Dalam kebaktian pertama ketika kita boleh bertemu kembali secara fisik, kita sudah bicara mengenai pentingnya kebaktian yang bersifat badani, yang bersifat keumatan, karena pembentukan yang Tuhan lakukan bagi Gereja-Nya bukan hanya pembentukan yang hadir lewat kotbah atau transfer informasi dari otak pengkotbah ke otak Saudara. Kalau hanya itu, tentu saja dengan mudah bisa digantikan lewat kita menonton video kotbah, tidak perlu datang secara badani. Tetapi, pembentukan yang Tuhan lakukan atas kita juga hadir lewat cara yang seringkali tidak kita sadari, yaitu melalui liturgi Gereja, yang Gereja lakukan Minggu demi Minggu, secara badani, secara bersama-sama, berulang-ulang dan berulang-ulang lagi. Ini bukan terbatas pada liturgi Gereja dalam pengertian alur ibadah gereja kita –meski itu salah satu yang terpenting– tapi intinya habit komunal keseluruhan yang Gereja lakukan ataupun tidak lakukan. Pembentukan melalui cara seperti ini, adalah pembentukan yang sangat berdampak karena membentuk kita tanpa kita sadari; dan bukan cuma membentuk sampai level pengetahuan atau tindakan saja, tapi sampai level hasrat.
Kita juga sudah melihat beberapa studi kasus mengapa perlu ada liturgi ini, mengapa perlu ada votum, apa artinya votum, dan juga tentang perlunya pengakuan dosa. Hari ini dan beberapa kotbah ke depan, saya ingin melanjutkan tema ini. Kotbah yang lalu bisa dibilang gambaran payung besarnya, dan berikutnya ini membahas lebih mendetail dan lebih mendalam mengenai pembentukan yang Tuhan hadirkan dalam hidup kita lewat liturgi Gereja. Kalau kotbah yang lalu seumpama tentang keseluruhan huruf alfabet, maka beberapa kotbah berikut ini membahas detail masing-masing hurufnya. Hari ini kita belum masuk ke pembicaraan mengenai ibadah itu sendiri; kita masih akan membicarakan dasar pemikiran mengenai “pembentukan” –pembentukan/pemuridan yang Tuhan kerjakan dalam hidup kita itu seperti apa sebenarnya. Ini menjadi dasar mengapa kita dibentuk di Gereja lewat liturgi dsb. Saya akan membahas ini dalam 3 poin besar: pertama, dalam pembentukan/pemuridan, siapa yang dibentuk; yang kedua, apa yang dibentuk; yang ketiga, bagaimana kita membentuknya.
Yang pertama, siapa yang dibentuk. Kita mambeca Yohanes 1:38a, Tetapi Yesus menoleh ke belakang. Ia melihat, bahwa mereka mengikut Dia lalu berkata kepada mereka: “Apakah yang kamu cari?” Dalam Injil Yohanes, Tuhan Yesus beberapa kali bertanya kepada murid-murid-Nya; “Apakah kamu mau mengikut Aku?”, “Apakah kamu mau pergi meninggalkan Aku?”, dan yang paling terkenal ketika Dia bertanya kepada Petrus, “Apakah engkau mengasihi Aku?” Dalam hal ini, ayat yang kita baca tadi adalah pertanyaan Yesus yang pertama kepada murid-murid-Nya, yaitu apa yang kamu cari. Kita akan melihat terus ayat ini, bagaimana pertanyaan ini merupakan pertanyaan yang paling mendasar, yang masuk sampai ke inti dari yang disebut dengan ‘pemuridan’.
Perhatikan, ketika Yesus berbicara kepada murid-murid-Nya, orang-orang yang akan mengikut Dia, pertanyaan Dia bukanlah ‘apa yang kamu tahu’, ‘apa yang kamu pikirkan’, ‘apa perasaanmu’. Tidak demikian. Dia bertanya ‘apa yang kamu cari’, dengan kata lain: ‘apa yang kamu inginkan’, atau lebih tepat lagi: ‘apa yang menjadi hasrat hatimu yang terdalam’. Ini pertanyaan yang mendasar, karena di dalam Alkitab, pusat yang menunjukkan siapa diri kita itu bukanlah pikiran/akal budi kita, juga bukan perasaan kita, tetapi adalah yang Alkitab sebut dengan “hati”. Amsal 4:23, “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.” Hati disuruh dijaga oleh kitab Amsal, karena dari situlah terpancar kehidupan, itulah pusat dari diri kita sebagai manusia, menurut Alkitab. Apa yang hati lakukan? Apakah atribut yang identik dengan hati seseorang? Hati kita bukan terutama soal berpikir, dan juga bukan soal perasaan. Orang-orang yang menyamakan hati dengan emosi, itu sebenarnya konsep modern; penulis-penulis Alkitab ketika menyebut ‘hati’, mereka bukan berpikir seperti itu, hati bukan tempat dari emosi, tapi lebih daripada itu, hati adalah tempat dari cinta/hasrat.
Tidak heran, dalam pertanyaan yang pertama kepada murid-murid-Nya, Yesus bukan bertanya ‘apa pikiranmu’, atau ‘apa perasaanmu’, melainkan ‘apa yang kamu cari; apa yang menjadi hasrat hatimu’. Dan Tuhan Yesus bertanya ini dalam konteks ketika Dia bertemu dengan orang-orang yang akan menjadi murid-murid-Nya, sehingga mungkin ini merupakan satu tanda yang pertama, bahwa pemuridan/pembentukan adalah lebih ke urusan hasrat dibandingkan urusan pengetahuan –bahkan mungkin juga lebih dari urusan kepercayaan. Pemuridan lebih bertujuan mendidik hasrat seseorang dibandingkan mendidik pikirannya tok.
Kalau kita kontraskan dengan dunia pendidikan hari ini, menurut asumsi banyak orang, yang namanya pendidikan itu identik dengan kegiatan melibatkan otak/ pikiran/ rasio, yaitu hal-hal yang bersifat intelektual. Ini bukan cuma hadir di sekolah-sekolah atau universitas –yang bagaimanapun tentu Saudara bisa setuju kalau kurikulumnya didominasi oleh data atau transfer data, hal-hal yang bersifat rasional– kita juga melihat hal ini di dalam Gereja, khususnya tradisi Gereja kita sendiri. Kalau saya bertanya ‘apa artinya mempelajari Kekristenan’, biasanya bagi kita, itu berarti mempelajari doktrin, prinsip-prinsip, mempelajari data-data dan informasi-informasi mengenai Kekristenan, mengenai Allah Alkitab begini dan begitu. Menjadi murid Yesus, hari ini seringkali kita lihat sebagai proyek intlektual yang kegiatan utamanya adalah menerima pengetahuan. Tapi apakah ini paradigma pendidikan yang tepat?
Kalau kita mau mendidik dengan tepat, pertama-tama kita harus bertanya, ‘siapa’ yang kita mau didik. Pendeta Stephen Tong seringkali mengatakan, kalau Saudara berkotbah kepada seorang petani yang tidak pernah masuk SD, tentunya berbeda dari kotbah kepada orang-orang lulusan S3. Jadi, pendekatan kita untuk mendidik seseorang ada hubungannya dengan ‘siapa’ yang sedang kita didik/bentuk; pembentukan berkaitan dengan membentuk ‘siapa’. Mendidik seekor anjing dan mendidik seorang manusia, itu juga berbeda. Dengan demikian, bagaimana kita mendidik, dan apa yang kita lakukan dalam pendidikan, itu sangat merefleksikan ‘siapa/apa’ yang sedang kita didik –paling tidak, siapa mereka menurut paradigma kita.
Mendidik manusia pada hari ini sangat didominasi dengan urusan intelektual, pikiran, rasio, sehingga jangan-jangan secara tidak sadar, meski kita tidak menyetujuinya, kita sedang menempatkan pikiran manusia sebagai hal yang paling utama, melihat manusia terutama sebagai makhluk pemikir (res cogitans). Mungkin Saudara dan saya tidak pernah mendengar nama filsuf René Descartes, tapi banyak dari kita berpikir mirip sekali dengan filsafatnya, yang melihat tubuh manusia hanya sebagai kontainer pasif dari kesadaran atau akal budi kita, bahwa akal budi bagian yang paling penting, sementara tubuh tidak terlalu penting (sekunder). Kita seringkali beroperasi di atas sebuah asumsi bahwa ‘kita adalah apa yang kita pikirkan’ (‘you are what you think’), sehingga kalau hidup Saudara mau dibentuk, kalau Saudara mau memuridkan seseorang, kalau Saudara mau mengubah hidup mereka, maka itu semua dimulai lewat pikiran –pikiran dibentuk dulu, lalu ketika pikiran berubah maka hidup berubah juga dong. Begitulah kira-kira.
Kalau begitu, apakah pikiran tidak penting? Tentu saja tidak begitu. Pemuridan Kristen yang serius pasti melibatkan pikiran. Banyak sekali bagian-bagian Alkitab yang bicara tentang pentingnya rasio dalam spiritualitas seseorang. Misalnya 2 Kor. 10:5, membicarakan panggilan untuk menaklukkan segala pikiran kepada Kristus. Roma 12: 2 berbicara mengenai bagaimana kita diperbaharui budi-nya, yang dalam bahasa aslinya memakai istilah noos, artinya pikiran. Tentu saja, ketika kita serius menjadi murid Yesus, kita pasti akan ingin tahu lebih banyak mengenai Dia dan Alkitab; kita membaca buku-buku, kita tukar pikiran, kita menenggak pengetahuan-pengetahuan dan mempelajari doktrin-doktrin. Tetapi, tidakkah Saudara terusik dengan pertanyaan Yesus tadi? Mengapa pertanyaan yang pertama kepada murid-murid-Nya bukanlah mengenai isi otak mereka tapi mengenai hasrat hati mereka? Yang lebih mengusik lagi, ketika kita mulai menjadi orang Kristen maka kita mulai belajar lebih banyak, tahu lebih banyak, mengerti lebih banyak; tetapi, cepat atau lambat Saudara dan saya akan menemukan, bahwa ternyata ada satu jurang (gap) antara apa yang kita tahu dan yakini, versus apa yang kita lakukan. Semua dari kita kayaknya ada pengalaman seperti ini: kita mendapatkan suatu pengetahuan yang begitu wah, yang menggugah kita, yang kita rasa begitu insightful –mungkin dari sebuah kotbah Minggu—sehingga malam itu kita tidur dengan satu komitmen untuk mengubah hidup kita sesuai kebenaran yang kita sudah dengar, tetapi hari Senin pagi semua itu buyar…. .
Kita lapar dan haus akan kebenaran, kita menenggak pengetahuan demi pengetahuan, namun entah bagaimana pengetahuan-pengetahuan itu, sepertinya koq tidak terejawantahkan dalam kehidupan saya?? Dalam situasi ini, kita mulai bingung, apakah ada sesuatu yang salah dengan saya?? apakah saya hopeless?? Bahkan mungkin, apakah saya anak setan?? Dalam Q&A ada yang tanya, satu pertanyaan yang sangat jujur, yang saya rasa juga pertanyaan kita semua: “Pak, ketika mengalami pencobaan, saya selalu disuruh mengingat mengenai Kristus dan apa yang Dia lakukan bagi saya di atas kayu salib. Tetapi koq, sepertinya ‘gak ngefek; apa ada yang salah dengan saya?” Ini pertanyaan kita juga. Apakah ini karena pengetahuan kita belum lengkap? Apakah mungkin karena ada satu keping puzzle yang belum saya dapatkan? Atau jangan-jangan ini memang proses yang saya tidak sanggup? Saudara, itu semua mungkin saja. Memang kita masih harus belajar –yang pasti kita harus mendapatkan pengetahuan yang lebih lagi– tetapi mungkin ada satu jawaban yang lain: mungkin itu adalah karena manusia bukanlah hanya pemikir, manusia bukanlah hanya makhluk rasional.
Dari pertanyaan Yesus tadi, jangan-jangan yang paling mendasar dari hidup manusia bukanlah otaknya tapi hasratnya. Yang kita hadapi di sini adalah problem adanya gap antara pikiran kita dengan kehidupan kita, saat-saat ketika kita tahu apa yang benar, percaya apa yang benar, tapi entah bagaimana hal itu tidak kita hidupi dalam hidup kita. Dalam menjawab problem ini, seringkali Gereja mengatakan: “Ya, ini karena kamu hidup terlalu baper, kamu hidup mengikuti emosi dan perasaanmu, sih. Plato mengatakan, manusia rendahan adalah manusia yang hidup mengikuti nafsunya, sedangkan manusia yang beres adalah manusia yang mengikuti rasionya, yang rasionya memimpin emosi dan kehendaknya. Maka di sini yang diperlukan sebagai orang-orang Kristen, adalah untuk kita difokuskan kepada pikiran/rasio, sehingga pikiran dan rasio kita cukup kuat untuk mendorong balik pengaruh emosi dan nafsu”. Itulah yang seringkali Saudara dan saya dengar. Lalu kita memfokuskan diri belajar, kita menyerap segala macam pengetahuan; dan, apa kabarmu sekarang?? Apakah semua pengetahuanmu itu telah berhasil membebaskanmu dari dosa? Kita kembali ke pertanyaan orang tadi dalam Q&A; saya disuruh mengingat –ini tindakan rasional—karya Kristus di atas kayu salib dalam menghadapi pencobaan, tapi koq, sepertinya ‘gak ngefek, ya; apa yang salah dengan saya??
Saudara, yang kita mau lakukan bukanlah mengajak Saudara membuang semua rasio dan pengetahuan. Alkitab ada sangat banyak bagian yang membicarakan rasio dan pengetahuan sebagai hal yang sangat positif dalam spiritualitas Kristen. Bahkan kotbah hari ini pun sedang mengajak Saudara berpikir, menggunakan rasio Saudara, karena yang namanya kotbah memang ranahnya di situ; kalau saya menolak menggunakan rasio, ya, tidak usah kotbah. Yang kita lakukan sekarang ini bukanlah menolak atau membuang rasio, tetapi mempertanyakan paham yang menempatkan rasio sebagai hal yang teratas, mempertanyakan yang disebut dengan rasionalisme. Kita bukan mengatakan untuk mengurangi pengetahuan. Kita bukan mengatakan bahwa pengetahuan tidak ada gunanya. Kita sedang mengatakan bahwa kita perlu lebih dari sekedar pengetahuan. Kita belajar untuk mengenali keterbatasan dari pengetahuan; dan mengenali batas rasio tidaklah sama dengan membuang rasio lalu memeluk baper-isme; kalau iman Saudara iman yang baper, tentu Saudara perlu mengimbanginya dengan belajar secara rasional, memakai rasiomu, dan mengisi dirimu dengan pengetahuan. Kita sedang mengajak Saudara, bukan untuk membuang rasio, tetapi untuk menyadari pembentukan dari Tuhan yang hadir lewat hal-hal lain dalam hidup kita, yang tidak selalu datang lewat rasio. Ini sangat kita perlukan, karena rasio tidak bisa menyelesaikan segala sesuatu. Itulah realitanya.
Mari kita kembali ke Alkitab dan melihat bagaimana model manusia dalam Alkitab, bagaimana rasio ditempatkan sebagai hal yang penting tapi bukan yang paling fundamental/mendasar dalam diri manusia. Amsal 4:23 tadi menempatkan hati –dan bukan pikiran—sebagai pusat dari kehidupan manusia. Sekarang kita melihat Perjanjian Baru, Flp. 1 : 9-11 “Dan inilah doaku, semoga kasihmu makin melimpah dalam pengetahuan yang benar dan dalam segala macam pengertian, sehingga kamu dapat memilih apa yang baik, supaya kamu suci dan tak bercacat menjelang hari Kristus, penuh dengan buah kebenaran yang dikerjakan oleh Yesus Kristus untuk memuliakan dan memuji Allah.” Kalau Saudara membaca ayat ini terlalu cepat, mungkin Saudara mengira Paulus sedang mendoakan jemaat di Filipi supaya mereka memperdalam pengetahuan dan pengertian, dan inilah yang bisa membuat mereka berbuah. Tapi coba baca lagi dengan teliti dan perhatikan sekuens dalam tulisannya; Paulus sedang mendoakan mereka untuk terutama mendapatkan kasih –hasrat—yang melimpah, karena kasih inilah dasar dari pengetahuan. Kata Paulus di sini, kalau kita ingin bisa memilih apa yang baik, ingin hidupnya dibentuk, ingin bisa suci dan tidak bercacat serta jadi orang-orang yang berbuah, maka memang pengetahuan dan pengertian penting, tetapi yang lebih mendasar dari semua itu adalah kasih yang melimpah. Ini sangat sinkron dengan Amsal 4:23 yang menempatkan hati sebagai pusat dari hidup manusia, bukannya pikiran. Hati, dalam bahasa Perjanjian lama bukanlah tempat emosi belaka, melainkan tempat kasih. Kasih berbeda dari emosi, kasih bukan baper.
Intinya, dalam bagian pertama ini kita bertanya, bagaimana manusia dibentuk/dimuridkan. Kita seringkali jatuh ke dalam rasionalisme dalam menjawab hal ini. Kita berasumsi manusia dibentuk lewat pengetahuan, doktrin, data-data dan informasi; inilah sepertinya yang paling kita butuhkan kalau mau dibentuk jadi murid Tuhan –berubah otaknya, maka manusianya akan mengikuti. Tapi kemudian kita bertanya, siapa manusia yang dibentuk ini. Ternyata, sepertinya manusia bukan terutama dibentuk oleh rasionya, melainkan oleh hasratnya, kasihnya. Bahwa menjadi manusia, ternyata bukan terutama mengenai ‘what you think’, melainkan mengenai ‘what you love’.
Bagian berikutnya, apa yang kita maksudkan dengan ‘kasih’, dengan ‘hasrat’ di sini? Sepertinya, itu berbeda dengan bagaimana selama ini kita menggunakan istilah tersebut? Ya, memang beda. Dalam mendiskusikan mengenai apa artinya kasih/hasrat, problem utama kita hari ini adalah: kita sudah termakan kultur zaman ini, yang sedikit banyak menyamakan kasih dengan sentimentallisme/baper-isme. Tapi ketika Alkitab menggunakan istilah ‘hati’ (kardia), itu bukan bicara mengenai perasaan saja.
Untuk bisa lebih mengerti hal ini, kita melihat pada seorang bapa Gereja, Agustinus, dengan kalimatnya yang sangat terkenal mengenai hati manusia: “God has made us for himself, and our heart is restless until it rests in you” (“Allah telah menjadikan kita bagi-Nya, dan oleh karena itu hati kita tidak menemukan istirahatnya sampai ia menemukannya dalam Engkau”). Kalimat ini membantu kita untuk mengerti istilah ‘hati’, lalu ‘kasih’ dan ‘hasrat’ –yang adalah atribut utama dari hati—dalam kacamata yang lain, kacamata yang lebih dekat dengan cara Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru menggunakan istilah ini. Kalau Saudara lihat kalimat Agustinus, dia mengatakan bahwa memiliki hati, bukanlah soal punya atau tidak punya perasaan; memiliki hati, di sini berarti hidup bagi sesuatu. Memiliki hati, berarti punya arah kepada sesuatu, ditarik menuju sesuatu, punya orientasi kepada sesuatu. Dan bukankah itu yang pada dasarnya kita sebut dengan ‘cinta/kasih/hasrat’? Tidak heran dalam mitologi “cupid”, dewa cinta, dia digambarkan memakai panah. Ini gambaran yang sangat tepat, karena cinta membuat manusia yang tadinya “titik”, menjadi sebuah “panah”, mengarah, bergulir, ditarik kepada sesuatu, dipanggil oleh sesuatu. Inilah kasih, hasrat. Ini tentu melibatkan perasaan, tapi juga melibatkan segala sesuatu dalam hidup manusia; baik pikirannya, kehendaknya, tindakannya, dan seluruh keberadaannya, disetir oleh arah panah ini. Itu sebabnya kasih bukan cuma emosi. Saudara bisa lihat sekarang pertanyaan Yesus makin masuk akal di sini, “apa yang kamu cari”.
Memiliki hati berarti menghasrati sebuah target, sebuah tujuan, rindu suatu hari tujuan ini dipenuhi/digenapi. Memiliki hati berarti hidup bagi sebuah telos, sebuah akhir. Menjadi manusia berarti memiliki panah ini. Bagi Agustinus –dan Alkitab—tidak ada manusia yang tidak sedang menghasrati sesuatu; semua manusia punya hati maka semua manusia punya telos, punya tujuan, akhir yang dia rindukan, maka dia sedang bergerak menuju hal tersebut. Sesuatu ini bukan cuma sebuah objek atau pribadi, tapi lebih daripada itu.
Saya sempat ngobrol dengan seorang teman yang memutuskan jadi ateis setelah sekian lama Kristen. Dia tentu mengeluarkan berbagai macam argumentasi rasional tentang alasannya mau jadi ateis, tapi ujungnya, yang paling membuat dia mau jadi ateis adalah: dia melihat bahwa hidup di luar Gereja, di luar Tuhan, adalah hidup yang lebih hidup. Saudara mengerti maksudnya? Ini bukanlah suatu objek atau pribadi, tapi suatu gambaran akan kehidupan; dan ini tentunya sesuatu yang tidak datang dari rasio. Memang dia bisa mengeluarkan berbagai macam argumentasi, tapi ketika semua argumentasi itu saya patahkan, dia toh tetap berkomitmen pada gambaran tersebut. Mengapa bisa demikian? Karena cinta bukanlah terutama hal yang rasional, hasrat terutama adalah sebuah gambaran/visi mengenai kehidupan yang lebih hidup. Ini sulit diungkapkan dalam kata-kata, tapi inilah yang dimaksudkan ketika orang sedang bermimpi atau menghasrati sebuah “castle on a cloud” baginya.
Ini adalah visi sebuah kehidupan yang lebih hidup; dan sadar atau tidak sadar semua dari kita punya hal ini dan sedang bergerak ke arah itu. Kalau dalam bahasa Alkitab, ini adalah visi akan kerajaan. Ini visi suatu kerajaan karena visi ini bersifat sosial. Ketika Saudara bermimpi/menghasrati satu kehidupan yang ideal, Saudara tidak akan membayangkan hanya diri Saudara yang ada di sana, Saudara akan membayangkan adanya sebuah masyarakat, sebuah hubungan sosial, yaitu suatu gambaran hubungan sosial/masyarakat yang harusnya seperti itu. Suatu manajemen yang membuat hidup lebih hidup, suatu budaya yang membuat hidup lebih hidup. Sadar atau tidak sadar kita semua punya gambaran itu, merindukan gambaran itu, dan sedang bergulir menuju ke sana. Mengapa Saudara mencari pasangan, pasangan seperti apa yang Saudara cari, bagaimana Saudara mencarinya, pekerjaan apa yang Saudara sedang kerjakan dan bagaimana Saudara mengerjakannya, tujuan apa di balik pekerjaan itu, semua itu sadar atau tidak sadar Saudara kejar demi mendapatkan gambaran tadi, visi kerajaan dalam hati Saudara, supaya visi tersebut boleh turun di atas bumi ini seperti –bukan di surga—di hati kita. Itulah namanya menjadi manusia yang mempunyai hati. Dan Saudara perhatikan, proyek ini bukanlah proyek yang hadir dari rasio, tapi proyek inilah yang justru menggerakkan rasio kita.
Seorang penulis Perancis, Antoine de Saint-Exupéry yang menulis buku “The Little Prince”, mengungkapkan hal ini dengan begitu baik. Dia mengatakan demikian: ‘Kalau Anda ingin membangun sebuah kapal, tidak cukup hanya dengan menyuruh orang mengumpulkan kayu, tidak cukup hanya dengan membagi tugas-tugas untuk mereka membuat suatu kapal. Tidak cukup. Yang diperlukan adalah ceritakan kepada mereka keindahan dari laut lepas, tarik mereka untuk membayangkan dan merindukan kebebasan samudra raya.’ Inilah hati manusia. Yang memegang kendali atas jiwa kita, bukanlah ide-ide abstrak, atau peraturan-peraturan tertentu, atau langkah-langkah teknis ini dan itu. Yang menggerakkan Saudara dan saya, yang memanggil dan menarik kita, yang membuat langkah kita bergulir, adalah sebuah panorama, sebuah visi, sebuah gambaran akan hidup yang lebih hidup. Itulah yang mendorong kita untuk bertindak mendatangkan gambaran itu di bumi ini seperti di dalam hati kita.
Saudara, rasio itu datang belakangan, koq. Yang pertama tertangkap adalah imajinasi Saudara terlebih dulu. Visi Saudara dulu, kemudian rasio Saudara mengikuti arah itu. Seperti kalau Saudara nonton film yang menggugah jiwamu, lalu Saudara ingin orang lain nonton juga, kita bilang kepada mereka: “Lu harus nonton film ini.” Lalu kalau dia tanya kenapa, Saudara mulai pikir ‘O, iya, kenapa ya’, Saudara mungkin tidak ada argumen rasionalnya tapi kemudian Saudara akan cari dan katakan kepada mereka: “Itu sutradaranya keren banget, dia bikin begini, begini, begini; sinematografinya bagus karena ini, ini, ini”. Saudara jadi bisa menjelaskan argumen rasionalnya, dan itu masuk akal, sehingga teman Saudara bisa mengangguk-angguk dan mengatakan: “Benar, masuk akal, logis, rasional!” Saudara lihat, rasio di sini bukanlah pemicunya, rasio adalah sarana dari hasrat hatimu, bukan sumbernya. Kita bukanlah apa yang kita pikirkan. Kita adalah apa yang kita cintai/hasrati. Dan hasrat/kasih di sini jangan direduksi jadi “baperisme”. Kasih atau hasrat di sini adalah satu kerinduan bagi sejenis kerajaan di atas bumi ini. Masalahnya, seringkali kerajaan ini tidak mempunyai Allah sebagai rajanya –tapi kita akan bicarakan itu lain kali.
Di bagian pertama tadi, kalau bicara pembentukan/pemuridan, kita harus tahu ‘siapa’ yang kita muridkan, dan siapakah manusia. Manusia ternyata menurut Alkitab bukanlah terutama makhluk rasional, melainkan makhluk hasrat. Jadi kalau Saudara mau membentuk manusia, jangan cuma berusaha mengisi pikirannya; Saudara harus membentuk hatinya –yang terutama. Di bagian kedua, kita bicara mengenai apa itu ‘hati’, apa itu ‘hasrat’, apa sesuangguhnya yang dinamakan ‘cinta/kasih’. Dan ternyata, pengertian hati atau hasrat lebih luas dan lebih dalam daripada bagaimana selama ini kita menggunakan istilah tersebut. Hati menginginkan bukan cuma sesuatu atau seseorang, tapi menghasrati suatu visi kerajaan tertentu. Itu sebabnya tidak heran antara apa yang kita tahu dan apa yang kita lakukan, bisa ada gap, karena memang pengetahuan bukanlah pusat dari diri kita. Diri kita mengejar dan menyembah bukan apa yang kita pikir, bukan apa yang kita percaya; diri kita sedang mengejar dan menyembah apa yang kita hasrati.
Kita sampai ke bagian ketiga. Manusia ternyata adalah seorang makhluk hasrat; dan ternyata hasrat ini begitu sentral, bahwa memang benar hati adalah mata air, yang dari situ mengalir seluruh hidup kita, seluruh pikiran kita, seluruh perasaan kita, seluruh arah hidup/orientasi hidup kita. Itu sebabnya membentuk dan memuridkan seseorang, tidak cukup dengan menyentuh pikirannya dan menyentuh perasaannya, kita harus membentuk arah hasrat hatinya. Pertanyaannya: bagaimana caranya? Dari kotbah yang lalu, Saudara sudah tahu jawabannya, bahwa hasrat itu datang dari habit. Habit (kebiasaan)membentuk hasrat.
Kolose 3: 12-14, “Karena itu, sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya, kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran. Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian. Dan di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan.” Di bagian ini Saudara lihat bagaimana Paulus menggunakan metafor ‘baju’ untuk mengungkapkan kehidupan yang dibentuk jadi mirip seperti Kristus. Kalau kita mau dibentuk jadi seperti Kristus, maka kita perlu mengenakan –seperti mengenakan baju— belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, dst. Dan di atas semua itu, kita disuruh mengenakan kasih, sebagai pengikat. Kasih digambarkan seperti ikat pinggang yang menyatukan, merapikan, dan melekatkan semua baju-baju tadi. Di sini sekali lagi ada sentralitas kasih.
Waktu kita melihat bagian ini, penting untuk disadari bahwa kita ini orang modern yang jaraknya sudah sangat jauh dari zamannya Paulus, sehingga kita gagal paham apa yang sedang Paulus bicarakan –paling tidak, kita kehilangan sebagian besar. Apakah itu? Di sini Paulus bukan sedang membicarakan mengenai sifat-sifat saja; ketika dia mengatakan ‘kenakanlah ini dan itu’, dia bukan sekedar mengatakan tentang sifat-sifat ini dan itu. Bagi pembaca-pembaca awal di abad pertama, ketika Paulus mendaftarkan belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, dst., mereka bisa mengenali bahwa Paulus sedang bicara suatu kategori benda-benda, yang hari ini sudah jarang kita bicarakan, bahkan dalam bahasa Indonesia tidak ada terjemahannya, yaitu yang dalam bahasa Inggris disebut: virtue. Virtue bukan cuma sifat baik; bedanya virtue dengan sifat baik adalah: bagi orang-orang zaman itu, yang namanya virtue selalu merupakan sebuah habit.
Kita bisa lebih mengerti hal ini dari pemikiran Thomas Aquinas. Thomas Aquinas membandingkan antara virtue dengan hukum. Dia mengatakan, semakin seseorang punya virtue, maka dia semakin tidak membutuhkan apa yang disebut dengan hukum. Mengapa? Karena semakin seseorang punya habit yang baik,maka habit ini akan membentuk dalam dirinya suatu arah yang internal; sedemikian internal sehingga dia tidak lagi membutuhkan hukum yang eksternal untuk mengatur dan memaksa dia melakukan apa yang baik. Sebaliknya, bagi seseorang yang tidak punya virtue, dia semakin membutuhkan hukum yang eksternal untuk memaksa dia melakukan apa yang baik.
Jadi, virtue bukan bicara soal tindakan badani tok, melainkan tindakan badani yang dilakukan secara habitual (kebiasaan), sampai hal tersebut akhirnya jadi sebuah second nature (natur kedua). Kalau Saudara mendidik anak, pada awalnya Saudara harus memaksa dia untuk melakukan A dan B, dengan disertai hukum yang eksternal, dengan terus diberitahu, kadang diancam tapi di kali lain diiming-imingi. Harapannya, suatu hari nanti –dengan membiasakan habit ini kepada mereka—mereka akan meng-internalisasi apa yang baik itu dan menjadi orang yang punya virtue, yang tidak lagi perlu ancaman tongkat atau sogokan hadiah untuk bisa menjalankan apa yang benar.
Kalau kita belajar menyetir mobil, awalnya kita perlu hukum-hukum eksternal itu. Kita perlu diberitahu: pertama injak kopling, kopling adalah yang paling kiri, dan injaklah dengan kaki kiri; setelah itu masukkan gigi ke satu, caranya begini, lalu injak gas sedikit, dst. Kita jelas perlu itu. Tapi ada satu poin ketika proses itu terus berjalan sekian lama dan diulang-ulang jadi sebuah habit, akhirnya menyetir sudah jadi second nature, dan Saudara menyetir tidak usah berpikir lagi –paling tidak, tidak usah mikir secara aktif lagi (ada proses rasio yang berjalan secara tidak disadari). Di sini Saudara sudah jadi “tidak sadar” sedang menyetir. Waktu Saudara bernapas, Saudara juga tidak selalu sadar sedang bernapas –ini adalah first nature yang biologis. Tapi dalam hidup ini ada banyak hal yang kita lakukan dalam habit, berulang-ulang, dan lama-lama jadi second nature; sebagaimana Saudara bernapas, mengedip, dan menelan makanan tanpa berpikir, begitu juga waktu menyetir mobil Saudara tidak berpikir lagi.
Sama halnya dengan virtue, sama halnya dengan pembentukan hasrat dan hati seseorang, demikianlah hukum, rasio, dan perintah ada tempatnya. Mereka mengartikulasikan apa yang baik, mereka diperlukan untuk memberitahu apa yang harus kita lakukan, tapi mereka bukan satu-satunya sarana dalam pembentukan Kristen. Kita dididik secara virtue bukan hanya lewat apa yang rasional, tapi lewat apa yang habitual. Dibentuk dalam virtue bukanlah cuma mengenai informasi, tapi lebih merupakan sebuah re-formasi, membentuk ulang tindakan-tindakan Saudara, dengan demikian membentuk natur kedua dalam diri Saudara.
Belajar untuk jadi orang-orang yang punya virtue, itu lebih seperti orang yang belajar main tangga nada dibandingkan belajar teori musik. Teori musik bertujuan untuk mendidik otak, sedangkan belajar main tangga nada bukan terutama mendidik otak melainkan mendidik otot-otot jari Saudara, sehingga bisa suatu hari memainkan secara natural tanpa Saudara menyadarinya. Dengan demikian, pemuridan dalam model seperti ini bukanlah hanya sesuatu yang diberikan kepada Saudara tapi sesuatu yang dipahatkan pada Saudara, diukirkan pada Saudara. Dan itu datang dari habit; dari sesuatu yang bersifat sangat badani.
Inilah kesalahan zaman modern: kita berpikir hati itu internal maka jalan kepada hati adalah lewat yang internal juga, yaitu pikiran, sedangkan badan itu eksternal, di luar, sekunder, sebuah kontainer yang suatu hari akan kita tinggalkan, ‘gak penting! Dalam Protestan, hal ini juga problematik, karena kita tahu secara sejarah, bahwa salah satu pertentangan antara Protestanisme dengan Roma Katolik adalah urusan ikonografi, ritual. Oleh karena Protestan hendak membuang penyembahan patung Maria, membuang penggunaan relik-relik yang tidak bertanggung jawab, akhirnya Protestan kebablasan sedikit, ibarat ‘membuang air mandi bayi berikut bayinya’. Dalam Protestanisme –ini self-critic— akhirnya ada kecenderungan untuk curiga terhadap segala sesuatu yang bersifat badani, yang bersifat ritual, termasuk juga akhirnya ritual yang Tuhan Yesus sendiri beri kepada kita yaitu Perjamuan Kudus, kita sterilkan habis-habisan. Roti hosti dibuat sebisa mungkin tidak ada rasa, anggur kadang-kadang diganti jadi jus. Seringkali itulah kecenderungan dalam tradisi Protestanisme. Lebih parah lagi, Kekristenan yang punya konsep bahwa kalau mati masuk surga dan di surga tubuh tidak punya tempat. Tidak demikian, Saudara. Manusia itu jiwa dan tubuh; walaupun tubuh kita yang sekarang akan rusak dan mati, tujuan akhir Tuhan adalah memberikan kita tubuh yang baru, bukannya melayang-layang seperti roh; dan tujuan akhir Tuhan juga bukan membawa kita naik ke surga melainkan membawa surga turun ke bumi.
Tubuh Saudara adalah bagian yang tidak kalah penting dari pikiran ataupun jiwamu. Tubuhmu, ternyata adalah jalan menuju hatimu. Itu sebabnya apa yang tubuh Saudara lakukan, sesungguhnya tubuh itu sedang melakukan sesuatu kepada hati-mu. Ritual-ritualmu, kebiasan-kebiasanmu, habit-habit-mu –liturgimu– bukanlah sesuatu yang cuma ‘kita melakukan’, tapi sesuatu yang sedang ‘melakukan sesuatu kepada kita’. Sederhana saja, apakah Saudara pikir kebiasaan bangun pagi lalu cek HP, itu tidak berpengaruh? Dan Saudara mungkin pikir kebiasaan itu adalah sesuatu yang keluar dari hatimu? Memang benar. Tapi jangan salah,itu juga sesuatu yang masuk kembali mempengaruhi hatimu. Itu sebabnya kita dipanggil untuk menjalankan liturgi di Gereja. Apa itu liturgi? Suatu habit komunal umat Tuhan.
Kita melihat kembali kepada Paulus; setelah Paulus berbicara tentang mengenakan virtue, dia beralih kepada apa? Kolose 3: 15-16, “Hendaklah damai sejahtera Kristus memerintah dalam hatimu, karena untuk itulah kamu telah dipanggil menjadi satu tubuh. Dan bersyukurlah. Hendaklah perkataan Kristus diam dengan segala kekayaannya di antara kamu, sehingga kamu dengan segala hikmat mengajar dan menegur seorang akan yang lain dan sambil menyanyikan mazmur, dan puji-pujian dan nyanyian rohani, kamu mengucap syukur kepada Allah di dalam hatimu.” Saudara lihat, ketika Paulus mengatakan ‘kenakanlah virtue dari Tuhan’, dia mengajak kita untuk menjadi satu tubuh. Apa yang dilakukan oleh tubuh ini? Yaitu: mendengar perkataan Kristus, saling mengajar, menyanyikan mazmur puji-pujian, mengucap syukur. Ini adalah gambaran Kebaktian!
Solusi yang Paulus berikan untuk masalah gap antara apa yang kita tahu, yang kita percaya, dengan kelakuan kita, hidup kita, adalah: Kebaktian, Worship, Ibadah. Saudara tidak bisa mendorong balik pengaruh dunia hanya dengan kekuatan pikiranmu, hanya dengan informasi yang di-download di bank data otak Saudara; Saudara perlu hati yang direformasi. Dan ternyata jalan menuju hatimu adalah lewat tubuhmu, habit-mu; dan itulah yang sedang terjadi di tempat ini, sekarang –Kebaktian.
Mungkin Saudara bilang, “Kirain Bapak mau kasih solusi apa, ternyata solusinya hanya kebaktian kita yang saya sudah bosan ini. Mengecewakan.” Saudara, ini tidak harus tentang kebaktian kita. Ada kemungkinan kita sudah terlalu men-sterilisasi liturgi –bobot dan signifikansi liturgi– kita, sehingga bisa saja kebaktian kita sudah terlalu steril, dan kita perlu memperbaiki hal ini. Bisa saja kita perlu belajar kelimpahan tradisi ibadah gereja-gereja lain yang berbeda-beda. Jadi jangan Saudara menjadikan kebaktian kita ini sebagai standarnya, tetapi bagaimana pun juga liturgi komunal di gereja kita hari ini amat sangat berpengaruh.
Pembahasan sebelumnya kita memakai contoh menilai khotbah. Semua dari kita mempunyai gambaran/visi yang ideal mengenai dunia; kita juga mempunyai gambaran/visi yang ideal mengenai khotbah. Kita rasa, kotbah yang bagus itu yang begini begitu, yang mungkin kita pernah dengar dan sangat tergugah; kita sangat dipengaruhi khotbah tersebut sehingga kita bilang khotbah yang bagus adalah yang kayak begitu, yang kita cuma dengar satu kali itu. Memang bisa saja yang sekali-sekali itu mempengaruhi Saudara begitu rupa. Tapi saya ingin mengajak Saudara menyadari satu hal, kenapa Saudara bisa mengatakan kotbah tersebut bagus. Standar apa yang Saudara pakai sehingga Saudara mengatakan kotbah tersebut di atas rata-rata; dari mana standar ‘rata-rata’ itu, apakah dari mendengar kotbah yang sekali-sekali itu? Tentu tidak. Standar itu tidak universal, lho.
Misalnya Saudara mengatakan Pengkotbah A bagus, tapi dia pendeta gereja lain yang cuma diundang sekali-sekali saja. Lalu Saudara ikut pindah ke gerejanya pengkotbah tersebut, Saudara mendengar kotbah dia lagi, dan terkesima lagi, sedangkan menurut Saudara pengkotbah di gereja asal Saudara ya, okelah, tapi tidak sebagus dia. Tapi waktu Saudara mengatakan kepada jemaat di situ, dia bilang, “Ah, biasa-biasa saja sih, Pendeta gua”. Lalu suatu hari giliran orang tadi yang ke gereja asal Saudara, mendengar kotbah pendeta Saudara yang Saudara rasa ‘ya, okelah’ itu; dan teman itu mengatakan kotbahnya sampah. Saudara mengerti mengapa? Karena standarnya tidak universal. Mengapa bisa ada standar yang berbeda ini? Dari mana datangnya? Kita selalu berpikir, ‘saya mau khotbah ideal; yang mempengaruhi saya tentang khotbah ideal adalah khotbah yang saya dengar satu kali itu’. Tapi tidak demikian, Saudara; yang mempengaruhi bagaimana Saudara menilai sehingga bisa bilang ‘yang ini bagus, yang itu jelek’, itu adalah karena Saudara punya suatu standar, dan standar ini datangnya dari habit!
Kita selalu pikir yang berpengaruh adalah yang sekali-sekali. Kita sering lupa bahwa yang membuat ‘yang sekali-sekali’ itu bisa berpengaruh, adalah karena ‘biasanya/habit-nya’ tidak kayak begitu. Ini cerita lama –hubungan tradisi dengan inovasi. Banyak orang mengejar inovasi lalu membuang tradisi, dan akhirnya orang-orang kayak begini tidak bisa bikin inovasi. Saudara tahu kenapa? Karena inovasi tidak pernah ada tanpa tradisi. Bagaimana saudara menentukan sesuatu itu inovatif? Yaitu ketika membandingkannya dengan yang tradisional; kalau tidak ada tradisi, maka tidak ada inovasi. Kalau Saudara mau membuat sesuatu yang bebar-benar inovatif, berarti Saudara memerlukan tradisi. Perlu ada standarnya. Perlu ada yang datang sebelum itu, yang sudah berjalan sebegitu lama menjadi tradisi; setelah itu baru Saudara bisa membuat inovasi. Inovasi membutuhkan tradisi; sesuatu baru bisa disebut inovatif ketika kita menilainya dari yang tradisional. Di sinilah kebutaan kita.
Waktu saya mengatakan bahwa solusi dari pembentukan hasrat adalah habit, Saudara mungkin bilang, “Apa pengaruhnya? Saya sudah kerjakan itu bertahun-tahun. Saya maunya yang sekali-sekali, yang luar biasa itu”. Saudara, yang luar biasa itu Saudara bisa anggap luar biasa, bukankah karena Saudara punya standar mengenai apa yang biasa? Dari mana standar itu? Dari habit. Inilah yang lebih berpengaruh. Waktu Saudara mengatakan “inilah khotbah yang ideal”, itu bukan karena Saudara mendapatkan gambaran khotbah yang ideal pada saat itu; bukan demikian. Gambaran itu sudah ada dalam hatimu jauh sebelum Saudara mendengar khotbah hari itu, yang membuat Saudara jadi bisa mengenali seperti apa khotbah yang bagus. Standar itu sudah ada dari dulu, cuma Saudara tidak sadar. Ini sama seperti Saudara bawa seseorang ke restoran yang super bagus; tapi kalau orang ini sehari-hari cuma makan Indomi, bagaimana dia bisa mengapresiasi apa yang bagus? Tidak ada standarnya. Saya sering menghadapi ini ketika menceritakan musik klasik; orang-orang yang tidak bisa mengapresiasi musik klasik, celakanya mereka pikir musiknya yang problematik. Tidak demikian. Masalahnya adalah: habit mereka selama ini hanya dengar musik mi instan.
Jadi, habit pengaruhnya bukanlah pada apa yang Saudara lihat; habit mempengaruhi bagaimana Saudara melihat. Tidak heran kalau Saudara seringkali tidak sadar, sebagaimana Saudara juga sering tidak sadar bahwa Saudara pakai kacamata. Saudara sering tidak sadar bahwa Saudara punya logat. Itu adalah hal-hal yang kita tidak sadari, tapi ada. Lalu apa kabar baiknya dari kotbah hari ini? Yaitu, Saudara melihat bahwa ternyata Allah kita tahu adanya sisi tersebut, yang seringkali kita buta. Allah kita tahu dan memberikan kepada kita pembentukan melalui jalur-jalur yang selama ini tidak kita sadari itu. Allah kita sudah tahu hal ini sejak awal, itu sebabnya Dia memanggil kita untuk datang beribadah dengan tubuh, dengan umat Allah, bersama-sama, Minggu demi Minggu demi Minggu. Itulah good news-nya.
Kalau Saudara mengatakan, “Ah, solusinya cuma kayak gitu, yang dari dulu sudah saya kerjakan, saya sudah tahu”, justru Saudara perlu bersyukur karena Allah Saudara tidak pernah gagal memberikan segala hal yang Saudara perlukan itu. Kitalah yang seringkali tidak sadar, buta, memandang rendah, dan akhirnya menutup diri dari pengaruh positif hal-hal seperti itu. Kita mengira Ibadah itu kewajiban untuk kita lunaskan. Tidak. Ibadah adalah sebuah hadiah dari Tuhan bagi Saudara, untuk membentuk Saudara menjadi tubuh-Nya; dan dengan demikian menjadikan di atas dunia ini kerajaan surgawi.
Kotbah ini merupakan satu seri kotbah, jadi kita tidak akan mencapai klimaks di sini. Kita sedang merunut satu per satu, dengan lebih detail, mengenai apa yang kita lakukan di tempat ini, kenapa kita melakukannya; kenapa kita melakukan Ibadah secara badani, kenapa Ibadah harus secara bersama-sama. Meskipun sekarang adalah masa transisi [dalam pandemi Covid-19], kita tidak akan terus-menerus melakukan ibadah ini secara online; kenapa? Hari ini kita sudah mendiskusikan dasar pemikirannya, yaitu karena manusia bukan cuma makhluk rasional, tapi mahkluk hasrat; dan membentuk hasrat bukan cuma lewat rasio, dan juga bukan terutama lewat rasio, tetapi lewat badan, khususnya lewat habit yang badan ini lakukan lagi, dan lagi, dan lagi, bersama-sama umat Allah yang lain. Dalam masa ini kita masih sangat memaklumi kalau Saudara tidak bisa hadir secara fisik, ada banyak alasan yang valid untuk itu –Saudara mungkin kerja di rumah sakit, atau ada orang-orang yang rentan kena resiko di rumah Saudara. Tetapi, kiranya kita boleh memakai waktu-waktu transisi ini untuk memikirkan ulang –bukan membuang rasio—mengenai ibadah kita, untuk mengenali bahwa Ibadah ini sebagai satu pemberian yang begitu luar biasa dari Tuhan.
Dalam seri kotbah berikutnya kita akan bicara mengenai liturgi sekuler/liturgi duniawi, habit duniawi, dan bagaimana hal itu berpengaruh pada kita. Di kotbah yang lalu kita bicara mengenai mal, nanti kita akan pakai contoh yang lain; setelah itu kita masuk ke dalam liturgi Gereja, dan seterusnya.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading