Hari ini kita mengingat dan merayakan Hari Pentakosta, hari turunnya Roh Kudus, maka saya ingin mengajak kita menjawab satu pertanyaan mendasar: “Mengapa Roh Kudus dicurahkan, apa sebenarnya makna dan signifikansi kita sebagai orang-orang yang sudah memiliki Roh Kudus?”
Saya ingin membahas ini, karena kita sendiri mungkin merasa ‘kenapa turunnya Roh Kudus bagi hidup saya rasanya sangat abstrak, apakah supaya saya bisa selamat maka saya dapat Roh Kudus? apakah supaya saya bisa hidup baik maka saya dapat Roh Kudus? apakah cuma sebegitu saja?’ Kita bingung. Dan kemudian ada faktor yang membuat lebih complicated; waktu kita coba mencari jawaban yang lebih konkret, kita bertemu dengan tafsiran-tafsiran yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Contoh sederhana yaitu yang ada dalam banyak gereja hari ini mengenai apa efeknya Roh Kudus turun bagi mereka, seperti apa orang yang ada Roh Kudus dan yang tidak ada Roh Kudus. Mereka menjawab –jawaban yang sedikit banyak kita dapatkan dari gerakan Kharismatik– bahwa orang-orang yang ada Roh Kudus berarti mereka ada karunia Roh Kudus, maka yang tidak ada Roh Kudus tidak ada karunia –konkret. Ujungnya, kalau kamu ada Roh Kudus maka kamu ada karunia untuk bernubuat misalnya –karena ini ada di Alkitab– atau karunia untuk menyembuhkan, karunia untuk berbahasa roh, dst. Tafsiran ini sedikit banyak sulit untuk dipertanggungjawabkan secara alkitabiah. Kenapa ini tafsiran yang tidak tepat?
Istilah ‘gerakan kharismatik’ sebenarnya kurang tepat secara alkitabiah. Istilah ‘kharismatik’ sendiri berarti orang-orang yang mempunyai kharismata; ini istilah yang dipakai Paulus dalam Perjanjian Baru untuk merujuk kepada karunia-karunia Roh. Ini berarti ada orang-orang yang kharismatik –artinya punya karunia-karunia roh tersebut– dan ada orang-orang yang non-kharismatik, yang tidak punya karunia-karunia Roh itu. Problemnya, hal-hal yang Paulus sebutkan sebagai ‘kharismata’ sebenarnya bukan cuma urusan nubuat, menyembuhkan, berbahasa roh, dsb.. Di Surat Roma kita menemukan, bahwa orang-orang yang punya kharismata adalah orang-orang yang mempunyai karunia misalnya untuk bisa menikah, atau juga untuk tidak menikah (selibat); kalau demikian, kalau misalnya orang yang menikah maupun tidak menikah adalah orang-orang yang punya kharismata, lalu tersisa siapa?? Jadi ini berarti semua orang Kristen bagi Paulus adalah kharismatik, tidak ada yang non-kharismatik. Ini lebih jelas lagi ketika Saudara menemukan, bahwa Paulus mengatakan keselamatan itu sendiri adalah suatu karunia Roh (kharismata); dengan demikian semua orang Kristen, bagi Paulus, adalah kharismatik, tidak ada yang non-kharismatik. Hal ini membuat kita menyadari satu hal, bahwa turunnya Roh Kudus tidak bisa dikunci dalam urusan karunia Roh. Kita tidak bisa memfokuskan turunnya Roh Kudus dalam urusan kita ada karunia Roh, atau seberapa banyak kita jago menjalankan karunia tersebut, seberapa sering karunia tersebut muncul dalam hidup kita; ini bukan pengertian yang tepat. Jadi kembali lagi ke pertanyaan awal tadi, apa jadinya tujuan dicurahkannya Roh Kudus; dan kita merasa kembali ke garis start lagi, di satu sisi kita tidak bisa bertahan dengan keabstrakan, tapi sepertinya konkretisasi-kenkretisasi yang selama ini kita lihat juga tidak tepat. Kalau demikian, apa dong yang namanya dicurahkan Roh Kudus menjadi orang-orang yang ada Roh Kudus?
Kita akan coba memberikan satu alternatif yang lebih biblical mengenai artinya dicurahkan Roh Kudus, tapi sebelumnya saya mau memperingatkan akan dua hal. Yang pertama, saya mau mengajak kita melihat Pentakosta melalui lensa Perjanjian Lama, karena tidak ada tema Perjanjian Baru yang boleh dibaca tanpa lensa Perjanjian Lama. Ini seperti Saudara nonton Iron Man 3 dulu, baru nonton Iron Man 1, Iron Man 2, dan pastinya waktu nonton, Saudara merasa, “O, begitu toh”. Hal kedua, Saudara jadinya jangan expect bisa mengerti ini secara simpel, instan, langsung ngeh.
Katakanlah Saudara suka banget dengan musik George Frideric Handel, dan Saudara tahunya oratorio yang paling terkenal, Messiah. Lalu Saudara mendengarkan Messiah terus sampai berbulan-bulan dan bertahun-tahun, bahkan mungkin ikut paduan suara dan menyanyikan lagunya juga, sampai Saudara kenal dengan intim semua lagu-lagu dalam oratorio Messiah. Saudara merasa mengenal Mas Handel, Saudara bertahun-tahun berjalan bersama oratorionya itu dan sudah kenal luar dalam semuanya, bukan cuma bagian sopran, tapi juga tenor, dan juga bass. Tapi suatu hari ada orang yang memberitahukan bahwa oratorio Handel bukan cuma Messiah, ada Israel in Egypt, ada Solomon, ada Judas Maccabaeus, ada Joshua, Jephtha, Belshazzar, semuanya ada 24 oratorio. Waktu diberitahu kayak begini, Saudara mulai merasa apa? Lagipula Handel bukan cuma bikin oratorio tok, tapi juga banyak opera, dan sebenarnya semasa hidupnya dia lebih terkenal bikin opera; oratorionya ada 24, operanya ada 42 masing-masing 2 jam. Belum lagi ada karya-karya orkestranya yang terkenal seperti “Water Music”, “Music for the Royal Fireworks”, “Concerti grossi, Op. 6”, dan masih banyak lagi karya-karya organnya, dsb. Kalau kita mengalami ini, kita akan mengatakan apa? “Stop! Stop! Saya merasa tidak lagi mengenal Handel!” –saya merasa pegangan saya mulai lepas.
Saudara, saya ingin kita menyadari kecenderungan dalam hati kita ini, kita tidak suka dengan hal-hal yang kompleks, yang banyak, sampai bikin kita bingung. Tapi, justru ketika Saudara melawan perasaan tadi dan mulai mempelajari karya-karya Handel yang lain yang Saudara tidak kenal, itulah momen Saudara bergerak ke arah lebih mengerti dan mengenal Handel –benar-benar mengenal, bukan cuma merasa kenal. Sebaliknya, kalau orang mengatakan, “Tidak, aku di sini saja, aku jadi ahli Messiah-nya Handel saja”, karena ingin mempertahankan perasaan ‘menguasai sebuah bidang’, itu justru bukti orang ini tidak menguasai apa-apa. Itu sebabnya lewat khotbah hari ini saya ingin Saudara belajar, bahwa kompleksitas dan kesulitan bukanlah musuhmu. Betapa banyak orang Kristen, termasuk di gereja ini, begitu anti dengan khotbah-khotbah yang theologis, yang kompleks, mungkin karena menganggap Firman Tuhan seperti musik pop, gampangan, instan; dan mungkin itu sebabnya Firman Tuhan tidak berdampak dalam hidupmu, karena sama seperti musik pop, dengar, terhibur, lalu lupa. Ilustrasi yang mungkin lebih cocok, saya melihat Firman Tuhan seperti lukisan, seperti musik klasik, yang kompleks, sehingga kalau Saudara tahu menghargai lukisan atau musik klasik, Saudara tidak akan pernah expect bisa mengerti atau bahkan menikmati langsung dengan sekali lihat atau sekali dengar. Itu sebabnya Saudara juga musti belajar musik-musik yang agung, karena Saudara jadi ngeh bahwa segala sesuatu tidak harus instan, Saudara bisa belajar melepaskan genggamanmu atas kebutuhan hati untuk merasa menguasai sesuatu. Penguraian Firman Tuhan, khotbah, tidak pernah bertujuan membuatmu merasa ngeh, merasa mudeng, karena perasaan manusia bisa misleading –merasa menguasai Handel padahal hanya karena sedang pakai kacamata kuda. Saudara sudah belajar untuk tidak pakai ‘like and dislike’-mu waktu berhubungan dengan orang lain, Saudara sudah belajar kalau makan tidak boleh percaya mutlak pada seleramu, maka Saudara tidak makan semua yang Saudara mau, Saudara harus makan juga makanan-makanan yang Saudara tidak mau. Lalu kenapa urusan relasi manusia dan urusan makanan Saudara tahu seleramu bukan segala-galanya, tapi urusan Firman Tuhan somehow Saudara pakai standar yang lain? Itu sebabnya mungkin inilah yang kita butuhkan, khotbah-khotbah yang tidak cuma mengharukan hati, khotbah-khotbah yang tidak cuma membuat kita terkesima, tapi juga khotbah-khotbah yang dalam, luas, berbobot –dan khotbah yang berbobot itu berat– supaya kita tidak cuma merasa mengerti tapi benar-benar mengerti dan mengenal kedalaman Alkitab. Khotbah-khotbah seperti ini tidak tentu aplikatif, tidak tentu membuat Saudara merasa ‘wah’, namun semakin lama saya melayani di sini, saya semakin yakin inilah yang kita butuhkan.
Khotbah semacam ini sudah kita lakukan dalam khotbah Ascension yang pertama; dan sekarang kita akan melakukan hal yang mirip dalam merenungkan tujuan Roh Kudus dicurahkan, kita mau bicara mengenai theologi dalam hal ini. Kita akan membahas turunnya Roh Kudus bukan dari Kisah Para Rasul melainkan melihat dengan lensa Perjanjian Lama, bahkan memulainya dengan satu topik yang seperti tidak ada hubungannya dengan Roh Kudus. Saya harap setelah selesai membicarakan ini, Saudara akan melihat dengan lebih dalam apa artinya turunnya Roh Kudus.
Saya akan memulai dengan menceritakan mengenai hubungan antara surga dan bumi. Kalau hari ini Saudara mendengar kata ‘surga’ dan disuruh melanjutkan ‘surga dan … ‘, Saudara akan memasangkannya dengan apa? Biasanya orang memasangkannya jadi ‘surga dan neraka’. Waktu memikirkan surga dan neraka, kita pikir ini pasangan kata yang masuk akal; dan ini membongkar bagaimana kita mengerti istilah surga. Kalau kita memasangkan istilah surga dengan neraka, ini berarti bagi kita surga terutama adalah urusan berakhirnya seorang manusia, bahwa kita berakhir di surga atau berakhir di neraka, maka kita memasangkan kedua kata itu bersama-sama. Namun kalau Saudara kembali ke Alkitab, kata surga tidak pernah dipasangkan seperti itu. Waktu Alkitab menggunakan kata surga (kata langit/syamaim dalam Perjanjian Lama), Alkitab memasangkan kata surga/langit itu bukan dengan neraka melainkan dengan bumi; “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi” –surga dan bumi.
Ini membuat kita menyadari ternyata orang Israel mengerti surga secara berbeda dari kita. Seperti apa mereka mengertinya? Mungkin kita anggap bahaya nih, jangan-jangan mereka mengertinya langit itu surga, sehingga kalau kita terbang cukup tinggi di angkasa maka kita bisa menemukan Tuhan di sana. Tapi tidak demikian; yang seperti itu justru orang modern yang goblok –itu sebabnya Yuri Gagarin pergi ke antariksa lalu mengatakan di sana tidak ada Tuhan. Orang Israel lain berpikirnya; apa makna surga bagi Alkitab, kenapa mereka memasangkan kata surga dan bumi?
Kita membaca dari Pengkhotbah 5:1, “Janganlah terburu-buru dengan mulutmu, dan janganlah hatimu lekas-lekas mengeluarkan perkataan di hadapan Allah, karena Allah ada di surga dan engkau di bumi; oleh sebab itu, biarlah perkataanmu sedikit”, lalu coba tarik kesimpulan apakah surga dan apakah bumi bagi penulis Alkitab ini. Kalau Saudara sudah mulai menangkap, kita melihat Mazmur 115:16, “Langit itu langit TUHAN, bumi itu diberikan-Nya kepada anak-anak manusia.” –langit maksudnya surga (syamaim). Kenapa penulis Alkitab memasangkan langit (surga) dengan bumi? Karena ternyata bagi Alkitab, surga berarti tempat kediaman Tuhan, realm-nya Tuhan; dan bumi adalah tempat kediamannya manusia. Kata surga bukan tentang tujuan akhir siapa-siapa, surga dan bumi adalah sekadar pasangan kata dalam Alkitab dan maknanya bukan tujuan akhir; surga dan bumi dalam Alkitab dimengerti sebagai yang satu dimensinya Tuhan, satunya lagi dimensinya kita. Itu saja.
Dari hal ini, pertanyaan selanjutnya yang logis adalah: apa relasi antara dua dimensi ini; bagaimana kedua dimensi ini bisa berelasi satu dengan yang lain? Kita bisa membahas tiga model utama bagaimana manusia melihat relasi antara surga –tempat kediaman Allah– dengan bumi –tempat kediaman manusia (tentu saja ada banyak variasi, tapi kita sederhanakan jadi tiga saja).
Opsi pertama, melihat surga dan bumi sebagai satu benda yang sama; dimensi Allah dan dimensi kita pada dasarnya sama saja, bisa saja kita punya istilah surga dan istilah bumi, tapi itu sekadar dua cara yang berbeda untuk membicarakan satu hal yang sama. Dalam model konsep seperti ini, allah tidak bersembunyi di pojokan entah di mana, melainkan dia memenuhi seluruh ciptaan dengan kehadirannya, dia ada dalam segala sesuatu, maka segala sesuatu adalah dia. Ini yang biasa disebut dengan Pantheisme (pan=semua, theisme dari kata theos/allah), semua adalah allah, allah adalah semua. Ini pemikiran yang sudah cukup lama ada, misalnya dalam dunia abad pertama ini merupakan angin segar yang datang dari sebuah filsafat populer bernama Stoicism.
Dunia pada waktu itu berwarna politeistis (banyak dewa), ada dewa petir, dewa laut, dewa cinta, dsb.; lagipula ada banyak versinya, ada dewa petir versi Yunani namanya Zeuz, dan dewa petir versi Romawi namanya Yupiter. Ini lalu membuat Stoicism jadi seperti angin segar, karena orang merasa mumet banget segala sesuatu ada dewa ini dan dewa itu sementara Stoicism mengatakan, “Sudahlah, yang penting kita mengertinya bahwa dalam segala sesuatu ada keberadaan ilahi, ilahi ada di dalam segala sesuatu, segala sesuatu adalah ilahi”. Ini lebih rapi dibandingkan punya ratusan dewa di mana-mana. Yang menarik, ini bukan cuma membuat orang zaman itu tertarik akan Pantheisme, tapi juga membuat orang modern tertarik akan Pantheisme. Orang modern hari ini mengatakan, ‘dalam dunia yang sudah begitu plural, begitu banyak agama, sudahlah daripada pusing dengan berbagai kompleksitas, ada agama ini agama itu, konflik satu dengan yang lain, lebih baik kita sederhanakan saja, kita percaya segala sesuatu itu ilahi –selesai.’ Seorang theolog cerita, suatu ketika dia pergi hiking, dan bertemu dengan hiker yang lain (keduanya orang Barat); mereka mengobrol, dan si theolog berusaha menginjili, berbicara mengenai Yesus, bahwa Yesus itu Ilahi, dsb. Lalu hiker satunya tadi bilang, “O, saya percaya, tentu saja Yesus itu ilahi”, namun disambung dengan, “Tapi kamu juga ilahi, aku juga ilahi, semua gunung dan batu ini juga ilahi” –selesai urusan. Itulah Pantheisme.
Problemnya apa dari model ini? Kalau Saudara mau konsisten dengan model Pantheisme seperti ini, Saudara harus benar-benar percaya bahwa keilahian itu ada di dalam segala sesuatu, termasuk nyamuk yang mengisap darahmu, tawon yang menyengatmu, sel-sel kanker, tsunami, topan badai, gempa bumi, dll. Itu sebabnya problem Pantheisme yang paling dasar adalah: Pantheisme tidak berkutik di hadapan evil. Model politeisme yang tadi masih mendingan; dalam model tersebut kalau Saudara misalnya kena celaka di laut, Saudara bisa mengatakan, “Ah, itu gara-gara gua lupa memberikan persembahan kepada dewa laut, lain kali gua ‘gak lupa deh” –ada yang bisa dipersalahkan, berarti ada jalan keluar. Tetapi dalam Pantheisme, ketika segala sesuatu bersifat ilahi, termasuk diri kita pun bersifat ilahi, maka ketika ada sesuatu yang jelek dalam hidup kita, kita tidak bisa menyalahkan siapa-siapa termasuk juga tidak bisa menyalahkan diri kita sendiri. Tidak ada yang salah, tidak ada yang kelupaan, memang dari sononya kayak begitu –dan berarti tidak ada jalan keluar. Dunia yang ilahi keseluruhannya memang kayak begitu apa adanya, jadi better kamu membiasakan diri sajalah dengan segala sesuatu, itulah yang diajarkan orang-orang Stoik. Itu sebabnya kita tahu orang-orang stoik adalah orang-orang yang tegar menghadapi segala sesuatu. Memang itulah ajaran mereka; dan ujungnya kalau Saudara benar-benar sudah tidak tahan, maka satu-satunya solusi yang ada –dan memang diajarkan oleh Stoikisme– adalah bunuh diri.
Saudara, lewat model yang pertama ini saya ingin Saudara melihat bahwa ternyata penting mempelajari bagaimana manusia melihat relasi/interaksi antara surga dan bumi. Ini bukan mikir-mikir teori tok, ini sangat berpengaruh dalam bagaimana Saudara menghidupi hidupmu, bagaimana Saudara merespons terhadap evil dalam hidup ini.
Opsi yang kedua, merupakan model yang sering kali kita pegang, sadar atau tidak sadar, yaitu melihat surga dan bumi sebagai dua ranah yang terpisah yang tidak terseberangi. Terbalik dari model Pantheisme yang melihat keduanya jadi satu, model kedua ini memisahkan jauh-jauh tempat kediaman Tuhan dari tempat kediaman manusia. Dalam model ini, kalaupun ada tuhan, para dewa, atau sosok ilahi siapapun, mereka itu ada di surga entah di mana kita tidak tahu, bahkan entah apa kita juga tidak tahu. Mereka hidup terlepas dari segala sesuatu yang ada di bumi, mereka tidak terlibat, mereka tidak menyentuh sama sekali ke sini. Model ini juga populer dalam dunia kuno, tokohnya misalnya Lucretius dan Epikuros; istilah Epicureanism berasal dari model ini. Bagi Lucretius dan Epikuros, ujungnya adalah: manusia, terimalah kenyataan, bahwa kamu itu seindirian di atas bumi ini; jangan salahkan para dewa, mereka tidak akan melakukan intervensi dalam dunia ini, mereka bukan penyebab hidupmu tambah susah, tapi mereka juga tidak akan menoloongmu, sih. Dengan demikian etika dalam model kedua ini adalah kamu perbaiki hidupmu sendiri, sehingga kamu bisa menikmati hidup ini sebanyak mungkin. Inilah yang orang modern sering kali salah kaprah, menangkap etika Epicrurean sebagai menikmati hidup, foya-foya, menyenangkan diri. Tapi bukan itu maksudnya; bagi Epikuros, menikmati hidup terjadi justru ketika kita hidup dengan quiet, tenang, berhati-hati, moderation. Epikuros dan juga pengikutnya tahu koq, hidup hedonis itu ujungnya self-distraction, dia tidak percaya Hedonisme adalah jalannya. Mereka sudah tahu bahwa manusia mendapatkan kenikmatan yang lebih tinggi melalui jalan hidup yang stabil, bukan lewat mabuk-mabukan.
Kembali ke diskusi kita, inilah model kedua, bahwa tuhan itu nun jauh di sana; antara dimensinya dan dimensi kita tidak ada persentuhan. Jadi kalau hidup kita di dunia ini cukup makmur, bisa punya kehidupan yang cukup baik, maka ini filsafat hidup yang lumayan oke juga, ‘gak masalah saya dicuekin para dewa, karena saya juga tidak sungguh-sungguh butuh mereka. Tetapi, bagi mayoritas populasi bumi yang hidupnya susah, penuh penderitaan, model ini membawa jalan buntu, bahwa dunia ini memang gelap, rusak, keji, dan tidak ada solusi apa-apa dari luar, kalau saya tidak bisa membereskan situasi hidup saya sendiri, maka saya tidak bisa mengharapkan apa-apa yang datang dari luar. Satu-satunya jalan keluar dari penderitaan hidup hanyalah kematian –bolak-balik kembali lagi mirip dengan Pantheisme, model pertama. Atau, jalan keluarnya adalah dengan memiliki spiritualitas yang harapannya suatu hari kita akan dilepaskan dari dunia materi ini, dilepaskan dari tubuh penjara jiwa ini. Mulai familier ya, dengan banyak konsep Kekristenan yang kita lihat hari ini.
Sementara model pertama tadi kita namakan Pantheisme, model kedua ini nama populernya adalah Deisme. Ini nama yang muncul belakangan di abad 18, khususnya ketika pemikiran ini jadi sangat populer di dunia Barat, dan efeknya sampai kepada kita hari ini. Inilah model yang mendasari kenapa banyak dari Saudara dan saya ketika membicarakan Tuhan –membicarakan surga– yang ada di kepala kita adalah Seorang Figur di sebuah tempat yang nun jauh di sana, entah di mana, yang pengaruhnya terhadap dunia ini ssedikit, atau bahkan tidak jelas, atau bahkan tidak ada. Teori Evolusi adalah teori yang cocok banget dengan Deisme, dengan model kedua ini, karena teori Evolusi mengatakan dunia ini sekadar berkembang sendiri, berevolusi sendiri, bahwa perkembangan kita baik dalam hal spesies maupun masyarakat tidak ditentukan atau disetir dari luar, what you see is what you get, itu saja. Ini juga yang mendasari banyak orang bisa mengatakan mereka percaya Tuhan tapi mereka tidak pergi ke gereja; atau pergi ke gereja tapi tidak berdoa, bahkan tidak pedulilah untuk apa pikirin Tuhan dari tahun ke tahun. Terus terang saya tidak menyalahkan mereka juga, karena kalau saya percaya Allah yang jauh entah di mana seperti itu, maka saya akan pakai hari Minggu untuk hal-hal yang lain, misalnya gowes pagi, lebih menarik.
Jadi, model kedua ini problemnya mirip dengan model pertama, yaitu kita tidak punya solusi apa-apa atas evil dalam dunia ini. Inilah menariknya mempelajari pemikiran-pemikiran manusia, karena waktu Saudara melihat kutub-kutub ekstrim yang sepertinya berbeda, ujungnya malah gang buntu yang sama. Deisme tidak bisa menjawab pertanyaan akan evil dalam dunia ini. Seorang Deputy Prime Minister Inggris mengatakan, dia masuk politik karena ingin mengubah keadaan jadi lebih baik. Awalnya dia jadi Pak RT dulu, tapi ternyata di RT tidak sungguh-sungguh ada kuasa, maka dia merasa harus naik jadi anggota DPR. Lalu dia menemukan sama saja, di DPR juga tidak ada power, maka dia merasa harus naik lagi dan menjadi menteri kabinet. Namun di sini pun dia melihat hal yang sama lagi, tidak ada power. Akhirnya dia pikir hanya ada satu tempat yang ada power di Inggris, yaitu kantor Perdana Menteri. Dia lalu naik lagi dan menjadi Deputy Prime Minister, dia masuk ke kantor Prime Minister, dia melihat apa yang terjadi di situ, dan dia depresi, karena pada akhirnya dia melihat hal yang sama, bahwa di situ pun bukan tempat real power. Memang sih Perdana Mnteri dan orang-orangnya membuat banyak keputusan, tapi mereka mebuat itu justru karena mereka dikuasai faktor-faktor yang lain, diombang-ambing, ditarik ke sana-kemari. Jadi di mana the true real power itu, koq sepertinya ada sesuatu yang tidak kelihatan yang melampaui dunia ini, yang justru sangat berdampak, bahkan mengendalikan apa yang terjadi dalam dunaia yang kelihatan ini??
Yang melawan Deisme bukan cuma kita lihat dari contoh negatif seperti itu, tapi juga contoh yang positif; kita bukan cuma akan sulit menjelaskan evil dalam dunia ini, kita juga akan sangat sulit menjelaskan beauty dalam dunia ini. Kita akan sangat sulit menjelaskan kenapa dalam dunia ini seperti ada jejak-jejak kaki dari Figur Ilahi. Tentunya dunia modern dengan segala sosmed, teknologi, TV, komputer, Whatsapp, dan Instagram-nya, sudah sedikit banyak meredam perasaan ini karena menenggelamkan kita dengan semua itu, tapi cobalah matikan semua barang-barang itu dan Saudara berjalan keluar di bawah langit malam yang cerah, maka akan sulit untuk tidak merasa amaze akan dunia ini; bahwa dunia ini bukan cuma ada suatu keindahan yang susah dijelaskan, tapi somehow keindahan itu memanggil Saudara melihat sesuatu yang melampaui apa yang Saudara bisa lihat. Bahkan di negara-negara Barat mulai banyak yang namanya “blackout resort”, tempat-tempat wisata yang Saudara bisa menginap di situ beberapa malam dan bayar harga yang mahal, untuk tidak mendapatkan wifi, tidak mendapatkan listrik, lalu semua gadget dan HP harus Saudara serahkan di depan dan tidak boleh diambil sampai Saudara akan pulang. Ini bayar harga mahal untuk dijauhkan dari teknologi; dan yang menarik, waktu mereka pulang, mereka melaporkan bahwa mereka tidak merasa jadi orang yang ketinggalan berita tapi justru lebih update setelah blackout –lebih update dengan diri mereka sendiri, lebih update dengan dunia ini, dan tidak sedikit yang merasa lebih update dengan sesuatu yang melampaui dunia ini. Deisme tidak bisa menjawab perasaan ini, tidak punya ruang untuk fenomena ini dalam hidup manusia.
Baik Pantheisme maupun Deisme merupakan model yang tidak cukup memadai untuk menjelaskan dunia kita; maka kita sampai kepada opsi yang ketiga, opsi yang kita lihat dan dapatkan dari Alkitab, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Bumi. Di sini Saudara menemukan bahwa surga dan bumi bukanlah dua istilah berbeda untuk hal yang sama –seperti Pantheisme– namun juga Allkitab tidak menyajikan surga dan bumi sebagai dua realm yang terpisah oleh jurang tak terseberangi –seperti Deisme. Surga dan bumi menurut Alkitab adalah dua dimensi yang berbeda, namun juga mereka saling berinteraksi, saling bersentuhan. Persisnya bagaimana, tidak dijabarkan secara komrehensif. Ada warna misteriusnya. Inilah kompleksitas yang tidak perlu kita jadikan musuh. Mungkin problem dari model pertama maupun model kedua tadi adalah mereka terlalu simplistis; dan Saudara yang sudah berumur tentu tahulah hidup manusia saja begitu kompleks, apalagi hubungan surga dan bumi.
Yang menarik, cara Alkitab memperlihatkan hubungan surga dan bumi ini pun tidak simple, dan tidak instan. Alkitab tidak pernah ada pasal yang menjelaskan model 1, model 2, model 3, seperti khotbah hari ini; Alkitab memberikan gambaran-gambaran, narasi-narasi berulang kali, mengenai bagaimana dua dimensi ini berbeda namun juga saling bersentuhan. Misalnya dalam Perjanjian Lama, ayat-ayat tadi insist bahwa Tuhan itu tempatnya di surga dan manusia di bumi, berbeda, tidak sama. Namun juga Perjanjian Lama berulang kali menunjukkan bagaimana dua dimensi ini sering kali berinteraksi, ketika Allah berulang kali menghadirkan diri-Nya untuk dilihat, didengar, dikenal di atas bumi. Kehadiran Allah adalah benang merah yang banyak sekali muncul dalam kisah-kisah Alkitab. Abraham terus-menerus bertemu dengan Tuhan. Yakub melihat tangga yang menghubungkan surga dan bumi, lalu malaikat naik turun di atasnya. Musa menemukan dirinya berdiri di atas tanah yang kudus, tempat di mana untuk sementara surga menyentuh bumi. Ketika Musa membawa Israel keluar dari Mesir, Allah memimpin mereka di depan, melalui tiang awan di siang hari dan tiang api di malam hari. Ketika mereka sampai ke Gunung Sinai, Allah kembali menampakkan diri-Nya di puncak gunung tersebut, memberikan kepada Israel hukum-hukum-Nya. Setelah itu Israel sempat memberontak, namun Allah terus menyertai mereka sampai ke tanah perjanjian.
Kehadiran Allah yang terus-menerus muncul ini bahkan sebegitu pentingnya dalam Alkitab, sampai-sampai isi setengah bagian terakhir kitab Keluaran (pasal 21-40) adalah mengenai detail pembuatan sebuah kuil portable, tempat Allah turun untuk tinggal bersama-sama umat-Nya, namanya Kemah Suci, namun istilah yang lebih baik adalah kemah pertemuan (tent of meeting). Pertemuan apa? Pertemuan antara Allah dengan umat-Nya, tapi juga berarti pertemuan antara langit dan bumi. Ini berkembang lebih lanjut dalam Israel kuno, poin pertemuan ini makin lama makin permanen, dari Kemah Suci kemudian menjadi Bait Allah di Yerusalem. Awalnya Kemah Suci mengandung tabernakel, tabut perjanjian yang disimpan di kemah tersebut; lalu ketika Daud menjadikan Yerusalem ibukotanya, dia mulai merencanakan sebuah proyek besar yang nantinya baru selesai dalam masa anaknya, Salomo, yaitu Bait Allah, tempat di mana Allah menjadikannya sebagai tempat kediaman-Nya –harapannya untuk selama-lamanya. Sejak saat itulah Bait Allah Yerusalem menjadi tempat utama di mana langit dan bumi bertemu, bersentuhan; Mazmur 132:13-14, Sebab TUHAN telah memilih Sion, mengingininya menjadi tempat kedudukan-Nya: “Inilah tempat perhentian-Ku selama-lamanya, di sini Aku hendak diam, sebab Aku mengingininya.” Inilah poin pertemuan langit dan bumi yang sangat penting bagi orang Israel. Ketika Tuhan meberkati umat-Nya, Dia melakukannya dari Sion. Ketika orang Israel pergi jauh dari Yerusalem, mereka berdoa dengan berkiblat ke arah Bait Suci Yerusalem.
Saudara lihat, konsepsi kuil Bait Allah dalam Perjanjian Lama bukanlah sekadar tempat cuci dosa, Bait Allah adalah tempat langit dan bumi bertemu, inilah pilar utama interaksi surga dan bumi. Ini tempat yang amat sangat penting. Saudara bayangkan kalau mejadi imam di tempat seperti itu, Saudara dilatih bukan cuma untuk mempertahankan ritual-ritual gereja tok, tapi dilatih melakukan ritual-ritual yang mempertahankan hubungan langit dan bumi. Tidak kurang dari itu. Dalam deskripsi pembangunan tabernakel atau Bait Allah, bahan-bahannya begitu detail dan panjang lebar dijabarkan. Kita bingung kenapa sampai harus begitu panjang, namun message-nya jelas sekali. Dalam pembangunan kemah suci itu mereka menggunakan barang-barang dari batu-batuan bumi, permata, emas, safir, dsb., tapi untuk membuat kain atap tendanya, mereka disuruh Tuhan untuk menyulamkan gambar-gambar kerub, sehingga waktu Saudara masuk ke Kemah Suci, Saudara akan melihat barang-barang bumi di bawah, dan ketika melihat ke atas, Saudara melihat makhluk-makhluk surgawi. Ini mengkomunikasikan bahwa di sinilah tempat persentuhan antara langit dan bumi.
Mundur lebih jauh, cerita Menara Babel. Kita sering kali berpikir salah dalam hal ini, kita pikir ini orang-orang bikin menara mau mencapai langit supaya mereka bisa menurunkan Tuhan (mengkudeta Tuhan), tapi itu bukan konsep mereka pada waktu itu. Mereka sebenarnya mau menciptakan suatu poin pertemuan langit dan bumi tersebut, karena mereka tahu dunia ini rusak, dunia ini ada something wrong, tidak sinkron antara realm surgawi para dewa dengan realm bumi, maka mereka mau menyambungkan keduanya ini. Problemnya, mereka mau menyambungkan itu lewat kekuatan mereka. Mereka mau bikin koneksi yang menyambungkan antara komputer dengan listrik, antara smart TV dengan wifi, karena tanpa itu dunia kacau; dan tentunya kalau Saudara berhasil melakukan itu, Saudara bisa mengklaim power yang besar. Itu sebabnya mereka mengatakan “kita mau mencari nama bagi diri kita sendiri”.
Ketika pada akhirnya karena dosa Israel maka Allah mengatakan melalui nabi-nabi-Nya bahwa Bait Allah Yerusalem akan Dia tinggalkan dan hancurkan, bahasa-bahasa yang dipakai dalam berita penghancuran ini menggunakan bahasa-bahasa kehancuran kosmik: matahari menjadi gelap, bulan menjadi darah. Ada banyak orang Kristen yang tidak peka dan tidak melek Alkitab kemudian berpikir ini mengenai akhir zaman yang belum terjadi; tetapi bukan itu. Waktu Yeremia, Yesaya, dll. menubuatkan hal-hal tadi, poinnya adalah: ketika pilar utama persentuhan langit dan bumi ini runtuh, dunia kacau, dunia hancur, maka tidak heran bahasa-bahasa tadi yang dipakai, karena kehancuran Bait Suci Yerusalem bukan cuma berarti kehilangan tempat cuci dosa, tapi kehilangan pilar utama tempat surga dan bumi bersentuhan.
Konsep persentuhan antara langit dan bumi ini –konsep bahwa Allah hadir di bumi tanpa harus meninggalkan surga– ternyata begitu sentral dalam konsep Yahudi, dan juga dalam konsep Gereja-mula-mula. Saudara mungkin merasa ini sesuatu yang baru, kompleks, seperti orang yang cuma tahu Handel dengan Messiah-nya tadi, tapi coba pasangkan hal ini dengan banyak hal lain dalam Alkitab, dan ternyata ini justru konsep yang pas, fit, tidak ada model lain yang lebih bagus. Misalnya dalam hal kita melihat creation, Saudara sadar tidak bahwa hanya model ketiga inilah Saudara bisa mempunyai Allah yang mengasihi ciptaan-Nya. Coba ambil model yang pertama tadi, ‘seluruh alam semesta ini adalah allah, allah adalah alam semesta ini’, maka seluruh alam semesata ini hanyalah ekspresi diri allah, apa yang terjadi dalam alam ciptaan ini sekadar misalnya allah sedang goyang siku, garuk badan, dsb., tidak ada kasih, simply gerakan allah saja. Kalau Saudara mabil model kedua, ‘alam semesta ini bukan allah, alam semesa ini diciptakan oleh allah tapi lalu allahnya mangkir, pergi’, maka jelas ini allah yang tidak peduli; dan lawan dari kasih bukanlah kebencian melainkan ketidakpedulian. Contohnya, ada film penjahat yang menculik anak istri sang jagoan lalu dimasukkan ke van begitu saja, “gubrraakkk..”, sampai si anak kepalanya sakit terbentur van. Anak ini lalu bilang, “Why do you hate us??” Si penjahat lalu mengatakan, “I don’t hate you, I just don’t care!” –siapa yang benci kamu, saya cuma tidak peduli saja. Itulah lawan dari kasih. Dan inilah model kedua.
Model pertama tadi, Pantheis, ketika ada evil maka berarti evil itu ada dalam allah, dan allah adalah evil tersebut. Model kedua, Deis, ketika ada evil maka berarti kamu sendirian menghadapi evil tersebut, allah tidak peduli, allah cuma angkat bahu, ‘Kenapa gua harus turun tangan?? Itu urusan lu, lu yang bikin hancur, silakan lu perbaiki sendiri’. Sebaliknya relasi kasih, pertama-tama selalu adalah dengan sesuatu/seseorang yang berbeda (somebody yang other) yang bukan diri kita sendiri, maka dalam model ketigalah kita melihat hal ini, bahwa Allah mencipta sesuatu yang bukan diri-Nya. Lagipula kasih bukan cuma ada berarti ada beda, tapi somehow dalam ke-berbeda-an tersebut ada sentuhan, interaksi, ikatan; dan kita melihat ini dalam model ketiga: Allah mencipta, tapi Allah tidak lalu mangkir, Allah mengikat diri-Nya dengan kasih terhadap dunia ini. Dia tidak pergi ala allah Deis, Dia tetap mempertahankan ikatan yang intim dan dinamis dengan ciptaan ini. Buktinya kasih ini apa? In particular yaitu ketika alam ciptaan ini jatuh dalam dosa, corrupted, Allah ini merespons dengan sangat serius, bahkan membiarkan diri-Nya dipengaruhi oleh ciptaan tersebut. Inilah satu-satunya model di mana Saudara bisa menghadapi evil –karena evil bukan Allah– dan Saudara ada harapan dalam menghadapinya karena Saudara tidak menghadapinya sendirian, ada Allah yang peduli denganmu. Dua hal ini, kompleksitas ini, membuat kita mengetahui inilah yang benar.
Coba Saudara pikirkan dalam relasi kita; kenapa mendengarkan orang (listening) adalah bahasa kasih? Mendengarkan orang berarti Saudara tahu bahwa Saudara bukan dia –maka Saudara mendengarkan dia. Kalau Saudara merasa ‘ah, gua tahulah lu siapa, gua tahu semuanya, lu ‘gak beda dengan gua’, tentu Saudara tidak merasa perlu mendengarkan dia. Saudara mendengarkan dia justru karena Saudara tahu Saudara bukan dia, maka perlu mendengarkan dia. Hal kedua, Saudara tidak cuma dengar sesuatu yang berbeda, waktu Saudara mendengarkan dia, berarti Saudara membiarkan apa yang baru ini, bisa berdampak pada dirimu –itulah namanya mendengarkan. Setelah dengar dan dengar, Saudara bilang, “Ya, ampun, gua baru tahu lu kayak gitu; gua minta maaf, gua salah”, itu namanya mendengarkan. Mendengarkan itu tidak bisa setelah dengar dan dengar lalu bilang, “Tidak! pokoknya lu yang salah” –ini bukan listening. Saudara, inilah yang kita lihat dalam model ketiga, sesuatu yang kompleks, tidak mudah dipahami –dan mungkin tidak bisa dipahami manusia– bahwa beda tapi bersentuhan, bersentuhannya di mana dalam kehadiran Tuhan, kita tidak bisa kontrol, kita tidak tahu, kita bukan orang yang bisa bikin gateway ke surga. Kita susah menangkap ini, namun inilah model relasi surga dan bumi yang paling fit dengan realitas yang kita lihat dan kita percaya. Itulah sebabnya kita pegang model yang ini.
Apa hubungan semua ini dengan Pentakosta? Kenapa Pentakosta bicara mengenai Roh Allah yang tinggal dalam kita? Kenapa urusan Roh Allah tinggal dalam kita ini lalu oleh Petrus dan Paulus ditarik lebih jauh untuk mengatakan bahwa kita sekarang adalah temple of God, ‘kamu itu bait Allah dan Allah tinggal dalam kamu’? Kalau Saudara sekarang membaca kalimat ini dengan kacamata Perjanjian Lama tadi urusan surga dan bumi, barulah Saudara mulai menangkap lapisan-lapisan makna yang selama ini kita tidak lihat. Allah bukan memberikan Roh Kudus kepada kita supaya kita bisa menikmati semacam versi rohani yang ekuivalen dengan pergi ke Dufan atau Disneyland. Tentu saja ketika Saudara murung dan hancur hati, kekuatan dari Roh Kudus bisa menguatkanmu, membuat engkau melihat kehadiran Tuhan dalam hidupmu, kasih-Nya, penghiburan-Nya; tetapi poin dari turunnya Roh Kudus adalah: kita dikuatkan untuk ngapain, yaitu tidak kurang dari menjadi titik-titik pertemuan dari langit dan bumi yang kini menyebar di seluruh dunia. Inilah artinya membawa Kerajaan Surga turun ke bumi. Kita dipanggil menjadi bait-bait suci-Nya, kita dipanggil menjadi menara-menara non-Babel yang akan mengembalikan ciptaan ini menjadi yang seharusnya. Roh Kudus itulah kekuatan untuk membuat Gereja bisa jadi Gereja. Roh Kudus diberikan supaya kita orang-orang biasa, manusia-manusia yang fana, dalam derajat tertentu menjadi seperti Yesus semasa Dia hidup, yaitu tempat di mana surga menyentuh bumi. Itu sebabnya kita mengatakan Dia naik ke surga –Dia naik ke dimensi Allah– untuk memberikan Roh-Nya kepada Gereja dan melanjutkan pekerjaan-Nya di bumi ini. Dia Kepala, kita Tubuh; Dia di surga, kita di bumi. Oleh karena itu surga dan bumi disatukan, dipertemukan dengan sejati lewat Kepala dan Tubuh Kristus, melalui setiap Saudara dan saya. Saudara lihat alasannya kita harus melihat Perjanjian Baru dengan lensa Perjanjian Lama, betapa kelimpahan makna yang bisa kita dapatkan ketika kita tidak terus cuma berkutat pada ayat-ayat di Perjanjian Baru melainkan membacanya lewat apa yang terjadi berkali-kali di Perjanjian Lama.
Ini lebih jelas lagi kalau kita kembali ke Efesus 1:14 tadi, ‘Roh Kudus itulah jaminan warisan kita sampai kita memperoleh penebusan yang menjadikan kita milik Allah, untuk memuji kemuliaan-Nya’. Ini mengubah pengertian kita, karena Roh Kudus sebagai jaminan –istilah Yunaninya yaitu arrabon, artinya cincin pertunangan— maksudnya adalah tanda dari masa depan yang sudah masuk ke masa sekarang; Saudara dapat down payment (DP), Saudara bassically dapat indent. Istilah warisan juga ada dimensi waktu semacam itu, ‘ini jaminan dari warisannya, kamu akan dapat 10M, lalu jaminannya diberikan dulu sekarang, 500 juta’. Saudara lihat, ada sesuatu yang lain yang akan mempengaruhi hidupmu, karena ini adalah jaminan dari masa depan yang masuk ke masa sekarang. Misalnya Saudara punya 500 juta, lalu Saudara bertemu dengan orang lain yang juga punya 500 juta, tapi dia cuma punya 500 juta itu dan tidak ada janji warisan di masa depan, sementara Saudara punya 500 juta dan ada janji warisan 10M di masa depan; lalu suatu hari Saudara dan dia sama-sama kerampokan dan hilanglah 500 juta itu, apa yang jadi reaksimu? Tentu beda dengan dia. Dia akan deperesi, dia mungkin bunuh diri, sedangkan Saudara merasa ‘aduh, hilang 500 juta, tapi ya sudahlah masih ada 9,5M’ –lain sekali. Ini sesuatu yang belum ada di hadapanmu, belum Saudara tangkap, sesuatu yang masih ada di masa depan, namun sudah mempengaruhi hidupmu hari ini; dan itu adalah Roh Kudus.
Waktu Saudara membaca ‘warisan’ dan menggunakan lensa Perjanjian Lama untuk mengertinya, Saudara akan melihatnya sarat makna luar biasa. Di mana istilah warisan/bagian (inheritance) muncul di Perjanjian Lama? Yaitu ketika Israel keluar dari Mesir, pergi ke tanah perjanjian; tanah perjanjian inilah yang berkali-kali disebut sebagai inheritance-nya Israel. Mereka keluar sebagai bangsa budak, tidak punya apa-apa, dan mereka diberikan jaminan —engagement ring— supaya mereka tahu dan yakin, bahwa masa depan mereka akan mendapatkan warisan tersebut. Apa jaminannya? Yaitu kehadiran Allah sendiri yang menyertai mereka, dari sejak Paskah sampai masuknya mereka ke tanah perjanjian. Itulah yang menjad icipan akan warisan mereka, dan juga kekuatan untuk mereka bisa literally masuk ke tanah perjanjian tersebut, karena mereka harus dipimpin, dibawa, ditegur akan dosa-dosa mereka, lewat kehadiran Allah seperti ini. Di dalam zaman Perjanjian Baru, apakah warisan kita itu? Bukan surga, dan juga bukan sepetak tanah di Palestina; warisan kita adalah: seluruh dunia akan menjadi tanah suci Allah. Allah sedang me-reclaim semua ini atas nama-Nya. Allah sedang mau memberikan warisan ini kepada kita semua. Apa jaminannya? Kehadiran Allah yang menyertai kita dari sejak Paskah, kebangkitan Kristus, sampai akhir zaman ketika kita sampai ke tanah perjanjian tersebut. Siapa yang memerankan jaminan ini? Roh Kudus. Sama seperti Allah memimpin bangsa Isarel di padang gurun dalam perjalanan mereka, Roh Kudus sekarang Tuhan berikan sebagai kehadiran yang menyertai kita sampai kita mendapatkan tanah perjanjian, warisan kita. Inilah kacamata Perjanjian Lama waktu kita membaca istilah Perjanjian Baru.
Hari ini kita tidak punya waktu untuk memikirkan aplikasi dsb., lagipula aplikasi atas theologi ini adalah sesuatu yang akan terus-menerus kita bicarakan dalam khotbah apapun. Intinya, saya akan tutup dengan satu hal: mendengar semua ini, kita bisa bereaksi dua hal. Yang pertama, kita mengatakan: “Wow! saya baru sadar itu maknanya. Terima kasih banyak, Pak”. Reaksi yang kedua: “Koq saya tidak melihat seperti itu ya. Keren sih Gereja sebagai tempat pertemuan langit dan bumi, wow, tapi kalau saya lihat kiri kanan saya, depan belakang saya, koq saya tidak melihat tiang awan, saya tidak melihat tiang api, saya tidak melihat mukjizat air terbelah. Jadi bagaimana bisa bilang orang-orang ini adalah poin persentuhan langit dan bumi?? Saya melihatnya banyak kerusakan, banyak dosa; dan bukan cuma orang lain, dalam hal ini saya paling mengenal diri saya sendiri, saya sangat sulit melihat diri saya sebagai poin pertemuan langit dan bumi.”
Saudara, tentunya reaksi atas hal ini, pertama-tama kita perlu bertobat, kita perlu membereskan hidup kita, kalau kita benar-benar poin pertemuan langit dan bumi. Itu sebabnya kita perlu panggilan untuk hidup kudus; panggilan hidup kudus bukan panggilan untuk masuk surga melainkan demi supaya kita benar-benar bisa jadi berkat bagi bangsa-bangsa lain, bagi seluruh dunia, sesuai panggilan Abraham. Namun ada hal yang kedua yang ingin saya sampaikan; tadi Saudara mengatakan, “Jelas banget, Pak, saya bukan persentuhan langit dan bumi”, itu benar, dan tahukah Saudara ada satu hal lain yang jelas, sejelas itu, bahkan lebih jelas daripada itu, yaitu apa? Ini sangat jelas kalau Saudara peka dan familier dengan tulisan Rasul Paulus; dia adalah rasul yang paling sadar dan paling melihat kegagalan dari Gereja. Dia tahu kegagalan Gereja secara individual maupun secara korporat. Dia melihatnya bahkan lebih jelas daripada engkau dan saya karena dia masuk begitu dalam di dalam kehidupan Tubuh Kristus. Tapi dalam salah satu surat yang justru dia berhadapan dengan Jemaat yang paling brengsek, paling rusak, paling hancur, dia mengeluarkan kalimat soal bait Allah tadi, yaitu 1 Korintus 3:16, “Tidak tahukah kamu, bahwa kamu sekalian adalah bait Allah dan bahwa Roh Allah tinggal di dalam kamu?” Paulus melihat jelas semua kegagalan Gereja pada waktu itu, namun di situlah dia membuat klaim ini bagi Gereja-gereja di Korintus.
Saya tidak akan menyelesaikan ketegangan ini pada hari ini, tapi Saudara bisa menyadari mungkin ada cara melihat yang lain di sini yang perlu kita pelajari, mungkin sama seperti kita tidak perlu terlalu percaya dengan like/dislike kita, selera makan kita, kita juga tidak harus terlalu percaya penilaian kita akan Gereja maupun akan diri kita sendiri, karena Tuhan melihatnya lain. Tuhan melihat inilah tempat Dia mau mendirikan bait-Nya, tempat Dia menyentuhkan langit dan bumi-Nya; dan lewat kitalah itu akan terjadi.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading