Setting cerita ini pada zaman Herodes Agripa I, kira-kira tahun 41-44 M. Herodes Agripa I mewarisi kerajaan dari kakeknya, Herodes Agung, yang menguasai wilayah Yudea.
Dinasti Herodes sebetulnya bukan orang Yahudi asli, mereka keturunan Edom (Esau). Itu sebabnya mereka tidak punya relasi penghormatan yang natural dari rakyat, yang menganggap penguasa harusnya dari keturunan Yehuda berhubung bertahun-tahun kursi kerajaan orang Yahudi diduduki oleh dinasti Daud, sedangkan Herodes bahkan tidak termasuk 12 suku Israel, dia orang Edom. Dan, itu sebabnya dinasti Herodes ini ada insekuritas, mereka merasa sebagai outsider yang ingin mendapat penghormatan dari konstituen yang mereka pimpin. Herodes Agung mencoba menambal hal itu dengan mendirikan banyak bangunan-bangunan yang besar, yang bahkan lebih impresif peninggalannya daripada Romawi, sehingga bisa dibilang jangan-jangan dia membangun lebih banyak, lebih megah, dan lebih extravagant daripada Romawi.
Orang Romawi sendiri menghormati dia karena dia bisa manage keuangan dan resources sebegitu rupa (dalam hal ini orang Romawi mendirikan emporium, dan di dalamnya ada banyak kerajaan kecil yang dikuasai Romawi, mereka menyetor pajak kepada Romawi). Jadi, walaupun Romawi tentu menghina agama orang-orang Yudea dan melihat Herodes sebagai yang di bawah mereka, namun mereka ada respek juga karena Herodes bisa manage untuk sukses, untuk bikin bangunan-bangunan yang impresif, dst.; dan khususnya bisa manage orang-orang yang highly disagreeable di Timur Tengah itu. Ini orang-orang yang suka berkelahi dan suka bertengkar, sulit berdamai satu dengan yang lain, sehingga shalom sangat didambakan di tengah-tengah region tersebut; dan Herodes Agripa somehow bisa menghadirkan shalom, keteraturan, di bumi yang dihuni orang-orang yang saling menendang, menyikut, dan menggigit itu –hanya saja, memang ada harganya. Kalau ada keteraturan di tengah-tengah ketidakberaturan, kita perlu tanya ‘ongkosnya apa; dibayarkan oleh siapa?’ Ongkosnya tentu darah, air mata, dan keringat, yang bukan dari dinasti Herodes, melainkan dari mereka yang dikuasai. Darah, air mata, dan keringat dari ibu-ibu yang anaknya dibunuh oleh Herodes; di atas dasar inilah Herodes serta keturunannya mendirikan kerajaan mereka, yang mereka katakan sebagai: “Kami mendirikan kerajaan Israel, kerajaan yang mewarisi takhtanya Tuhan, di tengah dunia ini”. Itulah klaim mereka. Dan, mereka mau tidak mau harus mengambil hati rakyat karena mereka tidak kuat-kuat banget sih sebetulnya.
Kita tahu dari Machiavelli bahwa orang yang kekuasaannya tidak kuat-kuat banget, mereka tidak bisa afford untuk sungguh-sungguh dibenci atau tidak disukai atau jadi tidak populer; mereka ingin populer juga, karena kalau sampai mereka dibenci rakyat, mereka harus bisa menggilas ketidaksukaan dan pemberontakan rakyat itu, sedangkan kalau kekuatan mereka terbatas tentunya tidak bisa. Itu sebabnya dalam menata suatu masyarakat, orang harus pandai-pandai mengambil hati orang-orang tertentu, harus pandai-pandai menaklukkan orang-orang tertentu, harus pandai-pandai mendirikan kekuasaan mereka dengan berbagai cara. Itu hal yang tidak begitu mudah dicapai. Namun di tengah segala paranoia dan kesulitan itu, Herodes cukup mampulah mendirikan tatanan politis di wilayahnya itu. Ongkosnya mahal, dibayar oleh konstituen, dibayar oleh rakyat yang tidak bisa melawan –atau melawan tapi kalah– dan kali ini Lukas sebagai sejarawan, menggambarkan bahwa ongkosnya dibayar salah satunya oleh satu sekte yang masih muda, yang muncul di tengah orang Yahudi, yaitu sekte Kristen.
Herodes Agripa adalah orang yang ingin mendirikan tatanan di atas segala puing-puing kemanusiaan yang berserakan di Palestina itu –Romawi menindas Israel; Raja Israel, Herodes, menindas rakyatnya. Di atas puing-puing itulah Herodes mencoba mendirikan tatanan politis; dan dalam hal ini dia mendirikan dengan cara mengambil hati orang Yahudi. Orang Yahudi yang sudah ditindas dan dicekik dengan pajak yang tinggi oleh Romawi itu, coba diambil hatinya, dengan cara Herodes menghukum sekte yang mereka anggap sesat, sekte hari kiamat, sekte mesianik, yaitu sekte Kristen. Ini sekte yang menganggap Mesias sudah datang, namun kemudian dibunuh oleh orang-orang Yahudi dengan perantaraan tangan orang Romawi; tapi Mesias tersebut katanya sudah bangkit. Sekte tersebut banyak simpatisannya, dan berkembang seperti jamur panu yang makin meluas dan berbahaya. Inilah keadaan yang dihadapi Herodes Agripa; dan dia melihat cukup efektif, bahwa ketika dia bunuh Yakobus, ternyata orang-orang Yahudi senang, maka next in the line siapa, ya? “Petrus-lah antrian berikutnya; saya akan bunuh dia di hadapan rakyat supaya mereka senang, supaya mereka makin mendukung saya, supaya popularitas saya makin tinggi” –kira-kira begitu.
Namun tentu saja mereka harus melakukan itu pada hari yang pas, karena walaupun Kristen jumlahnya sedikit, tapi kalau kompak memberontak, tentu menimbulkan kesulitan juga. Jadi mereka harus memperkecil ongkos politis, ongkos sosial. Mereka sudah berhitung, dan mereka akan melakukannya sesudah hari Paskah. Lukas, ketika mencatat ini, dia mau memperlihatkan sesuatu, yaitu bahwa ada kesejajaran kehidupan Petrus dengan kehidupan Yesus. Yesus juga sama, dibunuh menjelang Paskah; Dia dibunuh sehubungan dengan perayaan itu, dalam setting itu. Jadi ini mengingatkan pada kehidupan Yesus, hari-hari terakhir ketika Dia mau dibunuh, bagaimana Dia ditahan, dihakimi oleh raja Israel yang tidak berhak, dst. Petrus ditahan sampai akhir dari hari Paskah supaya tinggal sedikit orang di Yerusalem.
Yerusalem adalah kota yang cuma ramai pada saat Paskah –agak mirip dengan Mekkah yang cuma ramai pada hari raya pilgrim— sedangkan di luar itu agak sepi, karena Yerusalem merupakan kota di atas bukit, kota yang tidak strategis secara perdagangan, orang ke sana hanya untuk ziarah. Jadi, mereka menunggu saatnya Yerusalem agak sepi, baru kemudian mereka akan menghadapkan Petrus kepada musuh-musuhnya. Herodes Agripa rupanya juga mengerti, kalau pendukung kedua belah pihak sama banyaknya, situasi bisa bahaya; sedangkan kalau salah satunya sedikit, situasi gampang dikendalikan –maka dia menunggu saat itu.
Herodes Agripa menganggap perlu menahan Petrus jangan sampai kabur, maka dia tempatkan di supermax prison, ibarat tempatnya El Chapo ditahan di Amerika, tempat yang hampir mustahil lepas. Petrus dijaga oleh 16 orang; satu regu (4 orang) berjaga 3 jam (empat regu ini berjaga sepanjang jaga malam, dari jam 6 malam sampai 6 pagi, total 12 jam, maka tiap regu berjaga 12:4=3 jam). Selama 3 jam, 4 orang menjaga satu orang, lalu giliran berikutnya 4 orang lagi, dst. Bisa bayangkan, Petrus sendirian di situ, dan ada dua prajurit Romawi, yang badannya mungkin dua kali lebih besar daripada Petrus, yang dirantai dengan Petrus, lalu di luarnya ada yang berjaga 2 orang lagi. Ini seakan-akan teralinya dua lapis, orang bisa keluar dari terali yang satu, masih harus bongkar terali yang lain, baru bisa masuk ke pintu yang kedua, bongkar lagi, baru bisa lepas; dan di tiap pintu itu, berjaga 2 prajurit Romawi yang tidak tidur. Kita bisa bayangkan seperti apa ketatnya penjagaan itu, Ip Man saja mungkin tidak bisa lepas. Tapi Petrus tidak jago kungfu, dan dia bukan Houdini yang bisa lepas dari kunci, jadi kemungkinannya kecil banget. Dan Petrus tentu tahu bahwa setiap pagi, ketika dia bangun, bisa jadi penjaga akan mengatakan, “Oke, Petrus bangun, sudah waktunya, inilah harinya, kita pergi sekarang”, artinya dia tidak akan kembali lagi sebagai orang hidup, pergi dengan dua kaki lalu baliknya ditandu karena sudah mati. Petrus tahu itu. Kalau kamu tahu itu, kamu masih bisa tidur? Mungkin susah juga. Tapi Petrus bisa tidur. Penjaganya tidak boleh tidur, tapi Petrus tidur di tengah-tengan mereka.
Waktu Petrus tidur, malaikat datang. Kalau di film-film, waktu malaikat datang, “Jreeeenggg….”, langsung orangnya bangun; tapi di sini, waktu malaikat datang, Petrus masih tidur, sampai-sampai malaikat harus membangunkan Petrus. “Bangun, Mas, bangun… “, baru Petrus kemudian bangun. Setelah bangun, malaikat musti ngajarin Petrus: “Bangunlah, ikatlah pinggangmu, pakailah alas kakimu, kenakan jubahmu, dan ikutlah aku”. Ini mengingatkan kita dengan kisah sebelumnya, Kis. 10 waktu Petrus mendapat penglihatan, lalu ketika penglihatan berakhir, dia mungkin agak bingung-bingung sedikit, kemudian malaikat mengatakan, “Eh, ada yang nungguin di bawah, itu utusan Kornelius, kamu harus ke sana; Kornelius bukan orang Israel, tapi kamu harus ke sana memberitahu dia dan mengumumkan datangnya Kerajaan Allah, mengundang dia ke dalam Kerajaan Allah itu”, dst. Di situ malaikat mengatakan, “Bangunlah dan turunlah ke bawah” (Kis. 10:20); dan demikianlah Kis. 12:7-8, “Bangunlah, ikatlah pinggangmu, pakailah alas kakimu, kenakan jubahmu, dan ikutlah aku”. Petrus diajarin, dituntun step by step, untuk mengikuti perintah malaikat. Kemudian, seperti di pasal 10 juga, Petrus mengikut instruksi tersebut, dia bangun, mengikat pinggangnya, memakai sepatunya, memngenakan jubahnya, dan mengikuti malaikat itu.
Selanjutnya dikatakan, malaikat itu menuntun Petrus melewati dua gerbang penjara, setiap kali mereka lewat, gerbangnya terbuka sendiri, seperti kalau kamu masuk mal tidak perlu buka pintunya dan langsung terbuka sendiri. Petrus dalam hal ini menganggap itu cuma visi, dia anggap dia cuma mimpi, karena improbable banget, aneh banget. Namun kemudian malaikat pergi, Petrus tertinggal seorang diri di luar penjara; dan realitas pun menyergap dia, ‘lho koq saya tidak dirantai lagi, lho koq saya berdiri di sini, lho koq tidak ada penjaga lagi; ini saya beneran lepas ya’. Petrus pun mulai realized ‘ini betulan, ini bukan mimpi’. Lalu dikatakan, setelah mikir-mikir beberapa saat ‘ke mana, ya?’, dia memilih opsi ini: ke rumah Maria. Maria adalah ibu dari Yohanes Markus, yang adalah keponakan Barnabas (ini Yohanes Markus yang nantinya jadi sumber pertengkaran Paulus dengan Barnabas).
Ibu dari Yohanes Markus ini rupanya membuka rumahnya jadi tempat persekutuan doa semalam suntuk, mendoakan Petrus. Kalau kita amati bagian ini, menarik bahwa mereka itu berdoa berhari-hari; istilah yang dikatakan di bagian ini, ‘jemaat bertekun mendoakannya kepada Allah’, dalam bahasa Yunaninya pakai struktur yang bisa diterjemahkan begini: ‘mereka sudah sedang mendoakan Petrus selama ini, di hadapan Allah’. Jadi berarti mereka bukan hanya hari itu mendoakan Petrus, mereka sudah sedang mendoakan Petrus selama ini. Artinya, malam sebelumnya dan malam sebelumnya lagi, mereka sudah mendoakan Petrus, dan masih mendoakan Petrus. Lalu pada momen malaikat menampakkan diri kepada Petrus, membawa Petrus keluar, sementara para penjaga tidak berdaya, mungkin masih tidur atau apapun sehingga tidak sadar Petrus keluar dari penjara (mereka tahu kalau tidur bisa dihukum mati, artinya adalah tindakan Tuhan yang bikin mereka tidur), itu adalah saat para jemaat juga sedang berdoa.
Petrus berjalan sampai ke rumah Maria, ibu Yohanes Markus itu, lalu mengetuk pintu; dan yang membukakan pintu adalah seorang hamba. Ini seorang budak, orang yang hina, lagipula budak perempuan, namun Lukas mencatat namanya. Kalau kita melihat dalam Perjanjian Lama, Abraham dan Sara hanya ingin memakai sebagai alat, seorang hamba perempuan; mereka tidak sebut namanya. Sara berkata, “Hampirilah hamba perempuanku itu”, tidak disebut namanya, tapi penulis menyebut namanya, Malaikat Tuhan menyebut namanya, yaitu Hagar. Dalam kisah bagian ini, hamba perempuan itu disebut namanya, Rode (sampai jadi nama mikrofon, Røde Microphones). Hamba tersebut saking girangnya mendengar suara Petrus, saking girangnya doa mereka dikabulkan, saking girangnya Petrus akhirnya lepas, dia masuk ke dalam menyatakan itu kepada semua orang yang sedang berdoa. Lo and behold, apa reaksi mereka? Apakah reaksi mereka: “Puji Tuhan! Haleluya! Kita bersyukur Petrus dibebaskan oleh Tuhan, Tuhan menjawab doa” lalu pergi keluar menyambut Petrus? Tidak. Mereka bilang, “Rode, Rode, ngigo lu”; mengigau, ini hipotesis yang pertama.
Rode –seorang budak perempuan ini–bersikeras, tidak setuju dengan tuan-tuannya. Ini tidak lazim; biasanya kalau jadi hamba, apalagi perempuan, kalau tuannya bilang, “Ah, lu ngigo”, ya sudah. Namun Rode di sini bersikeras; kenapa? Karena yang dia dengar itu tidak mungkin salah. Di sini Lukas coba membuat kontras antara ‘apa yang kita expect’ (yang menuntun sense perception kita) dengan ‘sense perception kita pada saat itu’; apakah kita lebih mempercayai yang kita lihat, yang kita dengar, yang kita alami, atau lebih mempercayai apa yang kita anggap tidak mungkin terjadi atau mungkin terjadi, dst.
Lalu mereka mengganti hipotesisnya; padahal lebih gampang tidak usah bikin hipotesis, tidak usah tebak-tebak, jadi kalau mereka anggap Rode mengigau dan Rode bersikeras dia tidak mengigau, harusnya tinggal dites saja datanya. Caranya bagaimana? Gampang saja, buka pintunya. Rumah itu tentu tidak besar-besar amatlah, Maria ibu Yohanes Markus ini bukan Shaq O’Neal yang rumahnya sekian hektar, juga tidak seperti bintang-bintang film di Los Angeles yang rumahnya gede-gede; ini rumah rakyat kecil zaman itu, bukan rumahnya Herodes. Jadi harusnya mereka tinggal pergi ke pintu, membuka pintunya, mengetes, disputasi mengenai bagaimana menjelaskan Rode mendengar suara Petrus versus Petrus ada dalam penjara sehingga tidak mungkin suaranya kedengaran di balik pintu; tinggal dibuka saja pintunya, lalu ‘O, ternyata Yakobus, suaranya mirip Petrus’, atau ternyata bapaknya Petrus yang suaranya mirip Petrus. Tentu bisa saja dites seperti itu, tapi mereka tidak mau lakukan itu, mereka ganti hipotesisnya: “O, itu malaikatnya”. Yang seperti ini tidak pernah ada dalam ajaran Perjanjian Baru, namun ada dalam takhayul yang dipercaya orang Yahudi pada masa itu, bahwa tiap orang ada malaikatnya. Jadi dalam hal ini mereka bilang ‘ini malaikatnya Petrus’, dan mereka tambahkan bahwa malaikatnya Petrus tentu suaranya kayak Petrus –sesuatu yang lebih kecil lagi kemungkinannya tapi mereka percaya itu.
Namun mereka kemudian benar-benar membuka pintu karena Petrus terus-menerus mengetuk. Jadi kenapa mereka membuka? Karena Petrus-nya insistent, seperti alarm yang sudah di-snooze lalu nyala lagi, jadi annoying.
Sekali lagi, ini urusan perception; ada data baru yang masuk, lalu bagaimana mereka mengolahnya? Pengolahan yang pertama: itu mengigau, cuma subjektif, tidak ada objektifnya. Penjelasan yang kedua: ada objektifnya, tapi objektifnya sudah pasti bukan Petrus, barangkali malaikatnya –takhayul. Namun malaikatnya mengetuk, jadi bagaimana verifikasinya? Tinggal dibuka; dan akhirnya mereka buka. Ketika mereka membuka pintu itu, mereka melihat. Mereka sudah mendengar, mereka lalu menebak, dan mereka menebak lagi, kemudian mereka melihat setelah membuka pintu itu.
Setelah mereka melihat Petrus, Petrus memberi isyarat supaya mereka diam. Jadi rupanya begitu melihat Petrus, mereka heboh, tercengang-cengang. Istilah ‘tercengang’ di sini sama dengan istilah ‘takut’, mereka jadi tergoncang worldviewnya, ‘koq bisa hal seperti ini terjadi’. Demikian kira-kira istilah ‘tercengang’ yang biasanya terjadi mengiringi adanya tanda-tanda yang dinyatakan Tuhan soal datangnya Kerajaan Allah. Mereka mengalami sesuatu yang bisa dijelaskan dengan istilah ‘ketakutan’, atau ‘tercengang’, atau ‘takjub’. Ada sesuatu yang lebih besar yang kita tidak bisa jelaskan, ada mysterium tremendum –demikian istilah Rudolf Otto– sedang terjadi di sini, sesuatu yang bikin kami menyadari diri kami relatif, kami kecil, kami tidak tahu segalanya, menyadari bahwa jagad raya ini lebih purba dari kami, hidup itu lebih purba daripada kami, bahwa kami hanya satu bagian kecil dari realitas yang besar; dan kami harus terus terbuka serta belajar mengenai apa yang sedang Tuhan kerjakan. Jadi di sini mereka tercengang, mereka menjadi ribut, lalu Petrus memberi isyarat untuk diam, lalu dia bercerita.
Hal yang Petrus ceritakan pada dasarnya tentu yang dia alami tadi, bagaimana malaikat menuntunnya keluar dari penjara. Lalu dia berpesan –pesan yang singkat– “Katakan kepada Yakobus dan saudara-saudara kita yang lain mengenai hal ini, bahwa saya sudah lepas dari penjara, bahwa Tuhan menuntun saya lepas dari penjara dengan cara-cara ini”. Kenapa hal tersebut penting? Ini menjelaskan alasannya Lukas memasukkan cerita ini dalam Kis. 12, kelihatannya karena ingin menjelaskan kenapa Petrus tidak memimpin lagi di Yerusalem. Petrus bukan kepala gereja di Yerusalem; kepalanya adalah Yakobus. Kita masih ingat Paulus suatu kali cerita, ketika golongan Yakobus datang ke gereja Galatia, Petrus (Kefas) jadi berlaku munafik, bahkan Barnabas ikut berlaku munafik; tadinya Kefas duduk makan bersama golongan non-Yahudi, lalu begitu Yakobus datang, dia nge-per lalu ikut-ikutan tidak mau duduk makan bersama orang non-Yahudi. Artinya apa? Kefas seperti kalah hawa dengan golongan Yakobus; dan itu artinya ada indikasi bahwa ada peralihan kekuasaan di Yerusalem.
Dalam hal ini Lukas ingin menjelaskan bagaimana hal tersebut terjadi, yaitu begini: Petrus ditahan oleh Herodes Agripa I, lalu dilepaskan oleh malaikat. Petrus sudah lepas dari penjara, bukan berarti dia lalu bisa pilih-pilih, misalnya pergi ke istananya Herodes Agripa lalu menyuruhnya berhenti menganiaya orang Kristen, dsb. Tidak seperti itu. Petrus tahu bahwa tidak lama lagi giliran jaga yang 3 jam saja itu akan berganti, dan itu time window yang sempit, mereka akan sadar dan akan menyisir kota, maka dia harus segera berangkat dari rumah Maria, kalau tidak, Maria dan seisi rumah akan ditahan oleh Herodes karena menyembunyikan buron. Itu sebabnya Petrus bilang kepada mereka, “Sudah, tidak usah ribut, saya ceritakan saja, karena saya harus segera pergi dari sini; hanya saja kepemimpinan tidak bisa saya pegang lagi, saya alihkan kepada Yakobus” (tentu ini bukan Yakobus saudara Yohanes yang baru saja dipenggal oleh Herodes Agripa di ayat 1, tapi mengacu kepada Yakobus saudara Yesus). Yakobus inilah yang kemudian memimpin Gereja, yang kepimimpinan sudah diserahkan kepadanya oleh Petrus. Itulah alasan Lukas menceritakan bagian ini.
Esok paginya prajurit-prajurit gempar, bertanya-tanya apa yang telah terjadi dengan Petrus. Herodes menyuruh mencari Petrus, dan tidak ketemu, akhirnya semua pengawal di-interogasi, dan kemungkinan besar mereka semua mati dibunuh. Tidak jelas apakah dibunuh keenam belas orangnya atau hanya empat saja, bahkan dalam teks Yunaninya tidak begitu jelas apakah mereka dibunuh atau tidak, namun ada indikasi demikian; intinya mereka semua disingkirkan setelah di-interogasi, dihukum karena tawanannya lepas. Jadi artinya ini bukan perkara remeh, ini perkara serius.
Lukas kemudian beralih ke soal Herodes sangat marah (ayat 20). Ini untuk menjelaskan episode ke dua yang nantinya menjelaskan matinya Herodes. Lukas berkisah bahwa Herodes suatu hari ngamuk banget terhadap orang Tirus dan Sidon, tidak diceritakan sebabnya, namun intinya ini jadi satu hal yang mengancam Tirus dan Sidon. Tirus dan Sidon sebenarnya daerah yang lumayan kaya, punya potensi, tapi mereka tidak punya gandum yang cukup untuk makanan, maka mereka bergantung pada impor bahan makanan dari Palestina (Yudea). Yudea dikuasai oleh Herodes, maka kalau Herodes sampai menghentikan ekspor bahan makanan tersebut, mereka akan kewalahan. Itu sebabnya Tirus dan Sidon merasa Herodes harus diredakan marahnya, harus dijilat; dan menjilat Herodes yang marah ini tricky juga, harus tahu caranya. Mereka kemudian memakai orang dalam, namanya Blastus, pengurus rumah tangga istana Herodes, yang kemudian mengatur audiensi dengan Herodes, bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar (demikian para penafsir mangatakan).
Herodes kemudian bikin acara besar –karena dia sendiri mau menjilat penguasa Romawi, sebagaimana orang-orang Tirus dan Sidon menjilat dia. Herodes mengenakan pakaian kerajaan yang terbaik, pakaian yang berkilau-kilauan –demikian kata sejarawan Yosefus (jadi bukan cuma dicatat oleh Lukas; secara sejarah ada cross check-nya)– sehingga sangat menakjubkan orang banyak, lalu mereka mengelu-elukan Herodes. Berhubung mereka ini orang Tirus dan Sidon, mengelu-elukannya pun gaya kafir, “Ini suara allah dan bukan suara manusia!” Orang Israel tidak mungkin mengelu-elukan misalnya Raja Daud dengan mengatakan, “Daud, engkau Allah, bukan manusia”, karena mereka diikat oleh Hukum Pertama dan Kedua, “Jangan ada allah lain di hadapan-Ku; jangan membuat bagimu patung atau apapun dan tunduk menyembahnya”. Tapi orang Tirus dan Sidon tidak punya hukum itu, mereka memang biasa menjilat raja-rajanya sebagai dewa, raja-raja itu dielu-elukan sebagai bukan manusia, dan mereka senang. Miriplah dengan kita, orang modern, kita kadang ada gestur menyembah-nyembah, “Wah, gua nyembah-nyembah, karena lu hebat banget”, entah bisa main PlayStation sehebat itu atau bisa mikir sehebat itu, atau apalah.
Intinya, ini penjilatan yang puncak; dan Herodes menerimanya. Bagi kita, ini urusan tanggung jawab pribadi, memang dia orangnya kayak begitulah; tetapi, ini sangat extraordinary, karena raja-raja Israel tidak ada yang kayak begitu. Herodes ini keterlaluan banget, terlalu berani, dengan menerima penyembahan itu. Harusnya Herodes tahu dirilah, setidaknya basa-basi standarlah, “Tidak usah menyembah saya, saya hanya manusia saja”; tapi tidak demikian, dia menerima penghormatan itu. Itu sebabnya kemudian dia ditampar malaikat Tuhan karena tidak memberi hormat kepada Allah, sama seperti raja-raja Romawi. Raja-raja Romawi memang biasa begitu, disembah oleh rakyatnya. Julius Caesar setelah mati, dia diangkat jadi tuhan/dewa, sehingga Octavianus Augustus ketika naik takhta diberi gelar Imperator Roma, Juruselamat dunia (Soter mundi), dan Anak tuhan (Divi filius) —maksudnya anaknya Julius karena Julius sudah diangkat jadi dewa.
Jadi bagi orang Romawi hal itu biasa, tapi bagi raja/penguasa Yahudi (rex Judaeorum) tidak boleh kayak begitu, namun Herodes Agripa menerimanya, dia tidak memberi hormat kepada Allah. Akibatnya apa? Yosefus mencatat suatu bahasa yang samar-samar (karena tidak pakai terminologi modern, namun ia berusaha sepersis mungkin), yang kurang lebih maksudnya Herodes ini mengalami infeksi usus yang dsebabkan parasit, atau mungkin usus buntunya pecah sehingga terjadi infeksi, dan lima hari kemudian dia mati dengan penuh kesengsaraan. Itu sebabnya di kisah ini disebut dengan istilah ‘dia mati diimakan cacing-cacing’. Ada juga yang menafsir bahwa ‘mati dimakan cacing’ adalah frasa yang biasa dikatakan mengenai cara matinya seorang tiran, karena tiran itu berkuasa, hebat, mulia, bukan manusia biasa, namun ending-nya sama juga dengan pengemis, waktu sudah mati maka dimakan binatang-binatang rendah, ‘lu cuma jadi makanannya cacing, remeh banget’. Dalam hal ini, saya kira kandidat tafsiran ini kurang tepat, mungkin yang pertama tadi lebih tepat, yaitu ada infeksi usus, ada sesuatu yang disebabkan oleh parasit, dan kita bisa mengatakan Herodes mati ditampar malaikat Tuhan.
Tentu sebagai orang Kristen kita sadar bahwa di balik sagala peristiwa alamiah, ada tangan Tuhan. Jadi kita tidak harus memilih “ini pekerjaan Tuhan”, kenapa, “karena tidak ada penyebab naturalnya” atau “ini pasti bukan pekerjaan tuhan”, kenapa. “karena tidak bisa dijelaskan secara natural”. Kita, orang Kristen, tidak boleh berpikir begitu, karena itu berarti tidak mengakui bahwa di balik segala hal ada tangan Tuhan, yang artinya ada hal-hal tertentu dalam hidup kita yang Tuhan tidak ikut-ikutan. Itu salah. Kita, orang Kristen, dan segala umat Tuhan Perjanjian Lama, percaya bahwa segala sesuatu di alam ini –matahari terbit, matahari terbenam, apel jatuh, ikan dapat makan, siklus air, dan segala sesuatu– di belakangnya, penyebab pertamanya, adalah tangan Tuhan. Kita juga tidak percaya sebagaimana yang orang modern katakan, kalau urusan gempa bumi, banjir, gempa bumi hebat, itu force majeure, maksudnya kekuatan yang hebat –maka tidak ditanggung asuransi. Umat Tuhan harusnya tidak berpikir begitu, karena force majeure juga ada di belakang piston-piston di mobilmu yang meledak, naik turun karena campuran bensin dan oksigen, yang bikin mobilmu jalan maju; dalam hal itu pun ada force majeure, ada tangan Tuhan di sana. Tangan Tuhan menopang semesta ini –bukan hanya menciptakan– tangan Tuhan memimpin (govern) semesta ini, tangan Tuhan ada di belakang semua itu tanpa meniadakan proses-proses alamiah. Herodes memang mati karena infeksi usus, tapi matinya yang karena infeksi usus itu juga bisa dikatakan sebagai ‘malaikat Tuhan menampar dia’ karena dia tidak memberi penghormatan kepada Allah, maka demikianlah nyawanya berakhir dengan sangat rendah.
Sementara itu –sementara Herodes ingin menghentikan datangnya Kerajaan Tuhan, Herodes yang sepertinya penguasa wilayah yang tidak bisa ditaklukkan yang semua orang musti sowan kepadanya, Herodes yang bahkan Tirus dan Sidon gemetar kalau dia marah, dan ternyata ending-nya cuma dimakan cacing —firman Allah tidak terhalangi bahkan oleh Herodes Agripa, firman Allah makin tersebar, makin banyak didengar orang, dan umat Tuhan, business as usual. Barnabas dan Saulus kembali dari Yerusalem setelah mereka menyelesaikan tugas pelayanan, mereka membawa Yohanes yang disebut Markus itu —business as usual. Tuhan, business as usual sementara raja-raja berganti, kira-kira begitu. Dan, bukankah ini benar juga selama 2000 tahun kalau kita lihat? Presiden hebat yang satu digantikan presiden hebat lain. Kaisar hebat yang satu digantikan kaisar hebat lain. Kerajaan hebat yang satu digantikan kerajaan hebat lain. Mereka silih berganti saja.
Kalau kita pikir-pikir, memang sejarah ini bergantung pada keluasan kita melihatnya dan mempelajarinya; perasaan kita terkadang tidak sinkron dengan kenyataannya. Saya sendiri kalau mendengar misalnya Kerajaan Mongolia, merasa kayaknya itu sudah kuno banget, tapi sebenarnya tidak kuno-kuno banget, zaman Tuhan Yesus lebih kuno daripada Mongolia dengan Genghis Khan-nya, dsb. Mendengar Kerajaan Majapahit, rasanya seperti pra-sejarah, padahal tidak juga, itu baru-baru saja; Perguruan tinggi Oxford masih lebih tua daripada Kerajaan Majapahit. Banyak hal dalam pikiran kita rasanya seperti sudah kuno banget tapi sebenarnya tidak kuno-kuno banget. Kita melihat di sini, bahwa ketika Dionysius Exiguus memberi nama kalender kita, mengganti perhitungannya karena tahun-tahun kalender bergeser terus dan dia mendapat tugas untuk menghitung ulang kalender, dia mengganti nama kalender, bukan lagi Kalender Julian tapi jadi Kalender Anno Domini. Kalender Julian dihitung berdasarkan tahun bertakhtanya raja Romawi tertentu; beberapa orang mengatakan dihitung dari tahun bertakhtanya Vespasianus, atau dari tahun berdirinya kota Roma yang katanya didirikan oleh Remus dan Romulus (yang konon dibesarkan oleh serigala). Tapi Dionysius Exiguus mengatakan: “Roma sudah lama berlalu, Vespasianus sudah lama dikubur, sudah habis dimakan cacing, maka janganlah kita, umat Tuhan, menamai tahun-tahun kita berdasarkan patokan dari Vespasianus atau kota Roma, mereka itu berlalu; sic transit gloria mundi, kemuliaan dunia ini akan berlalu, tapi Kerajaan Tuhan tinggal tetap”. Itu sebabnya dia menamai tahun-tahun sebagai Anno Domini, tahun-tahun bertakhtanya Tuan kita, the year of Our Lord.
Kalau dipikir-pikir, bukankah ini so beautiful, kalau kamu hari ini menamai tahun kamu, 2025, yang patokannya bukan in the year of Vespasianus atau in the year of Roman empire, melainkan in the year of Lord Jesus, tahun-tahun kekuasaan Raja Yesus; kenapa? Karena Herodes Agripa bisa mati, seperti juga Herodes Antipas bisa mati, seperti Herodes Agung sudah mati, seperti kaisar-kaisar hebat itu, Julius Caesar akhirnya mati, Octavianus Augustus akhirnya mati, Qin Shi Huang akhirnya mati, Gengis Khan juga mati, tetapi Yesus, kekuasaan-Nya tetap. Firman Allah makin tersebar, banyak didengar orang, Kerajaan-Nya terus dipersaksikan dan terus meluas, bahkan 2000 tahun kemudian kita melihat Kerajaan itu meluas sampai seantero planet ini, siapa bisa bayangkan?? Kerajaannya Daud ‘gak nyampe-lah ke Pulau Jawa. Gengis Khan yang hebat itu pun ‘gak nyampe-lah ke Pulau Jawa; Gengis Khan argueably pada satu titik menguasai wilayah paling luas, namun gak nyampe-lah ke Pulau Jawa. Sedangkan kekaisaran Raja Yesus –yang tidak mendirikan kekuasaan-Nya atas darah-keringat-air mata orang lain yan Dia taklukkan itu– meluas sampai seantero planet ini.
Kerajaan cinta-nya Yesus meluas sampai seantero planet ini, dan masih akan terus meluas karena masih ada bayang-bayang kegelapan dalam kehidupan manusia. Cahaya itu merangsek masuk dan tidak bisa dihalang-halangi; walaupun bukan berarti para saksi, martir-martir-Nya itu, akan melenggang dalam kereta kencana kerajaan tanpa hambatan dan dihormati di sana-sini. Mereka mengalami gangguan, hambatan, kesulitan, kematian, dan segala yang mengerikan, namun itu semua tidak menghalangi datangnya Kerajaan Allah, karena kuasa-kuasa dalam dunia ini silih berganti tapi Raja Yesus kuasanya tinggal tetap. Dan, kita akan merayakan bertakhtanya Raja Yesus, dengan menikmati apa yang seperti Rode alami, yaitu kita mendengar, kita mencium, kita melihat, kita meraba, kita memakan –lewat experiencing— roti dan anggur Perjamuan Kudus; kita diundang untuk mengalami tahun-tahun bertakhtanya Raja kita dalam tahun-tahun kita di bawah matahari yang banal (ordinary) ini.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading