Pasal 11 ini lebih dari setengahnya merupakan penceritaan ulang dari pasal 10 yang sudah dibahas.
Ada tiga perbedaan antara pasal 10 dan pasal 11. Perbedaan pertama, dalam pasal 10 kita mendengar penceritaan dari sudut pandang orang ketiga mengenai apa yang dialami Petrus dan juga Kornelius; sementara dalam pasal 11 Petrus sendiri menceritakannya, jadi ini dari sudut pandang orang pertama (memakai bahasa dengan kata ganti orang pertama ‘aku’). Perbedaan kedua, dalam laporan Petrus ini tidak disebutkan nama Kornelius, hanya disebut sebagai ‘orang itu’, karena yang paling penting bagi para pendengarnya adalah bahwa ‘orang itu’ orang kafir, orang yang bukan Yahudi. Demikian disebutkan dalam pleidoi/pembelaan yang merupakan pertanggungjawaban Petrus atas tindakannya masuk ke rumah orang kafir itu –yang bagi Lukas personal, yaitu Kornelius, sementara bagi para pemirsa Petrus tidak penting siapa namanya, impersonal, pokoknya ‘si kafir itu’. Perbedaan ketiga, di dalam ceritanya Petrus, dikisahkan Petrus teringat akan perkataan Yesus (Kis. 1:5),bahwa mereka semua akan dipenuhi Roh Kudus sementara mereka tertinggal dan Yesus naik ke surga, yang juga diceritakan dalam bagian akhir Injil Lukas, yaitu Yesus terangkat ke surga dan menjanjikan mereka akan diperlengkapi oleh kuasa dari atas, mereka akan diperlengkapi dengan pemberian-pemberian dari Roh kalau mereka menanti di Yerusalem, dan Tuhan akan memimpin mereka kelak ke mana. Petrus teringat ini sewaktu dia melihat adegan orang-orang di rumah Kornelius dipenuhi Roh, sehingga dalam pasal 11 Petrus memaknai peristiwa tersebut dan mempersaksikan kepada pemirsa yang menuntut pertanggungjawaban darinya; sementara dalam pasal 10 Lukas tidak menceritakan hal itu.
Ada juga hal yang sama dalam pasal 10 dan 11, yaitu sama-sama secara hampir verbatim (kata demi kata) mengisahkan bagaimana Petrus menolak Tuhan, Petrus resist perkataan dan instruksi Roh Kudus dalam penglihatannya, namun dengan lemah lembut Tuhan menuntun Petrus, dan insist pada apa yang Tuhan ingin Petrus lakukan, dan pada akhirnya Petrus toh pergi ke rumah Kornelius meskipun waktu meninggalkan rumahnya di Yope dan berjalan bersama para utusan Kornelius itu dia masih separuh bimbang. Jadi Petrus ini badannya bergerak dulu, baru kemudian matanya melihat, telinganya mendengar, kemudian hatinya terbujuk, lalu otaknya mulai mengerti. Kira-kira seperti itu. Jadi, penceritaan yang secara verbatim sama adalah mengenai Petrus menolak, namun Tuhan insist, dan Petrus pada akhirnya taat kepada Tuhan.
Dalam pasal 11 ini diceritakan bagaimana orang-orang Yahudi –yang sudah jadi Kristen– di Yudea, khususnya di Yerusalem (jadi ini bukan orang-orang Yahudi yang ada di Bait Suci) menuntut Petrus; dan ini sekaligus menceritakan kepada kita bahwa Petrus bukan diktator di gereja, bukan seperti Hitler atau Kim Jong Un yang anak buahnya tentu tidak berani mempertanyakan apa-apa. Orang-orang dari golongan bersunat ini, alias orang-orang Kristen Yahudi, berselisih pendapat dengan Petrus, menggugat, mempertanyakan, “Apa yang sudah engkau lakukan, Petrus?” Di sini Lukas memberitahu kita bahwa kepemimpinan dalam Gereja-mula-mula tidaklah seperti komando markas militer, bahwa dalam peperangan rohani itu Tuhan memerintah umat-Nya, dan umat-Nya memerintah satu sama lain, adalah seperti yang terjadi pada zaman Musa sebagaimana Tuhan perintahkan di Perjanjian Lama, yaitu adanya pemerintahan yang lebih bersifat kebersamaan, mereka bisa saling menasehati, saling mengingatkan, berdiskusi, dan mengambil keputusan secara deliberation. Jadi di sini sebetulnya ada dasar dari demokrasi. Alexis de Tocqueville katakan dalam Democracy in America, bahwa orang-orang Amerika belajar demokrasi dari Gereja, karena Gereja di Amerika adalah Presbyterian, tidak seperti Gereja Anglikan di Inggris yang lebih Episcopalian.
Petrus digugat, kemudian Petrus pun memberikan pertanggungjawaban. Petrus tidak mengatakan ‘pokoknya Tuhan suruh saya, tidak ada diskusi; kepalanya adalah saya, tahu ‘gak saya ini paus yang pertama, tahu ‘gak paus tidak bisa salah’ (nantinya baru di-sahkan abad 20 awal bahwa Paus tidak bisa salah), melainkan Petrus menjawab mereka, memberikan pledoinya.
Apa yang mereka gugat dari Petrus? Gugatan mereka sepertinya sepele bagi kita, yaitu: “Kamu sudah masuk ke rumah orang tidak bersunat; kamu makan bersama mereka”. Gugatan ini, kalau buat kita, so what?? Kita, orang Kristen, masuk ke rumah orang agama lain ‘gak masalah ‘kan. Kalau misalnya saya masuk ke rumahnya Richard Dawkins, foto bareng, tidak ada orang yang mempermasalahkan, “Pak Jadi koq masuk ke rumahnya Richard Dawkins, ‘kan dia orang ateis, apa-apaan ini??” paling-paling orang hanya bilang, “Lucu juga, ya, foto bareng Richard Dawkins, ternyata kenal, ya”. Tetapi buat orang-orang Yahudi di Yerusalem, yang dilakukan Petrus ini sesuatu banget, Petrus ini pengkhianat, karena dia koq masuk ke rumahnya Kornelius! Menarik, ya. Petrus pun menyadari hal itu; kita tahu waktu Petrus masuk ke rumah Kornelius (pasal 10), dia harus menjelaskan kepada Kornelius, “Saya ini masuk ke rumahmu sebenarnya tidak boleh lho, ini menyinggung perasaan agama kaum saya kalau mereka sampai tahu, ini sesuatu yang sungguh keterlaluan yang saya lakukan”.
Dalam hal ini kita perlu mengerti alasannya, yaitu karena dalam era Perang Makabe (dan juga dalam perjumpaan dengan orang-orang tidak bersunat lainnya), orang Yahudi mengalami bahwa makin lama makin penting pagar batas antara kaum Yahudi dan kaum bukan Yahudi, khususnya kaum tidak bersunat yang menguasai kehidupan mereka. Mereka mungkin tidak se-sensi itu terhadap orang China atau orang Jepang karena jauh banget dan kenal pun tidak, mereka juga mungkin tidak se-sensi itu terhadap bangsa Semitik yang lain, tapi terhadap orang Romawi mereka sensi banget karena ini kaum penguasa, penindas mereka. Masalahnya, pernah ada insiden yang mengawali Perang Makabe, ketika Antiokhus Epifanes memerintahkan supaya orang Yahudi tidak eksklusif, supaya lebih toleran dan open minded, dengan cara mezbah di Bait Suci boleh dipakai bersama, boleh dipakai untuk agama penyembah dewa Zeus juga; dan Zeus ini tidak suka kambing, sukanya babi, jadi bolehlah kurbankan babi di sana. Itulah kira-kira yang dilakukan Antiokhus. Orang-orang seperti Matatias kemudian take offense, apalagi ketika yang mengurbankan babi adalah sesama imam, sehingga Matatias kemudian mencincang imam-imam itu karena mau saja menuruti Antiokhus Epifanes. Dari situ mulailah Perang Makabe, dan terjadilah perseteruan yang makin tajam antara orang Yahudi dan orang Yunani, sampai-sampai masuk ke rumahnya saja tidak boleh, yang pada zaman Musa mungkin tidak setajam itu. Setelah ratusan tahun berlalu, mulailah terjadi luka-luka dalam perjumpaan antara bangsa Yahudi dengan orang-orang Yunani, Romawi, Persia, dst., dan mereka semakin eksklusif. Memang seperti itulah biasanya, semakin ada pemaksaan untuk terbuka dan toleran, semakin orang jadi tertutup; ini pelajaran dari sejarah yang sering kita jumpai.
Petrus masuk ke rumah Kornelius, ini bukan cuma urusan ‘aduh, kamu tahu ‘gak bumi ini injakan kaki Tuhan, tahu ‘gak Tuhan itu ada di mana-mana, kamu tahu ’gak sebelum rumah Kornelius berdiri itu juga milik Tuhan dan Kornelius numpang di buminya Tuhan, tanah ini punya Bapa kita, orang-orang lain nge-kost’. Tentu saja orang-orang yang mempertanyakan tindakan Petrus yang masuk ke rumah Kornelius, mengerti bahwa allahnya orang kafir itu bukan Allah, orang kafir itu menumpang di tanah milik Yahweh, tetapi bagi mereka bahwa Petrus masuk ke rumah Kornelius berarti Petrus meresikokan diri duduk di tempat yang tidak kudus, makan makanan yang haram, dan lebih celakanya lagi bersekongkol dalam persekongkolan orang-orang yang memusuhi Yahweh dan menganiaya anak-anak Yahweh, yaitu orang-orang Yahudi. Jadi, Petrus ini pengkhianat –kira-kira begitu. ‘Kita ini ya Kristenlah, kita ini percaya Yesus itu Mesias, tapi kalau bergaul dengan orang kafir, ya, jangan sampai keterlaluan begitulah, Petrus’ –kira-kira itulah pikiran mereka.
Nantinya kita melihat bagaimana Lukas memakai cerita ini juga untuk mengondisikan alasannya mereka kemudian disebut Kristen. Kita juga menyebut diri ‘Kristen’, sebagaimana orang-orang di Antiokhia diejek sebagai kristus-kristus kecil oleh orang-orang yang bukan Kristen; jadi ‘Kristen’ ini sebetulnya ejekan, namun kemudian kita pakai sebagai badge of honour. Kita tidak menyebut diri sebagai misalnya ‘messianic Jews’ (orang-orang Yahudi yang percaya pada Mesias); kita juga bukan menyebut diri misalnya ‘proselyte Jews’ (penganut agama Yahudi yang dipertobatkan dari bangsa kafir, seperti Kornelius). Kita menyebut diri kita Kristen, sebagaimana pengejek-pengejek menyebut kita. Kenapa? Karena, seperti yang Paulus katakan, ini bukan urusan menjadi Yahudi atau Yunani, menjadi orang Barbar atau orang Skit, menjadi laki-laki atau perempuan, menjadi orang yang tinggi atau rendah, orang merdeka atau budak; ini urusan mengikut Yesus atau tidak. Kamu bisa menjadi orang Yahudi yang Kristen, kamu bisa menjadi orang Kristen yang berlatar belakang Yunani, kamu bisa menjadi seorang tuan yang Kristen atau seorang hamba yang Kristen, kamu bisa menjadi seorang laki-laki yang Kristen atau perempuan yang Kristen, whatever. Dari segala bangsa, dari segala golongan, kamu bisa jadi Kristen, dipersatukan oleh Yesus; sedangkan orang-orang di sinagoge dipersatukan oleh ideologi yang sifatnya lebih tribalistik, yaitu keturunan Abraham atau simpatisan terhadap bangsa keturunan Abraham –dan keturunan Abraham ini didefinisikan sebagai ‘mengandung material DNA dari Abraham, ada darahnya Abraham yang mengalir dalam tubuhnya’. Tetapi bukan urusan itu, demikian kata orang-orang Kristen; dan hal ini menjadi penting dalam bagaimana Petrus menjelaskan tindakannya masuk ke rumah Kornelius kepada orang-orang yang keberatan itu.
Kita sekarang sudah mengerti kenapa orang-orang ini keberatan, yaitu ini bukan cuma urusan fisik saja, melainkan urusan identitas kebangsaan yang berkaitan dengan identitas keagamaan, yang berkaitan dengan darah kaum martir Yahudi, Matatias dan anak-anaknya yang dengan heroik membela bangsa mereka yang diinjak-injak bangsa asing, membela agama mereka yang dihina oleh bangsa asing seperti Daud yang dengan gagah berani melawan Goliat. Itulah yang dipertaruhkan. Tetapi, kata orang-orang Kristen –yang di sini diwakili oleh Petrus– itu semua hanyalah alat, being Jewish itu hanyalah alat, sekunder, bukan yang paling penting, hanya mengindikasikan bahwa kamu menerima janji Tuhan, mengenal firman Tuhan sejak kecil; yang lebih penting adalah ‘untuk apa’ firman Tuhan itu, janji Tuhan itu. Menjadi Yahudi untuk apa, itu yang lebih penting; yang penting dari orang Yahudi adalah apa-nya. Dalam hal ini mereka salah tangkap, bagi mereka ‘yang penting adalah kebangsaan kami, darah kami’; padahal yang paling penting adalah ‘janji Tuhan, firman Tuhan yang mereka miliki’, yang mereka sering abaikan, yang mereka sering hina, yang mereka sering langgar itu. Kenapa ini penting? Karena melaluinya, segala bangsa akan berbagian dalam shalom, segala bangsa akan berbagian dalam keselamatan yang dari Tuhan, segala bangsa akan berbagian dalam Kerajaan Allah yang akan datang. Itulah yang paling penting, dan yang mau dijelaskan oleh Petrus.
Sekarang kita sudah mengerti kenapa mereka keberatan, dan kita juga sudah mengerti kenapa Petrus kemudian mengatakan ‘kamu tidak perlu keberatan’. Bagi kita urusan ini terlihat biasa saja, sesuatu yang tidak perlu terlalu dibuat menggegerkan, tapi mereka ternyata geger banget, seperti membesar-besarkan hal yang kecil. Dalam hal ini saya kira kita perlu lebih berempati dan coba mengerti kenapa hal tersebut menggegerkan bagi mereka –demikian poin saya. Lukas menceritakan –dan Petrus sendiri menceritakan ulang– bagaimana dia sendiri bahkan dalam posisi orang-orang yang geger itu, yang keberatan itu, maka kita jangan sok rohani, sok toleran, sok merasa sudah maju dan mengatakan ‘orang-orang Yahudi ini koq kolot, Petrus juga kolot banget sih’; kita jangan bersikp begitu, karena alasan mereka sangat kuat koq untuk menjadi eksklusif. Mungkin padanannya seperti misalnya pada zaman kita ada beberapa orang yang tersinggung, merasa dinistakan agamanya, kalau melihat orang dari kalangan mereka sendiri, apalagi dengan atribut agama mereka, yang melanggar sesuatu yang bagi mereka jadi penanda identitas.
Kita perlu pikirkan hal ini untuk diri kita juga. Kita tentunya juga punya penanda identitas; dan kita perlu sadari bahwa ini mungkin tidak penting-penting banget sebetulnya, namun ini penanda identitas yang penting dalam konteks peperangan, karena dalam peperangan yang penting adalah kita bisa manandai siapa musuh dan siapa kawan. Penanda identitas dalam konteks kita ini bisa hal-hal yang receh, yang sepele, misalnya cara berdoanya, mungkin juga lagu-lagu yang kita nyanyikan, mungkin cara berpakaian, mungkin dengan siapa kita berkawan, ngomong dengan istilah apa –ada kata-kata tertentu yang tidak boleh diucapkan dan ada kata-kata tertentu yang biasa saja– ada nilai-nilai tertentu, dan seterusnya. Ada hal-hal yang kita sensitif, tapi kalau dipikir-pikir sebenarnya bahkan hukum agama kita pun tidak terlalu keberatan dengan hal itu. Di sini saya beri satu contoh yang agak sensitif juga, tapi saya meresikokan diri dalam hal ini, yaitu misalnya soal merokok. Bagi orang Injili, merokok itu sesuatu yang enggak banget. Saya sendiri tidak suka merokok, dan benci benget bau rokok atas dasar keadilan karena ‘lu yang ngerokok, koq gua harus ikut-ikutan hisap lu punya rokok, jadi kamu yang menentukan saya harus matinya kapan, kamu yang ngurang-ngurangi umur saya’. Tapi, saya tahu bahwa tidak secara langsung/eksplisit dikatakan di dalam Alkitab ‘lu merokok, masuk neraka’ atau ‘lu merokok, lu bukan Kristen, iman lu dipertanyakan’. Saya bukan promosi rokok, poin saya adalah: kita ini sebegitu pekanya akan hal tersebut. Saya juga bukan mengatakan merokok itu tidak apa-apa, dan demikian juga tiap hari makan sate babi sekilo bagian lemak-lemaknya, tidak olah raga, makanannya donat dan segala macam sirup, yang saya kira sama berdosanya karena sama-sama merusak kesehatan –meski Saudara juga bisa arguing kalau merokok itu merusak kesehatan orang lain juga. Poin saya, kenapa sih kita sebegitu sengitnya; dan jawabannya: itu penanda identitas.
Kita bisa juga perluas ke hal-hal lain, misalnya seperti seorang kawan saya yang di rumahnya sangat anti kartu remi; kalau bapaknya menemukan kartu remi di rumah, anak-anaknya semua dimarahi, dihukum. Lho? Soalnya bagi bapaknya, kartu remi artinya berjudi; dan bapaknya benci judi. Saya tidak setuju dengan judi sih, tapi kalau sampai kartu remi dianggap sama dengan judi, main kartu remi berarti sama dengan bukan Kristen dan masuk neraka, itu kira-kira seperti orang-orang yang keberatan dengan Petrus tadi. Seperti juga yang mungkin dialami beberapa kawan kita yang keberatan kalau ada orang dari komunitas mereka yang makan babi. Jadi kita musti simpati atas sensitifnya mereka akan hal tersebut.
Orang-orang Yahudi ini sensitif banget bahwa Petrus, anggota mereka, masuk ke rumah Kornelius. Walaupun mereka sudah Kristen, walaupun mereka tahu Yesus sendiri duduk makan bersama orang-orang yang meragukan, Yesus minta minum pada perempuan Samaria, Yesus mengundang diri sendiri di rumah Zakheus pemungut cukai –yang jelas-jelas pemungut cukai itu bergaul dengan orang Romawi, dan jelas-jelas tidak kudus, dst.– mereka tetap sensi. Kurang lebih kita pun sama. Kalau misalnya saya difoto sedang duduk makan-makan, lalu di meja ada ceceran puntung rokok, ada gelas besar Bir Bintang, itu jadi kayak menyinggung, ‘ini pendeta apa-apan sih’, apalagi kalau ada kartu-kartu remi bertebaran –walaupun tidak tentu saya merokok, minum-minum, dan main kartunya, dsb. Kurang lebih seperti itulah, waktu Petrus duduk makan di rumah orang seperti Kornelius ini, seakan-akan ini pengkhianat. Walaupun dalam hukum Musa sendiri tidak se-ekstrim itu, bagi orang Yahudi yang sudah mengalami peperangan dengan orang Yunani/Romawi, jadinya se-ekstrim itu –dan kita perlu mengerti.
Setelah Petrus menjelaskan, apakah para petinggi Yerusalem menerima? Sepertinya begitu. Kita lihat dalam ayat 18, dikatakan Lukas bahwa mereka jadi tenang, mereka memuliakan Allah. Namun ini agak ambigu juga; kenapa? Karena nantinya kita lihat dalam surat Paulus, bahwa Petrus sendiri ambigu, ketika orang-orang dari golongan Yakobus datang, dia mengubah sikapnya. Tadinya Petrus duduk makan dengan orang-orang yang bukan dari golongan bersunat, orang-orang Yunani, tapi ketika golongan Yakobus datang dari Yerusalem –menurut versi penceritaan Paulus dalam Surat Galatia– Petrus jadi munafik, dia menjauhi orang-orang itu. Bahkan Barnabas, demikian kata Paulus, ikut serta terseret dalam kemunafikan mereka. Jadi sepertinya yang dikatakan di ayat 18 ini potret yang ambigu; apakah pidato pleidoinya Petrus diterima, apakah Petrus sendiri menghidupi khotbahnya/pleidoinya, itu masih ambigu, dan nanti akan kita lihat lebih lanjut.
Apa makna semua ini buat saya? Saya akan berikan beberapa poin. Yang pertama, mengenai kebersatuan Gereja (umat Tuhan) dalam kebenaran. Petrus, ketika berkunjung ke rumah Kornelius, tentu punya kekhawatiran karena dia tahu itu semua akan membawa dampak, berbahaya banget secara sosial, apa yang bakal dikatakan orang-orang Yerusalem. Petrus sendiri enggan, Petrus sendiri melawan Tuhan, tapi dia tidak bisa melawan Tuhan dan akhirnya dia tetap pergi ke rumah Kornelius dan menyaksikan sendiri, walaupun dia separuh percaya dan separuh bertanya-tanya. Dalam pasal 10, jelas sekali Petrus bertanya-tanya, terheran-heran, bahkan orang-orang yang bersama dia pun terheran-heran. Itu kunjungan kepada chaos, suatu situasi yang Petrus tidak tahu di mana kepala dan ekornya, dan bagaimana harus menganstisipasi dan menanganinya, tapi dia didorong oleh Roh ke sana. Dan, hal ini punya potensi memecahkan Gereja yang masih kecil, memecah umat Tuhan yang baru berdiri. Petrus mungkin bisa saja bilang kepada Tuhan, “Tidak sekaranglah Tuhan, itu terlalu provokatiflah, mungkin tunggu tiga tahun lagi”; namun Petrus toh pergi ke sana, dan dia tahu apa resikonya, meski dia juga enggan.
Persatuan umat, itu bukan yang paling mutlak –walaupun saya harus tambahkan kalimat kedua: perpecahan umat, selalu buruk– namun resiko akan terjadinya konflik dan perpecahan umat terkadang perlu diambil. Dalam hal ini, kita Gereja Protestan sangat mengerti karena Martin Luther mengambil langkah tersebut; namun kita perlu ingat bahwa ini bukan untuk memecahkan umat Tuhan. Luther bukan mengatakan kebenaran untuk memecah Gereja, tujuannya adalah menyembuhkan Gereja, namun resiko itu ada. Petrus beresiko menyinggung orang-orang keturunan Yahudi di Yerusalem; dan resiko tersebut diambil oleh Petrus –walaupun dengan sangat enggan– karena dia tahu Tuhan akan melanjutkan perpecahan itu –kalaupun terjadi–dengan kesembuhan, dengan dijahitnya kembali relasi yang terpecah itu. Perpecahan komunitas bukanlah segalanya, perpecahan komunitas tidak boleh diusahakan, maka kita harus mengusahakan yang sebaliknya yaitu persatuan komunitas; tapi kalaupun perpecahan itu terjadi, perpecahan tersebut bisa dipakai Tuhan juga untuk menyembuhkan. Ini seperti membedah orang untuk menyembuhkan penyakit, yang kalau sudah di-belek, penyakitnya disembuhkan, tentu dokter tidak lupa untuk menjahitnya kembali. Tujuan utamanya adalah kebenaran, keutuhan; tujuan utamanya bukan perpecahan atau kemenangan, melainkan keutuhan di dalam kebenaran. Itu aplikasi yang pertama.
Yang kedua. Kita perlu ingat bahwa pasal 10 sering kita beri judul “Pertobatan Kornelius”, sepertinya ini judul yang paling intuitif, yang kayaknya paling ada di permukaan. Tetapi ini bukan yang paling utama. Pasal 10, yang paling utama bukan soal pertobatan seorang pribadi yang namanya Kornelius; bahkan di pasal 11 Petrus tidak menyebut namanya. Jadi tidak terlalu penting Kornelius bertobat, tidak terlalu penting Kornelius diselamatkan –penting sih, tapi tidak sepenting itu– ada yang lebih penting dari itu; apakah itu? Pasal 10 ini lebih dari sekadar menceritakan pertobatannya Kornelius, pasal 10 adalah intro bagi sejarah Gereja Antiokhia yang diceritakan di pasal 11. Pasal 11 ini bukan sekadar mengenai Petrus dituntut lalu Petrus bisa menjawab; pasal 11 ini mengenai bagaimana Gereja Antiokhia dimulai. Gereja Antiokhia ini penting, sebab Gereja Antiokhia adalah Gereja kafir, Gereja yang umatnya bukan orang Yahudi, yang menjadi sentral dari Gereja non-Yahudi berikut-berikutnya. Gereja Antiokhia menjadi launching pad bagi gerakan misionaris ke wilayah-wilayah non-Yahudi yang lain, yang lebih jauh. Jadi Gereja Antiokhia ini sangat penting sebagai permulaan dari terjangkaunya bangsa-bangsa yang bukan Yahudi, yang bahkan dalam satu kota bisa sama sekali tidak ada orang Yahudinya. Itu sebabnya Lukas merasa penting untuk menjelaskan bahwa diaspora umat Tuhan dari Yudea (Yerusalem) hanya menjangkau orang Yahudi, namun beberapa di antara diaspora dari Kirene menjangkau juga orang-orang non-Yahudi. Itu sebabnya Lukas merasa penting menuliskan kalimat bahwa Gereja di Yerusalem sepertinya memang lebih menekankan penjangkauan orang-orang Yahudi, tapi di kemudian hari ada Gereja-gereja yang lebih mandiri menjangkau komunitas non-Yahudi (pasal 11:19-20).
Pasal 11 ini menceritakan mengenai masa depan Gereja; dan masa depan Gereja adalah masa depan segenap ciptaan. Itu sebabnya pertanggungjawaban Petrus penting, itu sebabnya pertobatan Kornelius penting. Korneliusnya sendiri tidak penting-penting banget, Petrusnya sendiri tidak penting-penting banget. Ke-resek-an orang-orang yang kolot dari Yerusalem dan Yudea juga tidak penting-penting banget. Yang paling penting adalah Tuhan, kemuliaan-Nya, dan kemuliaan Tuhan memenuhi segenap ciptaan; dan di antara segenap ciptaan itu ada manusia, di antara manusia-manusia itu ada manusia yang namanya Kristen, dan di antara manusia-manusia Kristen itu ada yang namanya Petrus, ada orang-orang yang keberatan itu, ada Kornelius dan kawan-kawannya, dan ada Anda dan saya; di situlah tempat kita. Tempat kita di mana? Tempat kita pada petak kita masing-masing, yang tidak penting-penting banget, bukan pusat jagat raya. Kita musti ingat itu.
Pusat jagat raya dan pusat segala kejadian adalah Tuhan, kehendak-Nya, kemuliaan-Nya, keindahan-Nya, yang akan mengisi seluruh jagat raya; itu yang paling penting. Hidup saya, panggilan saya, pelayanan saya, diri saya, itu penting juga sebagai satu di antara banyak. Jadi Saudara jangan pernah berpikir seperti misalnya: dalam ruangan ini siapa yang paling penting, lalu masing-masing angkat tangan “saya dong”. Misalnya, sebelum masuk ruangan ini Saudara disuruh menitipkan tas di luar, lalu waktu keluar, tas Saudara hilang. Waktu tas Saudara hilang, Saudara akan panik; dan dalam kepanikan itu, mungkin Saudara tidak notice bahwa tas orang-orang lain hilang juga. Kenapa? Karena orang paling penting di ruangan ini adalah saya –masing-masing kita. Ini keliru; yang paling penting dalam ruangan ini adalah Tuhan. Lalu setiap kita penting atau tidak? Penting, sebagai satu orang di antara banyak orang yang penting. Setiap kita penting, setiap kita signifikan, tapi tidak sepenting itu. Setiap kita penting, tapi barangkali tidak sepenting yang kita pikir, karena kita hanyalah satu orang penting di antara delapan koma sekian milyar orang penting di planet ini pada saat ini, yang tahun depan akan bertambah lagi. Masing-masing kita adalah orang penting dalam sebuah planet yang penting, tapi yang juga tidak sepenting itu. Demikian poinnya.
Kembali lagi, jadi bagian ini adalah mengenai berdirinya Gereja Antiokhia, bukan mengenai pertobatan Kornelius, bukan mengenai pertanggungjawaban Petrus. Sejarah Gereja Antiokhia juga bukan penting pada dirinya sendiri melainkan penting karena merupakan bagian dari riwayat umat Tuhan dalam dunia ini. Riwayat umat Tuhan penting karena Tuhan-nya penting, bukan sebaliknya.
Kota Antiokhia sendiri adalah kota terbesar ketiga dalam Kekaisaran Romawi, setelah Roma dan Alexandria, penduduknya 500 ribu jiwa. Kelak Gereja Yerusalem akan mengirim Barnabas ke Antiokia. Barnabas mengembangkan gereja itu, dan sukses, sehingga ia merasa perlu merekrut bala bantuan, yaitu Paulus, yang tadinya menganiaya Gereja dan sudah bertobat lalu kembali ke kota kelahirannya, Tarsus. Barnabas merekrut Paulus untuk melayani selama setahun di kota Antiokhia. Jadi ini Gereja tempat Paulus praktek setahun (seperti di antara kita ada anak STT yang praktek setahun).
Apa yang ingin disampaikan Lukas lewat pasal 11 ini? Konsisten dengan tujuan Kisah Para Rasul (saya pernah jelaskan waktu membahas Kis. 1) yang digemakan oleh Lukas dari waktu ke waktu, dan secara ringkas Lukas pakai untuk menutup bagian penceritaan Kisah Para Rasul, yaitu pasal 28:31, ‘Dengan terus terang dan tanpa rintangan apa-apa ia memberitakan Kerajaan Allah dan mengajar tentang Tuhan Yesus Kristus’. Dalam pasal 28 ini, ‘ia’ maskudnya Paulus, tapi kita tahu dalam Kisah Para Rasul orangnya tidak cuma Paulus, ada Petrus, ada Barnabas, ada Stefanus, ada yang lain-lain; mereka itu memberitakan Kerajaan Allah, dengan kata lain: mereka menjadi martir (saksi) dari datangnya Kerajaan Allah; dan hal itu tidak bisa dihalangi. Demikian refrein dari Kisah Para Rasul. Jadi yang ingin disampaikan Lukas adalah: Kerajaan Allah sudah datang dalam Yesus, semakin mengakar dalam dunia ini, semakin mewujud dalam dunia ini, semakin bertumbuh dan meluas dalam dunia ini; dan itu sesuatu yang Tuhan memakai para saksi untuk meluaskan datangnya Kerajaan Allah tersebut. Para saksi ini dalam bahasa Yunani disebut sebagai martir; dan para saksi ini tidak bisa dihalangi.
Sekarang saya mau menjelaskan sedikit mengenai konotasi dan denotasi istilah ‘martir’. Istilah ‘martir’, denotasinya (rujukannya secara formal) adalah berarti ‘saksi’. Namun kita punya konotasi modern atas istilah ini, biasanya yaitu ‘orang yang mati bagi Tuhan’, khususnya kalau matinya dengan menderita. Lalu para psikolog modern punya tanggapan yang buruk mengenai martir, mereka punya istilah ‘sindroma martir’, maksudnya orang-orang tertentu yang kepingin berkorban, kepingin menderita, kepingin mati, untuk tujuan yang mulia –kepingin jadi martir. Dalam hal ini saya setuju bahwa ada benarnya juga memakai istilah ‘martir’ secara itu, karena ada konotasinya (konotasi modern). Tapi konotasi ini sempit, konotasi yang sangat bias melawan Kekristenan, melawan cerita umat Tuhan, karena martir dalam gambaran seperti itu tentu negatif, maksudnya orang yang kepingin jadi pahlawan; martyr sindrome jadi sekadar satu subset dari hero syndrome, golongan orang-orang yang masokis (suka menderita) yang merasa kalau tidak menderita, hidupnya kurang berarti, maka lewat penderitaan yang dia cari-cari dan bikin-bikin sendiri, dia merasa hidupnya berarti. Ini tentu negatif.
TAPI, istilah ‘martir’ sebenarnya bukan terutama tentang orang yang mati bagi Tuhan; istilah ‘martir’ terutama artinya saksi bagi Tuhan (witness), yang dalam konteks ini adalah orang-orang yang mempersaksikan datangnya Kerajaan Allah dalam Yesus. Orang-orang ini akan menerima perlawanan dari dunia, demikian kata Lukas dan juga kata Yesus, namun perlawanan tersebut tidak menghentikan mereka. Mereka akan dilawan, tapi mereka tidak bisa dihentikan. Mereka kadang-kadang akan menderita, namun tidak selalu hanya menderita saja. Mereka menderitanya bisa berat banget, bisa mati juga, namun sebagian besar martir sebagaimana disaksikan sejarah Gereja, matinya natural. Martir yang matinya tidak natural, jauh lebih minoritas daripada martir yang matinya natural. Saksi Tuhan yang matinya normal-normal saja ada 90% lebih, saya kira. Memang orang-orang yang mati bagi Tuhan, yang matinya tidak natural, mati dibunuh, dsb., jumlahnya cukup banyak, namun orang Kristen jumlahnya banyak sekali, bermilyar-milyar. Jadi, saksi bagi Tuhan sebagian akan mati bagi Tuhan, akan menderita bagi Tuhan, namun yang namanya ‘martir’ bukan hanya mereka, martir juga termasuk orang yang hidup bagi Tuhan.
Orang-orang yang mati bagi Tuhan itu bukan terutama dilihat harga/nilai hidupnya dari mati-nya atau penderitaan-nya. Itu sebabnya jangan sampai kita mengingat Stefanus hanya sebagai orang yang dilempari batu sampai mati –memang benar Stefanus matinya dilempari batu– kita musti ingat Stefanus adalah diaken pertama, yang dipenuhi Roh, yang melayani begitu banyak dengan kasih; dengan kata lain, Stefanus mati satu kali namun dia hidup setiap hari sampai dia mati.
Kecenderungan kita untuk melihat urusan makna hidup manusia hanya dari satu sisi yaitu kematiannya, perlu kita kaji, dari mana datangnya. Jawabannya secara singkat: dari sumber-sumber non Kristen. Bahwa harga/nilai hidup manusia hanya bisa dilihat dari ending-nya, tentu saja berasal dari hero worship orang-orang Yuhani. Orang-orang Yuhani melihat hidup manusia itu tragis dan teleologis –dan ini ada benarnya, tapi bukan seluruh kebenarannya. Ada benarnya dalam arti begini: memang hidup manusia bisa diceritakan; dan sebuah cerita memang seluruh detail-detailnya dipimpin untuk mempersiapkan suatu akhir. Ini namanya teleologis; akhir menentukan struktur dari keseluruhan yang di depannya, yang semuanya menuju kepada akhir tersebut. Kalau kamu seorang sutradara atau penulis cerita, biasanya kamu akan menulis ending-nya dulu, lalu seluruh ceritanya mulai dari pembukaan sampai yang di tengah-tengahnya semuanya harus terintegrasi pada ending tersebut –maka ending ini yang paling penting. Orang-orang eksistensialisme mengerti betul akan hal ini, bahwa seseorang itu siapa dan bagaimana hidupnya, ditentukan dari bagaimana matinya —ending-nya. Konon ada satu pepatah Viking kuno yang mengatakan begini: jangan puji sebuah hari sebelum hari itu berakhir, jangan puji seorang lelaki sebelum dia mati.
Kalimat ‘jangan puji seorang manusia sebelum dia berakhir hidupnya, karena dari ending-nya kita tahu’, oke ini kebenaran, tapi hanya separuh kebenaran, ada separuh yang lain. Dari separuh yang tadi itu, kita mengenal satu slogan yaitu YOLO (you live only once) –because you die only once. Tapi itu baru satu sisi, separuh kebenarannya; apa separuh berikutnya? “You live everyday”, kataA.A. Milne yang menulis “Winnie the Pooh” —we die only once, but we live everyday. Kita bisa melihat hidup ini sebagai satu rangkaian besar, satu narasi besar, dan berakhir pada ending-nya; ini betul, namun ada kebenaran yang lain, yaitu: kita mendapat kesempatan di bawah matahari untuk mempersaksikan datangnya Kerajaan Allah di dalam Yesus, setiap hari. Dan, bukankah hari-hari kita di bawah matahari yang memang pendek saja, cuma 70 atau 80 tahun –demikian kata Mazmur 90– yang Pengkhotbah bilang seperti uap, sebentar ada kemudian lenyap (Yakobus juga pakai istilah itu, hevel,sebentar ada kemudian lenyap), TAPI, kalau dikalikan ‘kan banyak juga, 70×365 hari itu banyak juga, bahkan sekarang karena teknologi medis sekarang sudah banyak yang di atas 90 yang kalau dikalikan 365 ‘kan banyak juga, beribu-ribu kali kita hidup.
Kamu mati cuma sekali, beribu-ribu hari kamu hidup. Kamu isi dengan apa hidupmu itu? Kamu mengisinya dengan cerita apa? Mungkin satu hari kelak kalau mau jadi pahlawan, meninggalkan legacy dan dikenang, kamu sewa ghostwriter menulis biografi kamu, biar rasanya hidup ada record-nya, tidak lewat bagitu saja. Tetapi, kamu sekarang ini juga sesungguhnya sedang menulis bahan-bahan untuk ditulis dalam otobiografimu yang tidak terlalu penting itu, yang boleh ada, boleh tidak ada, karena itu hanya jejak saja, catatan saja, seperti Plato bilang ‘yang paling penting adalah perkataannya, bukan tulisannya, itu jejak saja’. Intinya, yang paling penting adalah kejadiannya, bukan fotonya. Kalau kamu pikirkan suatu hari kelak ada tulisan tentang kamu, dan orang mengenangmu sebagai si ini dan itu, yang dikenang itu ‘kan tidak hanya hari terakhirnya, hari kematiannya; tapi kita pikir begitu karena dari sumber-sumber non-Kristen, mungkin Yunani, Romawi, Viking, eksistensialisme, bahwa being adalah being toward death. Memang itu benar, tidak salah, tapi cuma separuh; separuh yang lain adalah bahwa tiap-tiap hari kita hidup, tiap-tiap hari kita berespons kepada Tuhan, tiap-tiap hari kita bisa mencintai, tiap-tiap hari kita bisa bersyukur, tiap-tiap hari kita bisa menjadi saksi Kristus.
Ini bukan sekadar jadi perekrut orang supaya jadi Kristen, propagandis Kristen. Itu tidak sama dengan menjadi saksi Kristus, saksi datangnya Kerajaan Tuhan. Propagandis Kristen ya propagandis Kristen, mempropagandakan, mempromosikan material Kristen, syukur-syukur lu mengaminkan lalu lu setuju. Yang seperti itu, hanya part of the story; yang paling utama adalah: kita embody datangnya Kerajaan Allah itu, dan kita mempersaksikan dengan hidup kita, dengan perkataan kita, dengan kerja kita, dengan diri kita, dengan persekutuan kita –dan itu terjadi beribu-ribu kali ‘kan, itu terjadi setiap hari.
Hari-hari kehidupan Stefanus, hari-hari kehidupan Paulus, hari-hari kehidupan Petrus, bukankah itu yang lebih banyak tercatat dalam Perjanjian Baru? Kita tidak diberitahu bagaimana Paulus mati, bagaimana Petrus mati, bagaimana Yohanes mati; tahukah kenapa? Mungkin karena hal itu tidak sepenting yang orang Kristen belakangan mementingkannya setelah pengaruh dari Yunani Romawi purba masuk; dan saya kira, ini berakar pada orang-orang Ibrani yang lebih mementingkan soal kehidupan (life). Orang-orang Ibrani tidak terlalu eksplor mengenai bagaimana kehidupan setelah mati, mereka cuma mengatakan ‘turun ke dunia orang mati (syeol); dikumpulkan bersama nenek moyangnya’. Lalu di sana ngapain? Main kartu temi? Atau nonton Netflix berjuta-juta tahun sampai Yesus datang kembali? Tidak diberitahu. Kenapa? Mungkin buat mereka juga tidak terlalu penting; yang paling penting bagi mereka adalah hari-harimu di bawah matahari, hari-hari hidupmu, yang kamu hidupi berkali-kali tiap kali kamu bangun itu. Itulah yang paling penting. Hidup lu buat apa, bukan habis mati, lu ke mana dan ngapain, karena hal itu urusan Tuhan.
Paulus dalam Perjanjian Baru mengatakan sesuatu mengenai mati, yaitu: ‘mati pun tidak memisahkan kita dari Yesus’, itu saja. Dan omong-omong, apalagi sih yang penting selain itu? Yang penting, mati pun tidak memisahkan kamu dari kasih Allah, itu saja, yang lain tidak terlalu penting. Soal mati itu nantinya ngapain di sana, rumahnya seberapa besar, apa yang terjadi, dsb., itu tidak terlalu penting, karena yang lebih penting daripada ‘mati tidak memisahkan kita dari Yesus’ adalah: bahwa suatu hari kita akan hidup lagi, suatu hari kita akan dibangkitkan, dan bukan hanya kita tapi juga semua orang percaya. Kita punya pengharapan adalah kebangkitan; jangan tertipu, bukan kehidupan setelah mati melainkan kebangkitan.
“Pak, kebangkitan ‘kan kehidupan setelah mati juga.” Ya, saya setuju. Tapi biasanya yang kamu maksud dengan kehidupan setelah mati yaitu badanmu ada di kuburan, jiwa kamu berbahagia tanpa badan; dalam hal itu, saya katakan itu tidak alkitabiah, tidak ada ayatnya. Yang kita lihat dipersaksikan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, khususnya lewat kebangkitan Yesus, bahwa pengharapan kita adalah mengenai kebangkitan dari antara orang mati –sebagaimana tiap Minggu kita katakan ‘aku percaya pada kebangkitan tubuh’. Orang Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru percaya hal itu. Orang Perjanjian Lama menantikan itu, orang Perjanjian Baru sudah melihat buktinya/kenyataannya di dalam Yesus. Jadi, menjadi martir berarti menjadi saksi Allah, hidup bagi Allah, hidup mengasihi, hidup penuh pengucapan syukur; dan bukan sekadar mati menderita bagi Tuhan, karena bagaimana kita hidup itulah yang lebih penting.
Berikutnya, kita melihat bahwa orang Kristen pasti akan dimusuhi, tapi bisa juga orang Kristen mencari-cari musuh, sehingga hidupnya jadi penuh penderitaan, dan barangkali menghasilkan penderitaan bagi orang lain, lalu kemudian hidupnya jadi makin sengsara atau mati terbunuh. Saya kira ini bukan marturia yang sebenarnya, bukan menghidupi kesaksian akan datangnya Kerajaan Allah. Namun di sisi lain, orang Kristen juga bukan terrpanggil untuk menjadi oportunis, kompromis, karena kita bukan terpanggil untuk sekadar survive. Melawan Charles Darwin, saya kira tujuan hidup kita bukanlah sekadar survive, karena kalau sudah survive akan mengundang pertanyaan berikutnya, ‘survive-nya buat apa?’ Sekadar tidak mati? Memang benar, mati itu buruk, tidak mati adalah baik; tapi sudah tidak mati lalu lu ngapain, karena bisa saja tidak mati tapi hidupnya kayak mati saja. Jadi, bukan just survive, bukan just happy dalam arti perutnya penuh, badannya aman, hatinya senang –bukan cuma itu– tapi juga bukan hidup penuh resiko, spartan, mengundang segala bahaya, masokis, badannya disakit-sakitin. Lalu apa? Yaitu: being a faithful witness, atau lebih tepatnya being faithful witnesses, menjadi saksi-saksi yang setia. Itu yang paling penting. Dan yang lebih penting lagi kita ingat, bahwa saksi-saksi di dalam Kisah Para Rasul tidak semua kooperatif terhadap Roh Allah seperti Stefanus, kadang-kadang bisa resistif terhadap gerakan Roh Allah seperti bahkan Petrus, tapi Tuhan tidak bisa dihalangi oleh ketidaktaatan kita, Tuhan tidak bisa dihalangi oleh perlawanan terhadap umat Tuhan, Tuhan tidak bisa dihalangi datangnya Kerajaan-Nya itu.
Poin berikutnya, kita melihat terjadi ekspansi Gereja Tuhan ke wilayah non-Yahudi (pasal 11:19-21), walaupun terjadi orang-orang yang melarikan diri dari Yerusalem. Dalam hal ini juga kita melihat kenapa mereka melarikan diri, bukankah ini kesempatan emas untuk jadi martir dalam arti mati buat Tuhan, apakah berarti ini pasti pengecut? Lukas tidak mengatakan begitu; mereka melihat kematian itu sendiri buruk, dan mereka ingin meneruskan hidup bersaksi bagi Tuhan, maka mereka pergi ke Fenisia, Siprus, Antiokhia, memberitakan Injil, tapi hanya kepada orang Yahudi. Inilah salahnya/keterbatasannya; namun keterbatasan tersebut lalu diperluas oleh pekerjaan Roh Allah, yaitu beberapa orang dari Siprus dan Kirene menjadi diaspora juga di Antiokhira, dan mereka berkata-kata kepada orang-orang berbahasa Yunani, memberitakan tentang Tuhan Yesus. Ini sesuatu yang mengingatkan kita bahwa perluasan Kerajaan Allah tidak dihalangi oleh keengganan atau perlawanan dari dalam tubuh umat Tuhan sendiri, karena Tuhan bisa terus mendatangkan agen-agen yang lain yang berasal dari berbagai tempat, termasuk tempat-tempat asing seperti Siprus dan Kirene. Tangan Tuhan menyertai mereka, sejumlah besar orang menjadi percaya dan berbalik kepada Tuhan.
Lukas melanjutkan ceritanya; Barnabas diutus dari Yerusalem, orang yang menerima Saulus waktu Saulus pertama kali bertobat. Secara natural Barnabas merekrut Saulus untuk turut melayani di Antiokhia. Mereka tinggal di sana setahun penuh, mengajar orang. Di situ mereka mulai disebut ‘Kristus-Kristus kecil’ (nama ejekan), disebut Kristen, yang sampai hari ini kita disebut dengan sebutan yang sama. Gereja Antiokhia ini gereja yang sangat penting, bahkan Gereja Protestan mengikuti hermeneutika dari aliran School of Antioch. Orang-orang Alexandrian kalau menafsir Alkitab, mereka melihatnya sebagai suatu dokumen penuh dengan lapisan-lapisan misteri, dan mereka ingin menggali lebih dari yang kelihatan dalam teksnya, sedangkan Antiokhia lebih melihat di permukaannya yang sudah sangat jelas; dan Protestan lebih mengarah kepada ini, maka ada kedekatan antara kita dengan Gereja Antiokhia. Ini semua munculnya dari mana? Dari keengganan Petrus, dari segala perlawanan itu, dari orang-orang Yahudi di Yudea, dst., yang itu semua tidak bisa menghalangi pekerjaan Tuhan.
Ayat 27 dst., Lukas menceritakan datangnya beberapa nabi, salah satunya Agabus yang paling terkenal, karena dia mengatakan suatu prediksi bahwa akan ada kelaparan besar menimpa seluruh dunia dalam arti seluruh Kekaisaran Romawi, yang akan terjadi pada zaman kaisar Klaudius. Perlu diketahui, Lukas menulis kisah ini setelah kelaparan tersebut terjadi. Hal ini di-afirmasi juga oleh sumber-sumber lain di luar Alkitab, yaitu oleh sejarawan Romawi, Tacitus (Annales 13: 43), oleh Josephus (Antiquity 20:2-5 dan 5:2), juga sejarawan Gereja (orang Kristen) di kemudian hari yaitu Eusebius (Sejarah Gereja II: 11:3). Jadi Agabus tidak cuma omong kosong, Lukas juga tidak cuma menulis propaganda; ada sumber-sumber di luar Alkitab yang meneguhkan historisitas terjadinya kelaparan tersebut.
Apa respons umat Tuhan mendengar nubuatan tersebut? Responsnya, menjadi martir, menjadi saksi datangnya Kerajaan Allah, yang masih serima/selaras dengan Kis. 2. Mereka melakukan sebagaimana sudah dilakukan Roh dalam pasal 2, ayat 41-47, khususnya 44-45 yaitu: semua orang yang telah menjadi percaya tetap bersatu, dan semua milik mereka menjadi milik bersama, selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang. Hal seperti ini diulangi lagi oleh Lukas dalam pasal 4:32, yang dikatakan: kumpulan orang yang telah percaya itu, mereka sehati dan sejiwa, dan tidak seorang pun yang berkata, bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri, tetapi segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama; dst. Hal tersebut menjadi penanda bahwa ini adalah kumpulan murid-murid Yesus; dan itu diulangi Lukas dalam pasal 11 ini, ketika mereka mendengar kabar akan datangnya kelaparan itu, maka murid-murid di Antiokhia, kota terbesar ketiga dalam kekaisaran Romawi, mengumpulkan sumbangan untuk saudara-saudara yang tinggal di Yudea (karena arguably mereka lebih miskin dan akan lebih terdampak atas kelaparan tersebut). Ini mempersaksikan bahwa mereka adalah umat yang dikumpulkan Allah di akhir zaman, ketika Dia datang, ketika Kerajaan-Nya/pemerintahan-Nya datang di bumi, supaya mereka melakukan kehendak-Nya di bumi seperti di surga.
Anda dan saya juga adalah umat Perjanjian Baru itu, umat yang sama itu, yang bisa melakukan di bumi ini menggenapkan apa yang Tuhan kehendaki di surga sana. Itulah cara kita menjadi martir, saksi-saksi dari datangnya kerajaan itu; kita mempersaksikannya dengan hidup kita, dengan segala karya dan persekutuan kita, pada hari ini, di sini dan sekarang.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading