Tanah Samaria merupakan wilayah berbukit-bukit; bukit yang paling tinggi cuma kira-kira 800 meter tingginya, jadi bukan pegunungan. Ini adalah wilayah yang pada zaman modern sekarang masuk dalam pemerintahan negara Israel. Memang dalam sejarahnya, Samaria adalah wilayah dari 10 suku, yang sekarang –atau lebih tepatnya dalam zaman Yesus–disebut “10 suku Israel yang hilang”. Samaria ini adalah bagian dari Kerajaan Israel; atau dalam nomenklatur yang lain disebut Kerajaan Utara, karena posisinya lebih utara, dibedakan dari Kerajaan Yehuda yang ada di selatan. Kerajaan Israel adalah kerajaan yang menempati wilayah dengan iklim lebih bagus serta tanah lebih subur dibandingkan Yudea, dan tempatnya lebih strategis juga. Jadi Kerajaan Utara ini kerajaan yang lebih prosper pada zaman kesepuluh suku tersebut menjadi kerajaan yang disebut Israel, setelah perpecahan kerajaannya Salomo. Mereka lebih prosper sebab wilayahnya lebih dilewati traffic bangsa-bangsa dibandingkan daerah Yudea. Namun di sisi lain, mereka juga lebih open terhadap pengaruh-pengaruh dari agama-agama di luar Yahudi. Mereka adalah bangsa yang lebih sinkretis sifatnya. Kita tahu, raja-raja Israel itu tidak ada satu pun yang berkenan di mata Tuhan, semuanya jahat di mata Tuhan; sedangkan raja-raja Yehuda, setidaknya ada dua raja yang masih agak mendingan.
Kalau kita bicara mengenai Samaria, kita perlu bicara mengenai Samaria pada waktu/kurun tertentu; dan khususnya dalam catatan Lukas ini adalah Samaria dalam era Second Temple Judaism, era di mana Yesus ada. Pada masa itu Samaria bukan hanya ditempati orang Yahudi, Samaria adalah wilayah yang merupakan bekas Kerajaan Israel yang pada waktu itu sudah tidak ada, karena tahun 724 Sebelum Masehi sudah dihancurkan/dibubarkan oleh Asiria. Asiria adalah negara super power –kira-kira seperti Rusia atau Amerika sekarang– yang dengan gampang menghancurkan kerajaan-kerajaan yang menentang dia. Policy dari Asiria ketika menghancurkan suatu wilayah adalah memindah-mindahkan penduduknya (penduduk yang ada di situ dipindahkan keluar, lalu penduduk dari wilayah taklukan yang lain dipindahkan ke situ) supaya tidak mudah memberontak kembali.
Salah satu akibatnya, orang-orang yang dipindahkan ke wilayah yang jadi Samaria ini, tidak akrab dengan wilayahnya; dan mereka kemudian mencoba menjelaskan fenomena-fenomena yang mereka hadapi sebagai kesulitan, dengan cara-cara yang mungkin tidak sepenuhnya tepat. Mereka semacam mengalami ‘daerah ini banyak hantunya, roh-roh di sini tidak ramah kepada kami’, lalu mereka meminta agar ada imam-imam yang asli dari daerah tersebut untuk mengajari caranya menaklukkan roh-roh lokal di situ. Jadi dipanggillah imam-imam dari Kerajaan Israel yang mula-mula, untuk mengajari mereka agama yang kurang lebih menyembah Yahweh. Dikatakan ‘kurang lebih’ ini tergantung tanyanya kepada siapa; kalau tanyanya kepada Yerusalem, obviously penyembahan tersebut adalah penyembahan yang menyimpang, penyembahan yang mengikuti Yerobeam. Jadi ini adalah sesuatu yang diajarkan kepada penduduk yang berasal dari agama-agama lain, dari bangsa-bangsa lain, di tanah Samaria tersebut. Itu sebabnya dari semula –dan sudah jadi tradisi yang cukup matang pada zaman Yesus– bahwa mereka mengikuti semacam agama sinkretis, teologi mereka adalah teologi campuran, mereka adalah bangsa-bangsa asing yang belajar agama Yahudi dari imam-imam yang tidak diakui oleh Yerusalem –kira-kira begitu.
Mengapa tidak diakui oleh Yerusalem? Dalam hal ini kita harus mundur lagi ke belakang, ke masa sebelum Second Temple, yaitu masa perpecahan kerajaan yang terjadi saat Salomo mati. Ketika Salomo mati, dia digantikan oleh anaknya, Rehabeam. Rehabeam mewarisi ketidakpuasan rakyat karena pajak yang tinggi. KerajaanSalomo memang bisa kita lihat dari dua sisi, sebagaimana setiap pemerintahan bisa dilihat dari dua sisi. Dari sisi atas, dari sisi orang-orang yang diuntungkan oleh rezim itu, akan melihat bahwa Kerajaan Salomo adalah masa keemasan, di mana konon perak tidak dihargai, perak tidak berharga, hanya seperti kerikil. Artinya apa? Di satu sisi, artinya kaya raya, sampai-sampai perak pun kayak kerikil; tapi di sisi lain, itu namanya devaluasi, sesuatu yang berharga jadi tidak berharga, artinya ekonomi susah bagi orang-orang yang lemah, meski mungkin gampang bagi orang-orang lain yang jumlahnya tidak banyak (jadi kalau kita mengalami ekonomi menjadi semakin sulit bagi orang-orang yang jumlahnya makin banyak tapi gampang bagi para pemenang, itu bukan hal baru, sejak Salomo pun seperti itu). Rehabeam anak Salomo ini mewarisi hal tersebut dari ayahnya, mewarisi kerajaan yang memang di mata internasional sepertinya dihormati, dari sisi atas memang hidup itu gampang, namun kalau kita tanya orang-orang di pinggir jalan, sepertinya tidak demikian, bagi mereka pajak terlalu tinggi, hidup sulit, dan mereka menjadi budak.
Mereka pada dasarnya mengalami apa yang sudah diperingatkan Tuhan melalui Samuel, “Kamu minta raja, rajamu akan mencekik kamu. Kamu minta raja, ya, dapat gengsi, kalau bertemu dengan kerajaan sebelah, kamu punya muka; tapi kamu bayar dengan apa?? Anak-anakmu akan jadi budak rajamu, penghasilanmu akan dipajakin oleh rajamu selain dipajakin oleh Bait Suci, dst.” –hidupmu akan lebih susah, hidupmu akan lebih diatur, kebebasanmu akan berkurang. Lalu orang Israel bilang apa? Mereka mengatakan, “Tidak apa-apa, biarin saja, kami mau raja, karena kerajaan-kerajaan lain punya raja sedangkan kami tidak. Mereka punya kekuatan, punya kesatuan, kami tidak punya, kami payah” –padahal mereka punya kebebasan, mereka punya Tuhan, mereka punya kebahagiaan, namun mereka bilang itu tidak cukup. Mereka bilang, “Yang kita perlukan adalah figur kuat yang mempersatukan.” Tuhan kemudian memberikan mereka Saul, yang menjadi raja pertama Israel, lalu diteruskan oleh Daud, dan terakhir oleh Salomo, di mana yang mereka alami adalah memang benar mereka bersatu, memang benar mereka punya kekuatan politis, disegani di region itu, tetapi pelan-pelan hidup mereka makin tidak mencerminkan visi pembebasan dari Tuhan kepada umat-Nya.
Pada masa kematian Salomo, ketidakpuasan rakyat ini memuncak, dan akhirnya Rehabeam mewarisi itu semua. Dia lalu minta nasehat kepada dua pihak. Pihak yang lebih tua, yang lebih bijaksana, menasehati dia: “Ya, sudahlah, berilah yang rakyat minta. Kamu ‘kan juga baru saja naik, kamu ‘kan belum punya kekuatan militer dan dukungan yang banyak dari para pembasar, jadi ya, sudahlah, kamu mengalah sedikit.” Sedangkan nasehat dari orang-orang muda, kawan-kawan Rehabeam, bertolak belakang. Mereka bilang, “Papamu itu mengigitnya kurang keras, kamu gigit lebih gigit lagi, karena kalau kamu mudur satu langkah, mereka akan maju dua langkah, lalu lama-lama kepalamu akan diinjak-injak rakyat. Jadi kamu harus punya ketegaan dalam menjadi pemimpin.” Inilah yang kemudian dituruti oleh Rehabeam. Dia mengatakan dengan slang khas Ibrani zaman itu: “Kelingkingku ini lebih besar daripada pinggang ayahku.” Perkataan ini kalau secara literal kita tidak bisa mengerti, seperti lebay banget bilang kelingking lebih besar daripada pinggang, tapi kalau kita belajar sejarah dari istilah tersebut, ini adalah slang yang agak-agak vulgar. Maksudnya kira-kira begini: kelingking saya lebih besar daripada penis papa saya (karena ‘pinggang’ merupakan eufemisme dari ‘penis’, alat kelamin pria). Artinya: papa saya tidak punya keberanian; kalau kamu merasa papa saya itu jantan, hebat, luar biasa bikin kamu takut, berarti kamu belum lihat apa-apa, karena saya lebih hebat daripada papa saya; “Kamu merasa tertindas sekarang? Kamu merasa hidupmu sulit sekarang? Huh, siap-siap saja, zaman saya akan lebih susah, kamu akan lebih saya injak lagi, dan kamu tidak bisa apa-apa”. Kira-kira begitulah yang dikatakan Rehabeam berdasarkan nasehat orang-orang muda.
Hal tersebut menyebabkan apa? Menyebabkan ungkapan “kembali ke kemahmu, hai Israel”. Di bawah kepemimpinan Yerobeam, para demonstran mengatakan “kembali ke kemahmu, hai Israel”. Kembali ke kemahmu, maksudnya adalah: kembali ke zaman dulu, kita tidak lagi mendukung raja ini. Dan memang betul Rehabeam tidak didukung oleh 10 suku Israel, mereka bubar jalan, kembali ke negara bagian masing-masing. Ini kira-kira seperti yang terjadi dalam perang sipil Amerika di mana mereka kemudian bikin konfederasi di selatan, tidak mau mengikuti keputusan dari pusat/federal. Kalau di Amerika hal ini dimenangkan oleh pusat, dalam zaman Israel kuno yang menang adalah konfederasi Israel di utara yang kemudian membentuk kerajaan sendiri. Yehuda hanya didukung oleh beberapa gelintir, selain suku Yehuda sendiri ada suku Benyamin (karena jumlahnya hanya sedikit) dan suku Lewi (karena Lewi memang tidak punya tanah). Dengan demikian terjadilah Kerajaan Yehuda dan Kerajaan Israel. Kerajaan Israel tentu dipimpin oleh Yerobeam. Yerobeam mendirikan tempat penyembahan di Bukit Gerizim. Ini sejenis penyembahan yang mirip penyembahan zaman Harun dengan patung lembu emasnya (bukan lembunya yang disembah tapi hanya semacam kendaraan dari Yahweh yang membebaskan mereka dari Mesir).
Kerajaan Utara inilah yang mengalami dikosongkan oleh Asiria lalu diisi oleh orang lain, yang kemudian mengambil agama mereka sebagian dan dicampur-campur menjadi sejenis komunitas Samaria, yang agamanya menerima Taurat juga, namun orang Yerusalem akan mengatakan ‘yang kayak begini, sesatlah; yang kayak begini, sama sekali tidak masuk kerajaan surga’. Dan, Filipus masuk menjelajahi negeri Samaria itu sambil memberitakan Injil. Kenapa Filipus bisa sampai menjelajahi wilayah itu? Filipus ini siapa?
Filipus sampai ke negeri itu karena terjadi penganiayaan yang hebat di dalam jemaat Yerusalem (pasal 8:1b); dan Filipus adalah salah satu dari diaken-diaken yang dipilih untuk melayani jemaat yang berbahasa Yunani (pasal 6:5). Satu diaken sudah dibunuh, yaitu Stefanus, lalu terjadilah penganiayaan yang hebat itu; dan Filipus mengungsi keluar Yerusalem. Tapi rupanya bukan semua jemaat Kristen mengungsi keluar Yerusalem, buktinya Petrus dan Yohanes masih di sana; dan bukan hanya mereka berdua doang, mereka disertai jemaat yang berbahasa Ibrani, jemaat keturunan orang Yahudi –bisa dibilang orang Yahudi totok—yang stay di Yerusalem, sementara jemaat yang bukan keturunan Yahudi tersebar.
Filipus kemudian sampai ke sebuah kota (Lukas tidak memberitahu nama kotanya, kemungkinan Sabaste, ibu kota Samaria pada masa itu), dan memberitakan datangnya Kerajaan Tuhan di tengah orang-orang Samaria. Ini menarik, karena datangnya Kerajaan Tuhan memang harus disampaikan kepada orang-orang Samaria. Yesus bilang, “Kabarkanlah datangnya Kerajaan ini di seluruh Yudea, Samaria, dan sampai ke ujung bumi”, namun mereka tadinya ngendon di Yerusalem, dan tidak dicatat mengabarkan kabar baik itu sampai ke Samaria hingga pasal 8:4, baru sesudah itu mereka sampai di Samaria. Yang membuat mereka sampai di Samaria adalah sesuatu yang tidak baik, yaitu penganiayaan jemaat berbahasa Yunani di Yerusalem. Itulah yang membuat mereka terpaksa mengungsi; dan dalam pengungsiannya, mereka membawa-bawa kabar soal Kerajaan itu.
Menarik kalau kita perhatikan, bahwa di Samaria itu mereka berjumpa dengan konteks yang beda banget. Kalau di Yerusalem, mereka bertemu dengan orang-orang Yahudi yang punya Bait Suci, punya tradisi panjang yang mereka familier, yang teologinya somehow benar, hanya saja tidak setuju dengan Yesus yang adalah Mesias (Yesus sendiri mengatakan ‘ikuti ajaran mereka, tapi jangan kelakuan mereka, religious piety-mu harus lebih baik daripada orang-orang Farisi; Yesus sendiri endorse setidaknya sebagian dari ortodoksi ataupun theopraksi mereka in a way, walaupun tentunya ‘menelan rumah janda-janda’ tidak termasuk). Lalu bagaimana dengan Samaria? Hanya tercatat sedikit bahwa Yesus mampir di Samaria, salah satunya sebagaimana Yohanes mencatat, yaitu perjumpaan Yesus dengan seorang perempuan di tepi sumur. Yang pasti, Samaria adalah tempat yang asing, di mana orang-orangnya somehow ada hubungan dengan Yerusalem, membaca Taurat yang sama (sebagian besar sama, beberapa berbeda), merayakan hari-hari raya yang kurang lebih terdengar sama. Tetapi, beberapa orang di antara mereka (orang Yahudi) sudah menanamkan prejudice bahwa Samaria adalah daerah yang sesat, agamanya secara superfisial somehow banyak samanya tapi mereka itu sesat, mereka adalah bagian dari 10 suku Israel yang terhilang. Namun orang Samaria ini rupanya juga memiliki pengharapan mesianik, dalam pengertian mereka mengharapkan datangnya juruselamat dunia, juruselamat dari kejahatan dunia ini; dan itu sebabnya mereka mengikuti Simon Sihir atau Simon Magus (dari sini kemudian muncul istilah simony, yang artinya kira-kira adalah orang yang menganggap kekuatan Tuhan bisa diperjualbelikan atau semacam mendatangkan untung, bisa mendoakan orang lalu jadi sakti sehingga diakui sebagai orang yang punya power, lalu mendapat keuntungan keuangan dari situ; praktik-praktik semacam itu disebut simony).
Simon Sihir ini adalah salah satu orang yang menyaksikan pemberitaan Injil dari Filipus. Pemberitaan Injil tersebut rupanya bukan sekadar seperti kelas STRIJ atau khotbah di GRII yang mengisi otak kita dan barangkali juga mengubah afeksi kita, tapi disertai juga dengan penyembuhan orang-orang lumpuh, pembebasan orang-orang yang kerasukan, seperti yang dilayankan Yesus. Hal itu menerbitkan sukacita besar dalam kota tersebut; dan Simon Sihir, yang adalah bintang di kota itu, seseorang yang pegang power, rupanya tidak melawan datangnya Filipus. Biasanya, kita menjumpai narasi di mana penguasa lokal tidak suka dagangannya diganggu (belakangan diceritakan Paulus mengalami mendapat perlawanan di tempat-tempat di mana banyak orang mendapatkan untung dari berjualan patung Dewi Artemis), tapi di Samaria ini rupanya Simon Sihir, bintang/pentolan di situ, tidak melawan datangnya berita Injil dari Filipus. Simon Sihir ini mendukung sekali, dia ikut dibaptis.
Saudara bayangkan, sudah bertahun-tahun satu kota itu menganggap Simon Sihir sebagai sosok mesias, agen tunggal Tuhan, lalu sekarang datang saingan, yaitu Filipus, lalu Simon dibaptis. Figur yang dibaptis ‘kan kayak menundukkan diri, mengikatkan diri dengan setia menjadi pengikut; dan Simon Sihir dibaptis! Dia ikut dalam sukacita besar kota tersebut, dan dia mengikuti Filipus ke mana-mana. Kita bisa belajar apa dari hal ini? Kita bisa belajar bahwa orang-orang yang tidak melawan, kita memuji Tuhan untuk itu; orang-orang yang mengikuti pelayanan kita, itu bagus, dan kita memuji Tuhan akan hal ini. Tetapi, itu baru separuh ceritanya, karena Simon Sihir ini setelah mengikuti Filipus ke mana-mana, dan sepertinya dengan rendah hati –padahal tadinya dia figur sentral di kota Sabaste itu– dia memberi diri di depan semua orang untuk dibaptis, kemudian terlihat apa motif sebenarnya. Ketika itu, setelah rasul-rasul di Yerusalem mendengar tanah Samaria menerima firman Allah, mereka mengutus Petrus dan Yohanes, dan di sinilah baru tersingkap apa motif Simon.
Sebelum masuk ke sana, saya tertarik untuk membahas komentar Lukas di bagian ini, ‘Ketika rasul-rasul di Yerusalem mendengar, bahwa tanah Samaria menerima firman Allah, mereka mengutus Petrus dan Yohanes ke tanah Samaria’. Kalau kita amati, ungkapan Lukas adalah: rasul-rasul di Yerusalem mengutus Petrus dan Yohanes. Yang diutus dan yang mengutus, mana lebih besar? Pernahkan kita mendengar misalnya ‘Pablo Escobar diutus oleh kartel ini ke situ’? Atau misalnya El Chapo, atau Al Capone, atau gangster siapalah, yang diutus oleh geng-nya? Ya, enggaklah. Itu ‘kan ungkapan yang terbalik, harusnya ‘Pablo Escobar mengutus siapalah ke Los Angeles atau manapun untuk menghabisi lawannya’, ‘gak mungkin kalau Pablo Escobar sendiri yang diutus. Jadi, kalau dikatakan ‘Petrus dan Yohanes diutus oleh rasul-rasul di Yerusalem’, kita lalu bertanya, siapa rasul-rasul yang mengirim Petrus dan Yohanes ini, koq, berani-beraninya? Bukankah itu terbalik ordonya; Petrus dan Yohanes ‘kan kepala geng-nya, koq mereka yang diutus/dikirim?? Saudara, di sini Lukas dengan casual sedang mengungkapkan sistem operasi dari Gereja-mula-mula, di antaranya Gereja Yerusalem, bahwa Petrus dan Yohanes bukan kepala geng, bukan big boss, bukan kepala mafianya; mereka beroperasi dengan kolegialitas yang mungkin bisa diwakili dengan istilah primus inter pares, bahwa kalau pun ada koordinatornya, dia itu adalah yang nomor satu di antara yang setara. Jadi bukan Petrus dan Yohanes itu bos dari segala bos lalu bisa perintah-perintah siapapun di Gereja Yerusalem ataupun komunitas yang lain, melainkan mereka pun bisa diutus oleh rasul-rasul Yerusalem atas kesepakatan bersama. Apakah mereka lalu anarki, tidak punya pimpinan? Mereka punya; pimpinannya adalah Yesus, yang memerintah dari ruang komando di surga, karena Dia sudah naik ke surga. Yesus tidak mundur ke belakang, menyerahkan tongkat komandonya kepada Petrus –demikian dalam gambaran Lukas– Dia tetap memerintah dari surga, sementara orang-orang tersebut adalah orang-orang yang setara.
Mereka mengutus setelah melihat sesuatu; apakah itu? Mereka melihat pekerjaan Roh Allah di tengah orang-orang Samaria, lewat respons orang-orang Samaria. Bagaimana pekerjaan Allah bisa dilihat, didengar? Apakah mereka mendapat mimpi dari Tuhan atau apapun itu? Tidak –tidak selalu. Mereka dalam hal ini mengobservasi apa yang terjadi secara “natural” (walaupun saya kurang senang pakai istilah natural karena buntutnya selain natural lalu supernatural, lalu bagaimana membedakan natural dan supernatural, dst., dan pembicaraannya jadi tidak konsisten). Secara natural –secara lumrah– mereka bisa mengobservasi itu, bukan cuma orang-orang khusus yang dibukakan matanya lalu bisa melihat pekerjaan Roh; mereka bisa melihat dengan cara-cara yang biasa, cara-cara providensial dari Allah. Mereka melihat memang ada pekerjaan Tuhan di tengah tanah Samaria, tanah yang gelap itu, tanah yang sesat itu, tanah yang teologinya keliru –dan kemudian mereka mengutus Petrus dan Yohanes.
Ketika Petrus dan Yohanes sampai di sana, mereka mengetahui bahwa orang-orang Samaria belum dipenuhi oleh Roh Allah; dikatakan di bagian ini: Roh Kudus belum turun di atas seorang pun di antara mereka.Kemudian keduanya menumpangkan tangan atas mereka, dan mereka menerima Roh Kudus. Simon Sihir melihat hal ini; dan pembaca diberitahu oleh Lukas bahwa Simon Sihir ini punya motif yang tidak murni, motif dia rupanya tetap adalah keuntungan, power. Dia melihat ‘lho, koq ternyata bisa ya, membuat seseorang punya kemampuan istimewa tertentu yang tadinya hanya dimiliki oleh sekelompok orang, ditularkan lewat gestur penumpangan tangan’. Lalu Simon Sihir bukan mengatakan, “Petrus, bikin aku kepenuhan Roh, ini nih duit”; yang dia katakan: “Petrus, beri aku kemampuan bikin orang lain kepenuhan Roh, ini duit, mau ‘gak?”
Kemudian Petrus bilang apa? Dalam terjemahan J.B. Phillips, “New English Bible”, dikatakan: “Hell with you and your money” —Petrus di sini pakai kata-kata yang kasar, kata-kata makian; dalam terjemahan TB2 dikatakan, “Binasalah kiranya uangmu itu bersama dengan engkau” –setingkat kurang kasar dibandingkan terjemahan J.B. Phillips. Lalu lanjutannya: “Soalnya engkau menyangka dapat membeli karunia Allah dengan uang”. Karunia (kharismata) adalah pemberian yang cuma-cuma, Tuhan memberi kepada siapa Dia mau memberi, tidak bisa Dia dipaksa, tidak bisa Dia dirayu dengan duit. Dengan kata lain, ini bukan transaksi, ini bukan this for that, ini adalah pemberian Allah yang cuma-cuma.
Petrus melanjutkan: “Tidak ada hakmu dalam hal ini, soalnya hatimu tidak lurus di hadapan Allah; jadi bertobatlah.” Kita tahu dari catatan Lukas yang sebelumnya, Simon Sihir ini sudah dibaptis, dan itu mungkin sudah beberapa minggu sebelumnya, tapi koq, masih disuruh bertobat di sini? Rupanya istilah “bertobatlah” dalam definisi Lukas tidak hanya bagian atau panggilan atau perintah bagi orang non-Kristen. Jadi “bertobat” bukan istilah yang sekadar berarti lu jadi Kristen, melainkan berbaliklah dari kejahatan; dan yang jahat bukan cuma orang non-Kristen, tapi juga orang Kristen –dalam hal ini, Simon sudah dibaptis.
Kembali ke bagian tadi, ketika Petrus menumpangkan tangan atas mereka, mereka itu menerima Roh Kudus. Pertanyaan kita: termasuk Simon Sihir atau tidak? Tidak tertutup kemungkinan ini termasuk Simon Sihir. Jadi kita belajar apa dari bagian ini? Kita belajar bahwa orang-orang yang sudah menerima karunia Allah pun, orang-orang yang bahkan teologinya benar pun, masih tetap punya kebutuhan, punya panggilan, punya utang, untuk bertobat, karena mereka masih bisa jahat juga, masih bisa punya hati yang jahat juga. Dalam diagnosa Petrus, Simon ini hatinya memendam iri, memendam pahit; dan itu menjerat dia dalam kejahatan.
Respons Simon: dia minta didoakan. Ini mirip seperti responsnya Firaun dan Abimelekh yang minta didoakan Abraham; dan di sini Simon minta didoakan oleh Petrus. Namun dari permintaannya, kita tahu bahwa Simon Sihir bukan berdoa ‘kiranya Tuhan mengampuni, kiranya Tuhan tidak marah lagi, kiranya Tuhan berkenan lagi pada saya’, melainkan ‘kiranya yang kamu katakan itu, yang serem-serem banget itu, tidak terjadi pada saya’. Jadi dia hanya takut hukuman Tuhan saja.
Tidak dicatat apakah Petrus kemudian mengabulkan hal itu. Tidak dicatat misalnya: Petrus kemudian memandang Simon Sihir dengan mata yang penuh belas kasihan, memegang pundaknya dengan lembut, lalu mengatakan, “Jangan takut, Simon, Tuhan mengampuni dosamu” –tidak dikatakan begitu. Jadi tidak dikatakan bahwa Petrus berespons dengan positif; tapi juga tidak dikatakan Petrus lalu bilang, “Enyahlah engkau, iblis!” Lukas tidak mencatat respons Petrus atas permintaan Simon. Yang pasti, Petrus dan Yohanes kemudian bersaksi dan memberitakan firman Tuhan dalam perjalanan pulang ke Yerusalem; mereka pulang dan memberitakan datangnya Kerajaan Allah di banyak kampung orang Samaria ini.
Sampai di sini, kita bisa belajar apa dari narasi ini? Saya kira, salah satunya kita bisa belajar bahwa orang-orang Yerusalem memandang dirinya sendiri sebagai benar, dan memandang rendah orang Samaria. Kita lihat ini dalam perumpamaan “Orang Samaria yang baik hati” (entah tepat atau tidak tepat judul tersebut). Dalam perikop itu, Tuhan Yesus salah satunya menyenggol sikap orang-orang Yerusalem yang menganggap orang Samaria bahkan bukan sebagai sesama, karena pertanyaan yang diajukan kepada Yesus adalah ‘jadi siapakah sesamaku manusia?’ Tentu maksud mereka ‘sesamaku’ itu tidak termasuk orang non-Yahudi, tidak termasuk bahkan orang Samaria walaupun orang Samaria berpotensi mengandung darah Yahudi juga. Orang-orang Yerusalem memandang rendah orang Samaria, yang bahkan masih sedarah dengan mereka –setidaknya ada bagian material genetik yang sama– namun dalam perumpamaan tadi, Yesus mau mengungkapkan ‘orang Samaria itu ada yang memandang kamu sebagai sesama, tapi kamu tidak memandang mereka sebagai sesama’.
Jadi, orang-orang di Yerusalem memandang rendah orang-orang non-Yahudi dan Samaria; padahal orang-orang Samaria ini bisa juga mereka menunggu datangnya Kerajaan Allah, dan Tuhan bisa juga datang kepada mereka, bahkan tanpa melalui agen tunggal Tuhan yaitu Bait Suci Yerusalem. Dalam hal ini kalau kita melihat dari segi Kristen, Petrus dan Yohanes datangnya belakangan setelah Filipus; Tuhan memakai Filipus, diaken dari komunitas Gereja berbahasa Yunani. Filipus adalah bagian dari Gereja demikian, yang seakan-akan marginal dalam Gereja-mula-mula di mana janda-jandanya sempat terabaikan tidak mendapat bansos; dan Filipus itulah yang dipakai Tuhan pertama-tama untuk mengabarkan kabar datangnya Kerajaan Allah di tanah Samaria –dan Tuhan menyertai Filipus. Tuhan menyertai Filipus bukan hanya dengan firman yang benar dan teologi yang benar, tapi juga dengan kuasa; dan hal itu menerbitkan sukacita yang besar dalam kota tersebut. Kita melihat ini berbeda sekali dengan repons mereka terhadap Simon Sihir. Terhadap Simon Sihir, respons mereka adalah takjub, itu saja; sedangkan terhadap pemberitaan Filipus, mereka gembira, mereka penuh sukacita akan pekerjaan Tuhan. Tidak penting yang membawakannya Filipus-lah, atau Stefanus-lah, atau Timotius-lah, atau siapapun itu, yang penting adalah kabarnya, yang penting Roh Tuhan datang ke tengah mereka. Setelah itu, baru kita melihat Petrus dan Yohanes datang –ini satu poin.
Poin yang kedua, Roh itu tidak dicurahkan kepada orang-orang di Samaria ini sebelum Petrus datang. Ini bicara apa? Van den Brink mengatakan, bahwa mereka belum mendapatkan Roh Allah sebelum Petrus dan Yohanes datang, itu menyatakan bahwa Tuhan menunggu sampai orang Samaria mendapatkan kesempatan full communion dengan Gereja secara utuh, bukan hanya dengan pemberita Injil yang adalah bagian dari Gereja berbahasa Yunani; dan itu adalahketika Filipus kolaborasi dengan Petrus dan Yohanes yang berbahasa Ibrani. Ketika itu memang komunitasnya baru dua bahasa tersebut, yaitu keturunan Yahudi berbahasa Ibrani dan orang-orang yang berbahasa Yunani. Jadi Tuhan itu menunggu, supaya Gereja tidak terpecah-pecah; Tuhan menunggu adanya kolaborasi dalam misi ini, baru kemudian Roh Allah dicurahkan kepada orang-orang di Samaria ketika Petrus dan Yohanes datang.
Hal tersebut apa hubungannya dengan ‘orang Yerusalem memandang orang Samaria itu rendah, orang Samaria itu tidak punya Tuhan’ ? Saya kira, hubungannya baru bisa kelihatan kalau kita kaitkan dengan kenyataan bahwa Simon Sihir diberi kesempatan bertobat. Walaupun Lukas tidak mencatat pertobatan Simon Sihir, dan Gereja sepertinya mengidentikkan nama Simon Sihir dengan praktik perdukunan, namun Simon Sihir tidak dicatat dihukum mati di sini. Simon Sihir tidak mengalami misalnya setelah ditegur Petrus lalu mati di tempat seperti Ananias dan Safira. Ananias dan Safira tidak mendapat kesempatan bertobat, Petrus hanya membacakan vonis hukuman mati, “Mampus kamu, Ananias dan Safira” –itu saja. Simon Sihir tidak dibacakan vonis seperti itu, cuma dikatakan, “Binasalah uangmu bersama dengan engkau, karena engkau menyangka, bahwa engkau dapat membeli karunia Allah dengan uang. Tidak ada hakmu di situ, bertobatlah”. Ananias tidak mendengar seperti itu, tidak ada “bertobatlah”, dia cuma dengar “binasalah”, lalu dia binasa. Memang tidak dicatat Simon Sihir bertobat atau tidak, tapi dia dapat kesempatan; kenapa? Saya kira, karena teologinya dia tidak bagus, karena dia dari tanah Samaria yang memang tidak ada harapan dapat teologi yang proper.
Dalam hal ini, kalau kita gabungkan dengan yang pertama, saya kita kita bisa dapat satu poin mengenai ketika kita berjumpa dengan orang-orang yang menurut kita teologinya tidak proper.Saya pernah dengar orang mengatakan, “Kalau kamu tidak sempat terekspos dengan teologi yang benar …”, yang saya dapat kesan seolah-olah maksudnya tidak sempat baca Louis Berkhof atau Hendrikus Berkhof atau siapapun itu lalu happened to be pengertian Tritunggalnya melesat atau mengenai Dwi-natur Kristus meleset, maka masuk nerakalah orang itu karena menyembah Allah yang salah. Tentu saja pengertian teologis yang tidak tepat memang fatal, tapi kemudian saya pikir-pikir, kalau demikian apakah Tuhan menyelamatkan kita dengan ada persyaratannya, yaitu teologinya musti proper dulu?? Jadi kita memang diselamatkan dengan anugerah Tuhan, melalui iman saja, tapi plus-nya adalah proper theology, kalau tidak ada proper theology maka tidak diselamatkan? Jadi selain beriman menerima Yesus sebaga Juruselamat, juga harus punya proper theology baru masuk surga? Kalau begitu, nanti surga isinya orang-orang yang sudah khatam baca Hendrikus dan Louis Berkhof, sedangkan kalau tidak, tidak ada di sana? Saya pikir-pikir, ini tidak masuk akal, sepertinya ada yang salah di situ.
Saya bukan mau mengatakan teologi tidak penting –pasti tidak– tapi saya mau mengatakan, kalau kita membaca bagian ini, kita melihat bahwa proper theology bukan hanya punya nilai plus di hadapan Tuhan tapi juga nilai minus. Nilai minusnya adalah: orang yang punya teologi yang benar/akurat, mereka mereka itu juga mendapatkan lebih sedikit kasih karunia barangkali, seperti Ananias dan Safira, karena mereka punya kesengajaan, punya keberanian, atau kejahatan yang sepertinya lebih keji, karena pengertian mereka itu. Ini mirip seperti kalau orang melakukan sesuatu kejahatan karena tidak tahu, karena tidak sadar, ‘kan dia lebih ada alasan untuk diampuni juga ya, seperti dia itu tidak terlalu jahat berhubung dia tidak tahu saja. Mungkin ini satu spirit dengan yang didoakan Yesus: “Bapa, ampuni mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan”; dan indeed orang-orang yang menyalibkan Yesus itu tidak tahu secara penuh mereka melakukan apa sebetulnya, kalau mereka tahu –demikian kata Paulus– mereka tidak menyalibkan Anak Allah. Seperti juga Stefanus mengatakan kepada Tuhan agar mengampuni orang-orang yang melemparinya dengan batu karena mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan somehow. Saya kira, hal yang sama bisa dikatakan bahkan terhadap Simon Sihir ini, dia tidak tahu apa yang dia minta dan tawarkan kepada Petrus, di mana Roh Kudus koq mau diperjualbelikan, itu sesuatu yang outrageous banget, dia mengutarakannya karena ketidaktahuan. Dengan demikian, secara spekulatif kita bisa katakan sebagaimana Van den Brink bilang, karena itulah mungkin Simon Sihir masih diberikan kesempatan untuk bertobat.
Demikian pelajaran yang kedua, pengetahuan teologis bukan hanya berpotensi untuk kita banggakan, tapi juga berpotensi untuk membuat kita lebih gentar, merasa bertanggung jawab, dan tentu tidak lebih lebih baik daripada orang lain. kita tahu, orang-orang di Yerusalem yang sepertinya secara teologis lebih benar daripada orang-orang Samaria, mereka itulah yang bersekongkol untuk menyalibkan Yesus, bukan orang-orang di Samaria. Jadi, dosa orang-orang yang lebih dekat dengan kebenaran barangkali bisa lebih besar karena mereka lebih tahu apa yang mereka lakukan.
Yang ketiga, semua hal-hal yang buruk ini –penganiayaan kepada jemaat di Yerusalem, perpecahan antara komunitas keturunan Yahudi asli yang berbahasa Ibrani dengan komunitas orang-orang Kristen Yunani, adanya orang-orang seperti Simon Sihir yang mengambil untung dan punya motif power, money, maybe fame juga —dalam urusan datangnya Kerajaan Allah, itu memang buruk, namun Tuhan bisa memakainya untuk kebaikan. Misalnya yang pertama, bahwa sudah lewat beberapa masa sejak perintah Tuhan untuk mengabarkan datangnya Kerajaan Allah di seluruh Yudea, Samaria, sampai keujung bumi, dan itu tidak kunjung dikerjakan; namun pada akhirnya mereka kerjakan melalui penganiayaan di Yerusalem. Yang kedua, perpecahan –atau semacam ketidakenakan– antara komunitas berbahasa Ibrani dan Yunani, Tuhan pakai juga untuk menunjukkan kuasa-Nya di tengah orang-orang Samaria ketika Simon Magus kemudian mendapat kesempatan berinteraksi dengan dua macam orang, yaitu dengan Filipus (yang sepertinya melewatkan praktik-praktik dan motif-motif dia lalu membaptiskan dia, dan mungkin juga ditegur oleh Petrus) dan dengan Petrus; dan toh itu Tuhan pakai untuk memaparkan hal-hal ini kepada kita. Yang ketiga, bahwa ini semua tidak mampu menghentikan Tuhan; kejahatan kita, kebodohan kita, arogansi kita, segala ketidaktaatan kita, tidak mampu menghentikan Tuhan untuk melakukan hal-hal yang Dia ingini.
Tentu ini bukan panggilan untuk ‘ya sudah, tidak usah peduli saja’, tapi maksudnya adalah: Tuhan tidak butuh kita, tapi Dia menginginkan kita dan melibatkan kita. Kalau kita menekankan sisi yang satu tok, bahwa Tuhan tidak butuh kita, kita bisa patah arang, patah hati. Perasan tidak dibutuhkan itu rasanya seperti direndahkan; “gua ‘gak butuh lu”, itu kita sering memakainya sebagai weapon. Tapi itu bukan sikap Tuhan. Memang Tuhan tidak butuh kita, itu defacto, namun Dia menginginkan kita. Kalau kita menekan-nekankan entah kepada anak kita atau anak buah kita atau bawahan kita, apakah kita juga menekankan hal yang lain? Tuhan tidak pernah menekankan ‘Gua ‘gak butuh lu’, dan Tuhan menekankan ‘Gua mau lu’, karena defacto-nya Tuhan memang tidak butuh kita tapi Dia mau melibatkan kita. Tuhan bisa menciptakan jagat raya ini –kata Agustinus–tanpa kita, namun Dia menyelamatkan jagat raya ini, termasuk menyelamatkan manusia, dengan memakai kita. Kenapa Tuhan menyelamatkan jagat raya ini antara lain dengan melibatkan kita? Jawabannya bukan karena Dua butuh, melainkan karena Dia mau. Kalau kita melibatkan orang lain karena butuh, itu namanya memperalat atau membeli –persis seperti yang mau dilakukan Simon Magus. Memperalat atau membeli, itu bahasanya duit, kekuasan, transaksional. Tuhan tidak pakai bahasa transaksional, Tuhan pakai bahasa cinta; Gua ‘gak butuh lu –de facto– Gua ‘gak bilang Gua ‘gak butuh lu, yang Gua bilang adalah Gua mau lu, Gua mau lu terlibat, karena kamu mendapat kesempatan, karena Aku mencintai kamu, aku ingin melibatkan kamu.
Dalam proyek penyelamatan segala makhluk dan proyek pemulihan segenap kemuliaan Tuhan di tengah ciptaan ini, Dia melibatkan kita. Itu yang Dia tekankan. Dia melibatkan orang-orang seperti Filipus, orang-orang seperti Petrus, orang-orang seperti Yohanes, orang-orang seperti Anda dan saya. Bahkan secara perifer melibatkan ketidaktaatan orang-orang seperti Simon Magus, dan juga orang-orang lain di Samaria. Kiranya ini semua menerbitkan ucapan syukur yang bertambah-tambah bagi Tuhan yang murah hati atas kita.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading