Kita melanjutkan seri Ordinary Time; ini khotbah yang ke-6, meski di ringkot hitungannya lain karena khotbah HUT tidak dimasukkan dalam seri tsb. Ordinary Time dalam Kalender Gereja, adalah masa di mana kita memberi perhatian pada waktu-waktu dalam kehidupan kita yang sering kali kita tidak beri perhatian, waktu-waktu yang biasa, momen-momen yang biasa, momen-momen yang bukan unforgettable tapi justru forgettable, momen-momen yang kita tidak rasa perlu foto, momen-momen yang kita tidak rasa perlu masukkan ke FB atau IG, momen-momen yang kita rasa tidak berdampak apa-apa –makanya kita lupakan. Namun lewat beberapa pertemuan, kita sudah melihat bahwa momen-momen ini ternyata justru bagian di mana Tuhan membentuk kita –atau bagian di mana dunia juga membentuk kita. Ordinary time ternyata adalah sebuah medan perang yang kita sering kali tidak sadar, tidak pentingkan, dan makanya kita sangat mudah kalah di situ.
Hari ini kita Perjamuan Kudus, maka kita coba membicarakan kaitan antara Perjamuan Kudus, momen yang biasanya kita lihatnya sebagai extraordinary, dengan momen yang justru ordinary dalam hidup kita, yaitu momen kita makan –Perjamuan Kudus-makan, dua hal yang sangat berhubungan– makan biasa dan juga makanan yang biasa.
Ibadah Kristiani berfokus pada dua hal secara terutama, yaitu firman dan sakramen. Firman ada yang dikhotbahkan, ada yang dibacakan, ada yang dinyanyikan, ada yang didoakan. Sakramen bagi kita adalah Baptisan dan Perjamuan Kudus. Dalam hal ini, firman dan sakramen saling mendukung. Waktu kita memproklamasikan Injil dengan firman, itu menjadi utuh/genap ketika Saudara menerima proklamasi Injil di meja Perjamuan; proklamasi Injil di meja Perjamuan, itu dijelaskan dan dibukakan lewat pemberitaan firman Tuhan. Dua hal inilah yang orang Kristen pegang sebagai pusat dari ibadah gerejawi. Namun yang menarik, dan akan jadi pembahasan hari ini, adalah: sadarkah kita bahwa dua hal ini –firman dan skaramen– dua hal yang merupakan pusat dan fokus ibadah Kristiani, itu identik dengan makanan, bahwa Alkitab sering kali menggambarkan keduanya dengan bahasa makanan.
Tadi kita baca di Matius 4:4, Tuhan sendiri mengatakan manusia itu tidak cuma hidup dari –atau tidak kenyang dari– roti saja, tapi dari firman. Jadi firman di sini di-analogikan dengan makanan. Dalam kitab Yehezkiel di Perjanjian Lama, dan juga dalam beberapa tempat yang lain, ada nabi-nabi seperti Yehezkiel yang disuruh makan firman Tuhan, makan gulungan kitab; dan Yehezkiel lalu memberi kesaksian rasanya seperti apa. Hal yang sama dalam kitab Wahyu, Yohanes juga disuruh makan gulungan kitab, makan firman Tuhan. Paulus dalam 1 Kor. 3:2, mengatakan, “Susu yang kuberikan kepadamu, bukan makanan keras; harusnya kamu bisa terima makanan keras”; susu dan makanan keras ini apa maksudnya? Firman Tuhan. Jadi di sini firman Tuhan digambarkan sebagai susu dan makanan keras. Jadi tidak heran waktu orang Kristen membahas Doa Bapa Kami, pada klausa “berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya”, kita otomatis tahu ini maksudnya bukan cuma roti, nasi, ikan goreng, dan kawan-kawannya tok, tapi juga identik dengan kehadiran firman Tuhan dalam hidup harian kita.
Namun mungkin identifikasi firman Tuhan sebagai makanan yang paling klimaks, adalah ketika Yesus menginstitusikan Perjamuan Kudus. Yesus mengatakan: “Lakukanlah ini untuk mengingat Aku”. Lakukan apa? Dari semua hal yang Yesus bisa pilih untuk dilakukan murid-murid-Nya demi mengingat Dia, Yesus memilih makanan, perjamuan. Kenapa Yesus tidak menyuruh murid-murid-Nya melakukan something yang lebih keren, ya?? Bukankah banyak hal lain yang lebih keren?
Di dalam dunia gowes ada yang namanya everesting, yaitu kita, para goweser, mencoba naik turun suatu tanjakan/bukit/gunung, bolak-balik sampai total ketinggian yang dicapai dalam satu kali jalan adalah setinggi Gunung Everest, 8.848 meter. Ini salah satu tantangan menarik bagi para goweser, saya sendiri ingin melakukannya sebelum mati –dan hopefully tidak mati waktu melakukannya. Ini dilakukan misalnya dengan gowes menanjak salah satu bukit di Sentul yang jadi tujuan populer para goweser Jakarta, Bukit KM 0. Di situ satu kali menanjak, Saudara bisa dapat sekitar elevasi 450 meter-an, jadi tantangannya adalah naik turun bukit itu 22 kali untuk mencapai 8.848 meter. Grup gowes kami dalam masa pandemi pernah mencoba naik turun lima bukit di daerah sentul, yang tidak setinggi Bukit KM 0, dan kami semua keok di bukit yang ketiga! Jadi kalau 22 kali, edan juga ya. Tapi memang ada orang-orang yang melakukan everesting seperti itu, satu kali activity bisa sampai 8.848 meter naik sepeda. Lalu waktu diwawancara, “Kenapa kamu melakukannya?”, kadang jawabannya adalah: “Saya melakukan itu in remembrance of my late mother”, atau late father, atau yang lain –saya melakukannya demi mengingat seseorang yang saya kasihi. Ada seorang nenek yang gowes dari ujung East Cost America sampai ke West Coast (jalurnya bisa beda-beda, jarak yang paling pendek 3.600 km dan yang paling panjang sekitar 6.000 km), dia melakukannya solo dan unsupported; lalu ketika ditanya mengapa melakukan hal ini, dia menjawab: “In remembrance of … ”.
Saudara, kenapa Tuhan Yesus tidak menyuruh kita melakukan hal-hal seperti itu saja, ya?? Bukankah itu jauh lebih keren, jauh lebih luar biasa? Orang-orang dunia saja melakukan itu bagi sesama manusia, untuk mengingat, in remembrance of orang yang mereka kasihi, jadi Tuhan Yesus tentunya patut mendapatkan lebih dong?? Namun yang menarik, Tuhan Yesus malah memilih satu tindakan yang paling ordinary ini, tindakan yang paling biasa, untuk kita mengingat diri-Nya, yaitu makan; Dia mengatakan, roti ini adalah tubuh-Nya, anggur ini adalah darah-Nya. Dan, roti dan anggur dalam budaya Yahudi pada waktu itu bukan saja biasa, tapi juga tidak langka sama sekali.
Hari ini banyak ketegangan di dunia dalam urusan benda-benda langka, rare earth misalnya, tapi tidak ada orang di dunia ini yang ingin coba membudidayakan gas Nitrogen. Gas Nitrogen itu tidak langka; 70% udara yang kita hirup adalah gas Nitrogen. Ini sesuatu yang sama sekali tidak langka, abundant, maka tidak ada yang peduli dengan gas Nitrogen, paling-paling untuk isi angin ban mobil, dan itu pun banyak yang malas bayar ekstra cuma untuk isi Nitrogen, mending isi angin biasa. Jadi signifikansinya di sini, Yesus pada dasarnya “memilih Nitrogen”; Yesus memilih roti dan anggur sebagai cara-Nya untuk menghadirkan diri-Nya di tengah-tengah umat-Nya.
Perhatikan bahwa dalam perjamuan terakhir Yesus dan murid-murid-Nya itu, Yesus tidak mengatakan, “Ya, makan sih makan, tapi pas makan dengerin Gua ngomong hal yang penting; makan itu ‘gak penting, yang penting adalah Saya mau beritahu kamu doktrin-doktrin yang ortodoks, yang setiap kali kamu makan roti ini, kamu harus mengulanginya.” Itu sebabnya beberapa pendeta setiap kali mau masuk Perjamuan Kudus harus mengatakan, “Ini kita percayanya bukan transubstansi seperti orang Katolik ya.., kita percayanya bukan kon-substansi seperti orang Lutheran ya.., kita percayanya bukan sekadar lambang tok seperti orang Zwinglian ya.., kita percayanya the doctrine of the real presence gaya Calvinism!” Tapi Tuhan Yesus tidak melakukan itu. Tuhan Yesus tidak menjelaskan selagi makan mengenai teori-teori atonement, mengenai bagaimana persisnya kematian dan kebangkitan-Nya akan menggenapkan keselamatan; fokus-Nya adalah pada tindakan makan ini, Dia simply memberi kepada para murid-Nya satu tindakan untuk mereka lakukan demi mengingat Dia, yaitu makan bersama.
Sadarkah Saudara, ini maknanya apa? Ini berarti jikalau pun semua gedung gereja yang paling besar dan megah di dunia ini runtuh dan lenyap, jikalau pun mimbar, kursi, piano, lukisan, musik, semuanya hilang, maka orang Kristen di dunia masih tetap, dan akan tetap, datang menyembah Tuhan, karena yang kita butuhkan untuk bergereja hanyalah firman dan sakramen. Kita hanya perlu roti dan anggur. Kita tentu bersyukur bahwa Gereja ada banyak kelimpahan, ada musik-musik terbaik, ada anugerah ini dan itu; kita bersyukur Gereja ada gedung yang baik, dan kita bahkan bersyukur Gereja ada pergumulan dan penderitaan. Tapi ternyata untuk bergereja, umat Tuhan sebenarnya hanya membutuhkan firman dan sakramen. Menarik, ya. Tidak heran Tuhan Yesus sendiri disebut sebagai Firman Hidup, dan menyebut diri-Nya sebagai Roti Hidup –firman dan sakramen– dua hal yang paling esensial dalam Gereja, karena memang poinnya Gereja adalah untuk menyatakan kehadiran Kristus, yang adalah Sang Firman dan Sang Roti itu.
Saudara, waktu kita melihat seberapa dekat hubungan antara firman-sakramen dan makanan, kita menyadari satu hal: ini berarti semua makanan yang hari ini kita makan –bukan cuma Perjamuan Kudus– berfungsi sebagai suatu lambang/ikon yang menunjuk kepada Kristus. Tuhan Yesus sendiri mengingatkan kepada orang Yahudi: “Nenek moyangmu terima manna di padang gurun, tapi itu tidak cukup, kalian tetap mati”; maka Yesus membuat perbandingan: “Aku akan memberikan kepadamu roti surga, yang membuat siapa yang makan, hidup selama-lamanya, dikenyangkan selama-lamanya.” Apakah roti surga itu? Dia mengatakan: “Tubuh-Ku.” Dengan demikian semua makanan kita menunjuk kepada Kristus; semua makanan kita, itu tidak cukup, kita akan lapar lagi, maka semua makanan kita menunjuk kepada Dia, yang adalah makanan sejati kita, makanan kekal kita. Inilah dasar pertama yang kita mau lihat di sini.
Sekarang mari kita coba menyelidiki urusan makanan –makanan yang biasa—mengenai apa yang bisa kita tarik dari makanan –dari perjamuan—karena ternyata barang ini, makanan yang ordinary ini, mungkin bisa mengajarkan kita sesuatu mengenai hidup kita di hadapan Tuhan.
Saudara, semua makhluk hidup perlu makan, tapi hanya manusia yang membuat urusan makan ini jadi budaya. Kita ini makhluk yang tidak puas kalau makan jadi sekadar isi bensin tok. Kita menciptakan ritual-ritual makan, teknik-teknik makan, alat-alat makan, tempat-tempat makan. Tindakan makan, kita bubuhkan dengan makna dan signifikansi yang meluas dan melebar ke mana-mana. Kita makan untuk mempererat ikatan keluarga. Kita makan demi menciptakan ikatan bisnis. Kita makan demi menunjukan persahabatan dengan orang lain. Kita makan dengan menciptakan tempat makan mulai dari warung kaki lima di pinggir jalan sampai dengan restoran mahal. Kita makan dengan makanan yang dimasak pakai penggorengan, panggangan, kukusan, slow cooker, dsb. Kita menulis buku dan membaca buku yang menjelaskan sejarah makanan, bahkan resep-resep makanan. Cuma manusia yang mengambil tindakan isi bensin tersebut jadi budaya yang sangat kompleks di dalamnya. Apalagi di Kelapa Gading, kalau saya bicara satu per satu mengenai makanan, bahkan tidak semua makanan tapi cuma bipang saja, mungkin saya bisa kumpulkan bahan seminar yang tiga jam tidak cukup. Beberapa saudara di sini ada yang sangat mengerti urusan masak, baru bicara soal pilih bahan saja, belum masuk ke dapur, sudah begitu kompleks dan penuh detail yang tidak boleh diabaikan. “Pak, kalau beli ikan yang kayak begini, jangan kayak begitu .. ambilnya di pasar yang ini, jangan yang itu …”, dst., kompleks sekali.
Kita tahu, makan itu penting karena kita perlu makan untuk bertahan hidup, tapi makanan, bagi umat manusia hampir-hampir tidak pernah hanya untuk itu. Kita makan untuk kenyang, itu benar, namun juga makanan-lah yang mengajarkan kita bahwa kekenyangan tidak hanya ditemukan dari makanannya. Itu sebabnya ada yang bilang, “Yang masalah bukan makan apa, tapi makan sama siapa”. Kita duduk di meja makan bersama siapa, itu sangat penting, karena itu faktor yang ikut serta dalam menciptakan rasa kenyang. Kita duduk di meja makan bersama, kita bertukar kisah-kisah kehidupan, itu mengenyangkan; dan itu rasa kenyang yang bukan muncul hanya dari makanannya saja. Itu sebabnya sebagai manusia kita sering kali menciptakan gambaran meja makan yang ideal, meja makan yang diisi dengan keluarga, dengan sahabat, dengan anak-anak yang bersikap sopan, yang mejanya dipenuhi makanan lezat tapi juga sehat, yang mejanya dihias dengan lilin candle light dan diperkuat dengan canda tawa. Itu gambaran ideal kita akan makanan. Tapi, ya itu memang gambaran ideal, sedangkan realitasnya sebagian besar waktu makan dan makanan kita tidak kayak begitu.
Realitasnya, hari ini pun makanan kita sering kali mungkin simply makanan sisa kemarin. Mungkin bukan makanan masakan kita sendiri, mungkin bukan makanan yang especially lezat, mungkin hanya makanan yang kita anggap gampang dan cukup murah, makanan kemarin yang kita panaskan kembali karena sayang kalau terbuang. Kebanyakan makanan kita dalam hidup ini, mungkin lebih mirip yang belakangan itu dibandingkan gambaran makanan ideal tadi. Kita sering kali makan simply karena perlu, bukan karena ingin. Kita banyak sekali makan makanan-makanan yang forgettable, makanan-makanan yang ordinary. Kita tentu bisa ingat makanan-makanan yang super lezat, ‘kapan lagi ya, bisa makan itu’. Kita juga mungkin ingat dengan makanan-makanan yang super tidak enak, yang super mengecewakan, ‘tidak mau lagi datang ke restoran itu seumur hidup, ikannya bau tanah!’ Namun faktanya, kebanyakan makanan yang kita makan, 90%-nya mungkin, tidak mencolok sama sekali, biasa saja, tidak diingat. Saudara makan apa tiga minggu lalu?? Tapi perhatikan satu hal: makanan yang terlupakan itu, sama menghidupkannya dengan makanan-makanan yang Saudara ingat terus. Ribuan, puluhan ribu, ratusan ribu makanan-makanan yang terlupakan itulah, yang sekarang jadi bagian dari ototmu, darahmu, otakmu, syarafmu, kulitmu, dan semuanya. Itulah yang menopang engkau sampai hari ini. Itulah “our daily bread”. Dengan demikian, rasa kenyang dalam kehidupan kita –bahkan hidup kita itu sendiri– diisi sebagian besarnya dengan makanan-makanan yang ordinary ini, makanan-makanan yang tidak diingat, makanan-makanan yang tidak langka. Kita jarang sadar akan hal ini; maka demikian juga paralelnya dengan firman Tuhan.
Pak Tong pernah mengatakan kepada kami para pendeta dan vikaris: ‘Kalau kamu suatu hari khotbah, lalu setelah itu ada jemaat yang menyalami dan bilang, “Terimakasih, Pak, saya dengar khotbah Bapak, kenyang! Sebelumnya dengar khotbah orang lain tidak kenyang”, maka jangan pernah ge-er; kenapa? Karena kamu itu cuma sendok yang terakhir, sedangkan semua yang datang sebelum kamu adalah bagian yang kontribusi pada rasa kenyang itu ‘. Orang datang kepada pendeta yang satu, tidak kenyang; datang ke pendeta kedua, tidak kenyang, lalu ke pendeta ketiga, tidak kenyang, demikian juga pendeta keempat, lalu bertemu dengan pendeta kelima, dan kenyang –dan itu adalah kamu– jangan ge-er, karena rasa kenyang pada momen kelima ini adalah hasil dari yang sebelumnya. Semua kita seperti itu, tapi kenapa ya, kita terfokus banget pada sendok yang terakhir ini?? Kita mengatakan, “Ini yang benar! Ini yang beres, ini yang mengenyangkan, saya mau cari ini lagi!” maka kita coba datang lagi, dan kita tidak kenyang, kita kecewa, kita menyalahkan pendetanya, kita cari lagi yang lain.
Kenapa kita seperti ini? Kalau disuruh menjelaskan, kita biasanya menunjuk kepada dunia. Kita coba menyalahkan dunia, kita menyalahkan budaya konsumerisme sebagai biang keroknya. Tentu saja itu ada benarnya, namun sesungguhnya ada biang kerok yang lain yang kita harus bongkar dan akui, bahwa kita jadi orang-orang yang fokusnya pada sendok terakhir kayak begini, mungkin bukan cuma karena pengaruh dunia, tapi justru karena pengaruh Gereja, atau lebih tepatnya pengaruh dari tradisi Gereja tertentu yang kita ada di dalamnya, yang sedikit banyak disebut dengan tradisi gereja Injili.
Saudara mungkin sering kali pikir bahwa dibandingkan dengan Kharismatik, gereja Injili lebih tenang, lebih kalem, lebih ordinary, lebih konservatif, lebih boring. Tapi Saudara jangan cuma lihat fenomena hari ini, Saudara perlu menyelidiki asal-muasalnya. Gerakan Injili pada awalnya mungkin lebih mirip dengan gerakan Kharismatik hari ini, karena gerakan Injili pada awalnya gerakan yang identik dengan excitement, semangat, militansi, passion, hasrat. Gerakan Injili boleh dibilang lahir dari gerakan kebangunan rohani. Itu sebabnya dalam gereja-gereja Injili –termasuk kita– lagu-lagunya adalah lagu-lagu kebangunan rohani. Misalnya lagu-lagu yang pakai istilah-istilah seperti ‘terbakar’; “Api Roh Suci, bakar hatiku!”, “Bangunkan jiwa kami, revive us again!”, “Jalan salib perlulah korban, s’rahkan semua pada-Hu”. Ini semua tradisi kita. Gerakan Injili tidak puas dengan melakukan hal-hal yang rutin itu-itu lagi. Gerakan Injili dan gerakan kebangunan rohani ingin melakukan hal-hal besar bagi Tuhan, dan mengharapkan hal-hal besar dari Tuhan. Semangat Injili esensinya adalah sikap yang aktif, semangat pelayanan, “rajin berdoa, baca Alkitab, selalu bersaksi bagi-Hu”. Kebaktian kebangunan rohani ‘kan seperti ini. Tidak bisa kalau kebaktian rohani yang datang hanya sedikit, garing bener. Tidak bisa kalau kebangunan rohani paduan suaranya cuma kuartet 4 orang, garing-lah. Idealnya adalah kalau yang datang puluhan ribu dan paduan suaranya juga ribuan! Khotbahnya juga tidak boleh seperti di ruangan kelas, khotbahnya harus dramatis, ada teriak-teriaknya, sensasional, mengundang emosi!
Di STT kita, waktu saya masih mahasiswa dulu, ada kelas khotbah di mana mahasiswa-mahasiswanya digilir praktek khotbah di depan mahasiswa-mahasiswa yang lain dan dosen, lalu dosennya memberi komentar, dsb. Pernah suatu kali ada mahasiswi yang khotbahnya dikritik sang dosen, “You kalau khotbah tidak bisa kayak begitu, you khotbah harus semangat! Seperti kayak kalau orang mau marah, gitu lho.” Lalu si mahasiswi dengan lirih bilang, “Pak, saya kalau marah itu diam… “. Saudara, sering kali itulah kita, warnanya seperti itu, khotbah pun dilihatnya harus identik dengan kemarahan.Pendeta Eko pernah mengatakan seperti ini: di gereja kita memang khotbahnya tidak seperti gereja-gereja lain yang inginnya khotbah ada komedinya, ada lucu-lucunya, dsb., kita tidak kayak begitu; karena apa? karena orang-orang GRII itu seperti orang yang suka makanan pedas, jadi cari khotbah yang pedas juga, khotbah yang rasanya menusuk, baru bilang ‘nah, khotbah harusnya yang kayak begitu’.
Saudara lihat, inilah kita. Inilah warna tradisi kita, dan kita mau tidak mau harus mengakuinya. Tentu saja Tuhan berkarya lewat gerakan Injili, tentu saja Tuhan berkarya lewat gerakan kebangunan rohani –saya tidak menyangkal itu–namun yang kita sedang mau lakukan hari ini adalah: kita perlu menyadari warisan tradisi kita itu tidak pernah 100% murni, sebagaimana tradisi apapun dan di manapun yang manusia berdosa berbagian di dalamnya.
Anggaplah kita sekarang sedang menganalisa sejarah medis keluarga kita, kita tes DNA untuk tahu penyakit-penyakin herediter apa yang ada kecenderungan bisa muncul di tubuh kita oleh sebab warisan dari orangtua atau kakek nenek. Lalu katakanlah hasil tes keluar, dan Saudara ternyata ada penyakit bawaan. Hal itu tentu tidak berarti Tuhan selama ini tidak berkarya melalui orangtua kita ‘kan. Waktu kita tahu ada penyakit bawaan, tentu itu tidak membuat kita lalu mengatakan, “Dulu saya sayang sama papa mama, sekarang begitu saya tahu saya ada penyakit bawaan, saya benci kalian!” Tentu tidak kayak begitu ‘kan. Jadi Saudara perlu melihat bahwa yang kita sedang lakukan pagi ini, mirip seperti itu, kita simply sedang mencoba untuk being realistic. Kita punya warisan seperti apa, itu bukan berarti Tuhan tidak bekerja lewat hal tersebut; tapi kita juga perlu realistis dan berani mengakui kecenderungan-kecenderungannya, yang mungkin bahkan tidak alkitabiah, yang berbahaya. Dan dalam hal penyakit bawaan tadi, mungkin ini salah satu bentuk cinta kasih kita kepada orangtua kita, karena kalau kita terkena penyakit tersebut, kita jadi tidak bisa merawat mereka dengan baik ‘kan. Inilah yang mau kita lakukan hari ini.
Dalam DNA tradisi kita, memang dari awalnya ada satu warna pengejaran akan kerohanian yang tipenya tipe kerohanian intens, kerohanian yang menegangkan. Kerohanian yang ditandai dengan api, dengan bakar, dengan momen-momen yang jelas dan nendang. Itulah warna Injili, bagaimanapun juga. Salah satu pengkhotbah Injili yang besar, Charles Finney, dalam khotbahnya sering kali pakai waktu yang panjang untuk menggambarkan kengerian asap api neraka yang membakar para pendosa, sampai-sampai para pendengarnya seakan bisa melihat atau menciumnya. Lorenzo Dow suka banting kursi dalam KKR-KKR-nya, bahkan katanya mengatur supaya ada trompet yang bunyi pada momen-momen klimaks khotbahnya. Ini jadi seperti kalau stand-up comedy zaman sekarang, kadang-kadang sang komedian sudah mengatur supaya waktu dia mengeluarkan punch line-nya, band di belakang sudah tahu harus beri musical punctuation, begitu dia keluarkan joke-nya, punch line-nya, langsung band-nya du dung… cess!!!
Musical punctuation, kalau ditelusuri asal-muasalnya, Saudara tidak usah kaget waktu menemukan bahwa khotbah-khotbah kebangunan rohani di Amerika adalah salah satu influence-nya. Bahkan para pengkhotbah keliling itu dilihat oleh banyak sejarawan –bukan cuma oleh satu orang–sebagai asal-muasal dari budaya selebriti modern hari ini. Richard Hofstadter, seorang sejarawan Amerika, melihat bahwa sistem bintang di Holywood itu bukan dari Holywood, itu terlahir dari kebangunan rohani abad 19-20 –dan bintangnya bukan Tuhan, bintangnya adalah para pengkhotbah keliling itu.
Eugene Peterson mengatakan, kadang pengajaran kerohanian dengan intensitas kayak begini, akhirnya lebih didorong oleh semangat pasar, semangat konsumerisme. Dalam tradisi seperti ini, jadinya sedikit ketertarikan akan iman yang dibangun pelan-pelan, dari pembelajaran yang lama dan panjang. Kesuksesan jadinya diukur dari jumlah. Kesejatian iman jadi diasosiasikan dengan momen-momen emosi tinggi, momen-momen pilihan diambil, momen-momen bangkit berdiri dan maju ke depan. Ironisnya, itulah mungkin sebabnya banyak anak-anak yang terlahir dalam keluarga Injili akhirnya bertanya-tanya, insecure, merasa ‘apakah iman saya ini iman kelas 2, karena iman saya bukan hasil semalam jadi di KKR tapi iman yang datang dari pertumbuhan yang pelan-pelan, sedikit-sedikit, bertahun-tahun??’ Ironis ya, karena sebenarnya iman yang mana yang harusnya lebih bertahan dan berakar?? Yang hasil sistem kebut semalam? Atau yang pertumbuhannya pelan dan bertahun-tahun?
Itu sebabnyaKekristenan dalam tradisi kebangunan rohani seperti ini ada kecenderungan untuk kita datang bukan lagi menjadi murid, melainkan menjadi turis. Orang datang ke gereja, ke kebaktian, ke acara-acara religius untuk mencari pengalaman-pengalaman baru –‘kan turis– untuk mendengar hal-hal baru, untuk keluar dari kebosanan dan rutinitas hidup sehari-hari, karena itulah fungsinya pergi liburan, jadi turis, yaitu untuk new experience.
Dalam zaman pengkhotbah-pengkhotbah seperti Charles Finney pun sebenarnya sudah ada orang-orang yang mengkritik, orang-orang yang sudah menyadari kecenderungan berbahaya seperti ini, orang-orang yang tidak dibutakan oleh euforia masyarakat. Seorang pastor Reformed (Reformed tidak identik dengan Injili), John Nevin misalnya, pada zaman Finney menulis bahwa dia sangat kuatir dengan kebangunan rohani tersebut, karena dia melihat ujungnya jangan-jangan bukan sekadar dua variasi dari satu agama yang sama, melainkan dua jalan agama yang benar-benar berbeda dan terpisah. Yang pertama yaitu jalan orang-orang Kristen extraordinary, orang-orang Kristen yang luar biasa, orang-orang Kristen yang bensinnya diisi oleh pengalaman-pengalaman rohani pribadi, dan merasa pengalaman-pengalaman seperti ini tidak kompatibel dengan pengalaman-pengalaman sehari-hari yang ada di Gereja (Michael Horton mengatakan, orang kalau kesaksian, itu baru “wah” kalau kesaksiannya bicara mengenai pengalaman di luar Gereja sehari-hari; “Saya bertobat karena 20 tahun dengar khotbah”, itu tidak laku!) Yang satu lagi adalah jalan orang-orang Kristen biasa, orang-orang Kristen ordinary, jalan katekismus; tentu mereka ini punya relasi pribadi dengan Tuhan, namun menemukan relasi tersebut di dalam relasi dengan umat Tuhan. Mereka ini orang-orang yang percaya bahwa hal-hal seperti rutinitas Gereja, kebaktian biasa, pengajaran rutin, sakramen yang terus-menerus mengulang, itu tidak pernah menghalangi pertumbuhan, tapi justru merupakan air, cahaya matahari, dan oksigen, yang diperlukan untuk punya akar yang dalam, ranting yang berdaun dan berbuah.
Yang menarik, di akhir hidupnya, Charles Finney adalah salah satu pengkhotbah KKR yang dia sendiri mulai menyadari ada efek-efek negatif dari kebangunan rohani. Finney mulai mempertanyakan, jangan-jangan revival-revival yang dia lakukan (di tempat yang sama dia telah melakukan revival, lalu re-revival, lalu re-re-revival lagi) pada akhirnya malah cenderung membawa manusia mengalami spiritual burnout, bahwa pengejaran emosional yang tidak habis-habisnya itu akhirnya malah membawa keletihan. Kalau Saudara ke New York hari ini, salah satu tempat yang dulu paling berespons terhadap pekerjaan para pengkhotbah Great Awakening ini, disebut dengan istilah “the burnt-out district”, daerah yang pada abad 19-20 ada begitu banyak acara KKR sampai-sampai rasanya seperti habis terbakar dan hari ini tidak bisa lagi menghasilkan buah yang baru. Dan, kita bingung, kenapa kita sebagai orang Injili, sering kali merasa punya iman yang juga burnout, sering kali datang ke gereja merasa capek?? Ini mungkin karena memang DNA kita lebih mementingkan momen-momen dramatis dibandingkan pertumbuhan yang pelan-pelan, lebih mementingkan pengalaman-pengalaman yang luar biasa dibandingkan pengalaman-pengalaman yang ordinary.
Michael Horton mengatakan, semangat activism dalam gerakan Injili itu ada bahaya, karena semangat activism ini akhirnya menghasilkan tekanan bagi umat Tuhan untuk mencari hal-hal yang besar bagi Tuhan, padahal mungkin yang kita butuhkan adalah belajar melakukan hal-hal yang ordinary secara better. Kita cenderung melewatkan Tuhan dalam momen-momen keseharian kita, karena kita cuma mencari Dia dalam momen-momen extraordinary. Kalau saja kita lebih memperhatikan apa yang rutin –doa rutin, kebaktian rutin, pengajaran rutin—Horton yakin Gereja akan jauh lebih kuat kesaksiannya di dunia hari ini.
Ini bukan berarti kita sekarang jatuh ke ekstrim sebaliknya, jadi orang-orang yang anti pengalaman rohani di hadapan Tuhan, jadi curiga akan segala momen ekstatik di hadapan Tuhan, anti dengan model KKR dan tidak mau menjalankannya sama sekali, kita boikot KKR regional dan kawan-kawannya –tidak demikian; saya bukan mau ke arah sana. Semua itu adalah bagian koq, dari kehidupan Gereja. Memang Tuhan kadang-kadang memberikan koq, pengalaman-pengalaman rohani yang nendang. Poinnya adalah: pengalaman-pengalaman seperti itu tidak bisa jadi tujuan utamanya, tidak bisa jadi pengukur standar kerohanian Kristiani.
Sekali lagi, hal ini paralel dengan makanan. Saya sampai hari ini –sampai hari ini– tidak bisa lupa dengan steamed fish dan softshell crab yang saya makan 20 tahun lalu di restoran Chinese di Melbourne, daerah Doncaster, yang namanya Bamboo Chopsticks. Saya tidak bisa lupa, itu makanan enak banget! Saya tidak tahu restoran itu masih ada atau tidak, tapi kalau ingat makanan itu, saya terbayang-bayang dan ingin kembali ke Melbourne hanya untuk makan makanan itu. Namun alangkah kasihannya saya, kalau mengalami makanan tersebut akhirnya menjadi tujuan saya makan, karena saya mungkin jadi tidak pernah makan lagi berhubung sudah 20 tahun saya tidak di Melbourne. Ini membuat saya menyadari bahwa hidup saya hari ini, setidaknya 20 tahun yang terakhir, itu diisi dan ditopang oleh makanan-makanan yang bukan makanan tersebut, yang tidak memorable, yang terlupakan –tapi makanan-makanan itulah yang menopang saya sehingga saya bisa berkhotbah kepada Saudara-saudara hari ini. Kemarin malam saya makan lasagna sisa anak-anak yang sudah kelamaan sehingga tidak diberikan ke mereka lagi, saya saja yang makan. Saya makan itu hanya karena sayang kalau tidak dihabiskan, bukan karena saya suka. Tapi itu makanan yang membuat saya pagi ini bisa berdiri dan berkhotbah di hadapan Saudara.
Saudara, tentu saja ada momen-momen dalam hidup kita di mana kita menemukan bagian perikop Alkitab yang sangat nendang, memorable, berkuasa. Ada khotbah-khotbah yang kita ingat terus dan kita bawa dalam hati kita. Ada kisah-kisah yang kita bisa ceritakan, di mana hidup kita dibelokkan dan diubahkan oleh hal-hal tersebut. Tapi, yah, itu momen sekali-sekali tok. Yang banyak adalah momen-momen dalam hidup kita di mana kita menemukan bagian perikop Alkitab yang kelihatannya cuma kayak lasagna sisa anak-anak kemarin itu. Lasagna masih enak actually, tapi Alkitab kadang bisa terasa keras, dingin, atau bahkan bau basi. Ada momen-momen di mana kita –bahkan saya—selesai baca Alkitab malah lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Tapi, itu tetap firman Tuhan. Itu tetap makanan. Itu tetap menopang dan menghidupkan kita, sama seperti bagian-bagian yang lain yang memorable.
Saudara, inilah bahayanya: kita menjadi orang-orang yang seperti bangsa Israel, kita diberikan manna yang rutin, tapi kita jijik dan ingin muntah; kita diberikan burung puyuh, “nah ini… “, lalu akhirnya gigi kita sakit, perut kita sakit, dan tidak sedikit yang mati gara-gara itu. Orang Israel gagal mengenali berkat Tuhan karena di mata mereka itu seperti kutuk, dan mereka gagal melihat kutukan Tuhan karena mereka melihat itu seperti berkat. Jadi, apa yang harus kita lakukan kalau kita menerima firman Tuhan yang membingungkan, garing, kering, boring? Kita harus tetap makan. Kita harus tetap mendengar dan belajar, mengambil our daily bread. Kita harus tetap menerima kehidupan. Kita harus menanti Tuhan memberikan apa yang kita butuhkan, dan menopang kita satu hari lagi. Kita mengakui ada lebih banyak berkat Tuhan dalam hidup ini, dibandingkan apa yang mata kita bisa lihat, apa yang lidah kita bisa anggap enak. Kita belajar menerima apa yang kita terima, sebagai pemberian dari tangan Bapa.
Saudara, mungkin inilah poinnya bahwa salah satu liturgi Kristiani yang paling dasar, yang paling rutin, dan juga paling remeh dalam hidup kita adalah liturgi Doa Makan. Kita yang punya kebiasaan berdoa Doa Makan, cepat atau lambat jadi curiga dakan liturgi ini, kita mempertanyakan ‘efeknya apa sih??’ Saking terbiasanya kita doa makan sejak kecil, sampai-sampai kita sudah ‘gak mikir lagi, cuma otomatis tok; dan hal-hal yang rutin, otomatis, dan ‘gak sadar, yang terlalu biasa, yang forgettable itu, jadi tidak ada artinya lagi ‘kan?? Sejujurnya, sudah puluhan tahun saya menjalani habit Doa Makan sejak kecil sampai saya sendiri pernah setop beberapa tahun karena saya merasa ‘gak ngefek, malas. Dan ini banyak justification-nya; misalnya: lu kalau makan berdoa, tapi kalau ngemil ‘gak berdoa, jadi ngapain doa waktu makan?? itu sebabnya aneh lu kalau berdoa waktu makan, doa makan itu kalau sedang bersama orang lain sajalah, supaya orang tidak terganggu, tapi waktu sendiri kayaknya ‘gak perlu deh. Lalu kapan saya mulai doa makan lagi? Sekarang, ketika punya anak. Sekarang inilah baru saya sadar ketika saya membayangkan, apakah saya mau punya anak yang sejak kecil tidak dibiasakan mengucap syukur waktu makan. Baru sekarang ini saya mengerti, ternyata ada efeknya, hanya saja selama ini –40 tahun– saya tidak bisa melihat itu.
Saudara, kalau anak kecil belajar doa makan, memangnya mengerti atau tidak mengerti itu jadi urusan? Tidak ‘kan. Kalau Saudara mengajar anak batita, apakah Saudara pakai pengertian? Mereka belum bisa mengerti koq. Lalu bagaimana? Apa Saudara jadi cuekin saja mereka, biarkan mereka begitu saja sendiri?? “O, nanti saja kalau sudah bisa diajak diajak ngomong dengan pengertian, baru diberi pengertian kenapa ‘gak boleh menyebrang jalan sendirian; tapi sekarang cuekin saja dululah, ‘gak apa-apalah.. “; begitu? Tidak bisa ‘kan. Itu sebabnya waktu kita punya anak, bukan cuma si anak yang butuh kita tapi kita juga butuh mereka untuk bisa bertumbuh dewasa.
Dulu Pendeta Ivan pernah menjebak anak-anak SKC begini: “Anak-anak, mau sekolahnya lebih banyak masuk atau lebih banyak liburnya?” Anak-anak langsung jawab, “Banyakan liburnyaaa… “. Lalu pertanyaan kedua: “Kalau kalian punya anak, anak kalian mau dimasukkan ke sekolah yang mana, yang lebih banyak masuk atau lebih banyak liburnya?” Mereka langsung semua mikir, ternyata ‘gak bisa kayak begitu. Itulah Saudara, ketika kita punya anak, anak-anak mengajar kita untuk bertumbuh, membuat kita baru sadar.
Sekarang Saudara bisa menyadari kenapa kita butuh momen yang sebentar itu, untuk menundukkan kepala dan mensyukuri makanan kita, termasuk mensyukuri lasagna sisaan anak-anak yang sudah kelamaan itu —especially mensyukuri lasagna sisaan anak-anak yang sudah kelamaan itu—karena ini dilakukan bukan sebagai ekspresi rasa syukurmu, ini dilakukan bukan karena di dalam hatimu ada rasa syukur sehingga Saudara mengeluarkannya lewat doa, ini dilakukan justru untuk melatih rasa syukurmu, membangkitkan rasa syukur, menciptakan rasa syukur. Habit atau liturgi ini, mengingatkan kita untuk menerima hari ini dan semua yang didalamnya, sebagai pemberian dari tangan Bapa. Ini bukan liturgi yang remeh. Ini adalah momen kita sebagai manusia bersaksi atas fakta kehidupan, yaitu bahwa kehidupan ini pemberian Tuhan, bahwa kita tidak bisa hidup sendirian, bahwa kita bisa hidup simply karena kita menerima kebaikan dan keajaiban dari kasih karunia demi kasih karunia. Waktu Saudara berdoa makan, memang kadang-kadang itu momen yang jadi kesempatan bersaksi kepada orang lain, namun terutama itu momen untuk bersaksi kepada dirimu sendiri. Itulah doa makan.
Dalam Katolik ada ordo biarawan yang namanya Ordo Fransiskan; mereka mengikuti jejak St. Francis Asisi. St. Francis Asisi ini mungkin Saudara tahu tentang doanya, dan juga pernah dinyanyikan beberapa kali, “Lord make me instrument of Thy peace; Where there is hatred, let me sow love …”, dst. St. Francis Asisi terkenal karena dia mengambil “vow of poverty”, berjanji untuk hidup miskin seumur hidup. Namun menariknya, kalau Saudara taruh di hadapan para biarawan Fransiskan makanan muahalll yang extravaganz, mereka tidak akan mengatakan, “Saya tidak makan ini, kami memegang vow of poverty, kami berjanji miskin seumur hidup; ini haram bagi saya”. Mereka tidak mengatakan itu. Salah satu aturan dalam ordo Fransiskan adalah: makan apapun yang ditaruh di hadapanmu. Saudara beri mereka makanan mahal, mereka akan makan. Saudara beri mereka makanan basi, mereka mungkin akan makan. Dan kalau Saudara taruh di depan mereka lasagna sisaan anak-anak yang sudah kelamaan itu, mereka tetap akan makan. Ini poinnya Doa Makan. Inilah poinnya kenapa Doa Makan tidak cuma didoakan pada saat-saat tertentu. Inilah poinnya kenapa Doa Makan kita lakukan, baik kita mau ataupun tidak mau, karena poinnya exactly adalah untuk menerima segala sesuatu sebagai pemberian dari tangan Bapa, baik itu bentuknya seperti hal yang mewah, maupun itu sesuatu yang kelihatan seperti penderitaan, atau juga itu kelihatannya seperti barang yang forgettable seperti lasagna sisaan anak-anak kemarin. Jadi apa tema khotbah hari ini? Lasagna sisaan anak-anak kemarin.
Dalam PA beberapa bulan terakhir, kita membahas bagaimana kita sering kali dibutakan justru karena kita merasa bisa melihat. Ini problemnya kita. Kita ini dibutakan, justru sering kali karena kita bisa melihat. Kita merasa bisa mengenali ‘kan makanan apa yang spesial dan makanan apa yang tidak spesial. Kita merasa bisa menentukan bahwa makanan sisa kemarin adalah makanan yang tidak spesial. Namun sesungguhnya dalam hal ini saja kita terbukti buta! Karena justru kita ini, orang-orang yang hidupnya dipenuhi dengan makanan-makanan sisa kemarin, adalah orang-orang yang dalam sejarah manusia tergolong sebagai orang-orang yang hidupnya paling berkelimpahan! Saudara tidak percaya? Makanan sisa kemarin menunjukkan Saudara punya lebih banyak makanan daripada yang Saudara bisa makan –makanya bisa sisa. Bukan cuma itu, Saudara punya teknologi bernama kulkas, yang meskipun Saudara tidak mengerti cara kerja dan mekanismenya, somehow kulkas bisa menjaga makanan sisamu bertahan sampai besok, atau bahkan sampai beberapa hari kemudian. Saudara punya listrik. Saudara punya barang-barang lain yang namanya microwave atau air fryer untuk menghangatkan makanan-makanan sisa tersebut supaya bisa dimakan lagi. Saudara punya kukusan, slow cooker, atau apapun yang lain. Itu semua apa, kalau bukan tanda dari hidup yang berkelimpahan?? Kalau Saudara bandingkan dengan 100% jumlah umat manusia sepanjang ribuan tahun sejarah manusia, 98%-nya akan berdecak kagum melihat Saudara makan lasagna sisaan anak-anak yang sudah kelamaan itu! Tetapi kita sudah numb terhadap hal ini; kita dibutakan, justru karena kita pikir kita bisa melihat. Kita sudah take for granted kebaikan Tuhan dalam hal ini. Dan, itu sebabnya kita perlu doa makan, karena ini adalah habit rutin yang melatih kita untuk menghidupi suatu kehidupan yang alternatif. Ini liturgi yang mengingatkan kita bahwa persepsimu itu relatif; matamu, hidungmu, lidahmu, itu bukanlah standar baku dalam menentukan apa yang berkat dan apa yang kutuk. Ini mengingatkan kepada kita bahwa justru berkat-berkat Tuhan yang paling ajaib seringkali adalah juga yang paling gampang kita lewatkan.
Sekali lagi, jika Saudara masih merasa habit doa makan akhirnya kita lakukan tanpa mikir, dan dengan demikian tidak berdampak, lihatlah kepada makanan itu. Saudara hanya perlu melihat ke makanan itu untuk menyadari dan diingatkan lagi, bahwa tubuhmu pada hari ini diisi dan dibentuk oleh makanan-makanan yang engkau makan tanpa mikir, makanan-makanan yang engkau makan secara otomatis, makanan-makanan yang biasa dan terlupakan itu.
Hari ini banyak orang di kota mulai memperhatikan diet. Ada yang pakai model vegan, ada yang model carnifor, ada yang ini dan itu. Kalau Saudara pernah mengikuti diet seperti itu, membuat habit diet yang baru, Saudara akan sadar sekali betapa makanan sehari-hari itu dampaknya besar sekali dalam hidupmu. Kalaupun Saudra tidak pernah ganti diet, Saudara tentu pernah melihat orang lain yang hidupnya berubah, apalagi bentuk badannya, karena diet. Contoh paling gampang: gembala sidangmu ini. Dari 92 kg ke 66 kg, itu tidak main-main. Tentunya ada faktor-fakroot lain selain makanan, tapi makanan adalah salah satu komponen paling besarnya. Olahraga memang saya suka, tapi orang mengatakan gym itu 30% sementara kitchen 70%. Dalam kasus saya, saya bahkan tidak benar-benar ganti isi makanannya, saya tidak bikin diet tertentu, saya simply cuma mengurangi porsinya tok; dan itu pengaruhnya sudah besar sekali. Makan pagi, makan siang, makan malam, hari demi hari, munggu demi minggu, yang kita lakukan tanpa mikir, itu sangat membentuk hidup kita! Dan lagi, efek habit tidak berhenti pada tubuh, sebagaimana sudah sering kita bicarakan; inilah poin besar pembahasan “liturgi”, bahwa habit itu ngefek-nya sampai kepada hasrat hati.
Saudara ingat pembahasan James Smith –yang dia sendiri ambil dari Agustinus, jadi dia bukan menemukan bahan baru, dia hanya recycle pengetahuan Bapa-bapa Gereja yang saking lamanya sudah terlupakan—yang pada dasarnya mengatakan: ‘Saudara mau membentuk manusia, apa yang jadi targetmu? Sering kali kita pikir dalam pendidikan hari ini, kalau mau membentuk manusia, bentuklah isi otaknya, pikirannya, maka engkau membentuk orangnya. Tapi kita semua tahu, bahwa kita ini tahu hal-hal yang baik namun tidak tertarik dengan hal itu; kita tahu hal-hal yang jelek, kita percaya hal-hal itu negatif, tapi ujungnya kita tetap mencarinya. Dengan demikian yang menyetir hidup manusia secara terutama bukanlah pikiran melainkan hasrat hati. Jadi bagaimana membentuk hasrat hati manusia? Habit. Habit membentuk hasrat.
Dalam Persekutuan Doa (PD) kemarin kita bicara mengenai bagaimana membentuk pendoa-pendoa yang datang ke persekutuan doa. Kalau Saudara datang ke PD, secara teoritis di kepala Saudara tahu bahwa datang PD bukanlah untuk jadi consumer, kita datang sebagai minister (pelayan). Tapi tidak cukup dengan cuma tahu doang ‘kan. Bagaimana mungkin kita bisa menghidupi teologi “seorang pelayan” kalau liturginya lain?? Dalam PD kita, liturginya adalah: kita datang, bantal doa dan buku lagu sudah disiapkan di setiap kursi, kita tinggal menikmati. Kalau segala sesuatu sudah disiapkan kayak begini, ini liturgi seorang consumer, bukan liturgi seorang minister. Itu sebabnya saya minta kepada Tim Ibadah, dalam PD mulai Sabtu depan, bantal doa dan buku lagu ditaruh di meja, jadi begitu masuk kita dihadang oleh bantal doa dan buku lagu, lalu setiap orang harus ambil sendiri, tidak bisa segala sesuatu disediakan. Kenapa detail-detail kayak begini penting? Karena ini habit-habit yang membentuk hasrat hati kita.
Untuk lebih jelas lagi, kita bandingkan orang yang datang ke PD Paduan Suara (Padus) dengan orang yang datang ke Paduan Suara. Harusnya sama ya, datang sebagai pelayan, tapi somehow orang di Padus lebih sadar aspek ke-pelayanan ini. Contohnya, waktu Saudara ikut latihan paduan suara, di tengah-tengah menyanyi tiba-tiba pelatihnya menyetop lagunya, “Stop! Sopran nyanyinya salah!” hal itu di Paduan Suara wajar, normal, biasa, tidak ada yang bilang, “Pak, tunggu lagunya habis dulu dong, baru setelah itu Bapak ngomong”; orang menerima bahwa dalam Paduan Suara mereka datang untuk dilatih, bukan untuk jadi consumer. Bayangkan kalau di PD, tengah orang sedang berdoa lalu tiba-tiba disetop, “Stop! Kamu doanya salah”, itu bisa sakit hati, tidak mau datang lagi, padahal cara koreksinya sama. Kenapa di Paduan Suara tidak masalah tapi di PD jadi masalah? Karena di PD kita tidak biasa dikritik; di Paduan Suara kita terbiasa untuk dikritik, kita tahu bahwa kita ada di situ untuk dikoreksi, kita datang sebagai pelayan yang tahu harus datang dengan kerendahan hati dan bisa terima kritikan. Pertanyaannya, bagaimana caranya ketika Saudara datang di Paduan Suara itu, secara otomatis hasrat hatimu datang untuk dibentuk, hasrat hatimu bahkan mengharapkan untuk dikoreksi? Bahkan setiap kali Paduan Suara menyanyi, waktu mereka bertemu saya, mereka minta dikoreksi. Hal itu sudah jadi arah hati yang mendasar, hasrat hati yang otomatis, yang mereka rasa normal, wajar. Mereka belajar teologi “seorang pelayan” lewat menjalankan liturgi “seorang pelayan”. Liturgi itu bukan cuma ekspresi, liturgi itu yang menciptakan spirit pelayanan.
Demikian juga kebaktian kita. Kebaktian Kristen tidak bisa cuma beres teologinya tok, liturginya juga harus alkitabiah. Liturginya didasari oleh firman dan sakramen. Itu mengingatkan bahwa kita ini datang bukan sebagai consumer. Liturginya mengingatkan bahwa yang jadi persyaratan ibadahmu bukanlah gedung yang megah lalu kamu baru mau datang, musik yang enak lalu kamu baru mau datang, persekutuan yang hangat lalu kamu baru mau datang, khotbah yang gampang dan lucu-lucu lalu kamu baru mau datang. Gereja yang terlalu mementingkan hal-hal tersebut, sedang mendidik jemaatnya untuk datang sebagai consumer. Kebaktian yang beres adalah kebaktian yang simply menekankan firman dan sakramen; di luar kedua hal itu, adalah berkat Tuhan namun tidak pernah merupakan yang esensial.
Secara spesifik, apakah yang Perjamuan Kudus mendidik kita? Perjamuan Kudus sering kali dikenal dengan nama Eucharist (thanks giving), maka Perjamuan Kudus mendidik kita untuk jadi orang-orang yang punya gratitude dalam hidup ini, bukan cuma ekspresi rasa syukurmu, tapi menciptakan rasa syukurmu. Kenapa demikian? Karena sama seperti doa makan; doa makan pribadi bahkan bisa dikatakan mengalir keluar dari liturgi Perjamuan Kudus. Karena Kristus telah menyuruh kita mengingat Dia melalui makanan —mengingat kehidupan-Nya, kematian-Nya, kebangkitan-Nya, melalui makanan—maka semua makanan kita sehari-hari, our daily bread yang terlupakan itu, yang sisaan kemarin itu, diangkat menjadi momen-momen di mana kita mengingat dan mengakui bahwa kita menerima segala sesuatu dalam hidup ini atas dasar karunia; mulai dari keselamatan, maupun juga lasagna sisaan anak-anak yang sudah kelamaan pun, adalah atas dasar karunia. Itu sebabnya seluruh hidup kita bersifat sakramental, yaitu kita merayakan apa yang extraordinary melalui apa yang ordinary, yang earhty, yang biasa, yang alami, melalui dunia ciptaan di mana kita ditempatkan Tuhan.
Namun Eucharist bukan cuma mendidik Saudara jadi orang-orang yang punya rasa syukur, tapi juga menjadi orang-orang yang melihat keluar. Karena Eucharist adalah sebuah makan bersama (perjamuan), maka kita dibelokkan dari orang-orang yang datang sebagai consumer dan individual, menjadi murid-murid yang diperlengkapi untuk menjadi Tubuh Kristus di dunia ini. Makan, itu mengingatkan kepada kita bahwa kita tidak bisa hidup sendiri. Saudara bernafas hari ini, karena Saudara pernah diberi makan oleh orang lain. Saudara lahir dengan kelaparan, dan Saudara bergantung pada orang lain untuk memberimu makan. Dengan demikian, nafasmu hari ini adalah bukti bahwa engkau telah mendapatkan kasih karunia dari orang lain. Jadi waktu kita makan, harusnya makan itu merupakan tindakan yang membelokkan kecenderungan kita yang berpusat ke diri dan go independent, kepada orang lain, menciptakan relasi yang interdependent. Mungkin itu sebabnya banyak orang mengidentikkan makanan dan persekutuan, mungkin itu sebabnya banyak orang ingin makan bersama-sama; dan dalam perjamuan seperti inilah kita truly dikenyangkan karena rasa kenyang kita selalu lebih dari sekadar makanan fisik. Kita dikenyangkan oleh rasa syukur. Kita dikenyangkan oleh komunitas kita. Kita dikenyangkan oleh kasih dari Tuhan dan kasih bagi sesama kita.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading