Hari ini kita membahas mengenai Allah Tritunggal, karena Minggu lalu adalah Trinity Sunday. Trinity Sunday dalam Kalender Gereja adalah momen Gereja merenungkan mengenai Allah Tritunggal, setahun sekali.
Mendengar istilah Allah Tritunggal, kita langsung mikirnya ini urusanjelimet, tapi sesungguhnya setiap membicarakan Allah Tritunggal, kita bisa memakai pendekatan dari para penulis Alkitab. Waktu mereka menuliskan tentang Allah Tritunggal, bicara mengenai Bapa, Putra, dan Roh Kudus, Saudara tidak pernah membaca mereka menuliskannya dengan mengernyitkan dahi, seakan-akan menghadapi suatu problem matematika, gimana ini nyeleisainnya, koq kayak gini, koq bisa sih kayak gini. Setiap kali Bapa, Putra, dan Roh Kudus disebut dalam Perjanjian Baru, Saudara menemukan bukan saja mereka tidak berkerut dahinya, tapi juga mereka selalu menyatakan itu disertai puji-pujian, dengan kalimat yang menyatakan kekaguman di hadapan Tuhan. Ini satu hal yang kita mau coba pelajari, yaitu mempelajari Allah Tritunggal bukan dengan pendekatan matematika –karena itu mungkin pendekatan yang salah, tidak biblical— melainkan mendekatinya dengan pendekatan yang melihat suatu keindahan terkandung dalam doktrin ini. Inilah sepertinya pendekatan yang dipakai para penulis Alkitab.
Lagipula, kalau pun kita menemukan doktrin Allah Tritunggal ini doktrin yang cukup membingungkan, itu bukan satu hal yang negatif, karena kalau Saudara menemukan Allah yang selalu familier, selalu sejalan dengan pemikiranmu, selalu sesuai konsep dan harapanmu, maka itu adalah Allah yang tidak bisa dan tidak akan mengubah hidupmu; bukankah demikian? Kita tahu, perubahan-perubahan besar yang positif dalam hidup kita sering kali terjadi ketika kita bertemu dengan sesuatu yang tidak disangka-sangka. Makanan kesukaan Saudara hari ini, mungkin saja makanan yang waktu pertama kali Saudara coba, Saudara tidak suka, tidak yakin ini enak atau tidak waktu pertama kali melihatnya, tapi ternyata wah, ini makanan yang saya cari-cari dari dulu! Dalam hidup kita banyak hal seperti itu. Pertumbuhan kita sebagai orang Kristen sering kali justru ketika kita bertemu, atau pelayanan bersama, orang-orang yang kita tidak cocok, yang mungkin tidak akan kita jadikan teman kalau dalam konteks bekerja misalnya. Saya sendiri bisa memberi kesaksian, bahwa pertumbuhan saya sebagai seorang laki-laki paling pesat justru ketika saya bertemu dengan seorang wanita, yang berbeda dari saya cara berpikirnya dan segala sesuatunya, yaitu istri saya. Jadi, ini bukan satu hal yang kita harus hindari, karena tanda relasi yang sejati memang bukan kesamaan atau kemiripan. Tentu saja hal itu perlu ada juga –Saudara tidak bisa berelasi dengan amuba karena terlalu berbeda– tapi di sisi lain, sedikit banyak tanda dari relasi yang sejati justru ketika ada perbedaan, baik perbedaan cara pandang, kontroversi, atau bahkan konflik. Itulah momen-momen yang membuat relasi tersebut justru bisa mendatangkan buah. Oleh sebab itu, kalau kita mau berelasi dengan Tuhan, kita harus siap menerima bahwa Tuhan mungkin tidak gampang untuk dimengerti, tidak gampang untuk dikenal, namun itulah justru tanda bahwa relasi kita dengan Dia sejati. Satu hal, kita tidak usah datang kepada doktrin Allah Tritunggal dengan perasaan jelimet doang –kalau pun perasaan jelimat itu ada, itu tidak tentu satu hal yang negative– namun sekali lagi, adalah pendekatan dari Alkitab juga untuk melihat Allah Tritunggal sebagai satu hal yang indah, yang mengundang puji-pujian. Bagaimana bisa begitu? Inilah yang akan kita coba lihat dan ingat hari ini.
Pertama, apa itu Allah Tritunggal? Secara formulasinya –Tritunggal bukan ini dan bukan itu– Tritunggal bukanlah Tritheism, yang artinya ada tiga Allah; Tritunggal juga bukan Unipersonalism, yaitu satu Allah namun kadang-kadang berperan jadi A, jadi B, jadi C. (Satu ilustrasi yang ngawur dalam hal Unipersonalism, bahwa Tritunggal itu seperti seorang bapak, yang dalam satu hari dia bisa berperan sebagai karyawan kantor, lalu waktu pulang ke rumah dia berperan sebagai seorang suami, lalu waktu pergi ke rumah temannya maka dia berperan sebagai seorang sahabat, dst. –satu Allah tapi tiga peran; ini bukan Allah Tritunggal).
Kalau Saudara mau formulasi mengenai Allah Tritunggal, memang formulasinya dalam bentuk negatif, karena ini bukanlah satu hal yang bisa kita pahami secara sempurna. Jadi, Allah Tritunggal adalah Allah yang ke-satu-annya tidak lebih fundamental daripada ke-tiga-annya; dan yang ke-tiga-annya tidak lebih fundamental daripada ke-satu-annya. Allah ini adalah Allah yang somehow kesatuannya tidak lebih mendasar dibandingkan keragamannya, dan keragamannya tidak lebih mendasar daripada kesatuannya; keragaman dan kesatuannya ini bersatu-padu dalam diri-Nya. Bapa adalah Allah, Anak adalah Allah, Roh kudus adalah Allah, and yet hanya ada satu Allah. Koq, bisa? Inilah momen kita mulai mengernyitkan dahi; tetapi sekali lagi jangan melihat ini sebagai problem matematika. Coba kita pakai model yang lain untuk melihat ini sebagai sesuatu yang justru indah dan mengagumkan; coba kita pakai kacamata relasional, dan bukan kacamata matematis.
Saudara, sebabnya kita sulit mengerti hal ini, sebabnya kita mengernyitkan dahi akan hal ini, adalah karena kita selalu pikir yang namanya perbedaan, itu mengancam persatuan; yang namanya persatuan, itu mengancam perbedaan. Begitu kita bikin semua orang pakai seragam yang sama, maka kelompok orang ini perbedaannya jadi ditekan; tapi begitu kita memberikan mereka kesempatan pakai baju apa saja, maka cenderung jadi terpecah dan tidak bersatu –persatuan mengancam perbedaan, perbedaan mengancam persatuan. Tetapi di dalam relasi, perbedaan justru dasar dari persatuan; dalam sebuah relasi, persatuan harus mengandung perbedaan.
Contoh paling bagus akan hal ini bagi saya adalah dalam dunia musik (tentunya karena saya musikus, jadi saya tahunya cuma itu). Dalam dunia musik, yang namanya harmoni, itu datang bukan ketika ada dua not yang sama berbunyi; do bersama-sama dengan do, itu bukan harmoni melainkan nada yang sama. Harmoni justru datang ketika dua not berbeda berbunyi bersamaan, ada do, ada mi, ada sol, dst. Ketika mereka berbeda namun mereka berbunyi bersama-sama, ketika itulah kita menemukan yang disebut dengan harmoni. Musik-musik yang harmoninya luas dan limpah, maka semakin mendengar, Saudara akan semakin merasa kagum, semakin merasa indah. Justru keindahan dan meaning dalam musik baru ditemukan di dalam perbedaan. Musik tidak pernah cuma sama tok, musik tidak pernah cuma beda tok; musik adalah interaksi antara persamaan dan perbedaan, antara persatuan dengan keragaman. Selalu seperti itu. Itu sebabnya dalam sebuah musik, notnya tidak cuma satu; kalau cuma satu, itu bukan musik melainkan bunyi. Bunyi baru jadi musik ketika ada berbeda-beda nada, berbeda-beda ketukan, berbeda-beda instrumen, yang main bareng dalam satu harmoni yang sama. Saudara tidak bisa bikin musik yang bunyinya sama terus, “pep, pep, pep, pep, pep, pep, …”; itu bukan musik. Tapi kalau bikin musik yang beda total, misalnya dengan tekan satu not lalu tekan not yang lain lagi, dst., dan sama sekali tidak boleh mengulang not yang sudah ditekan, itu juga bukan musik. Jadi bagaimana caranya bisa bikin musik? Yaitu ketika kita boleh mengulang, tapi mengulang hal yang berbeda, “pap, pap, pap, pap, pap, pi ram pam, pip, pap, pap, pap, pap, pap, pi ram pam …” –ada bedanya, tapi ada samanya juga, dan ketika digabung bersamaan barulah namanya musik. Jadi, janganlah mendekati problem Allah Tritunggal dengan kacamata matematis; mungkin itulah sebabnya Saudara jadi sulit mengerti, bukan karena Allah Tritunggal yang problem, melainkan karena kacamata kita salah. Justru ketika kita memakai kacamata yang relasional –kacamata musikal misalnya– Saudara menemukan sekarang ada kacamata yang berbeda; waktu Saudara mendengar musik yang sama tapi beda, beda tapi sama, Saudara tidak mengernyitkan dahi, Saudara tidak merasa ‘aduh musiknya terlalu jelimet’, melainkan Saudara menikmati, Saudara merasakan musiknya limpah. Bahkan yang namanya persatuan dan perbedaan dalam musik, itu bukan cuma urusan bunyi, ketukan, dan nada, tapi juga interaksi antara dua hal yang amat sangat bertolak belakang, yaitu bunyi dan kesunyian (silence); kalau dalam suatu musik tidak ada kesunyian, maka tidak jadi musik. Sebuah musik yang tidak ada bunyinya, sudah pasti bukan musik; tapi sebuah musik yang tidak ada silence-nya, itu juga bukan musik.
Bunyi dan tidak bunyi, ini dua hal yang dalam pikiran kita harusnya bertabrakan, namun Saudara melihat keduanya bersatu dan saling mendukung –bukan hanya tidak bertabrakan tapi saling mendukung. Inilah yang kita namakan model relasional, kacamata relasional, di mana perbedaan tidak selalu mengancam persatuan, persatuan tidak selalu mengancam perbedaan; justru ada perbedaan-perbedaan yang malah membawa kesatuan, dan kesatuan-kesatuan yang ada malah selalu mengandung perbedaan. Pertanyaannya, koq bisa kayak begitu? Kenapa ada perbedaan yang mengancam persatuan, ada perbedaan yang malah mendukung persatuan? Jadinya apa bedanya? Bedanya ada, yaitu karena masing-masing yang berbeda ini, selalu hidup dengan arah ke luar, selalu hidup bagi yang lain –yang sini hidup bagi yang situ, yang situ hidup bagi yang sana– itu sebabnya yang beda jadi nyambung.
Dalam sebuah harmoni, tidak ada keegoisan. Ini membuat kita menyadari kenapa doktrin ini bukan doktrin yang mengawang-awang, melainkan sangat jelas hubungannya dengan hidup kita sendiri. Orang yang egois, bukan berarti dia tidak berinteraksi; orang egois justru sering kali berinteraksi dengan orang lain, tapi masalahnya, semua interaksi keluar tersebut ujungnya selalu ke dalam, saya melakukan segala sesuatu keluar ini ujungnya buat saya sendiri. Itu sebabnya orang egois bisa memberi makan orang miskin –bukan tidak bisa– tapi sejauh itu memberikan rasa enak dalam hatinya, dan selama hal tersebut tidak mengganggu gaya hidupnya sendiri. Saya punya uang lebih, saya berikan ke orang miskin, karena saya jadi merasa senang, saya bisa membantu mereka dengan uang saya; tapi amit-amit kalau harus mengubah gaya hidup saya demi bisa memberi kepada orang miskin, saya tidak mau. Jadi ada interaksi keluar tapi ujungnya ke dalam. Ini orang yang self-centered; orang yang egois bukan tidak ada interaksi, tapi semua interaksi yang dia lakukan selalu ujungnya ke dalam. Dia bisa punya teman, tapi temannya hanya dia pakai untuk mengisi kebutuhannya sendiri. Dia bisa melayani, tapi waktu dalam pelayanan mulai sedikit tidak nyaman baginya, dia langsung mengomel, baik kepada orang lain ataupun ke diri sendiri. Dia ingin segala sesuatu mengorbit dirinya. Itulah orang egois.
Waktu sekarang kita bandingkan dengan Allah Tritunggal, dengan model relasional tadi, ada satu hal yang luar biasa berbeda. Apakah Allah Tritunggal? Kenapa tiga bisa satu, satu bisa tiga? Apa yang mau dikomunikasikan dengan hal ini? Yaitu bahwa setiap Pribadi dalam Allah Tritunggal selalu memberi diri-Nya keluar, berinteraksi demi yang sana, ada self-giving love. Mereka saling memuliakan, Mereka saling memuji, Mereka saling mendahulukan, Mereka saling melayani, Mereka saling mengorbit satu sama lain. Inilah yang namanya Allah Tritunggal. Kembali ke ilustrasi musik, Saudara bisa membayangkan apa yang terjadi kalau setiap not dan setiap ketukan mau kedengaran sendiri, tentu tidak akan bisa terjadi musik. Kenapa perbedaan-perbedaan not dalam suatu musik bisa menjadi musik? Yaitu karena setiap nada eksis bagi yang berikutnya, atau juga yang sebelumnya. Misalnya Saudara menyanyikan 3 3 4 5 | 5 4 3 2 | 1 …dst., ada ‘gak misalnya 3 yang pertama bilang, “Gua ‘gak mau kasih ruang buat yang berikutnya, harus 3 terus sampai gua puas”? Tentu tidak ada. Setiap not rela ”mati, hilang, lenyap” supaya not yang berikutnya bisa jalan. Setiap nada hidup bagi yang lain, dan juga mati bagi yang lain. Saudara bisa melihat itu dalam musik; dan seperti itulah kira-kira Allah Tritunggal.
Sekali lagi, bukan urusan tiga dan satu, satu dan tiga-nya (hari ini kalau orang menjelaskan Allah Tritunggal selalu fokus ke urusan matematikanya), itu tidak terlalu penting, yang lebih penting adalah urusan perbedaan dan persatuan yang saling bisa mendukung ini, dalam Allah Tritunggal. Jika Allah Tritunggal seperti demikian, Saudara jadi bisa menyadari kenapa ini satu hal yang benar-benar unik di atas dunia ini; kalau Allah itu tritunggal, maka ada perbedaan yang sangat mendasar dari semua konsep berpikir manusia di dunia ini. Seandainya Allah bukan Tritunggal, Allah hanya satu dan satu Pribadi, apa dampaknya bagi kita? Tahukah Saudara, sistem kepercayaan yang monoteis mutlak seperti ini –Allah yang unipersonal, Allah yang cuma satu dan satu Pribadi, tidak ada warna komunal sama sekali– cenderung membawa konsep absolutisme, mutlak total. Contoh yang paling gampang: Yudaisme, Islam. Dalam konsep-konsep seperti ini, agama harus menguasai masyrakat, agama harus menjadi sistem kenegaraan, agama baru sukses ketika menguasai power politik, dst. Tidak ada ruang untuk menceraikan kuasa agama dan kuasa politik, dalam konsep-konsep seperti ini. Kenapa? Karena Allahnya cuma satu, dan hanya satu pribadi. Kalau Allah cuma satu dan hanya satu pribadi, maka esensi Dia yang paling penting tidak pernah urusan mahakasih, karena mahakasih selalu memerlukan yang orang lain. Kalau Dia hanya sendiri dari awal, maka karakter yang paling penting dalam Allah tersebut yang menjadikan Dia Allah, adalah kuasa. Itu sebabnya dalam Yudaisme Allah harus jadi Allah seluruh bumi, Allah yang menguasai segala sesuatu dan segala bangsa-bangsa; dalam Islam juga sama, semboyan yang paling mendasar bukan ‘God is love’ melainkan ‘God is great’ (Allahu Akbar). Jika demikian, maka berarti sebelum ada penciptaan, sebelum dunia dijadikan, ketika Allah hanya ada Allah sendiri, maka tidak ada kasih dalam Allah seperti ini; tidak ada relasi, karena relasi kasih harus mengarah keluar, relasi kasih membutuhkan perbedaan. Relasi kasih adalah sesuatu yang satu pribadi miliki bagi pribadi yang lain. Dengan demikian, Allah yang unipersonal, yang monoteis mutlak, sebelum Dia mencipta pribadi-pribadi yang lain seperti manusia, Allah tersebut belum pernah mengasihi; maka kasih baru ada ketika dunia dijadikan, kasih bukanlah sesuatu yang mendahului dunia, kasih bukan esensi Allah tersebut, kasih datangnya belakangan, relasi datangnya belakangan, sekunder. Yang paling penting yang menjadi esensi Allah tersebut, yang ada sebelum dunia dijadikan, adalah power, kuasa, kebesaran. Itu sebabnya kepercayaan-kepercayaan yang Allahnya satu saja, cenderung membawa kepada absolutisme, yang penting adalah kuasa/power. Ini menarik, karena kalau Saudara bandingkan dengan sekularisme, orang-orang yang tidak percaya ada Allah sama sekali –kebalikan dari yang tadi– itu biasanya membawa kepada relativisme, tidak ada aturan, silakan masing-masing free thinker, tidak ada prinsip mutlak yang mendasari segala sesuatu, silakan masing-masing jalan sendiri-sendiri.
Ada juga yang mengemukakan bahwa kepercayaan satu Allah mutlak, unipersonalisme, cenderung –tentu tidak semua– membawa kepada individualisme; karena Allah satu, maka yang terpenting adalah si individu. Sebaliknya kepercayaan yang percaya ada banyak allah (politheisme) menomorsatukan komunitas, keluarga. Itu sebabnya budaya-budaya politheisme, budaya-budaya agama Timur, cenderung menomorsatukan keluarga, suku, dan individu harus berkorban demi kepentingan keluarga, dsb. Contohnya mengenai perceraian. Dalam tradisi Barat yang cenderung percaya satu Allah (karena tradisi Judeo-Christian), maka yang lahir adalah individualisme, sehingga pernikahan ujungnya adalah bagi si individu; dan dengan demikian, budaya seperti ini cenderung membuat hukum perceraian yang longgar, mudah untuk bercerai. Sedangkan di Timur, sebagai hasil dari pengaruh agama-agama Timur yang sangat politheistis, yang dipentingkan adalah komunitas –keluarga, suku, kepentingan Bersama– sehingga pernikahan bukan lagi urusan kebahagiaan individu melainkan supaya masyarakat bisa berfungsi dengan baik, supaya masa depan anak-anak terjaga; dan dengan demikian hukum perceraian biasanya sangat sulit, pernikahan sangat dijaga mati-matian, perceraian sangat sulit dalam budaya seperti itu.
Saudara sekarang bisa melihat kenapa Allah Tritunggal ini satu doktrin yang sentral, fundamental, dan bukan sekadar doktrin yang mengawang-awang, yaitu karena dalam Allah Tritunggal, kesatuan-Nya tidak lebih mendasar daripada ketigaanNya; dan inilah yang menjadikan Kekristenan harusnya punya pengertian yang begitu unik mengenai hubungan manusia dalam masyarakat.
Pertama, kembali ke yang tadi; kalau dunia ini dicipta oleh Allah Tritunggal, itu berarti apakah yang ada sebelum dunia dijadikan? Apa esensi dari Allah tersebut yang melampaui ciptaan ini? Apa yang ultimat mendasar dalam seluruh kehidupan ini? Apa yang ada sebelum ciptaan? Bukan cuma power –sudah jelas ada power karena Allah kita Allah yang berkuasa– tapi ternyata bagi Allah seperti ini, karena dari awal Dia Tritunggal, maka berarti esensi diri-Nya yang paling jelas adalah relasi kasih. Dalam dunia sekuler –dunia atheis– di mana esensi realitanya adalah evolusi dan seleksi alam, maka cinta dan kasih dan relasi tidak ada artinya, cuma mekanisme untuk kita bisa survive, untuk si ibu tidak membuang si anak, mekanisme supaya kita tidak punah, supaya kita bisa berkembang biak, sedangkan kasih hanya sekunder, bukan hal yang utama. Dalam dunia kepercayaan politheisme yang banyak dewa, kasih juga sekunder, karena kasih seorang individu tidak terlalu berharga, yang penting adalah konformitas, kesatuan, kepentingan bersama.
Film “Hero”-nya Jet Lie, sebuah film yang agak tua tapi menarik, karena pada akhirnya si jagoan melakukan tindakan heroiknya ketika dia ngapain, yaitu dia ingin membunuh kaisar China karena dendam, dia merasa kaisar ini biadab, namun pada akhirnya dia menyadari satu hal, bahwa kaisar ini, Kaisar Qin Shi Huang, mimpinya adalah menyatukan seluruh China, dan itu adalah mimpi yang di atas dendam pribadinya. Jadi akhirnya si hero ini mengorbankan nyawanya, dia tidak jadi membunuh sang kaisar, dia hanya pura-pura menusuk sang kaisar supaya sang kaisar tahu pengorbanan yang dilakukan banyak orang, supaya sang kaisar tahu harga yang harus dibayar untuk unity ini, lalu dia menyerahkan diri dan dihukum mati. Itu tindakan heroik dalam film-film Chinese, mengorbankan diri –individual– bagi kepentingan orang banyak. Saudara melihat hal yang sama juga dalam UUD’45, mengenai kepentingan bersama di atas kepentingan individu, kewajiban/ketaatan di atas hak pribadi. Dan jangan lupa, itu adalah warisan dari konsep tertentu mengenai Allah.
Dalam dunia kepercayaan politheisme ada suatu nada di mana komunitas, komunal, keluarga, adalah hal yang paling penting; sebaliknya, dalam kepercayaan Allah yang universal, yang monotheis mutlak, relasi kasih tidak penting, bahkan pinggiran, karena esensi Allah yang demikian bukanlah kasih, ada saatnya koq di mana Dia belum mengasihi tapi tidak ada saat di mana Dia belum berkuasa –yang paling penting adalah power/kekuasaan. Namun lihatlah Alkitab, jika dari kekekalan –dari sananya– Allah kita adalah Allah Tritunggal, maka esensi Allah tersebut –dan oleh karena itu juga esensi dunia ciptaan ini– adalah relasi kasih, karena yang dari awal bukanlah semata-mata kekuasaan, bukan semata-mata kemuliaan. Tentu saja Allah Tritunggal adalah Allah yang berkuasa dan mulia, tapi bukan semata-mata itu. Yang dari awal ada, tidaklah pernah kemuliaan belaka, melainkan saling memuliakan. Yang dari awal ada, bukanlah kekuasaan tok, melainkan saling memberikan kuasa satu dengan yang lain. Yang dari awal ada, bukanlah kepemilikan tok, melainkan saling memiliki dan dimiliki. Saudara lihat hal ini?
Kontekstualisasi buat kita: bagaimana kita sebagai masyarakat modern hari ini memandang relasi? Kita pasti melihat relasi sebagai sesuatu hal yang pentinglah, tapi banyak dari kita tidak melihatnya sebagai yang terpenting. Relasi ya, oke; kita orang yang suka ngumpul-ngumpul, koq. Tapi, relasi itu ada batasnya bagi kita, relasi itu baik, sejauh tidak merintangi dan menghalangi agenda pribadi saya; relasi itu baik, sejauh tidak menyalahi hak individual saya atau menekan kebebasan saya. Itu sebabnya dalam masyarakat Indonesia pun –khususnya yang lebih muda– mulai ada yang mengatakan, “Koq, gua pacaran sama lu lalu hidup gua tambah susah, sih?” –jadi maksudnya pacaran itu tujuannya apa?? Relasi boleh, namun sejauh ini memenuhi apa yang saya inginkan. Yang lebih jelas lagi, apa saja pekerjaan-pekerjaan yang paling sukses dan laku dalam masyarakat kita? Yang menarik, ternyata profesi-profesi dalam masyarakat kita yang dilihat paling sukses, paling tinggi, biasanya profesi-profesi yang justru tidak menyediakan ruang bagi relasi, yang seluruh waktu hidup orangnya habis untuk pekerjaan tersebut dan tidak tersisa lagi untuk relasi. Dalam hal ini, menurut sebuah artikel, nomor satu adalah pengacara (lawyer), yang katanya hidupnya paling tidak ada relasi –entah benar atau tidak; nomor dua adalah dokter, meskipun tidak semua dokter, tergantung dokter apa. Artikel tersebut menemukan bahwa pekerjaan-pekerjaan yang resiko perceraiannya tinggi, itu justru pekerjaan-pekerjaan yang paling dinilai sukses dalam masyarakat kita. Ini menarik, bahwa pekerjaan-pekerjaan yang paling sukses, adalah pekerjaan-pekerjaan yang tidak seimbang antara kehidupan karier dan kehidupan rumah tangganya. Secara umum kita tahu, kita perlu balance dalam hal tersebut, namun realitasnya dalam dunia hari ini, jenjang karier sering kali dibikin strukturnya secara demikian, semakin Saudara tinggi, semakin Saudara sukses, semakin juga tidak ada waktu untuk memupuk relasi yang mendalam, tidak ada waktu untuk pertemanan, boro-boro untuk pernikahan.
“Ah, kita ‘kan ‘gak kayak begitu, Pak; kita mementingkan keluarga. Yang tadi itu mungkin anak-anak muda zaman sekarang, sedangkan generasi yang tua tidak begitu, kita orang Timur, kita mementingkan keluarga.” Saudara jangan salah, mementingkan keluarga tidak otomatis mementingkan relasi. Jangan tertipu. Jangan pikir mementingkan keluarga berarti mementingkan relasi. Itu sebabnya saya membandingkan Allah Tritunggal dengan budaya individualis dan budaya komunalis. Budaya yang mementingkan keluarga, persatuan, kesukuan, itu juga tidak tentu mementingkan relasi. Relasi itu berbeda; relasi tidak berada di salah satu ekstrim ini.
Contoh paling gampang bisa kita dapatkan dari film. Dulu ada serial TV “Game of Thrones”. Dalam fim tersebut ada beberapa tokoh utama, karena ceritanya tentang berbagai macam keluarga bangsawan. Setiap keluarga bangsawan ini punya warnanya sendiri, punya lambangnya sendiri, punya kalimat-kalimat slogannya sendiri. Yang menarik, setiap keluarga ini punya berhala-berhala mereka sendiri; dan setiap keluarga ini ujungnya tersandung oleh berhala mereka sendiri. Ada satu keluarga yang kelihatannya paling oke untuk jadi pahlawan karena ini keluarga yang menomorsatukan honor (kehormatan, integritas, dsb.), tapi ujungnya itu membuat mereka jadi kaku luar biasa, sehingga mereka tidak bisa bermain cantik —in some sense— dan akhirnya mereka hancur gara-gara itu. Ada juga yang menomorsatukan uang, dan hancur karena uang. Ada juga yang menomorsatukan wanita dan seks, dan hancur karena wanita dan seks. Yang menarik, ada satu keluarga yang sangat kuat menomorsatukan keluarga; dan itulah berhalanya. Kepala keluarga ini sangat menomorsatukan keluarga. Dia terlihat seperti orang yang egois, tapi di balik tindakan-tindakan kejinya, tujuannya adalah supaya keluarganya bisa makmur, supaya keluarganya terjamin masa depannya. Itulah berhala keluarga yang satu ini. Dia sangat pintar dan powerful menyetir orang lain supaya bisa menjamin nasib keluarganya. Waktu ditanya, “Kenapa kamu melakukan semua itu?” dia mengatakan, “Demi keluargaku, bukan buat aku!” Dia memaksa anaknya harus begini harus begitu dengan pikiran untuk kebaikan mereka, ‘supaya kamu makmur’. Dia mengatakan, “Saya paksa kamu, saya akan manipulasi, bahkan saya akan tipu, demi nama keluarga ini terus terjaga” –ujungnya sama, dia mau orang lain mengorbit dia. Pada akhirnya, kepala keluarga ini mati –mati dibunuh anaknya sendiri. Ini ironi tingkat tinggi; orang yang berjuang untuk nama keluarga, akhirnya mati oleh keluarganya sendiri. Saudara lihat, menomorsatukan keluarga tidak berarti menomorsatukan relasi. Dalam film tadi, waktu dia menomorsatukan keluarganya, dia tidak mementingkan relasi dengan anak-anaknya, dia paksa anak-anaknya harus begini begitu, dan pada akhirnya dia mati oleh anaknya sendiri.
Dulu Pendeta Ivan pernah cerita pengalaman punya anak lalu kumpul-kumpul dengan orangtua-orangtua lain. “Anak saya les ini: anak saya les itu”; apa tujuannya bicara seperti ini? Benar ini tujuannya keluarga, benar ini orang-orang yang mementingkan keluarga, tapi bukan mementingkan relasi, karena relasi selalu mengarah keluar, ke yang lain, ke yang bukan saya. ‘Anak gua ini sebenarnya perlu les atau tidak, anak gua ini les-nya tepat atau tidak, anak gua ini sebenarnya lebih perlu waktu untuk main atau untuk les’, itu tidak dipikirkan; yang dipikirkan ‘wah, anak orang lain les ini, les itu, anak gua jangan sampai kalah’.Itu bukan relasi yang dipentingkan, bukan anak yang dipentingkan; itu keluarga yang dipentingkan.
Saudara, yang saya ingin katakan hari ini, baik Saudara termasuk yang lebih muda maupun yang lebih tua, baik Saudara lebih ketimur-timuran ataupun kebarat-baratan, kita semua harus sadar bahwa tidak ada satu pun dari kita yang tidak terkena hal tersebut. Kalau kita hidup dengan menempatkan kuasa –seperti orang-orang monotheis mutlak– kalau kita hidup dengan menempatkan uang atau karier di atas mengembangkan persahabatan yang limpah, kalau kita menempatkan apapun di atas relasi kasih dalam hidup kita, bahkan atas nama keluarga, maka yang terjadi adalah kita akan karam di batu karang realitas. Kenapa? Karena realitas kita ini dasar sesungguhnya tidak pernah kuasa, tidak pernah kekayaan, bahkan tidak pernah keluarga; realitas yang terutama adalah relasi kasih, karena Allah kita Allah yang tritunggal adanya. Ketika Tuhan Yesus mengatakan, “Barangsiapa menyelamatkan nyawanya sendiri akan kehilangan nyawanya, tapi siapa yang kehilangan nyawanya karena Aku –ini relasi– akan mendapatkannya”, yang sedang Dia katakan adalah: cara untuk menemukan dirimu, adalah rela kehilangan dirimu. Ini prinsip yang bukan baru ada dan bukan baru ditemukan; Yesus mengatakan seperti itu karena Dia dan Bapa dan Roh Kudus sudah melakukan sejak dulu, dari kekekalan, sebelum dunia dijadikan. Dan itulah prinsip dasar, yang di atasnya Allah Tritunggal menciptakan dunia ini.
Itu sebabnya kalau Saudara melongok ke dalam dunia ini, Saudara menemukan warna yang sama. Lihatlah bagaimana Tuhan menciptakan dunia; matahari dan bulan kelihatannya saling mengancam, yang satu punya cahayanya sendiri, yang satunya lagi harus pinjam. Coba bayangkan kalau Saudara harus hidup kayak begini, misalnya Saudara punya saudara kandung cuma satu, dia punya duit banyak sementara Saudara tidak punya uang, Saudara selalu harus meminjam uang dari dia. Itu relasi yang mengancam ‘kan? Mengancam bagi Saudara karena harga dirimu hancur; dan juga mengancam bagi dia karena kalau Saudara datang, dia selalu curiga, lu mau ngapain sekarang, ada perlu apa, bayar sekolah susah ya? Tapi lihat, matahari dan bulan demikianlah relasinya, meski begitu matahari dan bulan bukan saling mengancam, mereka indah justru karena mereka punya relasi yang demikian, mereka berbeda tapi perbedaan mereka justru jadi sumber kesatuan, karena masing-masing hidup bagi yang lain. Matahari tidak cuma mau bersinar bagi dirinya, matahari tidak cuma mau bersinar untuk menyinari barang lain sebagai penerima sinar, matahari membagi cahayanya kepada bulan supaya bulan bisa ikut jadi pemberi sinar. Matahari tidak bilang, “Koq, bisa ada reseller kayak begini, sih?! Tidak bisa begini nih, gua maunya direct ke consumer langsung, gua langsung ke bumi saja, lu bulan ngapain di sini, ‘gak ada gunanya. Gua bisa koq, menyinari bumi dengan begitu terang, lu ada buat apa?!” Namun tidak demikian, matahari meminjamkan cahayanya kepada bulan sehingga bulan bisa menerangi sisi bumi yang matahari tidak bisa terangi, yaitu sisi malam, sisi gelap. Dan menarik, bulan tidak membuat cahayanya sendiri, itu sebabnya cahaya bulan lebih romantis. Saudara tidak bisa pacaran di bawah matahari ‘kan, tapi Saudara bisa pacaran di bawah terang bulan; kenapa? Karena karakter cahayanya lain. Sama-sama cahaya, tapi bukan cahaya yang sama; ini cahaya pinjaman, cahaya relasional –maka lebih romantis. Masing-masing individu malah menemukan keindahannya yang utuh ketika mereka saling memberikan dirinya kepada yang lain. Inilah caranya alam semesta dicipta. Cobalah melihat warna Allah Tritunggal dalam ciptaan. Yang terutama bukanlah kuasa, yang terutama adalah relasi.
Saudara lihat lautan dan daratan. Berenang itu indah, nikmat, karena Saudara dan saya tidak hidup di air, kita hidup di darat. Bagi ikan, berenang itu bukan nikmat; mungkin mereka senang waktu meloncat terbang menghirup udara segar. Kenapa kita merasa nikmat banget nyemplung ke air? Karena biasanya kita tidak begitu, karena kita makhluk daratan. Ini relasi. Lalu waktu Saudara keluar dari kolam renang, mandi, dan keluar dari situ Saudara merasakan angin sepoi-sepoi menghembus ke tubuhmu, itu nikmat banget rasanya; kenapa angin daratan ini enak? Karena Saudara baru dari air. Menarik, ya.
Kita bisa menambahkan lagi, mengenai tubuh dan jiwa. Tubuh dan jiwa sering kali dilihat sebagai bertentangan; tubuh identik dengan nafsu, kebutuhan, mekanisme, kelihatan, dsb., sementara jiwa dinamis, perasaan, tidak kelihatan, dst. –seperti bertabrakan. Namun ketika tubuh dan jiwa bercerai, itu adalah kematian. Justru ketika tubuh dan jiwa yang berbeda ini bersatu, itu namanya kehidupan. Apakah ini, Saudara? Ini warna Allah Tritunggal.
Selanjutnya, mahkota dari ciptaan yaitu pria dan wanita. Apa yang menjadi keindahan tubuh wanita? Yaitu keindahan-keindahan yang tidak kita temukan di tubuh pria. Pria senang dengan bagian-bagian itu karena tidak ada di pria; dan wanita senang dengan sifat-sifat pria yang itu, karena tidak ada pada wanita. Saya baru menemukan satu hal waktu sudah dewasa, yaitu wanita senang kalau ketemu cowokyang tahu apa yang dia mau. Awalnya saya bingung, itu ‘kan natural, cowok ‘kan memang begitu, “gua mau ini” lalu ambil, “gua mau itu” lalu ambil; bahkan sering kali ini kecenderungan yang bikin cowok jadi barbar. Tapi ternyata banyak wanita yang suka pria seperti itu; kenapa? Karena wanita umumnya struggle dengan perasaan mereka, mereka tidak tahu apa yang mereka mau, mereka tidak mengenal hasrat hati mereka yang paling dalam. Itulah wanita. Dan itu sebabnya wanita lebih gampang berempati, lebih gampang mengerti orang lain, karena mereka sendiri juga mengalami struggle yang sama –dan ini juga sifat yang baik pada wanita. Namun lihat, inilah justru yang membuat wanita dan pria tertarik satu dengan yang lain. Sebaliknya, ketika Saudara melihat sifat pria pada diri seorang wanita, Saudara geleng-geleng kepala, ini cewek apa bukan, ‘gak indah ya, ‘gak anggun ya. Juga ketika Saudara melihat bagian-bagian tubuh wanita pada seorang pria, Saudara merasa ini monster, aneh. Jadi, justru ketika mereka berbeda inilah, keindahannya datang. Ini warna apa? Warna Allah Tritunggal.
Yang menarik,Saudara bahkan melihat ini bukan cuma dalam hal penciptaan, tapi juga dalam hal kejatuhan manusia. Saya mau tanya, dosa itu ada aspek positifnya atau tidak? John Frame mengatakan, dosa ada aspek positifnya. Kenapa? Karena dosa adalah ingin menjadi Tuhan; dengan demikian, dosa dalam arti tertentu bisa memantulkan siapa diri Tuhan, hanya saja problemnya ‘saya ingin jadi seperti Tuhan dengan cara saya, dengan konsep saya’. Inilah center dari dosa; dan ini memutarbalikkan prinsip penciptaan –bukan keluar tapi ke dalam. Dalam arti tertentu, Saudara bisa lihat bahwa dosa bukanlah melanggar tok, tapi ingin merefleksikan Tuhan dengan caranya saya –salah kaprahnya dobel. Menara Babel seperti itu ceritanya. Menara Babel bukanlah cerita tentang orang-orang ingin menghancurkan bumi ini; Menara Babel adalah tentang orang-orang yang berusaha menyelamatkan bumi ini, membuat link antara langit dan bumi, karena mereka merasa itulah yang dibutuhkan. Dalam cerita Kejatuhan, link antara bumi dan surga sudah terputus karena gambar dan rupa Allah-nya mangkir, maka mereka sekarang merasa perlu bikin link ini kembali. In some sense, tujuan mereka mendirikan Menara Babel itu merefleksikan keinginan hati Tuhan untuk menyelamatkan bumi ini; problemnya, mereka melakukannya untuk diri mereka, mereka melakukannya untuk cari nama, mereka melakukannya dengan cara mereka sendiri. Mereka mau bikin segala sesuatu mengorbit mereka, maka mereka mengatakan ‘bahasa satu saja, budaya satu saja’.
Waktu Saudara melihat cerita-cerita film zaman sekarang, penjahat-penjahatnya juga kayak begitu. Sekarang sudah jarang film yang penjahat-penjahatnya adalah orang-orang yang mau membakar dunia. Kalau film-film zaman dulu, misalnya Superman lawan penjahat, maka penjahatnya itu orang yang kepingin menghancurkan bumi, karena memang jahat. Tapi zaman sekarang, penjahatnya tidak pernah kayak begitu; penjahatnya hampir selalu tidak mau menghancurkan dunia, tapi sebaliknya justru kepingin menyelamatkan dunia. Masalahnya, mereka mau menyelamatkan dunia dengan cara mereka sendiri, dengan apa yang baik di mata mereka. Contohnya Thanos dalam Avenger; tujuan dia adalah menyelamatkan alam semesta yang sumer dayanya makin berkurang sementara populasinya makin besar, maka dia mau menghabiskan separuh mahkluk hidup di alam semesta ini. Kepedulian hatinya begitu luas, sementara Iron Man dan Captain America tidak memikirkan itu, hanya memikirkan urusan bumi doang, tapi masalahnya Thanos pakai caranya sendiri, dia mau melakukan apa yang baik menurut matanya sendiri untuk menyelamatkan bumi –itulah cerita Menara Babel. Saudara jadi melihat, ketika Tuhan mencerai-beraikan mereka dalam cerita Menara Babel, itu sebenarnya tindakan anugerah. Kembali lagi, poinnya adalah: bahkan dosa pun mencerminkan relasi dengan Tuhan, karena dosa hanya bisa memantulkan apa yang jadi karakter Tuhan; Tuhan ingin membawa dunia ini kembali kepada Dia, menciptakan kembali hubungan antara surga dan bumi –dan dosa juga mau melakukan hal yang sama. Dosa pun merefleksikan kemuliaan Tuhan, karena dunia ini diciptakan dalam warna ketritunggalan.
Bukan cuma Penciptaan dan Kejatuhan, Saudara bisa melihat lebih lanjut ke Redemption (Penebusan). Apa yang indah dalam penebusan kita? Bukan cuma bahwa kita diselamatkan tok, tapi bahwa kita diselamatkan dengan cara Kristus menikah dengan Gereja, mempersatukan diri-Nya dengan Gereja, Dia mengatakan, “Bapa, ini istri-Ku sekarang, dia-Aku, Aku-dia, kami satu adanya; kalau Engkau sayang Aku, sayangi dia juga, kalau Engkau menganggap Aku Anak-Mu, dia anak-Mu juga”. Itulah keselamatan. Keselamatan bukan datang dengan cara Tuhan membuat kita “criinggg…” jadi bagus lagi seperti di awal. Saudara lihat, sampai hari ini kita masih bergumul dalam dosa, dan suatu hari kita akan dihadirkan sebagai pengantin wanita yang tidak ada cacat sama sekali; dan yang dari sekarang sudah ada adalah: kita dipersatukan dengan Kristus. Apa keindahan dalam persatuan ini? Yaitu karena yang dipersatukan itu begitu berbeda. Dia Pencipta, kita ciptaan, koq Dia mau sama kita?? Dia suci, kita najis, koq Dia mau sama kita?? Namun justru keindahan dan kekaguman dalam keselamatan datang karena kita berbeda, meski demikian, perbedaan ini jadi dasar persatuan tersebut. Warna apakah ini? Warna Allah Tritunggal.
Dalam cerita Pentakosta, ketika Roh Kudus dicurahkan, ada kesatuan; tapi kesatuannya terjadi dalam keberbedaan. Orang-orang Yahudi di bawah kolong langit pada Hari Pentakosta berkumpul; dan mereka dari tempat-tempat yang berbeda, dari Partia, Media, Elam, Libia, Aram, dsb. Mereka punya bahasa masing-masing, ada banyak budaya –tidak cuma satu seperti Menara Babel– namun mereka semua disatukan, mereka mendengar Firman Tuhan dalam bahasa mereka masing-masing. Bukan tiba-tiba mereka mendengar dalam satu bahasa yang sama, melainkan satu message yang sama diberikan dalam bahasa masing-masing. Belakangan, dalam surat Paulus lebih jelas lagi; dikatakan: Di dalam Kristus, bukan cuma Yahudi tapi juga Yunani, bukan cuma pria tapi juga wanita, bahkan bukan cuma orang merdeka tapi para budak pun termasuk.
Dalam Penciptaan, Kejatuhan, dan Keselamatan, Saudara berkali-kali melihat relasi, relasi, relasi; dan yang terakhir di dalam Konsumasi/Akhir aman (Consummation). Apakah akhir zaman? Gambaran Kekristenan mengenai akhir zaman tidak pernah berarti kita keluar dari dunia, dunia dimusnahkan habis, dan sisa surga tok; gambaran Kekristenan mengenai akhir zaman adalah ketika Yerusalem Baru turun dari surga ke bumi, ketika Allah tinggal bersama kita, ketika kehendak Tuhan di surga terjadi di bumi, ketika langit dan bumi kembali terjadi hubungan relasi yang sinkron, Tuhan bertakhta di surga dan di bumi. Kenapa gambarannya seperti itu? Karena sejak awal diciptakan seperti itu.
Kembali ke dalam hidup kita sehari-hari, kenapa sih kita tidak boleh hidup egois? Bukan Saudara tidak boleh hidup egois, tapi karena Saudara tidak bisa hidup egois. Dunia ini tidak diciptakan dengan warna keegoisan. Ketika kita berdiam di tempat ini dan membuat segala sesuatu mengorbit kita, kita tidak akan pernah mendapatkan diri kita sendiri. Tidak usah jauh-jauh, misalnya Saudara mau jadi investor, Saudara tidak bisa sukses jadi investor kalau Saudara tidak ambil resiko kehilangan modal. Mengubur uangmu di dalam tanah, itu tidak akan membuatnya jadi investasi yang berbuah, itu akan dimakan inflasi atau dimakan rayap. Kecuali Saudara rela untuk menderita kerugian, menyerahkan kebebasan, masuk dalam pembatasan, mengorbankan waktu dan uang dan karier, Saudara tidak mungkin mendapatkan kesuksesan atas semua itu. Itulah urusan para investor dunia, dan mereka peka akan hal itu; lalu kenapa kita sering kali tidak? Kecuali Saudara rela menderita pain and suffering demi relasi-relasi kasih dalam hidup kita, hidupmu akan kosong dan meaningless. Itulah implikasi dari bahwa dunia ini diciptakan oleh Allah Tritunggal, yang dalam diri-Nya sejak kekekalan yang terutama adalah kasih. Inilah Allah Tritunggal.
“Oke, itu gambaran yang luar biasa, Pak, mungkin kita selama ini belum sadar, atau kita diingatkan kembali akan hal itu. Tapi problemnya: hanya karena Bapak menceritakan semua gambaran keindahan dan kekaguman itu, lalu ujungnya mengambil kesimpulan bahwa kita tidak boleh –dan sebenarnya tidak bisa– hidup egois, ‘kan tidak berarti begitu kita keluar dari ruangan ini otomatis kita berelasi saling mangasihi satu dengan yang lain; bahkan kita sangat takut untuk berelasi. Itu problemnya. Kita sangat takut menyerahkan diri kita kepada Tuhan. Kita sangat takut berfokus keluar, kepada apa yang Dia mau dan bukan yang kita mau; dan ini riil, karena kita takut ditindas. Kita bahkan mungkin tidak mau berfokus keluar, karena ada pengalaman berkali-kali dalam hidup kita, di mana kita menyerahkan diri kita, kita mulai mencoba untuk berfokus kepada yang lain, hanya untuk kemudian mendapati bahwa yang lain itu tidak berfokus kepada kita. Akhirnya kita tertindas, kita dianiaya; dan kita kapok. Kita tidak mau lagi seperti itu. Jadi, Pak, ngomong tidak boleh dan tidak bisa hidup egois, that’s fine, tapi bagaimana caranya menjadikan ini semua kekuatan untuk kita benar-benar hidup mengasihi satu dengan yang lain?” Bagaimana caranya? Yaitu sama seperti tadi, jangan lihat kepada dirimu sendiri, pakai cara relasional, pakai cara melihat keluar. Ke mana? Kepada Kristus, kepada apa yang Kristus lakukan.
Ayat yang tadi kita baca: ‘Segera sesudah itu (sesudah baptisan) Roh memimpin Dia ke padang gurun. Di padang gurun itu Ia tinggal empat puluh hari lamanya, dicobai oleh Iblis. Ia berada di sana di antara binatang-binatang liar dan malaikat-malaikat melayani Dia.’ Saudara lihat gambaran Markus ini ada paralel. Yang pertama, ketika Yesus dibaptis: Bapa bersuara dari surga, Anak dibaptis, Roh Kudus dalam rupa burung merpati melayang-layang di atas permukaan air. Ini gambaran yang sama yang ada dalam cerita Penciptaan; Allah menciptakan langit dan bumi dengan Firman-Nya, Pribadi Kedua Allah Tritunggal, dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air. Jelas sekali ini gambaran paralel antara kisah Baptisan dengan kisah Penciptaan. Tapi bukan cuma itu paralelnya, karena setelah kisah Penciptaan di halaman-halaman pertama Alkitab, setelah Allah Tritunggal memulai dan menyelesaikan penciptaan, datang cobaan dan kejatuhan; dan dalam cerita Penebusan, Allah Tritunggal mulai mendeklarasikan pekerjaan Keselamatan, lalu setelah itu yang datang adalah pencobaan di padang gurun. Ini paralel. Lalu apa bedanya? Paralel di dalam Alkitab selalu dihadirkan supaya kita bisa melihat bedanya; kesamaan untuk memperlihatkan perbedaan –ini relasi. Jadi bedanya, Adam ada di taman Eden, Kristus di padang gurun; Adam diberikan kuasa atas segala binatang-binatang, Kristus ada di antara biantang-binatang liar; Adam dicobai mengenai makanan dan kelimpahan –semua boleh dimakan, cuma satu yang tidak boleh– Kristus dicobai mengenai makanan di saat kekurangan, tidak ada makanan, puasa 40 hari. Saudara lihat, Adam Yang Kedua berada dalam kondisi yang jauh lebih parah; dan tentunya Saudara tahu, serangan dari setan tidak berhenti di padang gurun, tapi terus-menerus sampai ke taman Getsemani, taman yang paling berlawanan dengan kondisi taman Eden. Dan, apa yang terjadi? Adam gagal; Kristus sukses, Kristus taat.
Kepada Adam, Allah mengatakan, “Urusan pohon ini, tolong taati Aku”; dan reaksi kita selalu ‘kenapa saya harus menaati-Mu, kenapa saya tidak boleh makan dari pohon itu?’ Kamu akan mati. ‘Iya, tapi kenapa bisa ada hubungan antara makan buah pohon itu dengan kematian?? Tidak pernah dijelaskan, cuma diberitahu akibatnya??’ Sampai sekarang orang masih banyak bertanya-tanya, kenapa harus ada pohon itu,Tuhan koq tidak beri jawaban sih, Tuhan koq bodoh banget sih, dsb. Saudara, jawabannya apa? Jawabannya adalah karena memang tidak boleh diberitahu jawabannya, sebab begitu Saudara tahu jawabannya, maka itu bukan relasi lagi, bukan ketaatan lagi.
“O, jawabannya itu, saya mengerti. Baiklah, Tuhan, saya tidak akan makan dari buah itu, karena kalau saya makan, nanti keluar Hitler, Stalin, dkk., keluar COVID-19. Saya mengerti sekarang kenapa saya tidak boleh makan buah itu, oke, thank you, Tuhan.” Kalau demikian tanggapan Saudara, berarti Saudara memutuskannya berdasarkan relasi atau egoisme? Saudara memutuskan tidak mau makan buah pohon itu, karena ‘nanti saya rugi’; itu bukan relasi! Relasi itu ketaatan. Relasi adalah: apa yang Allah mau. Dia tidak sekadar mau orang tidak jatuh; Dia mau kita mengorbit Dia, Dia mau kita ikut Dia karena Dia, dan bukan karena ada untungnya buat kita –meskipun jelas-jelas kita akan untung, hanya saja Dia tidak beritahu. Dia mau kasih yang unconditional, Dia mau kasih yang tidak bersyarat, Dia mau KASIH. Dan, kita gagal; karena setan berkata kepada kita, “Ide dari Tuhan untuk kamu mengorbit Dia, tidak bisalah hidup kayak begitu, kamu akan dirugikan, kamu perlu punya kecurigaan yang sehat”. Kita mungkin menghina-hina Adam dan Hawa yang gagal, tapi kita juga sama. Cerita Adam dan Hawa benar-benar perwakilan cerita kita semua. Kita hari ini juga takut berserah kepada Tuhan. Kita takut ketika disuruh KKR Regional, berkhotbah. Kita takut disuruh pelayanan jadi pianis atau song leader, kita minta-minta, “Kalau saya salah, jangan dimarahin, ya”. Atau yang tadi, takut mengurangi karier demi relasi dengan keluarga, takut mengurangi karier demi panggilan pelayanan, takut bangun pagi demi Persekutuan Doa! Bagaimana, Pak, kalau karier saya jadi mendek?? Bagaimana kalau uang saya nanti tidak cukup?? Saudara lihat, ini mengena kepada semua orang. Ini penipuan setan; setan mengatakan, “Egoislah, itu yang works di dunia ini!” Tapi coba Saudara lihat berapa banyak yang berhasil, berapa banyak orang yang di ranjang kematiannya akhirnya mengatakan, “Saya menyesal cari uang banyak-banyak dan akhirnya saya melupakan anak istriku” ?? Musik yang rusak, ketika setiap pemain orkestra mau main dengan tempo dan tangga nada masing-masing.
Namun Allah tidak meninggalkan kita di situ, Anak Allah masuk ke dalam dunia, Allah mengatakan kalimat yang sama sebagaimana kepada Adam dan sekarang kepada Yesus Kristus: ‘taati Aku urusan pohon ini; hanya saja sekarang pohonnya adalah pohon yang menjadi kayu salib’. Kepada Adam, Dia mengatakan ‘taati Aku maka kamu akan hidup’; kepada Kristus, Allah mengatakan ‘taati Aku maka Kamu akan babak belur dan mati’ –dan Kristus taat. Kenapa Kristus taat? Apa keuntungan yang Dia dapatkan? “O, Dia dapat kita, Pak; Dia dapat cinta kita. Dia dapat pengikut-pengikut”. Tidak, Saudara; Dia itu Allah Tritunggal, Dia dari awal sudah punya semua itu. Dari kekekalan Dia sudah mendapatkan cinta, relasi yang jauh lebih indah dari yang kita bisa berikan kepada Dia. Jadi apa yang Dia dapatkan dari kita? Nothing, tidak ada. Dan, itu berarti Dia melakukan semua ini simply karena kita, karena Dia ingin kita apa adanya, karena Dia mencintai kita, karena Dia berfokus kepada kita. Itu berarti ketika kita melihat panggilan untuk mengorbit Tuhan, itu panggilan yang sangat mengerikan; sebelum Dia memanggil kita untuk mengorbit Dia, Dia sudah terlebih dahulu memberikan diri-Nya mengorbit kita. Apa yang Dia punya dari sejak kekekalan dengan Bapa dan Roh Kudus, Dia mau membaginya kepada kita: relasi kasih.
Bagaimana Saudara dapat kekuatan untuk tidak hidup egois? Jangan lihat ke dalam dirimu, jangan lihat kepada apa yang harus kau lakukan, jangan lihat kepada apa yang belum kau lakukan; lihat kepada Kristus, apa yang telah Dia lakukan bagi Saudara dan saya.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading