Bagian yang kita baca ini semacam CV atau diploma kerasulan Paulus, yang dia ceritakan berulang-ulang; dalam Kisah Para Rasul saja setidaknya dia ceritakan dua kali lagi. Dalam Kis. 22 Paulus menceritakan itu sebagai pledoinya kepada orang-orang Yahudi yang menuntut dia, yang bikin huru-hara, yang ingin menangkap dan membunuhnya. Yang kedua, Paulus menceritakan itu dalam Kis. 26 ketika dia menyampaikan pledoinya kepada Raja Agripa. Lukas mencatat, Raja Agripa saat itu mengatakan hampir saja dirinya jadi orang Kristen, namun dia kemudian mengatakan: “Paulus, yang kamu katakan itu seperti perkataan orang gila; ilmumu yang banyak itu telah membuatmu gila”. Raja Agripa ini hatinya sangat ingin diyakinkan dengan apa yang dikatakan Paulus, tapi akalnya menghalangi, dia tidak bisa terima bahwa Yesus adalah Mesias dan Kerajaan Allah sudah datang dengan cara-cara sebagaimana Paulus katakan. Paulus juga menyatakan diploma kerasulannya ini dalam Surat Galatia, dengan menyinggung secara lebih implisit kesaksian pertobatannya di dalam perjalanan menuju Damsyik ini.
Apa sebetulnya yang terjadi di dalam jalan menuju Damsyik itu? Kita tidak punya rekaman CCTV-nya, jadi kita tidak tahu data mentahnya seperti apa; dan itu mungkin juga berarti hal tersebut memang tidak terlalu penting. Seandainya Tuhan menganggap hal-hal semacam ini penting, tentu CCTV pada hari itu sudah ada, tentu data mentah seperti itu tersedia bagi umat Tuhan, tentu Dia akan mengembangkan teknologi yang cukup untuk capture hari-hari Dia datang ke bumi, hari-hari awal munculnya Gereja, dst. Namun kenyataannya itu tidak ada, jadi kemungkinan data mentah itu tidak terlalu penting, sedangkan apa yang terjadi secara makna dalam perjumpaan Paulus dengan Yesus di jalan ke Damsyik, itulah yang hari ini kita akan lihat.
Hal yang terjadi dalam kisah ini, sering kali kita maknai sebagai: Saulus ganti agama di KTP-nya, dari Yudaisme jadi Kristen. Tapi ini tentu anakronistis, karena pemahaman agama sebagai afiliasi orang terhadap higher power tertentu yang bukan manusia, dalam hal mengikuti kitab suci yang mana, sembahyangnya hari apa, tata caranya bagaimana, doktrin/sistemnya apa, itu baru muncul belakangan. Barangkali baru sejak Aufklarung, orang memahaminya seperti itu, yang asalnya dari kepentingan untuk memisahkan kuasa agama dari kuasa politis. Dalam hal ini, di Timur Tengah hari ini masih belum terjadi juga; pemisahan agama dari politik sering kali hanya di negara-negara Barat, negara-negara liberal demokrasi. Intinya, bagaimana kita mengikut Tuhan, itu tidak cuma kita pahami sebagai “agama kamu apa”. Dan khususnya dalam Kis. 9 mengenai yang terjadi di jalan menuju Damsyik, jika dipahami sebagai apakah Paulus –atau Saulus, nama Ibraninya– pindah agama, saya kira kurang tepat. Di sini LAI memberikan judul “Saulus bertobat”; dan saya kira lebih inklusif, tapi bertobat ini jangan diartikan dia pindah agama, melainkan bertobat dalam arti dia berbalik arah (metanoia dalam bahasa Yunani). Arah apa? Arah perjalanan.
Saudara melihat hidup manusia sebagai apa? Kalau kita bicara mengenai agama atau ideologi, kita pakai model antropologi rasionalistik, di mana manusia itu seperti robot; robot itu badannya mengikuti kepalanya, kepalanya mengikuti programnya, dan dengan demikian manusia itu badannya mengikuti pikirannya, pikirannya diprogram dengan ideologi. Kalau dia orang kapitalistik, maka begini begitu yang dia kerjakan. Kalau dia orang sosialistik, maka begini begitu yang dia kerjakan. Kalau dia orang tribalistik/kesukuan, maka begini begitu yang dia kerjakan. Kalau dia orang agama Kristen, maka begini begitu yang dia kerjakan. Kalau dia orang agama Yahudi, maka begini begitu yang dia kerjakan. Demikian juga agama Budha, Hindu, dst. Jadi yang dia kerjakan adalah seturut dengan programnya (pikiran yang diprogram dengan ideologi) –kurang lebih begitulah yang kita pahami secara modern. Tetapi orang-orang Yahudi, khususnya di bagian ini Lukas, Saulus, murid-murid Tuhan, dan juga seluruh penduduk Kekaisaran Romawi pada saat itu, tidak seperti kita dalam memahami cara kerja manusia. Seandainya ditanya, manusia itu seperti apa cara kerjanya, maka mayoritas/dominan tidak melihat manusia seperti robot-robot yang diprogram oleh ideologi, yang mengikuti isme-isme tertentu. Sedikit saja yang memahami cara kerja masyarakat seperti itu, kebanyakan melihat bahwa masyarakat digerakkan oleh roh/spirit tertentu; dan spirit tidak hanya dapat diwakilkan dengan ideologi, atau sistem kebenaran, sistem politis, sistem doktrin. Somehow spirit adalah suatu titik inti, atau suatu cara, untuk membicarakan dengan sederhana sesuatu yang operatif dalam keseluruhan hidup kita. Intinya, yang menggerakkan manusia itu tidak bisa direduksi hanya dari isi kepalanya, tidak bisa dijelaskan hanya dari ideologinya, melainkan dari keseluruhan hidupnya. Itu sebabnya mereka tidak pakai metafora program, mereka tidak pakai metafora ideologi, mereka pakai metaforanya “perjalanan”(journey) –hidup manusia itu perjalanannya ke mana.
Saulus di bagian ini sedang melakukan sebuah perjalanan, sampai dia kemudian disetop dalam perjalanannya, lalu dia berbalik arah. Dia mengalami metanoia. Itulah kira-kira secara kasar yang terjadi di jalan menuju Damsyik tersebut.
Saulus tadinya mau berjalan ke mana? Perjalanan Paulus bisa kita lihat mulai dari catatan pembunuhan Stefanus (Kis. 8:1). Di bagian tersebut, setelah menceritakan tentang Stefanus dilempari batu, Lukas mengakhiri narasinya dengan: Saulus juga setuju dengan pembunuhan atas Stefanus. Saulus muncul dalam adegan itu, mengambil peran sebagai yang menjaga pakaian orang-orang yang membunuh Stefanus. Ini mungkin karena zaman dulu pakaian cukup mahal, tidak seperti hari ini kita bisa dengan mesin dalam 10 menit menghasilkan sekian meter kain, pada zaman itu untuk 1-2 meter kain yang dipakai prajurit Romawi misalnya perlu waktu berbulan-bulan (waktu Yesus meninggal, jubah yang bekas dipakai-Nya, yang kainnya pasti sudah berdarah-darah dan kotor, masih juga dibelah-belah dan orang buang undi untuk mendapatkannya, karena kain mahal). Jadi dalam adegan tadi, mereka perlu menjaga pakaian-pakaian itu supaya tidak kotor, tidak kecipratan darah, dsb., sehingga harus dicuci lagi secara ritual, dan belum lagi secara klinis musti bersih –maka mereka menitipkannya kepada Saulus untuk menjaga. Saulus ketika itu setuju banget dengan pembunuhan Stefanus, dan mungkin dia ikut menyoraki, “Ayo, lempar batu yang lebih besar!” sambil menjaga pakaian orang-orang yang membunuh Stefanus.
Saulus itu siapa? Dia adalah seorang Farisi. Orang Farisi adalah orang yang rela bayar harga demi cintanya kepada Tuhan. Cikal-bakal orang Farisi adalah sekelompok orang yang dianiaya dalam Perang Makabe (mereka adalah dinasti atau keluarga yang sebagai orangtua dipaksa melihat anak-anaknya disiksa habis-habisan sampai mati; dan mereka bisa saja menghentikan itu dengan menyangkali agama Yudaisme, namun mereka tidak melakukannya). Orang Farisi ini adalah jenis manusia yang tidak bisa tinggal diam kalau ada penyelewengan –atau yang mereka anggap penyelewengan—di dalam tubuh umat Tuhan, walaupun mereka sendiri tidak ikut menyeleweng. Mereka bukan jenis orang yang mengatakan, “Yah, dosa masing-masing tanggunglah sendiri, pokoknya saya sudah peringatkan, saya sudah bilang ‘jangan begitu, itu jahat, nanti masuk neraka’, tapi dia tetap begitu, ya sudah, tanggung sendiri.” Orang Farisi tidak seperti itu. Orang Farisi menganggap yang orang berdosa lakukan di tanah mereka ini, akan mencemari tanah; dan kalau orang tersebut sebangsa dengan mereka, maka tidak cukup hanya memperingatkan, tapi harus menghentikannya, apalagi kalau itu dilakukan di rumah Tuhan. Kita tahu juga, bahwa orang Farisi adalah satu sekte yang turut dalam persepakatan untuk membunuh Yesus, karena menurut mereka Yesus menghujat Bait Suci, mengatakan, “Bait Suci ini hancurkan saja, dalam tiga hari Saya akan bangun kembali”. Menurut mereka Yesus juga menghujat dengan berbagai macam cara, di antaranya dengan mengampuni dosa orang, padahal Dia bukan imam, dan hari itu bukan Hari Penebusan Dosa, belum ada ritual-ritual yang cukup tapi Dia mengampuni dosa orang begitu saja. Itu sesuatu yang orang Farisi tidak bisa mentoleransi.
Kalau orang modern, salah satu epitome-nya secara moral ‘kamu toleran atau tidak, kalau tidak toleran, kamu tidak punya tempat dalam masyarakat’; masyarakat modern adalah masyarakat yang orang-orangnya harus toleran, tidak bisa mentoleransi orang-orang yang tidak toleran. Tapi orang Farisi bukan orang modern; orang Farisi melihat kalau kita mentoleransi dosa, bukan dalam arti sekadar sudah memperingatkan tapi dia masih keras kepala jadi dosanya tanggung sendiri, tapi mentoleransi dalam arti orang itu terus-menerus melakukan dosa dan saya bisa menghentikan dengan kekerasan tapi saya tidak hentikan, maka saya bersalah. Orang Farisi menganggap dosa itu kolektif, dosa bukanlah hanya yang saya lakukan, tapi juga yang tetangga saya, sesama saya, lakukan; dan kalau saya biarkan, berarti saya turut dalam dosa mereka. Orang Farisi menganggap Yesus dan para pengikut-Nya, lalu setelah Yesus mati yaitu Petrus, Yohanes, juga Stefanus, turut dalam dosa tersebut dan membahayakan umat Israel, membahayakan datangnya Kerajaan Allah, bahwa yang dikerjakan Yesus dan yang dikerjakan murid-murid-Nya adalah pekerjaan anti-mesias.
Istilah mesias adalah istilah bahasa Ibrani, padanannya dalam bahasa Yunani adalah kristus; maka anti-mesias bahasa Yunaninya adalah anti-kristus. Orang-orang Kristen ini dianggap sebagai anti-kristus. Di sini kita jangan salah mengerti ‘lho, mana mungkin Kristen anti-kristus, jadinya anti Yesus’; ini memang sangat mungkin, karena dalam konsep orang Yahudi, Yesus bukan mesias, Yesus justru anti-mesias. Aktifitas Yesus dan murid-murid-Nya adalah aktifitas anti-mesianik, karena dalam pandangan orang Yahudi mesias sudah pasti ingin membangun Bait Suci, sedangkan Yesus mengatakan untuk merubuhkan Bait Suci, jadi kebalikannya. Lagi pula, mesias itu harusnya mengumpulkan Israel, sedangkan yang dikumpulkan Yesus malah orang-orang Romawi, orang tidak bersunat, orang-orang yang tidak kudus hidupnya; nabi macam apa Yesus ini?? Jadi, aktifitas Yesus dan murid-murid-Nya adalah aktifitas anti-mesias bagi orang-orang Farisi. Dan dalam hal ini Paulus terbakar semangat keagamaannya; di sini kita bisa kenakan ayat dari kitab nabi-nabi yang mengatakan, “Cinta akan rumah-Mu membakar aku”. Saulus adalah orang yang terbakar oleh religious zeal untuk membela kehormatan Tuhan, rumah Tuhan, dan pengharapan mesianik, pengharapan Israel. Itulah yang dia bela sampai mati dengan kobaran api perang suci –kira-kira begitu.
Saulus sedang dalam perjalanan yang seperti itu, yang saya kira bukan hanya dimulai dari pembunuhan Stefanus, tapi bahkan sebelumnya. Saulus sudah mengamati dan punya sikap terhadap golongan Kristen, dan dia ingin menghentikan mereka karena menganggap mereka anti-kristus, menghalangi datangnya Kerajaan Tuhan. Itulah journey of his life, yang Paulus hidup untuk itu. Dia mengatakan: “Aku Saulus, orang Farisi, keturunan Benyamin; dalam urusan menjaga hukum Taurat, aku tidak bercela. Untuk inilah aku hidup” –untuk membela kehormatan Tuhan, untuk memperbesar kemuliaan Tuhan, untuk menghadirkan kerajaan-Nya di bumi seperti di surga. Dengan cara apa? Salah satunya, dengan melenyapkan para anti-kristus, yaitu orang-orang Kristen. Itulah misinya ketika dia dihentikan oleh Tuhan dalam perjalanan menuju Damsyik.
Damsyik (Damaskus) adalah suatu kota besar kuno, ibukota dari kerajaan kuno yang pernah menjajah Israel. Paulus sedang dalam perjalanan ke situ, dengan surat kuasa dari imam-imam di Yerusalem untuk diberikan ke sinagoge-sinagoge, sentra-sentra studi Yahudi di Damsyik, untuk memperingatkan mereka akan bahaya bidat ini, yaitu bidat Kristen. Dia punya wewenang untuk menangkapi mereka dan membawa mereka ke Yerusalem, menyeret mereka ke pengadilan agama. Di situlah Tuhan menghentikan Saulus.
Cara Tuhan menghentikan Saulus ini menarik, karena dikatakan Saulus melihat cahaya memancar dari langit mengelilingi dia. Kenapa tidak dihentikan dengan cara misalnya Saulus jadi lumpuh, atau tiba-tiba mencret, atau tiba-tiba kena kusta, atau apapun, sehingga tidak bisa ke Yerusalem; kenapa dengan cara Saulus melihat cahaya dari langit? Salah satu jawabannya –yang tentu saja ini spekulasi, tidak ada kepastian– bahwa dalam religious zeal tipe Saulus, religious zeal yang sering kali diwarnai dengan puasa dan meditasi membaca Firman Tuhan, Firman Tuhan yang kira-kira direnungkan oleh orang-orang dalam perjalanan dinas perang suci seperti Saulus ini adalah kitab Yehezkiel pasal-pasal awal, yang menceritakan penglihatan Yehezkiel di tepi Sungai Kebar (Yeh.1). Itulah yang kemungkinan sedang dibaca oleh Saulus dalam perjalanannya hari-hari itu. Yang kedua, Saulus pada hari-hari itu kemungkinan juga sedang berpuasa. Mood Saulus ketika itu kira-kira seperti mood Elia di Gunung Karmel yang sedang berperang dengan para pengikut nabi Baal, berperang dengan bangsa yang tidak murni itu, yang menyembah berhala –dan orang Yahudi menganggap orang Kristen sebagai penyembah berhala.
Bagi orang Yahudi, kenapa koq Yesus disembah sebagai Tuhan?? Bukankah Tuhan itu cuma satu?? Dan, bagi orang Yahudi, Yesus jelas-jelas menghujat Bait Suci tapi koq malah dianggap sebagai Mesias?? Yesus ‘kan memecah belah umat Tuhan; Dia sendiri mengaku, “Aku datang bukan membawa damai; Aku datang membawa pedang”, lalu koq orang seperti itu dianggap sebagai perwujudan dari pertolongan Tuhan yang mengumpulkan Israel bahkan termasuk 10 suku yang hilang itu, sedangkan Yesus ini mencerai-beraikan tapi dianggap Mesias?? Itu sebabnya orang Yahudi menolak Yesus sebagai Mesias, dan menganggap murid-murid Yesus adalah para penyembah berhala, orang-orang bidat. Dan, untuk membersihkan umat Tuhan dari bidat-bidat ini, membutuhkan bukan hanya berdoa, bukan hanya rajin, bukan hanya berstrategi, tapi juga berpuasa. Itulah kelihatannya yang dilakukan oleh Saulus waktu itu, untuk perang suci itulah dia berpuasa. Jadi jangan bayangkan Saulus kayak preman yang sebelum pergi berperang, dia minum minuman keras dicampur psikotropika apalah supaya jadi brutal, buas, berani berantem, berani tawuran, dsb. Bukan begitu. Saulus di sini, mood-nya adalah perang suci.
Saudara bisa lihat perang suci di Perjanjian Lama, di situ orang-orang asing pun kadang-kadang bisa ikutan perang suci, misalnya Uria, orang Het. Uria ini, oleh Daud raja Israel, disuruh: “Pergilah minum-minum dan makan-makan, lalu ambil cuti, pulanglah, tidurlah dengan istrimu”, tapi Uria menolak, katanya: “Tuanku Yoab ada di padang sedang berperang, koq saya enak-enakan di sini berpesta?? Tidak bisa, ini ‘gak bener”. Dalam mood seperti itulah Saulus di kisah ini, dia berperang bagi Tuhan. Jadi tidak mungkin Saulus ini minum-minuman keras, pakai psikotropika, brutal mau bunuh orang. Saulus menjaga kesucian pikiran dan tubuhnya terarah kepada Tuhan, karena nama Tuhan, rumah Tuhan, umat Tuhan, terancam bahaya dari para penyembah berhala, yaitu orang Kristen.
Dalam perjalanan religious zeal itulah –yang sebagaimana Yesus katakan, “Banyak orang akan menyangka dirinya melayani Tuhan ketika menganiaya kamu”–Saulus menuju Damsyik, ketika Tuhan menghentikan dia dengan cahaya dari langit. Cahaya juga merupakan sesuatu yang di-expect oleh orang-orang yang merenungkan kitab Yehezkiel, karena Yehezkiel juga melihat sebuah penglihatan dengan cahaya. Saulus pun tentu expect hal itu. Dia expect: “Seperti Yehezkiel melihat, aku juga ingin melihat itu, Tuhan” –dan dia melihatnya. Apa yang dia lihat itu, menghancurkan hatinya. Apa yang dia lihat itu, menyadarkan dia bahwa dirinya selama ini buta. Apa yang Saulus lihat, membuat Saulus menyadari bahwa dia bukan melayani Tuhan, bukan membela Tuhan, tapi menganiaya Tuhan.
Ketika Yesus yang bangkit dan yang sudah naik ke surga menyapa Saulus dari surga, Yesus menyapa dia bukan dengan marah. Yesus bukan menegur Saulus dengan benci. Jadi jangan Saudara bayangkan nadanya seperti ini: “Saulus, Saulus! Kurang ajar banget kamu! Tahu rasa, lu, sekarang!” Bukan seperti itu. Yesus menegur Saulus barangkali seperti Dia menegur Marta, “Marta, Marta, hatimu resah dengan banyak urusan, tapi hanya satu yang penting; dan Maria sudah memilih hal yang lebih penting itu.” Tegurannya adalah seperti teguran Tuhan kepada Abraham, “Abraham, Abraham …” –diulang dua kali. Ini teguran sayang, teguran yang sangat intim, teguran yang sangat personal –yang beberapa orang pikir dengan sok akrab kepada Tuhan bahwa mereka bisa menyapa Tuhan seperti itu di akhir zaman (kita tentu ingat dalam cerita Yesus, beberapa orang di akhir zaman akan mengatakan pada hari penghakiman: “Tuhan, Tuhan, bukankah aku menyembuhkan orang demi nama-Mu, mengusir setan-setan demi nama-Mu; bukankah aku bergiat demi nama-Mu”). Di bagian ini Tuhan menyapa Saulus dengan akrab, dengan personal, padahal Saulus menganiaya Tuhan; Dia menyapa Saulus dengan akrab, “Saulus, Saulus …”. Ini seperti menyapa seorang anak, seperti menyapa seorang sahabat. Kalau orang asing, tidak mungkin disapa seperti itu. Saudara bayangkan saja, dari mungkin 10 ribu atau lebih orang GRII, ada tidak yang berani menyapa, “Pak Tong, Pak Tong …”? Tidak ada; atau mungkin ada dalam circle yang lebih kecil. Tapi di sini Tuhan menyapa seperti itu kepada Saulus, “Saulus, Saulus …”, padahal Saulus itu musuh Dia, dan Saulus sedang mengusahakan kebinasaan Tubuh-Nya, Gereja. Saulus disapa demikian: “Saulus, Saulus, mengapa engkau menganiaya Aku?” Tuhan tidak langsung menuding Saulus: Saulus! Engkau menganiaya Aku!”; Tuhan bertanya ‘why’, “Mengapa Saulus, engkau menganiaya Aku?” Saulus tidak menjawab pertanyaan Tuhan dengan: “Aku menganiaya Engkau sebab: 1a) …, 1b) …, 1c) … “; dia mengatakan, “Siapa Engkau, Tuan?” Lalu sosok dari langit yang disapa sebagai “Tuan” oleh Saulus, menyatakan identitas-Nya: “Akulah Yesus yang kau aniaya itu.”
Setelah itu Dia menyatakan perintah: “Bangunlah, pergilah ke dalam kota.” Kota apa? Bukan Yerusalem, bukan Betania, tapi kota Damsyik. Ini berarti Tuhan mengatakan, “Lanjutkan perjalananmu, sampai ke Damsyik”; lalu Dia mengatakan: “Masuklah ke sana, ke dalam kota itu. Di sana akan dikatakan kepadamu apa yang harus kau perbuat.” Tuhan tidak beritahu Saulus, soalnya Tuhan mau memberitahunya lewat seorang yang enggan, yaitu Ananias, karena Tuhan ingin menyembuhkan Saulus dan Tuhan ingin menyembuhkan Ananias.
Kalau kita coba secara spekulatif bertanya, apa sebetulnya yang mendorong Saulus menganiaya Gereja Tuhan, jawabannya kurang lebih karena ketakutan. Manusia dalam hidupnya penuh dengan takut; dan takut membuat kita menakut-nakuti orang lain, takut membuat kita jadi kejam, takut membuat kita jadi melakukan segala hal yang irasional dan sadis. Kalau Saudara lihat orang-orang yang menyeramkan, orang-orang yang intimidatif, orang-orang yang dominan, sering kali mereka orang-orang yang takut juga. Mereka orang-orang yang takut tapi tidak terlihat takut, lebih terlihat menakutkan. Tapi kalau Saudara bertanya dari hati ke hati kepada mereka, mereka adalah orang-orang yang sering kali takut juga; kecuali mereka orang-orang yang punya cacat genetik atau cacat dalam otaknya sehingga tidak punya rasa takut, yang sering disebut sebagai psikopat. Kebanyakan orang punya rasa takut; dan rasa takutnya mendominasi hidupnya, rasa takutnya mengarahkan hidupnya, mendorong dia melakukan sesuatu dan mencegah dia melakukan yang lain. Rasa takut adalah semacam raja. Dan saya kira, Saulus juga didorong oleh rasa takut. Takut apa? Takut umat Tuhan hancur, sebagaimana terlihat dari perkataan pimpinan mereka, Kayafas, “lebih baik satu manusia mati, yaitu Yesus, ketimbang seluruh bangsa binasa”.
Mereka takut bangsa Israel binasa. Israel modern pun jangan-jangan dilanda rasa takut, makanya mereka seperti itu; kita semua pun dilanda rasa takut, makanya kita semua begini. Rasa takut dimiliki oleh kebanyakan orang; kecuali orang-orang yang ada cacat sehingga tidak punya rasa takut –dan itu tidak ideal. Jadi, orang yang punya rasa takut ini musti di-apa-kan takutnya, itulah yang perlu kita pelajari.
Saulus di sini membiarkan dirinya dipimpin oleh rasa takutnya itu, ‘pokoknya umat non-Israel yang aku anggap anti-kritus, yang menghalang-halangi datangnya mesias karena mengaku-ngaku Mesias padahal palsu, harus dilenyapkan dengan cara apapun; dengan kebengisan,dengan tangan besi, dengan darah, mereka harus dilenyapkan’. Saya kira, itulah yang mendorong Saulus ke Damsyik, yang mendorong Saulus minta surat otoritas dari Yerusalem untuk menangkapi orang-orang Kristen –karena dia takut. Dia takut Kekristenan seperti jamur yang akan merambah. Kalau Saudara ketemu satu titik jamur di lensa Saudara yang harganya puluhan juta, sebentar lagi aset Saudara itu berkurang nilainya ‘kan. Atau mungkin satu titik jamur di tas kulit Saudara, atau mungkin di kulit Saudara, itu jangan dibiarkan, karena sporanya cepat menyebar, dst.
Kekristenan menjamur; dan Saulus takut, seperti kalau kita ketemu satu ekor rayap, langsung jantung kita berdegup kencang, “Oohhh! bisa banyak nih, kawan-kawannya… “.Satu orang Kristen, dua orang Kristen, jantung Saulus pun berdegup kencang, ‘apa jadinya umat Israel??’ lalu dia pakai tangan besi menganiaya orang-orang Kristen; tapi ternyata dia menganiaya Tuhan. Dan ketika ia bertanya, “Siapa Engkau, Tuan (kyrios/kurios)?” (Alkitab terjemahan lama masih pakai ‘Tuhan’), maksudnya bukan Sang Ilahi, melainkan semacam ‘yang di atas sana’, karena penglihatan mistik berarti pasti bukan sekadar manusia yang naik UFO atau pesawat luar angkasa –pasti bukan itu yang dipikir pada zaman Saulus. Saulus, sebagai orang Farisi, pasti mengertilah bahwa ini kira-kira seperti sosok Anak Manusia pada zaman Daniel, dan sosok akhir zaman ini datang, dan menyapa dirinya., “Saulus, Saulus …”. (Orang Farisi tidak seperti orang Saduki yang tidak percaya penglihatan-penglihatan mistik; orang Farisi percaya banget akan hal ini. Itu sebabnya dalam cerita Lukas, orang Saduki dan Farisi dipecah-belah oleh Paulus ketika dia mengatakan, “Aku melihat sebuah pengllihatan”, lalu orang Farisi bilang, “Dia ini mungkin melihat malaikat”, sementara orang Saduki bilang itu ngibul, dsb.).
Saulus sebagai orang Farisi percaya penglihatan mistik, dan bagi dia ini pasti dari Tuhanlah, semacam malaikat atau utusan Tuhan. Lalu malaikat atau Tuhan itu, mengatakan, “Kenapa kamu menganiaya Aku?” Saulus lalu tanya, “Engkau ini siapa?” dan Dia menjawab, “Yesus.” Langsung semuanya kayak menyala di kepala Saulus, semuanya kayak connect the dots, seperti kalau kamu melihat ending dari “The Sixth Sense” atau “The Others”, film-film yang ending-nya langsung connect the dots dengan meaning yang beda. Saya kira di sini Saulus juga flash back, melihat ke belakang, dan connect the dots. Kemudian Sosok itu mengatakan, “Aku ini Yesus yang kau aniaya, tapi bangunlah, teruskan perjalanan ke kota itu, nanti kamu akan tahu.”
Lalu teman-teman seperjalanan Saulus juga bingung, termang-mangu, seperti perempuan-perempuan yang melihat kubur Yesus terbuka, termangu-mangu di depan sana, ‘kita harus ngapain??’ Di sini pakai istilah yang sama, termangu-mangu, mereka penuh dengan wonder, sebagaimana Rudolf Otto bilang, awal dari iman adalah wonder, mysterium tremendum, gemetar di hadapan misteri yang kita tak dapat pahami, di hadapan numinous, di hadapan cahaya yang misterius yang tak dapat secara komprehensif kita pahami.
Saulus bingung, disoriented. Dia buka mata, dia tidak bisa melihat apa-apa. Ini simbolik banget “buka mata tidak bisa lihat apa-apa”, dia buta namun dia melihat; dalam kebutaannya dia melihat lebih jelas daripada dalam terangnya. Dia harus dituntun untuk pergi ke Damsyik. Saudara bisa bayangkan, Saulus tadinya orang yang menakutkan, serba bisa, pandai, punya koneksi, so powerful, dan dia punya rencana, tapi sekarang dia tidak berdaya. Untuk jalan ke mana pun, dia tidak tahu, musti dituntun orang. Dia bergantung pada orang, dia begitu tidak berdaya, karena dia buta. Dan, itu adalah awal dari Tuhan memakai dia, awal dari babak baru perjalanan Gereja.
Gereja, babak barunya dimulai dari seorang musuh yang dibuat tidak berdaya, dibuat bingung, dibuat disorientasi. Ketidakberdayaan dan kelemahan itulah yang dipakai Tuhan. Tuhan tidak memakai kuda, tidak memakai kepandaian orang, tidak memakai kekayaan dan kehebatan orang,; Tuhan memakai ketidakberdayaan seorang musuh Tuhan, yang bahkan tidak punya cinta yang benar kepada Tuhan. Cinta Saulus kepada Tuhan itu menghanguskan bukan hanya dirinya, tapi juga menghanguskan orang-orang lain, dan menghanguskan Tuhan sendiri, namun Tuhan mengubah Saulus.
Separuh ceritanya yang kemudian, melibatkan Ananias. Ananias ini just nobody, bukan seorang pengajar Taurat yang hebat atau apapun, bukan seorang Kayafas atau Gamaliel, just Ananias, seorang murid Tuhan. Ananias mendapat penglihatan. Dalam penglihatan itu, dia disuruh Tuhan untuk pergi ke sebuah jalan, namanya Jalan Lurus, ke rumah Yudas; di rumah Yudas ada seorang yang menumpang, seorang dari Tarsus, namanya Saulus. Ananias disuruh mendoakan orang itu, karena orang itu menerima dalam penglihatannya yang kedua, bahwa dia melihat Ananias. Menarik ya. Penglihatan yang pertama, Saulus melihat Yesus yang bangkit, Yesus yang naik ke surga; penglihatan yang kedua, melihat Ananias. Melihat Ananias lagi apa? Melihat Ananias mendoakan dirinya. Saulus tidak kenal Ananias at that point, tapi dia melihat muka Ananias, yang datang dan mendoakan dirinya. Lalu Tuhan memberi tahu Ananias, “Nih, Ananias, lu datang ya ke rumah Saulus, Saulus sudah lihat lu dalam penglihatan juga”. Jadi ini dobel konfirmasi, bukan satu sisi. Kalau zaman sekarang kita bicara tentang dalam penglihatan atau pendengaran dalam mimpi, sering kali satu sisi mengklaim ‘gua mimpi, gua lihat Tuhan’, tapi itu ‘kan lu yang lihat, sedangkan di sini ada dobel konfirmasi. Demikian juga waktu malaikat berjumpa dengan Maria, di situ juga ada konfirmasi dari Elisabet, Zakaria, dst.
Ananias disuruh pergi ke sana, tapi dia tidak mau. Dia bilang kepada Tuhan –seperti Musa bargain dengan Tuhan– “Saulus itu aku tidak pernah ketemu sih; Saulus menganiaya orang Kristen banyak banget, jadi aku ‘gak percayalah, aku enggan”, kira-kira begitu. Namun Tuhan kemudian memberi alasan kenapa tetap harus ke sana; Dia bilang: “Pergilah, sebab orang ini alat pilihan bagi-Ku”. Jadi Tuhan mau pakai Saulus untuk memberitakan Nama Tuhan di hadapan bangsa-bangsa lain, raja-raja, dan juga orang Israel. Tuhan sendiri akan menujukkan betapa banyak penderitaan yang harus ditanggung Saulus karena Nama Tuhan.
Anaias lalu pergi ke situ, menumpangkan tangan atas Saulus. Kata-kata Ananias di sini menyentuh hati; Lukas menulisnya demikian: “Saulus, saudaraku”. Saulus ini siapanya Ananias?? Kenal juga kagak; bahkan reputasi yang didengar Ananias tentang Saulus adalah: dia itu tukang menganiaya orang Kristen. Tapi waktu bertemu dengan orangnya, Ananias bilang, “Saul, my brother” –padahal orang ini mau bunuh orang Kristen, sudah pegang surat wewenang untuk menangkapi mereka.
Kata Ananias: “Tuhan Yesus yang menampakkan diri kepadamu di jalan itu, menyuruh aku kepadamu, supaya engkau dapat melihat lagi, dan bukan cuma melihat lagi tapi juga penuh dengan Roh Kudus.” Penuh dengan Roh Kudus, bagi orang Yahudi adalah sesuatu yang dirindukan. Daud penuh dengan Roh Kudus. Simson pernah penuh dengan Roh Kudus. Musa penuh dengan Roh Kudus. Harun dan nabi-nabi juga penuh dengan Roh Kudus pada suatu masa. Penuh dengan Roh Kudus berarti digerakkan hidupnya oleh Allah sendiri, digerakkan menuju suatu arah yang dipilih Tuhan sendiri. Dan itulah yang didoakan Ananias bagi si penganiaya jemaat. Saulus di sini kalau masih berpegang dengan identitas Farisinya, mungkin merasa ‘lu menggurui banget, merendahkan gua banget; siapa yang ngangkat lu jadi yang mendoakan gua untuk dipenuhi Roh Kudus?? ‘gak sudilah, lu kan penyembah berhala’. Tapi di sini dia sudah diubahkan Tuhan, maka dia menerimanya, dan kemudian mengalami selaput gugur dari matanya, dia pun dapat melihat kembali. Dia bangun; dan hal pertama yang dia lakukan adalah dibaptis.
Ketika Saulus dibaptis, Saudara bisa bayangkan ini seorang Farisi yang membanggakan diri sebagai orang Israel asli, orang Benyamin asli, yang bergiat dalam Kerajaan Tuhan, bukan orang yang pasif doang, dan dalam memelihara hukum Taurat dia mengklaim diri tidak bercacat, tapi dia memberi diri dibaptis. Baptisan adalah bagi orang yang mengaku berdosa. Kita tahu dalam baptisan Yohanes, orang-orang Farisi dan Saduki datang ke situ, mereka menonton dan menghakimi Yohanes –dan di sini Saulus memberi diri dibaptis. Baptisannya bukan dalam nama Yohanes –Yohanes juga pastinya tidak membaptis dalam nama Yohanes– tapi dalam nama Yesus, untuk menjadi murid Yesus. Saulus mengambil posisi yang tadinya ingin dia lenyapkan, dia sekarang mengaku sebagai pengikut Yesus. Ini sesuatu yang menurut dia beberapa hari sebelumnya adalah posisi yang layak mati, layak dilenyapkan, posisi anti-kristus, namun ini sebetulnya posisi yang justru pro kepada Kristus, pro kepada Mesias.
Setelah dia makan, pulihlan kekuatannya, lalu Saulus mulai memberitakan/menjelaskan kenapa Yesus memang adalah Mesias, kepada orang-orang Yahudi lain yang dia temui di sinagoge di Damsyik, pada cerita berikutnya.
Sekarang kita pasuk ke aplikasinya. Di sini saya akan berikan satu contoh saja, Saudara kembangkan sendiri. Tuhan itu menghentikan Saulus dalam perjalanan yang menurut dia sendiri saleh, perjalanan yang menurut dia benar. Tentu saja mereka yang menganggap diri benar akan menganggap diri benar, dan tidak ada keraguan bahwa Tuhan berada di pihak mereka, bahwa mereka melayani Tuhan. Jadi kalau Saudara punya keyakinan bahwa Saudara sedang melayankan satu pelayanan bagi Tuhan, Saudara sedang berada di jalan Tuhan, harap Saudara tahu bahwa orang-orang seperti Saulus juga sama, menganggap Tuhan ada di pihak mereka. Mereka tidak melihat ketika mereka menendang ke galah rangsang. Ini satu perkataan dalam kesaksian Saulus di hadapan Raja Agripa (Kis. 26); di situ dia menambahkan bahwa Yesus juga mengatakan “mengapa kamu menendang ke galah rangsang?” (tapi dalam penceritaan Lukas yang pertama tadi, ini tidak diceritakan). Menendang ke galah rangsang maksudnya adalah: dengan bodoh menyakiti diri sendiri, padahal sudah pasti usahanya sia-sia.
Galah rangsang itu sesuatu seperti balok bemper di depan gerobak yang diberi paku-paku, supaya kalau binatang yang menarik gerobak tersebut menendang ke belakang supaya gerobaknya lepas, kakinya akan sakit. Tapi namanya binatang, kadang-kadang kalau dia menendang dan kakinya sakit, dia marah lalu menendang lebih keras, dan kakinya lebih sakit lagi, akhirnya kakinya berdarah. Hal ini sering kali jadi positive feedback, bahwa itu satu hal yang bodoh. Dan dalam kesaksian di hadapan Agripa, Yesus yang dianiaya itu mengatakan: “Saulus, kamu menendang ke galah rangsang, kamu itu melakukan hal yang bodoh dan sia-sia karena frustrasimu”. Orang yang menganggap diri melayani Tuhan kemudian Tuhan stop him on track, sering kali punya reaksi bahwa dirinya dianiaya, dia tidak mau terima itu, dan dia ingin membalikkan posisinya. Tetapi Tuhan tahu siapa yang dia pilih; dan domba-domba Tuhan yang mengenal suara Tuannya ketika memanggil, akan mengenal juga panggilan “Saulus-Saulus, mengapa engkau menganiaya Aku”.
Jadi, pada hari ini, jika engkau mendengar suara-Nya dalam perjalananmu ke Damsyik untuk memunahkan umat Tuhan –untuk menganiaya Kristus– jika Tuhan menghentikan dirimu di jalan menuju Damsyik, dengarlah suara-Nya yang menyapamu dengan lemah lembut, “Saulus-Saulus, mengapa engkau menganiaya Aku”, dan biarkan dirimu dituntun di dalam kegelapan. Saulus ketika membuka matanya itu, dia tidak melihat apa-apa, tidak segera seperti “I was blind but now I see”; setelah dia melihat cahaya yang terang itu dan dia tidak berani lihat, dan dia membuka matanya, sekarang “I see that I am blind”. Tetapi, nanti ada umat Tuhan yang lain yang akan mendoakan, dan jika memang benar, Tuhan akan membuka mata Anda. Saya kira itulah kerygma yang bisa saya sampaikan.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading