Kita masih ingat Lukas 9 waktu memulai ekspositori, di situ ajakan Yesus Kristus kepada para muridNya untuk mengikut Dia, menyangkal diri, memikul salib dan mengikut Yesus. Kita bersyukur, waktu kita membaca di dalam firman Tuhan, ini satu kitab yang sangat realistis, memberikan kepada kita gambaran bagaimana orang yang mengikut Tuhan di dalam segala keadaan apa adanya, tidak digambarkan menjadi satu gambaran yang diperindah dan orang sering memakai istilah hagiografi dari kata hagios (kudus), grafi (tulisan), kita tahu biografi, bios itu kehidupan artinya tulisan tentang kehidupan, tetapi ada juga yang disebut dengan hagiografi, yang artinya adalah satu gambaran yang menggambarkan orang itu hanya baik-baiknya saja, kelemahannya tidak ditulis sama sekali, tidak ada kekurangannya, yang ada hanya sukses, yang ada semuanya cinta Tuhan. Ya tulisan-tulisan seperti itu memang bagus, tetapi saya kuatir, jangan-jangan lebih mirip cerita utopia, satu cerita yang membawa orang untuk berpikir yang indah-indah, idealis, tetapi waktu kita melihat kehidupan kita sendiri, kita merasa jauh sekali dengan gambaran orang seperti itu. Saya tidak tahu apakah kita pernah membaca tulisan orang-orang yang sangat dipakai Tuhan yang cenderung kearah hagiografi tadi, akhirnya kita bukan mendapat kekuatan, tetapi kita malah minder, wah… orang ini besar sekali ya, sangat dekat dengan Tuhan, sangat besar kuasanya, tapi saya hanya orang kecil yang tidak berarti ini. Lalu semakin lama kita membaca, kita semakin desperate, ya cuma bisa minta ampun saja, tapi tidak ada kekuatan untuk meneladani kehidupan orang-orang yang seperti itu.
Kita bersyukur, firman Tuhan tidak ditulis dengan cara seperti itu, di dalam pasal 9 ini saja kita melihat kegagalan demi kegagalan demi kegagalan dari pada murid-murid Yesus untuk mengikut Yesus. Yesus mengatakan, sangkal dirimu, pikul salibmu dan ikutlah Aku, tapi yang kita baca adalah kegagalan murid menyangkal diri, memikul salib dan kegagalan mengikut Yesus, tentu saja memang ini bukan menjadi berita yang menghibur kita, tergantung kita mau belajar apa dari sini. Dan kita bersyukur, ternyata para murid sebetulnya juga tidak lebih baik dari pada saudara dan saya, tapi tentunya kita juga tidak lebih baik dari para murid, ya kita sama-sama orang berdosa, sama-sama orang yang membutuhkan pengampunan Yesus Kristus, bahkan untuk taat mengikut Dia. Dan Minggu lalu kita sudah membaca tentang kegagalan para murid untuk mengusir roh jahat, sehingga Yesus sendiri yang harus mengusir dan menyembuhkan orang yang kerasukan itu.
Kita tertarik dengan Yesus Kristus yang di dalam keadaan semua orang memuji Allah, takjub akan peristiwa mujizat yang terjadi, Yesus langsung memfokuskan pada peristiwa salib waktu kita membaca di dalam ayat 43b tadi, yang sepertinya tidak cocok dengan situasi saat itu. Apakah Yesus kurang bisa membaca situasi di sini atau justru ada sesuatu yang boleh kita pelajari dari pada Yesus Kristus? Ini orang sedang memuliakan Tuhan loh.. bukan berpesta-pesta, apakah salah memuliakan Tuhan, apakah salah kagum pada kebesaran Allah? Tidak salah. Ini pekerjaan Allah hadir di tengah-tengah mereka, mereka mencicipi apa artinya hidup di dalam realita Kerajaan Allah, kebesaran Allah dikatakan di sini oleh Lukas, yang sedang dikagumi oleh banyak orang. Lalu Yesus seperti membalikkan suasana, dia mengatakan kalimat dalam ayat 44, yaitu salib, pengorbanan Yesus Kristus, karena tanpa injil, kita tidak akan ada guna masuk ke dalam kekaguman-kekaguman, bagaimanapun juga itu akan kehilangan fokus.
Apakah kita masih tergetar waktu mendengar injil? Masih ada kekaguman atau tidak, atau kita malah berkata, ah… ini lagi… ini lagi… pengampunan dosa, pengampunan dosa lagi…. saya perlu makanan keras, ya memang ada ayatnya, perlu makanan keras dan bukan susu dsb., mungkin ada dukungan ayatnya. Tetapi sekali lagi, kalau di dalam hati kita tidak ada resonansi lagi yang tergetar waktu mendengar berita injil, salib, waktu itu menjadi kurang menarik, waktu mujizat lebih membuat kita takjub dari pada pengorbanan Yesus Kristus, maka ada sesuatu yang salah di dalam kerohanian kita. Dalam bagian ini Yesus ingin mengembalikan kita pada fokus yaitu salib, dalam ayat 44, ini satu perjalanan menuju Golgota dan Dia mau mengajak murid-muridNya untuk tidak kehilangan fokus tersebut. Tetapi apa yang terjadi? Kegagalan para murid, mereka tidak mengerti perkataan itu, yang tertulis di dalam perikop sebelumnya, mereka tidak mengerti perkataan itu. Salib menjadi sesuatu yang asing, padahal Yesus bukan pertama kalinya mengatakan hal ini, sebelumnya pun sudah pernah, ini satu ulangan, sudah ulangan pun masih belum mengerti juga.
Sebetulnya suffering itu sesuatu yang akrab dengan kehidupan manusia, manusia mana yang tidak ada suffering, tidak ada pergumulan? Tidak ada, tetapi pertanyaannya adalah suffering jenis apa? Kalau suffering sakit hati, tersinggung, merasa tidak diterima, tidak dihornati dsb., itu tidak ada hubungannya dengan suffering yang dibicarakan dalam alkitab, itu bukan biblical suffering, bukan penderitaan alkitabiah. Kita membicarakan penderitaan khusus, penderitaan karena kehendak Tuhan, penderitaan karena nama Tuhan, karena taat sama Tuhan. Yesus menderita bukan karena dia menjadi korban, seseorang yang menjadi powerless, lalu tidak berhasil menghadapi kuasa massa sampai akhirnya Dia diseret ke atas kayu salib, bukan, alkitab dengan jelas mengatakan, Dia memberikan nyawaNya dari kehendakNya sendiri, bukan diambil oleh orang-orang jahat itu, tidak.
Kalau kita mau mencoba untuk mengerti kesulitan perspektif daripada para murid, sebetulnya “ada wajarnya” juga, mungkin kalau kita diposisi mereka, kita juga bisa tidak mengerti. Ada komentator yang menarik membicarakan hal ini, siapa yang bisa mengerti, karena di situ baru saja waktu murid gagal menyembuhkan dan Yesus maju, lalu menyembuhkan, mengusir kuasa jahat, satu gambaran powerful Jesus, lalu tiba-tiba Dia bicara kalimat, ‘Anak Manusia akan diserahkan kepada tangan manusia’, ini gambaran yang luar biasa kontradiktif. Satu sisi gambaran Yesus yang sangat powerful, lalu tiba-tiba powerlessness, Yesus yang sama sekali tidak ada power. Manusia cenderung melihat Allah hanya satu sisi saja, Allah harusnya powerful, tidak boleh powerless, pemikiran seperti ini membuat kehidupan kita menjadi miskin. Ketidaksanggupan melihat multipicture, multifacet dari gambaran Yesus Kristus membuat kehidupan kristen kita akhirnya sangat-sangat miskin. Berapa banyak kekristenan yang tertarik hanya kepada one sided seperti ini, baik gambaran Allah yang powerful atau gambaran Allah yang powerless, yang sampai tidak ada dignitas sama sekali, Allah yang hanya sekedar bertoleransi atau bersolidaritas dengan orang-orang yang menderita. Orang-orang liberal sangat tertarik dengan gambaran seperti ini, mereka sangat sinis dengan gambaran Allah yang powerful, menurut mereka lebih baik gambaran Allah itu yang sama-sama menderita dengan kita.
Memang sulit memahami tentang kematian, tentang penderitaan, apalagi di dalam suasana setiap orang senang seperti ini, jadi kalau kita mau pikir murid-murid tidak bisa mengerti, mungkin wajar juga, Yesus seperti salah bicara waktunya, tetapi Tuhan memang mau memperkenalkan kepada kita gambaran yang multifacet ini, tidak bisa hanya masuk kepada pengenalan Allah yang powerful, yang mujizat, yang semuanya sembuh, pengusiran setan dll., tetapi ada aspek yang lain, Allah yang di dalam Yesus Kristus juga akhirnya diserahkan kepada tangan manusia, Allah yang menderita di dalam Yesus Kristus, yang akhirnya mengalami penolakan dan kematian di atas kayu salib. Yesus sangat mengetahui betapa distorted gambaran yang cuma menggambarkan Allah yang powerful saja, tanpa gambaran Allah yang menderita karena umatNya di dalam Yesus Kristus. Maka Yesus mengembalikan kepada fokus salib dan bahwa murid-murid memang betul-betul tidak mengerti, itu semakin dikonfirmasikan lagi dengan perikop berikutnya yaitu waktu mereka memperdebatkan siapa yang terbesar diantara mereka.
Sebenarnya bukan Yesus yang salah waktu, murid-murid, saudara dan saya yang salah waktu, Yesus tidak akan salah waktu pada saat mengumumkan sesuatu dalam kehidupan kita. Tetapi kita seringkali salah menanggapi waktu Tuhan, karena kita sendiri yang tidak siap. Kegagalan demi kegagalan demi kegagalan, kita melihat di dalam bagian ini baru saja Yesus mengatakan tentang penderitaanNya, murid-murid mempersoalkan siapa yang terbesar diantara mereka. Kita sedih sekali ya mendengar cerita itu, orang di dalam keadaan banjir (mungkin kita tahu), ada orang-orang yang berusaha mencari keuntungan di dalam penderitaan orang lain, memeras, kita tidak habis pikir, ini lagi bencana, semua orang sedang menderita, kok tega-teganya, itu orang masih berusaha menggarong orang lain, ada yang menodong lah, ada yang naik perahu harus bayar ratusan ribu atau jutaan, kok tega ya? Kita pikir ini jahat sekali, lalu kita menjadi kesal, manusia kok seperti itu? Tetapi inilah gambaran manusia, gambaran saudara dan saya juga, gambaran murid-murid Kristus. Selagi Yesus membicarakan tentang penderitaan, mereka malah bicara siapa yang terbesar diantara mereka, sesuatu yang sama sekali tidak relevan dengan fokus salib.
Tapi kita melihat dalam bagian ini, bagaimana Yesus mengetahui pikiran mereka, bukan hanya sekedar pikiran, Yesus mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Memang hati dan pikiran harusnya tidak dipisahkan, ya tetapi di dalam culture modern seringkali pikiran sama hati itu terpisah, kita bicara sama orang bisa sopan sekali, ternyata dihati punya pikiran yang lain dan culture Timur sepertinya ahli sekali dalam kemunafikan-kemunafikan seperti itu. Jadi Yesus bukan hanya melihat secara fenomenal, fenomenal itu seringkali menipu kita, pemandangan tampak luar, tetapi Yesus membaca sampai ke dalam pikiran mereka, lalu Dia mengambil seorang anak kecil, menempatkan disampingNya.
Kita tertarik dengan gambaran ini, ada keunikan di dalam penyajian injil Lukas dibanding dengan yang injil lain, misalnya di dalam injil dikatakan, barang siapa tidak menjadi seperti anak kecil ini, sesungguhnya dia tidak akan masuk ke dalam Kerajaan sorga. Tetapi di dalam penyajian Lukas, kita mendapat kekayaan gambaran yang berbeda, di sini Yesus mengontraskan dosa kecongkakan atau kesombongan dengan mengambil seorang anak kecil, lalu dengan mengatakan, “barang siapa menyambut anak ini di dalam namaKu, ia menyambut Aku, dan barang siapa yang menyambut Aku, ia menyambut Dia, yang mengutus Aku. Karena yang terkecil diantara kamu sekalian, dialah yang terbesar”. Kegagalan demi kegagalan, pertama perikop yang kita baca beberapa minggu lalu, kegagalan mengusir roh jahat, sekarang gagal lagi mengerti tentang salib, tidak mengerti apa maksudnya, tidak bisa bisa mengintegrasikan satu gambaran powerful, satu powerless, lalu gagal lagi di bagian ini, gagal rendah hati. Lalu Yesus mengambil seorang anak kecil, sangat menarik sekali gambaran humility, kerendahan hati digambarkan dalam gambaran yang sederhana yaitu seseorang yang menyambut yang kecil. Orang yang menyambut yang kecil, itu adalah orang yang memiliki kerendahan hati.
Kerendahan hati by means of practicing hospitality (menyambut), kita bersyukur kepada Tuhan, kita diberikan kesempatan, ini berkat lebih kepada kita daripada orang-orang yang kita layani, seperti melakukan baksos dsb. Itu bukan sesuatu yang kita lalu show off, inilah gereja yang mempedulikan sosial, tidak cuma bicara doktrin, akhirnya kemuliaan kembali kepada kita lagi, bukan, ini Tuhan kasihan kepada kita. Tuhan memberikan kesempatan kepada kita seperti ini, supaya kita bisa terlibat di dalam pelayanan-pelayanan yang sederhana justru untuk memelihara kerendahan hati kita. Kita hidup di dalam satu culture yang luar biasa rusak, dimana setiap orang hanya greeting orang-orang yang besar, the dangerous of elitisme, orang hanya menghargai orang yang kaya, orang yang pintar, orang yang berhasil, orang yang kuat, tetapi seperti anak-anak, janda miskin dsb., tidak dianggap sama sekali, orang yang dianggap marginal, pinggiran, seperti tidak mendapatkan tempat, tidak disambut di dalam masyarakat kita, masyarakat yang berdosa. Jadi manusia berlomba-lomba untuk menyambut yang besar, tetapi sedikit orang yang tertarik menyambut yang kecil, tetapi alkitab justru mengatakan, inilah kerendahan hati, orang yang punya hati untuk menyambut yang kecil karena dia sendiri sadar bahwa dia adalah orang kecil.
Saya pikir bukan kebetulan kalau orang sudah biasa susah, dia bisa lebih peka terhadap kesusahan orang lain, orang yang punya pengalaman lapar, dia mungkin punya kepekaan lebih terhadap pengalaman orang yang sedang menderita kelaparan. Seperti ada kejadian di Cina, ada seorang anak kecil tertabrak, lalu tidak ada seorang pun yang tertarik untuk menolong, mereka hanya lalu lalang saja, tetapi justru seorang pemungut sampah yang tergerak untuk menolong. Masyarakat kita yang ada di dalam dunia berusaha untuk terus-menerus menyambut orang-orang yang besar, tetapi Yesus mengajarkan kepada kita, ini loh… sambut anak kecil, mengapa menyambut anak kecil? Karena waktu seseorang menyambut anak kecil, dia pasti lebih pure, mau untung apa sama anak kecil? Kalau kita menyambut orang kaya mungkin kita bisa ada motivasi yang salah, memang tidak harus, ada juga orang yang hatinya bersih, tetapi kita bisa jatuh ke dalam pencobaan jangan-jangan saya mau uangnya, jangan-jangan saya mau relasi dengan orang ini, jangan-jangan saya mendapatkan satu keuntungan dari orang ini.
Maka sulit sekali mempunyai satu hati yang bersih waktu kita berurusan dengan orang-orang besar, perlu integritas ekstra, tetapi waktu kita berurusan dengan anak kecil, ya apa yang mau kita dapat dari anak kecil, mereka bisa apa sih? Mereka bukan orang penting, mereka juga tidak bisa membalas kebaikan kita, waktu kita menyambut orang-orang seperti ini tidak ada yang kita dapatkan. Harus siap kehilangan, cuma give tanpa take, tetapi generasi kita take and give, kalau memberi tidak take back sepertinya somehow rugi begitu, dan kalau kita sudah memberi, kita berusaha untuk ingat-ingat. Generasi sekarang ini satu generasi yang aneh, satu culture yang aneh, culture take and give, itu luar biasa boring, luar biasa membosankan. Di dalam kekristenan jauh lebih lincah, jauh lebih dinamis, karena saya terima dari seseorang, saya tidak harus mengembalikan kepada dia, tetapi saya bisa memberikan kepada orang yang lain lagi, waktu orang lain menerima, dia juga tidak harus mengembalikan kepada saya, dia bisa menyalurkan kepada orang lain lagi dan waktu saya memberi kepada seseorang, dia tidak bisa balas, ya memang saya juga tidak mengharapkan dia bisa balas, karena ini satu pemberian yang tulus.
Lalu waktu Yesus mengatakan, menyambut anak ini di dalam namaKu, berarti memang kita harus rela, anak ini tidak bisa balikin apa-apa, dia terlalu lemah, terlalu powerless, tapi jangan lupa, itulah juga keadaan saudara dan saya sebelum kita diselamatkan oleh Kristus, powerless persis seperti anak kecil ini. Maka orang yang tidak tertarik untuk menyambut anak kecil, itu cuma membuktikan satu hal, dia tidak sadar bahwa dia sendiri juga sebetulnya adalah seperti anak ini, yang diterima Tuhan apa adanya. Seperti contoh tadi, siapa yang menolong anak yang kesakitan dijalan tadi, ya orang yang mengerti juga penderitaan sehari-hari, orang miskin yang biasa memungut sampah, waktu ada orang tergeletak dia peka, dia melihat ini pengalaman seperti pengalaman saya, ini seperti yang saya alami sehari-hari, dia punya kepekaan seperti itu. Tetapi orang yang biasa hidup di atas, terus hidup di atas, tidak mengerti sama sekali kesulitan orang yang ada di bawah, tidak mengerti sama sekali kesulitan seorang anak kecil dengan segala persoalannya, tidak mengerti. Waktu terjadi hal-hal seperti kecelakaan terhadap anak kecil tadi, dia tidak tergerak, dia bahkan bingung, bingung bagaimana mengekspresikan belas kasihan, padahal belas kasihan itu kan sesuatu yang spontan, sesuatu yang tidak perlu digumulkan. Apakah ada orang yang bergumul untuk belas kasihan?
Jangan kita bosan mendengar kalimat ini, generasi kita memang satu generasi yang aneh, tapi untuk orang mengatakan wow saja musti mikir-mikir, ya kalau mau katakan wow ya tinggal katakan saja kan, kok mau mengatakan wow kok pakai pergumulan, Tuhan, tolonglah hambamu ini, buatlah aku mengerti, apakah sekarang saya harus bilang wow atau tidak? Ini kan aneh sekali!! Kalau kagum ya langsung kagum saja, tidak usah pakai pergumulan seperti itu, tapi yang lebih aneh lagi adalah mau berbelas kasihan kepada orang lain juga pakai bergumul, Tuhan, apakah saya sekarang harus tergerak? Saya tidak tahu nih Tuhan, harus tersentuh tidak ini, harus keluar air mata tidak atau bagaimana Tuhan? Ini aneh sekali, tidak terjadi secara natural tidak terjadi secara spontan. Saya percaya, di dalam banyak hal kita perlu latihan, itu jelas, spiritual exercise dsb., ada peribahasa bilang, exercise itu yang menjadikan master, kalau kita banyak exercise menjadikan betul, tetapi saya pikir, kalau segala sesuatu tidak ada lagi yang natural, semuanya harus dilatih seperti itu, tidak ada lagi yang betul-betul sudah mendarah daging di dalam kehidupan kita, artinya ada something is wrong dalam kehidupan kita.
Segala sesuatu mungkin memang masuk melalui pergumulan, tetapi dengan pergumulan yang terus-menerus terjadi di dalam kehidupan kita seharusnya mulai membentuk satu karakter, sehingga kita bisa living spontaneously, spontaneously bukan berarti tidak ada wisdom lagi, bukan, jangan salah mengerti. Spontaneously seringkali dikatakan seperti gambaran orang yang luar biasa acak, chaotic, kacau balau,dsb., bukan, tetapi spontaneously karena karakter yang sudah terbentuk. Seseorang yang sudah biasa melakukan, akhirnya menjadi satu karakter yang mendarah daging. Sekali lagi, Yesus memberikan kepada kita satu latihan sederhana ini yaitu belajar untuk menyambut orang yang biasa, yang sederhana, anak kecil, janda miskin, orang yang menderita dan dengan latihan-latihan seperti itu, kita sebenarnya lebih diberkati. Alkitab mengatakan, yang memberi lebih berbahagia daripada yang menerima, yang memberi itu lebih diberkati dari pada yang menerima. Orang yang menerima itu punya kekurangan, waktu dia diberi, dia jadi punya kecukupan, tapi orang yang memberi itu berkelimpahan, karena itu dia bisa memberi dan waktu di dalam kelimpahan dia membagi-bagiakan, dia tetap penuh di dalam kehidupannya. Seperti satu gerakan luber, orang seperti ini tentu saja lebih berbahagia dari pada orang yang menerima. Alkitab bukan main retorik waktu memakai istilah seperti ini, seperti berusaha untuk membohongi kita, membujuk kita supaya kita lebih banyak memberi, karena alkitab mengatakan lebih berbahagia yang memberi dari pada yang menerima, tidak seperti itu. In the true logic memang yang memberi jauh lebih berbahagia dari pada yang menerima, nah Yesus memberikan kepada kita ajakan ini, satu hal yang sangat disoroti khususnya di dalam Lukas, menyambut anak kecil, “Barangsiapa menyambut anak kecil, dia menyambut Aku, barang siapa menyambut Aku, dia menyambut Dia yang mengutus Aku”.
Tertarik dengan gambaran Matius waktu membicarakan tentang eskatologi atau akhir zaman, di situ digambarkan ada orang-orang yang kaget, yang heran waktu Tuhan memuji mereka, “sesuatu yang engkau kerjakan kepada yang kecil, sesungguhnya engkau melakukan bagiKu”. Mereka tidak sadar, kapan itu, tapi termasuk juga orang-orang yang dibuang, mereka juga tidak tahu, kapan? Intonasi kapannya lain, kalau yang ini kapan, lupa kebaikan, kalau yang satu, kapan seperti protes, kapan, kapan Engkau ada dipenjara? Kapan Engkau jadi anak kecil Tuhan? Kapan Engkau di dalam keadaan menderita seperti itu? Saya tidak pernah lihat, coba Engkau kasih tahu kalau waktu itu sebetulnya adalah Engkau, saya pasti akan melayani Engkau, siapa yang tidak tahu ya. Tetapi sekali lagi, pelayanan yang tersembunyi seperti ini kan yang dikehendaki Tuhan, justru waktu manusia tidak sadar, ini sebenarnya Tuhan yang hadir bersama-sama menderita dengan orang ini lalu kita menyambut dan kita melayani, itu kita melakukan kepada Tuhan.
Tetapi ada banyak orang yang mengatakan, tidak, tidak bisa seperi itu, kalau memang betul-betul Engkau mau dilayani lewat anak kecil, ya bilang dong kalau Engkau sedang bersama anak kecil, kalau Engkau sedang bersama orang yang menderita dan kekurangan itu, nanti saya pasti akan melayani, asalkan betul-betul Engkau ada di situ. Tapi tidak seperti itu, Tuhan mengajak kita untuk melakukan pelayanan-pelayanan yang kecil, yang sederhana, yang tidak terlihat, yang sepertinya tidak ada pahala menurut ukuran dunia. Tidak menarik sama sekali, di dalam relasi oportunistik, ini sama sekali tidak menguntungkan, saya mau menabur apa dari relasi seperti ini? Lebih baik saya menjalin hubungan dengan orang-orang yang powerful dan bukan dengan anak-anak seperti ini, kita juga tidak jelas masa depannya kemana? Ya kalau nanti bakal jadi orang berhasil, kalau tidak, kan sia-sia saya menabur ke mereka. Hitung-hitungan kalkulatif pikiran manusia, tetapi Tuhan mengatakan, “dengan menyambut anak ini, sesungguhnya engkau menyambut Aku dan engkau menyambut yang mengutus Aku, karena yang terkecil diantara kamu dialah yang terbesar”. Yang terkecil itu siapa di dalam gambaran Lukas? Yang terkecil itu adalah yang menyambut yang terkecil, orang yang terkecil menyambut yang terkecil, orang yang susah menyambut yang susah, dialah yang betul-betul berbahagia, dialah yang betul-betul terbesar.
Kita melihat ayat 49-50, sekali lagi, kegagalan demi kegagalan, waktu kita melihat bagaimana mereka menjadi gusar, waktu menyaksikan ada seseorang yang mengusir setan demi nama Yesus, mereka ingin mencegah, karena menurut mereka, dia bukan pengikut Yesus. Coba bayangkan, mereka baru saja mau melakukan pengusiran setan lalu gagal dan Yesus yang akhirnya mengusir setan tersebut. Lalu mereka mendengar ada kelompok lain berhasil mengusir setan demi nama Yesus, mereka jadi begitu sempit hatinya, dan kesempitan hati seringkali sangat berkaitan dengan kegagalan kita. Kita jadi sempit hati waktu sering gagal, lalu melihat orang lain yang berhasil, sempit. Kalau kita sendiri sukses, misalnya murid-murid sudah berhasil mengusir 10 setan, lalu dengar lagi diluar ada orang mengusir 2 setan, mungkin bisa tidak ada kesulitan untuk luas hati, tidak apa-apa mereka mengusir setan, saya 10 kamu hanya 2, bagaimana pun kita yang lebih dekat dengan Yesus. Tapi begitu gagal mengusir setan, ada kelompok lain yang berhasil mengusir setan, mulai jadi terganggu, tidak bisa seperti ini, kita saja yang paling dekat kepada Yesus tidak berhasil mengusir setan, dia harusnya tidak boleh, kalaupun berhasil; itu pasti bohong, kesempitan hati.
Seringkali Tuhan menguji, apakah kita luas atau apakah kita sempit, justru pada waktu kita gagal bukan pada waktu berhasil. Kalau kita sedang di promote, wah naik atas sekali, lalu orang lain juga di promote, tidak sulit untuk luas hati, karena kita juga berhasil, tapi jangan saya mandek di dalam level ini dan orang lain di promote, nanti dulu, kenapa bukan saya? Dia belum waktunya tuh, dia harus diuji dulu dsb., akhirnya menjadi kegusaran hati, menciptakan satu culture yang eksklusif, eksklusivisme seringkali berkaitan dengan kegagalan, kegagalan yang kita terima. Dan Tuhan mendidik kita justru belajar untuk luas hati, termasuk juga di dalam kegagalan, kan sulit bersukacita melihat orang lain berbahagia waktu kita sendiri menderita? Betulkan? Kalau kita sendiri berbahagia, orang lain berbahagia, saya ulang tahun, orang lain ulang tahun, ya sudah, kita pesta sama-sama, lebih mudah kan, begitu misalnya!! Tetapi jangan ketika saya lagi berkabung, kamu pesta nikah, nah ini, susah saya, apakah saya harus ikut di dalam kebahagiaan kamu, ya susah dong? Atau mungkin juga sebaliknya, dsb.
Maka di sini kita melihat Tuhan menguji betul-betul sampai ke dalam hati, saya pikir ini juga rencana Tuhan, waktu menghadirkan kegagalan, Tuhan mengijinkan kegagalan terjadi di dalam diri murid-muridNya, lalu sengaja memunculkan orang di luar, berhasil melakukan pengusiran setan. Tuhan bukan jahat, bukan, tetapi Tuhan mau membentuk kita sampai kedalaman hati kita, untuk menguji, apakah betul-betul ini luas hati atau tidak? Yesus mau mengajarkan kita karakter seperti ini, “jangan kamu cegah, sebab barangsiapa tidak melawan kamu, ia ada dipihak kamu”. Saya percaya, eksklusivisme dan elitisme melumpuhkan kehidupan banyak gereja, sekelompok orang yang hanya bergaul dengan orang tertentu. Jangan kita bangga kalau orang katakan, ini gereja reformed, tingkat orang-orang intelektual diatas, itu harusnya membuat kita sedih bukan berbahagia. Kalau gereja ini hanya bisa memenuhi kebutuhan orang-orang intelektual, ya gereja ini gereja yang gagal, tapi sama gagalnya juga kalau hanya bisa memenuhi kebutuhan kelompok orang-orang sederhana pemikirannya, ya sama gagalnya.
Yesus mengajarkan kepada kita kelimpahan pelayanan, bukan kesempitan pelayanan, bukan kepada kelompok tertentu saja, tidak, tetapi di dalam satu keanekaragaman kekayaan pelayanan dan salah satu yang kita bisa belajar dari perikop ini, sekali lagi, kita bersyukur kepada Tuhan, kegagalan demi kegagalan disingkap dan dicatat di dalam firman Tuhan. Supaya kita juga bisa melihat kekurangan kita, kita tidak menjadi desperate, kita bisa belajar dari para murid, dan seperti para murid yang mengalami pertolongan pengampunan dari Yesus Kristus, saudara dan saya juga. Satu ajakan terus menerus, “barangsiapa mau mengikut Aku, dia menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku”, kiranya Tuhan memberkati kita semua. Amin.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (AS)