tuhan mengusir setan yang membisukan, ini kan juga tanda, tanda yang seharusnya membawa orang ke dalam pengenalan bahwa Yesus adalah logos, tapi sayangnya orang tidak masuk ke dalam pengenalan itu, malah mempersoalkan yang bukan-bukan. Orang menolak bahkan tanda yang sudah menunjuk kepada Yesus yang sebetulnya mau menyatakan diri melalui tanda tersebut, Yesus ditolak, orang juga bahkan akhirnya menolak tanda itu sendiri. Dalam bagian ini bahkan tanda pun tidak mutlak, karena yang ada di sini lebih besar daripada Yunus maupun Salomo.
Salomo itu dalam PL digambarkan sebagai yang penuh hikmat, bijaksana, tetapi di sini dikatakan, Yesus mengajarkan hikmat yang jauh lebih tinggi daripada Salomo. Ratu dari Selatan itu datang mencari mau mendengar hikmat Salomo, tetapi ironis, orang-orang yang hidup sezaman dengan Yesus, sudah ada di depannya, bahkan menolak, ada orang yang dari jauh mencari, ada orang yang sudah dekat sekali tapi malah menolak. Maka sama seperti orang Niniwe, di sini dikatakan, pada waktu penghakiman, juga ratu dari Selatan itu akan ikut menghakimi angkatan yang tidak percaya ini, kenapa? Karena ratu ini mencari hikmat Salomo, karena orang-orang Niniwe ini bertobat atas kalimat penghakiman yang diteriakkan oleh Yunus, yang tidak ada compassion, tetapi Yesus yang menyatakan satu pelayanan yang penuh dengan compassion malah ditolak. Ironi-ironi seperti ini terjadi di dalam kekristenan, kita harus mempersiapkan diri kita, tetapi kita bersyukur alkitab mengatakan, waktu kita menabur, waktu kita melayani, kita tidak akan pernah lebih daripada Guru kita yaitu Yesus Kristus sendiri. Kalau Yesus sudah ditolak, kalau Yesus tidak dimengerti, kalau Yesus dari perspektif manusia mengalami kegagalan di dalam pelayananNya, ya apalagi saudara dan saya. Kita dipanggil untuk mengikuti jalan salib yang sama, tetapi berbahagialah kita kalau kita tidak menjadi seperti angkatan yang tidak menerima Kristus ini, tetapi menjadi bagian orang-orang yang percaya. Kiranya Tuhan memberkati kita semua. Amin.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (AS)