Kita sedang dalam seri Khotbah Epifania, satu tema yang sering kali terlupakan, padahal ini tema yang sangat penting, tema yang sepanjang berabad-abad sejarah Gereja terus dirayakan dan diingat setiap tahun, sama seperti Natal diingat setiap tahun, Jumat Agung diingat setiap tahun, Paskah diingat setiap tahun. Ini adalah tema yang membahas perikop-perikop kisah hidup Yesus di antara kelahiran dan kematian-Nya, karena inilah kisah-kisah yang memanifestasikan, meng-epifani-kan, membuka, menyatakan, menyibak, tentang identitas Yesus sesungguhnya, seperti apa kemuliaan-Nya, apa keunikan dan signifikansi brand-name-Nya. Itu sebabnya momen-momen yang setiap tahun diusung dalam seri Epifania ada makanan pokoknya, bermula dari kedatangan orang majus, dan berakhir dalam kisah transfigurasi Yesus Kristus; sementara tengah-tengahnya bisa lain-lain karena Kalender Gereja tiap tahun ada siklusnya, misalnya kalau tahun ini membahas dari Matius, maka tahun berikutnya dari Markus, tahun berikutnya lagi dari Lukas.
Tahun ini tahunnya Lukas, maka kita akan mebahas dari Injil Lukas. Biasanya, setelah kisah kedatangan orang majus, kita berpindah ke baptisan Yesus, namun tahun ini kita skip bagian tersebut karena tahun lalu kita sudah dua kali membicarakan baptisan Yesus. Berikutnya yaitu mengenai pelayanan pertamanya Yesus, yang dalam Injil Yohanes adalah Pernikahan di Kana, sementara dalam Lukas adalah satu momen di mana Lukas menyoroti apa calling card-nya Yesus sebagai Mesias Israel, yaitu Dia membawa kabar baik yang sampai kepada orang miskin. Berikutnya lagi yaitu: Yesus memanggil murid-murid-Nya, Yesus melakukan mukjizat, Yesus mengajar, pengajaran Yesus, dst. Semua tema tersebut bertujuan satu, yaitu mengungkapkan kepada kita apa sih sebenarnya tujuannya semua hal-hal ini ada di antra kelahiran dan kematian Yesus. Ini bukan sekadar biodata atau biografi Yesus. Ini bukan ditulis sekadar untuk membuat kita puas keingitahuannya akan apa yang terjadi in between. Ini adalah musim Epifania yang mengajar kita what to expect waktu kita membaca bagian-bagian tersebut, yaitu untuk berfokus pada siapakah Yesus. Semua cerita-cerita itu fokusnya adalah Yesus. Kisah kedatangan orang majus, fokusnya bukan para orang majus, melainkan untuk mengungkap siapakah Yesus yang dikunjungi orang-orang itu. Dalam kisah pelayanan publik Yesus yang pertama, tujuannya adalah untuk mengungkap siapakah yang jadi target market-nya Yesus, dan dengan demikian yang terutama juga untuk mengungkap siapakah Yesus yang datang bagi target market ini, siapakah Allah itu yang hanya datang bagi orang-orang yang miskin di hadapan-Nya.
Hari ini kita membahas dua tema Epifania yang sebenarnya jadi satu, karena dalam bagian ini Lukas menceritakan Yesus memanggil murid-murid-Nya lalu Yesus melakukan mukjizat dalam satu kisah yang sama. Kita akan melihat kenapa Lukas menggabungkan dua tema ini jadi satu, karena ini adalah salah satu narasi Injil yang akan mengungkap kepada kita siapa Yesus sesungguhnya, seperti apa kemuliaan-Nya.
Yang pertama, kita melihat dulu kisahnya. Narasi Yesus memanggil murid-murid-Nya ini, kalau Saudara perhatikan baik-baik, adalah narasi yang sering kali disalah mengerti –dan ini sebabnya perlu Epifania. Kalau Saudara perhatikan dan bandingkan narasi ini dalam injil-injil sinoptik, Saudara akan mengerti bahwa kisah tentang momen-momen murid-murid Yesus dipanggil ini yang dicatat bisa berbeda-beda tetapi poinnya tetap sama. Poinnya adalah fokus kepada Yesus, khususnya otoritas-Nya. Yesus itu memanggil orang jadi murid-Nya, bukan mengundang. Tahun lalu kita sudah menemukan hal ini; waktu dalam kitab Matius dikisahkan Yesus menemukan Matius duduk di rumah cukai, di situ Yesus simply memerintahkan Matius untuk bangkit mengikut Dia, “Ikut Aku”; tidak pakai mengundang-mengundang seperti misalnya, “Mau ‘gak ikut Aku?” Dan, Matius pun meninggalkan rumah cukai tersebut begitu saja serta posisinya sebagai pemungut cukai yang lukratif itu, untuk mengikut Yesus. Dalam bagian Lukas, kisahnya lain, tapi Saudara perlu melihat poin yang sama.
Lukas mengisahkan Yesus suatu hari mengajar di tepi pantai, lalu Yesus meminjam kapal nelayan yang ada di situ menjadi semacam podium untuk Dia bisa mengajar orang banyak. Kita diberitahu bahwa Dia naik kapal seorang nelayan bernama Simon; dan Simon serta kawan-kawannya ini baru saja selesai pergi mencari ikan, dan sekarang mereka sedang membersihkan jalanya, lalu mau pulang. Selesai mengajar, Yesus menyuruh Simon bertolak ke tempat yang lebih dalam untuk menjala ikan. Di sini Simon mengatakan kalimat pertamanya: “Rabi, kami ini sudah samalaman ya, menjala ikan, dan ‘gak dapat apa-apa”. Di bagian ini kita mungkin menangkap sedikit nada annoyed dalam kalimatnya ini, hint-hint dari seorang nelayan veteran kepada seorang Rabi yang eks tukang kayu, yang seakan-akan mengatakan ‘Lu ini siapa sih, tahu ‘gak kita ini sudah mencari ikan semalaman; dan jam menangkap ikan itu malam, semua nelayan juga tahu, cuma tukang kayu yang pikir bisa menangkap ikan siang-siang kali, ya. Dan kita sudah lakukan itu semua, apa urusan Lu nyuruh-nyuruh kayak begini’. Yang menarik, di sisi lain Simon juga mengatakan: “Tapi aku akan nurut, simply karena Engkau mengatakannya —that’s it”.
Saudara, membaca kalimat tersebut, sering kali kita berfokus kepada siapa dalam bagian ini? Ini kalimat yang luar biasa ‘kan, karena dalam pengalaman dengan anak-anak kita, waktu kita menyuruh mereka melakukan sesuatu, mereka selalu mengatakan: “Kenapa?” Semakin besar, semakin mereka belajar hal ini. Anak saya yang kedua sudah mulai belajar sedikit hal tersebut, untungnya dia baru melakukan itu terhadap koko-nya. Niko, anak yang pertama, orangnya bossy, selalu bilang, “Dedek, jangan ini, jangan itu, jangan begini, jangan begitu”. Terus terang menyebalkan juga kalau jadi dedek-nya. Lalu dedek-nya, si Erik, belajar ngeyel; dia bilang kepada koko-nya, “Koq, begituuuu… koq, gituuuu… jangan gitu dooonggg…”, lalu dia komentar sendiri, “Pakai dong, dooonggg… “. Lucu banget. Mendengarkan ini, saya mulai menyiapkan hati, menunggu-nunggu kapan mereka berdua akan mulai ngeyel kayak begitu kepada saya. Itulah anak-anak. Memang kita sebagai orangtua kadang merasa annoyed waktu anak-anak kita melakukan hal seperti ini, waktu kita suruh mereka melakukan sesuatu, mereka musti tanya dulu “kenapa”; tapi to certain extent kita sadar, kita ini orangtua yang tidak perfect, kita bisa salah, dan mungkin anak kita juga menyadari hal itu, mungkin mereka pernah melihat beberapa kali keputusan-keputusan kita yang memang bisa salah. Jadi, bisa dimengerti kenapa mereka tanya seperti itu, tanya ‘kenapa Papa menyuruh aku melakukan hal ini, coba beritahu aku alasannya’.
Kembali ke konteks perikop ini, Saudara jadi bisa membayangkan ini adalah seorang nelayan veteran versus eks tukang kayu yang jadi Rabi –jadi pendeta– bahwa Simon tidak ada alasan sama sekali untuk melakukan apa yang Yesus suruh, namun Simon di sini mengungkapkan alasannya: “Saya akan taat, simply karenaEngkau menyuruhnya, that’s it”.Dan sekali lagi, membaca semua ini, Saudara berfokus kepada siapa? Kita akan mengatakan, “Wow! Keren banget Simon” –fokusnya ke Simon; kalau Simon anak kita, kita akan tepuk-tepuk kepalanya, “Pintar deh, anak Papa.” Saudara bisa lihat di sini, ini adalah bagian Alkitab yang sering kali dipakai jadi tempat untuk kita belajar cara berespons dengan tepat kepada Yesus, yaitu bukan dengan segudang pertanyaan melainkan dengan ketaatan, bla, bla, bla, … dst.; dengan kata lain, bahwa bagian ini fokusnya ke kita, ke murid-murid Yesus. Tapi –ini pentingnya– kalau Saudara perhatikan sekali lagi pattern narasi pemanggilan murid-murid Yesus dalam Injil Lukas, Matius, Markus dan lainnya, Saudara lihat bahwa yang jadi sorotan bukanlah murid-murid ataupun iman mereka; yang jadi sorotan, selalu adalah Yesus, mengenai siapa Orang ini, Orang yang kayak apa, berhadapan dengan Dia rasanya kayak apa sehingga membuat Simon setelah mendengar sedikit saja dari pengajarannya –yang kita tidak tahu seberapa level konsentrasinya karena dia sedang membereskan jala waktu mendengarkan Yesus– dia siap melakukan sesuatu yang sama sekali tidak masuk akal, simply karena Yesus memerintahkan hal itu. Inilah poinnya Lukas, yaitu mengungkap, meng-epifani-kan, sesuatu mengenai diri Yesus dan kemuliaan-Nya; bukan terutama mau mengungkap mengenai Simon dan imannya. Jangan galfok di sini.
Kalau Saudara masih tidak yakin, lihatlah sisa perikopnya, fokusnya di siapa. Lanjutan ceritanya, perintah Yesus tadi ternyata manjur sekali, perahu Simon menangkap sedemikian banyak ikan. Ini rekor. Kalau Saudara olahragawan yang main Strava, di sini Saudara dapat PR (Personal Record); dan ini PR yang luar biasa, ini rekor-rekor yang waktu kita dapatkan akan membuat kita senang sekaligus meratap, karena rekor segila ini mungkin tidak bisa kita capai lagi setelah ini. Dalam hal Simon, ini rekor tangkapan ikan yang luar biasa, sampai-sampai Simon harus panggil perahu kedua untuk ambil sebagian tangkapan, karena kalau semuanya taruh di satu perahu, pasti tenggelam, bahkan dua perahu pun hampir tenggelam. Jadi Saudara lihat, fokusnya di mana? Fokusnya bukan pada kekuatan tangan Simon yang bisa menangkap ikan sekian banyak, itu sudah pasti. Simon sendiri sesungguhnya tidak galfok; Simon sendiri, terhadap semua hal ini responsnya adalah: dia mengusir Yesus. Dia tahu “problem”-nya di sini siapa, maka dia mengatakan, “Pergilah dariku, Tuhan, aku orang berdosa.” Problemnya adalah Yesus, fokusnya adalah Yesus. Yesus itulah yang aneh di sini, Yesus yang ajaib di sini. Yesus itu faktor X-nya, Yesus itu fokusnya. Semua orang di sekitar juga takjub melihat semua hal tadi, bersama dengan Simon.
Saudara perhatikan, catatan terakhir akan otoritas Yesus bahwa Dialah yang jadi fokus atas semua ini, adalah di bagian akhir cerita setelah semuanya tadi terjadi, nelayan-nelayan yang lain pun (Simon, Yakobus, Yohanes) menerima perintah panggilan ini –sekali lagi, bukan undangan, Yesus tidak mengatakan, “Mau ‘gak kamu ganti profesi jadi penjala manusia?” melainkan: “Engkau akan menjadi penjala manusia’– lalu apa respons mereka, dikatakan: mereka meninggalkan perahu, jala, dan semua ikan-ikan itu. Tangkapan terbesar, rekor yang baru saja mereka dapatkan, mereka tinggalkan. Tangkapan ini adalah kesuksesan besar yang sebelumnya mereka tidak pernah dapat. Ikan sebanyak itu mungkin mereka tidak pernah lihat sebelumnya. Ini tangkapan ikan yang bakal dapat award “The Best Nelayan” tahun itu, yang selama dekade tersebut orang mancing di Danau Genesaret tidak mungkin bisa mencapai level yang sama, belum lagi uang yang mereka bisa dapatkan lewat ikan-ikan itu. Tetapi, Yesus simply me-redefinisi panggilan mereka, “Engkau bukan lagi penjala ikan, engkau penjala manusia”, dan mereka menurut. Jangan galfok, Saudara, siapa yang hebat di sini?
Kalau pun Saudara mau mengatakan ‘wow! keren abis para nelayan ini bisa begitu berani’, Saudara harus selalu tanya ‘apa’ atau ‘siapa’ yang membuat mereka sebegitu beraninya meninggalkan kesuksesan besar seperti itu, demi apa dan demi siapa. Inilah Musim Epifania. Inilah musim yang kita butuhkan, di mana kita tahun demi tahun diingatkan akan ‘bagaimana membaca Alkitab dalam bagian-bagian ini’, membiasakan kita untuk tidak galfok waktu membaca kisah-kisah ini, untuk melihat siapa sesungguhnya yang sedang jadi fokus di sini.
Sekarang apa yang bisa kita tarik dari kisah tersebut, ketika kita tidak galfok? Kalau fokus kita benar, maka kita akan belajar dua hal di sini. Yang pertama, something mengenai kemuliaan Yesus –identitas-Nya– yaitu bahwa Dia adalah Allah yang kudus, Dia adalah Mesias yang kudus. Lalu setelah fokus kita benar ini, kita baru bisa belajar hal yang kedua,yaitu apa artinya menjadi pengikut Yesus yang kudus seperti ini.
Kita sudah belajar apakah kemuliaan Yesus itu, kemuliaan yang bukan cuma datang di dalam tapi juga ke luar garis batas orang Yahudi, kemuliaan yang sampai –dan hanya sampai– kepada orang-orang miskin; dan hari ini kita belajar bahwa kemuliaan Yesus adalah kemuliaan yang kudus. Kisah yang kita baca hari ini memperlihatkan bagaimana Yesus itu berdaulat, Dia berotoritas. Di awal kisah, Dia mengajar orang banyak, yang berarti Dia punya otoritas dalam hal pengetahuan. Dia membuat mukjizat, Dia berotoritas atas ikan-ikan di laut. Dan tentu saja, Dia berotoritas atas manusia; ketika Yesus memanggil, orang taat. Jadi, Yesus digambarkan sebagai apa dalam bagian ini? Pada dasarnya Dia digambarkan sebagai tokoh yang amat sangat superlatif, Dia melampaui, Dia beda; dan istilah Alkitab akan hal ini adalah kudus, holiness. Kudus itu artinya beda, terpisah, lain, superlatif.
Namun yang menarik, kita bukan hanya diperlihatkan bahwa Yesus itu kudus, kita diajak untuk mengalami apa rasanya mengalami/ bertemu (encounter) dengan kekudusan kayak begini. Saudara lihat, Lukas 5 ini menyatakan bahwa sesungguhnya bersentuhan/berdekatan dengan kekudusan seperti ini adalah pengalaman yang amat sangat tidak enak. Saya tidak tahu, Saudara expect kalimat ini atau tidak, bahwa bersentuhan tok, berdekatan tok, dengan Yesus yang kudus, itu pengalaman yang traumatis. Anggapan populer tidak kayak begini ‘kan; kalau Saudara google search “near to God”, gambar-gambar apa yang muncul? Saudara akan melihat inilah gambaran dunia mengenai mendekat kepada Tuhan, tone warnanya adalah warna-warna sejuk, warna-warna sepia, ada gambar tangan yang berdoa, ada gambar cahaya yang menembus awan-awan –dan you get the idea inilah konsep mendekat kepada Tuhan yang populer dalam dunia. Mendekat kepada Tuhan yang digambarkan di sini adalah perasaan-perasaan teduh, damai. Lagu-lagu Kristen pun (termasuk lagu-lagu KRI) tidak imun dari hal ini, salah satunya misalnya: “There is a place of quiet rest … “, di mana? “Near to the heart of God …”. Itulah yang digambarkan, dekat dengan Tuhan itu rasanya hati tenang, hati sejuk, beristirahat, teduh. Namun kalau Saudara kembali ke Alkitab, realitasnya tidak bisa lebih berbeda lagi. Di dalam Alkitab, ketika Saudara bertemu dengan Tuhan –Tuhan yang sejati– baik itu dalam narasi Abraham, Musa, Daud, dan sampai pada Simon Petrus di bagian ini, semuanya adalah pengalaman-pengalaman yang basically pengalaman traumatis. Petrus menyadari –terungkap, ter-epifani-kan– akan siapa Yesus ini, dan dia hanya bisa tersungkur, berteriak, “Pergi dariku, Tuhan, aku orang berdosa”.
Salah satu kisah lagi, Yakub di Pniel, trauma yang dialami Yakub sungguh-sungguh literal. Yakub dalam Kejadian 32 mengalami krisis karena dia segera harus menghadapi Esau, kakak yang kepadanya dia bersalah besar bertahun-tahun lalu, dan Yakub mendengar Esau sedang datang mendekat disertai ratusan orang. Pada momen malam sebelum besok paginya Yakub akan menemui Esau, tiba-tiba seseorang menyergap dia, bergulat dengannya dalam kegelapan. Mereka bergulat, mereka sama-sama kuat, tidak ada yang bisa menang satu terhadap yang lain. Lalu sebentar lagi fajar tiba, dan orang misterius ini tiba-tiba berkata: “Oke, time out, Aku harus pergi sekarang.” Yakub mulai sense bahwa Orang ini kayaknya bukan manusia biasa, Yakub tidak mau melepaskan Orang itu, dan Orang itu simply menyentuh pangkal paha Yakub dengan sentuhan yang sangat ringan, lalu langsung paha Yakub lepas dari sendinya, seumur hidup Yakub tidak pernah berjalan dengan normal lagi. Ini tanda bahwa Orang itu tidak pernah benar-benar menggunakan power-Nya sejak tadi. Yakub menyadari ini Tuhan. Dan, alasannya Orang ini harus pergi sebelum fajar tiba, adalah karena jika Yakub melihat wajah-Nya, Yakub akan mati. Itu sebabnya setelah semuanya selesai, Yakub menamai tempat tersebut Pniel, artinya wajah Allah; katanya: “Aku telah melihat wajah Allah, dan aku survive, maka aku menamakan tempat ini Pniel”. Kalimat ini tidak technically akurat, karena dia cuma hampir-hampir melihat wajah Allah, dia mendekat kepada Allah; dan itu pun sudah membuat dia terpelecok seumur hidup. Tapi Yakub tidak melihatnya begitu, dia tidak meng-highlight itu, yang dia highlight adalah bahwa dia survive. Yakub merasa terpelecok itu fine, ‘sudah untung gua cuma terpelecok, harusnya gua mati, tapi gua bisa survive’. Itulah pengalaman bertemu dengan Tuhan, mendekat dengan Tuhan.
Saudara ingat juga Ayub. Ayub mendekat kepada Allah, dan pada akhirnya kalimat Ayub hanyalah: “Aku mencabut ucapanku, aku duduk dalam abu dan debu.” Yesaya, ketika bertemu dengan Tuhan di Yesaya pasal 6, dia tersungkur seperti orang mati dan dia mengatakan ‘rasanya aku seperti benang yang teruntai’. Yehezkiel, ketika dia melihat kereta takhta kemuliaan Allah, dia bisu seminggu, tidak bisa ngomong.
Saudara, waktu kembali ke Alkitab, Saudara akan melihat bahwa semua kisah di Alkitab mengenai mendekat kepada Tuhan, itu bertabrakan banget dengan konsep populer mengenai mendekat kepada Tuhan. Tapi Saudara jangan pikir ‘itu sebabnya Alkitab tidak masuk akal’, karena kalau Saudara pikir-pikir lagi dan benar-benar mempelajarinya, Saudara akan menyadari bahwa sebenarnya justru semua kisah Alkitablah yang masuk akal, justru seperti inilah harusnya ketika orang bertemu dengan Tuhan, ini bukan pengalaman yang aneh. In some sense semua pengalaman ini lumrah, wajar, kita selalu mengalami ini ketika kita bertemu dengan sesuatu yang bersifat superlatif, yang puncak, yang melampaui semua yang lain, yang kudus.
Rudolf Otto, seorang pemikir yang jauh banget dari Kristen, salah satu orang yang pertama-tama –atau setidaknya yang paling terkenal– dalam urusan studi banding agama-agama di dunia, dan hasil risetnya dia tuliskan dalam buku yang berjudul “The Idea of the Holy”. Dalam buku itu dia mengatakan, bahwa dia notice sesuatu, yang bukan hanya di Alkitab tapi juga dalam banyak agama-agama lain di dunia bahkan agama-agama primitif, yaitu ketika seseorang datang mendekat ke hadirat dewa yang paling besar, dewanya para dewa, dewa yang superlatif, maka orang ini akan mengalami satu hal, yang Otto sebut sebagai the numinous awe. Numinous awe adalah suatu pengalaman traumatis, demikian Otto mengatakan. Kenapa? Karena numinous awe adalah pengalaman kekaguman (awe) yang merobek kita, di mana kita merasakan tarikan/tabrakan dari dua perasaan, dua jenis respons, yang saling berlawanan tapi kena pada saat yang sama –rasanya kayak ditarik ke dua arah yang berlainan. Repons yang pertama ketika kita bertemu dengan apa yang kudus, mendekat kepada apa yang kudus, kita mengalami yang disebut mysterium fascinans, kita tertarik, kita terkagum-kagum, kita ingin melihat lebih banyak, kita penasaran, kita tidak mau pergi darinya. Namun pada saat yang sama kita juga mengalami yang disebut dengan mysterium tremendum, kita tremble, kita gemetar terhadap yang kudus, kita ketakutan, kita rasa terancam, kita kepingin kabur menjauh darinya. Itu sebabnya ini traumatis, karena sebagaimana Saudara lihat dua arah ini merobek diri kita, menarik jiwa kita ke dua arah yang berlainan pada saat yang sama.
Yang menarik, ini bukan cuma perasaan yang ada ketika kita bertemu dengan Tuhan tok, ini perasaan yang hadir simply ketika kita bertemu dengan apa yang kudus, yang beda, yang melampaui, yang superlatif. Itu sebabnya to certain extent, dalam hidup kita ada pengalaman-pengalaman ini dalam skala yang lebih kecil. Coba Saudara ingat-ingat, pasti Saudara punya orang yang superlatif dalam hidupmu, yang melampauimu, mungkin mereka super pintar, atau super talented, atau super cantik, dsb.; dan bagaimana Saudara berelasi dengan mereka? Ada dua arah ini ‘kan ya, ada semacam relasi love-hate. Kalau itu adalah temanmu, Saudara bangga di satu sisi, Saudara ingin mendekat kepada dia, ingin jadi orang seperti dia; namun di sisi yang lain, terhadap orang seperti ini Saudara akan ada rasa sedikit mirip kebencian dalam hatimu, atau paling tidak ada rasa takut dalam hatimu terhadap orang tersebut. Inilah namanya numinous awe; tertarik tapi juga teursir, ingin mendekat tapi juga ingin menjauh, kagum tapi juga takut. Kenapa bisa kayak begini? Karena dua respons ini sebenarnya dua sisi dari koin yang sama. Waktu kita bertemu dengan orang yang superlatif, kita jadi sadar diri kita tidak superlatif, dan ini menghasilkan dua respons tersebut. Alasannya kita senang dengan orang yang lebih cantik, bahkan sangat cantik atau sangat ganteng dibandingkan diri kita, adalah karena kita tahu diri kita tidak kayak begitu, maka kita ingin mendekat, namun pada saat yang sama kita juga tidak tahan dengan dia karena kehadirannya menyadarkan kita akan kekurangan kita. Kita kurang dalam sesuatu hal, maka kita ingin mendekat pada orang yang memilikinya; tapi pada saat yang sama kita juga ingin menjauh, kita tidak kepingin senantiasa diingatkan bahwa kita kurang, kita tidak kepingin senantiasa disadarkan bahwa kita tidak sebegitu cantiknya, atau tidak sebegitu pintarnya, atau tidak sebegitu talented-nya. Orang-orang seperti itu, waktu mereka memuji kita, kita naik setinggi langit, namun juga di sisi lain ada some part dalam hati kita yang hancur, jatuh ke jurang. Orang-orang seperti itu, pada saat yang sama mengangkat tapi juga mengancam.
Film yang mungkin paling jelas mengungkap relasi seperti ini, adalah film Amadeus. Ini film fiktif, hanya saja memakai tokoh yang kita kenal, yaitu Wolfgang Amadeus Mozart. Tapi ceritanya tidak berfokus pada Mozart; tokoh utamanya adalah seorang komponis lain bernama Antonio Salieri. Salieri adalah seorang komponis yang lebih senior, lebih dulu populer dibandingkan Mozart, namun jelas talentanya kalah jauh dibandingkan Mozart. Dia menyadari hal itu, maka dia benci akan fakta ini. Dia merasa terancam terhadap Mozart, bahkan in some sense dia jijik, karena dalam film tersebut Mozart digambarkan sebagai orang yang jenius tapi sangat vulgar (ini film, yang didramatisasi, sejarahnya sendiri tidak demikian). Tapi yang menarik, dalam film itu Salieri bukan cuma jijik, benci, dan terancam terhadap Mozart, dia juga begitu kagum padanya, bahkan mungkin dia tokoh dalam film tersebut yang paling sayang pada Mozart. Salieri, waktu mendapatkan kertas partiturnya Mozart, dia kagum luar biasa, koq bisa-bisanya tidak ada coretannya, tidak ada editannya. Dan, waktu dia coba melagukan musik itu di kepalanya, dia mendengar musik yang luar biasa indah, dia menangis –dan itu membuat dia semakin benci pada Mozart.
Saudara, inilah pengalaman hidup manusia. Kalau seorang manusia yang superlatif saja membuat kita beresaksi seperti ini, apalagi ketika kita bertemu dengan Sang Superlatif dari segala yang superlatif, yaitu Allah sendiri. Itu sebabnya Petrus, berhadapan dengan Sang Superlatif ini, dia mendekat, tapi lalu tersungkur di hadapan Yesus dan mengusir Yesus pergi, “Pergi dariku, Tuhan, aku orang berdosa” Lucu, ya. Terungkapnya Yesus dan kemuliaan-Nya, itu mengungkap kebobrokan dan keberdosaannya. Traumatis. Kenapa ini penting untuk kita tahu? Karena mungkin ini bisa jadi tes bagi keagamaan kita, Kekristenan kita, hubungan kita dengan Tuhan, yaitu apakah hubungan kita dengan Tuhan riil atau tidak. Saudara bisa tanya pada diri dengan tes yang salah satunya dari hal ini.
Apa itu mendekat kepada Tuhan bagimu? Kalau Saudara pikir mendekat kepada Tuhan itu seperti ketika Saudara di taman, jalan-jalan, menyanyi-nyanyi lagu rohani, kalau Saudara merasa tidak perlu bergumul dengan jemaat Tuhan untuk bisa bertemu dengan Tuhan, kalau Saudara merasa ketika mendengar khotbah yang enak dan hangat adalah bertemu dengan Tuhan sedangkan khotbah yang susah/pelik tidak, kalau Saudara pikir membaca Alkitab itu idealnya gampang, langsung mudeng —pendeknya, kalau Saudara pikir mendekat kepada Tuhan itu tidak traumatis– maka bagi Alkitab itu bukan Tuhan. Demikian poin yang pertama.
Jadi, kalau itulah Tuhan yang sejati, itulah Yesus Kristus dan seperti itulah kemuliaan-Nya, bahwa Dia kudus, maka apa artinya menjadi umat Tuhan yang mengikut Tuhan seperti ini, apa realitasnya menjadi pengikut Yesus yang seperti itu? Jawabannya simpel: jika bertemu dengan apa yang superlatif saja sudah membuat jiwa kita dirobek jadi dua arah, maka ketika kita bertemu dengan Allah yang kudus, ketika kita mendekat kepada Allah yang melampaui segala lampauan manusia, kita tidak bisa expect bahwa somehow tidak ada kesulitan, tidak ada konflik. Allah kita itu consuming fire. Allah kita itu seperti badai di lautan; dan badai itu mengaduk-aduk, mengekspos apa yang terpendam. Waktu kita mendekat pada badai yang seperti ini, kita terbongkar, kita melihat diri kita yang sesungguhnya, kita bergumul dengan itu. Itulah yang perlu kita expect sebagai pengikut Tuhan yang seperti ini.
Saudara, banyak sekali saya bertemu dengan orang-orang yang konseling dan mereka bergumul akan hal ini: ‘kalau saya sedemikian rusaknya, bagaimana mungkin saya bisa yakin saya masih dicintai Tuhan’. Orang yang konseling, hampir 80% datang dengan mengatakan ada problem dalam hidup mereka gara-gara orang lain; tapi hasil konselingnya, saya bisa katakan 95% dari mereka ujung-ujungnya sadar, dibongkar, bahwa mereka sendiri paling tidak adalah kontributor terhadap problemnya, bahkan dalam beberapa kasus merekalah akar dari problem yang mereka laporkan. Itulah konseling. Dalam konseling, mereka dikagetkan, disadarkan –bukan cuma satu kali tapi berkali-kali– akan kehancuran mereka. Setiap kali bertemu, mereka makin sadar dan makin sadar akan hal ini, kehancuran mereka makin dibongkar, makin dalam dan makin lebih dalam. Mereka sadar bahwa diri mereka jauh lebih hancur daripada yang mereka sangka. Itulah konseling. Lalu setelah beberapa kali pertemuan, mereka mengatakan, “Pak, setelah saya tahu seberapa saya rusak, saya jadi tidak yakin saya ini orang Kristen. Dulu saya pikir saya anak Tuhan, dulu saya pikir saya kaum pilihan, sekarang saya sangat meragukan, karena ternyata saya begitu hancur! Bapak telah membongkar itu. Itu sebabnya waktu Bapak suruh saya berdoa, saya mengiyakan, tapi saya tidak jalankan. Saya tahu saya butuh membaca Alkitab, tapi at the same time saya merasa seperti terblokir. Dosaku itu memblokir langkahku kepada Tuhan!” Itu sebabnya tidak sedikit dari mereka yang ingin Tuhan sekalian saja pergi daripadanya, persis seperti Petrus.
Bagaimana merespons orang-orang seperti ini? Saya akan mengatakan kepada mereka begini: Sekarang kamu menyadari kamu rusak, bobrok, dan hancur; dan ini menyebabkan kamu mempertanyakan kasih Tuhan kepadamu, statusmu sebagai orang percaya, sebagai anak Tuhan. Jadi, kamu sebenarnya mau bilang, bahwa dulu, waktu kamu belum tahu hal ini, waktu kamu masih belum peka akan kebobrokanmu sampai sebegitunya, waktu kamu masih aman damai tenteram, itu yang namanya perasaan dicintai Tuhan, perasaan dekat dengan Tuhan?? Bahwa jadi orang pilihan harusnya rasanya kayak begitu, aman damai seperti itu; dan sekarang perasan itu hilang maka kamu merasa bukan orang pilihan Tuhan? Begitu ‘kan. Coba sekarang berpikirnya lain, pikirkan ‘kenapa semua ini bisa terbongkar, apa yang menyebabkan dosamu bisa terbongkar seperti ini’. Dosamu terbongkar, justru karena kamu sedang mendekat kepada Tuhan, bukan karena kamu sedang menjauh. Dulu, waktu kamu aman damai itu, kamu justru jauh. Dulu, waktu kamu pikir kamu pilihan Tuhan, kamu itu hidup dalam ignorance, dalam kepalsuan rohani. Dulu, kamu cuma kira kamu dekat dengan Tuhan, tapi sesungguhnya kamu jauh sekali. Sekarang justru lain; sekarang kamu sedang mendekat; bahkan bukan cuma itu, sekarang kamu didekati oleh Tuhan. Paling tidak, sekarang kamu is on the right track, kamu sudah di arah yang benar untuk menemukan Allah yang sejati.
Saudara expect kayak begini atau tidak dalam kerohanian kita? Inilah kerohanian kita. Jadi dalam perspektif ini, menjadi orang yang lebih beragama –menjadi orang yang mulai membaca Alkitab, datang ke gereja, aktif, mulai mendalami buku-buku Kristen– semua hal ini adalah hal-hal yang paling berbahaya dalam hidup manusia yang manusia bisa kerjakan. Ironisnya, sering kali kita tidak berpikir demikian, kita tidak menyangka hal ini. Biasanya kita datang kepada Tuhan karena kita punya problem dalam hidup, kita dianjurkan datang ke gereja, kita merasa kosong secara rohani lalu kita datang ke gereja, kita mencari inspirasi, kita mencari rhema. Tapi Saudara, kalau menurut Alkitab, mending Saudara jauh-jauh saja sekalian dibandingkan dekat-dekat Tuhan sekadar untuk dekat-dekat, karena mendekat kepada Tuhan adalah satu hal yang amat sangat berbahaya dalam hidup manusia. Dalam sudut pandang Alkitab, mendekat kepada Tuhan itu berbahaya sekali. Kalau Saudara mulai lebih banyak membaca Alkitab, mulai datang ke pertemuan-pertemuan gereja, mulai aktif, mulai banyak membaca buku-buku Kristen –Saudara mengejar kerohanian demi kerohanian– ini adalah sesuatu yang berbahaya sekali dalam hidup manusia. Namun ironisnya Saudara melihatnya tidak seperti ini, Saudara tidak sadar akan hal ini.
Adalah pengalaman yang riil, orang-orang Kristen mengatakan, “Aku akan lebih berusaha, aku mau mengenal Tuhan lebih baik, aku akan menghindari hal ini dan itu, aku mau coba ikut KKR Regional, aku mau coba berdoa lebih rutin, aku mau menolong orang miskin”; dan Saudara tahu efeknya? Pada awalnya, waktu Saudara berusaha mendekat seperti itu, efeknya ada kelegaan dalam hatimu (banyak orang yang ikut KKR Regional untuk meredakan hati nurani mereka –bisa dibilang ‘tebus dosa’), tapi cepat atau lambat, semakin Saudara mendekat kepada Tuhan seperti ini, Saudara mulai merasa berat, kelegaan dalam hatimu mulai berganti dengan kecapekan dalam hatimu, Saudara mulai menyadari tuntutan rohani/agamawi dalam Kekristenan itu makin lama makin jelas. Kalau Saudara datang seperti itu, kalau engkau datang bukan karena diubah oleh Injil, kalau engkau datang demi mengejar kerohanian, maka Allah yang adalah api yang menghanguskan itu akan mulai memanggangmu, dan engkau mulai merasa ingin mundur, engkau mulai merasa tidak mampu, engkau mulai melihat: ‘Sebenarnya seberapa sih persisnya kita harus saling mengasihi?? Waduh!! Seberapa persisnya kita harus berbelas kasihan?? Celaka! Seberapa persisnya kita harus mengampuni??’ Dekat-dekat dengan Yesus, yang kudus, Dia akan membuatmu merasa tegang dengan dirimu sendiri. Mendekat kepada Tuhan, itu traumatis! Itu sebabnya tidak jarang kita menemukan cerita-cerita orang yang mengatakan, “Yah, dulu saya aktif, tapi … “, “Saya dulu juga orang Kristen, tapi …” —tapi ujungnya itu cuma membuat saya merasa hancur, rusak, ‘gak enak. Dan, itulah Petrus.
Petrus pada awalnya mungkin bangga ketika Yesus memilihnya. Di situ ada dua perahu, ‘kenapa aku yang dipilih ya, hmmm… ‘. Dia mungkin pikir Yesus ini Rabi yang lagi hot, lagi trending, lagi naik daun, Rabi yang pengajarannya paling keren di seluruh Palestina, dan ‘Dia naik ke perahuku, loh’. Selanjutnya, ‘Dia memilih aku jadi pengikut-Nya loh, keren juga ya, jadi tangan kanan Yesus, masuk lingkaran satu!’ Pada awalnya Petrus mungkin merasa nyaman, lega, bahkan bangga mendekat kepada Yesus. Tapi waktu Yesus terungkap, ter-epifani-kan akan siapa diri-Nya yang sesungguhnya, apa yang terjadi? “Pergilah dariku”, tidak tahan. Inilah kita.
Kita datang kepada Yesus, sedikit banyak karena ada sesuatu hal dalam hidup kita yang kita rasa kurang, maka kita membutuhkan Dia –sama seperti kita melihat orang cantik, orang talented. Kita membutuhkan Dia secara general, maka kita datang PA, kita ikut melayani; dan kita mulai merasa enak, lega. Tapi, cepat atau lambat, lama-kelamaan kita mulai merasa makin jenuh, makin berat, makin capek –lama-kelamaan kita mulai merasa seperti Petrus. Kalau Simon Petrus, kalimatnya adalah ‘pergilah dariku, aku orang berdosa’, kita mungkin tidak mengatakan itu, kita mengatakan, “Ya ‘gak mungkinlah saya bisa menjalankan semua ini, ‘gak mungkinlah saya bisa jadi orang Kristen full tulen, tidak mampulah; jadi Pengurus terus kayak begini, aduh, bagaimana ya??” Kita jadi mulai jaga jarak dengan Gereja. Memang kita tidak keluar sih, karena bagaimanapun juga dalam diri kita masih ada mysterium fascinans, kita masih tertarik dengan apa yang kudus, kita simply mulai gentayangan di gereja, tapi muka kita muka yang ada pengalaman trauma. Berapa banyak Saudara melihat orang seperti ini di gereja? Berapa banyak dari kita yang sudah ada gejala seperti ini dalam gereja?
“Jadi bagaimana, Pak??” –itulah selalu pertanyaannya. Saudara, kisah di Lukas ini menarik, karena ada catatan cerita lain yang sangat mirip di Yohanes pasal 21. Dua cerita ini mirip banget, tapi bukan event yang sama. Dalam Lukas, ini kisah awal-awal pelayanan Yesus, sedangkan Yohanes 21 adalah kisah akhir setelah Yesus bangkit. Cerita dalam Yohanes 21:1-7 ini ada kemiripannya, setidaknya ada empat kemiripan di sini: 1) problemnya mirip, para murid menangkap ikan tapi tidak dapat; 2) respons Yesus juga mirip, menyuruh mereka kembali menebarkan jala; 3) mukjizatnya juga mirip, begitu banyak ikan yang ditangkap sampai rekor; 4) reaksi Petrus juga mirip –dalam hal reaksinya selalu bombastis– dan kali ini dia langsung terjun begitu saja, tidak sabar menunggu perahu tiba di tepi. Namun Saudara tentunya melihat ada yang sangat berbeda di sini. Dalam Lukas 5, Petrus datang menghampiri Yesus untuk mengusir Yesus; dalam Yohanes 21, begitu Petrus tahu itu Yesus, dia lompat ke air, tidak sabaran ingin mendekat kepada Yesus, dan kali ini dia mendekat bukan untuk mengusir Yesus. Petrus mendekat, dia tidak bicara apa-apa, simply untuk mendekat. Dalam Lukas 5 dia tidak lompat ke air, tapi seandainya dia lompat ke air, dia akan lompat untuk berenang ke tengah danau, menjauhi Yesus. Dalam Yohanes 21, dia lompat ke air untuk berenang ke tepi, mendapatkan Yesus. Pertanyaannya: kenapa bisa berubah kayak begini reaksinya, apa yang terjadi?
Saudara, basically Yohanes 21 ini peristiwa yang terjadi setelah kebangkitan. Jadi, dalam poin ini Petrus sudah spend tiga tahun sebagai murid Yesus. Dia sudah tahu semua requirement/tuntutan Yesus bagi pengikut-pengikut-Nya, yang begitu berat. Dia sudah tahu khotbah-khotbah Yesus untuk mengasihi, untuk berbelaskasihan, untuk mengampuni 70×7 (omong-omong, Yesus keluar kalimat tersebut adalah karena pertanyaannya Petrus). Dan yang pasti, momen Petrus melihat Yesus di Yohanes 21 ini adalah momen Petrus bertemu dengan Yesus setelah dia menyangkal-Nya, momen ujian besar dalam hidup Petrus yang dia gagal total, dia terbongkar sebagai pengecut. Sejak penyangkalan itu, Yesus pernah menunjukkan diri-Nya kepada murid-murid-Nya, dan tentu saja Petrus ada di situ, tapi belum ada kesempatan one on one untuk meresolusilan perasaan bersalah ini. Petrus ini, waktu berhadapan dengan Yesus di pasal 21, dia bawa bagasi yang berat. Baru setelah kejadian inilah ada percakapan dengan Petrus one on one, “apakah engkau mengasihi Aku, … dst.” itu. Jadi, in some sense dalam momen Yohanes 21 ini Petrus justru lebih banyak alasan –paling banyak alasan– untuk kabur dari Yesus, bukan untuk mendekat. Tapi anehnya, dalam momen Yohanes 21 ini dia malah lompat ke air untuk mendapatkan Yesus. Jadi apa yang berubah? Koq bisa kayak begini? Saya rasa, yang berubah adalah: Petrus sekarang ngeh apa itu Injil Yesus.
Saudara, yang terjadi dalam Perjanjian Lama basically adalah: orang Israel berusaha untuk mendekat kepada Tuhan tapi mereka tidak bisa masuk ke hadirat Tuhan. Allah hadir dan berdiam di Kemah Suci atau Bait Allah, tapi orang Israel tidak bisa masuk ke Ruang Mahasuci. Hanya imam besar yang setahun sekali bisa masuk. Orang-orang seperti Musa, bisa masuk dan bercakap-cakap dengan Allah muka dengan muka. Yakub, hampir dan dekat sekali untuk melihat Tuhan, tapi tidak bisa juga. Itu sebabnya kitab Ibrani mengatakan, Yesuslah Imam Besar kita yang sejati. Kenapa Dia itu Imam Besar yang sejati? Pertama, tentu saja karena Dia bisa masuk ke hadirat Allah; tapi Dia bukan cuma bisa masuk, Dia mengurbankan diri-Nya menjadi kurban di atas mezbah Allah. Dan, ketika hal ini terjadi, tirai pemisah Bait Allah robek menjadi dua. Dia adalah Imam Besar yang sejati bukan cuma karena Dia masuk ke hadirat Allah, tapi juga karena Dia membawa keluar hadirat Allah bagi kita semua. Inilah Injil.
Injil tidak mengatakan “dulu kamu kurang beragama, sekarang ayolah lebih beragama sedikit; dulu kamu jauh, tapi ayolah mendekat sedikit”; tidak demikian. Kalau Saudara baca Alkitab, lebih baik Saudara jauh-jauh sekalian daripada dekat-dekat tapi tidak masuk. Yang kita butuhkan bukanlah mendekat kepada Tuhan; yang kita butuhkan adalah masuk ke hadirat Tuhan, disatukan bersama dengan Kristus sehingga kita bisa masuk ke hadirat Allah. Kalau Saudara tidak masuk, kalau Saudara cuma bisa mendekat di depan pintu, better Saudara jauh-jauh saja sekalian. Lalu kenapa kita bisa masuk? Inilah Injil, terjadi bukan karena kita melainkan karena apa yang Kristus lakukan. Itulah satu-satunya yang bisa menjelaskan perubahan yang terjadi dalam hidup Petrus.
Dulu dosa-dosa Petrus memblokir jalannya kepada Yesus; sekarang oleh karena Injil, dosa-dosa Petrus mendorongnya lari mendapatkan Yesus. Inilah Injil. Injil membuat dosa-dosamu itu mendorongmu untuk lari kepada Yesus. Pertanyaannya, kita hari ini adalah Petrus yang mana? Kita ini Petrus di Lukas 5 atau Petrus di Yohanes 21? Dengan kata lain, ketika hari ini kita terbongkar, kita melihat kegagalan kita, kita dibawa untuk menyadari betapa kita jauh lebih rusak dibandingkan yang kita sadar, kegagalan ini membuatmu berespons apa? Membuatmu jadi tidak ingin datang ke gereja? Membuatmu jadi enggan membaca Alkitab? Membuatmu jadi menghindari doa? Membuatmu mengatakan, “Mana bisa saya datang kepada-Nya; pergilah Tuhan dariku, aku orang berdosa”? Atau, kegagalan-kegagalanmu ini justru membuatmu ingin melompat dari perahu, berenang ke tepi mendapatkan Yesus? Yang mana, Saudara? Dosa-dosamu itu memblokir persekutuanmu dengan Dia, atau justru mendorongmu untuk mendapatkan-Nya? Itulah yang akan memberitahu kepada kita, kita ini Petrus di Lukas 5 atau Petrus di Yohanes 21.
Sekali lagi, Saudara lihat bahwa mempelajari Alkitab, melayani dalam banyak hal, itu akan membuatmu dekat dengan Tuhan. Tapi jika Saudara hanya dekat tok, dan tidak pernah masuk atas dasar Injil Yesus, kalau Saudara tidak pernah senantiasa diperbarui untuk menyadari-melihat-ngeh akan karunia Allah dalam hidupmu, engkau akan jadi orang Kristen yang sumbu pendek, gampang terganggu, gampang nyinyir, gampang sarkas ketika melihat kerusakan-kerusakan dalam Gereja dan dalam dunia. Inilah orang-orang yang hidupnya paling miserable dalam dunia ini karena tidak melihat dan merasakan pengampunan serta anugerah Allah, mereka cuma senantiasa diingatkan akan standar hidup yang mereka tidak akan pernah mampu capai. Inilah orang yang dekat tapi tidak masuk.
“Jadi bagaimana, Pak?” itu pertanyaannya. Saudara, tidak ada bagimana-bagaimana, Saudara harus meminta kepada Tuhan. Khotbah hari ini tidak bisa berakhir dengan ‘satu lagi cara keagamaan’, karena kalau itu jawabannya, itu cuma akan sekali lagi membawamu mendekat tapi tidak pernah masuk. Kalau Saudara mau melihat terangnya, Saudara harus rela masuk ke dalam kegelapannya. Kalau Saudara menyadari diri kita adalah Petrus di Lukas 5, maka yang bisa membuat kita berubah jadi Petrus di Yohanes 21, hanyalah pekerjaan Roh Kudus di dalam hatimu, pekerjaan yang membuat kita melihat hati kita yang terbongkar di hadapan Tuhan, dosa kita yang terbongkar di hadapan Tuhan, kebobrokan kita yang terbongkar di hadapan Tuhan. Ini tanda apa sesungguhnya? Apakah ini berarti bahwa dulu waktu kita merasa lega, semangat, aman damai, Tuhan mencintai kita, dan itu tandanya kita kaum pilihan, tapi sekarang bukan? Tandanya bahwa dulu kita anak Tuhan, dan sekarang bukan? Jadi apa tanda terbongkarnya semua kebusukan dalam hatiku ini?
Saudara, inilah amazing-nya anugerah; anugerah itu amazing karena kita tidak cuma ada spektrum di mana kita memproklamirkan dengan suara lantang, “Amazing grace!”, tapi bahwa kadang amazing grace itu harus kita proklamirkan dengan desahan yang lirih, yaitu ketika dalam momen-momen kita terbongkar kerusakannya, kegelapannya, kepalsuan hatinya, kita menyadari ini bukan terjadi karena saya, ini terjadi karena Tuhan sedang mendekat kepada saya, dan justru inilah tandanya saya dibawa Tuhan ke arah yang benar untuk bertemu dengan Allah yang sejati. Ini anugerah, Saudara. Kenapa? Karena tidak ada satu pun dari kita yang mencari hal ini, tidak ada satu pun dari kita yang mau hal ini. Ini adalah kita dibawa Tuhan masuk, digendong Tuhan masuk, ke dalam Ruang Mahasuci. Apakah ini kabar baik buat kita? Inikah kerohanian Kristen bagi kita?
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading