Khotbah hari ini bahannya dari penggalian perikop Alkitab, bukan tematik seperti beberapa minggu terakhir, tapi juga masih nyambung sedikit dengan tema besar kita mengenai bagaimana Tuhan bekerja melalui apa yang ordinary dalam hidup kita. Kita mau membahas satu bagian dari hidup Yusuf, yaitu dari Kejadian 40.Waktu membahas bagian Firman Tuhan, kita bisa mulai dari mengingat cerita-cerita itu sebenarnya bicara mengenai apa. Ini perlu, karena membaca pasal ini, kita bisa dengan sangat mudah ter-distract pada satu tema tertentu yang sepertinya menarik buat kita.
Perikop ini adalah cerita mengenai Yusuf. Umur kira-kira 17 tahun, Yusuf ini dijual ke Mesir, lalu ada satu masa kira-kira 11 tahun di mana dia melayani di rumah Potifar dan kemudian dia dimasukkan ke penjara. Kita tidak tahu persis berapa lama di rumah Potifar dan berapa lama di penjara, tapi totalnya kira-kira 11 tahun, maka sekarang di pasal 40 ini dia sudah berumur kira-kira 28 tahun, dan dalam dua tahun kemudian, yaitu umur 30 tahun, dia akan diangkat menjadi perdana menteri Mesir (pasal 41).
Di pasal 40 ini situasinya sebagaimana yang kita baca, ada kepala juru minuman dan kepala juru roti Firaun yang masuk penjara yang sama dengan tempat Yusuf berada (juru minuman dan juru roti bukanlah titel rendahan; kita tahu Nehemia adalah juru minuman Raja Arthasasta, dan dia punya pengaruh besar dalam kerajaan tersebut; jadi titel ini merupakan titel pegawai tinggi). Di ayat 4, Yusuf diatur oleh kepala penjara untuk menjadi pelayan dari dua orang napi tersebut. Jadi mereka itu napi-napi yang mendapat budak, menunjukkan bahwa kedudukan mereka cukup tinggi. Namun bagi Yusuf, ini merupakan momen di mana dalam hidupnya itu dia naik, untuk kemudian jatuh. Kita ingat, dalam hidup Yusuf awal-awalnya dia mendapat mimpi yang menandakan dia begitu tinggi, namun kemudian dia jatuh, dijual oleh keluarganya sendiri. Lalu di tempat Potifar dia diberi kedudukan yang sangat baik, menjadi administrator atas seluruh rumah Potifar, namun kemudian dia dijatuhkan lagi, dikhianati oleh istri Potifar, dan masuk penjara. Lalu di penjara, dia sudah mendapatkan kepercayaan dari kepala sipir penjara yang memberinya kuasa atas segala sesuatu —basically dia jadi raja napi di situ– namun sekarang dia jatuh lagi, dia hanya jadi budaknya dua napi tadi.
Juru minuman dan juru roti itu kemudian bermimpi. Mimpi merupakan satu hal yang sangat penting bagi orang Mesir, karena dalam konsepsi Mesir, yang namanya tidur berarti mengakses dunia lain, dunia yang bukan realm fisik; dan mimpi adalah hasilnya. Dan ketika ada dua mimpi pada saat yang sama, pada malam yang sama, yang mirip polanya, itu mengindikasikan bahwa mimpi-mimpi ini mengandung suatu kepastian. Sebagaimana Saudara tahu, dalam pasal berikutnya (pasal 41), Yusuf menafsirkan mimpinya Firaun, dan ketika itu Firaun juga bermimpi dua kali, sehingga ini merupakan satu tanda bagi orang Mesir yang sangat penting. Berhubung juru minuman dan juru roti ini sedang di penjara, maka mereka tidak punya akses ke para penafsir mimpi profesional yang ada di Kerajaan Mesir pada saat itu (kita tahu dari penggalian arkeologi bahwa orang Mesir bahkan sampai punya kitab tafsir mimpi, karena sebegitu pentingnya mimpi bagi mereka). Dalam hal ini, kita sebagai orang Kristen ketika membaca bagian-bagian seperti ini, kita jadinya sering kali tertarik dengan urusan mimpi juga. Tapi ini tidak perlu, karena ini bukan poin ceritanya. Itu sebabnya sejak awal saya introduce hal ini dulu, supaya kita tahu arah seperti apa yang tepat.
Saudara, kita tidak perlu tertarik dengan cara Allah berkarya melalui mimpi ini, lalu kita jadi kepingin menggali-gali lebih dalam, kita ingin tahu kayak apa caranya menafsir mimpi, dan juga tentang mimpi-mimpi kita hari ini. Itu bukan cara yang tepat, bukan aplikasi yang tepat, dari bagian ini. Kenapa? Bahwa mimpi dipakai jadi cara Tuhan menyatakan sesuatu, itu bukanlah karena Tuhan prefer mimpi, bukan karena mimpi merupakan metode yang superior dibandingkan metode-metode lain bagi Tuhan, melainkan karena cara mimpi adalah sesuatu yang memang sesuai dengan budaya Mesir pada waktu itu. Dalam budaya Mesir pada waktu itu, bicara lewat mimpi merupakan hal yang lumrah, sesuatu yang mereka sudah “terlatih” untuk melihat mimpi sebagai sumber pengetahuan. Alasannya Tuhan sering kali menggunakan mimpi dalam urusan dengan Mesir, sebenarnya adalah cara Tuhan mengakomodasi budaya Mesir. Itu sebabnya kalau Saudara mau “mengaplikasikan” prinsip ini bagi kehidupan kita hari ini, Saudara harus tanya dalam budaya kita hari ini, barang apa yang kita sudah terlatih untuk melihatnya sebagai sumber pengetahuan; dan jawabannya bukan mimpi, tapi buku, misalnya. Apakah Allah bekerja melalui buku? Ya, Allah bekerja melalui tulisan banyak orang, baik orang Kristen maupun non-Kristen, memberikan pengetahuan bagi umat manusia. Jadi, kalau Saudara mau ambil aplikasi yang lebih tepat, banyak-banyaklah Saudara membaca buku. Urusan mimpi itu sendiri bukan prioritas di bagian ini, Saudara jangan terkecoh.
Kembali ke topik utamanya; kalau bukan urusan mimpi yang jadi priorotas di sini, lalu apa? Apakah soal Yusuf punya kemampuan untuk menafsirkan mimpi? Tidak juga; karena yang paling penting disini adalah mengenai bagaimana Yusuf bertumbuh secara karakter.
Kita mungkin melihat urusan tafsir mimpilah yang lebih menarik, lebih perlu dibahas, sedangkan urusan pertumbuhan karakter rasanya ‘gak menarik banget. Itu salah, Saudara. Justru tafsir mimpi itu cuma special effect, itu hal yang tidak berguna, itu hal yang cepat lewat dan kita lupakan; sedangkan pertumbuhan karakter justru yang sering kita cari dalam sebuah cerita. Coba saja, kalau Saudara nonton film Tranformers 1, 2, 3, 4, 5, setelah nonton Saudara ingat ceritanya apa? Tidak ingat ‘kan, karena memang tidak penting dalam film-film kayak begitu; itu adalah film-film special effect –film-film “tafsir mimpi”. Memang ada banyak special effect–nya, tapi film-film seperti itu, begitu Saudara keluar dari bioskop, Saudara sudah lupa sama sekali ceritanya apa. Lalu cerita-cerita film apa yang bisa bertahan lama, yang mempengaruhi kita habis-habisan? Bukan cerita yang ada special effect-nya –itu tidak harus– melainkan cerita yang ada pertumbuhan karakternya. Dalam film Trasformers, karakter-karakternya tidak bertumbuh, dari awal sampai akhir cerita, ya, begitu saja sifatnya. Tapi film seperti misalnya Schindler’s List, itu film yang bagus, film yang dapat Oscar, film yang orang banyak mengakui sebagai film yang bagus. Kenapa? Karena waktu Saudara pertama kali bertemu dengan si Oskar Schindler di awal film, itu berbeda sekali orangnya dengan yang Saudara temui di akhir film, ada pertumbuhan karakter.
Oskar Schindler tadinya seorang businessman biasa, yang penting dapat duit urusan selesai, tidak terlalu peduli dengan orang lain, kerjanya gonta-ganti wanita. Pertama kali dia menyelamatkan orang Yahudi yang ada di pabriknya supaya tidak masuk kamp konsentrasi, itu dia lakukan bukan karena sayang sama orangnya, dia hanya ketakutan pabriknya kehilangan orang-orang yang skillful seperti orang-orang Yahudi itu, yang bisa mengoperasikan segala mesin-mesinnya. Awal-awalnya dia kayak begitu. Namun pelan-pelan, lewat kejadian-kejadian di mana dia berusaha menyelamatkan lebih banyak dan lebih banyak lagi orang Yahudi, lama-lama sense dia berubah. Dan terakhirnya, ketika Jerman sudah kalah, ketika perwira-perwira Jerman tempat dia membeli orang-orang Yahudi itu sudah pergi sehingga sudah tidak ada lagi yang dia bisa selamatkan, apa yang terjadi? Adegan terakhirnya sbb.: Schindler melihat ke mobilnya, dan mengatakan, “Ini mobil kenapa gua ‘gak jual?? Ini harusnya masih bisa menyelamatkan beberapa orang lagi, tapi sekarang sudah ‘gak bisa! Sudah ‘gak bisa beli orang Yahudi dari siapapun, perwira-perwira Jerman itu semuanya sudah pergi. Kenapa saya tidak jual mobil ini selagi saya masih bisa kemarin?? Dan jam tangan ini, harusnya bisa untuk dapat 3-4 orang, kenapa saya ‘gak jual ini??” Lalu dia terpuruk menangis, dikelilingi orang-orang Yahudi yang dia selamatkan itu. Saudara, cerita kayak begini stays with us; karena apa? Karena ada pertumbuhan karakter. Filmnya sendiri hitam putih, tidak ada special effect–nya.
Jadi satu hal yang kita bisa lihat, Saudara jangan terdistraksi dengan hal-hal yang tidak penting. Urusan mimpi atau tafsir mimpi dalam perikop tadi, itu cuma special effect, tidak penting; yang penting adalah: kita bisa melihat bahwa lewat naik lalu jatuh-nya Yusuf yang berkali-kali itu, dia bertumbuh secara karakter.
Katakanlah Yusuf memang punya kemampuan/talenta khusus untuk menafsir mimpi –dan dia memang punya– tapi kita tahu koq, di dunia ini banyak orang yang punya kelebihan, yang punya talenta khusus, yang akhirnya Tuhan tidak pakai karena mereka kehilangan/kekurangan karakter, yang sesungguhnya lebih penting. Sudah terlalu sering kita melihat orang naik ke posisi atas hanya karena punya kemampuan, tapi tidak punya karakter yang tepat, dan akhirnya malah bikin hancur. Dan, sudah sering banget juga kita melihat orang yang punya karakter yang tepat tapi dilewatkan, karena dianggap kurang spektakuler. Ini bukan cuma terjadi di politik, ini juga terjadi ketika Saudara cari pacar. Kembali lagi, yang penting bukanlah special effect–nya, yang penting adalah bagaimana cerita-cerita ini merangkai suatu pertumbuhan karakter Yusuf. Inilah yang lebih menarik untuk kita gali. Namun demikian, hal tersebut juga bukan level paling dalam dari kisah-kisah ini; ultimately, ini kisah mengenai siapa?
Kalau Saudara pergi ke Perjanjian Baru, Kisah Para Rasul 7:9-10, mengenai pembelaan Stefanus, Saudara melihat Stefanus menceritakan ulang mengenai sejarah Israel dan tokoh-tokohnya, sehingga kita jadi mendapatkan semacam perspektif Perjanjian Baru –perspektif Stefanus—teerhadap cerita Yusuf. Ini satu pola yang sepertinya memang ada dalam cara orang Yahudi waktu itu membaca Alkitab. Dikatakan di situ: Karena iri hati, bapa-bapa leluhur kita menjual Yusuf ke tanah Mesir, tetapi Allah menyertai dia, dan melepaskannya dari segala penindasan serta menganugerahkan kepadanya kasih karunia dan hikmat, … . Cerita Yusuf, bagi Stefanus adalah cerita “tetapi Allah”. Ini menarik, karena pola ini bukan cuma muncul dalam perkataan Stefanus, tapi juga dalam perkataan Paulus. Paulus dalam Efesus 2:3-5 punya pola yang mirip; dia mengatakan: Sebenarnya dahulu kami semua juga terhitung di antara mereka, ketika kami hidup di dalam hawa nafsu daging dan menuruti kehendak daging dan pikiran kami yang jahat. Pada dasarnya kami adalah orang-orang yang harus dimurkai, sama seperti mereka yang lain. Tetapi Allah yang kaya dengan rahmat, oleh karena kasih-Nya yang besar, yang dilimpahkan-Nya kepada kita, telah menghidupkan kita bersama-sama dengan Kristus … .
Saudara lihat, basically cerita Alkitab selalu adalah mengenai kondisi manusia yang hopeless. Yusuf ini dijual ke tanah Mesir oleh kakak-kakaknya, para kepala dari 12 suku Israel, para patriakh, tetapi Allah … . Itulah ceritanya. Itu sebabnya cerita ini bukan khususnya mengenai special effect, bukan cerita mengenai mimpi-mimpian; ini cerita mengenai pertumbuhan karakter Yusuf, namun ultimately di balik itu semua, ini adalah cerita mengenai sepak terjang Allah.
Kalau kita lanjutkan perkataan Stefanus di Kisah Para Rasul tadi, Stefanus mengutip Yusuf dalam rangkaian tokoh-tokoh sepanjang sejarah Israel; dan Saudara menemukan bahwa Stefanus membicarakan tokoh-tokoh tersebut untuk menunjukkan satu pola yang terjadi dalam sejarah umat Israel, bahwa umat Tuhan selalu menolak penyelamat yang Tuhan utus kepada mereka, tapi justru lewat penolakan tersebut jugalah, Allah malah menjalankan rencana keselamatan-Nya bagi umat-Nya itu. Jadi, Tuhan mengirimkan penyelamat, umat-Nya selalu menolak penyelamat tersebut, namun entah bagaimana justru lewat penyelamat ini ditolaklah maka keselamatan datang bagi umat tersebut. Tuhan tahu akan ada kelaparan besar, maka satu-satunya cara untuk menyelamatkan umat Isarel adalah dengan mengutus seseorang duluan pergi ke Mesir, puluhan tahun mendahului mereka; dan Allah memilih Yusuf. Lalu bagaimana caranya orang ini bisa sampai ke Mesir? Dengan cara Yusuf ini ditolak oleh bangsanya sendiri, ditolak oleh keluarganya sendiri, dijual ke Mesir. Namun dengan itulah dia malah menggenapkan rencana Allah. Musa juga ditolak oleh bangsa Israel. Tapi lewat penolakan itulah dia kabur, dia belajar rendah hati, dia belajar menggembalakan domba 40 tahun, karena dia harus menggembalakan umat Tuhan yang tegar tengkuk. Kalau bukan karena penolakan tadi, dia tidak akan mampu menjalankan tugas itu.
Omong-omong ini bulan Oktober, bulan Reformasi; dan satu hal yang sering kali kita ingat adalah bahwa para reformator itu berjasa, berdampak besar, dsb. Tapi sebenarnya satu pola yang menarik dalam kisah para reformator tersebut adalah bahwa mereka ini orang-orang yang ditolak oleh Gereja. Ini satu aspek mengenai para refiormator yang kita kurang gaungkan. Jan Hus, seorang reformator yang mungkin paling awal, mati dibakar. Luther di-ekskomunikasi, Calvin diusir dari Jenewa, Thomas Cranmer juga mati dibakar. John Wesley dan George Whitefield, dua orang pelopor gerakan kebangunan rohani abad 19-20, awalnya masuk ke London, ke Gereja St. Helen, dan ditolak habis-habisan, tidak boleh berlkhotbah di situ. Sebenarnya itulah sebabnya John Wesley dan George Whitefield melakukan kebangunan rohani di luar, di alun-alun, di tempat terbuka. Yang menarik, 50 tahun setelah John Wesley ditolak di Gereja St. Helen di London, setelah Great Awakening, setelah revival berjalan begitu banyak, setelah dia tua dan rambutnya sudah putih, dia akhirnya diundang masuk ke Gereja St. Helen itu, dan jumlah orang yang menyambutnya besar sekali. Itulah hasil dari dia diusir dari St. Helen, Saudara. John Wesley menulis di jurnalnya, mengatakan: “Lihat, apa yang Tuhan telah kerjakan sejak terakhir kali aku di sini”, karena orang-orang yang mengundangnya itu adalah hasil dari Great Awakening, dari revival-revival yang dia kerjakan itu –dan itu terjadi karena dia ditolak oleh Gereja tersebut. Saudara lihat, cerita ini cerita apa? Cerita “tetapi Allah”.
Orang-orang yang Tuhan pakai untuk menyelamatkan umatnya, adalah justru orang-orang yang sering kali ditolak oleh umat Tersebut; and yet lewat penolakan itulah mereka menggenapi rencana penyelamatan yang Tuhan sediakan. Inilah cerita “tetapi Allah”. Inilah pattern yang kita lihat dalam Alkitab terus-menerus. Cerita-cerita Alkitab memang seperti ini, maka tidak heran inilah cerita yang ketika kita ulang-ulang terus, benar-benar akan mempengaruhi kita.
Saya pernah mengobrol dengan Pendeta Jadi mengenai cerita-cerita orang Yahudi. Pendeta Jadi mengatakan, “Tidak heran ya, Jeth, orang-orang Yahudi itu hebat-hebat”, yaitu kenapa? Karena cerita-cerita yang diulang-ulang dalam budaya mereka adalah cerita-cerita di mana Tuhan bukan cuma bekerja meskipun ada penderitaan, tapi cerita-cerita di mana Tuhan justru sering kali bekerja melalui penderitaan, melalui penolakan, dst. Kalau dalam budaya kita, cerita apa yang diulang-ulang? Cerita Sangkuriang, maka jangan kurang ajar pada mama, dsb. Itu bukan salah sih, itu satu hal yang benar, makanya budaya kita sangat mementingkan penghormatan terhadap orangtua. Namun Saudara lihat betapa cerita yang diulang-ulang itu membentuk sebuah culture, budaya. Bayangkan jika cerita-cerita yang menempati budaya kita, yang diulang-ulang, adalah cerita-cerita ini, cerita-ceritaYusuf, cerita-cerita Musa, cerita-cerita orang-orang yang dipakai Tuhan.
Sekali lagi, cerita di sini sorotan utamanya bukan special effect-nya, bukan mimpinya; cerita ini berbicara mengenai pertumbuhan karakter Yusuf, namun ultimately mengenai Allah yang berada di balik pertumbuhan karakter tersebut, maka kita bisa belajar bagaimana Allah menumbuhkan karakter kita juga, lewat cerita ini. Mari kita masuk dan melihat, apa karakter Yusuf yang bertumbuh.
Kalau Saudara mau melihat pertumbuhan karakter dengan jelas, paling gampang dengan membandingkan antara ceritanya sekarang dengan ceritanya di awal. Hal pertama yang kita lihat dalam pertumbuhan karakter Yusuf, yaitu dia bertumbuh dalam kepekaan. Urusan mimpi, itu sudah muncul sejak awal kisah Yusuf, tapi dalam awal kisah tersebut mimpi siapa yang dielu-elukan? Ketika itu Yusuf ke mana-mana mengatakan, “Dengar! Ini mimpiku!” –mimpiku–tapi di pasal 40 yang terjadi adalah Yusuf mengatakan, “Apa mimpimu?” Saudara lihat ada perubahan di sini?
Yusuf itu pada awal hidupnya bukan digambarkan sebagai orang yang baik-baik. Saudara jangan pernah pikir di Alkitab itu semua jagoannya oke-oke sejak awal, sama sekali tidak demikian, Yusuf boleh dikatakan digambarkan dengan sifat yang cenderung sosiopatik sebagai anak muda. Dia tidak peka perasaan orang lain. Kemana-mana dia mengatakan, “Lihat mimpiku! Mimpiku!” –yang penting adalah ‘mimpiku’. Dan kalau kita memperhatikan bahasa aslinya ketika Yusuf di awal kisahnya mau menceritakan mimpinya itu, dia mengatakan kalimat seperti begini: “Duduk! Dengarkan aku”, kepada semua saudaranya yang lebih besar daripada dia, bahkan kepada bapaknya sendiri. Setelah dia menceritakan satu mimpinya, saudara-saudaranya membenci dia. Lalu apa respons Yusuf? Yusuf malah cerita mimpinya yang kedua, yang lebih parah. Saudara bayangkan ini anak kayak apa, kacau banget, mana bisa orang kayak begini jadi pemimpin. Dengan demikian di pasal 40 fast forward ini, kita bisa mengerti seandainya Yusuf tidak peduli dengan perasaan dua napi tadi. Pertama, karena Yusuf masuk penjara dengan tidak bersalah; dan bukan cuma tidak bersalah, tapi dia masuk penjara karena alasan doing the right thing, dia masuk penjara gara-gara dikhianati istri tuannya berhubung dia ingin menjaga kesucian pernikahan istri tuannya itu. Bayangkan saja, kalau Saudara masuk penjara gara-gara hal ini, Saudara tidak bakal peduli dengan perasaan orang lain ‘kan, karena gua ini kasihan banget. Namun Saudara melihat di sini, Yusuflah yang memulai pembicaraan, dan dia yang menawarkan penafsiran mimpi mereka dengan cara yang begitu sopan.
Saudara, yang kita baca di sini dua orang tersebut bukan datang minta kepada Yusuf; mereka dikatakan mukanya begitu murung maka Yusuf bertanya kepada mereka, “Kenapa kalian murung?’ Lain banget ya, fokusnya. Lalu waktu mereka kemudian mengatakan ada mimpi, Yusuf tidak mengatakan, “O, sini-sini, gua ahlinya!” Dia mengatakan, “Bukankah Allah yang bisa menafsirkan segala arti mimpi?” –bentuknya pertanyaan. Ini lain banget dengan waktu dulu. Yusuf mengatakan, “Silakan ceritakan”. Ini orang yang tadinya sosiopatik, dan sekarang dia mulai bisa menjadi orang yang sympathetic (simpatik), orang yang bisa memakai empati. Kenapa bisa ada pertumbuhan karakter seperti ini? Sederhana saja, karena dia sendiri sudah mengalami apa artinya kesusahan, maka bisa mengerti kesusahan orang lain. Orang tidak bisa mengerti orang lain punya masalah, sampai dia sendiri punya masalah seperti itu. Saya mau tanya, siapa di antara Saudara yang pernah patah rusuk? Saudara mengerti tidak, harus ngapain kalau mengunjungi orang yang sedang recover dari patah rusuk? Banyak orang mungkin pikir, kasihan lho, yuk kita hibur dia, kita bikin dia senang, maka orang bikin lelucon, dan semua orang tertawa. Tapi tahu tidak, orang yang patah rusuk kalau tertawa itu sakit luar biasa, jadi justru jangan diberi lelucon. Kenapa kita tidak mengerti hal ini? Karena kita tidak pernah merasakan. Jadi, kenapa bisa ada pertumbuhan rohani dalam diri Yusuf seperti ini? Karena dia pernah mengalami kesulitan. Inilah pertumbuhan rohaninya yang pertama, dia sekarang ada kepekaan.
Yang kedua,Yusuf punya refleks ilahi (ini istilahnya kurang tepat, tapi saya tidak menemukan istilah yang lain). Refleks ilahi ini maksudnya bukan refleks super cepat level dewa, tapi seperti ketika dia melawan godaan dari istri Potifar, refleksnya adalah langsung consider akan apa yang Allah akan katakan, apa yang Allah pikir, melihat semua ini. Kalau Saudara perhatikan kalimat Yusuf waktu dia menolak istri Potifar, kalimat tersebut sebenarnya seandainya di bibir orang lain, justru alasan untuk mendukung terjadinya perselingkuhan/dosa. Waktu digoda, Yusuf mengatakan: “Mana mungkin aku melakukan hal ini, karena rumah sedang kosong, lagi pula suamimu sudah mempercayakan segala sesuatu dalam rumah ini kepadaku, tidak ada yang disisakannya kecuali engkau”; dan kalimat ini, kalau di bibir orang lain, justru adalah alasan untuk melakukan dosa, bukan? Anehnya, Yusuf mengatakan kalimat ini malah untuk jadi alasan dia tidak berdosa. Kenapa bisa? Karena Yusuf ada refleks ilahi. Yusuf memikirkan bukan apa yang dipikirkan manusia; dia mengatakan, “Mana mungkin aku melakukan kejahatan ini kepada Allah” –refleks ilahi, langsung consider sudut pandang Allah. Demikian juga waktru juru minuman dan juru toti itu memberitahukan mimpinya, refleksnya pun sama: “Bukankah Allah yang menerangkan arti mimpi? Tolong ceritakan mimpi itu kepadaku.”
Hal ini juga berlanjut di pasal berikutnya, ketika dia dipanggil oleh Firaun dua tahun kemudian. Firaun mengatakan kepadanya, “Kudengar kamu seorang penafsir mimpi yang hebat”, dst. Lalu di pasal 41:16 jawaban Yusuf dalam terjemahan bahasa Indonesia kalimatnya panjang, “Bukan aku, tetapi Allah, …”, dst. Tapi dalam bahasa aslinya, cuma satu kata yang Yusuf katakan: “Biladay”; Yusuf simply mengatakan, “Nonsense”. Cuma satu kata, sangat powerful. Kalau Saudara mau menampik orang, cara yang powerful adalah cuma pakai satu kata saja cukup. Misalnya orang tanya, “Jeth, musik kayak begini bagus ‘gak; keren nih musiknya, pendapat lu bagaimana?” Lalu misalnya saya benci dengan musik itu, tapi kalau saya bilang, “Begini-begitu lho, yang kayak begini ngawur, bagaimana lu bisa suka yang kayak sampah begini … “, dst., dst., panjang lebar, itu kurang berdampak; yang lebih berdampak adalah kalau saya cuma diam sebentar, lalu keluarkan satu kata, “Sampah!” itu baru powerful. Itulah pada dasarnya yang sedang terjadi dalam cerita bagian ini, Yusuf basically cuma mengatakan, “Nonsense, bukan aku; Tuhan.”
Di pasal 41, tiga kali Yusuf mengatakan ini kepada Firaun: “Allah itu bukan cuma penafsir mimpi, ya, Allah itu pengarang mimpi. Mimpi ini dari Tuhan.” Ini sangat bertabrakan dengan kepercayaan pada waktu itu, di mana kalau Firaun tidak men-iya-kan penafsiran suatu mimpi, maka itu dianggap tidak bakal terjadi. Tetapi, dari cara Yusuf bercerita, Yusuf tidak pernah mengatakan, “Oh, Tuanku Raja, ini bakal terjadi kayak begini dan begitu, kalau engkau melakukan ini dan itu”. Yusuf tidak menyebutkan apa-apa mengenai Firaun, Yusuf basically sedang menggambarkan bahwa Allah-lah Raja, dan Firaun bukan siapa-siapa. Dalam hal ini Saudara perlu ingat bahwa ini terjadi di hadapan Firaun yang dalam segala kemuliaannya itu. Orang-orang zaman dulu sangat peka dengan aura-aura kerajaan seperti ini, mereka pakai cara teatrikal sedemikian rupa untuk membuat orang submit kepada kuasa seorang raja. Misalnya Forbidden City; Saudara tidak bisa merasakan Forbidden City cuma melalui foto. Kalau Saudara sendiri datang ke situ, melihat lapangannya yang besar, Saudara akan merasa kecil; kalau Saudara naik tangga yang begitu tinggi ke istana sang kaisar, Saudara merasa rendah!
Hal ini bahkan juga terjadi sampai hari ini. Charles Colson, seorang pengkhotbah Kristen, sebelum jadi pendeta pernah bekerja sebagai White House Council. Dia bertugas di Gedung Putih, Amerika, untuk membawa tamu yang mau bertemu dengan Presiden. Colson cerita, dia dilatih menggunakan aura White House untuk mengintimidasi tamu-tamunya. Tamu-tamu itu di-pacify dengan cara diajak berkeliling, tidak langsung ketemu Presiden. Mulai dengan masuk Executive Dining Room, lalu ke West Wing, melewati tentara-tentara yang siap dengan senjatanya, yang langsung sigap beri hormat, dsb. Lalu lewat koridor-koridor dengan foto-foto para presiden yang semuanya dengan pose aktif. Lalu di pintu tertentu tiba-tiba Colson berhenti, dan semua tamu ikut berhenti, bertanya-tanya dalam hati, ada apa ini; dan Colson setengah berbisik menunjuk ke pintu tersebut dan mengatakan, “Ini Situation Room”. Langsung semua tamu-tamu itu terhenyak, membayangkan seperti di film-film, sang presiden bersama ajudan-ajudannya berkumpul di situ menghadapi komputer-komputer, siap tekan tombol luncurin rudal, dsb. Colsin bilang dalam ceritanya, sebenarnya yang kayak begitu adanya di Pentagon, tapi dia sengaja ngomong kayak begitu supaya mereka terintimidasi. Dan efeknya, tamu-tamu yang paling keras pun, mulai melembek, sehingga ketika mereka masuk ke Oval Office bertemu dengan Presiden, Colson bilang efeknya adalah seperti ini: “Lions af the Waiting Room become lamb of the Oval Office”, yang tadinya singa-singa di Ruang Tunggu, begitu masuk Oval Office jadi domba semua. Tidak ada orang yang berani menunjukkan sikap antagonis terhadap Presiden; orang-orang yang sudah siap dengan kata-kata mereka, langsung lupa begitu berhadapan dengan Presiden. Mereka semua mengangguk-angguk kalau Presiden bicara; dan kalau mereka tidak setuju akan satu hal, mereka bicaranya apologetik banget, mereka meyakinkan Presiden bahwa sebenarnya mereka menghargai pendapat Presiden secara personal, hanya saja ada ini dan itu, dsb. Yang menarik, Colson mengatakan, “Tahu ‘gak, siapa yang paling kena dengan aura-aura kayak begini? Para pemimpin agama.” Sedih, ya. Colson mengatakan, harusnya para pemimpin agamalah yang paling sadar semuanya cuma manusia berdosa, paling sadar bahwa aura-aura kerajaan dunia harusnya tidak ada artinya; namun Colson mengatakan: “Inilah, pengetahuan teologi kadang-kadang memang tidak bisa saing di hadapan kuasa-kuasa dunia.” Tapi Saudara lihat, apa yang Yusuf lakukan di hadapan Firaun?
Yusuf sebelas tahun di penjara dan sebelumnya di rumah Potifar sebagai budak; dan dia orang yang bagaimana di hadapan Firaun? Dia bertahun-tahun di penjara, bertahun-tahun ditinggalkan, dilupakan, lalu sekarang dapat kesempatan keluar dari penjara menghadap Firaun, kesempatan untuk bisa menentukan masa depannya; dan apa yang dia lakukan? Dia tidak termakan godaan untuk jadi lembek. Dia tidak pakai bahasa-bahasa rayuan kepada Firaun, berkata-kata dengan senyuman dibuat-buat: “Oh Tuanku, Raja Firaun .. thank you banget ya, saya sudah bisa ada di sini hari ini, sekarang bisa melihat matahari sementara tadinya ‘gak bisa matahari.. thank you bangettt.. “. Yusuf tidak melakukan itu. Kalimat pertamanya apa? Waktu Firaun dengan penuh wibawa mengatakan kepada dia, “Aku dengar kamu seorang penafsir mimpi yang hebat”, kalimat yang keluar dari Yusuf adalah: “Nonsense!” Dia dikatakan menyahut Firaun, berteriak, “Bukan aku! Tapi Allah. Allahlah yang akan melakukannya.” Betapa hebat banget bisa kayak begini. Kenapa Yusuf bisa ada pertumbuhan karakter seperti ini? Inilah hal yang kedua, refleks ilahi (God reflex).
Yang ketiga, Yusuf punya karakter yang tahan banting, tahan uji. Dia umur 17 kehilangan keluarganya; dan ini bukan karena keluarganya mati melainkan karena keluarganya sendirilah yang menjual dia. Berikutnya dia kehilangan pekerjaannya; dan ini pekerjaan yang pada dasarnya dia benar-benar punya talenta dalam hal tersebut. Prospek masa depannya juga hancur, gelap, karena kejahatan sang nyonya besar di tempat kerjanya itu, dan tidak mungkin bisa ada yang mempekerjakan dia lagi. Kalau kita kehilangan pekerjaan yang sebenarnya kita tidak suka hanya saja kita kerjakan karena kita cari duit dari situ, itu saja sedihnya setengah mati, apalagi kehilangan pekerjaan yang benar-benar somehow kita merasa ada bakat di sini. Yusuf sebelumnya tidak tahu dia ada bakat jadi administrator, dia tidak pernah mengerjakan pekerjaan seperti itu, tapi karena Potifar menyuruh dia, ternyata dia bisa, sampai-sampai Potifar begitu percaya kepadanya. Jadi tentunya Yusuf merasa ‘ini tempat yang benar-benar pas’; dan dia kehilangan hal itu. Dia juga kehilangan kebebasannya, karena di penjara tidak ada harapan untuk bisa keluar. Tiba-tiba ada harapan sebentar melalui juru minuman dan juru roti, dia minta diingat; tapi ternyata itu harapan palsu.
Bayangkan Saudara, kehilangan keluarga, kehilangan prospek masa depan, dan pekerjaan! Bayangkan trauma seperti ini –kombinasi dari tiga kehilangan ini– terjadi pada satu orang! Pertanyaannya, koq bisa sih Yusuf tahan akan semua itu? Apa yang berubah dalam hidup yang seperti ini? Bagaimana seorang anak manja bisa berubah jadi orang yang tahan uji seperti ini? Dari mana datangnya? Apalagi jawabannya kalau bukan: dari seluruh pengalamannya yang hancur-hancuran itu, yang berkali-kali dia diangkat ke atas untuk kemudian dilempar ke bawah. Apalagi kalau bukan itu penyebabnya? Tidak ada. Tidak pernah dicatat Tuhan bikin sesi KTB khusus dengan Yusuf, meskipun Yusuf di penjara tapi Tuhan muncul setiap pagi, menepuk-nepuk dia, dan berkata, “Ayo Suf, sini, yuk kita saat teduh… “. Tidak ada yang seperti itu, tidak ada one on one with God!
Kita sudah pernah membahas bahwa di Alkitab ada beberapa bagian yang dibilang sebagai “the Godless passages”, perikop-perikop di mana nama Tuhan sengaja tidak disebut, untuk menyajikan suatu realitas yang kita hadapi, yang sepertinya tidak ada Tuhan. Misalnya kitab Ester, dsb., dan salah satunya cerita Yusuf ini. Tuhan hampir-hampir tidak muncul dalam kehidupan dia. Dengan demikian, menarik bahwa kesimpulannya adalah: dia mendapatkan karakter tahan uji ini bukan meskipun dia menderita; karakter ini dia dapatkan justru lewat dia menderita.
Omong-omong, kalau Saudara ragu apa benar Yusuf menderita, di Mazmur 105 (mazmur yang mengulas kembali sejarah Israel) dikatakan: “…Yusuf, yang dijual menjadi budak. Mereka mengimpit kakinya dengan belenggu, lehernya masuk ke dalam besi”. Saudara, di rumah Potifar itu ada perbedaan antara Potifar yang orang Mesir dengan Yusuf yang orang Ibrani. Kita tahu, ketika istri Potifar menuduh Yusuf, dia mengatakan, “Orang itu, orang Ibrani itu, dia berani-beraninya … .” Kenapa istri Potifar menyebut-nyebut urusan ras kayak begini? Kalau Saudara pernah didiskriminasi secara ras, Saudara tahu kalimat ini maksudnya apa. Selain itu, kalau kita membaca kalimat Yusuf waktu dia meminta juru minuman untuk mengingat dirinya, “Tetapi, ingatlah kepadaku, apabila keadaanmu telah baik nanti, tunjukkanlah terima kasihmu kepadaku dengan menceritakan hal ihwalku kepada Firaun dan tolonglah keluarkan aku dari rumah ini. Sebab aku dicuri diculik begitu saja dari negeri orang Ibrani dan di sini pun aku tidak pernah melakukan apa-apa yang menyebabkan aku layak dimasukkan ke dalam liang tutupan ini”; ini kalimat miris karena ini menggambarkan seperti apa suasana hati Yusuf. Kita tidak menemukan gambaran ‘inilah leader yang dipersiapkan Tuhan karena dia dari dulu mandiri, karena sejak kecil dia tenang menghadapi masalah’. Gambarannya tidak seperti itu! Walter Brueggemann mengatakan, inilah pemimpin yang sendirinya needy banget pada awal-awalnya. Dia orang yang kepingin mendapat approval dari orang lain, makanya dia cerita ke mana-mana, “Mimpiku kayak begini … mimpiku kayak begini … “.
Pada akhirnya kita tahu dia sekali lagi naik untuk kemudian jatuh ketika tafsirannya terbukti benar. Kalau Saudara melihat antara tafsiran Yusuf dengan yang dilakukan Firaun terhadap juru minuman dan juru roti, itu hampir-hampir verbatim, di-copy kata demi kata, untuk memperlihatkan bahwa mimpi mereka itu sungguh-sungguh terjadi persis seperti yang dikatakan Yusuf; namun Yusuf tidaklah diingat oleh juru minuman itu, dia dilupakan. Belakangan di pasal 41, waktu si juru minuman akhirnya ingat pada Yusuf, dari cara bicaranya kita tahu dia cuma ingat Yusuf karena berharap bisa dapat keuntungan dengan merekomendasikan Yusuf kepada Firaun: “Oh, Firaun mimpi; aku kenal orang ini, mau kuundang ‘gak?”, seolah-olah dia jadi berjasa. Yusuf tadinya sudah mengatakan kepada si juru minuman untuk jangan lupakan dirinya –dan bagaimana mungkin bisa lupa ‘kan— namun hari-hari berikutnya ketika Yusuf menanti-nantikan kabar, harapannya naik seiring matahari naik ke atas, lalu seiring matahari turun terbenam demikianlah juga harapan Yusuf mengecil dan turun. Apalagi setelah satu minggu, apalagi setelah satu bulan, dan ujungnya pasal 41 mengatakan: dua tahun! Jadi, dari mana ketahanan Yusuf itu datang? Sekali lagi, dari mana lagi kalau bukan justru dari penderitaannya itu. Kenapa bisa seperti ini? Karena memang sering kali lewat penundaan, lewat penderitaan, Allah memilih untuk bekerja.
Musa menunggu 40 tahun di padang belantara. Daud diurapi sejak kecil, namun dia harus tunggu sampai Saul mati; dan menunggunya bukan nyantai-nyantai melainkan dikejar-kejar, harus kabur ke sana-sini, harus sampai berlagak gila di depan raja Filistin, dsb. Hudson Taylor yang melayani ke China, pertama kalinya dia gagal, dia balik ke London, dan dia 6 tahun di London itu hanya sanggup tinggal di daerah kumuh sambil sakit-sakitan, karena dia miskin. Belakangan Hudson Taylor menulis demikian: Tanpa tahun-tahun yang enam tahun itu, yang seperti sia-sia itu, saya tidak tahu bagaimana caranya saya bisa didewasakan visi dan antusiasmenya, karena sebelumnya visiku terlalu naif, antusiasmeku kekanak-kanakan; setelah enam tahun itulah, baru visiku realistis, antusiasmeku jadi antusiasme/semangat yang dewasa. Setelah enam tahun itulah dia baru bisa mulai dan memimpin China Inland Mission. Kent Hughes mengatakan: Kekecewaan itu esensial bagi pertumbuhan rohani, perlu, harus ada; kenapa? Karena kekecewaan menuntut kita untuk menaruh pengharapan hanya pada Allah. Raymond Edman mengatakan demikian: Delay never thwarts God’s purposes; it only polishes his instrument” (penundaan tidak pernah menggagalkan rencana Allah, penundaan hanya memoles alat-alat-Nya.
Saudara, kekecewaan Yusuf begitu besar. Dia bukan cuma kehilangan keluarga tapi dijual oleh keluarga. Dia kehilangan pekerjaan dan prospek masa depan. Dia dimasukkan ke penjara oleh seorang suami yang marah, justru karena dia menjaga keutuhan pernikahan suami tersebut. Dia diangkat menjadi kepala napi, hanya untuk kemudian jadi budaknya napi. Dan, dia dikecewakan oleh juru minuman yang sudah dirangkulnya dan dihiburnya. Kenapa semua ini harus terjadi? Kita tahu alasannya, karena dalam dua tahun berikutnya dia akan ditaruh pada posisi yang sangat tinggi, dan ini posisi yang sangat berbahaya, karena pada posisi yang begitu tinggi, yang hanya kedua setelah Firaun. Di tempat Potifar saja, dia digoda oleh istrinya Potifar, maka bayakangkan kalau jadi perdana menteri, bakal digoda kayak apa?? Akan ada banyak “istri-istri Potifar” yang lain. Sebagai perdana menteri, tiap hari dia akan bertemu orang-orang dunia politik yang senyum di depan tapi tusuk di belakang. Dengan demikian, belajar untuk melihat orang yang melupakan jasanya, itu perlu. Itu hal kecil dibandingkan dengan apa yang dia akan hadapi sebagai perdana menteri. Jangan lupa, dia orang Ibrani, orang asing; dia dari suku nomaden yang dianggap primitif oleh bangsa Mesir yang sudah menetap, sudah mendirikan kota-kota. Itu sebabnya apa yang dialami Yusuf itu perlu; dan memang inilah cara Tuhan bekerja. Tuhan sering kali cara bekerjanya memang super lambat kayak begini.
Tuhan membuat desain yang jelas, bahwa tanaman ditanam pada musim panas namun baru mulai berbuah selesainya musim dingin, bahkan kadang melampaui itu. Sama juga dengan Gereja harusnya; Gereja juga butuh waktu. Namun keberdosaan kita inilah yang selalu tidak bisa menunggu, tidak bisa sabar. Keberdosaan manusia seperti Saudara lihat dalam dunia politik, baru saja terpilih, sudah pikir re-election. Tidak bisa kerja long term, di dunia ini. Kerja jadi manajer bola di olahraga, Saudara cuma perlu kalah dua kali, langsung digosipin bakal dipecat. Sedihnya, Gereja sering kali juga sama. Setiap kali Gereja ada suatu perubahan, langsung orang-orang sensitif sekali, mengharapkan ‘pokoknya kalau ada suatu hal yang berubah, decision yang baru itu langsung harus jelas benefit-nya, jelas bahwa ini keputusan yang tepat, paling lama tunggu 6 bulan, tidak boleh lebih lama daripada itu’.
Saudara, khotbah ini khotbah 8 tahun yang lalu, tahun 2016; dan ketika itu kita punya dua PA, hari Selasa PA Profesional dan Rabu PA Umum, yang kemudian digabung jadi satu. Sekarang setelah 8 tahun, semua orang sudah menerima ini, make sense, menjadi satu lebih benar; tapi 8 tahun yang lalu itu banyak banget orang yang mempertanyakan keputusan itu, dan tekanannya karena mereka ingin dapat tanda yang jelas bahwa keputusan itu keputusan yang tepat –dan ‘saya mau tanda itu sekarang!’ Itulah Gereja. Sama saja. Sedih, ya. Doa Paulus di Kolose 1:11 dia mengatakan begini: “Aku berdoa supaya kamu dikuatkan dengan segala kekuatan oleh kuasa kemuliaan-Nya … “, bombastis ya; kalau kita doa kayak begini, minta power, kekuatan, kuasa, biasanya untuk apa? Ternyata Paulus bilang: “… untuk menanggung segala sesuatu dengan tekun dan sabar.” Ini bukan doa kita. Paulus minta power, kekuatan, kuasa, untuk enjure, untuk sabar, untuk terus melakukan hal yang itu lagi dan itu lagi.
Saudara, Gereja kita –dan juga banyak Gereja lain—tidak pernah belajar hal ini, sedihnya. Setiap kali ada orangtua yang datang kepada saya mengatakan, “Pak, anak saya begini begitu, begini begitu, … “, lalu lanjutannya: “Jadi apa yang harus berubah?? Harus pindahkan sekolah? Harus pindahkan les? Harus cari guru lain? Harus pindah rumah? Harus ngapain??” Tapi tahukah Saudara surat Paulus kepada anak didiknya, anak angkat rohaninya, Timotius, poinnya apa? Apa pooin dalam Surat 1 Timotius dan 2 Timotius; apa yang diulang terus-menerus? Sabar, Timotius, bertekunlah, fight the good fight, kerjakan apa yang telah engkau kerjakan selama ini. Inilah panggilan Kristen, Saudara.
Menanggapi ini, banyak orang lalu mengatakan, “O, jadinya jadi orang Kristen berarti kita harus pasif, ya”. Tidak, Saudara. Jangan bodoh, terperangkap dalam kategori aktif dan pasif, kalau aktif berarti bertindak, kalau sabar bertekun berarti pasif. Saudara tahu yang namanya Pull-Up Bar? Kalau Saudara ada pull-up bar di rumah, lalu Saudara coba naik-turun ulang-ulang, dan coba juga bertahan; lebih susah mana? Lebih susah bertahan! Lebih gampang action, karena kalau naik-turun itu ada istirahatnya, ada istirahat lalu naik lagi, ada istirahat lalu naik lagi, sedangkan bertahan terus itu susah sekali. Itu sebabnya kalau Saudara pikir bertahan berarti pasif, itu ngawur. Justru consistent effort perlu sangat aktif bertahan, dan itu lebih susah! Ini sebabnya dalam situas-situasi tertekan kita sering kali lebih memilih untuk cari tindakan, cari arah baru —apa yang harus berubah, Pak? Kita tidak mau bertahan karena bertahan lebih susah; lebih gampang kabur, lebih gampang take action. Itu sebabnya Paulus mendoakan kuasa yang besar untuk bertahan –karena memang hal itulah yang butuh kekuatan besar.
Saudara, kita tentunya tahu kisah Yusuf selanjutnya, meskipun Yusuf pada waktu itu tidak tahu. Dan, kalau saja Yusuf waktu itu tidak bertahan, kalau seandainya dia tidak masuk penjara gara-gara istri Potifar, dia mungkin akan terus naik pangkat di rumah Potifar, tapi ya sudah, segitu saja. Dia tidak akan pernah bertemu tahanan-tahanannya Raja. Dan, kalau si juru minuman tidak lupa, langsung ingat kepadanya, mungkin yusuf akan diberi penghargaan, mungkin akan dibebaskan, tapi lalu apa?? Dua tahun kemudian waktu Firaun mimpi, dia sudah entah di mana, karena sudah bebas. Kebetulan sekali pas Firaun benar-benar perlu, Yusuf masuk ke panggung. Ada ketahanan di sini.
Lalu bagaimana kita bisa menjadi seperti Yusuf? Apa yang bisa kita pelajari? Sekali lagi, kita perlu ingat bahwa di dalam Tuhan, apa yang rasanya seperti melemahkan, itu sesungguhnya menguatkan. Ini sudah kita katakan berulang kali. Ini bukan berarti waktu kita mendapatkan penderitaan, kita lalu jadi orang-orang yang meremehkan penderitaannya, “Ah, cuma kayak gitu! Kuat sedikit! Jangan cengeng!” Itu bukan jalan Kekristenan. Surat Ibrani 12:11 mengatakan seperti ini: “Memang tiap-tiap ganjaran pada waktu diberikan tidak mendatangkan sukacita, tetapi dukacita.” Penulis Ibrani tahu koq, memang suffering itu tidak enak –kita tidak dipanggil untuk jatuh cinta pada suffering dan mencari-cari suffering– namun kemudian ada balance-nya: “Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya”. Sekali lagi, kata dilatih di perjanjian Baru ini pakai istilah gymnazo (gymnasium).
Saya adakalanya mengajak teman untuk olahraga; lalu ada yang bilang, “Ah, malaslah, tiap kali olahraga rasanya tulang makin lapuk.” Tapi olahraga ‘kan memang kayak begitu. Setiap kali Saudara angkat barbel, apa Saudara bilang, “Setiap gerakan, ototku makin lama makin kuat!” dan angkat barbelnya makin lama makin cepat? Ya, enggaklah. Kalau kayak begitu, something wrong dengan barbelnya. Saudara kalau angkat barbel, makin lama makin lemah. Tapi, adalah absurd kalau Saudara lalu mengatakan, “Wah, saya tidak boleh olahraga ternyata, gawat, makin angkat makin lemah; olahraga cuma bikin tulang makin lapuk.. “. Kalau Saudara habis nge-gym 2 jam, lalu mandi, lalu merasa ‘saya maikn kuat, berotot’, kayaknya ada something wrong dengan program-mu. Jadi, sama halnya dengan penderitaan kita dalam Tuhan, ketika ada hal-hal yang membuat iman kita menjadi lemah, ketika ada hal-hal yang membuat kesabaran kita makin habis, sukacita kita makin kosong –ketika kita merasa makin lama makin lemah– Saudara sesungguhnya dalam Tuhan sedang makin lama makin kuat.
Dalam Tuhan, apa yang rasanya melemahkan, sesungguhnya menguatkan. Tapi sering kali kita tidak mau ini. Kalau ada suatu hal yang rasanya tidak enak, kita pikir berarti pasti ada yang salah, harus ada yang berubah. Kita memutlakkan semua pengalaman penderitaan sebagai harus berubah. Memang bisa ada benarnya, ada kemungkinan pelatih gym-mu itu programnya tidak tepat, harus diganti, ada rasa sakit yang memberi sinyal bahwa harus ada yang diubah, tapi tidak semua rasa sakit dan penderitaan adalah seperti itu. Ada juga rasa sakit, rasa capek, yang memang datang secara natural sebagai bagian dari pertumbuhan. Anak-anak kecil waktu tumbuh gigi, sakit ‘kan; jadi bagaimana? Cabut saja giginya, tidak usah tumbuh??
Jadi bagaimana kalau Saudara tidak dalam posisi untuk mengubah keadaanmu? Bagaimana kalau rasa capek dan rasa sakit yang kau rasakan itu memang karena badanmu yang sudah terlalu obes, yang tidak pernah gerak, yang terlalu sedentari? Dalam keadaan-keadaan seperti itu, jelas objektifnya: bertahanlah, bertekunlah, fight the good fight, perjuangkan terus apa yang sudah engkau lakukan selama ini, datang lagi ke gym-nya, karena inilah cara Tuhan mengerjakan pertumbuhan dalam hidupmu. Itu kuncinya; menyadari tangan Tuhan di balik ini semua.
Hal ini muncul dalam diri Yusuf, karena dalam diri Yusuf ada karakter yang keempat, yaitu gratitude, rasa syukur. Di pasal 41, setelah Yusuf diangkat menjadi Perdana Menteri, ada semacam epilog di perikop tersebut, bahwa dia diberikan seorang istri dan dia mendapatkan anak. Ini satu hal yang mungkin dia tidak expect, dia mungkin pikir akan sendirian seumur hidup. Dia lalu memberi nama anak-anaknya. Ayat 51-52: Yusuf memberi nama Manasye kepada anak sulungnya itu, sebab katanya: “Allah telah membuat aku lupa sama sekali kepada kesukaranku dan kepada rumah bapaku.” Dan kepada anaknya yang kedua diberinya nama Efraim, sebab katanya: “Allah membuat aku mendapat anak dalam negeri kesengsaraanku.” Saudara lihat, apa yang mendasari penamaan ini? Kesukaran, tetapi Allah … ; kesengsaraan, tetapi Allah … . Itulah nama-nama anak-anak Yusuf. Dengan demikian setiap kali dia panggil nama anaknya, ini juga cara dia mengingat apa yang Tuhan telah lakukan bagi dirinya —di dalam kesengsaraanku, Tuhan telah melakukan hal ini; dalam kesukaranku, Tuhan telah melaukan hal itu. Ini tradisi Ibrani yang baik.
Ada beberapa orang suka tanya ke saya waktu mau beri nama anaknya. Saya biasanya malas merespons ini, tapi sekarang saya beri prinsipnya. Banyak orangtua terbalik dari tradisi Alkitab dalam memberi nama. Tradisi Alkitab waktu memberi nama adalah begini: “Tuhan telah melakukan ini dan itu”; sedangkan tradisi kita waktu memberi nama, namanya itu nagih, “kiranya anakku menjadi seperti ini dan itu” –akhirnya anak-anak banyak yang berat nama, kasihan. Mungkin kita perlu ganti tradisinya. Saya senang sekali dengan nama istri saya, “Dorothy”, artinya gift of God, sehingga setiap kali saya memanggil namanya, saya ingat apa yang Tuhan telah lakukan bagi saya. Namun tentunya itu tidak cukup.
Belum lama ini ada kasus seorang mama yang anaknya kemungkinan akan lahir cacat. Ini karena si mama pernah menjalani semacm prosedur kosmetik yang pakai radiasi, dan dia tidka sadar kalau dirinya hamil, dia baru tahu belakangan. Jadi, kalau sampai janinnya terkena radiasi tersebut, ada kemungkinan lahir cacat. Bagaimana caranya menghibur mama ini? Opsi pertama, mengatakan: “Memang lu sih, yang salah, ngapain pakai kosmetik-kosmetikan kayak begitu, mau nipu siapa sihh??” Tidak bisalah begitu, itu bukan menghibur, dan dia juga tidak perlu itu karena dia sudah merasa yang paling bersalah. Opsi yang kedua, berikan prinsip yang Yusuf tadi, “Lihat Yusuf, Pak Jethro sudah khotbahin tuh, bahwa Tuhan ternyata bekerja membentuk Yusuf lewat penderitaan; waktu kita merasa lemah, kita sebenarnya lagi kuat!” Saudara mengatakan itu kepada orang ini, Saudara minta ditonjok! Jadi, prinsip ini ternyata tidak cukup.
Memang benar harus mulai dari prinsip itu, bahwa Allah kita sebegitu berkuasanya sampai Dia bisa membawa the greatest blessing bahkan dari the greatest sin. Murid-murid-Nya sering kali tidak siap menerima ini, bahwa lewat dosa yang berkumpul jadi satu –dari kelompok Herodes, dan orang Yahud,i dan Farisi, dan Romawi, dan segala macam lainnya, termasuk dosanya Yudas– lewat semuanya ini bisa datang kebaikan; kebaikan dari mana?? Mereka tidak siap untuk menerima itu. Jadi memang prinsipnya benar, bahwa Allah kita berkuasa, tapi tidak cuma ini. Karena Dia bukan Allah yang sekadar menepuk-nepuk pundak kita dan mengatakan, “Tenang saja, Aku berkuasa, koq”, tapi juga ada sesuatu yang kita tahu, yang Yusuf belum tahu waktu itu, yaitu bahwa Allah sendiri pernah rela memberi diri-Nya di bawah kuasa tersebut, Dia sendiri sudah pernah ditimpakan the greatest sin, supaya Dia bisa menjadi the greatest blessing bagi engkau dan bagi saya. Itulah kuncinya –“tetapi Allah”.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading